Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

KEBENARAN ILMU

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen pengampu:
Dr. ACHMAD CHOIRUL ROFIQ, M.Fil.

Disusun oleh:
Hasan Mahmud Ashfahani 504220009

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
FEBRUARI 2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang berfikir. Karena berfikir itulah manusia dapat
dikatakan sebagai manusia. Berfikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang
membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam
mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Ilmu atau Ilmu pengetahuan, merupakan produk kegiatan berfikir,
merupakan obor peradaban yang manusia menemukan dirinya dan menghayati hidupnya
dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan
kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya.1
Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman
dulu sampai dunia komputer saat ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia
dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan
sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Masalah yang menjadi bahan pemikiran manusia
sangat banyak dan beragam. Namun pada hakikatnya upaya manusia untuk mendapatkan
pengetahuan karena dilandasi oleh tiga masalah pokok, yaitu landasan ontologis, landasan
epistemologis, dan landasan aksiologis.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi kebenaran?
2. Bagaimana definisi ilmu pengetahuan?
3. Apa yang dimaksud dengan kebenaran ilmu?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan definisi kebenaran
2. Untuk menjelaskan definisi ilmu pengetahuan
3. Untuk menjelaskan kebenaran ilmu

1
Rusdiana, Bahan Ajar Filsafat Ilmu (Bandung: Tresna Bhakti press, 2018), 1
2
Ibid
PEMBAHASAN

A. Definisi Kebenaran
Secara etimologi, dengan merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
kebenaran dapat diartikan sebagai: 1) Keadaan atau hal yang cocok dengan keadaan atau hal
yang sesungguhnya; 2) Sesuatu yang sungguh-sungguh atau benar-benar ada; 3) Kelurusan
hati, kejujuran. Sementara itu Lorens Bagus mengatakan bahwa istilah kebenaran merupakan
lawan dari kesalahan, kesesatan, kepalsuan dan juga kadang opini. Sedemikian rupa
pengertian kebenaran (truth: Inggris, treowth [kesetiaan]: Anglo-Saxon, veritas: Latin,
alerheia: Yunani) yang dituliskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diambah dengan
Lorens Bagus, sehingga kiranya dapatlah dibuat suatu rumusan singkat tentang kebenaran,
yaitu kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan, dalam hal ini subjek, dengan apa
yang diketahui, yang disebut juga objek. Dengan demikian kebenaran dapat juga diartikan
secara umum sebagai kenyataan sebagaimana adanya yang menampakan diri sebagai yang
ditangkap melalui pengalaman. Pengalaman tentang kebenaran itu dialami akal si subjek
dalam kesamaannya dengan kenyataan adanya yang menampakan diri kepadanya.3
Kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang telah diakui kebenarannya dan
tergantung kepada aspek manfaat tidaknya bagi kehidupan manusia. Sedangkan kebenaran
yang dibawa oleh wahyu diyakini bersifat absolute dan mutlak, sedang kebenaran yang
diperoleh melalui akal bersifat relative, mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang
diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar
yang salah. Demikian pula apa yang diyakini karena pengamatan belum tentu benar karena
penglihatan mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya
milik Tuhan.4
Istilah kebenaran dalam perspektif Barat telah dirumuskan dalam beberapa
terma. Secara epistemologi kebenaran dalam bahasa Yunani adalah aletheia berarti
terlepas dari perhatian, tidak jelas dan tidak terlihat. Kemudian ia berubah positif
menjadi sesuatu yang dipahami, ditemukan, tampak dan terlihat. Dari hal ini,
kebenaran dipahami sebagai sebuah daya terang yang ditemukan akal. Dalam bahasa
3
Hamdan Akromullah, Kebenaran Ilmiah dalam Perspektif Filsafat Ilmu (Suatu Pendekatan Historis dalam
Memahami Kebenaran Ilmiah dan Aktualisasinya dalam Bidang Praksis), Tajdid, Vol. 21 No. 1, 2018, 50
4
Ibnul Arobi, Parameter Kebenaran Ilmu Pengetahuan (Sains) dalam Al-Qur’an, Humanistika, Vol. 5 No. 1, 2019, 2
Latin adalah veritas berarti pilihan atau kepercayaan akal. Sedangkan dalam Inggris
adalah truth yang berarti apa yang dipahami dan dipilih akal. Artinya, disini rasio/akal
merupakan sumber dan alat ukur yang paling diprioritaskan dalam mengukur suatu
kebenaran di Barat khususnya Barat Modern.5
Karena itu, salah satu ciri khas dari konsep kebenaran di Barat adalah sifatnya
yang relatif dan berubah-ubah, dikarenakan sumber dalam mencari kebenaran mereka
hanya berpusat kepada rasio yang diperkuat oleh spekulasi filosofis. Hal ini dimulai
semenjak kehadiran Rene Descartes sebagai pengusung paham Rasionalisme yaitu
paham yang menyatakan bahwa satu-satunya alat untuk mengukur kebenaran adalah
rasio sebagaimana adagiumnya “cogito ergo sum”.6
Terma kebenaran dalam kaidah-kaidah Bahasa Arab mempunyai beberapa istilah.
Misalnya adalah haqq-batil (kebenaran-kesalahan) sering digunakan dalam konteks ontologi,
shawab-khata’ (ketepatan-kekeliruan) dalam konteks ijtihad dan proses epistimologi, sahih-
fasid (valid-invalid) dalam konteks proses epistimologi dan status hukum, dan sidq-kizb
(kebenaran-kebohongan) dalam konteks pernyataan lisan.7
Dari beberapa istilah tersebut, terma haqq lebih menyeluruh karena ia tidak hanya
mengacu kepada pernyataan tetapi juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta
kejadiaan dalam eksistensi. Kejadian yang ditunjukkan oleh haqq bukan hanya berhubungan
dengan kondisi sekarang, tetapi yang lalu dan akan datang. Artinya, terma haqq lebih
menyeluruh maknanya bukan saja berkaitan dengan hal-hal yang fisik tetapi juga berkaitan
dengan yang metafisika. Oleh karena itu, terma haqq dalam Islam juga merujuk kepada al-
Haqq (sumber kebenaran) yaitu Allah yang sifatnya metafisika. Sebagaimana, term al-Haqq
dalam Q.S al-Baqarah ayat 61 paling banyak menerangkan bahwa kebenaran yang absolut
datang dari Allah.8
Menurut Abbas Hamami, kata “kebenaran” bisa digunakan sebagai suatu kata benda
yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah
proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu

5
Dedy Irawan, Konsep Kebenaran dalam perspektif Islam dan Barat (Studi Komparatif), Tasfiyah, Vol. 4 No. 1, 2020,
142
6
Ibid
7
Ibid, 147-148
8
Ibid
pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan
manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh
subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula dari
banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran
kebenaran.9
Dengan adanya berbagai macam katagori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah
berlebihan jika pada saatnya setiap subjektif yang memiliki pengetahuan akan memiliki
persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, setelah
melalui pembicaraan tentang berbagai “model” kerangka kebenaran, Harold H. Tutis sampai
kepada kesimpulan yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:
“Kebenaran” adalah kesetiaan putusan-putusan dan ide-ide kita pada fakta
pengalaman atau pada alam sebagaimana apa adanya: akan tetapi sementara kita tidak
senantiasa dapat membandingkan putusan kita itu dengan situasi aktual, maka ujilah putusan
kita itu dengan putusan-putusan lain yang kita percaya sah dan benar, atau kita ujilah
putusan-putusan itu dengan kegunaannya dan dengan akibat-akibat praktis.10 Tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah disimpulkan oleh Titus di atas mengenai arti “kebenaran”.
Patrick juga mencoba menawarkan alternatif sikap terhadap atau mengenai “kebenaran” itu
dengan menyatakan, yang terjemahnya kurang lebih sebagai berikut:
Agaknya pandangan yang terbaik mengenai ini (kebenaran) adalah bahwa kebenaran
itu merupakan kesetiaan kepada kenyataan. Namun sementara dalam beberapa kasus kita
tidak dapat membandingkan idea-idea dan putusan-putusan kita dengan kenyataan, maka
yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah melihat jika idea-idea dan putusan-putusan itu
konsisten dengan idea-idea dan putusan-putusan lain, maka kita dapat menerimanya sebagai
benar.11
FH. Bradly penganut faham idealisme mengatakan bahwa kebenaran ialah kenyataan.
Karena kebenaran ialah makna yang merupakan halnya, dan karena kenyataan ialah juga
merupakan halnya.12
9
Ahmad Atabik, Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu: Sebuah Kerangka untuk Memahami Konstruksi
Pengetahuan Agama, Vikrah, Vol. 2, No. 1, 2014, 257-258
10
Harold H. Titus, Living Issue in Philosophy: Introductory Text Book, (New York: D. Van Nostrand
Company 1959), P. 70
11
G.T.W. Patrick, Introduction to philosophy, (London: tp., 1958), P. 375
12
Louis O. Kattsoff. Element of Phylosophy, alih bahasa Soejono Soemargono dengan judul “Pengantar
Filsafat”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), P. 17
Menurut Ford (2006), kebenaran atau truth dapat dibedakan atas 4 macam:13
a. Kebenaran metafisik (T1). Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya
(baik melalui justifikasi maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti
kesesuaian dengan alam, logika deduktif, atau standar-standar perilaku profesional.
Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari
seluruh kebenaran (basic, ultimate truth) karena itu harus diterima apa adanya (given for
granted). Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut agama.
b. Kebenaran etik (T2). Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral atau
profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara
etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber kebenaran etik bisa
berasal dari kebenaran metafisik atau dari norma sosial-budaya suatu kelompok
masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi
standar etika universal) dan ada pula yang relatif.
c. Kebenaran logika (T3). Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau matematis
konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar atau sesuai dengan apa
yang benar menurut kepercayaan metafisik. Aksioma metafisik yang menyatakan bahwa
1+1= 2 maka secara logika dapat dianggap benar. Namun demikian, di dalam kebenaran
ini juga tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya,
1+1 ≠ 3, karena secara konsensus telah diterima demikian.
d. Kebenaran empirik (T4). Kebenaran ini yang lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan
ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuai (kepercayaan asumsi, dalil, hipotesis,
proposisi) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat
diverifikasi, dijustifikasi, atau kritik.
Berikut ini adalah beberapa teori tentang kebenaran:
a. Teori korespondensi
Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara
pikiran dan kenyataan teori. Adapun moto teori ini adalah “truth is fidelity to objective
reality” (kebenaran setia/tunduk pada realitas objektif). Implikasi dari teori ini ialah
hakikat pencarian kebenaran ilmiah, bermuara kepada usaha yang sungguh-sungguh

13
Ford J, Paradigms and fairy Tale, (Routledge : Taylor and Francis Comp)
untuk mencari relasi yang senantiasa konsisten. Teori ini erat hubungannya dengan
kebenaran empirik (T4).
b. Teori koherensi/konsistensi
Teori ini berpendapat bahwa suatu kebenaran adalah apabila ada koherensi dari
arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau lebih logika. Kebenaran terjadi
jika ada kesesuaian antara pernyataan saat ini dan pernyataan terdahulu. Sumber
kebenaran menurut teori ini adalah logika (manusia) yang secara inheren memiliki
koherensi. Teori koheren bermuara pada kebenaran logis (T3.
c. Teori pragmatisme
Teori ini berpandangan bahwa kebenaran diukur dari kegunaan (utility), dapat
dikerjakan (workability), dan pengaruhnya memuaskan (satisfactory consequences).
Kebenaran mengacu pada sejauh manakah sesuatu itu berfungsi dalam kehidupan
manusia. Bila menurut Ford kebenaran ilmiah berhubungan dengan asas korespondensi,
menurut Keraf dan Mikael (2011) menyatakan bahwa kebenaran ilmiah mempunyai
sekurang-kurangnya tiga sifat dasar, yaitu rasional logis, isi empiris, dan dapat diterapkan
(pragmatis). Suriasumantri (2003) menyatakan bahwa kebenaran adalah pernyataan tidak
ragu. Hanya ada dua asas yang digunakan untuk berpikir secara ilmiah (kebenaran
ilmiah) yaitu teori koherensi dan korespondensi. Sementara pragmatisme digunakan
untuk pengetahuan alam yang berguna untuk menafsirkan gejala-gejala alam.
d. Teori Religiusisme
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, dalam perenungannya akan
menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama
mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran.
Sedangkan ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah kebenaran itu sendiri.14
Dalam filsafat, untuk mendapatkan kebenaran hakiki manusia harus mencarinya
sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan
batin. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu tidak hanya
mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan,
dengan kata singkat percaya atau iman.15

14
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 125
15
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Pengantar Filsafat, 65
Jadi, Teori Religiusisme di sini adalah suatu kebenaran yang bersumber dari
sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu, dalam hal ini adalah al-Qur’an.
Walaupun antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan
kebenaran yang dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan
filsafat. Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda.
Di satu pihak agama mendasarkan diri kepada kebenaran wahyu, di lain pihak
filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi sebagai satu-
satunya alat ukur kebenaran, yaitu akal manusia. Manusia tidak dapat hidup dengan benar
hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat, tanpa kebenaran
agama.

Kebenaran ilmiah dapat dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemahaman
kebenaran absolut-transendental. Kebenaran ilmiah merupakan salah satu “jalan” untuk menuju
kebenaran absolut- transendental sebagai bentuk kebenaran yang tertinggi, karena kebenaran
ilmiah akan senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan teori-teori ilmiah dalam
konteks kemajuan ilmiah yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan secara
dialektik. Wallis menegaskan bahwa terdapat suatu dunia realitas atau kebenaran absolut yang
mengatasi pemahaman manusia. Teori- teori yang sudah maju (improved theories) hanya mampu
membawa pemahaman manusia untuk “lebih mendekati” kebenaran tertinggi tersebut.16
Kebenaran itu sendiri dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi, pengetahuan akal
budi, pengetahuan intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif. Apa
yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.
Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran. Kriteria kebenaran
tersebut dapat diperoleh dengan cara melalui berpikir. Karena berpikirlah yang dapat
dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan.

B. Definisi Ilmu Pengetahuan

16
Fuad, Koento Wibisono S., P. Hardono Hadi, Kebenaran Ilmiah dalam Pemikiran Thomas S. Kuhn dan Karl R.
popper: Suatu Kajian Hermeneutika dan kontribusinya bagi Masa Depan Ilmu, Jurnal ilsafat, Vol. 25 No. 2, 2015,
266
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan pengetahuan. Ilmu merupakan
salah satu dari hasil usaha manusia untuk memperadab dirinya. 17 Dalam Encyclopedia
Americana, dijelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif. The
Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles of Scientific Research memberi
batasan ilmu sebagai berikut:
“…..Ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya umat
manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat
tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang
meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri.18
Dalam bahasa „Arab kata “ilmu” berasal dari kata “alima”, sering disebut ilmu
pengetahuan atau singkatannya “ilmu”. Diantara sekian banyak definisi mengenai ilmu,
adalah: merupakan pengetahuan yang benar dengan memperhatikan batasan obyek, metoda
beserta nilai kegunaannya. Paul Freedman menjelaskan bahwa ilmu adalah suatu bentuk
aktivitas manusia yang melalui pelaksanaannya ummat manusia memperoleh suatu
pengetahuan dan pemahaman tentang alam yang senantiasa lebih cermat dan lebih
meningkat, pada suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan diri sendiri
terhadapnya dan mengubah lingkungannya dan mengubah ciri-cirinya sendiri.19
Sedangkan menurut terminologi adalah usaha pemahaman manusia yang disusun
dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-
hukum tentang hal ihwal yang diselidiki (alam, manusia dan agama) sejauh yang dapat
dijangkau daya pemikiran yang dibantu pengindraaan manusia itu, yang kebenarannya diuji
secara empiris, riset dan eksperimental. 20 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu pengetahuan yang disusun secara sistematis sebagai
hasil penelitian dengan menggunakan metode tertentu.
Adapun pengetahuan, menurut Amsal Bakhtiar adalah semua milik atau isi pikiran. 21
Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang
17
Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), 110
18
Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 90
19
Abbas Hamami , dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 1996), 112
20
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 49-50
21
Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu..., 90
diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang
mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian
aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam
kesatuan aktif.
Manusia sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga.
Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, tumbuh menjadi janin,
yang akhirnya kedunia sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran
perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan, dan
sebagainya) dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh.
Oleh karena itu manusia sebagai materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat
materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya juga dari materi, maka
terbentuklah suatu sikap atau pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di
dunia ini, maka pandangan materialistis itu identik dengan pandangan hidup yang bersifat
duniawi, sedangkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai khayalan
belaka.22
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara
sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas
untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak.
Seekor anak tikus tahu mana kucing yang ganas. Anak tikus ini tentu saja diajari induknya
untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi juga dalam hal ini,
berbeda dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal yang
menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasai kebutuhan kelangsungan
hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan
sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan
kebudayaan, manusia memberi makna kepada kehidupan, manusia “memanusiakan” diri
dalam hidupnya, dan masih banyak lagi pernyataan semacam ini.
Semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya
mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya.ini lah

22
Zuhairini,dkk. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) 73
yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah
yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini, menurut Jujun S. Suriasumantri mampu dikembangkan manusia
disebabkan dua hal utama yaitu: (1) manusia mempunyai bahasa yang mampu
mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut,
dan (2) yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat
dan mantap, adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.
Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang
memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yaitu bahasa yang bersifat
komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.23

C. Kebenaran Ilmu
Terjadinya pengetahuan, menurut Surajiyo adalah masalah yang amat penting dalam
epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna
pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya
pengetahuan ini apakah berfilsafat apriori atau aposteriori. Pengetahuan apriori adalah
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman. Baik pengalaman indra
maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi
karena adanya pengalaman. Dengan demikian, pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan
objektif.24
Dalam hal ini ada beberapa pendapat mengenai sumber ilmu pengetahuan diantaranya:
1) Empirisme
Kata ini berasal dari Yunani Empirikos, yang artinya pengalaman. Menrut aliran
ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya dan bila dikembalikan
kepada kata Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi.25
2) Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan.
Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh
23
Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 39
24
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia : Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2007), 55
25
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. VII, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
24
pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Akal menggunakan konsep-konsep
rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata
dan bersifat universal. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah
abstraksi dari benda-benda konkrit.26
3) Intuisi
Menurut Henry Bergson, bahwa intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman
yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan
kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan
suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang
langsung, yang mutlak. Menurutnya, mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis,
yang pada dasarnya bersifat analis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu
penggambaran secara simbolis. Karena itu intuisi adalah sarana untuk mengetahui
secara langsung dan seketika.27
4) Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat
perantara para nabi. Para nabi memperoleh dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah
payah. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan. Tuhan mensucikan jiwa
mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.28
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang
membedakan mereka dengan manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan ini memang ada pada
saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal ini memang diluar
kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan
membenarkan semua yang berasal dari Nabi.29

Definisi Kebenaran dan Ilmu Pengetahuan Secara umum definisi yang standar
mengenai kebenaran diartikan sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan. John Dewey
menyebutkan bahwa yang dimaksud kebenaran adalah “apa yang membawa hasil”. Suatu

26
A. H Nasoetion, Pengantar ke Filsafat Sains, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 1992), 15
27
Burhanudin Salam, 2008. Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, ), 102
28
Ibid, 103
29
H.A.Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 106
pertimbangan itu dikatakan “benar” jika telah mencapai hasil yang berguna. Sebaliknya,
pertimbangan itu “salah” jika dengannya dihasilkan hal yang merugikan. 30 Dengan kata lain,
bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta yang telah diakui kebenarannya dan
tergantung kepada aspek manfaat tidaknya bagi kehidupan manusia.
Sedangkan kebenaran yang dibawa oleh wahyu diyakini bersifat absolute dan mutlak,
sedang kebenaran yang diperoleh melalui akal bersifat relative, mungkin benar dan mungkin
salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada
sesuatu di dalam nalar yang salah. Demikian pula apa yang diyakini karena pengamatan
belum tentu benar karena penglihatan mungkin saja mengalami penyimpangan. Karena itu,
kebenaran mutlak hanya milik Tuhan.31 Dalam dunia metafisis dan realitas mutlak yang
trasendental, bahwa parameter kebenaran ilmu itu adalah teks wahyu (al-Qur’an dan al-
Hadith) yang maknanya diketahui secara pasti menurut standar ijma’ dan logika.32
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang cara mendapatkanya dilakukan dengan
langkah-langkah tertentu. Langkah-langkah tertentu tersebut dinamakan logico hypotetico
verifikasi. Logico hypotetico verifikasi dimulai dengan mengajukan suatu permasalahan dan
untuk menjawab permasalahan tersebut disusunlah suatu kerangka teori yang bermuara
kepada jawaban sementara atas permasalahan tersebut yang dinamakan hipotesis. Hipotesis
yang telah dirumuskan belum dapat diterima sebagai sebuah kebenaran jika belum dilakukan
pengujian. Pengujian dilakukan untuk menerima atau menolak hipotesis tersebut.
Hasil pengujian hipotesis dapat disimpulkan sebagai sebuah kebenaran atau
sebaliknya. Masalah yang diajukan dalam keilmuan merupakan bentuk kesenjangan antara
kondisi yang ideal (das sollen), sesuatu yang diinginkan menurut teori, prinsip atau hukum
dengan kondisi yang terjadi (das sein) atau kondisi faktual. Teori, prinsip atau hukum
tersebut merupakan hasil berpikir menggunakan rasio, sedangkan fakta yang terkumpul
disimpulkan dengan berpikir secara empiris.
Kerangka teori disusun dengan berpikir secara rasio atau menggunakan berbagai hasil
pemikiran para ahli yang tertuang dalam bentuk teori, prinsip atau hukum. Penyusunan
kerangka teori bermuara kepada perumusan hipotesis yang merupakan jawaban teoritis atas
30
A. Susanto, Filsafat Ilmu “Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis”,
(Jakarta: PT. bumi Aksara), 13
31
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Pengantar Filsafat (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011),
89
32
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Dimensi Ontologi, dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 295
permasalahan yang tengah dikaji. Hipotesis dirumuskan dalam bentuk hipotesis nol dan
hipotesis alternatif. Hipotesis nol disebut sebagai hipotesis nihil atau Ho sedangkan hipotesis
alternatif disebut juga sebagai hipotesis kerja, hipotesis riset atau H1.
Penyusunan kerangka teori dan perumusan hipotesis, dengan demikian merupakan
cara berpikir menggunakan rasio. Pengujian hipotesis dilakukan dengan mengumpulkan data
atau fakta yang disusun, disajikan dan dianalisis untuk menerima atau menolak hipotesis.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan mengumpulkan fakta yang berhubungan dengan
permasalahan yang tengah dikaji. Pengumpulan fakta dapat dilakukan dengan teknik
observasi, komunikasi atau bibliografi. Fakta yang terkumpul selanjutnya diklasifikasikan,
disajikan dan dianalisis untuk menghasilkan suatu kesimpulan.
Dalam pengujian hipotesis harus terjadi penolakan terhadap hipotesis nol dan
sebaliknya hipotesis alternatif harus diterima. Menguji hipotesis nol untuk ditolak atau
menerima hipotesis alternatif dilakukan dengan mengumpulkan fakta yang relevan sehingga
terjadi proses induksi yakni dengan menarik kesimpulan secara empiris. Penerimaan terhadap
hipotesis nol mencerminkan adanya kekeliruan dalam proses pengujian atau adanya
pengambilan kesimpulan yang keliru dalam merumuskan hipotesis.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap hipotesis yang
telah dirumuskan dan diuji, sehingga bermuara kepada pernyataan diterima atau ditolak.
Hipotesis ditolak jika pengujian hipotesis tidak didukung fakta, sebaliknya hipotesis diterima
jika hipotesis tersebut didukung oleh fakta. Hipotesis yang didukung oleh fakta disimpulkan
sebagai kebenaran, sedangkan yang tidak didukung oleh fakta tidak dapat disimpulkan
sebagai kebenaran. Hipotesis yang diterima dianggap menjadi bagian pengetahuan ilmiah
yang berbentuk teori, prinsip atau hukum.
Teori menjelaskan mengapa gejala dapat terjadi, prinsip merupakan pernyataan yang
berlaku umum bagi sekelompok gejala, sedangkan hukum menjelaskan apa yang terjadi
dalam hubungan sebab akibat. Pengetahuan ilmiah yang berbentuk teori, prinsip atau hukum
tersebut disusun berdasarkan rasio dan empiris atau menggunakan pendekatan deduktif dan
induktif.
Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah disusun menurut metoda ilmiah yang dilakukan
dengan langkah-langkah yang disiplin sehingga disebut disiplin ilmu dan mempunyai
perkembangan yang lebih cepat dibanding dengan pengetahuan lainnya. Pengetahuan yang
berasal dari hipotesis yang teruji secara formal menghasilkan pengetahuan ilmiah yang baru.
Pengetahuan ilmiah yang baru tersebut selanjutnya akan menghasilkan hipotesis baru lagi,
sehingga pengetahuan ilmiah terus berakumulasi membentuk piramida terbalik. Hal inilah
yang melahirkan berbagai ragam ilmu pengetahuan yang terdiri dari ilmu pengetahuan alam
(Natural Sciences) dan ilmu pengetahuan sosial (Social Sciences).
Ilmu pengetahuan harus rasional, artinya pengetahuan yang diperoleh harus konsisten
dengan pengetahuan sebelumnya. Perumusan hipotesis harus dilakukan secara rasional dan
sesuai dengan premis-premis yang berlaku dalam ilmu pengetahuan sebelumnya. Sifat
rasional diperoleh dengan pendekatan berpikir deduktif. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak
absolut, artinya kebenaran tersebut diterima selama tidak ada fakta yang menolak
kebenarannya. Pengetahuan ilmiah harus teruji atau sesuai dengan fakta empiris.
Pengetahuan ilmiah memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta
dengan pengetahuan yang tidak sesuai dengan fakta. Sifat teruji diperoleh dengan berpikir
induktif. Sifat rasional dan teruji di atas merupakan kelebihan sekaligus kelemahan ilmu
pengetahuan. Dikatakan sebagai kelebihan karena kedua sifat tersebut menjadikan ilmu
pengetahuan dapat memberikan penjelasan secara deduktif, probabilistik, teleologis maupun
secara genetik. Penjelasan deduktif menjelaskan gejala dengan menarik kesimpulan secara
logis dari premis yang ditetapkan sebelumnya, penjelasan probabilistik menjelaskan secara
induktif dari sejumlah kasus yang ditemukan dan bersifat kemungkinan, penjelasan teleologis
memberikan penjelasan yang bersifat fungsional dengan meletakkan unsur-unsur dalam
kaitan sistem, sedangkan penjelasan genetik menjelaskan tentang gejala yang muncul dengan
mempergunakan faktor yang timbul sebelumnya.
Ilmu pengetahuan mempunyai kelemahan, antara lain pada kebenarannya yang
bersifat pragmatis. Ilmu pengetahuan dipandang benar dan dianggap sebagai pengetahuan
yang sahih sepanjang tidak ditolak kebenarannya dan bermanfaat bagi manusia. Kebenaran
ilmu tidak ditentukan oleh kesahihan teori sepanjang jaman, namun terletak pada
kemampuan memberikan jawaban dalam peradaban tertentu.
Selain itu, ilmu pengetahuan juga tidak selalu memberikan jawaban yang memuaskan
terhadap masalah-masalah manusia. Ilmu pengetahuan alam misalnya, hanya mempelajari
fenomena alam dan tidak memberikan jawaban apakah alam tersebut dijadikan ataukah jadi
dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan sosial juga mempunyai keterbatasan yang sama. Ilmu
psikologi misalnya, hanya menjelaskan tentang gejala kejiwaan, namun tidak mampu
menjawab hakekat jiwa manusia.33

33
Mulyo Wiharto, Kebenaran Ilmu, Filsafat Dan Agama, Vol 2 No 3 September 2005, (Forum Ilmiah
Indonusa), 99
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Dimensi Ontologi, dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.
Bachtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. 2010. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
H Nasoetion, A. 1992. Pengantar ke Filsafat Sains. Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa.
Hamami, Abbas. dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Husaini, Adian, et. al. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani.
Manzhur, Ibnu. 1992. Lisan al-Arab. Beirut: Daar Shaadir. Jilid 10
O. Kattsoff, Louis. 1996. Element of Phylosophy, alih bahasa Soejono Soemargono dengan judul
“Pengantar Filsafat”. Yogyakarta: Tiara Wacana.
S.Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Salam, Burhanudin. 2008. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia : Suatu Pengantar. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Susanto, A. Filsafat Ilmu “Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis”. Jakarta: PT. bumi Aksara
Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, cet. VII. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press.
Waarson Munawir, Ahmad. 1994. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif.
Wiharto, Mulyo. 2005. Kebenaran Ilmu, Filsafat Dan Agama. Vol 2 No 3. Forum Ilmiah
Indonusa.
Zuhairini,dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

You might also like