Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 jo.

UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(TIPIKOR)

Dibuat untuk memenuhi tugas Tindak Pidana Khusus yang diampu oleh
Bapak Setia Budi Hartono,M.H

Oleh :
Ajeng Robiatul Adawiah (2010631010002)

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2022
DAFTAR ISI

BAB 1······································································································3
PENDAHULUAN·······················································································3
1.1 Latar Belakang························································································3
1.2 Rumusan Masalah····················································································5
1.3 Tujuan··································································································5
BAB II······································································································6
PEMBAHASAN·························································································6
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi······························································6
2.2 Kedudukan Pihak Ketiga dalam Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi························8
2.3 Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia··············10
BAB III···································································································16
PENUTUP·······························································································16
3.1 Kesimpulan··························································································16
DAFTAR PUSTAKA··················································································17
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah pemberantasan korupsi yang cukup panjang di Indonesia menunjukkan bahwa


pemberantasan tindak pidana korupsi memang membutuhkan penanganan yang ekstra keras
dan membutuhkan kemauan politik yang sangat besar dan serius dari pemerintah yang
berkuasa. Politik pemberantasan korupsi itu sendiri tercermin dari peraturan Perundang-
undangan yang dilahirkan pada periode pemerintahan tertentu. Lahirnya Undang-undang
yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana Korupsi sesungguhnya
tidaklah cukup untuk menunjukkan keseriusan atau komitmen Pemerintah. Perlu lebih dari
sekedar melahirkan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu menerapkan ketentuan yang
diatur di dalam undang-undang dengan cara mendorong aparat penegak hukum yang
berwenang untuk memberantas korupsi dengan cara-cara yang tegas, berani, dan tidak
pandang bulu.
Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau ”extra
ordinary crime”, sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai ”beyond the law” karena
melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi
kalangan atas (high level beurocratic), baik birokrat ekonomi maupun pemerintahan.
Bayangkan saja, kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan ini sangat sulit
pembuktiannya, selain itu kehendak adanya pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata
terbentur dengan kepentingan kekuasaan yang sangat mungkin melibatkan para birokrasi
tersebut, akibatnya sudah dapat diperkirakan bahwa korupsi ini seolah-olah menjadi ”beyond
the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang ”untouchable by the law”
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini
menegaskan bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Tujuan
undang-undang ini untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman
penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, serta perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dalam UU
Tipikor tercantum hukuman dan denda bagi pelaku korupsi atau yang disebut koruptor.
Pelaku dari tindak pidana korupsi ini berasal dari pegawai negeri atau penyelenggara negara,
penegak hukum, atau siapa saja dalam jabatannya yang merugikan keuangan negara. Setelah
pelaku ditangkap, pelaku dari tindak pidana korupsi ini akan ditangani oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi yang merupakan pengadilan khusus dalam Peradilan Umum.
Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nom
or 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pem
berantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang kemudian mengalami perubahan lagi d
alam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 adalah: “Setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Melalui pengertian tindak pidana korupsi dari Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor ini, terlihat
bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yaitu melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri, dan
kerugian negara. Sementara itu, pengertian penggelapan berdasarkan dari Pasal 372 Kitab Un
dang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah: “Barang siapa dengan sengaja menguasai sec
ara melawan hukum, sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang
lain, yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena salah telah melakukan penggela
pan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan hukuman
denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.”
Ada pula pengaturan yang serupa tetapi tidak sama, yaitu tentang penggelapan.
Penggelapan ini merupakan kejahatan yang hampir sama dengan pencurian, tetapi pada saat
terjadi penggelapan, barang sudah berada pada pelaku tanpa melalui kejahatan atau melawan
hukum. Selain itu, kejahatan ini dapat dilakukan oleh siapapun sepanjang barang tidak dikuasai pelaku se
cara melawan hukum. Dalam proses beracara, pelaku penggelapan akan ditangani di lingkungan Peradilan
Umum, baik di Pengadilan Negeri sebagai pengadilan pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan t
ingkat banding. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggelapan yang diatur dalam kete
ntuan pasal 372 KUHP dapat dilakukan oleh setiap orang, sementara penggelapan yang diatur
dalam UU Tipikor merupakan penggelapan yang hanya dapat dilakukan oleh pegawai negeri
dalam jabatannya.
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai
interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan
Undang-Undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk
memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999.

1.1 Rumusan Masalah


1. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya korupsi?
2. Bagaimana kedudukan pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi?
3. Bagaimana tindak pidana korupsi dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa saja yang menjadi faktor terjadinya korupsi
2. Mengetahui kedudukan pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi
3. Mengetahui pengaturan Undang-Undang mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi
Syeh Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi mengatakan korupsi seperti
wabah penyakit menular yang berbahaya. Pendapatnya itu didasari pada anggapan bahwa
perilaku korupsi sangat berbahaya seperti halnya wabah penyakit yang menular dengan tidak
mengenal korbannya. Penulis beranggapan bahwa korupsi bahkan lebih berbahaya dari
wabah penyakit menular. Korupsi sangat berkaitan erat dengan keserakahan dan mementingk
an diri sendiri. Prof. Romli Atmasasmita berpendapat bahwa korupsi sulit diberantas karena
adanya Dua faktor utama. Pertama, adalah alasan dari segi historis budaya. Kedua, adalah
karena lemahnya Perundang-undangan. Menurut penulis, Pendapat tersebut sangat tidak
tepat. Ada kritik yang menyatakan bahwa budaya memiliki tiga unsur penting, yaitu estethic,
artistic, dan beauty. Oleh karenanya korupsi tidak dapat disebut Sebagai budaya, tidak ada
etisnya, tidak artistik, apalagi beauty. Untuk itulah penulis dengan tegas menyatakan bahwa
korupsi bukanlah suatu budaya.
Prof. Andi Hamzah pernah menjabarkan mengapa korupsi sangat sulit
diberantas dalam Empat alasan, yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya pendapatan pegawai negeri.
2. Latar belakang budaya Indonesia.
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien.
4. Adanya anggapan bahwa korupsi adalah hasil Dari modernisasi.
Pertama, mengenai pendapatan atau gaji pegawai negeri. Bahwa gaji yang kecil yang
mendorong penyelenggara negara untuk melakukan korupsi hingga pernah ada wacana
hendak menaikkan gaji pegawai negeri untuk mencegah korupsi. Bagi sebagian kalangan
mungkin obat tersebut mujarab, tetapi bagi sebagian kalangan tertentu belum tentu sehingga
perlu dicari obat lain. Apakah pelaku korupsi hanya mereka yang gajinya kecil saja? Tidak.
Dari pegawai yang gaji kecil sampai besar semuanya dapat terkena korupsi. Ada yang
korupsi karena butuh (corruption by needs) dan ada yang korupsi karena rakus (corruption by
greed).
Kedua, mengenai latar belakang budaya Indonesia. Sejalan dengan kritik penulis
terhadap pendapat Prof. Romli Atmasasmita. Bahwa “budaya” di sini bukanlah suatu hal
yang buruk. Karena “budaya” yang dimaksud di sini antara lain budaya memberikan upeti
kepada pembesar atau penguasa, yang sekarang ini dapat dikategorikan sebagai suap karena
adanya kepentingan tertentu yang hendak diperjuangkan. Contoh lain saat membuat KTP.
Terdapat mindset apabila Petugas kelurahan tidak diberi uang maka prosesnya akan
dipersulit. Kultur “setoran” inilah yang seharusnya mulai dihilangkan. Terlebih hal-hal
demikian tidak sepantasnya dikatakan sebagai budaya yang menjunjung tinggi estethic,
artistic, dan beauty. Jangan membenarkan apa yang telah menjadi kebiasaan. Mulailah untuk
membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
Ketiga, mengenai manajemen yang Kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
Efisien. Hal ini tentunya banyak dijumpai bahkan di kehidupan sehari-hari. Contoh suap
sebagai salah satu bentuk korupsi. Melanggar lalu lintas dan terkena tilang, asal ada “uang
aman” masalah selesai. Ingin mempercepat pengurusan dokumen tertentu di kelurahan,
dikenal istilah “uang pelicin”, dan masih banyak lagi. Hal-hal kecil seperti ini terjadi di
kehidupan sehari-hari karena adanya sistem manajemen dan kontrol yang kurang baik,
sehingga menimbulkan adanya celah-celah yang dapat dimanfaatkan.
Keempat, mengenai anggapan bahwa Korupsi adalah hasil dari modernisasi. Akibat
modernisasi, penggunaan sumber daya manusia berkurang dan mulai tergantikan oleh banyak
Mesin. Manusia akhirnya berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan posisinya agar tidak
runtuh, kalau perlu dengan segala macam cara termasuk memperkaya diri sendiri melalui
jalan Korupsi. Selain itu ada juga faktor lain yang mendorong terjadinya Korupsi. Menurut Pu
sat Edukasi Antikorupsi dari KPK, faktor penyebab korupsi dibagi menjadi dua, faktor internal dan ek
sternal.

 Faktor penyebab korupsi secara umum (eksternal) :


1. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi
instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan dan politik uang merupakan
fenomena yang sering terjadi.
2. Faktor Hukum
Faktor hukum bisa dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi
lain lemahnya penegakan hukum. Ini bisa meliputi aturan yang diskriminatif dan tidak adil,
rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir, hingga sanksi yang
terlalu ringan.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Selain rendahnya
gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi,
diantara-Nya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi
pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor ekonomi
dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar
masalah korupsi. Namun, kenyataannya korupsi juga dilakukan oleh orang yang sudah kaya.
Ini membuat korupsi sebenarnya bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya,
kemiskinan disebabkan oleh korupsi.
4. Faktor organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di
mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang
atau kesempatan untuk terjadinya korupsi.

 Faktor penyebab korupsi secara (internal)


Merupakan faktor penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi. Faktor penyebab korupsi
internal di antaranya adalah:
1. Sifat Tamak / Rakus Manusia
Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah.
Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku
semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
2. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang
memberi kesempatan untuk itu.
3. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup yang konsumtif. Perilaku
konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang
seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi
4. Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa
lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan
mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam
hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya.

2.2 Kedudukan Pihak Ketiga dalam Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi


Penerapan Pasal 19 UU Nomor 31 Tahun 1999. Dalam pasal 19 Undang Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa :

(1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan


terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan
dirugikan.
(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga
barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu
paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka
untuk umum.
(3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan
penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
(5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.

Penjelasan pasal 19 ayat (3) :


Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka negara
berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas
barang tersebut.

Kutipan pasal tersebut penting untuk dicermati mengingat pada prakteknya pihak ketiga yang tidak

memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi seringkali dirugikan haknya atas
kepemilikan suatu barang dalam hal terjadinya upaya paksa berupa penyitaan atau
perampasan barang barang yang diduga ada kaitanya dengan tindak pidana korupsi. Untuk
mengkaji hal tersebut ada beberapa hal yang perlu untuk di garisbawahi, pertama siapakah
pihak ketiga yang beriktikat baik dalam pasal tersebut dan kedua bagaimana upaya kebertan
yang dapat dilakukan apabila pihak ketiga yang bersangkutan telah dirugikan atas tindakan
penyitaan barang dengan dasar tindak pidana korupsi orang lain.
Tidak hanya didalam KUHAP, dalam UU PTPK pasal 18 huruf a juga disebutkan
bahwa : “perampasan hasil tindak pidana korupsi bukanlah sebuah pemidanaan saja
melainkan juga sebagai upaya pengembalian ases/ asset recovery. Sebagai sebuah
pemidanaan seharusnya perampasan hanya dapat dilakukan kepada pihak yang memang
mengemban kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana
yang ia lakuak. Oleh sebab itu perlindungan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab atas
tindak pidana orang lain harusnya diberikan perlindungan hukum.
Mengenai pihak ketiga yang disinggung dalam pasal 19 UU PTPK dan dikaitkan
dengan tindakan penyitaan, maka seseorang atau pihak ketiga dapat dikatakan beriktikat baik
manakala dalam memperoleh barang barang, harta ataupun asset yang dimilikinya memenuhi
unsur unsur yang termaktub dalam doktrin hukum pada pasal 1338 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata atau BW
berupa kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Dalam kata lain pihak ketiga tersebut dalam
mendapatkan barang, harta ataupun asetnya tidak pernah mengetahui bahwa hal tersebut
merupakan hasil dari suatu tindak pidana dan proses pengalihan hak kepada dirinya didasari
atas hak yang sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
Dalam upaya keberatan yang dapat ditempuh untuk mengambil kembali barang, harta
atau asset pihak ketiga, dalam pasal 19 UU PTPK tidak dijelaskan mengenai teknis pengajuan
keberatannya. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, maka untuk mengajukan
keberatannya pihak ketiga yang bersangkutan dapat mengacu pada Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2013 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan
Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana
Lainnya. Upaya keberatan dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri Yang Daerah
Hukumnya Meliputi Tempat keberadaan Harta Kekayaan (pasal 5 ayat (1))

2.3 Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia


Sejak zaman kerajaan-kerajaan terdahulu, korupsi telah terjadi meski tidak secara
khusus menggunakan istilah korupsi pasca zaman kemerdekaan, ketika Indonesia mulai
membangun dan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, korupsi terus mengganas
sehingga mengganggu jalannya pembangunan nasional. Berbagai upaya pemberantasan
korupsi dilakukan oleh pemerintah sejak kemerdekaan, baik dengan menggunakan peraturan
perundang- undangan yang ada maupun dengan membentuk peraturan perundang-undangan
baru yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berikut ini adalah peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan untuk
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia beserta dengan penjelasan dan komentar-
komentar selama keberlakuannya (KemenristekdikTi, 2011:119-140) :
 Delik korupsi dalam KUHP (1946).
 Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1950.
 UU No. 24 (PRP) Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.
 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003.
 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
 PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
 Perpres No.55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.
 Inpres No. 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Tahun 2016 dan Tahun 2017.

• Delik Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari KUHP


Dalam perkembangannya tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak pasal dari UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang secara mutlak diambil dari KUHP.
Penting sekali bagi penegak hukum untuk memahami riwayat dibuatnya suatu pasal pada
undang-undang dan asalnya dari pasal dalam KUHP. Misalnya bila merujuk pada ketentuan
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 (sebelum diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001) yang
rumusannya sebagai berikut:
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan Pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan Paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling Sedikit Rp50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus Lima puluh juta rupiah).”
• Tabel Delik Korupsi yang secara mutlak diambil dari KUHP
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU Diadopsi dari KUHP
No.20 Tahun 2001
Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 209 ayat (1) ke-1

Pasal 5 ayat (1) huruf b Pasal 209 ayat (1) ke-2

Pasal 6 ayat (1) huruf a Pasal 210 ayat (1) ke-1


Pasal 6 ayat (1) huruf b Pasal 210 ayat (2) ke-2

Pasal 7 ayat (1) huruf a Pasal 387 ayat (1)

Pasal 7 ayat (1) huruf b Pasal 387 ayat (2)

Pasal 7 ayat (1) huruf c Pasal 388 ayat (1)

Pasal 7 ayat (1) huruf d Pasal 388 ayat (2)

Pasal 8 Pasal 415

Pasal 9 Pasal 416

Pasal 10 Pasal 417

Pasal 12 huruf a Pasal 419 ke-1

Pasal 12 huruf b Pasal 419 ke-2

Pasal 12 huruf c Pasal 420 ayat (1) ke-1

Pasal 12 huruf d Pasal 420 ayat (1) ke-2

Pasal 12 huruf e Pasal 423

Pasal 12 huruf f Pasal 425 ke-1

Pasal 12 huruf g Pasal 425 ke-2

Pasal 12 huruf h Pasal 425 ke-3

Pasal 12 huruf i Pasal 435

• Delik-Delik Tindak Pidana Korupsi


Terdapat 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi, yang mana dapat dikerucutkan menjadi 7 macam perbuatan
utama, yaitu:
1) Merugikan keuangan negara.
2) Suap.
3) Penggelapan dalam jabatan.
4) Paksaan mengeluarkan uang (pemerasan).
5) Perbuatan curang.
6) Benturan kepentingan dalam pengadaan (penipuan oleh pemborong).
7) Gratifkasi.
Ketujuh macam perbuatan utama tersebut apabila dijabarkan lebih mendetail akan
menjadi 30 bentuk perbuatan spesifk. Selain itu tindak pidana korupsi juga dapat ditelisik erat
kaitannya dengan tindak pidana lainnya, misalnya tindak pidana pencucian uang.
Selain ketujuh bentuk tindak pidana korupsi tersebut, masih ada tindak pidana lain yang berk
aitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu:
1. tindakan yang merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
2. tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
3. bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka tindak pidana korupsi;
4. saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;
5. orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keteran
gan palsu;
6. saksi yang membuka identitas pelapor.
Hukuman bagi pelanggar UU tersebut bervariasi, mulai pidana penjara satu tahun hin
gga seumur hidup dengan denda paling sedikit lima puluh juta rupiah hingga satu miliar rupia
h. Dengan banyaknya bentuk tindak pidana korupsi yang tercakup di dalam UU tersebut, sebe
tulnya pemerintah menghendaki pemberantasan tindak pidana korupsi secara tuntas dan menj
aring sebanyak mungkin koruptor.
• Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Korupsi, sebagai salah satu tindak pidana, pastilah dilakukan oleh subjek hukum,
yaitu suatu entitas atau segala sesuatu yang dapat memiliki hak dan kewajiban menurut
hukum. dalam ilmu hukum subjek hukum terbagi menjadi dua, yaitu manusia (natuurlijk
persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Perlu kiranya diuraikan secara singkat apa yang
dimaksud dengan subjek hukum manusia dan badan hukum tersebut dalam bagian ini.
a. Manusia (Natuurlijk Persoon)
Manusia sebagai subjek hukum memiliki arti bahwa manusia memiliki hak dan
kewajiban, Baik yang sudah ada sejak lahir hingga mati ataupun yang timbul sewaktu-waktu
ketika manusia melakukan tindakan hukum tertentu (Mertokusumo, 2010:92-93). Selain itu
perlu juga disoroti subjek hukum manusia yang berperan sebagai pegawai negeri, di mana
pegawai negeri yang dimaksud disini tidak hanya sebatas pegawai negeri yang diatur dalam
UU No.43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian an UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (Pasal 1 angka 1, 2, 3, dan 4) tetapi juga (2) pegawai negeri Sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 92 ayat (1) KUHP.
b. Badan Hukum/Korporasi (Rechtspersoon)
Badan hukum adalah organisasi atau Kelompok manusia yang mempunyai tujuan ter-
Tentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara dan perseroan terbatas misalnya,
adalah organisasi atau kelompok manusia yang merupakan badan hukum. Selain itu badan
Hukum bertindak sebagai satu kesatuan dalam lalu lintas hukum seperti orang. Secara teoritis
badan hukum dibagi menjadi dua jenis, yaitu badan hukum privat dan badan hukum publik.
Selain itu terdapat empat teori yang sering digunakan sebagai syarat badan hukum untuk
menjadi subjek hukum, yaitu:
1. Teori Fictie, bahwa badan hukum adalah Suatu rekayasa yang tidak nyata
(vonsavigny).
2. Teori Kekayaan Bertujuan, bahwa badan Hukum memiliki kekayaan yang
terpisah dengan kekayaan pemilik maupun anggotanya (Alois von Brinz).
3. Teori Pemilikan, hak dan kewajiban badan Hukum terpisah dengan hak dan
kewajiban Pemilik maupun anggotanya (Planiol dan MoLengraaf).
4. Teori Organ, bahwa dalam suatu badan Hukum ada organ-organ di dalamnya
yang menjalankan hak dan kewajibannya (Otto von Gierke).

c. Manusia dan Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsi


Suatu tindak Pidana biasanya hanya dapat dilakukan oleh Subjek hukum manusia
saja. Fenomena ini selaras dengan ketentuan yang termuat dalam KUHP bahwa hanya
manusia saja (yang tercermin dalam kata-kata “barang siapa”) yang dapat dijatuhi pidana,
baik dalam bentuk penjara, kurungan, maupun denda atau jenis-jenis pidana lainnya. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, ternyata mulai didapati pula tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi sebagai badan hukum. Hal ini tentu saja menimbulkan polemik
mengenai apakah badan hukum dapat dijatuhi pidana? Jawabannya adalah tentu saja bisa. UU
No. 31 Tahun 1999 mengamini bahwa subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana korupsi adalah subjek hukum manusia dan/atau badan hukum. Pasal
1 angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 secara tegas mengatur “Setiap orang adalah orang per-
seorangan atau termasuk korporasi.” Sedangkan definisi korporasi itu sendiri dapat ditemui
pada Pasal 1 angka 1 UU No. 31 Tahun 1999 yaitu “Korporasi adalah kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.” Meskipun sekilas terlihat seperti penyimpangan dari ketentuan KUHP, namun tentu
saja ketentuan ini sah dan legal karena sejalan dengan asas lex specialis derogat legi
generalis.

d. Kriteria Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi


Pasal 20 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa “Tindak pidana korupsi
di-lakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.” Terdapat setidaknya dua teori yang
dapat digunakan untuk menjelaskan tindak pidana korupsi oleh korporasi. Pertama, teori
pelaku fungsional (functioneel daaderschap) yang dijelaskan oleh Prof. Mardjono
Reksodiputro. Teori ini memandang bahwa dalam lingkungan sosial Ekonomi, pelaku tidak
perlu selalu melakukan Perbuatan itu secara fisik, tetapi dapat saja perbuatan tersebut
dilakukan oleh pegawainya, asalkan perbuatan tersebut masih dalam ruang lingkup fungsi-
fungsi dan kewenangan korporasi. Apabila pegawai tersebut melakukan suatu pelanggaran
yang dilarang oleh hukum, sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh korporasi. Kedua, teori identifikasi (identifcation Theory). Teori ini pada
intinya menyatakan bahwa Korporasi dapat melakukan perbuatan pidana Secara langsung
melalui orang-orang yang sangat Berhubungan erat dengan korporasi yang dalam derajat
tertentu dapat dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan oleh
anggota-anggota tertentu dari korporasi, selama perbuatan itu berkaitan dengan korporasi,
dianggap sebagai perbuatan dari korporasi itu sendiri.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Perubahan Undang-undang Nomar 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari segi materiil muatan
nya membawa perubahan yang cukup substansial, sehingga secara filosofis, sosiologis, dan y
uridis diharapkan mampu memberikan daya berlaku yang kuat, dalam upaya mewujudkan pe
negakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Pokok-po
kok perubahan di antaranya adalah: penyebutan secara langsung unsur-unsur yang terdapat da
lam masing-masing Pasal KUHP yang diacu, penghapusan ketentuan minimum denda dan pi
dana penjara, pengaturan mengenai gratifikasi dan pengecualiannya, perluasan alat bukti, pe
mbuktian terbalik, hak negara melakukan gugatan perdata dan penegasan terhadap pemberlak
uan undang-undang korupsi sebelumnya.
Paling tidak ada 3 pilar dalam masyarakat yang harus dilibatkan dalam gerakan anti k
orupsi yakni: civil society, kalangan bisnis dan media massa. Gerakan anti korupsi tersebut ti
dak akan berhasil jika tidak didukung masyarakat. Kalangan bisnis harus sadar bahwa korups
i dalam jangka panjang akan merugikan perkembangan bisnis karena akan menimbulkan bisn
is biaya tinggi yang tidak kompetitif. Media massa sangat penting dalam menggelembungkan
gerakan antikorupsi". Meskipun demikian, suatu pandangan mengatakan bahwa jika anda me
miliki pengemudi yang buruk, mengganti mobil tidak akan menyelesaikan masalah. Hal ini m
enggambarkan inkonsistensi penegak hukum sangat mendukung tercapainya legal spirit dari
hukum itu sendiri.
Asas yang terkandung yaitu, Asasa lex superior derogat legi imperiori berarti hukum
yang lebih tinggi tingkatnya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah.
Sedangkan Asas lex specialis derogat legi generali adalah asas yang menyatakan aturan
hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum. Kedudukan
KUHP dalam peraturan perundang-undangan Indonesia disetarakan dengan undang-undang,
sehingga penggunaan UU Tipikor untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi tidak
bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori.
Meski dari pernyataan di atas tersirat hubungan genus-species antara melawan hukum
dan menyalahgunakan kewenangan, peneliti sendiri berpendapat bahwa kedua delik tersebut
merupakan delik yang berbeda. Hubungan genus-species dalam hukum pidana, khususnya
dalam rumusan delik, ada dua bentuk yaitu delik yang dikualifikasi (gekwalificeerd delict)
dan delik yang lebih ringan (geprivilegieerd delict). Jika memang ada hubungan genus-
species tersebut, maka delik dalam pasal 3 haruslah merupakan bentuk yang dikualifikasikan
dari delik dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini dikarenakan unsur menyalahgunakan kewenangan
sebagai bentuk yang serius dari pada melawan hukum. Oleh karena itu, ancaman pidana
dalam delik tersebut seharusnya lebih berat daripada dalik yang diatur di dalam Pasal 2
ayat (1)
Hubungan kedua delik tersebut membawa konsekuensi pada model surat dakwaan
yang harus dipakai dalam menangani perkara korupsi dengan kedua pasal tersebut. Jika
hubungan kedua delik tersebut adalah delik yang berbeda, maka surat dakwaan haruslah
alternative. Tapi jika hubungan dianggap sebagai genus-species, maka surat dakwaan
seharusnya adalah subsidiaritas. Hal ini terkait dengan Pasal/ ketentuan yang lebih berat
sebagai dakwaan primer, dan ketentuan yang lebih ringan sebagai dakwaan subside, dan
seterus.

Perdebatan tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ma


sih terus berlangsung. Putusan bertanggal 25 Juli 2006 ini membatalkan sifat melawan huku
m materil dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Ti
ndak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Arti putusan itu, sifat melawan hukum dalam perkara-per
kara korupsi mesti ditafsirkan sebagai melawan hukum formil yang diatur UU. Namun, pener
apan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor oleh aparat penegak hukum untuk menjerat terd
akwa korupsi ini masih menimbulkan beragam penafsiran dalam praktik peradilan. Indikatorn
ya, beberapa kasus korupsi yang diputus pengadilan (Pengadilan Tipikor) hingga Mahkamah
Agung (MA), berbeda memaknai pasal itu lantaran perdebatan apakah tipikor delik formil ata
u materil?
Namun, keadaan darurat tetap tidak menghapus atau menghilangkan sifat melawan hu
kum tindak pidana korupsi yang boleh dilakukan oleh siapapun termasuk pejabat darurat sipil.
 Menurut Mahkamah keadaan darurat dapat menjadi alasan pembenar atau alasan pemaaf dal
am proses peradilan pidana seperti dialami pemohon. Tetapi, penilaian itu merupakan kewena
ngan hakim peradilan umum untuk menilai dan mempertimbangkannya. Para pemohon berha
rap jika dikabulkan akan mengubah paradigma tafsir pasal tersebut bahwa yang dapat dipidan
a tipikor adalah setiap orang yang secara materil melakukan tipikor (melawan hukum) dan m
erugikan negara/perekonomian negara secara nyata.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Dalam hukum pidana pengertian melawan hukum (wederrechtelijk) mempunyai arti
yang luas (formil dan materil). Para ahli menyatakan melawan hukum dalam arti luas
berarti meliputi perbuatan yang “bertentangan dengan hukum objektif, bertentangan
dengan hukum subjektif orang lain (hak orang lain), tanpa hak dan bertentangan
dengan hukum tak tertulis”. Dengan kata lain ‘melawan hukum’ dalam arti luas ini
bukan saja berarti perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum tertulis,
tetapi juga asas asas umum hukum yang berlaku, termasuk hukum tidak tertulis.

b) Dalam rumusan delik, keberadaan sifat melawan hukum merupakan syarat mutlak
dari dapat dipidananya tindakan. Jika sifat ini dinyatakan dengan tegas dalam suatu
rumusan delik (sebagai suatu unsur) maka dia harus dicantumkan dalam dakwaan dan
dibuktikan di persidangan. Namun jika tidak dicantumkan secara tegas dalam
rumusan delik, maka yang perlu dibuktikan hanyalah perbuatan yang dilarang dalam
rumusan delik tersebut.

c) Dalam sejarah pengaturan tindak pidana korupsi secara khusus, pengertian ‘melawan
hukum’ telah dikenal sejak adanya peraturan penguasa militer tahun 1957, meski
bukan sebagai unsur delik. Dalam peraturan tersebut, melawan hukum memilikimakna
yang sangat luas, yaitu ditafsirkan sebagai (semua) perbuatan yang tidak bermoral.
Istilah ‘melawan hukum’ kemudian dicantumkan didalam rumusan tindak pidana
‘korupsi lainnya’ dalam peraturan penguasa perang tahun 1958, namun kemudian tak
dapat dijumpai lagi dalam rumusan UU 24/Prp/1960 yang menggantikannya.
Pengertian ‘melawan hukum’ dicantumkan lagi secara khusus sebagai unsur delik
tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU 3 tahun 1971, dalam makna formil dan
materilnya. Pengaturan dan makna melawan hukum yang demikian juga dapat
dijumpai dalam UU PTPK 31 tahun 1999.
Pengertian melawan hukum dalam arti luas tidak hanya berkembang dalam doktrin
dan dan peraturan tindak pidana korupsi, tetapi juga dalam praktek penerapan
hukumnya. Beberapa putusan pengadilan memperlihatkan adanya penerapan
melawan hukum dalam arti luas. Meskipun sudah ada putusan MK nomor 3 tahun
2006 yang menyatakan bahwa penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PTPK tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, sehingga melawan hukum dalam pasal ini harus dimaknai
sebagai melawan hukum formil
DAFTAR PUSTAKA

Akbari, Anugerah Rizki. Dalam tulisan “Legislasi, Interpretasi, dan Pemanfaatan Putusan :
Catatan atasProblem Penegakan Korupsi Bernama Disparitas Pemidanaan dan Inkonsistensi
Putusan”.

Fiat Justitia MaPPI FHUI : Depok. 2013.


Agustina, Shinta. Penjelasan Hukum Unsur Melawan Hukum. MA RI. Jakarta : 2016.

Agustina, Shinta dkk. Obstruction of Justice. Themis Publishing : Jakarta. 2015.

Agustina, Shinta dkk. Penafsiran Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 2 Undang Undang
PemberantasanTindak Pidana Korupsi. LeIP : Jakarta. 2016.

Ester, Lalola dkk. Studi Penerapan Pasal Gratifikasi Yang Di Anggap Suap Dalam Undang
UndangTindak Pidana Korupsi. Indonesia Corruption Watch : Jakarta. 2014.

Isra, saldi dan Eddy Hiariej dalam tulisan perspektif hukum pemberantasan korupsi di
Indonesia.

Hiariej, Eddy. Telaah Kritis Putusan Mahkamh Konstitusi dan Dampaknya Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mimbar Hukum. Yogyakarta : 2006.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan Tahunan 2015 “Menolak Surut”. Komisi


Pemberantasan Korupsi: Jakarta. 2016. Hlm. 106.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Memahami untuk Membasmi. Komisi


PemberantasanKorupsi : Jakarta. 2006.

Kumpulan Naskah Kompas. Jangan Bunuh KPK “Perlawanan Terhadap Usaha


Pemberantasan TindakPidana Korupsi”. Kompas : Jakarta. 2009.

Junaidi, dalam tulisannya “Komisi Anti Korupsi di Negeri Sarat Korupsi dan Birokrasi Serba
Komisi”.
Peraturan dan Perundangan

Peraturan No. PRT – PM – 06/1957 tertanggal 9 April 1957, yang diterbitkan oleh Kepala
StaffAngkatan Darat selaku Penguasa Militer atas Daerah Angakatan Darat di Seluruh

Wilayah Indonesia.Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat tanggal 16
April 1958No.Prt/Peperpu/013/1958 beserta peraturan peraturan pelaksanaannya dan
Peraturan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April

1958.

You might also like