Professional Documents
Culture Documents
Ajeng 2010631010002 Tindakpidanakhusus
Ajeng 2010631010002 Tindakpidanakhusus
UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(TIPIKOR)
Dibuat untuk memenuhi tugas Tindak Pidana Khusus yang diampu oleh
Bapak Setia Budi Hartono,M.H
Oleh :
Ajeng Robiatul Adawiah (2010631010002)
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2022
DAFTAR ISI
BAB 1······································································································3
PENDAHULUAN·······················································································3
1.1 Latar Belakang························································································3
1.2 Rumusan Masalah····················································································5
1.3 Tujuan··································································································5
BAB II······································································································6
PEMBAHASAN·························································································6
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi······························································6
2.2 Kedudukan Pihak Ketiga dalam Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi························8
2.3 Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia··············10
BAB III···································································································16
PENUTUP·······························································································16
3.1 Kesimpulan··························································································16
DAFTAR PUSTAKA··················································································17
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa saja yang menjadi faktor terjadinya korupsi
2. Mengetahui kedudukan pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi
3. Mengetahui pengaturan Undang-Undang mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi
Syeh Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi mengatakan korupsi seperti
wabah penyakit menular yang berbahaya. Pendapatnya itu didasari pada anggapan bahwa
perilaku korupsi sangat berbahaya seperti halnya wabah penyakit yang menular dengan tidak
mengenal korbannya. Penulis beranggapan bahwa korupsi bahkan lebih berbahaya dari
wabah penyakit menular. Korupsi sangat berkaitan erat dengan keserakahan dan mementingk
an diri sendiri. Prof. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa korupsi sulit diberantas karena
adanya Dua faktor utama. Pertama, adalah alasan dari segi historis budaya. Kedua, adalah
karena lemahnya Perundang-undangan. Menurut penulis, Pendapat tersebut sangat tidak
tepat. Ada kritik yang menyatakan bahwa budaya memiliki tiga unsur penting, yaitu estethic,
artistic, dan beauty. Oleh karenanya korupsi tidak dapat disebut Sebagai budaya, tidak ada
etisnya, tidak artistik, apalagi beauty. Untuk itulah penulis dengan tegas menyatakan bahwa
korupsi bukanlah suatu budaya.
Prof. Andi Hamzah pernah menjabarkan mengapa korupsi sangat sulit
diberantas dalam Empat alasan, yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya pendapatan pegawai negeri.
2. Latar belakang budaya Indonesia.
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien.
4. Adanya anggapan bahwa korupsi adalah hasil Dari modernisasi.
Pertama, mengenai pendapatan atau gaji pegawai negeri. Bahwa gaji yang kecil yang
mendorong penyelenggara negara untuk melakukan korupsi hingga pernah ada wacana
hendak menaikkan gaji pegawai negeri untuk mencegah korupsi. Bagi sebagian kalangan
mungkin obat tersebut mujarab, tetapi bagi sebagian kalangan tertentu belum tentu sehingga
perlu dicari obat lain. Apakah pelaku korupsi hanya mereka yang gajinya kecil saja? Tidak.
Dari pegawai yang gaji kecil sampai besar semuanya dapat terkena korupsi. Ada yang
korupsi karena butuh (corruption by needs) dan ada yang korupsi karena rakus (corruption by
greed).
Kedua, mengenai latar belakang budaya Indonesia. Sejalan dengan kritik penulis
terhadap pendapat Prof. Romli Atmasasmita. Bahwa “budaya” di sini bukanlah suatu hal
yang buruk. Karena “budaya” yang dimaksud di sini antara lain budaya memberikan upeti
kepada pembesar atau penguasa, yang sekarang ini dapat dikategorikan sebagai suap karena
adanya kepentingan tertentu yang hendak diperjuangkan. Contoh lain saat membuat KTP.
Terdapat mindset apabila Petugas kelurahan tidak diberi uang maka prosesnya akan
dipersulit. Kultur “setoran” inilah yang seharusnya mulai dihilangkan. Terlebih hal-hal
demikian tidak sepantasnya dikatakan sebagai budaya yang menjunjung tinggi estethic,
artistic, dan beauty. Jangan membenarkan apa yang telah menjadi kebiasaan. Mulailah untuk
membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
Ketiga, mengenai manajemen yang Kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
Efisien. Hal ini tentunya banyak dijumpai bahkan di kehidupan sehari-hari. Contoh suap
sebagai salah satu bentuk korupsi. Melanggar lalu lintas dan terkena tilang, asal ada “uang
aman” masalah selesai. Ingin mempercepat pengurusan dokumen tertentu di kelurahan,
dikenal istilah “uang pelicin”, dan masih banyak lagi. Hal-hal kecil seperti ini terjadi di
kehidupan sehari-hari karena adanya sistem manajemen dan kontrol yang kurang baik,
sehingga menimbulkan adanya celah-celah yang dapat dimanfaatkan.
Keempat, mengenai anggapan bahwa Korupsi adalah hasil dari modernisasi. Akibat
modernisasi, penggunaan sumber daya manusia berkurang dan mulai tergantikan oleh banyak
Mesin. Manusia akhirnya berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan posisinya agar tidak
runtuh, kalau perlu dengan segala macam cara termasuk memperkaya diri sendiri melalui
jalan Korupsi. Selain itu ada juga faktor lain yang mendorong terjadinya Korupsi. Menurut Pu
sat Edukasi Antikorupsi dari KPK, faktor penyebab korupsi dibagi menjadi dua, faktor internal dan ek
sternal.
Kutipan pasal tersebut penting untuk dicermati mengingat pada prakteknya pihak ketiga yang tidak
memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi seringkali dirugikan haknya atas
kepemilikan suatu barang dalam hal terjadinya upaya paksa berupa penyitaan atau
perampasan barang barang yang diduga ada kaitanya dengan tindak pidana korupsi. Untuk
mengkaji hal tersebut ada beberapa hal yang perlu untuk di garisbawahi, pertama siapakah
pihak ketiga yang beriktikat baik dalam pasal tersebut dan kedua bagaimana upaya kebertan
yang dapat dilakukan apabila pihak ketiga yang bersangkutan telah dirugikan atas tindakan
penyitaan barang dengan dasar tindak pidana korupsi orang lain.
Tidak hanya didalam KUHAP, dalam UU PTPK pasal 18 huruf a juga disebutkan
bahwa : “perampasan hasil tindak pidana korupsi bukanlah sebuah pemidanaan saja
melainkan juga sebagai upaya pengembalian ases/ asset recovery. Sebagai sebuah
pemidanaan seharusnya perampasan hanya dapat dilakukan kepada pihak yang memang
mengemban kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana
yang ia lakuak. Oleh sebab itu perlindungan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab atas
tindak pidana orang lain harusnya diberikan perlindungan hukum.
Mengenai pihak ketiga yang disinggung dalam pasal 19 UU PTPK dan dikaitkan
dengan tindakan penyitaan, maka seseorang atau pihak ketiga dapat dikatakan beriktikat baik
manakala dalam memperoleh barang barang, harta ataupun asset yang dimilikinya memenuhi
unsur unsur yang termaktub dalam doktrin hukum pada pasal 1338 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata atau BW
berupa kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Dalam kata lain pihak ketiga tersebut dalam
mendapatkan barang, harta ataupun asetnya tidak pernah mengetahui bahwa hal tersebut
merupakan hasil dari suatu tindak pidana dan proses pengalihan hak kepada dirinya didasari
atas hak yang sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
Dalam upaya keberatan yang dapat ditempuh untuk mengambil kembali barang, harta
atau asset pihak ketiga, dalam pasal 19 UU PTPK tidak dijelaskan mengenai teknis pengajuan
keberatannya. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, maka untuk mengajukan
keberatannya pihak ketiga yang bersangkutan dapat mengacu pada Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2013 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana
Lainnya. Upaya keberatan dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri Yang Daerah
Hukumnya Meliputi Tempat keberadaan Harta Kekayaan (pasal 5 ayat (1))
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Dalam hukum pidana pengertian melawan hukum (wederrechtelijk) mempunyai arti
yang luas (formil dan materil). Para ahli menyatakan melawan hukum dalam arti luas
berarti meliputi perbuatan yang “bertentangan dengan hukum objektif, bertentangan
dengan hukum subjektif orang lain (hak orang lain), tanpa hak dan bertentangan
dengan hukum tak tertulis”. Dengan kata lain ‘melawan hukum’ dalam arti luas ini
bukan saja berarti perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum tertulis,
tetapi juga asas asas umum hukum yang berlaku, termasuk hukum tidak tertulis.
b) Dalam rumusan delik, keberadaan sifat melawan hukum merupakan syarat mutlak
dari dapat dipidananya tindakan. Jika sifat ini dinyatakan dengan tegas dalam suatu
rumusan delik (sebagai suatu unsur) maka dia harus dicantumkan dalam dakwaan dan
dibuktikan di persidangan. Namun jika tidak dicantumkan secara tegas dalam
rumusan delik, maka yang perlu dibuktikan hanyalah perbuatan yang dilarang dalam
rumusan delik tersebut.
c) Dalam sejarah pengaturan tindak pidana korupsi secara khusus, pengertian ‘melawan
hukum’ telah dikenal sejak adanya peraturan penguasa militer tahun 1957, meski
bukan sebagai unsur delik. Dalam peraturan tersebut, melawan hukum memilikimakna
yang sangat luas, yaitu ditafsirkan sebagai (semua) perbuatan yang tidak bermoral.
Istilah ‘melawan hukum’ kemudian dicantumkan didalam rumusan tindak pidana
‘korupsi lainnya’ dalam peraturan penguasa perang tahun 1958, namun kemudian tak
dapat dijumpai lagi dalam rumusan UU 24/Prp/1960 yang menggantikannya.
Pengertian ‘melawan hukum’ dicantumkan lagi secara khusus sebagai unsur delik
tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU 3 tahun 1971, dalam makna formil dan
materilnya. Pengaturan dan makna melawan hukum yang demikian juga dapat
dijumpai dalam UU PTPK 31 tahun 1999.
Pengertian melawan hukum dalam arti luas tidak hanya berkembang dalam doktrin
dan dan peraturan tindak pidana korupsi, tetapi juga dalam praktek penerapan
hukumnya. Beberapa putusan pengadilan memperlihatkan adanya penerapan
melawan hukum dalam arti luas. Meskipun sudah ada putusan MK nomor 3 tahun
2006 yang menyatakan bahwa penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PTPK tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, sehingga melawan hukum dalam pasal ini harus dimaknai
sebagai melawan hukum formil
DAFTAR PUSTAKA
Akbari, Anugerah Rizki. Dalam tulisan “Legislasi, Interpretasi, dan Pemanfaatan Putusan :
Catatan atasProblem Penegakan Korupsi Bernama Disparitas Pemidanaan dan Inkonsistensi
Putusan”.
Agustina, Shinta dkk. Penafsiran Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 2 Undang Undang
PemberantasanTindak Pidana Korupsi. LeIP : Jakarta. 2016.
Ester, Lalola dkk. Studi Penerapan Pasal Gratifikasi Yang Di Anggap Suap Dalam Undang
UndangTindak Pidana Korupsi. Indonesia Corruption Watch : Jakarta. 2014.
Isra, saldi dan Eddy Hiariej dalam tulisan perspektif hukum pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Hiariej, Eddy. Telaah Kritis Putusan Mahkamh Konstitusi dan Dampaknya Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mimbar Hukum. Yogyakarta : 2006.
Junaidi, dalam tulisannya “Komisi Anti Korupsi di Negeri Sarat Korupsi dan Birokrasi Serba
Komisi”.
Peraturan dan Perundangan
Peraturan No. PRT – PM – 06/1957 tertanggal 9 April 1957, yang diterbitkan oleh Kepala
StaffAngkatan Darat selaku Penguasa Militer atas Daerah Angakatan Darat di Seluruh
Wilayah Indonesia.Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat tanggal 16
April 1958No.Prt/Peperpu/013/1958 beserta peraturan peraturan pelaksanaannya dan
Peraturan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April
1958.