Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 16

Author’s Name[s]

Jurnal Hukum

SAMUDRA
Editorial Office : Jl. Prof. Syarief Thayeb, Meurandeh, Kota Langsa – Aceh

Email : samudrakeadilan.fhus@gmail.com
P-ISSN:
2615-3416 Website : https://ejurnalunsam.id/index.php/jhsk

Sistem pidana dan pemidanaan di Indonesia

Nama:Maulana Aujan
Program studi:ilmu hukum
Email:mailto:Maulanaaujan46@gmail.com

Abstract

Penal Code reform to improve the prison system is still underway Done Among the many things
that need to be updated, one of them is important in the correctional system Correctional system
is also a crucial factor in Indonesia’s criminal law reform Structurally This should actually be
included in the concept of legal reform. A criminal Barda Nawawi called it a crucial survival
policy. The crime mentioned the importance of a structural punishment system, which also
means Uniform policy in prisons. The problem is how the crime and punishment system works in
the current criminal code and examines the criminal and correctional system in the new concept
of criminal law as part of Indonesia’s criminal law reform. Although the research method The
type of research to be carried out is legal research. The concept of the prison system in reform
is normative. Criminal law in Indonesia is through normative collection of information and
what is available in criminally relevant laws. This article has discussed In simple words, the
current focus of the Indonesian criminal justice system is on criminal acts and criminal
responsibility lies with people who are directly involved in criminal cases. However, parties
other than those involved are often also involved in criminal acts. A concrete example: when a
child commits a crime, the “crime” is not simply assigned to the child, but to the parents, even
though, for example, the prescribed punishment applies. So that parents are also responsible for
the actions taken His son.

Keywords: Criminal system, punishment, criminal law reform

Abstrak

Reformasi KUHP untuk memperbaiki sistem penjara masih berlangsung Selesai Di antara
banyak hal yang perlu diperbarui, salah satunya penting dalam sistem pemasyarakatan Sistem
pemasyarakatan juga merupakan faktor krusial dalam reformasi hukum pidana Indonesia
Secara struktural Ini sebenarnya harus dimasukkan dalam konsep reformasi hukum Seorang
penjahat Barda Nawawi menyebutnya sebagai kebijakan bertahan hidup yang krusial
Kejahatan menyebutkan pentingnya sistem hukuman struktural, yang juga berarti Kebijakan
seragam di penjara. Masalahnya adalah bagaimana sistem bekerja Kejahatan dan hukuman
dalam hukum pidana saat ini dan memeriksa sistem pidana dan pemasyarakatan Dalam konsep
baru hukum pidana sebagai bagian dari reformasi hukum pidana Indonesia. Meskipun metode

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

penelitian Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum Konsep sistem penjara
dalam reformasi bersifat normatif Hukum pidana di Indonesia yaitu melalui pengumpulan
informasi secara normatif dan apa yang tersedia Dalam undang-undang yang relevan secara
pidana. Artikel ini telah dibahas Dengan kata sederhana, fokus sistem peradilan pidana
Indonesia saat ini adalah tindakan Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terletak
pada orang yang terlibat langsung Kasus-kasus kriminal Namun, pihak-pihak selain yang
bersangkutan seringkali terlibat Juga dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana.
Contoh konkrit: ketika seorang anak melakukan kejahatan, “kejahatan” itu tidak begitu saja
ditetapkan Untuk anak, tetapi untuk orang tua, meskipun, misalnya, hukuman yang ditentukan
berlaku Hukuman yang bagus Hal ini karena mengikuti logika bahwa anak tetap menjadi
tanggung jawab orang tua, sehingga orang tua juga bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan.
Anak laki-lakinya.

Kata kunci: Sistem Pidana, pemidanaan, pembaharuan hukum pidana

A. PENDAHULUAN

Anak merupakan generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
potensial dan pendukung cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, serta
memiliki sifat dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan fisik,
mental, dan sosial. ukuran Bagi bangsa Indonesia
anak merupakan objek dan modal pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat
yang adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Itulah sebabnya
anak membutuhkan bimbingan, bimbingan khusus, agar dapat berkembang secara
optimal baik fisik, mental maupun emosional. Proses penyuluhan dan pelatihan
meliputi proses pembentukan nilai bagi generasi muda. Nilai-nilai tersebut terdiri dari
berbagai faktor internal dan eksternal. Oleh karena itu, keluarga memahami proses
pembentukan nilai anak-anak remajanya, karena aspek-aspek tersebut pasti mereka
jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini penting karena membentuk pola
hubungan dan interaksi dengan orang lain. Faktor terpenting yang membentuk nilai-
nilai seorang remaja adalah keluarga, agama, sekolah dan lingkungan. Lingkungan
selalu berdampak ganda pada nilai-nilai anak muda.

Misalnya, pembalut memiliki efek positif karena membawa nilai kebaikan jika berada
di koridor yang tepat. Namun, saat berpacaran, remaja juga sering terlibat dalam
tindakan ilegal, asusila, asusila bahkan kriminalitas. Perilaku menyimpang remaja
dalam pengertian kenakalan remaja adalah perbuatan atau kegiatan seseorang yang
belum dewasa. yang dengan sengaja melanggar hukum, dan anak itu sendiri memahami
bahwa perbuatannya dapat dihukum dengan sanksi atau hukuman (tindak pidana).
Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus diminta dan/atau
diandalkan oleh setiap negara ketika berurusan dengan anak-anak yang lahir di luar
nikah. Hukum internasional mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

hukum dan penghormatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dengan
mengembangkan undang-undang, prosedur, otoritas dan lembaga (institusi).
Berdasarkan UU Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997, Pasal 1, Ayat 1, Anak adalah
seseorang yang telah mencapai umur 8 tahun dalam hal anak tetapi belum mencapai
umur 18 tahun dan belum menikah. Pengecualian terhadap ketentuan pasal ini adalah
dalam hal seseorang belum mencapai usia 18 tahun tetapi telah menikah. Anak tersebut
tetap dianggap dewasa meskipun belum mencapai usia 18 tahun. Ana Sistem Peradilan
Pidana Pasal 1 Ayat 3 Anak yang berhadapan dengan hukum yang selanjutnya disebut
anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun dan melakukan tindak pidana yang patut diduga . Berdasarkan
Pasal 27 (1) UUD 1945, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib mentaati hukum dan pemerintahan itu tidak ada
kecualinya. Namun demikian, ada perlindungan khusus terhadap anak sebagai pelaku
kejahatan, yang tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan anak dan masa
depannya. Juga, Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002, Bagian 1, Ayat 2,
menjelaskan bahwa "Perlindungan anak mencakup semua kegiatan yang menjamin
perlindungan individu dan individu." Berbagai bentuk kejahatan (baik WvS maupun
konsep pidana baru) juga mengatur keberadaan “penjahat”.

yang memerintahkan kejahatan” dan “berpartisipasi” dalam kejahatan tersebut. Logika


tanggung jawab struktural adalah konteks yang dapat menghasilkan pengawasan atau
tanggung jawab, atau mengabaikannya sehingga kejahatan dilakukan. Oleh karena itu
jelas bahwa dalam hal tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, selain pelaku
perorangan juga dapat dilibatkan. Pertanggungjawaban pidana dilihat tidak hanya
dalam pelaksanaan tindak pidana, tetapi juga diperhatikan hubungan psikologis dan
historis para pelakunya. Tindak pidana yang harus tetap dalam kerangka kewajaran.
Barda Nawawi menyebutnya sebagai kebijakan terpadu dalam pencegahan kejahatan
dengan menyebutkan pentingnya sistem pemasyarakatan yang terstruktur, yang juga
berimplikasi pada kebijakan yang terintegrasi dalam sistem pemasyarakatan. 

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

PEMBAHASAN

Urgensi tujuan dan pedoman pemidanaan dalam hukum pidana Hingga saat ini belum
ada ketentuan tertulis yang jelas dan lengkap tentang tujuan dan pedoman pemidanaan
dalam hukum pidana sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia maupun dalam
undang-undang di luar hukum pidana. . . . Hal ini penting karena penerapan hukum
pidana tanpa tujuan yang jelas dapat mengakibatkan hukum pidana tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Contohnya adalah adanya undang-undang otonomi yang
melahirkan undang-undang khusus dan memberikan kewenangan kepada daerah untuk
menyusun undang-undang pidananya sendiri, seperti halnya undang-undang Qonun di
Aceh, serta peraturan daerah yang mengatur tentang pidana daerah. Daerah. Hukum
(Mubarok, 2015). ). Ada beberapa aspek perlunya meninjau ulang desain/tujuan
legislasi dan pedoman pemidanaan dalam mereformasi sistem pemasyarakatan
Indonesia, antara lain:
1) Hukum pidana saat ini tidak secara eksplisit mendefinisikan tujuan dan pedoman
sistem pemasyarakatan; 2) Maksud dari kedudukan strategis tujuan dan pedoman
pidana adalah untuk memberikan petunjuk, pedoman dan cara-cara pelaksanaan
perintah pidana kepada aparat kepolisian. 3) Merumuskan tujuan dan pedoman
merupakan prasyarat untuk merumuskan cara, cara atau tindakan ;) Bangsa Indonesia
saat ini sedang mempersiapkan hukum pidana pengganti KUHP (WvS), oleh karena itu
perlu mengkaji tujuan dan pedoman pidana yang disesuaikan dengan perkembangan,
filosofi dan sudut pandang masyarakat modern yaitu pancasila.

Tujuan politik legislatif dan kebijakan pemidanaan merupakan yang paling strategis
bagi pemidanaan, karena pada tahap inilah dirumuskan batasan/garis/arahan tujuan dan
arah kebijakan pemidanaan yang juga menjadi dasar legitimasi hakim. (perangkat
koersif) dalam menerapkan hukuman sehingga mereka dapat bekerja secara efektif
dalam pencegahan kejahatan. Tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi tugas yang
mendukung fungsi umum peradilan pidana, dan tujuan akhirnya adalah mencapai
kesejahteraan dan perlindungan sosial (social defence and social welfare) yang
berorientasi pada tujuan melindungi masyarakat. Mencapai kesejahteraan sosial. Salah
satu upaya untuk memerangi kejahatan adalah dengan menggunakan hukum pidana
serta sanksi pidana. Penggunaan hukum pidana untuk menyelesaikan masalah pidana
termasuk dalam wilayah kebijakan kepolisian. Selain itu, kebijakan kepolisian ini juga
termasuk kebijakan sosial, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan
umum. Dengan demikian, masalah pengendalian kejahatan dan/atau pemberantasan
kejahatan adalah masalah politik. Itu sebabnya kita tidak boleh lupa bahwa hukum
pidana, lebih tepatnya sistem pemasyarakatan, adalah bagian dari kebijakan kriminal.

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

Kebijakan sosial adalah setiap upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan sosial
dengan memasukkan perlindungan masyarakat. Dalam pengertian “kebijakan sosial”
juga mencakup “kebijakan bantuan sosial” dan “kebijakan pertahanan sosial”. Menurut
Marc Ancel, “kebijakan kriminal” adalah pengaturan atau organisasi rasional
masyarakat terhadap upaya kriminal. Sebagai isu politik, penggunaan sanksi pidana
untuk memberantas kejahatan masih menjadi sumber ketidaksepakatan.

Beberapa menolak untuk menghukum pelanggar. Menurut pandangan ini, hukuman


adalah peninggalan masa lalu kita (sisa-sisa masa lalu yang brutal). Pandangan ini
didasarkan pada pandangan bahwa hukuman adalah perlakuan kejam atau penderitaan.
Kejahatan dan Keyakinan mencerminkan masa lalu peradilan pidana, yang dipenuhi
dengan gambaran suram tentang perlakuan terhadap narapidana, yang dianggap sangat
kejam dan kejam menurut standar saat ini. Sikap pidana aparat penegak hukum
terhadap perkara pidana tertentu yang terbukti tidak selalu menguntungkan pelaku
sesuai dengan tujuan akhir sistem peradilan pidana. Diharapkan dengan masuknya
pedoman pemidanaan wajib dalam semua subsistem sistem peradilan pidana akan
menghasilkan pemidanaan di masa mendatang yang lebih bermanfaat bagi terpidana
dan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana akan tercapai.

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

Sistem Pidana Dan Pemidanaan Dalam Konsep KUHP Baru Sebagai Bagian Dari
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Secara etimologi pembaharuan berarti sesuatu yang “lama” dan diperbaharui. Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa kebijakan peradilan pidana adalah upaya untuk memperbaiki
pengaturan (pidana), tidak hanya untuk mengatur perilaku masyarakat tetapi juga untuk
menciptakan masyarakat yang sejahtera. Artinya, reformasi peradilan pidana merupakan
bagian integral dari kebijakan peradilan pidana. Upaya reformasi hukum Indonesia yang
dimulai dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), tidak dapat
dipisahkan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional. Hal ini dicapai dalam pembukaan
UUD 1945, khususnya pada alinea keempat.

Dari rumusan tujuan nasional dalam alinea keempat UUD 1945, dapat diidentifikasi dua
tujuan utama nasional, yaitu:
(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan (2) memajukan kesejahteraan umum
berdasarkan Pancasila. Artinya terdapat dua tujuan nasional yaitu “Pertahanan Sosial” dan
“Kesejahteraan Sosial” yang menunjukkan adanya asas keseimbangan dalam tujuan
pembangunan nasional. Reformasi pidana memerlukan penelitian dan refleksi terhadap isu-
isu kunci yang sangat mendasar dan strategis. Persoalannya meliputi kebijakan penetapan
sanksi pidana, kebijakan penetapan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan.
Kebijakan legislatif merupakan langkah paling strategis dalam keseluruhan proses politik,
penyelenggaraan peradilan pidana. Pada fase ini dirumuskan ciri-ciri utama kriminalitas dan
sistem pemidanaan yang sekaligus menjadi landasan hukum bagi fase-fase selanjutnya.

yaitu H. tahap dimana pengadilan menjatuhkan pidana dan tahap dimana penegak hukum
melakukan kejahatan. Latar belakang dan urgensi reformasi hukum pidana dapat dilihat dari
aspek sosio-politik, sosio-filosofis, sosial-budaya atau dari berbagai aspek politik (khususnya
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan kepolisian). Oleh karena itu, reformasi
peradilan pidana pada hakekatnya mencakup makna upaya harmonisasi dan reformasi sistem
peradilan pidana sesuai dengan inti nilai sosial politik, sosial filosofis dan sosial budaya
masyarakat Indonesia, yang mendukung kebijakan sosial, pidana Indonesia. kebijakan politik
dan kepolisian. . Singkatnya, setidaknya ada dua pendekatan reformasi peradilan pidana,
yaitu pendekatan berbasis kebijakan dan pendekatan berbasis nilai. Tujuan pemidanaan
berbeda dengan pengertian bahwa sistem peradilan pidana adalah suatu kesatuan sistem
dengan suatu tujuan ("goal system" atau "teleological system") dan pemidanaan hanyalah
alat/sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan utamanya adalah "perlindungan umum"
(general prevention) dan "perlindungan/pengendalian individu" (preventif khusus).

Pengembangan policy-driven approach berjalan lambat, karena jika kita kembali ke

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

pembahasan awal, kebijakan ini akan dilaksanakan oleh DPR yang pada prinsipnya harus
melalui proses legislasi, dan proses legislasi belum siap untuk itu. pendekatan baik. Masalah
lainnya adalah proses kriminalisasi ini, yang terus berlanjut tanpa menilai dampaknya
terhadap keseluruhan sistem. Itu mengikuti:
A. Krisis Overkriminalisasi; dan B. krisis akibat ekses hukum seorang penjahat Kebijakan
yang diambil bangsa Indonesia dalam melaksanakan reformasi peradilan pidana dilaksanakan
melalui dua jalur, yaitu:

1. Membuat konsep desain


Kitab Hukum
Kriminal nasional saat itu
ganti KUHP
Terapkan sekarang.
2. Reformasi hukum
arti pidana
ubah, tambah dan
melengkapi KUHP saat ini
Sekarang. Masalah terbesar dalam politik
Kejahatan adalah kriminalisasi, yaitu suatu proses
terikat pada tindakan
yang selama ini tidak diancam dengan sanksi
kejahatan menjadi perbuatan yang dapat dihukum
dengan sanksi pidana. Kriminalisasi ini
diakhiri dengan diterbitkannya a
artifisial

Apabila tujuan pemidanaan menyimpang dari pertimbangan kedua tujuan pokok tersebut,
maka syarat pemidanaan menurut konsep hukum pidana baru juga menyimpang dari
pertimbangan satu ganda kepentingan sosial dan individu. Oleh karena itu istilahnya
Keyakinan didasarkan pada dua pilar atau prinsip yang sangat mendasar, yaitu:
“asas legalitas” (yaitu asas kebersamaan) dan “asas kegagalan atau kesalahan” (yaitu asas
kemanusiaan atau individualisme). Berdasarkan gagasan perlindungan masyarakat, jenis-jenis
kejahatan berat tetap dalam konsep hukum pidana yang baru,
Yakni, hukuman mati (hukuman mati) dan penjara seumur hidup (hukuman mati). Namun,
dalam merumuskan kebijakan, juga diperhatikan perlindungan/kepentingan individu (gagasan
“individualisasi kriminal”), mengenai pengaturan:

A penangguhan pelaksanaan pidana mati atau penangguhan pidana mati;

B. Hukuman seumur hidup dapat diringankan menjadi 15 tahun penjara jika terpidana telah
menjalani setidaknya 10 tahun perilaku baik yang akan memenuhi syarat terpidana untuk
"pembebasan bersyarat" ("secara lisan"). Penetapan sanksi bagi anak yang menjadi pelaku
tindak pidana Pentingnya anak yang melanggar hukum dalam Pasal 1 ayat 2 telah diuraikan
di atas.

Namun, undang-undang tersebut tidak secara tegas menyebutkan pengertian tindak pidana
atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Peradilan Pidana Anak Republik Indonesia, alinea 8 bagian umum
mencatat bahwa kadang-kadang ada anak dalam kedudukan sebagai saksi dan/atau korban,

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

demikian pula anak korban dan/atau anak. atau Saksi diatur dalam undang-undang ini.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia anak yaitu
Dari 12 (dua belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun dengan ancaman sanksi dan
hukuman. Perumusan sanksi pidana dan sanksi operasional menunjukkan bahwa UU No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menganut sistem dua jalur.

Dengan kata lain, undang-undang ini secara tegas mengatur jenis sanksi pidana sekaligus
sanksi acara. Menurut Mulad (2002), penggunaan sistem dua murni merupakan hasil dari
aliran neoklasik. Sanksi terhadap perbuatan selain sanksi pidana, meskipun KUHP mengikuti
sistem jalur tunggal yang mengatur hanya satu jenis, yaitu sanksi pidana (Pasal 10 StGB).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Ancaman Sanksi Tindakan menunjukkan
bahwa ada cara lain untuk mengatasi delik selain pemidanaan (punishment). Sebenarnya pada
tataran praktis

Perbedaan antara kejahatan dan aktivitas seringkali cukup kabur, namun pada tataran dasar
pemikiran, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Keduanya berangkat dari ide dasar
yang berbeda. Sanksi pidana didasarkan pada gagasan dasar “Mengapa ada hukuman?”;
sedangkan sanksi tindakan menyimpang dari ide dasarnya; "Untuk apa hukumannya?"
Dengan kata lain, sanksi pidana sebenarnya merupakan respon terhadap pelaku. Apakah
fokus sanksi pidana terhadap delik seseorang dengan menimbulkan penderitaan (agar yang
bersangkutan bertindak sebagai pencegah); maka sanksi tindakan fokus pada upaya
membantu untuk membuatnya berubah. Jelas bahwa sanksi pidana lebih ditujukan untuk
balas dendam (ganti rugi).

Sengaja menimbulkan kerugian bagi pelakunya. Pada saat yang sama, konsekuensi tindakan
dihasilkan dari ide dasar melindungi masyarakat dan mendidik atau merawat penjahat. Atau
sebagai J.E. Jokers (1987) berpendapat bahwa sanksi pidana fokus pada kejahatan terhadap
kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi fungsional memiliki tujuan sosial. Tujuan sanksi
pidana adalah untuk menimbulkan penderitaan khusus (bijzonder leed) agar ia merasakan
akibat perbuatannya. Sanksi pidana selain dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan bagi
pelakunya, juga merupakan indikasi ketidakpuasan terhadap perbuatan pelaku. Jadi
perbedaan utama antara sanksi pidana dan sanksi operasional adalah apakah ada unsur
acuannya, bukan apakah mereka menderita atau sanksi operasional, yang tujuannya lebih
terbuka. Dari sudut pandang teori pemidanaan, sanksi fungsional merupakan sanksi non-
retributif. Tujuan utamanya adalah pencegahan konkrit, yaitu melindungi masyarakat dari
ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat. Singkatnya, sanksi pidana
berpedoman pada gagasan penjatuhan sanksi terhadap pelaku kejahatan, sedangkan sanksi
fungsional berpedoman pada gagasan melindungi masyarakat. Di bawah payungnya, yaitu
filsafat indeterminisme sebagai sumber gagasan sanksi pidana dan filsafat determinisme
sebagai sumber sanksi tindakan. Pasal 71(1) mengatur lima jenis hukuman mati, yaitu:

Pemberitahuan peringatan; hukuman dengan syarat; pelatihan di luar institusi; pengabdian


masyarakat; atau pengawasan; Pelatihan kerja; pelatihan di institusi; Penjara Mengenai
hukuman tambahan yang disebutkan dalam Pasal 71(2), ada dua jenis:
Penyitaan hasil tindak pidana; atau; Pemenuhan tugas adat; Jika ada risiko hukuman penjara
dan denda yang terakumulasi berdasarkan undang-undang substantif, denda diganti dengan
pelatihan kejuruan. Hukuman terhadap anak tidak boleh melanggar harkat dan martabat
kemanusiaan anak. Peraturan Pemerintah tersebut memuat ketentuan yang lebih rinci tentang

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

bentuk dan tata cara melakukan tindak pidana yang disebutkan dalam pasal 1, 2 dan 3.
Dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP yang memuat pokok-pokok pidana berupa:
Hukuman badan; hukuman penjara; Kandang Pidana: V; denda; Menutupi kemudian,
khususnya mengenai hukuman mati, Undang-Undang Peradilan
Kenakalan remaja tidak menginginkan anak yang telah melakukan tindak pidana diancam
dan dihukum mati dalam bentuk hukuman mati. Sebagaimana diketahui, filosofi yang
mendasari penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah dilakukan
semata-mata untuk kepentingan anak. Oleh karena itu, tidak diharapkan generasi penerus
bangsa dihukum mati, karena anak sangat membutuhkan pembinaan dan perlindungan untuk
menjamin tumbuh kembangnya yang mendukung perkembangan fisik, mental dan sosial.
Oleh karena itu pembinaan dan perlindungan tidak pernah dapat diberikan dalam penjatuhan
pidana mati, sekalipun anak itu sudah sangat tua. Sama dengan ancaman hukuman seumur
hidup, yang berarti pelanggaran akan dilakukan di fasilitas pengadilan seumur hidup anak.
Hal ini tidak diatur dalam hukum pidana anak. Mengenai hal di atas,

KUHP Anak menyatakan bahwa anak nakal yang melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun. . Dari lima jenis hukuman utama bagi pelaku kejahatan anak,
hukuman kustodian merupakan jenis hukuman yang baru. Hukuman kontrol adalah hukuman
yang khusus dijatuhkan kepada anak, misalnya H. Pengawasan jaksa dalam kehidupan sehari-
hari anak di rumah, dan bimbingan pembimbing kemasyarakatan. Oleh karena itu,
penangguhan hukuman bukanlah pidana kurungan atau pidana penjara untuk dijalani di
rumah anak, melainkan jangka waktu pidana penjara yang ditetapkan dengan putusan
pengadilan. Mengenai pidana tambahan, ada tiga macam dalam Pasal 10 KUHP, yaitu
berupa:
Pencabutan hak tertentu; Penyitaan barang tertentu dan pengumuman putusan hakim
Perbandingan ketentuan KUHP tentang pemidanaan tambahan dengan ketentuan UU
Peradilan Pidana Anak menunjukkan bahwa UU Peradilan Anak tidak mensyaratkan anak
yang

Melakukan tindak pidana memerlukan, sebagai hukuman tambahan, perampasan hak-hak


tertentu dan pengumuman keputusan hakim.

Tujuan dan Teori-Teori Pemidanaan

a. Tujuan Pemidanaan

Tujuan putusan bukanlah kebulatan suara para pengacara. Pada dasarnya, ada tiga
gagasan utama tentang tujuan yang ingin dicapai dengan kalimat tersebut, yaitu:
memperkuat kepribadian pelaku kejahatan itu sendiri, mencegah orang melakukan
kejahatan, mencegah sebagian pelaku kejahatan melakukan kejahatan lain, d. H.
Penjahat yang tidak bisa lagi dikoreksi dengan cara lain. Menurut Wirjono Projodikoro,
tujuan pemidanaan adalah:

A. menakut-nakuti orang agar berhenti melakukan kejahatan, baik dengan cara


menakut-nakuti tentara (jenderal preventif), maupun menakut-nakuti orang yang telah
melakukan kejahatan tertentu, agar tidak melakukan kejahatan di kemudian hari

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

(pencegahan khusus); atau

B. Mendidik atau meningkatkan orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang
baik yang bermanfaat bagi masyarakat. Tujuan pemidanaan itu sendiri mungkin sebagai
sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, penerapan pandangan
common law, dan aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah mereka yang
terlibat. Meskipun hukuman merupakan bentuk duka cita, namun tidak dimaksudkan
untuk menyebabkan penderitaan atau merendahkan martabat manusia.

C. Teori kejahatan

Penjatuhan pidana berdasarkan norma pidana substantif pada dasarnya tidak terlepas
dari teori-teori sistem pidana yang diterapkan dalam sistem hukum. Ada beberapa teori
yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan, yaitu:

1. Teori Absolut atau Teori Vergelding (Balas Dendam) Teori ini mengajarkan bahwa
dasar pemidanaan harus dicari dalam kejahatan itu sendiri, untuk menunjukkan bahwa
kejahatan itu adalah dasar dari hubungan yang ada. 
1. Balas dendam kepada pelaku karena kejahatan menyebabkan penderitaan bagi
korban. Oleh karena itu, dalam teori ini dapat diasumsikan bahwa itu adalah bentuk
balas dendam negara yang bertujuan untuk membuat para penjahat menderita melalui
tindakannya dan dapat menimbulkan rasa puas pada korban. , ujar Muladi dan Barda
Nawawi Arief

sebagai berikut:

“Kejahatan adalah akibat mutlak dari suatu kewajiban untuk dibalas bagi orang yang
melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran kejahatan adalah adanya atau terjadinya
kejahatan itu sendiri. Dikembangkan menurut nilainya sebagai orang yang berguna.”

2. Teori relatif, i. H. Teori Doel (cara dan tujuan) Dalam teori ini, dasar hukum
pemidanaan bukanlah balas dendam melainkan akhir dari kejahatan itu sendiri. Jadi
teori ini menyadarkan akan pengertian dan tujuan hukuman, yang berarti bahwa teori
ini mencoba untuk mengambil manfaat dari hukuman. Teori ini juga dikenal dengan
teori relativistik, yang mengambil tujuan hukuman sebagai dasar hukuman sehingga
dapat ditentukan manfaat dari hukuman. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas
tentang teori relatif ini, Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan pendapat
sebagai berikut:

“Seorang penjahat tidak hanya sekedar balas dendam atau ganti kerugian bagi orang
yang melakukan kejahatan, tetapi juga mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat.
Oleh karena itu teori ini sering disebut (teori utilitarian). Pidana tidak dijatuhkan “quia
peccatum est” (karena orang melakukan kejahatan)) tetapi Ne Peccetur (Agar mereka
tidak melakukan kejahatan) Artinya, teori relatif bertujuan untuk mencegah gangguan
tatanan sosial.Teori relatif ilmu hukum pidana dibagi menjadi dua pencegahan umum
dan pencegahan khusus, Andi Hamzah Das menunjukkan:

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

“Teori ini dibagi menjadi pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan
umum mensyaratkan bahwa orang pada umumnya tidak melakukan kejahatan.” Dalam
pencegahan khusus, hukuman ditujukan kepada pelanggar individu untuk mencegah
mereka mengulangi kejahatannya.

1. Pencegahan umum (general prevention) Di antara teori-teori pencegahan umum,


teori kejahatan yang mengerikan merupakan teori yang paling tua. Dalam hal ini,
fokusnya adalah pada eksekusi penjahat yang dipilih. Menurut Yang, yang berfokus
pada kejahatan, melakukan kejahatan yang terungkap ke publik pasti akan membuat
takut semua anggota masyarakat dengan niat buruk. Feurbach, salah satu pendukung
teori ini, mengklaim: 

“Pencegahan tidak boleh dilakukan dengan cara penyiksaan, cukup dengan mengatur, agar
ketika orang membacanya berhenti niat jahatnya.” memiliki unsur yang mengoreksi
terhukum. “Tujuan pencegahan secara umum pada umumnya adalah untuk mencegah orang
melakukan kejahatan.

1. Pencegahan khusus

Menurut teori khusus, tujuan delik adalah menghentikan niat buruk pelaku (ayah). Penjahat
mencoba untuk menghentikan penjahat agar tidak mengulangi kejahatannya atau
menghentikan penjahat untuk melakukan perbuatan jahat yang direncanakannya. Sekilas
tentang kejahatan
Tindakan pencegahan khusus adalah sebagai berikut:

A Kejahatan tersebut harus mengandung unsur ketakutan, sehingga dengan sengaja


mencegah “penjahat acak” menyadari niat jahatnya. Tindak pidana tersebut harus
mengandung unsur yang meningkatkan pemidanaan, yang kemudian memerlukan
reklasifikasi;

B. Pidana harus mengandung unsur yang membinasakan penjahat dan tidak dapat lagi
dikoreksi secara definitif.

C. Satu-satunya tujuan hukuman adalah untuk menegakkan supremasi hukum.

Tujuan pencegahan khusus adalah untuk mencegah pelaku melakukan atau mengulangi
perbuatan yang dilarang. Menurut teori ini, untuk mencapai tujuan ketertiban umum, seorang
penjahat memiliki tiga ciri, yaitu:

menakutkan

b) benar; Dan

c) Sifatnya merusak.

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

3. Teori kombinasi (gabungan)


Menurut ajaran teori ini, dasar hukum penghakiman terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu
balas dendam atau penyiksaan, tetapi juga mengakui bahwa ini sebagai dasar penghakiman
adalah tujuan hukum. Satochid Kartanegara berkata:
15 “Teori ini merupakan reaksi terhadap teori sebelumnya yang tidak menjawab secara
memuaskan sifat dari tujuan persidangan. Teori ini mengajarkan bahwa dasar hukum
penghakiman adalah kejahatan itu sendiri, yaitu balas dendam atau penyiksaan, tetapi juga
mengakui bahwa dasar penghakiman adalah tujuan hukum. “The unified theory dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu:

A Memperkuat teori yang menekankan balas dendam


Namun, tanggapan ini tidak boleh melampaui apa yang diperlukan
dan cukup untuk menjaga ketertiban
hadirin;
B. Memperkuat teori yang menekankan pertahanan sistemik
tatanan sosial Hukumannya tidak bisa lebih berat
Penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan
dilakukan oleh terpidana

Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut dan teori relatif, yang menyatukan aspek
balas dendam dan pembelaan dari sistem hukum masyarakat yang tidak dapat diabaikan.
Berdasarkan penekanan atau sudut pandang yang dominan dalam penggabungan kedua teori
tersebut dalam bentuk teori gabungan, maka teori ini diklasifikasikan menjadi tiga bentuk,
yaitu:
teori umum menekankan unsur balas dendam, teori umum menekankan pertahanan ketertiban
dalam masyarakat, dan teori umum menyeimbangkan balas dendam dengan pertahanan
ketertiban dalam masyarakat. 

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

Penutup

Kesimpulan

reformasi peradilan pidana kerangka perbaikan sistem Sanksi tetap berlaku. Dari
begitu banyak untuk memperbarui penting dalam sistem pemasyarakatan yang juga sangat
penting reformasi hukum pidana Indonesia adalah sistem hukuman terstruktur.
Tujuan hukuman (tujuan Hukuman). Tujuan penghakiman tetap ada untuk berpikir bahwa
sistem hukum Hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem sistem disengaja atau "sistem
teleologis") dan hanya kriminal adalah alat/sarana untuk mencapai sesuatu Tujuan, oleh
karena itu, dalam konsep hukum pidana baru merumuskan tujuan pidana berdasarkan
keseimbangan dua tujuan yang utama yaitu “perlindungan umum”(kontrasepsi umum) dan
"Perlindungan/Pelatihan Pribadi" (pencegahan khusus). Hukum pidana bisa dimengerti
sebagai bagian dari keseluruhan hukum berlaku di satu negara, yaitu untuk menetapkan
aturan atau peraturan Flow untuk mendefinisikan fungsi tindakan apa yang tidak
diperbolehkan (dilarang) disertakan Ancaman atau hukuman berupa hukuman
kepada siapa saja yang berpindah agama melarang Demikian tulisan penulis kali ini
diusulkan untuk mereformasi hukum Maka kejahatan dapat dilakukan di Indonesia
Pemerintah harus menuntutnya segera disahkan Standar Pidana Indonesia masih membawa
warisan Belanda. Draf Hukum pidana baru sebagai salah satu konsepnya reformasi hukum
pidana di Indonesia,konsep tersebut dirancang dengan hukum yang berbeda, apapun hukum
itu Termasuk hukum Islam dan hukum adat sebagai panutannya harus sesuai dengan
masyarakat Indonesia.

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

Sebelumnya, hukum pidana adalah Sumber utama hukum pidana Indonesia dan hukum non-
pidana tidak diatur letter of intent tertulis yang jelas dan lengkap dan
Pedoman Hukuman. ini penting dikenang karena kutukan atas kejahatan tanpa
berdasarkan tujuan yang jelas Hukum pidana tidak berjalan sebagaimana mestinya
fungsi Misalnya adanya hukum otonomi yang darinya hukum itu muncul konkret dan
memberikan otoritas Buat hukum pidana Anda sendiri Qonun yurisprudensi di Aceh dan
peraturan daerah yang mengatur hukum pidana daerah (Mubarok, 2015). Diperlukan
beberapa pertimbangan Peninjauan kebijakan formal/legislatif Tujuan dan Pedoman Penalti
Reformasi sistem pemasyarakatan Indonesia
antara lain:
1) Kitab Hukum
Hukuman saat ini tidak jelas merumuskan tujuan dan pedoman untuk sistem
untuk menilai
2) Posisi strategis ini Target dan Kebijakan Hukuman Memberi petunjuk, arah dan cara
lembaga penegak hukum untuk menerapkan peraturan untuk menilai
3) Rumusan tujuan dan pedoman merupakan kebutuhan pokok dalam merumuskan suatu
cara, metode atau Kegiatan
4) Bangsa Indonesia pada waktu itu Peraturan saat ini sedang disiapkan
KUHP yang menggantikan KUHP (WvS),Oleh karena itu, perlu untuk mempelajari tujuan
dan penalti disesuaikan perkembangan masyarakat dan filsafat modern
dan pandangan hidup yaitu pancasila. Tujuan dan pedoman kebijakan legislatif
Hukuman adalah yang paling strategis pidana sebagaimana dirumuskan di sini
Batas/Garis/Arah/Kebijakan Tujuan dan pedoman hukuman yang juga berlaku
Dasar hukum bagi hakim (aparatur administrasi). dalam penerapan hukum) pidana sehingga
dapat untuk berfungsi secara efektif dalam upaya pencegahan kriminalitas. Tujuan hukuman
harus dipenuhi berfungsinya sistem peradilan pidana pada umumnya untuk dicapai sebagai
tujuan akhir kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (perlindungan dan kesejahteraan
sosial). dimaksudkan untuk melindungi masyarakat mencapai kesejahteraan sosial.
Salah satu upaya pencegahan kejahatan terdiri dari penggunaan sarana hukum pidana
dengan sanksi pidana. Menggunakan hukum pidana untuk menang Masalah kriminalitas
dibawa ke ranah politik Penuntutan Juga karena tujuannya mencapai kesejahteraan sosial
Secara umum, kebijakan kepolisian ini juga mencakup kebijakan bidang sosial. Dengan
karenanya cek dan / atau masalah penggunaan pencegahan kejahatan Sarana peradilan pidana
adalah masalah politik (masalah politik). Oleh karena itu tidak diperbolehkan Saya lupa
tentang hukum pidana, atau lebih tepatnya Penjara adalah bagian dari politik
seorang penjahat Ini adalah bagaimana kebijakan sosial dapat ditafsirkan menggunakan
semua upaya yang masuk akal untuk mencapai ini jaminan sosial dan termasuk pada saat
yang sama perlindungan masyarakat. Dalam pengertian itu “Kebijakan Sosial” dan
“Kemasyarakatan” yang terkandung di dalamnya. "Kebijakan Sosial" dan "Kebijakan
Pertahanan Sosial". 

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia: dari rettribusi ke


reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra aditia Bakti, 1996, _____, Beberapa Aspek
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1998. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab
Undang undang Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1988. Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor … Tahun … tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Jakarta, 1999-2000. Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam
KUHP Dan Pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, USU Press, Medan, 2010
Jinmmy Asshidigie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Glohalisasi,
Jakarta: Sinar Grafika, 2000 L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, Jakarta: P.T.
Pradnya Paramita, 2000 Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia tanggal 11
Maret 1970 Nomor 59K/Kr/1973. Roeslan Saleh, Stesel Pidana Indonesia,
Jakarta: Bina Aksara, 1987 Moelyatno, Kitab Undang-undang Hukum

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)


Author’s Name[s]

Pidana, tt: tp, 1978. Muladi, Pidana dan Pemidanaan dalam Muladi Dan Barda
Nawawi Arief , Teori-teori dan kebijakan pidana, Bandung: Alumni Saleh, K. Wantjik,
Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana sampai dengan Akhir,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

JHSK  Vol. x Issue x, Month (20xx)

You might also like