Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 28

MAKALAH PERADILAN ISLAM DI INDONESIA

PENEGRTIAN, SUMBER, DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM ACARA


PERDATA DAN BENTUK, ISI DAN KELENGKAPAN GUGATAN/PERMOHONAN

(Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Peradilam Islam di Indonesia)

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. H. Zezen Zaenudin, M. Ag

DISUSUN OLEH:

Nur Fauziah (NIM 2113.0873)

Sarah Mutiara Zulva (NIM 2113.0874)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL- MASTHURIYAH

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

SUKABUMI

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, kami panjatkan puja serta puji syukur atas Dzat Allah yang
Maha Kuasa, atas berkat Rahmat serta Ridho-Nya telah memberikan kami nikmat
kesehatan yang luar biasa ini, sehingga kami mampu menyusun makalah ini dengan
tepat waktu. Tidak lupa sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi kita semua
yakni Nabi Muhammad saw. semoga kita termasuk kepada umat nya yang mendapat
syafaatul uzma di yaumul akhir nanti. Aamiin.

Tidak lupa kami haturkan terimakasih banyak kepada Dosen mata kuliah
Peradilan Islam di Indonesia Bapak Dr. H. Zezen Zaenudin, M. Ag. yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini, juga tidak lupa kepada seluruh
rekan-rekan dan seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini. Dalam makalah yang kami susun ini kami mengangkat materi tentang
“Pengertian, Sumber dan Hubungannya dengan Hukum Acara Perdata dan Bentuk, Isi
Kelengkapan Gugatan/Permohonan”.

Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini memiliki
banyak kekurangan, untuk itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran
yang baik dari seluruh pembaca terutama dari Dosen mata kuliah Peradilan Islam di
Indonesia itu sendiri. Atas segala kekurangan kami dan makalah kami ini, kami
memohon maaf yang sebesar-besarnya, harap dimaklumi karena kami masih dalam
tahap belajar.

Terimakasih.

Sukabumi, 14 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………1

A. Latar Belakang……………………………………………………………...1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………..2

C. Tujuan……………………………………………………………………….3

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….4

A. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama……………………………...4

B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama…………………………………7

C. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perdata……...13

D. Bentuk, Isi dan Kelengkapan Guagatan/Permohonan…………………...14

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….20

A. Kesimpulan………………………………………………………………….20

B. Saran ………………………………………………………………………..24

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan agama telah hadir dalam kehidupan hukum di Indone-sia sejak masuknya
agama Islam. Guna memenuhi kebutuhan wujudkan dan menegaskan kedudukan pengadilan
agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur'an, Hadis
Rasul, dan ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan hu- kum materiel sebagai
pedoman hidup dan aturan dalam hubungan an- tarmanusia (muammalah) serta hukum
formal sebagai pedoman ber acara di pengadilan agama. Pada bab ini akan dibahas hal-hal
penting berupa gambaran umum, istilah-istilah yang perlu dipahami dan sum- ber-sumber
hukum acara Islam yang menjadi pegangan dalam Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia.Peradilan agama sebenarnya sudah ada sejak agama Islam dikenal dan diterima di
wilayah Nusantara, satu contoh di Kerajaan Mataram kurang lebih tahun 1610-1645 dikenal
peradilan serambi, karena tempat mengadili diadakan di serambi masjid, dan hakim-
hakimnya diangkat oleh sultan. Pengakuan berlakunya hukum Islam yang telah ada sejak
lama di wilayah Nusantara ini pada masa yang lalu tecermin dalam kegiatan peradilan di
beberapa kerajaan/kesultanan. Ketika pemerintah Belanda menjajah Kepulauan Nusantara
(Indonesia), pengaturan dan pengakuan mengenai kedudukan dan kewenangan peradilan
agama terdapat dalam berbagai peraturan. Sehingga data Peradilan agama sebenarnya sudah
ada sejak agama Islam dikenal dan diterima di wilayah Nusantara, satu contoh di Kerajaan
Mataram kurang lebih tahun 1610-1645 dikenal peradilan serambi, karena tempat mengadili
diadakan di serambi masjid, dan hakim-hakimnya diangkat oleh sultan. Pengakuan
berlakunya hukum Islam yang telah ada sejak lama di wilayah Nusantara ini pada masa yang
lalu tecermin dalam ke- giatan peradilan di beberapa kerajaan/kesultanan.

Ketika pemerintah Belanda menjajah Kepulauan Nusantara (Indonesia), pengaturan dan


pengakuan mengenai kedudukan dan kewe- nangan peradilan agama terdapat dalam berbagai
peraturan. Sehingga terdapat keragaman nama dan peraturan perundang-undangan menge-
nai badan peradilan agama di Indonesia. Di Jawa dan Madura digu- nakan istilah pengadilan
agama (PA) dan Mahkamah Islam Tinggi, di Kalimantan Selatan dan Timur digunakan istilah

iv
Kerapatan Qadi dan Pengadilan Qadi Tinggi (Kerapatan Qadi Besar). Selanjutnya di Aceh:
Mahkamah Syar'iyah Jeumpa, di Palembang: Qadi Syara, di Makassar: syara Tanette, dan di
Bima: Badan Hukum Syara.

Setelah Indonesia merdeka dalam UUD 1945 keberadaan Peradilan Agama diakui dan
termasuk dalam lingkungan badan kehakiman seba- gaimana diatur dalam Pasal 24, namun
belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus susunan, kekuasaan, dan hukum
acara dalam lingkungan peradilan agama. Adapun mengenai hukumnya, hukum ma- teriel
Islam diakui atas dasar Pasal 29.

Dengan adanya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok- pokok Kekuasaan
Kehakiman, secara formal, maka keberadaan peradil- an agama diakui, namun mengenai
susunan dan kekuasaan (wewenang) nya masih beragam dan hukum acara yang digunakan
adalah HIR, serta peraturan-peraturan yang diambil dari hukum acara peradilan Islam.
Mengenai hukum materiel sesuai dengan wewenang peradilan agama yang pada hakikatnya
menyelesaikan persoalan-persoalan dan perkara yang berkenaan dengan perkawinan,
kewarisan, dan wakaf berlandas- kan pada ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam
Al-Qur'an, Sunnah Rasul, serta ijtihad yang dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah
dikeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur
susunan,kekuasaan,dan hukum acara peradilan agama .

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian Hukum Acara Peradilan Agama?

2. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

3. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perdata

4. Bentuk, Isi dan Kelengkapan Guagatan/Permohonan

v
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian Hukum Acara Peradilan Agama

2. Untuk mengetahui apa saja sumber Hukum Acara peradilan agama

3. Untuk mengetahui hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dan hukum perdata

4. Untuk mengetahui dan memahami bentuk, isi dan kelengkapan


gugatan/permohonan.

vi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama

Beberapa hal yang perlu di mengerti lebih dahulu, sehubungan dengan “Hukum Acara
Peradilan Agama”, ialah tentang “Hukum Acara”, dan “Peradilan Agama”.

1. Hukum Acara
Istilah Hukum Acara, sering juga disebut dengan istilah Hukum Proses atau Hukum
Formal. Proses berarti suatu rangkaian perbuatan, yaitu mulai dari memasukan permohonan
atau gugatan sampai selesai diputus dan dilaksanakan.
Tujuan dari proses ialah untuk melaksanakan penentuan bagaimana hukumnya suatu
kasus dan bagaimana hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu sebenarnya dan
seharusnya, agar segala apa yang ditetapkan oleh pengadilan dapat direalisir dengan secara
paksa dan karenanya dapat terwujud secara pasti.
Kemudian dalam hal Hukum Acara diistilahkan dengan hukum formal, maka
pengertian ditekankan pada masalah bentuk atau cara, yang maksudnya hukum yang
mengutamakan pada kebenaran bentuk atau cara. Itulah sebabnya beracara di muka
Pengadilan tidak cukup hanya tahu dengan hukum tetapi lebih dari itu harus tahu terhadap
bentuk atau caranya yang spesifik itu, sebab ia terikat pada bentuk-bentuk atau cara-cara
tertentu yang sudah diatur. Keterikatan kepada bentuk atau cara ini, berlaku bagi para hakim
dan dengannya pula perbuatan semena-mena dapat diantisipasi sedini mungkin.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara atau Formal itu
sebenarnya hanya untuk mengabdi atau untuk mewujudkan atau mempertahankan Hukum
Material.
Mengutamakan kebenaran formal disini tidaklah berarti bahwa hukum acara perdata
sekarang ini mengenyampingkan kebenaran material sebab menurut para Ahli Hukum dan
Mahkamah Agung, kini sudah tidak lagi untuk berpendapat demikian. Hukum Acara perdata
kini ini pun sudah harus mencari kebenaran material seperti juga prinsip Hukum Acara
Pidana.

vii
2. Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang
bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi
orang-orang islam di Indonesia .
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan
islam di Indonesia jadi ia harus mengindahkan peraturan perundangundangan negara dan
syariat islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai
berikut:
Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara
maupun dari syariat islam yang mengatur bagaimana cara bertindak ke muka Pengadilan
Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material islam yang
menjadi kekuasaan peradilan Agama .
Untuk menghindari kekeliruan pengertian antara Peradilan Agama dengan Peradilan
Islam, perlu adanya kejelasan kearah pengertian tersebut.
Peradilan Agama adalah peradilan islam limitatif, yang telah dimutatis mutandiskan
dengan keadaan di Indonesia.
Adapun mengenai istilah Peradilan Islam tanpa dikaitkan dengan kata-kata indonesia
maka yang di maksud adalah peradilan yang mengadili jenis-jenis perkara perdata menurut
islam secara universal. Oleh karena itu, peradilannya mempunyai prinsip kesamaan sebab
hukum islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan dimanapun, bukan hanya
untuk suatu bangsa atau suatu negara tertentu saja .
Peradilan Agama sebagai perwujudan Peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang:
a. Secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakan hukum dan
keadilan. Hukum yang ditegakan adalah hukum Allah yang telah disistematisasi oleh
manusia.
b. Secara yuridis hukum islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
shadaqah) berlaku di Peradilan Agama.
c. Secara Historis Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam
yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah Saw.
d. Secara Sosiologis Peradilan Agama didukung dan dikembangkan oleh dan di dalam
masyarakat islam .

viii
Unsur-unsur Peradilan Agama meliputi: kekuasaan Negara yang merdeka,
penyelenggara kekuasaan negara yaitu pengadilan, perkara yang menjadi wewenang
Pengadilan, orang-orang yang berperkara, hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara,
prosedur dalam menerima memeriksa mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara,
penegakan hukum dan keadilan, sebagai tujuan .
Undang-undang aturan Hukum Acara Peradilan Agama disebutkan pada bab IV
undang-undang Peradilan Agama. Diantaranya bahwa Hukum Acara yang berlaku di
Pengadilan Agama Adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
Peradilan Agama.
Hukum Islam di Indonesia telah telah lama menjadi bagian dari norma hukum dan
sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perkembangannya terus berkesinambungan.
baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan
kekuatan sosial budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
Keanekaragaman pemahaman orang Islam Indonesia di dalam memahami hukum Islam
memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan
fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan
akademisi dan praktisi hukum Islam.
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang
Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. Oleh karea
itu dalam penerapanya didasarkan pada beberapa dasark hukum yaitu kitab-kitab fiqh,
keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri
muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses
transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah
berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang beriaku
dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat..
Mulai sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses
transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di
Indonesia. Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat.
Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat
aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.
Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin)

ix
hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan. Di antara produk undang-undang dan
peraturan yang bernuansa hukum Islam, umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum
Islam yang secara formil maupun material  menggunakan   corak   dan  pendekatan
keislaman; Kedua, hukum Islam dalam proses taqnin diwujudkan sebagai sumber-sumber
materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya menjiwai setiap produk peraturan
dan perundang-undangan; Ketiga, hukum Islam yang secara formil dan material
ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia
telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan
filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas
muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental
negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam
Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam
memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang
dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara
yuridis formal.

B. Sumber-Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, yang wewenangnya memeriksa


memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama islam dibidang: 1) Perkawinan; 2) kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
bedasarkan hukum islam; 3) wakaf dan shadaqah.

Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, Peradilan Agama mempergunakan Acara


yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam
hukum tidak tertulis(Maksudnya hukum formal islam yang belum diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundangundangan negara Indonesia).

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, maka Hukum Acara


Peradilan Agama sudah kongkrit, yaitu: “Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama
Adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama” .

x
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang besumber (garis
besarnya) kepada dua aturan, yaitu:

1. Yang terdapat dalam UU Nomor 7 tahun 1989.

2. Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.

3. Peraturan perundang-undangan menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan


Umum, antara lain:

a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglement
Indonesia yang di Baharui)

b. Rgb (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglement untuk daerah
Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura.

c. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda


dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.

d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata Eropa.

e. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum.

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi


lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah: a. UU Nomor 48 tahun 2009,
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman b. UU Nomor 14 tahun 1985,
tentang Mahkamah Agung c. UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, tentang
perkawinan dan pelaksanaannya Jika demikian halnya, maka Peradilan Agama dalam Hukum
Acara minimal harus memperhatikan UU Nomor 7 tahun 1989, ditambah dengan 8 macam
peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan. Selain itu, Peradilan Agama masih
harus memperhatikan hukum proses menurut Islam. Kesemuanya inilah yang dinamakan
sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Berdasarkan penegasan yang terdapat dalam Al-Qur'an surah an-Nisaa' (4) ayat 59
dan Hadis Muadz bin Jabal,' para ahli telah sepakat bahwa, sumber-sumber hukum dalam
berbagai bidang kajian atau studi hukum Islam, yaitu:

1. Al-Qur'an;

2. As-Sunnah atau Hadis; dan

xi
3. Ar-Ra'yu atau ijtihad ulil amri.

1. Al-Qur'an

Di bidang hukum, Al-Qur'an mengandung (memuat) ketentuan-ketentuan hukum formal dan


hukum materiel, ketentuan hukum formal yang berkaitan dengan kegiatan beracara di
peradilan agama antara lain:

a. QS. al-Faatihah (1) ayat 6, yang artinya: "Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang benar,
yang dimaksud jalan dalam hal ini jalan hidup di bidang hukum."

b. QS. an-Nisaa' (4) ayat 58, yang artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan
hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan (hukum) dengan adil."

C. QS. an-Nisaa' (4) ayat 65, yang artinya: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemu- dian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."

d. QS. an-Nisaa' (4) ayat 105, yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
ti- dak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat."

f. QS. Ali Imran (3) ayat 104, yang artinya: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah yang
munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung."

g. QS. al-Maa'idah (5) ayat 8, yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, berdiri
tegaklah kamu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah
karena kebencian kamu terhadap sesuatu kaum membuatmu berlaku tidak adil."

h. QS. al-Maa'idah (5) ayat 42, yang artinya: “Dan jika kamu memutuskan perkara maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang adil."

i. QS. al-Maa'idah (5) ayat 44, yang artinya: "Dan janganlah kamu menukar ayat-ayatku
dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir."

xii
j. QS. al-Maa'idah (5) ayat 45, yang artinya: "Barangsiapa tidak menghukum (memutuskan)
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim
(dhalim)."

k. QS. al-Maa'idah (5) ayat 47, yang artimya: "Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil,
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang
yang fasik."

l. QS. al-Maa'idah (5) ayat 49, yang artinya: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka.Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-
orang yang fasik."

m. QS. al-Maa'idah (5) ayat 50, yang artinya: "Apakah hukum jahiliah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?"

2. As-Sunnah atau al-Hadis

a. Dari Abi Sa'id, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Apabila keluar tiga orang dengan
maksud hendak bepergian, hendaklah salah satu di antaranya ada yang dijadikan penanggung
jawab (amir)." (HR. Abu Daud).

b. Dari Amr bin 'Ash, r.a., bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Apabila hakim
menjatuhkan hukum dengan berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala
dan jikadia menjatuhkan hukum dengan berijtihad kemudian ternyata ij- tihadnya itu salah,
maka ia mendapat satu pahala." (HR. Muttafaq' alaih).

c."Dari Ummu Salamah r.a., ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:


"Sesungguhnya kalian mengadukan perselisihan kepadaku padahal mungkin sebagian kamu
lebih lancar (tangkas) hujah nya atau lebih jelas pembicaraannya daripada yang lain,
kemudian aku memberikan keputusan kepadanya berdasarkan apa yang aku dengar
daripadanya, barangsiapa yang aku beri sebagian dari haksaudaranya, maka aku memotong
baginya sepotong api neraka untuknya." (HR. Muttafaq'alaih)..

xiii
d. Dari Buraidah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Hakim itu ada tiga macam, dua
macam di antaranya akan masuk neraka dan satu macam akan masuk surga. Hakim yang
masuk surga ialah hakim yang mengetahui yang sah (hukum yang sebenarnya) menurut
hukum Allah, ia menghukum dengan dasar hukum itu. Hakim yang mengetahui ketentuan
hukum tetapi ia tidak menghukum berdasar- kan ketentuan itu, hakim ini akan masuk ke
dalam neraka. Hakim yang tidak mengetahui ketentuan hukum tetapi dengan
ketidaktahuannya itu ia menghukum manusia, hakim ini juga akan masuk ke dalam neraka."
(HR. ar-Ba'al dan disahkan ol Hakim).

e. "Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang: pada seorang yangdianugerahi Allah harta,
lalu dia curahkan harta itu sampai habis untuk membela kebenaran, dan pada seorang yang
dianugerahi Allah kebijaksanaan, lalu ia memutus perkara dan beramal dengan,kebijaksanaan
itu."

3. Ijtihad

Para fukaha (ahli hukum) telah berijtihad di bidang hukum acara dan peradilan beberapa di
antaranya akan dipaparkan pada bagian ini:

a. Prinsip-prinsip peradilan yang disampaikan Umar bin Khatab kepada Abdullah Ibnu Qais."

1) Menyelesaikan suatu perkara adalah suatu kewajiban (fardhu) yang ditetapkan oleh Allah
SWT, dan suatu Sunnah yang wajib diikuti;

2) Pahamilah benar-benar maksud pengaduan (atau gugatan) yang dikemukakan kepadamu,


dan putuskanlah apabila telah jelas kebenaran kepadamu, karena tidak bermanfaat sesuatu
pembicaraan tentang kebenaran yang tidak mendapat perhatian hakim;

3) Samakanlah para pihak di majelismu dalam pandanganmu, dan dalam putusanmu, supaya
orang yang mulia (bangsawan) tidak tamak kepada kecuranganmu dan supaya orang yang
lemah tidak putus asa dari keadilanmu;

4) Keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa
(menggugat) dan sumpah dilakukan oleh orang yang menolak gugatan; dan

5) Perdamaian diizinkan (boleh) antara orang-orang Muslim yang bersengketa, kecuali


perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram-haram atau mengharamkan yang halal.

b. Kaidah-kaidah fikih mengenai hukum acara dalam peradilan Islam, antara lain:

xiv
1) Setiap perkara, tergantung pada maksud mengerjakannya. Izin yang datang kemudian
sama kedudukan hukumnya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu;

2) Ijtihad yang terdahulu tidak dapat dibatalkan dengan yang datang kemudian;

3) Bila berkumpul dua perkara yang sejenis dan tidak berbeda, keduanya digabung menjadi
satu menurut kebiasaan;

4) Bila beberapa ketentuan saling bertentangan, didahulukan yang waktunya sempit daripada
yang longgar dan didahulukan yang menghendaki segera daripada yang boleh ditunda;

5) Bila ketentuan hukum yang mencegah bertentangan dengan hal yang menghendaki
pelaksanaan suatu perbuatan, didahulukan ketentuan yang mencegah;

6) Bila suatu lafal sukar diartikan secara hakiki, diartikan secara majazi;

7) Pada pokoknya hal yang biasa terjadi didahulukan daripada yang jarang terjadi;

8) Orang yang mendapat kepercayaan, perkataannya harus dikuatkan dengan sumpah; dan

9) Membelanjakan sesuatu atas perintah hakim sama dengan membelanjakan atas perintah
pemilik. C. Di dalam peradilan dan hukum acara Islam, disebutkan ada enam unsur peradilan
yaitu:"

a. Hakim (qadhi);

b. Hukum, yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan sesuatu perkara;

c. Mahkumbih, ialah sesuatu yang diharuskan oleh hakim supaya dipenuhi/dilaksanakan oleh
tergugat;

d. Mahkum'alaihi (si terhukum), yaitu orang yang dijatuhi hukuman atau diminta untuk
memenuhi sesuatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya;

e. Mahkumlahu (pemenang perkara), yaitu orang menggugat suatu hak, yang bertindak atas
dirinya sendiri atau dengan perantaraan wakilnya; dan

f. Sumber hukum. Mengenai sumber hukum di sini adalah sebagaimana telah disebutkan,
yaitu Al-Qur'an, Sunnah atau Hadis Rasul dan ijtihad serta doktrin atau pendapat para ahli
hukum, kebiasaan dalam peradilan Islam, yurisprudensi pengadilan agam, dan peraturan
perundang-undangan."

xv
C. Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perdata

Hukum privat yang bergerak pada level internasional. Itulah hukum perdata
internasional. Disingkat dengan HPI. Entitas ini, dalam beberapa konteks bersentuhan dengan
wilayah kerja Peradilan Agama (PA).

Karena peradilan Agama juga merupakan bagian dari warga internasional. Jelas akan ada
persinggungan. Persinggungan antara dua entitas itu yang disebut interseksi. Pada wilayah
interseksi itu, baik HPI maupun Peradilan Agama bertemu dan bergumul. Saling mengisi,
saling melengkapi, atau bahkan tarik ulur.

Karena itu, HPI sebetulnya tidak bisa dipahami sebagai entitas yang sudah fixed. Mesti
diakui, bahwa HPI adalah entitas yang masih mencari bentuk. Belum ada kesepakatan
internasional soal ini. Karena itu, kita perlu mendalami setiap isu HPI yang diajukan.

Karakter yang paling kuat dalam HPI adalah adanya unsur internasional. Sementara
masyarakat internasional sangat plural. Karena itu, perlu didalami lebih lanjut secara
kasuistik.

Perlu dilihat semua variabelnya. Seperti, masyarakat internasional yang mana, dari negara
mana, dalam isu apa, bagaimana traktat internasional melihat isu tersebut.

Kemudian, bagaimana hukum di Indonesia melihat isu tersebut. Perlu dipertimbangkan pula
bagaimana hukum di negara tersebut mengatur soal isu tersebut. Juga pilihan hukum yang
dipilih subjek. Begitu juga entitas internasional yang terlibat dalam isu tersebut.

Karena itu, perlu pekerjaan tersendiri untuk menyisir HPI dan meletakkan dalam keranjang
Peradilan Agama. Artinya, jika beberapa variabel tersebut sudah teridentifikasi, baru
Peradilan Agama dapat bekerja dengan mekanismenya.

Bicara soal hukum privat internasional, isu yang muncul pasti banyak variannya. Dalam
konteks Peradilan Agama, isu materil yang menjadi kewenangan Peradilan Agama bisa saja
menjadi perdata internasional. Tentu jika variabelnya memenuhi.

Merujuk pasal 49 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan agama bertugas
memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang

xvi
yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syariah.

Sebagaimana telah kita lihat, bahwa isu-isu yang yang menjadi bidang garap Peradilan
Agama berpeluang bermuatan internasional.

Tentu, pada level teknis, muatan internasional bisa dalam bentuk perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, maupun ekonomi syariah dengan berbagai turunanya.

Sangat mungkin perkara dalam isu-isu tersebut, dengan berbagai turunanya, menjadi perdata
internasional. Tentu jika telah memenuhi variabelnya.

Dalam konteks ini, Peradilan Agama harus bekerja dan menangani perkara tersebut. Yang
artinya, Peradilan Agama memiliki peran penting dalam konstelasi perkara perdata
internasional.

D. Bentuk, Isi dan Kelengkapan Gugatan/Permohonan

Peradilan Agama memiliki peranan penting dalam masalah hukum yang terkait di
Negara ini salah satunya dalam menangani masalah perdata. Jika tidak ada Peradilan Agama
entah apa yang terjadi dengan suatu negara tersebut, yang jelas pemerintahan yang berjalan
tidak akan seimbang. Akan banyak sekali kekacauan yang terjadi dan tidak akan bisa
dikondisikan dengan waktu yang singkat.

Dalam suatu perkara tentunya ada dua pihak yang saling menggugat dan di gugat
serta ada yang meminta haknya atau pemohon yang sering kita dengar dengan istillah
permohonan. Dalam menghadapi masalah perdata seseorang yang menghadapi masalah bisa
mengajukan surat gugatan perdata kepada pengadilan setempat (Pengadilan Agama).

Surat gugatan perdata dan surat permohonan dibuat oleh pengacara atau kantor
advokad yang di tunjuk oleh orang yang berpekara dan yang telah di beri kewenangan oleh
yang bersangkutan (orang yang berpekara tersebut). Surat ini merupakan permohonan dari
pihak penggugat kepada pengadilan untuk menyelenggarakan persidangan antar pihak
penggugat dan tergugat terkait kasus yang menimpa pihak penggugat. Sedangkan surat
permohonan merupakan surat untuk memperoleh hak-hak atau kerugian yang harus di
tanggung oleh tergugat.

xvii
A. Pengertian Gugatan dan Permohonan

Gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua pengadilan yang
berwenang yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan
melupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangakan permohonan adalah suatu surat permohonan yang di dalamnya berisis tuntutan
hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung
sengketa18 . perbedaan dari gugatan dan permohonan yaitu, jika gugatan ada suatu perkara
antara penggugat dan tergugat maka permohonan hanya satu pihak yang berkepentingan dan
tanpa sebuah perkara atau sengketa, dalam gugatan hakim berfungsi sebagai hakin yang
mengadili dan memutuskan serta berproduk vonis (putusan), sedangkan dalam permohonan
hakim hanya menjalankan fungsi eksekutif power (administratif) dan berproduk beschikking
(penetapan), untuk penetapan pada putusan gugatan mengikat kedua belah pihak
(berkekuatan eksekutorial), sedang penetapan pada permohonanhanya mengikat pemohon
saja.

Dalam gugatan terdapat istilah penggugat dan tergugat, sedang dalam permohonan
ada istilah pemohon dan termohon. Penggugat bisa satu orang atau badan hukum atau lebih,
sehingga aga istilah penggugat I, II, III, dan seterusnya. Tergugatpun bisa I, II, III, dan
seterusnya. Gabungan penggugat atau tergugat disebut kumulasi subjektif. Sedang dalam
permohonan hanya satu pihak karena bukan suatu kasus perkara.

B. Pembuatan Surat Gugatan dan Permohonan

Gugatan harus diajukan secara tertulis oleh penggugat atau kuasanya dan bagi yang
buta huruf dapat mengajuakan secara lesan. Surat gugatan harus memuat diantaranya:

1. Identitas para pihak (nama lengkap, gelar, alias, julukan, bin atau binti, umur, agama,
pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai penggugat atau tergugat),

2. Posita atau position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara dua belah pihak)
dan

3. petita atau petitum (isi tuntutan).

Sedangkan untuk surat permohonan tidak jauh beda dengan isi dari surat gugatan
yaitu identitas, petita, dan posita. Hanya saja pada surat permohonan tidal dijumpai kalimat

xviii
“berlawanan dengan”, “duduk perkaranya”, dan “permintaan membayar biaya perkara kepada
pihak lain”.

Kelengkapan dari surat gugatan atau surat permohonan diantaranya:

1. surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf yang
manamenyampaikan ke pada kuasanya atau pada pengadilan agama ke ketua hakim
seperti pada kasus gugatan cerai. Surat gugatan atu surat permohonan yang di buat
sendiri atau lewat kuasanya di tunjukan ke pengadilan yang berwenang.

2. Foto copy identitas seperti KTP.

3. Vorschot biaya perkara dan bagi yang miskin dapat mengajukan dispensasi biaya
dengan membawa surat keterangan miskin dari kelurahan atau kecamatan.

4. Surat keterangan kematian untuk perkara waris.

5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi PNS (untuk
perkara poligami).

6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara poligami)

7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami)

8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai, permohonan cerai,
gugatan nafkah,istri, dan lainlain).

9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan tentang

mut’ah).

10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan.

C. Kewenangan-kewenagan Peradilan Agama Tentang Gugatan dan Permohonan

Kewenangan relatif atau relative competentie adalah kekuasaan dan wewenangan


yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan yang sama atau wewenang yang
berhubungan dengan wilayah hukum antara Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan
Agama. Misalnya antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor.

xix
1. Kewenangan relatif perkara gugatan Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi:

a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah


kediaman tergugat.

b. Bila tergugat lebih dari satu orang, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan
yang wilayah hukumnya mengikuti tempat tinggal penggugat.

c. Bila tempat tinggal tergugat tidal di ketahui maka gugatan diajukan ke pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.

d. Bila objek perkara benda tidal bergerak maka gugatan diajukan ke pengadilan yang
wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak tersebut.

e. Bila suatu akta tertulis domisili pilihan, gugatan diajukan ke pengadilan yang
domisilinya dipilih.

Terdapat beberapa pengeculian kewenangan relative perkara gugatan pada Pengadilan


Agama diantaranya permohonan cerai talak yang diatur dalam pasal 66 ayat (2) UU No.7
Tahun 1989 dan perkara gugat cerai yang diatur dalam dalam pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989.

2. Kewenangan relatif perkara pemohonan Adapun kewenangan relatif dalam perkara-perkara


tertentu dalam UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut:

a. Izin poligami diajukan di Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi


kediamannya pemohon.

b. Permohonan dispensasi pernikahan yang salah satu calon mempelai atau keduannya
belum cukup umur.

c. Permohonan pencegahan perkawinan di ajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah


hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.

d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang


wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal
suami atau istri.

Kewenangan absolut atau absolute competentie adalah kekuasaan yang berhubungan dengan
jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan

xx
Peradilan Agama yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di
kalangan golongan rakyat tertentu (orang yang beragama Islam). Kekuasaan absolute
Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No.
3 Tahun 2006.

Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan

a. Izin beritri lebih dari Satu

b. Izin melangsungkan pernikahan bagi yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang
tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.

c. Dispensasi kawin

d. Pencegahan perkawinan

e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah

f. Pembatalan perkawinan

g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri

h. Perceraian karena talak dan gugatan perceraian

i. Penyelesaian harta bersama

j. Penguasaan anak atau hadlanah

k. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidal dapat memenuhi.

l. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak

m. Putusan pencabutan kekuasaan orang tua

n. Perwalian

o. Penetapan asal usul anak

xxi
p. Putusan untuk memberikan penolakan keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran. q. Pernyataan sah tidaknya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
Tahun 1974tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.

2. Warisan

3. Wasiat

4. Hibah

5. Wakaf

6. Zakat

7. Infaq

8. Shodaqoh

9. Ekonomi Syari’ah

xxii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebutan Hukum Acara, kerap pula diucap dengan sebutan Hukum Proses ataupun
Hukum Formal. Proses berarti sesuatu rangkaian perbuatan, ialah mulai dari memasukan
permohonan ataupun gugatan hingga berakhir diputus serta dilaksanakan.

Tujuan dari proses yakni buat melakukan penentuan gimana hukumnya sesuatu
permasalahan serta gimana ikatan hukum antara 2 pihak yang berperkara itu sesungguhnya
serta sepatutnya, supaya seluruh apa yang diresmikan oleh majelis hukum bisa direalisir
dengan secara paksa serta karenanya bisa terwujud secara tentu.

Setelah itu dalam perihal Hukum Acara diistilahkan dengan hukum formal, hingga
penafsiran ditekankan pada permasalahan wujud ataupun metode, yang artinya hukum yang
mengutamakan pada kebenaran wujud ataupun metode. Seperti itu sebabnya beracara di
muka Majelis hukum tidak cukup cuma diketahui dengan hukum namun lebih dari itu wajib
ketahui terhadap wujud ataupun triknya yang khusus itu, karena dia terikat pada bentuk-
bentuk ataupun cara- cara tertentu yang telah diatur. Keterikatan kepada wujud ataupun
metode ini, berlaku untuk para hakim serta dengannya pula perbuatan semena- mena bisa
diduga secepat bisa jadi.

Peradilan Agama merupakan salah satu dari Peradilan Negeri Indonesia yang legal,
yang bertabiat Peradilan Spesial, yang berwenang dalam tipe masalah perdata Islam tertentu,
untuk orang- orang islam di Indonesia.

Sebagaimana dikenal kalau Peradilan Agama merupakan Peradilan Perdata serta


Peradilan islam di Indonesia jadi dia wajib mengindahkan peraturan perundangundangan
negeri serta syariat islam sekalian. Oleh sebab itu, rumusan Kegiatan Peradilan Agama
diusulkan selaku berikut:

xxiii
Seluruh peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang- undangan negeri
ataupun dari syariat islam yang mengendalikan gimana metode berperan ke muka Majelis
hukum Agama tersebut menuntaskan perkaranya, buat mewujudkan hukum material islam
yang jadi kekuasaan peradilan Agama.

Buat menjauhi kekeliruan penafsiran antara Peradilan Agama dengan Peradilan Islam,
butuh terdapatnya kejelasan kearah penafsiran tersebut.

Peradilan Agama merupakan peradilan islam limitatif, yang sudah dimutatis


mutandiskan dengan kondisi di Indonesia.

Ada pula menimpa sebutan Peradilan Islam tanpa berhubungan dengan perkata
indonesia hingga yang di iktikad merupakan peradilan yang mengadili jenis- jenis masalah
perdata bagi islam secara umum. Oleh sebab itu, peradilannya memiliki prinsip kesamaan
karena hukum islam itu senantiasa satu serta berlaku ataupun bisa diberlakukan dimanapun,
bukan cuma buat sesuatu bangsa ataupun sesuatu negeri tertentu saja.

Hukum Acara Peradilan Agama sekarang besumber (garis besarnya) kepada dua
aturan, yaitu:

1. Yang terdapat dalam UU Nomor 7 tahun 1989.

2. Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.

3. Peraturan perundang-undangan menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan


Umum, antara lain:

a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglement
Indonesia yang di Baharui)

b. Rgb (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglement untuk daerah
Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura.

c. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda


dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.

d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata Eropa.

e. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum.

xxiv
Berdasarkan penegasan yang terdapat dalam Al-Qur'an surah an-Nisaa' (4) ayat 59
dan Hadis Muadz bin Jabal,' para ahli telah sepakat bahwa, sumber-sumber hukum dalam
berbagai bidang kajian atau studi hukum Islam, yaitu:

1. Al-Qur'an;

2. As-Sunnah atau Hadis; dan

3. Ar-Ra'yu atau ijtihad ulil amri.

Hukum privat yang bergerak pada tingkat internasional. Seperti itulah hukum perdata
internasional. Disingkat dengan HPI. Entitas ini, dalam sebagian konteks bersentuhan dengan
daerah kerja Peradilan Agama( PA).

Sebab peradilan Agama pula ialah bagian dari masyarakat internasional. Jelas hendak
terdapat persinggungan. Persinggungan antara 2 entitas itu yang diucap interseksi. Pada
daerah interseksi itu, baik HPI ataupun Peradilan Agama berjumpa serta bergumul. Silih
mengisi, silih memenuhi, ataupun apalagi tarik ulur.

Sebab itu, HPI sesungguhnya tidak dapat dimengerti selaku entitas yang telah fixed.
Mesti diakui, kalau HPI merupakan entitas yang masih mencari wujud. Belum terdapat
konvensi internasional soal ini. Sebab itu, kita butuh mendalami tiap isu HPI yang diajukan.

Kepribadian yang sangat kokoh dalam HPI merupakan terdapatnya faktor


internasional. Sedangkan warga internasional sangat plural. Sebab itu, butuh didalami lebih
lanjut secara kasuistik.

Butuh dilihat seluruh variabelnya. Semacam, warga internasional yang mana, dari
negeri mana, dalam isu apa, gimana traktat internasional memandang isu tersebut.

Surat gugatan perdata serta Surat permohonan dibuat oleh pengacara ataupun kantor
advokad yang di tunjuk oleh orang yang berpekara serta yang sudah di beri kewenangan oleh
yang bersangkutan( orang yang berpekara tersebut). Surat ini ialah permohonan dari pihak
penggugat kepada majelis hukum buat menyelenggarakan sidang antar pihak penggugat serta
tergugat terpaut permasalahan yang mengenai pihak penggugat. Sebaliknya surat
permohonan ialah surat buat mendapatkan hak- hak ataupun kerugian yang wajib di tanggung
oleh tergugat.

Dalam gugatan terdapat istilah penggugat dan tergugat, sedang dalam permohonan
ada istilah pemohon dan termohon. Penggugat bisa satu orang atau badan hukum atau lebih,

xxv
sehingga aga istilah penggugat I, II, III, dan seterusnya. Tergugatpun bisa I, II, III, dan
seterusnya. Gabungan penggugat atau tergugat disebut kumulasi subjektif. Sedang dalam
permohonan hanya satu pihak karena bukan suatu kasus perkara.

Gugatan harus diajukan secara tertulis oleh penggugat atau kuasanya dan bagi yang
buta huruf dapat mengajuakan secara lesan. Surat gugatan harus memuat diantaranya:

1. Identitas para pihak (nama lengkap, gelar, alias, julukan, bin atau binti, umur, agama,
pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai penggugat atau tergugat),

2. Posita atau position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara dua belah pihak)
dan

3. petita atau petitum (isi tuntutan).

Kelengkapan dari surat gugatan atau surat permohonan diantaranya:

1. surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf yang
manamenyampaikan ke pada kuasanya atau pada pengadilan agama ke ketua hakim seperti
pada kasus gugatan cerai. Surat gugatan atu surat permohonan yang di buat sendiri atau lewat
kuasanya di tunjukan ke pengadilan yang berwenang.

2. Foto copy identitas seperti KTP.

3. Vorschot biaya perkara dan bagi yang miskin dapat mengajukan dispensasi biaya dengan
membawa surat keterangan miskin dari kelurahan atau kecamatan.

4. Surat keterangan kematian untuk perkara waris.

5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi PNS (untuk perkara
poligami).

6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara poligami)

7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami)

8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai, permohonan cerai, gugatan
nafkah,istri, dan lainlain).

9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan tentang

xxvi
mut’ah).

10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan.

Kewenangan relatif ataupun relative competentie merupakan kekuasaan serta


wewenangan yang diberikan antara majelis hukum dalam area yang sama ataupun wewenang
yang berhubungan dengan daerah hukum antara Majelis hukum Agama dalam area Peradilan
Agama. Misalnya antara Majelis hukum Agama Bandung dengan Majelis hukum Agama
Bogor.

Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan

2. Warisan

3. Wasiat

4. Hibah

5. Wakaf

6. Zakat

7. Infaq

8. Shodaqoh

9. Ekonomi Syari’ah

B. Saran

Kami sebagai penyusun makalah ini menyarankan agar seluruh pembaca tidak merasa
puas atas makalah ini, sehingga para pembaca bisa mencari literasi yang lebih banyak lagi.
Agar kelak para pembaca bisa memberi kritik dan saran yang baik atas semua kekurangan
makalah ini kepada kami sebagai penyusun makalah.

Harapan kami, makalah ini bisa bermanfaat untuk seleuruh pembaca, terutama para
mahasiswa yang mengambil program studi Hukum Ekonomi Syariah. Dan kami haturkan

xxvii
terimakasih sudah berkenan membaca makalah kami serta dimohon dengan sangat atas segala
kekurangan yang ada pada makalah ini, pembaca bisa memaklumi.

DAFTAR PUSTAKA

Darmansyah, Hasyim. 1989. Hukum Acara Peradilan Agama. Banjarmasin : Lambung


Mangkurat University.

Roihan, A. Rasyid. 2016. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta : Pt. Raja Grafindo
Persada.

Bisri, Cik Hasan. 2000. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : Pt. Raja Grafindo Persada.

Daud Ali, Mohammad. 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta : Pt. Raja Grafindo
Persada.

Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah. Jakarta :
Sinar Grafika.

Sudirman. 2021. Hukum Acara Peradilan Agama. Parepare : IAIN Parepare Nusantara Press.

xxviii

You might also like