1) Unggul Purnomo Aji & Yogi Sulaeman

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

ISLAM, NALAR KRITIS DAN INTERGRASI KEILMUAN:

SEBUAH KENISCAYAAN MENGHADAPI TANTANGAN


ERA POST-MODERN

Oleh:
Unggul Purnomo Aji (222510077)
Yogi Sulaeman (222510072)

Dosen Pengampu:
Dr. Nurbaiti, M.A.

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN


JAKARTA

1
ISLAM, NALAR KRITIS DAN INTERGRASI KEILMUAN: SEBUAH KENISCAYAAN
MENGHADAPI TANTANGAN ERA POST-MODERN

ISLAM, CRITICAL REASONING AND KNOWLEDGE INTEGRATION: AN


INEVITABILITY TO DEAL WITH CHALLENGE OF POST-MODERN ERA

Unggul Purnomo Aji1, Yogi Sulaeman2


1 Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir-Institut PTIQ Jakarta

alibadri595@gmail.com
2 Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir-Institut PTIQ Jakarta

yogi@mpuin-jkt.sch.id

Abstract
Currently, Muslims are entering a period where there are so many challenges and
problems that must be overcome. This requires religious studies to continue to develop
harmoniously and dynamically in order to maintain the spirit of Islam which is suitable
everytime, everywhere and in every problem. However, the direction of progressiveness is
seem does not yet exist, which is suspected by the reasoning that the majority of Muslims
have regressive and conservative tendencies. This is exacerbated by the narrowness of
Islamic studies which seem to only be issues of faith, fiqh and Sufism. This research using
the literature analysis method aims to open a new discourse about where the current
position of Muslims is and its challenges, what reasoning is appropriate to the current era
and the urgency of integration between Islam and today's modern knowledge. The results
of the study show that currently Muslims are in a post-modern era which demands
continuity between science and technology and religion in the direction of presenting
sustainable cohesiveness and inclusiveness in society in facing the challenges of an
increasingly complex and open era. Facing that, Muslims need to provide appropriate
reasoning tools in thinking in order to produce coherent, correspondent and solutive
knowledge for the development of Islamic civilization itself. Of course, development itself
cannot be obtained unless Islam opens itself up and integrates with modern knowledge as
happened in the previous golden generation of Islam.
Keywords: Islam, Post-modernism, Reasoning, Knowledge Integration.

Abstrak
Saat ini, umat Islam memasuki masa dimana begitu banyak tantangan dan
permasalahan yang harus diatasi. Hal ini mewajibkan kajian agama untuk terus
berkembang secara harmonis dan dinamis guna mempertahankan ruh Islam yang salih
fi kulli zaman, makan, dan masalah. Namun arah progresifitas itu dirasa masih belum
hadir yang ditengarai oleh penalaran yang mayoritas muslimin yang bertendensi
regresif dan konservatif. Hal ini diperparah dengan sempitnya kajian Islam yang seakan
melulu hanya permaslahan akidah, fikih dan tasawuf. Penelitian ini dengan metode

2
analisis kepustakaan bertujuan untuk membuka wacana baru tentang dimana posisi
umat muslim saat ini berada beserta tantangannya, penalaran apa yang sesuai dengan
era saat ini serta urgensi adanya integrasi antara Islam dengan pengetahuan modern
saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini umat muslim berada pada masa
post-modern yang mana hal ini menuntut akan hadirnya sebuah kesinambungan antara
iptek dan agama dalam arah menghadirkan kohesivitas dan inklusifitas yang sustainable
dalam masyarakat dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks dan
terbuka. Menghadapi itu, umat Islam perlu untuk menyediakan perangkat penalaran
yang sesuai dalam berpikir untuk dapat menelurkan ilmu yang koheren, koresponden
dan solutif bagi perkembangan peradaban Islam itu sendiri. Tentunya, perkembangan
itu sendiri tidak bisa didapat kecuali Islam membuka dirinya dan melakukan integrasi
dengan pengetahuan modern seperti yang terjadi pada generasi emas Islam
sebelumnya.
Kata kunci: Islam, Post-modernisme, Penalaran, Integrasi Keilmuan.

3
Pendahuluan
Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan yang berbeda
yang mana semakin modern suatu peradaban maka permasalahan yang muncul akan
semakin kompleks yang menuntut adanya suatu formulasi solusi yang mampu
menjawab komplektisitas tersebut. Terkait dengan hal ini, Islam adalah agama yang
shalih fi kulli zaman, fi kulli makan dan fi kulli masalah yang akan selalu relevan pada
setiap dinamika peradaban. Hal ini meniscayakan bahwa Islam akan selalu beradaptasi
dan mengambil posisi yang tepat pada setiap prekursor perkembangan peradaban.
Namun dalam dinamika yang terjadi, dewasa ini dijumpai bahwa Islam seakan
terjebak dalam sirkular flow atau stagnasi dan seakan kalah dari peradaban barat
meskipun pada hakikatnya perkembangan peradaban barat itu sendiri tidak akan
pernah bisa terlepas dari kontribusi Islam pada Era Andalusia dimana modal utama
peradaban barat itu ditransmisikan.
Hal ini memacu kita untuk menelaah kembali pada pencarian “apa yang salah
dan yang perlu diimprovisasi” dalam perkembangan peradaban Islam itu sendiri. Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, banyak cendekiawan muslim memberikan ide-ide
pembaharuan dalam Islam dalam upaya membangunkan kembali kejayaan Islam yang
telah lama tertidur. Namun dari sekian banyak upaya pembaharuan tersebut prosentase
keberhasilan masih sangat tidak signifikan. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan
“apa hal mendasar yang perlu diurai terlebih dahulu yang benar-benar sangat urgent
untuk disadari?”. Dalam hemat ini, beberapa Akademisi Islam mengawali upaya
membangun peradaban itu dengan melihat dari sisi penalaran terlebih dahulu yang
merupakan suatu pilar pondasi dirajutnya sebuah kemajuan.
Penalaran pemikiran merupakan suatu kerangka dimana esensi pergerakan
peradaban itu dimulai. Seperti mesin mobil yang menentukan performa, efisiensi dan
medan yang cocok bagi mobil tersebut, kerangka penalaran suatu golongan merupakan
kendaraan yang menentukan arah gerak, kecepatan, dan kemampuan menjelajah
medan peradaban yang akan dilintasinya. Namun dari hasil pemetaan penelitian
penalaran yang ada nampaknya kerangka penalaran yang digunakan oleh mayoritas
muslimin menunjukkan hal-hal yang memiliki tendensi mengubur cita cita
progresifitas itu sendiri dan cenderung berputar pada preposisi yang sama dan tidak
berkembang.
Hal ini menuntut dan mendorong kaum muslimin untuk mampu
memperbaharui atau dalam arti mampu menggunakan penalaran yang tepat dan sesuai
dengan peradaban dimana ia berada.
Era postmodern saat ini dimana segala sesuatunya bersifat integral dan
berkesinambungan satu sama lain mendorong perkawinan keilmuan yang sifatnya
inter/multidisipliner. Islam yang sebelumnya sangat terikat dengan perkembangan
keilmuan yang bersifat insider dirasa sudah tidak memiliki ketercukupan untuk
memenjawab segala bentuk komplektisitas permasalahan yang muncul saat ini. Hal ini
ditengarai oleh keterbatasan jawaban teoretis yang mana hal ini mendorong untuk

4
mewujudkan adanya sebuah perkawinan silang lintas disiplin ilmu dalam kajian Islam
dalam tujuan memperluas ranah kajian yang mampu mengakomodir pertanyaan
teoretis yang muncul akibat perkembangan dari peradaban itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan perkawinan lintas disiplin ilmu yang ada, para
cendekiawan muslim mulai berupaya membedah kisah-kisah yang ada dalam Al-Quran
dengan berbagai pendekatan guna memunculkan ditemukannya penemuan baru yang
relevan dan bermanfaat yang mengokohkan bahwa Islam adalah agama yang shalih fi
kulli zaman, makan, masalah.
Upaya-upaya ini ditujukan selain untuk mengakomodasi pertanyaan yang timbul
dari berkembangnya peradaban juga ditujukan untuk menggeser penalaran paradigma
berpikir kaum muslim dalam upaya membangunkan kembali kejayaaan Islam yang
telah lama pudar dari peredaran.
Penelitian ini ditujukan untuk meneropong lebih jauh mengenai tuntutan-
tuntutan perubahan peradaban yang merupakan manifestasi konstan dari kemajuan
peradaban manusia serta melihat lebih jauh sudut pandang penalaran umat islam dan
urgensi pengadopsian penggunaan pendekatan yang interdisipliner dalam kajian
keislaman.

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur.
Metode ini adalah meliputi serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka dan dikelola secara sistematis dan dialektis yang ditujukan
dalam pencarian dasar pijakan untuk membangun landasan teoretis, kerangka berpikir
dan hipotesis sehingga dalam pengelompokan, pengasosiasian, pengorganisasian
peneliti memiliki pendalaman terhadap permasalahan yang akan diteliti1

Hasil dan Pembahasan


A. Islam dan Post-modernisme
Islam dengan sifatnya yang rahmatan lil alamin dan salih fi kulli zaman, makan,
masalah dituntut mampu dalam merefleksikan, mengejahwantahkan dan menjawab
semua permasalahan dalam dinamika kehidupan yang mana tuntutan untuk
merekonstruksi paradigmanya yang selama ini hanya berorientasi ke dalam yaitu
berfokus dan terpusat hanya pada permasalahan internal agama khususnya dalam
dominasi hukum syariat haruslah mulai dikembangkan keluar dalam melakukan
berbagai inovasi yang relevan terhadap kehidupan dengan tidak meninggalkan syariat
haruslah dilakukan.2

1 Roesady Ruslan. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014), h. 31.
2 Yuyun Rohmawati, Islam dan Neo-Modernisme/Post-Modernisme: Perspektif Nurcholis Madjid dan

Abdurrahman Wahid. Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol 20 No. 1 (2021), h. 60-71.

5
Jalan membuka diri ini adalah merupakan suatu keharusan dalam upaya
mematahkan anggapan Barat yang selalu memojokkan Islam dengan agama yang
irrasional, tidak demokratis, mistis yang dengan kata lain Islam seakan menghegemoni
dan mengkolonialisasi wacana kepada para pengikutnya serta dalam upaya
memperkaya khazanah keislaman itu sendiri yang bermanfaat bagi pengikutnya.3
Untuk itu, penting untuk melihat secara epistemis dimanakah saat ini manusia
berada.
Saat ini, mayoritas akademisi sepakat bahwa manusia hidup pada era post-
modernisme. Era ini adalah era yang berbeda dengan era sebelumnya seperti era
tradisionalisme dan era modernisme. Era tradisional ditandai oleh penalaran mistis
yang bersifat doktrinal yang rentan untuk tereksploitasi oleh kekuasaan yang kemudian
digantikan oleh era modern (post-reinassance) yang ditandai dengan penalaran rasional
yang bertendensi materialis namun berujung pada terjadinya eksploitasi jenis baru
khususnya akibat orientasi materialis dalam sistim ekonomi. Post-modernisme hadir
untuk memberikan kritik dan pembenahan atas keduanya sehingga dimungkinkan
terjadinya kesinambungan yang inklusif antara iptek dan agama yang menimbukan
sebuah tataran kehidupan yang inklusif dan sustainable.4
Menilik sejarah bahwa Islam pernah berjaya di Andalusia dengan melakukan
pendekatan kedalam (insider) dan keluar (outsider) maka sangat memungkinkan
bahwa dengan adanya hembusan angin segar post-modernisme ini kaum muslimin
diharapkan membuka diri dalam upaya mendorong Islam merebut puncak kulminasi
peradabannya lagi.5
Senada dengan itu, Nurcholis Madjid mengupayakan hal yang serupa. Dalam
konteks beragama ia memunculkan sebuah prinsip bahwa dalam beragama
pengetahuan agama yang salaf yang diimbangi dengan mendialektikannya dengan
pengetahuan modern adalah suatu keharusan dalam tujuan untuk mampu
menempatkan agama yang secara fungsional mampu menjawab tantangan zaman
secara koheren6. Hal ini juga dilakukan Gus Dur pada era 1980-an yang merumuskan
pemikiran keislaman yang integral dan komperhensif yang dalam tujuan mengupdate
Ahlussunnah wal Jamaah untuk mampu bertahan dalam eksistensinya terhadap
tantangan perkembangan zaman yang semakin kompleks dan terbuka. Hal ini ia
kiaskan dalam tulisannya yang mengambil contoh penyerapan kata pesantren, tradisi
slametan, arsitektur masjid dengan 3 lapis atap, dan memperingati hari kematian yang
saat ini sudah masuk dalam kamus Islam meskipun sebetulnya ia diambil dari

3 Rizki M Fahmi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Pendidikan Islam Neo-Modernis (Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018), h. 2.
4 Sutikno, Islam di antara Modernisme dan Post-Modernisme, Jurnal Studi Agama-agama vol 3 No. 1

(2013), h. 107-129.
5 Haidar Baqir, Jejak-Jejak Sains Islam Dalam Sains Modern, Jurnal Al-Qur’an, Jakarta: edisi Juli-

September (1989), h, 34.


6 Hamidah, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid – K.H Abdurrahman Wahid: Memahami

Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam, Jurnal MIQOT vol 37 No. 1 (2011), h. 79-80.

6
kebudayaan lokal pada awal masuknya Islam ke Nusantara yang memiliki arti bahwa
kemajuan Islam sendiri harus diawali oleh keterbukaannya pada hubungan realitasnya
saat ini.7
Urgensi keterbukaan yang bersandar pada nilai korelasi, signifikansi dan
koherensi yang pada aktualisasinya bertujuan untuk mensintesiskan agama dan
perkembangan iptek guna meningkatkan standard of living baik secara materil maupun
immateril adalah merupakan sebuah refleksi bagaimana peradaban itu dirajut yang
didasari oleh penalaran yang mumpuni. Penalaran ini dalam posisinya berada sebagai
fondasi yang menopang bagaimana sebuah harmonisasi dalam dinamika pembangunan
peradaban itu dibangun. Tanpa adanya penalaran yang sesuai, sudah dipastikan
kemunduran akan terjadi bagi suatu bangsa. Masyarakat Eropa ketika sebelum
reinassance dengan penalaran mistiknya terbukti menjadi bulan bulanan penguasa
Romawi juncto Gereja selama berabad-abad. Hal ini juga terbukti ketika era
kolonialisasi mulai menyebar hingga saat ini yang mana negara-negara yang terjajah
mayoritas memiliki ciri khas corak penalaran yang tak mampu mempertahankan
eksistensi masyarakatnya dari tantangan dan ancaman yang ada, hal ini secara jelas
mengindikasikan bahwa ada relasi dan pengaruh yang kuat antara corak penalaran
terhadap kemajuan peradaban pada suatu entitas masyarakat.

B. Islam dan Epistemologi Penalaran


Penalaran yang berkembang yang melekat pada masyarakat merupakan bahan
bakar pendorong bagi berkembangnya sebuah peradaban. Dalam kaitannya dengan
dunia Islam yang mana bangsa arab merupakan salah satu rujukan bagi Peradaban
Timur yang dalam konotasi saat ini mengalami keterpurukan dibanding Barat, secara
tipologi ditemukan adanya unsur-unsur gerak motivasi sosial yang melatarbelakangi
suatu penalaran muncul dan mendominasi corak perubahan yakni semangat pada sikap
modernisasi, tradisionalis dan ekletis (percampuran dari aspek yang terbaik dari
keduanya). 8 Al-Jabiri melihat gagalnya kebangkitan bangsa Arab juncto Islam tidak
semerta-merta terjadi atas keterjebakan pada perseteruan ketiga tipologi tadi, lebih
dalam, hal ini terjadi lantaran sikap bangsa Arab yang hanya menduplikasi paradigma-
paradigma yang ada tanpa menyesuaikan pada spirit yang terkandung di dalamnya.9
Hal ini kemudian menjadi latar belakangnya menggali dan mencoba memotret lebih
dalam secara kualitatif kan kuantitatif guna menemukan sesuatu yang lebih bersifat
mengakar dan fundamental pada polemik penalaran bangsa Arab kontemporer.
Al-Jabiri menggunakan rujukan turath Arab-Islam era kodifikasi sebagai
referensi utama karena pada masa ini perkembangan penalaran sejak Arab Jahiliyah

7 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M,
1989), h. 26. Dan Yuyun Rohmawati, Islam dan Neo-Modernisme/Post-Modernisme (Perspektif
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid), Jurnal Ilmu Ushuluddin vol 20 No.1 (2021), h. 60-71.
8 Muhammad Abid al-Jabiri, Ishkaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’asir (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-

Arabiyah, 2010), cet VI, h. 15-17.


9 Muhammad Abid al-Jabiri, Ishkaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’asir, h. 19.

7
hingga era Dinasti Umayyah dan refleksi setelahnya yang tergambar secara
komperhensif dan rapi dalam menyediakan suatu kerangka referensial yang otentik dan
mendukung dalam perumusan kesimpulan.10 Melalui kajian mendalam ini, ia berhasil
memetakan corak nalar Arab-Islam secara lebih mendalam yang terbagi dalam tiga
tipologi yakni: bayani, irfani dan burhani.11
1) Sistem Pengetahuan Bayani dan Karakteristiknya
Al-Jabiri mengemukakan sebagai hipotesis bahwa peradaban Arab adalah
peradaban fikih, Yunani adalah filsafat dan Eropa adalah ilmu dan teknologi.
Dominasi poros berpikir model fiqih ini sangat kuat dalam memproduksi
corak argumentasi yang dipelopori oleh As-syafi’i yang merumuskan qiyas
sebagai epistemologi bayani.12 Epistemologi ini menekankan kepada aspek
bahasa guna menentukan batasan dan memberikan ketepatan dalam
analisisnya yang diramu menggunakan formulasi ushul fiqh yang berkaitan
erat pada kiasan-kiasan pada pembahasan lafadz dan makna serta ushul dan
furu’nya.13
Secara singkat, konstruksi nalar bayani adalah sebuah penalaran yang
terbatas pada keterpakuan dasar-dasar yang telah ditetapkan sebagai
landasan baku yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas.14
2) Sistem Pengetahuan Irfani dan Karakteristiknya
Pengetahuan irfani dideskripsikan oleh al-Jabari sebagai pengetahuan
langsung yang tanpa perantara (mubasyarah) yang hanya bisa dicapai melalui
kasyf yaitu terbukanya semua hijab melalui jalan riyadhah dan mujahadah.15
Pengtahuan irfani ini secara akademik memiliki kemiripan dengan al-ilm al-
huduri (direct experience) oleh tradisi isyraqi di timur atau prereflective
conciousness atau prelogical kmowledge dalam filsafat eksistensialis barat.16
Penalaran ini memiliki konstruksi antara dhahir dan batin di dalamnya.
Seperti dalam proses penafsiran, rerata pengetahuan ini memberikan tafsir
yang tidak terikat dengan kaidah baik kaidah bahasa maupun kaidah yang
lain dan hal ini menghasilkan produk seperti tafsir batiniyah dan tafsir sufi.17
3) Sistem Pengetahuan Burhani dan Karakteristiknya

10 Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi. (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah.
2009), Cet: X, h. 62.
11 Muhammadun, Kritik Nalar al-Jabiri; Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic Studies

Integrasi-Interkoneksi, Islamic Education Journal vol 1 No. 2 (2019), h. 133-164.


12 Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, h. 96-102
13 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyag Naqdiyah li al-Nuzum al-

Ma’rifah fi al-Saqofah al-Arabiyah. (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiya, 1990), h. 13-37.
14 Muhammadun, Kritik Nalar al-Jabiri; Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic Studies

Integrasi-Interkoneksi, h. 137-149.
15 Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, h. 374.
16 Muhammad Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integrasi-Interkoneksi

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 379-380.


17 Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, h. 315.

8
Al-Jabiri menggunakan istilah ini yang diambil dari bahasa Arab yang
secara terminologis memberikan makna argumentasi jelas dan terpilih. Ia
mendekatkan maknanya secara epistemis dengan sebuah argumentasi yang
disusun atas preposisi-preposisi yang telah diolah secara metodis melalui
penyaringan logika yang ketat. 18 Penalaran ini memang erat kaitannya
dengan ilmu filsafat khususnya pada silogisme aristotelian dan karya karya
yang semisal dengannya seperti al-Farabi.19
Bangunan konstruksi penalaran ini terbangun atas dialektika makna
dalam kata serta silogisme demonstratif yang mana ujungnya adalah
seseorang mampu memproduksi argumentasi yang koheren atas preposisi-
preposisi yang dibangun dan memiliki tingkat korespondensi, validitas serta
reliabilitas yang tinggi dalam korespondensi fakta.
Adapun kaitannya dalam penalaran pada sebuah wacana yang memiliki
keserupaan khususnya yang berada pada ruang lingkup penafsiran yang ditujukan
kepada teks, terkhusus pada penafsiran ayat-ayat suci Al-Quran, Abdullah Mustaqiem
mengelaborasinya menjadi tiga pembagian:20
1) Tafsir era formatif dengan nalar mistis
Era ini dimulai sejak zaman Nabi S.A.W hingga abad kedua. Hal ini
disimbolkan dengan penalaran deduktif yang lebih menonjol dari pada
penalaran induktif yang mengandung artian bahwa Alqur’an berposisi
sebagai subjek dan realita sebagai objek. Validasi penafsiran yang
mengemuka pada zaman ini adalah seberapa shahih sanad dan matan
riwayat, kesesuaian dengan kaidah kebahasaan. Dalam masa ini metode bil
ma’tsur sangat mengemuka, sebaliknya, metode bir ra’yi cenderung
bertendensi untuk dicurigai. Ciri-ciri yang menonjol pada masa ini adalah
sumber penafsiran berasal dari Alqur’an, Hadits, qira’at aqwal, ijtihad
sahabat, tabi’in, attabi’ littabi’in, cerita israiliyat, syair-syair kuno.
Karakteristik generasi ini masih minim budaya kritisisme, bersifat global,
pragmatis karena tujuan penafsiran pada masa ini sekedar memahami makna
belum pada tarag maghza.
2) Tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis.
Era ini terjadi pada abad pertengahan yang disimbolkan dengan
mendominasinya akal (ijtihad), filsafat, tasawuf, dan berbagai keilmuan yang
dikuasai mufassir. Nalar dediktif-tahlili dengan analisa kebahasaan yang
sering mencocokkan dengan suatu disiplin ilmu atau madzab dengan metode
bir ra’yi menjadi simbol pada generasi ini. Validitas didasarkan pada
koherensi pada madzhab, ilmu yang ditekuni mufassir bahkan pada

18 Muhammadun, Kritik Nalar al-Jabiri; Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic Studies
Integrasi-Interkoneksi, h. 155-161.
19 Muhammad Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 404-

408.
20 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) cet. 1, h. 34-111.

9
kepentingan penguasa. Karakteristik yang memiliki tendensi ideologis,
sektarian, atomistic, repetitive, adanya pemaksaan gagasan bahkan yang
non-Qur’ani, klaim sepihak dan subjektifitas merupakan ciri era ini. Di era
ini, mufassir berposisi sebagai subjek dan teks sebagai objek, bertolak
belakang dari generasi pertama.
3) Tafsir era reformatif dengan nalar kritis.
Pada era reformatif ini sumber penafsiran didasarkan pada Alqur’an, realita,
akal yang berdialektika secara sirkular, dinamis dan fungsional yang mana
memposisikan teks dan mufassir sebagai objek maupun subjek sekaligus.
Metode yang digunakanpun bermacam-macam dan bersifat interdisipliner
mulai dari tematik, hermeneutik, linguistik dengan pendekatan sosiologis,
psikologis antropoligis dan sebagainya. Validitas penafsiran pada era ini
didasari atas koherensi pikiran, korespondensi fakta dan pragmatisme yang
solutif. Karakteristiknya bersifat kritis, transformatif dan non-ideologis yang
mana ditujukan dalam upaya transformasi dan perubahan yang tidak hanya
fokus pada pengungkapan makna juga terlebih pada signifikansi makna
(maghza).
Senada dengan al-Jabari dan Abdullah Mustaqiem, Abdullah Seed juga
memberikan sebuah pandangan terkait penalaran yang perlu dijadikan bahan
pertimbangan serius khususnya yang berkaitan dengan teks dalam upaya pencarian
formulasi inovasi yang koheren dan memberikan sebuah gambaran yang solutif dalam
perkembangan dinamika kehidupan yang sesuai.21
Hal ini ia dasarkan atas fenomena penafsiran baik yang berwujud hukum
maupun pandangan dalam buku-buku islami yang cenderung kaku, rigid dan memiliki
makna-makna yang tidak tak memeliki kebersinggungan dengan realita. Ia
memberikan gambaran bahwa seharusnya penafsiran itu haruslah melihat pada
esensinya yaitu pandangan etis-legal, nilai, konteks sosio-historisnya serta
kesinambungan interpretasi dan dialektikanya bukan pada legalistik-literalistik serta
gramatical-theological simbollicnya.22 Untuk itu, ia membuat sebuah tipologi penalaran
yang secara umum menjadi 1) tekstualis 2) semi-kontekstualis, 3) kontekstualis.
Secara garis besar, adanya penalaran ini adalah merupakan suatu perangkat dan
sarana dalam memproduksi argumentasi-argumentasi yang membanguan pada sebuah
disiplin keilmuan. Keilmuan itu menjadi bagian penting dalam kehidupan karena suatu
bangsa yang memiliki pengetahuan yang “tinggi” akan memiliki level kehidupan yang
berbeda dengan bangsa yang memiliki kualitas dan kuantitas pengetahuan yang rendah.
Dalam upaya mengukur akurasi sebuah keilmuan maka para pemikir membuat trilogi

21 Sun Choirol Ummah, Metode Tafsir Kontemporer Abdullah Saeed, Jurnal Humanika, vol 18 no. 2
(2018), h. 126-142.
22 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge,

2006), h. 126-152.

10
dalam ilmu pengetahuan 23 yakni: 1) ontologi berfokus pada hakikat suatu ilmu
pengetahuan yaitu merupakan penjelasan dari suatu konep dan keterhubungannya
paada ilmu tersebut. 24 2) epistemologi yakni sebuah kajian yang menekankan pada
metodologi dalam pengetahuan tersebut yang memberikan suatu arah pembahasan
pada sumber yang dipakai, struktur, cara pengolahan dan pengembangannya serta
benar tidaknya suatu pengetahuan tersebut. 25 3) aksiologi yakni keterfokusan
pengetahuan pada manfaat dan nilai guna dari pengetahuan tersebut yang intinya
memberikan gambaran tentang kelayakan sebuah ilmu pengetahuan itu
dikembangkan.26
Mengukur dari munculnya berbagai macam ilmu yang dilahirkan oleh adanya
berbagai macam model penalaran, hal tersebut secara metodologis tak lepas dari
kesesuaian dengan zamannya sendiri. Untuk itu, terlepas dari penggunaan
penalarannya, semua output yang ada haruslah diuji kebenarannya dengan sebuah
standard pada teori kebenaran27 yaitu dengan menggunakan:
1) Teori koherensi memiliki arti bahwa penafsiran haruslah memiliki
kesesuaian setiap proposisi yang dibangun haruslah konsisten (linear)
2) Teori korespondensi mengatakan sebuah bahwa penafsiran dikatakan benar
jika penafsiran tersebut cocok dan sesuai dengan fakta ilmiah yang empiris
yang sudah mapan. Teori ini umumnya digunakan pada tafsir ilmi.
3) Teori pragmatisme membenarkan penafsiran jika ia secara praktis
memberikan solusi terhadap problem sosial.
Dalam hal ini maka jika ada sebuah argumentasi yang muncul dari sebuah
penalaran jika dalam dewasa ini tidak konsisten dalam setiap preposisi yang
dibangunnya atau jika ia tidak sesuai dengan realita serta tidak memberikan solusi yang
solutif yang memiliki arti lain yakni memiliki makna yang hampa, maka dalam konteks
ini ia tertolak secara metodis dan memiliki kecenderungan untuk menyimpang.

C. Islam dan Intergrasi Keilmuan Kontemporer


Urgensi integrasi keilmuan dalam studi Islam merupakan sebuah keharusan dari
ketidakcukupan teoretis pendekatan teologis terhadap munculnya pluralitas dan
komplektisitas permasalahan yang muncul saat ini.28 Hal ini memacu para akademisi
dalam kajian agarma untuk mencoba mengawinkan studi agama dengan pendekatan-
pendekatan keilmuan kontemporer dalam upaya untuk merangsang munculnya sebuah

23 Dewi Rokhmah, Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, Jurnal Studi
Keislaman vol 7 no 2 (2021), h. 172-186.
24 I Gusti Bagus Rai Utama, Filsafat Ilmu dan Logika Manajemen dan Pariwisata (Yogyakarta:

Deepublish, 2021), h. 7-10.


25 Agus Arwani, Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah), Jurnal Religia vol 15, no 1 (2017), h.

127.
26 Bahrum, Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, Sulasena vol 8 no 2 (2013), h. 35-45.
27 Bob Hale dan Crispin Wright (ed), A Companion to the Phylosophof Language. (Oxford: Blackwell

Publisher, 1999) hlm 309-311.


28 Muhammad Amin Abdullah, Metodologi Study Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 31.

11
disiplin baru sebagai respons terhadap relasi antara agama dan peradaban yang idealnya
harmonis, dinamis dan terus berkembang.
Upaya ini dimulai sejak tahun 1869 yaitu sejak munculnya istilah studi agama
(The Science of Religion). Akan tetapi sebagai sebuah disiplin ilmu, ia dirintis sejak
tahun 1960 atau 70 an. Setahap demi setahap upaya ini memperkuat status
keilmiahannya yang mana hal ini semakin membuka cakrawala dalam kajian Agama.29
Studi Islam ini sendiri merupakan upaya untuk mempelajari Islam secara
komperhensif dan mendalam dan segala bentuk hal-hal yang berkaitan dengan Agama
Islam 30 Tujuannya untuk dapat memadukan agama yang bersifat subjektif dan
doktriner dengan studi akademis yang bersifat ilmiah untuk dapat mentransformasidan
memperkaya khazanah keagamaan dan sekaligus mewujudkan misi bahwa Islam selain
ia Rahmatan lil alamin juga Salih fi kulli zaman, makan, masalah karena pada dasarnya
agama tidak melulu tentang akidah, hukum, dan etika.
Adapun pendekatan pendekatan yang digunakan dalam upaya integrasi
keilmuan ini menurut Conolly31 dalam bukunya Approaches to the Study of Religion,
yang mana pada setiap bagiannya dijelaskan oleh akademisi di bidangnya adalah:
1) Pendekatan Antropologis
Pendekatan ini secara cerdas dituliskan oleh David Gellner menjelaskan
sirkuit pemikiran dari Frazer dan Durkheim, Marx dan Weber melalui
Malinowski dan Boas, Redclife-Brown dan John Middleton ke Geertz dan
Lynn Bennett.
Dalam pendekatan ini, agama dikaji sebagai salah satu dari fenomena
budaya. Adapun fenomena tersebut meliputi: 1) Scripture atau naskah; 2)
sikap dan perilaku penganutnya; 3) Ritus yaitu lembaga dan ibadahnya; 4)
sarana (alat-alat)nya; 5) organisasi keagamaannya. 32 Adapun langkah dan
tahapannya meliputi empat ciri fundamental yaitu: 1) Deskriptif yaitu
penelitian diawali oleh field work pada objek penelitian dan pengambilan
thick description; 2) lokal praktis yaitu penelitian disertai praktik nyata di-
lapangan; 3) keterkaitan antar domain kehidupan yaitu pencarian pada
hubungan-hubungan kehidupan sosial dalam berbagai aspeknya; 4)
komparatif yaitu adanya perbandingan pada temuan yang diteliti.
2) Pendekatan Feminis
Pendekatan feminis oleh Sue Morgan jauh untuk bisa dikatakan sukses.
Hal ini dikarenakan cakupannya yang terbatas pada fokus Anglo-Amerika.
Pemikiran yang didiskusikan menyangkut pemikiran Carol Christ dan Juidith
Plaskow, Mary Daly dan Rosemary Radford Ruether. Sesi ini membahas

29 Ahmad Zarkassi, Metodologi Studi Agama-Agama, Jurnal al-Adyan vol 11 no 1 (2016), h. 1-16.
30 Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 9.
31 Carole Cusack, Book Review: P. Connolly (ed), Approaches to the Study of Religion, Australian

Religion Studies Review, vol 12 no 1 (2000), h.93-95.


32 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1998), h. 15.

12
pengalaman perempuan dan perbedaan kultural namun tidak membahas
post-modernisme atau post-struktural teori serta absen dalam memberikan
referensi penting kepada penulis seperti Helene Cixous, Luce Irigay, Julia
Kristeva dsb.
Pendekatan ini berorientasi untuk menampakkan dan membangun
sebuah wacana keadilan kontemporer berdasar pada dalil dhonny yang
diperkuat dengan meminjam perangkat analisis dari ilmu lainnya khususnya
perspektif gender. 33 Pendekatan ini merupakan suatu upaya dalam
memberikan dorongan pada perspektif hukum yang mana bertujuan untuk
tidak mensubordinasi, mendiskriminasi ataupun memarjinalkan seseorang
atas nama identitas dalam arti luas serta (suku, ras, agama, gender dan
identitas lain yang melekat pada individu) serta memberikan dan mendorong
bagi penyediaan ruang sosial yang layak bagi perempuan dalam partisipasi
publik.34
3) Pendekatan Fenomenologis
Dalam pendekatan ini, Cliver Erricker memberikan gambaran pengaruh
Hegel, Dilthey dan Husserl pada awal studi fenomenologi agama. Dia juga
mengelompokkan akademisi lain ke dalam kelompok ini seperti de la
Saussaye, Soderblom, Otto dan Brede meskipun penyangga bangunan
filosofis mereka kurang memenuhi. Chapter ini cenderung diskriptiff dan
general tapi mampu memberikan point penting tentang open-endedness of
religion-phenomenological studies.
Memahami agama dari pendekatan ini artinya memahami dimensi agama
dari sudut pandang kesejarahan.35 Pendekatan ini membiarkan manifestasi
agama untuk bisa berbicara bagi dirinya sendiri tanpa harus terbatas pada
suatu framework yang membatasi pembicaraan itu seperti pada pendekatan
yang lain. 36 Tujuan dari pendekatan ini adalah mendeskripsikan,
mengintegrasikan dan menyusun tipologi dari semua data yang diperoleh
yang bertujuan mencari hakikat dari sebuah esensi yang diharapkan muncul
dari data-data yang telah dikodifikasi tanpa memberikan justifikasi atas
sebuah komparasi jika memang hal tersebut ada dan dibutuhkan.37
4) Pendekatan Filosofis
Rob Fisher merupakan salah satu intelektual yang memberikan analisa
cukup memuaskan dalam buku ini. Dia memberikan lima preposisi dalam

33 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 135-136.
34 Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Dian Rakyat, 2010), hlm.
200-202. Dan Ismail, Pendekatan Feminis dalam Studi Islam Kontemporer, Jurnal Hawa vol 1 edisi 2
(2019), h. 217-238.
35 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 41.
36 Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Obyek Kajian (Yogyakarta: Kurnia Kalam

Semesta, 1998), h. 20.


37 Adeng Muchta Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, h. 43.

13
relasi filsafat dan religi: 1) filsafat sebagai agama; 2) filsafat sebagai buatan
dari agama; 3) filsafat memberikan ruang untuk kepercayaan; 4) filsafat
sebagai tool beragama; 5) filsafat sebagai sebuah studi penalaran yang
digunakan dalam pemikiran agama. Ia mendiskusikan kontribusi logika,
metafisik dan etik kepada agama.
Namun begitu, Pendekatan filosofis dalam studi agama ditujukan dalam
upaya untuk mencari penjelasan dari konsep-konsep ajaran agama dengan
cara memeriksa dan menemukan system nalar yang dapat dipahami manusia.
Philosophy of religion mencakup keyakinan alternatif tentang Tuhan, varietas
pengalaman religius, interaksi antara sains dan agama, sifat dan ruang
lingkup baik dan jahat, dan perawatan agama lahir, sejarah, dan kematian.
Bidang ini juga mencakup implikasi etis dari komitmen agama, hubungan
antara iman, akal, pengalaman, tradisi, konsep kemukjizatan, wahyu,
mistisisme, kekuasaan, dan keselamatan.38
Filsafat sebagai pendekatan agama pada umumnya dapat dinyatakan
memiliki empat cabang: Pertama, Logika, adalah seni argumen rasional dan
koheren. Logika merasuk ke seluruh proses berargumentasi dengan
seseorang menjadikannya lebih cermat dan meningkat proses tersebut.
Kedua, Metafisika, terkait dengan hal yang paling dasar, pertanyaan-
pertanyaan fundamental tentang kehidupan, eksistensi, dan watak ada
(being) itu sendiri. Ketiga, Epistemologi, ini menitik beratkan pada apa yang
dapat kita ketahui, dan bagaimana kita mengetahui. Keempat, Etika, secara
harfiah berarti studi tentang “perilaku” atau studi dan penyelidikan tentang
nilai-nilai yang dengannya kita hidup, yang mengatur cara kita hidup dengan
lainnya, dalam satu komunitas lokal, komunitas nasional, maupun
komunitas global internasional. Dalam studi filsafat kontemporer, setidaknya
ada tiga jenis atau model yang termasuk pendekatan yang digunakan dalam
studi Islam (Islamic studies) saat ini yaitu : Pendekatan Hermeneutika,
Pendekatan Teologi-Filosofis, dan Pendekatan Tafsir Falsafi.
5) Pendekatan Psikologis
Pada pendekatan ini, Peter Conolly sendirilah yang menuliskannya. Ia
memberikan gambaran historis yang mencangkup area termasuk penelitian
awal oleh Starbuk, Leuba dan Jame dan bergerak kepada kontribusi sentral
dari Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung.
Pendekatan ini menitik-beratkan pada pengaruh agama terhadap aspek
psikis atau kejiwaan bagi para pemeluknya yakni adanya sebuah keterikatan
dimensi non-empirik seperti nilai sakralitas, spiritual, super natural dan

38Benny Kurniawan, Studi Islam dengan Pendekatan Filosofis, Jurnal Saintifika Islamika, vol 2 no 2
(2015), h. 49-59.

14
transendensi yang dengannya memiliki pengaruh pada kejiwaan manusia.39
Pendekatan ini bersifat unik (mikroskopis/case per case) dan bersifat relaif
meskipun dalam analisisnya ia memiliki sifat yang empiris.40
6) Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini dimulai dengan menjelaskan pemikiran Comte dan Saint-
simon dan menyentuh juga kepada Durkheim, Max Webber, Talcott Parsons
dan Robet Bellah oleh Michael S. Northcott. Tidak mengejutkan bahwa pada
bagian ini fokus kepada pergerakan agama yang baru dan juga
mengikutsertakan kilasan debat tentang proses sekularisasi.
Secara umum, pendekatan ini memiliki tiga perspektif utama yaitu: 1)
perspektif fungsionalis yang memandang bahwa masyarakat merupakan
suatu sistem yang stabil yang memiliki kecenderungan mempertahankan
pola-pola yang terbentuk. Di point ini, agama berbicara banyak pada kisaran
peningkatan kohesivitas dan kontrol pada perilaku group atau individu. 2)
perspektif konflik yang mana hal ini bersumber dari marx atau hegel yang
mana perebutan kepentingan akan selalu terjadi antara setiap elemen pada
suatu masyarakat. Disini, hanya kekuasaan dan pergantian aliansi sosial lah
yang mampu mewujudkan terjadinya kohesivitas sosial. Pada perspektif ini
agama masuk dalam sebuah konteks zero-sum game yaitu antara
pelanggengan dan perebutan status-quo. 3) perspektif interaksionisme
simbolik yaitu sebuah wacana sosiologi kontemporer yang melihat
pentingnya dan pengaruh agama pada individu dan perkembangan identitas
sosial.41
7) Pendekatan Teologis
Dalam buku ini, semua pendekatan ditutup oleh pendekatan teologis
Frank Whaling. Section ini terlalu sering menggunakan terminologi
transenden dari pada Tuhan yang seakan eksklusif hanya berputar pada
teologi kristiani dari pada teologi inter-religi.
Pendekatan ini menitikberatkan pada penekanan pada bentuk forma atau
simbol dalam tujuan klain kebenaran. Pendekatan ini tidak bisa memberikan
sebuah kemajuan pada pluralitas kehidupan saat ini yang mana perlu di garis
bawahi bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri. 42
Meskipun secara teoretis-metodis pendekatan ini tidak memiliki urgensi
untuk digunakan namun pada praktiknya pendekatan ini tetap saja
dibutuhkan baik secara sadar ataupun tidak karena jika pendekatan ini
dinihilkan sama sekali maka akan terjadi ketidakjelasan identitas agama dan

39 Peter Conolly, Psychological Approaches dalam Approaches to the study of Religion terj. Aneka
Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 136.
40 A. Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Bandung: Martiana, 1981), h. 9. dan Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa

Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 1719.


41 Ahmad Zarkassi, Metodologi Studi Agama-Agama, h. 9-13.
42 Muhammad Amin Abdullah, Metodologi Studi Agama, h. 31

15
pelembagaannya karena memungkinkan terjadinya akan terlalu cairnya
suatu kepercayaan.
Namun begitu, buku ini boleh jadi hanya menjadi pengantar dan kurang begitu
disarankan kepada advanced researcher dikarenakan analisis yang kurang begitu subtil
pada mekanisme teknikal dalam metodologi yang digunakan pada suatu pendekatan,
serta pendekatan yang tersedia tidak mencangkup pendekatan-pendekatan lain yang
sifatnya esensial dalam kehidupan seperti pendekatan politik, ekonomi, keamanan, dan
lain lain.

D. Kesimpulan
Saat ini, umat Islam berada pada era post-modernisme yang didalamnya tercipta
upaya upaya dalam mengharmonisasi dan mendialektisasi antara agama dan ilmu
pengetahuan dalam tujuan untuk mencapai sebuah suatu bentuk masyarakat yang
inklusif dan sustainable yang berbarengan dengan upaya menegaskan kembali bahwa
Islam adalah agama yang salih fi kulli zaman, makan, masalah. Namun begitu, upaya
melintasi medan post-modern ini membutuhkan modal yang berbeda dari medan
sebelumnya yakni penalaran umat yang sesuai. Melihat dari komplektisitas zaman ini,
penalaran burhani dan kontekstualis dengan nalar kritis menjadi sebuah parameter
ideal bagaimana kejayaan peradaban Islam dapat dibangunkan kembali. Menilik pada
sebuah refleksi dari sejarah kulminasi Islam di Andalusia yang mampu menginisiasi dan
mentransmisi hingga melahirkan bangkitnya Barat, dalam konteks ini, maka selain
didukung oleh penalaran yang progresif, keterbukaan agama dan integrasi pada
keilmuan modern menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa terelakkan untuk
dilakukan.

16
Referensi:
1. Abdullah, Muhammad Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
2. Abdullah, Muhammad Amin. Metodologi Study Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
3. Ahyadi, A. Aziz. Psikologi Agama. Bandung: Martiana, 1981.
4. al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li
al-Nuzum al-Ma’rifah fi al-Saqofah al-Arabiyah. Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah
al-Arabiya, 1990.
5. al-Jabiri, Muhammad Abid, Takwin al-Aql al-Arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-
Wahdah al-Arabiyah. 2009.
6. al-Jabiri, Muhammad Abid. Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta:
Ircisod, 2003.
7. al-Jabiri, Muhammad Abid. Ishkaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’asir. Beirut: Markaz
Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 2010.
8. Arwani, Agus. Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah), Jurnal Religia vol
15, no 1 (2017).
9. Bahrum, Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, Sulasena vol 8 no 2 (2013).
10. Baqir, Haidar. Jejak-Jejak Sains Islam Dalam Sains Modern, Jurnal Al-Qur’an,
Jakarta: edisi Juli-September (1989).
11. Conolly, Peter. Psychological Approaches dalam Approaches to the study of Religion
terj. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS, 1999.
12. Cusack, Carole. Book Review: P. Connolly (ed), Approaches to the Study of
Religion, Australian Religion Studies Review, vol 12 no 1 (2000).
13. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
14. Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Obyek Kajian.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1998.
15. Fahmi, Rizki M. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Pendidikan Islam Neo-
Modernis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018.
16. Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
17. Ghazali, Adeng Muchtar. Ilmu Perbandingan Agama. Bandung: Pustaka Setia,
2000.
18. Hale, Bob dan Wright, Crispin(ed), A Companion to the Phylosophof Language.
Oxford: Blackwell Publisher, 1999.
19. Hamidah, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid – K.H Abdurrahman
Wahid: Memahami Perkembangan Pemikiran Intelektual Islam, Jurnal MIQOT vol
37 No. 1 (2011).
20. Ismail, Pendekatan Feminis dalam Studi Islam Kontemporer, Jurnal Hawa vol 1
edisi 2 (2019).
21. Kurniawan, Benny. Studi Islam dengan Pendekatan Filosofis, Jurnal Saintifika
Islamika, vol 2 no 2 (2015).
22. Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.

17
23. Muhammadun, Kritik Nalar al-Jabiri; Bayani, Irfani dan Burhani dalam
Membangun Islamic Studies Integrasi-Interkoneksi, Islamic Education Journal vol
1 No. 2 (2019).
24. Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
25. Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.
26. Rohmawati, Yuyun. Islam dan Neo-Modernisme/Post-Modernisme: Perspektif
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol 20 No. 1
(2021).
27. Rokhmah, Dewi. Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi, Jurnal Studi Keislaman vol 7 no 2 (2021).
28. Ruslan, Roesady. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014.
29. Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach.
London: Routledge, 2006.
30. Sutikno, Islam di antara Modernisme dan Post-Modernisme, Jurnal Studi Agama-
agama vol 3 No. 1 (2013).
31. Umar, Nasruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:Dian
Rakyat, 2010.
32. Ummah, Sun Choirol. Metode Tafsir Kontemporer Abdullah Saeed, Jurnal
Humanika, vol 18 no. 2 (2018).
33. Utama, I Gusti Bagus Rai. Filsafat Ilmu dan Logika Manajemen dan Pariwisata.
Yogyakarta: Deepublish, 2021.
34. Wahid, Abdurrahman. Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia Menatap Masa
Depan (Jakarta: P3M, 1989).
35. Zarkasi, Ahmad. Metodologi Studi Agama-Agama, Jurnal al-Adyan vol 11 no 1
(2016).

18

You might also like