Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 51

PENGARUH PEMAHAMAN SISTEM PERPAJAKAN, TARIF

PAJAK, KEADILAN PAJAK DAN PEMERIKSAAN PAJAK


TERHADAP PENGGELAPAN PAJAK
(Studi Kasus pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang Terdaftar di
KPP Pratama Karawang)
THE EFFECT OF UNDERSTANDING THE TAX SYSTEM,
TAX RATES, TAX JUSTICE AND TAX AUDITS ON TAX
EVASION

Oleh
Cindi Faujia Putri
19416262201125

SKRIPSI

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG
TAHUN 2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak merupakan penerimaan terbesar suatu Negara khususnya Negara
Indonesia. Hampir 75% penerimaan Negara saat ini bersumber dari pajak.
Pengertian Pajak sendiri menurut Undang-undang ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Nomor 6 tahun 1983 yang telah diubah menjadi Nomor 28 Tahun
2007, adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dominasi pajak sebagai sumber
penerimaan merupakan hal yang sangat wajar, ketika sumber daya alam
khususnya minyak bumi tidak bisa diandalkan. Penerimaan dari sumber daya
alam ini mempunyai umur yang relative terbatas yang suatu saat akan habis dan
tidak bisa dipertahankan lagi. Oleh karena itu sumber penerimaan pajak ini sangat
bermanfaat oleh Negara karena sumber penerimaan pajak ini tidak ada batas
umurnya, jika seiringnya waktu jumlah penduduk Negara ini bertambah maka
akan semakin besar penerimaan Negara di sektor pajak (RUSDIATI, 2016:30) .
Dalam dunia perpajakan, kita mengenal adanya istilah tax planning
(perencanaan pajak). Tax planning diartikan sebagai upaya untuk menghemat
pajak dengan cara mengatur perhitungan penghasilan yang lebih kecil sesuai
perundang-undangan perpajakan. Tax planning (perencanaan pajak) terbagi
menjadi dua yaitu tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion
(penggelapan pajak). Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu mengurangi
pajak terutang yang harus dibayarkan, akan tetapi kedua hal ini memiliki
perbedaan (Resmi 2003 :212)
Tax avoidance (penghindaran pajak) adalah suatu usaha meringankan
beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang perpajakan. Sedangkan tax
evasion (penggelapan pajak) merupakan usaha meringankan beban pajak dengan
cara melanggar undang-undang (penggelapan pajak). Praktik tax avoidance
(penghindaran pajak) pada kenyataan lebih sulit dibandingkan dengan tax evasion,
karena untuk melakukan tax avoidance (penghindaran pajak) diperlukan wawasan
dan pemahaman yang menyeluruh terkait undang-undang perpajakan untuk dapat
menemukan celah guna mengurangi pajak terutang yang harus dibayarkan tanpa
melanggar undang-undang. Kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan salah
satunya disebabkan oleh ketidaktahuan terhadap peraturan (Zain, 2008). Hal ini
membuat wajib pajak untuk lebih memilih melakukan tax evasion (penggelapan
pajak) yang lebih mudah dilakukan walaupun harus melanggar peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tax evasion (penggelapan pajak) merupakan suatu usaha atau cara untuk
meminimalisasi atau bahkan menghapus sama sekali jumlah pajak yang terutang,
yang merupakan pelanggaran dan tidak sejalan dengan ketentuan perundang-
undangan perpajakan (Permatasari dkk, 2013). Tindakan tax evasion dapat dilihat
dari beberapa kriteria yaitu wajib pajak tidak melaporkan harta yang
sesungguhnya, membayar beban pajak terutang tidak sesuai yang telah
dibebankan, dan yang lebih parah adalah tidak melaporkan SPT (Sari, 2015).
Berdasarkan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA),
periode 2017 di Indonesia penggelapan pajak mencapai Rp. 110 triliun dimana
80% dilakukan oleh badan usaha dan 20% wajib pajak perseorangan (Yenny,
2017).
Penggelapan pajak terjadi dikarenakan pandangan masyarakat terhadap
pajak yang berbeda dengan pandangan pemerintah. Perbedaan persepsi tersebut
terjadi karena minimnya informasi mengenai pengeluaran pemerintah terhadap
penerimaan pajak yang didapat setiap tahunnya. Tidak adanya kejelasan yang
pasti tentang uang yang mereka bayarkan setiap bulannya serta penggunaan uang
tersebut. Tidak adanya transparansi tersebut menyebabkan masyarakat enggan
untuk membayar pajak (Dharmayanti, 2017). Penggelapan pajak menjadi salah
satu faktor tidak tercapainya target penerimaan pajak di Indonesia. Penggelapan
pajak menyebabkan kurangnya penerimaan pajak yang dicapai dengan target yang
telah ditetapkan. Umumnya wajib pajak enggan membayar pajak karena mereka
menganggap bahwa membayar pajak akan mengurangi penghasilan mereka. Oleh
karena itu, wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin
atau bahkan menghindarinya (Ayu dkk, 2009).
Etika dan perilaku seseorang akan mendorong individu untuk membayar
pajak atau malah bersikap negatif dengan melakukan kecurangan pajak. Persepsi
yang timbul mengenai adanya tindakan tax evasion dapat dipengaruhi salah
satunya dari sistem perpajakan. Salah satu upaya untuk mengurangi penggelapan
pajak perlu dilakukan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak adalah kegiatan
mengolah data secara objektif dan proporsional dalam pemenuhan kewajiban
perpajakan sesuai dengan undang-undang perpajakan (Waluyo, 2011).
Pemeriksaan pajak ini juga dapat meminimalisir penggelapan pajak yang
dilakukan oleh Wajib Pajak. Selain itu, keadilan dianggap dapat berpengaruh
terhadap tindakan pengelapan pajak, seseorang yang memiliki sikap keadilan yang
rendah akan mudah melakukan hal yang negative yaitu melakukan kecurangan
pajak sehingga dapat dikatakan hal tersebut etis untuk dilakukan (Putri &
Mahmudah, 2020). Faktor selanjutnya yaitu tarif pajak, dalam penetapan tarif
pajak harus berdasarkan pada keadilan karena pungutan pajak yang dilakukan di
Indonesia menggunakan tarif pajak. Tarif pajak yang tinggi akan mempengaruhi
etika wajib pajak mengenai penggelapan pajak (Ervana, 2019).
Indikasi adanya penggelapan pajak dapat dilihat melalui tidak tercapainya
target penerimaan pajak (Supriadi 2011). Fakta dilapangan menunjukan fenomena
dimana sampai saat ini pendapatan pemerintah dari sektor pajak belum maksimal,
yakni tidak tercapainya target penerimaan, sesuai dengan data yang ada bahwa
realisasi penerimaan pajak yang diperoleh negara belum memperoleh hasil yang
maksimal. Hal tersebut dapat dilihat dari realisasi penerimaan pajak tahun 2019-
2022 dalam Tabel 1.1 berikut.

Salah satunya penyebab terjadinya penggelapan pajak (tax evasion) adalah


pemahaman sistem pajak, bila dengan pengetahuan dan pemahaman wajib pajak
dimungkinkan untuk patuh, dalam kasus ini dapat menggunakan Self Assessment
System dimana terdapat aspek-aspek guna membayar kewajiban, pengembalian
dalam waktu sesuai yang telah diatur, jujur melaporkan dan menghitung secara
akurat (Marzina dkk 2013).
Tarif pajak merupakan faktor lain yang merupakan presentase yang
dipakai guna menentukan berapa banyak pajak yang dibebankan kepada seorang
wajib pajak. Menurut Permatasari dalam Galih (2017:4) wajib pajak mempunyai
masing-masing penilaian mengenai tarif pajak yang telah ada. Dinaikkannya tarif
pajak oleh pemerintah bertujuan guna menambah pemasukan untuk negara, tetapi
fakta dilapangan malah terbalik. Karena dengan tingginya tarif pajak,
mengakibatkan bertambah juga tindakan penggelapan pajak. Kejadian tersebut
mengakibatkan pemasukan yang seharusnya masuk ke kas negara akan berkurang.
Dari penelitian Wati Aris Astuti (2017) menunjukkan bahwa tarif pajak
berpengaruh terhadap upaya meminimalisasi terjadinya penggelapan pajak.
Keadilan dalam perpajakan juga mempengaruhi seseorang untuk
melakukan tax evasion. Keadilan yang dimaksud adalah Wajib Pajak memerlukan
perlakuan yang adil dalam hal pengenaan dan pemungutan pajak (Sari, 2015). Jika
semakin rendahnya keadilan yang berlaku menurut persepsi seorang wajib pajak,
maka tingkat kepatuhannya akan semakin menurun hal ini berarti bahwa
kecenderungannya untuk melakukan penggelapan pajak akan semakin tinggi
(Sariani, Wahyuni and Sulindawati, 2016). Beberapa penelitian yang telah
dilakukan seperti penelitian (Sasmito, 2017) dan (Faradiza, 2018) melakukan
penelitian menghasilkan bahwa keadilan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak. Penelitian yang
dilakukan oleh (Sari, 2015) memberikan hasil bahwa keadilan berpengaruh
negatif terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.
Pemeriksaan pajak dilakukan untuk melaksanakan penerapan ketentuan
perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan pajak dilakukan bertujuan agar
dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya tindakan kecurangan yang dilakukan
Wajib Pajak, sehingga mempengaruhi terhadap penggelapan pajak (tax evasion)
(Raden dkk 2015:3). Dalam penelitian Wati Aris Astuti kualitas pemeriksaan
terbukti berpengaruh terhadap upaya terjadinya tax evasion, masalah terjadinya
tax evasion terjadi karena adanya pemeriksaan yang kurang baik. Dan dalam
penelitian Raden Devi Ardian dan Dudi Pratomo (2015) pemeriksaan pajak
berpengaruh signifikan terhadap penggelapan pajak.
Salah satu upaya pemerintah dalam menangani kecurangan dalam
perpajakan yaitu dengan melaksanakan pemeriksaan pajak, karena pada masa
sekarang ini banyak sekali terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak, diantaranya adalah memanipulasi pendapatan atau penyelewengan
dana pajak. Pemeriksaan pajak ini dimaksudkan untuk menguji sejauh mana
kepatuhan Wajib Pajak di dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. dengan
dilakukannya penelitian ini diharapkan bisa mengukur sejauh mana keberhasilan
suatu Negara dalam mengoptimalkan pendistribusian dana pajak secara adil dan
merata, serta untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel terkait
terhadap persepsi dari wajib pajak terhadap tindakan penggelapan pajak. Untuk
itu peneliti melakukan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Pemahaman
Sistem Perpapajakan, Tarif Pajak, Keadilan pajak, dan Pemeriksaan Pajak
Terhadap Penggelapan Pajak (Tax Evasion)”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka identifikasi masalah yang


hendak diteliti terkait permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi tindakan
penggelapan paak (tax evasion), yaitu :

1. Penggelapan pajak (tax evasion) marak di lakukan oleh para wajib pajak
terutama wajib pajak orang pribadi.
2. Wajib pajak memiliki banyak cara untuk melakukan tindakan penggelapan
pajak (tax evasion)
3. Adanya wajib pajak yang masih mengganggap pajak sebagai sebuah beban
dan ancaman
4. Minimnya informasi mengenai pengeluaran pemerintah terhadap
penerimaan pajak

1.3 Batasan Masalah


Upaya untuk mengetahui penyebab terjadinya penggelapan pajak dalam
hal ini penulis membatasi masalah pada pemahaman sistem pajak, tarif pajak,
keadilan pajak dan pemeriksaan pajak atas persepsi wajib pajak orang pribadi
terhadap penggelapan pajak yang terdaftar di kpp pratama karawang.

1.4 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan


masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah sistem perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak
mengenai penggelapan pajak?
2. Apakah tarif pajak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai
penggelapan pajak?
3. Apakah keadilan pajak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak
mengenai penggelapan pajak?
4. Apakah pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak
mengenai penggelapan pajak?

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Untuk menganalisis pengaruh sistem perpajakan terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai perilaku penggelapan pajak
2. Untuk menganalisis pengaruh tarif pajak terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai perilaku penggelapan pajak
3. Untuk menganalisis pengaruh keadilan pajak terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai perilaku penggelapan pajak
4. Untuk menganalisis pengaruh pemeriksaan pajak terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai perilaku penggelapan pajak
.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun dengan adanya pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Untuk memberikan pemikiran dalam mendukung perkembangan teori-teori yang
ada dan dapat menambah serta memperluas wawasan pengetahuan khususnya
menambah pengetahuan mengenai pengelapan pajak (tax evasion).
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Peneliti
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah dan juga melengkapi
pengetahuan teoritis yang terdapat pada literature-literatur selama perkuliahan,
membandingkan hasil penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya
sehingga dapat ditarik kesimpulan. Hasil penelitian ini juga untuk memenuhi
salah satu syarat akademik yang diwajibkan dalam menempuh seminar usulan
penelitian pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Buana Perjuangan Karawang.
b. Bagi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Buana Perjuangan
Karawang
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan dokumentasi diperpustakaan agar dapat
digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
c. Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Karawang
Sebagai informasi dan bahan evaluasi dalam memahami pengaruh keadilan,
sistem perpajakan, diskriminasi dan kemungkinan terdeteksi kecurangan terhadap
persepsi wajib pajak mengenai perilaku etika penggelapan pajak.
d. Bagi Peneliti Lain
Berdasarkan hasil yang disimpulkan dari penelitian ini diharapkan dapat
mendukung teori atau hasil penelitian terdahulu mengenai topik yang sama di
bidang perpajakan atau pun memberikan pandangan dan wawasan baru yang akan
mendukung keberadaan dan perkembangan teori mengenai perpajakan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Theory of Planned Behaviour
theory of planned behavior (TPB) dalam (Ajzen, 1991) menyatakan bahwa
selain sikap terhadap tingkah laku dan norma-norma subjektif, indvidu juga
mempertimbangkan kontrol tingkah laku yang dipersepsikan yaitu kemampuan
mereka untuk melakukan tindakan tersebut. Theory of Planned Behavior membagi
tiga macam alasan yang dapat mempengaruhi tindakan yang diambil oleh
individu, yaitu:
a. Behavioral beliefs, yaitu kepercayaan-kepercayaan mengenai kemungkinan
akan terjadinya suatu perilaku. Dengan kata lain, behavioral beliefs
merupakan keyakinan dari individu akan hasil dari suatu perilaku dan
evaluasi.
b. Normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normative yang muncul
akibat pengaruh orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut.
c. Control beliefs, yaitu keyakinan atas keberadaan hal-hal yang mendukung atau
menghambat perilaku yang ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat
hal-hal tersebut mendukung atau menghambat perilakunya tersebut. Hal yang
mungkin menghambat saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari diri pribadi
maupun dari eksternal, faktor lingkungan.
Dalam kaitannya dengan penggelapan pajak (tax evasion), sikap
penggelapan pajak (tax evasion) akan terbentuk atau menjadi wajar apabila wajib
pajak mempunyai keyakinan dan evaluasi yang memihak atau positif terhadap
penggelapan pajak.
2.1.2 Teori Keadilan
Keadilan merupakan semua hal yang berkaitan dengan sikap dan tindakan
dalam hubungan antar manusia. Keadilan berisi sebuah tuntutan agar seseorang
mempelakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya. Menurut John
Rawls (1973) dalam Fhyel (2018) menjelaskan bahwa keadilan merupakan suatu
keadaan dimana seorang individu berada dikeadaan yang sama dalam suatu
kompetisi. Keadaan yang sama ini memberikan kesempatan bagi individu untuk
menunjukkan kualitas terbaik yang dimiliki dengan maksud dan tujuan agar
menghasilkan pencapaian yang terbaik dari sebuah kompetisi. Menurut Rawls
terdapat dua prinsip keadilan yaitu prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya
serta prinsip perbedaan dan persamaan yang adil.
Prinsip kebebasan yang sama ini mencakup kebebasan untuk berperan
serta dalam kehidupan politik, kebebasan berbicara dalam pers, kebebasan
berkeyakinan, kebebasan menjadi diri sendiri dan hak untuk mempertahankan
milik pribadi. Sedangkan prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil
merupakan perbedaan social dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat
bagi setiap individu. Hal ini dimaksudkan agar unsur pokok kesejahteraan dan
pendapatan dapat dibedakan bagi setiap individu yang kurang mempunyai
peluang dalam mencapai kesejahteraan, pendapatan dengan individu yang serba
berkecukupan (Fattah, 2013).
Teori keadilan ini relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak ketika
melakukan kewajiban perpajakan terhadap pemerintah. Teori keadilan melihat
apakah sistem perpajakan yang dijalankan oleh suatu negara sudah berjalan sesuai
dengan hukum dan standar keadilan atau belumm. Jika masyarakat khususnya
Wajib Pajak merasa diberlakukan tidak adil dari pemerintah dalam pembayaran
pajak serta merasa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak sejalan
dengan yang sebenarnya maka akan berdampak kepada perilaku mereka dalam
melaporkan pendapatan. Wajib pajak akan melaporkan pendapatan mereka kurang
dari apa yang sebenarnya menjadi beban pajak.
Oleh karena itu teori ini sejalan dengan variabel yang peneliti gunakan
yaitu sistem perpajakan. Jika sistem perpajakan yang diterapkan oleh pemerintah
lemah dan menyulitkan bagi Wajib Pajak maka mereka akan cenderung
melakukan kecurangan pajak begitu pun sebaliknya.

2.1.3 Dasar-dasar perpajakan


A. Pengertian Pajak
Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan
ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa
timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum
Tjahyono dan Fakhri (Tjahyono dan Fakhri :2009). Sedangkan menurut pasal 1
UUD No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Undang-Undang No.6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir kali
dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2009 (KUP) pasal 1 angka 1 bahwa :
“Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang- undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari definisi tersebut, Mardiasmo (2011:1) menyimpulkan bahwa pajak
memiliki unsur – unsur pokok yaitu :
a. Iuran atau pungutan dari rakyat kepada negara.
b. Pajak yang dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang – undang serta
standar aturan pelaksanaannya.
c. Pajak dapat dipaksakan.
d. Tidak menerima atau memperoleh jasa timbal atau kontraprestasi secara
langsung.
e. Digunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah yang bermanfaat
bagi masyarakat luas.
Fungsi utama pajak adalah sebagai sumber keuangan negara
(budgeter) yang berarti sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Pajak juga memiliki fungsi mengatur
(reguler) yang memiliki arti bahwa pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur
dan melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi (Waluyo, 2008). Untuk
mengoptimalkan dan mengefektifkan penerimaan dari sektor pajak tergantung
pada kedua belah pihak, yaitu pemerintah sebagai aparat perpajakan (fiskus) dan
masyarakat sebagai wajib pajak atau yang dikenai pajak.
B. Wajib Pajak
Wajib pajak menurut Mardiasmo (2011:23) adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang – undangan perpajakan.
C. Fungsi Pajak
Fungsi pajak merupakan kegunaan pokok dan manfaat pokok dari pajak
itu sendiri. Mardiasmo (2011:1) dalam Putri berpendapat pajak mempunyai dua
fungsi , yaitu :
1. Fungsi budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya. Sebagai contoh yaitu dimasukannya pajak dalam
APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya
pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, sehinga peredarannya dapat
ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.
D. Kewajiban dan Hak Pajak
Kewajiban Wajib Pajak (Mardiasmo, 2011:56) dalam Putri yaitu :
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
b. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
c. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
d. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan memasukkan ke Kantor
Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan.
e. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan.
f. Jika diperiksa wajib :
1) Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak.
2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan member bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
g. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Hak – hak Wajib Pajak, yaitu :
a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding.
b. Menerima tanda bukti pemasukkan SPT.
c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan.
d. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT.
e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.
f. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan pajak.
g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan surat ketetapan pajak yang salah.
i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
j. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak.
k. Mengajukan keberatan dan banding.
2.1.4 Penggelapan Pajak
Penggelapan Pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari
pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian
dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar
(berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan
penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang
terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri
dll).
A. Penggertian Penggelapan Pajak (tax evasion)
Pengertian Tax Evasion menurut Defiandry Taslim (2007), yaitu :
“Tax evasion (penggelapan pajak) yaitu usaha-usaha untuk memperkecil
jumlah pajak yang terutang atau menggeser beban pajak yang terutang dengan
melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku. Tax evasion merupakan
pelanggaran dalam bidang perpajakan sehingga tidak boleh diDlakukan, karena
pelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana”.
Pengertian Tax Evasion menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:147), yaitu :
“Pengelakan Pajak (tax evasion) merupakan usaha aktif Wajib Pajak
dalam hal mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal terhadap utang pajak
atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah
terutang menurut aturan perundang-undangan”.
Penggelapan pajak merupakan usaha meringankan beban pajak dengan
cara melanggar ketentuan perundang-undangan yang dapat menghambat
penerimaan negara (unlawful) (Xynas, 2011) dalam Rachmadi (2014:18).
Menurut Resmi (2009) dalam rachmadi (2014:18), upaya menghindari pajak
dengan cara ilegal adalah penggelapan pajak. Tindakan ini termasuk perbuatan
kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku dan mencakup perbuatan sengaja
tidak melaporkan secara lengkap dan jelas objek pajak. Menurut (Nurmantu, 2003
dalam rachmadi, 2014:19) kecenderungan wajib pajak melakukan kecurangan
dikarenakan:
a. Tingginya pajak yang harus dibayar. Semakin tinggi jumlah pajak yang harus
dibayar oleh wajib pajak, semakin tinggi kemungkinan wajib pajak
berperilaku curang.
b. Makin tinggi uang sogokan yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak, maka
makin kecil kemungkinan wajib pajak melakukan kecurangan.
c. Makin tinggi kemungkinan terungkap apabila melakukan kecurangan, maka
makin rendah kecenderungan wajib pajak berlaku curang.
d. Makin besar ancaman hukuman dan sanksi yang diterapkan kepada pelaku
kecurangan, maka semakin kecil kecenderungan wajib pajak melakukan
kecurangan.
Dengan demikian penggelapan pajak dapat didefinisikan sebagai suatu
upaya atau tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan seperti berikut (Brotoharjo, 2007) dalam
rachmadi (2014:19) :
a. Tidak dapat memenuhi pengisian Surat Pemberitahuan tepat waktu.
b. Tidak dapat memenuhi pembayaran pajak tepat waktu.
c. Tidak dapat memenuhi pelaporan dan pengurangannya secara lengkap dan
benar.
d. Tidak dapat memenuhi kewajiban memelihara pembukuan.
e. Tidak dapat memenuhi kewajiban menyetorkan pajak penghasilan para
karyawan yang dipotong dan pajak-pajak lainnya yang telah dipungut.
f. Tidak dapat memenuhi kewajiban membayar taksiran pajak terutang.
g. Tidak dapat memenuhi permintaan fiskus akan informasi pihak ketiga.
h. Pembayaran dengan cek kosong bagi negara yang dapat melakukan
pembayaran pajaknya dengan cek.
i. Melakukan penyuapan terhadap aparat perpajakan dan atau tindakan
intimidasi lainnya.
Tax evasion adalah wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak
dengan cara melanggar undang-undang perpajakan sehingga penerimaan Negara
dirugikan. Dalam hal ini wajib pajak telah melakukan penyelundupan atau
pelanggaran pajak yang tentunya tidak diperkenankan oleh Negara (sifatnya
illegal). Menurut Biron (2010) dalam Agustiati (2011:14) Tax evasion memiliki
beberapa elemen yaitu :
a. Akhir yang ingin dicapai, pembayaran pajak yang lebih rendah dari yang
seharusnya atau tidak membayar pajak atas pendapatan yang seharusnya
dikenakan pajak.
b. Berbagai tindakan yang melanggar undang-undang misalnya dengan menyuap
petugas pajak.
B. Penyebab Penggelapan Pajak (tax evasion)
Adapun penyebab terjadinya tax evasion atau penggelapan pajak adalah
(Rahayu, 2010 dalam Permita, 2014:4) yaitu :
1. Kondisi Lingkungan
Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yanag terpisahkan dari manusia
sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu sama lain,
begitu juga dalam dunia perpajakan. Jika lingkungan kondisinya baik, masing-
masing individu akan termotivasi untuk memenuhi peraturan perpajakan dengan
membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika
lingkungan sekitar kerap melakukan pelanggaran, maka masyarakat saling meniru
untuk tidak mematuhi peraturan dan melakukan perlawanan pajak.
2. Pelayanan Fiskus yang Mengecewakan
Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan dalam
pengambilan keputusan wajib pajak dalam membayar pajaknya. Jika pelayanan
yang diberikan oleh aparat pemungut pajak telah memuaskan wajib pajak, maka
wajib pajak menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya
sekedar dengan pelayanan yang ramah, tetapi jika dilakukan tidak menunjukkan
penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas untuk membayar
pajak kembali
3. Tingginya Tarif Pajak.
Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam membayarkan
pajaknya. Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat tidak terlalu
keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun masih ingin menghindar dari
pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap aturan-aturan perpajakan
Dengan pembebanan tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius berusaha agar
terlepas dari jeratan pajak yang menghantuinya. Wajib pajak ingin mengamankan
hartanya sebanyak mungkin dengan berbagai cara, karena mereka tengah berusaha
untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya.
4. Sistem Administrasi Perpajakan yang buruk.
Penetapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam proses
pemungutan pajak suatu negara. Dengan sistem administrasi yang bagus,
pengelolaan perpajakan akan berjalan lancar dan tidak akan terlalu banyak
menemui hambatan yang berarti.
Sedangkan yang menjadi indikator dari Penggelapan Pajak menurut M Zain
(2008:51) dalam Permita (2014:4), yaitu :
a. Tidak menyampaikan SPT.
b. Menyampaikan SPT dengan tidak benar.
c. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP atau Pengukuhan
PKP.
d. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong.
e. Berusaha menyuap fiskus.
C. Akibat Penggelapan Pajak (tax evasion)
Menurut Gunadi (2007) dalam Permita (2014:5), beberapa akibat dari
perbuatan penggelapan pajak yaitu:
1. Dalam bidang keuangan.
Penggelapan pajak merupakan pusat kerugian bagi kas negara karena dapat
menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi
lain yang berhubungan dengan itu seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi.dll
2. Dalam bidang ekonomi
Penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat antara para pengusaha.
Maksudnya pengusaha yang melakukan penggelapan pajak dengan cara menekan
biayanya secara tidak wajar. Sehingga perusahaan yang menggelapkan pajak
memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur.
3. Dalam bidang psikologi
Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja
membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Karena tujuan wajib pajak
dalam menggelapkan pajak pasti untuk mencari keuntungan yang lebih besar.
Tax evasion seharusnya dapat dikendalikan. Tingkat tax evasion tergantung
beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
a. Wajib pajak cenderung untuk mengelak dari pembayaran pajak jika dirasakan
timbal balik dari pemerintah atas pembayaran pajak yang dilakukan tidak
jelas.
b. Penghindaran pajak juga tergantung dari korupsi yang dilakukan oleh petugas
pajak. Petugas pajak dan wajib pajak dapat bekerja sama melakukan
pengelakan pajak dengan memperkecil pembayaran pajak dan memberikan
suap kepada petugas wajib pajak. Kasus ini seperti di kasus gayus tambunan
di Indonesia yang kini marak diperbincangkan.
c. Korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dari hasil pembayaran pajak. Wajib
pajak enggan melakukan pembayaran pajak yang seharusnya, dapat
dikarenakan wajib pajak menganggap pemerintah melakukan korupsi melalui
anggaran yang dipenuhi dari penerimaan pajak.

2.1.5 Sistem Perpajakan


Sistem Perpajakan merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang
merupakan perwujudan dari peran serta WP untuk secara langsung dan bersama-
sama melaksanakan kewajiban membayar pajak yang diperlukan untuk
pembiayaan penyelenggaraan Negara dan pembangunan. Tanggungjawab atas
pelaksanaan pemungutan pajak merupakan kewajiban dibidang perpajakan
dengan melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pembayar
pajak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perpajakan. Wajib
pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, mebayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak teruhutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini
administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan lebih rapi, terkendali,
sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat atau wajib pajak
(Marlina, hal 18).
Pembaharuan sistem perpajakan nasional telah memberikan kepada kita
lima buah Undang-undang dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, akan tetapi
lima buah undang-undang tersebut belum menjamin keberhasilan perpajakan
nasional. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh 4 faktor penentu, yang
bila tidak ditangani secara sungguh-sungguh dan baik akan berbalik menjadi
faktor kegagalan. Keempat faktor itu adalah:
a. Sistem Perpajakan, baik menyangkut perangkat undang-undang dan peraturan
maupun aparat pelaksananya.
b. Sistem Penunjang, misalnya sistem Akuntansi dan profesionalisme.
c. Faktor-faktor ekstern yang berupa faktor ekonomi; sosial dan budaya; dan
politik.
d. Masyarakat khususnya wajib pajak, termasuk di dalamnya sistem informasi
dalam arti seluas-luasnya, tingkat kesadaran dan kepatuhan.

Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan


yang harus ditegakan dalam membangun suatu sistem perpajakan, Tjahjono
mengemukakan dari Adam Smith dalam buku Wealth of Nations, menyatakan
bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan oleh empat asas, equality/equity,
certainly, convenience of payment dan economy (Andria 2008:14) dalam Rahman
(2013:45). Tjahjono (2005:16) dalam Rahman (2013:45) menjelaskan ke empat
asas tersebut sebagai berikut:
a. Equality dan equity
Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau
orang dalam keadaaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.
b. Certainly
Kepastian hukum merupakan tujuan dari Undang-undang, dalam
pembuatannya, harus diupayakan supaya ketentuan yang dimuat didalam
undang-undang harus jelas, tegas, tidak mengandung arti ganda atau
memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Kepastian hukum banyak
tergantung pada susunan kalimat, susunan kata, dan penggunaan istilah yang
sudah dibakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut penggunaan bahasa hukum
sangat mutlak dibutuhkan.
c. Convinience of Payment
Pajak yang dipungut harus sesuai waktu yang tepat, yaitu ketika Wajib
Pajak mempunyai uang. Tidak semua Wajib Pajak mempunyai saat
Convinience yang sama, yang mengenakannya untuk membayar pajak.
Seseorang yang menerima gaji akan lebih mudah membayar gaji pada saat
menerima gaji.
d. Economics of Collection
Dalam pembuatan undang-undang pajak perlu dipertimbangkan bahwa
biaya pemungutan harus lebih kecil dari uang pajak yang masuk. Tidak ada
artinya pengenaan pajak jika pemasukan pajaknya hanya untuk biaya
pemungutan saja. Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu
Official Assessment System, Self Assessment System, With Holding System.
a. Official Assessment System

Menurut Siahaan (2010:178-179) dalam Rahman (2013) sistem perpajakan


yang telah diterapkan pada perundang-undangan perpajakan atas penghasilan dan
kekayaan adalah sistem penetapan pajak oleh instansi pajak ( official assessment).
Oleh karena itu berlaku hal-hal sebagai berikut:
1) Pemungutan pajak dibebankan kepada administrasi pajak, sehingga berhasil
atau tidaknya pemungutan pajak bergantung pada aktivitas aparatur
perpajakan, baik dalam mencari subjek pajak maupun dalam menetukan
besarnya pajak terutang.
2) WP dalam memenuhi kewajibannya mengisi dan memasukan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) tergantung pada aktivitas aparatur perpajakan
untuk mengirimkan SPT tersebut kepada WP. Meskipun ditentukan, apabila
sampai akhir bulan Maret tahun berikutnya masih belum bisa menerima
pengiriman SPT, WP diwajibkan mengambil sendiri ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP).
3) Fungsi SPT adalah sebagai dasar administrasi perpajakan untuk menetapkan
besarnya pajak yang terutang. Hasil penghitungan dan penetapan pajak
tersebut tertuang pada Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dikirimkan kepada
WP yang bersangkutan. Pada saat SKP diterbitkan, secara formal timbul utang
pajak dan pada administrasi perpajakan (KPP) timbul dasar penagihan pajak.
4) Sesuai fungsi SPT diatas, maka pada penyampaian SPT tidak merupakan
keharusan adanya pelunasan pajak terlebih dahulu atas jumlah pajak yang
terutang seperti yang tertera dalam SPT.
5) Terlambat menyampaikan SPT atau melakukan penundaan dalam
menyampaikan SPT tidak dikenakan sanksi, baik berupa denda maupun
bunga. Kecuali apabila telah diperingatkan secara tertulis dan tercatat ternyata
masih belum memenuhinya, kepada WP dikenakan sanksi berupa penetapan
secara jabatan, yaitu penetapan pajak berdasarkan penghasilan yang telah
diperkirakan oleh fiskus.
6) Kepasifan WP diatas juga terjadi pada tahun berjalan, dimana WP baru
melakukan pembayaran pajak apabila telah memperoleh SKP meskipun masih
bersifat sementara.
b. Self Assesment System
Menurut Siahaan (2010:184-185) dalam Rahman (2013) self assessment
system sebagai suatu bentuk sistem hukum yang modern dibidang perpajakan, dan
ini sejalan dengan falsafah bangsa yang meletakkan pembayaran pajak sebagai
bentuk kegotongroyongan nasional sebagaimana yang dimaksud dalam jiwa
Pancasila. Dalam sistem ini pajak terutang bukan karena adanya SKP (faham
formal dalam utang pajak), namun adanya pajak terutang karena timbulnya subjek
memiliki objek pajak (faham material dari timbulnya utang pajak). Dalam hal ini
bukan berarti pengertian faham formal timbulnya utang pajak (melalui penerbitan
SKP) tidak ada, SKP diterbitkan apabila WP memiliki kesalahan dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang bersifat bukan merupakan
perbuatan pidana. Dalam hal kesalahan tersebut bersifat kekeliruan yang bersifat
manusiawi dari WP maka kekeliruan itu cukup diterbitkan Surat Tagihan Pajak
(STP) (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 yang mulai
berlaku pada 1 Januari 2008).
c. With Holding System
Sistem with holding diterapkan khususnya terhadap WP yang
penghitungan dan pemungutannya lebih efektif apabila dilakukan oleh orang atau
badan tertentu yang ditunjuk oleh fiskus sebagai pemotong atau pemungut pajak.
Pada pengenaan dan pemungutan PPh pasal 21, misalnya PPh terhadap karyawan,
lebih efektif apabila pemberi kerja diberi kewenangan untuk memungut pajak atas
pekerja yang bekerja kepadanya. Dengan pemungutan pajak pada sumbernya,
yaitu pada pemberi kerja, maka pemungutan pajak dapat segera dilakukan dan
dimasukan ke kas Negara tepat waktu, karena pemungut pajak diharuskan untuk
segera memasukan (menyetorkan) pajak yang dipungutnya ke kas Negara
(umumnya paling lambat 15 bulan berikutnya).
Sistem yang dipakai oleh Indonesia dalam sistem perpajakannya memakai
self assessment system, dimana Wajib Pajak yang berperan aktif dalam
menghitung, melaporkan dan membayar pajaknya. Pemerintah dalam melaporkan
dan membayar pajaknya, pemerintah dalam hal ini hanya sebagai pengawas dari
jalannya kegiatan perpajakan. Hal ini diperkuat oleh Zain (2008) dalam
Wicaksono (2014:17), bahwa perencanaan pajak tidak pula terlepas dari sistem
pungutan yang dianut di Indonesia setelah reformasi pajak, yaitu sistem self-
assessment. Ciri dan cara tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban
dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan
Negara dan pembangunan nasional.
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai perncerminan
kewajiban di bidang perpajakan berada pada angota masyarakat Wajib Pajak
sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fugsinya,
berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang
digariskan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk dapat
melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung,
memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terutang (self
assessment). Maka, melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan
diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan
mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak
diwajibkan menghitung, memprhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak
yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, sehingga peentuan besarnya pajak yang terutang berada pada Wajib
Pajak sendiri.
2.1.6 Tarif Pajak
Tarif pajak adalah presentase untuk menghitung besarnya pajak terutang
(pajak yang harus dibayar). Menurut teori motivasi menurut Hilgard dan Atkinson
(1979) dalam Permitasari (2013:2) menyatakan dimana wajib pajak membuat
motivasi penilaiannya sendiri terhadap tarif pajak yang berlaku. Kepatuhan wajib
pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya yang berkaitan dengan tarif
pajak dapat digolongkan kedalam kepatuhan teknik yang mencakup kepatuhan
dalam penghitungan jumlah pajak yang wajib dibayarkan oleh wajib pajak.
Peningkatan tarif pajak dimaksudkan untuk memberikan peningkatan pendapatan,
namun yang terjadi justru sebaliknya. Semakin tinggi tarif pajak semakin besar
tingkat penggelapan pajak, sehingga pendapatan semakin menurun.
Tarif pajak merupakan ukuran atau standar pemungutan pajak, dalam
hubungannya dengan pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam UU PPh maka
tarif yang diterapkan adalah tarif progresif sebagaimana diatur dalam pasal 17
ayat (1) UU PPh. Sedangkan untuk pajak pertambahan nilai berlaku tarif pajak
proporsional yaitu 10%. Masalah penggelapan pajak di Indonesia merupakan
suatu fenomena terkait dengan sistem perpajakan dan moral pajak. Sistem
perpajakan seperti: tarip pajak, probabilitas audit, dan sanksi, secara teoritis
merupakan salah satu sumber penyebab rendahnya kepatuhan pajak.
Pengaturan tarif pajak dapat diketemukan dalam Hukum Pajak Materiil.
Tarif digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besarnya utang pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi ataupun badan. Dalam praktik
pemungutan pajak, tarif pajak yang digunakan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan pajak dapat berupa tarif-tarif pajak sebagai berikut
(Suparnyo, 2012:45) :
1. Tarif proporsional atau sebanding
Tarif proporsional atau sebanding adalah tarip pajak yang persentasenya
tetap atau tidak berubah, artinya semakin besar jumlah yang dipakai sebagai dasar
menentukan besarnya pajak yang terutang maka semakin besar pula jumlah utang
pajak yang harus dibayar. Namun, kenaikan besarnya utang pajak tersebut
diperoleh dengan persentase yang sama / tetap. Misalnya dalam Undang-Undang
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang
mewah (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) dinyatakan bahwa untuk Pajak
Pertambahan Nilai ditetapkan 10 % (sepuluh per seratus).
2. Tarif tetap
Tarif tetap adalah tarif pajak yang besarnya tetap terhadap berapapun
jumlah atau nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya tarif dalam menetapkan
besarnya pajak berupa bea meterai atas diterbitkannya dokumen suatu perjanjian
sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah).
3. Tarif progresif
Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentase pengenaannya semakin
meningkat bila jumlah atau nilai objek yang dikenai pajak. Misalnya tarif dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menentukan bahwa bagi wajib pajak
orang pribadi akan dikenai tarif sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak.
Apabila dilihat dari kenaikan persentase tarifnya, dalam tarif progresif dikenal :
a. Tarif progresif progresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin besar
b. Tarif progresif tetap, yaitu kenaikan persentase tarifnya tetap;
c. Tarif progresif degresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin kecil.
4. Tarif degresif
Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentase pengenaannya semakin
menurun sejalan dengan pertambahan penghasilan atau dengan kata lain
persentase tarif yang digunakan akan semakin kecil jika jumlah atau nilai objek
yang dikenai pajak semakin besar. Dalam penerapannya tarip progresif juga dapat
berupa degresif progresif, degresif tetap dan degresif degresif.

2.1.7 Keadilan Pajak


Keadilan adalah pajak dikenakan kepada orang pribadi yang seharusnya
sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai
dengan manfaat yang diterima. Dikarenakan sistem pemungutan pajak di
Indonesia menggunakan self assesment system, prinsip keadilan ini sangat
diperlukan agar tidak menimbulkan perlawanan-perlawanan pajak seperti tax
avoidance maupun tax evasion. Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan
memberikan hak kepada Wajib Pajak ntuk mengajukan keberatan, penundaan
dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak
(Julita et al., 2015)
Adam Smith mengungkapkan bahwa prinsip yang paling utama dalam
rangka pemungutan pajak adalah keadilan dalam perpajakan. Setiap warga negara
harus ikut serta mengambil bagian dalam pembiayaan pemerintah dan bentuk
partipasi tersebut harus proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing,
yaitu dengan cara membandingkan penghasilan yang diperolehnya dengan
perlindungan yang dinikmatinya dari negara. Keadilan pajak adalah keadilan
dalam menerapkan sistem perpajakan yang ada. Masyarakat menganggap bahwa
pajak adalah suatu beban bagi mereka, sehingga masyarakat memerlukan suatu
kepastian bahwa mereka mendapatkan suatu perlakuan adil dalam pengenaan dan
pemungutan pajak oleh negara. Keadilan pajak dibagi ke dalam tiga pendekatan
prinsip, yaitu prinsip manfaat (benefit principle), prinsip kemampuan membayar
(ability to pay), dan keadilan horizontal dan vertikal (Kurniawati & Toly 2014)
Prinsip manfaat (benefit principle) menyatakan bahwa suatu sistem pajak
dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai
dengan manfaat atau jasa-jasa yang diperoleh dari pemerintah. Jasa pemerintah ini
meliputi berbagai sarana yang disediakan oleh pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Keadilan dalam hal kemampuan membayar (ability to
pay) memiliki arti bahwa wajib pajak akan membayar jumlah pajak yang terutang
sesuai dengan kondisi wajib pajak. Hal ini berarti wajib pajak dengan penghasilan
sama besar, akan mempunyai kewajiban perpajakan yang sama. Keadilan
Horizontal (horizontal equity) adalah persepsi kewajaran pajak yang dibayar
dibanding orang lain yang memiliki jumlah kekayaan yang sama. Exchange equity
adalah kewajaran pajak yang dibayar dibandingkan dengan servis atau pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah. Keadilan Vertikal (vertikal equity) merupakan
kewajaran pajak yang dibayarkan wajib pajak dibandingkan orang lain yang
memiliki kekayaan yang lebih. Prinsip keadilan vertikal berarti bahwa orang-
orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak lebih
besar. (Kurniawati & Toly, 2014).

2.1.8 Pemeriksaan Pajak


Pengertian pemeriksaan menurut pasal 1 ayat (25) UU no. 28 tahun
Tentang perubahan ketiga atas UU no. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dalam Harahap (2013) adalah sebagai berikut :
“Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”.
Menurut Kementrian keuangan direktorat jenderal pajak pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap wajib pajak atas pemenuhan
kewajiban pajaknya.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Pemeriksaan Pajak
merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data yang dilakukan
oleh pihak yang berwenang dalam hal ini adalah pihak kantor pajak berdasarkan
peraturan yang berlaku guna untuk pelaksanaan ketentuan perundang-undangan
perpajakan.

Faktor-Faktor Pemeriksaan Pajak


Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemeriksaan Pajak menurut Rahayu
(2010:260) dalam Wulandari (2012) adalah sebagai berikut:
1. Teknologi Informasi
Kemajuan teknologi informasi telah luas dimanfaatkan oleh Wajib Pajak.
Seiring dengan perkembangan tersebut maka pemeriksa harus juga memanfaatkan
perangkat teknologi informasi dengan sebutan Computer Assisted Audit
Technique (CAAT).
2. Jumlah sumber daya manusia
Jumlah sumber daya manusia harus sebanding dengan beban kerja
pemeriksaan. Untuk mengatasi jumlah pemeriksa yang terbatas adalah dengan
meningkatkan kualitas pemeriksa dan melengkapinya dengan teknologi informasi
didalam pelaksanaan pemeriksaan.
3. Kualitas sumber daya
Kualitas pemeriksa sangat dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang,
dan pendidikan. Solusi agar kesenjangan kualitas pemeriksa teratasi adalah
dengan melalui pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan dan sistem
mutasi yang terrencana serta penerapan reward dan punishment.
4. Sarana dan Prasarana Pemeriksaan
Sarana dan prasarana pemeriksaan seperti computer sangat diperlukan dan
sangat membantu pemeriksa di dalaam mengolah data untuk tujuan analisa dan
penghitungan pajak.
Tujuan Pemeriksaan Pajak
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 Pasal 2,
tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 tanggal 28 desember
2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, menetapkan bahwa pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat
dilakukan dalam hal Wajib Pajak sebagai berikut:
a. Menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
b. Menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.
c. Tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampauai jangka
waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran.
d. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran atau
akan meninggalkan indonesia untuk selamalamanya.
e. Menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis
risiko mengindikasikan adanya kewajiban perpajakn Wajib Pajak yang tidak
dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Tujuan lain dari Pemeriksaan Pajak adalah dalam rangka:
a. Pemberian NPWP secara jabatan
b. Penghapusan NPWP
c. Wajib Pajak mengajukan keberatan
d. Pencocokan data atau alat keterangan
e. Penentuan Wajib Pajak berlokasi didaerah terpencil

Indikator Pemeriksaan Pajak


Adapun indikator pemeriksaan pajak dalam Wulandnari (2012) adalah
sebagai berikut:
1. Pendidikan dan Pelatihan Teknis Pemeriksa
Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Direktorat Jendral Pajak No.
PER- 9/PJ/2010. Standar Umum Pemeriksa Pajak yaitu standar yang bersifat
pribadi dan berkaitan dengan persyaratan pemeriksa pajak dan mutu pekerjaannya
telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki
ketrampilan sebagai pemeriksa pajak, dan menggunakan ketrampilannya secara
cermat dan seksama.
2. Intergritas Pemeriksa
Intergritas adalah suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan
dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan
kebenaran dari tindakan seseorang.
3. Rasio Pemeriksa dan Wajib Pajak
Jumlah fungsional Pemeriksa Pajak dengan Jumlah Wajib Pajak harus
seimbang.
4. Memeriksa di Tempat Wajib Pajak
Pemeriksaan ditempat Wajib Pajak dapat didefinisikan sebagai
serangkaian kegiatan yang dilakukan Pemeriksa di tempat/lokasi Wajib Pajak
untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya guna
mengetahui dan mendapatkan fakta-fakta yang berkaitan dengan kegoatan usaha
Wajib Pajak, mengetahui dan menilai Sistem Pengendalian Intern, serta untuk
meyakinkan kebenaran atau keberadaan fisik aktiva tetap yang dilaporkan dan
kepemilikannya dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
5. Melakukan pemeriksaan atas buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-
dokumen
Seluruh rangkaian persiapan pemeriksaan sampai dengan langkah penilaian SPI
tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan langkah pemeriksaan buku-
buku, catatan dan dokumen wajib pajak.
6. Melakukan konfirmasi kepada pihak ketiga
Menegaskan kebenaran dan kelengkapan data atau informasi dari wajib
pajak dengan bukti-bukti yang diperoleh dari pihak ketiga.
7. Memberitahukan hasil Pemeriksaan kepada wajib pajak
a. Memberitahukan secara tertulis koreksi fiscal perhitungan pajak terutang
kepada wajib pajak.
b. Melakukan pembahasan atas temuan dan koreksi fisacl serta perhitungan pajak
terutang denga wajib pajak.
c. Memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk menyampaikan pendapat,
sanggahan, persetujuan, atau meminta penjelaan lebih lanjut mengenai temuan
dan koreksi fiscal yang telah dilakukan.
8. Melakukan sidang penutup
Sebagai upaya memperoleh pendapat yang sama dengan Wajib Pajak atas
temuan pemeriksaan dan koreksis fiscal terhadap seeluruh jenis pajak yang
diperiksa.

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu

N Nama Peneliti, Judul Hasil Penelitian Persamaa Perbedaa Alat Analisis


o dan Tahun Penelitian n n
1 Yuni Dasa Ningsih, 2020 Hasil penelitian ini Variabel Variabel Tektik analisis
membuktikan bahwa sistem ketepatan data yang di
system perpajakan perpajakan pengaloka gunakan adalah
berpengaruh negatif , tarif sian, dan analisis
pajak dan diskrimina kuantitatif
signifikan terhadap
keadilan si dengan
penggelapan pajak. menyebarkan
Semakin baik sistem kuisioner kepada
perpajakan akan 100 responden
menurunkan pengambilan
penggelapan pajak. sampel
Keadilan berpengaruh menggunakan
negatif signifikan metode
terhadap penggelapan convenience
pajak. Semakin tinggi sampling
keadilan akan
menurunkan
penggelapan pajak.
Tarif pajak berpengaruh
positif signifikan
terhadap penggelapan
pajak. Semakin tinggi
tarif pajak akan
meningkatkan
penggelapan pajak.
Keakuratan alokasi
memiliki pengaruh
negatif yang signifikan
terhadap penggelapan
pajak. Akurasi yang
lebih tinggi dari
tunjangan menurunkan
penggelapan pajak.
Kemudian diskriminasi
memiliki pengaruh
positif signifikan
terhadap penggelapan
pajak. Diskriminasi
besar akan
meningkatkan
penggelapan pajak.
2 Nurfaizah Abidin, 2016 Hasil penelitian ini Variabel Variabel Penelitian ini
menunjukkan bahwa tarif tarif pajak, Pengawas dilakukan
pajak berpengaruh positif sistem an Pajak, dengan
signifikan terhadap perpajakan sunset menggunakan
minimalisasi tax evasion, , policy metodempurposi
sistem perpajakan ve sampling,
berpengaruh positif dengan metode
signifikan terhadap kuantitatif,
minimalisasi tax evasion, Analisis data
pengawasan pajak yang digunakan
berpengaruh negatif dalam penelitian
signifikan terhadap ini adalah uji
minimalisasi tax evasion, validitas dan uji
dan sunset policy reliabilitas, serta
berpengaruh positif uji asumsi klasik
signifikan terhadap (uji
minimalisasi tax evasion. Multikolonieritas
, uji
heteroskedastisit
as, uji
normalitas) dan
analisis regresi
berganda, uji
koefisien
determinasi dan
uji hipotesis (uji
statistik F dan uji
statistik t).

3 Orin Ndari Ervana, 2019 Berdasarkan hasil Variabel Tempat Uji validitas, Uji
penelitian dan pemeriksa penelitian reliabilitas,Uji
pembahasan, peneliti an pajak, kpp asumsi klasik, uji
menarik kesimpulan keadilan pratama multikolonieritas
variabel pemeriksaan pajak dan Klaten ,uji
pajak tidak tarif pajak heterokesdasitas,
berpengaruhterhadap uji simultan, uji
persepsi wajib pajak parsial, uji
mengenai etika koefisien
penggelapan pajak di KPP deterninasi
Pratama Klaten.Variabel
keadilan pajak
berpengaruh positif
signifikan terhadap
persepsi wajib pajak
mengenai etika
penggelapan pajak di KPP
Pratama Klaten.Variabel
tarif pajak tidak
berpengaruh terhadap
persepsi wajib pajak
mengenai etika
penggelapan pajak di KPP
Pratama Klaten. Variabel
pemeriksaan pajak,
keadilan pajak dan tarif
pajak secara bersama-
sama berpengaruh
terhadap persepsi wajib
pajak mengenai etika
penggelapan pajak di KPP
Pratama Klaten.
4 Dhea Anmelia Putri, Hasil dari penelitian Variabel tempat metode
Adriyanti Agustina Putri, menunjukkan bahwa sistem penelitian kuantitatif, Uji
Della Hilla Anriva, 2022 sistem perpajakan perpajakan di kpp validitas, Uji
berpengaruh terhadap , tarif pratama reliabilitas,Uji
etika penggelapan pajak, pajak, tampan asumsi klasik, uji
pemeriksaan pajak keadilan multikolonieritas
berpengaruh terhadap pajak dan ,uji
etika penggelapan pajak, pemeriksa heterokesdasitas,
keadilan pajak an pajak uji simultan, uji
berpengaruh terhadap parsial, uji
etika penggelapan pajak koefisien
dan tarif pajak deterninasi
berpengaruh terhadap
etika penggelapan pajak.
5 Kurniati Herlangga dkk, Hasil penelitian Variabel Variabel Metode analisis
menunjukkan bahwa tarif pajak Pemaham yang digunakan
secara parsial pemahaman an dalam penelitian
perpajakan berpengaruh Perpajaka ini adalah regresi
negatif terhadap n, Self linier berganda
penggelapan pajak, Assessme
sedangkan self assessment nt System
system dan tarif pajak
berpengaruh positif
terhadap penggelapan
pajak Selain itu, dalam
penelitian ini berpengaruh
secara simultan terhadap
penggelapan pajak di KPP
Pratama Ilir Timur
Palembang

6 Linda Susanti, 2019 Berdasarkan analisis Variabel Variabel Metode analisis


menunjukkan bahwa sistem sanksi penelitian yang
sistem perpajakan dan pajak, tarif pajak dan digunakan
pemahaman perpajakan pajak pemaham adalah regresi
memiliki pengaruh positif an linier berganda
terhadap persepsi wajib perpajaka
pajak n
mengenai etika
penggelapan pajak. Tarif
pajak memiliki pengaruh
negatif
terhadap persepsi wajib
pajak mengenai etika
penggelapan pajak. Sanksi
pajak
tidak memiliki pengaruh
terhadap persepsi wajib
pajak mengenai etika
penggelapan pajak.
7 Tiwi Angela Sapitri, Hasil penelitian Variabel Variabel Analisis data
2022 menunjukkan bahwa sistem independe yang digunakan
keadilan dan sanksi pajak pajak dan n sanksi adalah metode
berpengaruh terhadap keadilan pajak dan analisis regresi
penggelapan pajak (tax pajak variabel linier berganda
evasion). Sedangkan dependen dan Moderate
sistem perpajakan tidak teknologi Regression
berpengaruh terhadap informasi Analyze (MRA)
penggelapan pajak (tax sebagai dengan bantuan
evasion). Teknologi variabel program SPSS
informasi dapat moderasi 26
memoderasi pengaruh
sistem perpajakan
terhadap penggelapan
pajak (tax evasion).
Namun teknologi
informasi tidak dapat
memoderasi pengaruh
keadilan dan sanksi pajak
terhadap penggelapan
pajak (tax evasion

8 Cut Hani Yurika, 2016 Hasil penelitian ini Variabel variabel metode
menunjukan bahwa keadilan kemungki pengolahan data
kemungkinan terdeteksi pajak nan yang di gunakan
nya kecurangan, keadilan terdeteksi adalah analisis
pajak, dan tax moral kecuranga regresi berganda
memiliki pengaruh yang n,
signifikan terhadap tax ketepatan
evasion. Sedangkan pengaloka
ketepatan pengalokasian sian pajak,
pajak dan teknologi sistem teknologi
perpajakan tidak memiliki sistem
pengaruh yang signifikan perpajaka
terhadap tax evasion. n dan tax
morale
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori dan beberapa penelitian terdahulu, kerangka
pemikiran dari penilitian ini sebagai berikut:

Sistem Perpajakan (X1)

Tarif Pajak (X2)


Penggelapan Pajak (tax evasion) (Y)
Keadilan Pajak (X3)

Pemeriksaan Pajak(X4)
(Y(C(X4)
Sumber : Penulis, 2018
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis dari
penelitian ini adalah :
2.4.1 Pengaruh Sistem Perpajakan Terhadap Penggelapan Pajak
Dalam TPB (Fishbein & Ajzen, 1975) terdapat Persepsi pengendalian
perilaku yang didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap hambatan dalam
melakukan suatu perilaku. TPB memandang pengendalian/kontrol yang dimiliki
seseorang terhadap perilakunya berada pada yang cukup. Theory of Planned
Behavior, apabila seseorang akan bertindak didasarkan pertimbangan adanya
faktor memfasilitasi atau menghambat perilaku. Jika dihubungkan dengan teori
tersebut, tersedianya fasilitas yang disediakan oleh pemerintah berupa sistem akan
memudahkan Wajib Pajak untuk melakukan kewajibannya. Dengan begitu, sistem
perpajakan akan mendorong Wajib Pajak untuk patuh sehingga penggelapan pajak
akan menurun Silaen et al. (2015) menyatakan bahwa sistem perpajakan
merupakan suatu sistem pemungutan pajak dari suatu perwujudan pengabdian dan
peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan
kewajiban pembayaran pajaknya yang kemudian digunakan untuk membiayai
pembangunan nasional.
McGee & Djatej (2011) menyatakan bahwa sistem perpajakan berkaitan
dengan tarif pajak dan korupsi mungkin saja terjadi dalam sistem apapun. Sikap
tidak etis seseorang akan dikatakan wajar apabila standar perilaku buruk orang
dalam lingkungan tempat tinggalnya buruk dan sebaliknya. Jika sistem perpajakan
suatu Negara baik maka tindakan penggelapan pajak dipandang sebagai perilaku
tidak etis dan sebaliknya. Sistem perpajakan yang telah ada dan telah diterapkan
selama ini menjadi acuan bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Jika sistem perpajakan yang sudah ada dirasa sudah cukup baik
dan taat pada sistem perpajakan yang ada dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, tetapi jika yang terjadi sebaliknya, Wajib Pajak merasa sistem
perpajakan belum cukup baik maka Wajib Pajak akan menurunkan tingkat
kepatuhan atau menghindar dari kewajibannya dalam membayar pajak.
Peneliti berpendapat bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat
dipertanggungjawabkan, petugas pajak yang kompeten dan tidak korupsi, dan
juga prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit akan membuat Wajib Pajak
tidak akan mempunyai niat untuk menggelapkan pajak. Akan tetapi jika
pengelolaan uang pajak tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan
petugas pajak juga melakukan tindakan korupsi, dan prosedur perpajakan yang
berbelit-belit, maka para Wajib Pajak tidak akan mau untuk melaporkan
kewajibannya dengan jujur, mereka akan cenderung untuk melakukan tindakan
penggelapan pajak.
Hasil penelitian Handayani & Friskianty (2014) menyatakan bahwa
system perpajakan tidak berpengaruh terhadap tindakan penggelapan pajak.
Peneltian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee & Djatej
(2011) yang mengemukakan bahwa penggelapan pajak selalu tidak etis untuk
dilakukan. Nickerson et al. (2009), Suwandhi (2010), Suminarsasi & Supriyadi
(2012) dan Rahman (2013) juga menemukan bahwa sistem perpajakan
berpengaruh terhadap penggelapan pajak. McGee & Djatej (2011), Rahman
(2013) dan Wicaksono (2014) menyatakan bahwa sistem perpajakan berpengaruh
negatif terhadap tindakan tax evasion, sedangkan Elmiza et al. (2013) menyatakan
bahwa sistem perpajakan tidak berpengaruh terhadap tindakan penggelapan pajak.
Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti menurunkan hipotesis:
H1 : Pemahaman sistem perpajakan berpengaruh terhadap penggelapan
pajak

2.4.2 Pengaruh Tarif Pajak terhadap Tindakan Penggelapan Pajak


Relevansi dari theory of planned of behaviour dengan kepatuhan pajak
adalah bahwa perilaku patuh atau tidak patuh wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya dipengaruhi oleh niat yang dimiliki oleh wajib pajak.
Apabila wajib pajak memiliki niat untuk patuh terhadap kewajiban perpajakannya
maka akan terjadi perilaku tax compliance (kepatuhan pajak). Dimana niat untuk
patuh ditentukan oleh tiga faktor yaitu sikap, norma subyektif dan kontrol
keperilakuan yang dipersepsikan yang dimiliki oleh wajib pajak. Tarif pajak
merupakan bagian dari persepsi kontrol yang dianggap sebagai Control Belief
(keyakinan pengendalian), yaitu probabilitas bahwa beberapa faktor menunjang
suatu tindakan/perilaku patuh dan tidak patuh pajak
Tarif pajak merupakan jumlah persentase yang harus dibayarkan oleh
Wajib Pajak dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya sebagai warga
negara. Wajib Pajak akan cenderung melakukan tindakan penggelapan pajak
apabila tarif pajak yang diterapkan oleh pemerintah terlalu tinggi, karena pajak
dianggap suatu beban yang dapat mengurangi kemampuan ekonomis seorang
Wajib Pajak sehingga apabila ada kesempatan untuk melakukan tindakan
penggelapan pajak maka Wajib Pajak akan menggunakan kesempatan tersebut
untuk melakukan tindakan penggelapan pajak.
Tarif pajak yang tinggi akan meningkatkan beban Wajib Pajak sehingga
menurunkan pendapatan dari Wajib Pajak. Alasan Wajib Pajak melakukan
tindakan penggelapan pajak dan penghindaran pajak adalah rendahnya
kemampuan Wajib Pajak untuk membayar pajak atau rendahnya moral terhadap
pajak, tingginya biaya kepatuhan yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak,
rendahnya sistem perpajakan, dan rendahnya tingkat pengungkapan tindakan
penggelapan pajak yang dilakukan wajib pajak dan fiskus. Salah satu
penyebabnya rendahnya moral terhadap pajak adalah penetapan tarif pajak yang
terlalu tinggi sehingga memberatkan bagi Wajib Pajak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kurniawati & Toly (2014) yang
menyatakan apabila tarif pajak terlalu tinggi akan berbanding lurus dengan tingkat
penggelapan pajak. Semakin tinggi tarif pajak, maka akan berdampak pada
peningkatan penggelapan pajak di masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh
Permatasari & Laksito (2013) memiliki hasil tarif pajak berpengaruh positif
signifikan terhadap tindakan penggelapan pajak, hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Indriyani et al. (2016) yang menyatakan bahwa tarif pajak
berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan pajak. Berdasarkan penjelasan
diatas maka peneliti menurunkan hipotesis:
H2 : Tarif pajak berpengaruh terhadap penggelapan pajak

2.4.3 Pengaruh Keadilan pajak terhadap Tindakan Penggelapan


Pajak
Berdasarkan teori keadilan dijelaskan pengaruh keadilan terhadap
kepatuhan pajak. Teori heuristik keadilan menjelaskan bahwa kesadaran individu
akan adanya dilema sosial yang ada didasari dengan lingkungan sosial dan
hubungan sosial didalamnya. Dalam hal ini masyarakat mengalami dilema apakah
otoritas pajak dapat dipercaya atau tidak. Wajib pajak akan taat membayar pajak
jika memandang pihakyang berwenang (Otoritas Pajak) memberlakukan semua
individu dengan cara yang sama dan tidak memanfaatkan atau mengambil
keuntungan dari pajak yang telah dibayarkan. Keadilan pajak yang dirasakan oleh
wajib pajak dapat menentukan tingkat kepatuhan, dimana tingkat keadilan yang
mampu memberikan kontribusi terhadap kepatuhan wajib pajak adalah adanya
keadilan berkaitan dengan peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku,
pelaksanaan peraturan tersebut oleh pihak fiskus, dan penggunaan uang hasil
pajak itu sendiri. Wajib pajak yang menganggap otoritas pajak sebagai yang tinggi
dalam keadilan prosedural lebih cenderung mempercayai otoritas, dan ini
meningkatkan kepatuhan dan menurunkan penggelapan pajak.
Teori keadilan adalah hal yang mendasari tindakan yang akan dilakukan
oleh seseorang. Apabila dikaitkan dengan teori tersebut seseorang akan
termotivasi untuk adil jika mendapatkan keadilan, karena orang tersebut akan
merasa apa yang dikeluarkan sesuai dengan apa yang akan diterimanya. Dengan
begitu Wajib Pajak akan patuh jika mendapatkan keadilan.
Penggelapan pajak dianggap suatu hal yang etis dikarenakan oleh
minimnya keadilan dalam penggunaan uang yang bersumber dari pajak, korupsi
oleh pemerintah, dan merasakan tidak mendapat imbalan secara langsung atas
pajak yang dibayarkan. Dalam peneltiannya mengenai skala dimensionalitas
mengenai penggelapan pajak menemukan bahwa variabel keadilan termasuk
sebagai salah satu faktornya.
Bagi Wajib Pajak perilaku yang adil dalam hal pemenuhan kewajiban
perpajakan sangatlah penting dikarenakan perilaku adil yang diterima oleh Wajib
Pajak akan memotivasi Wajib Pajak itu sendiri dalam rangka untuk memenuhi
kewajibannya. Apabila Wajib Pajak diperlakukan secara tidak adil misalnya
dengan dikenakan tarif pajak yang tinggi dan tidak sesuai dengan penghasilan
yang diperoleh maka Wajib Pajak tersebut akan cenderung melakukan tindakan
penggelapan pajak. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah
keadilan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam hal pemenuhan kewajiban
perpajakannya maka Wajib Pajk akan memiliki kecenderungan untuk melakukan
tindakan penggelapan pajak.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2013) dan Penelitian yang dilakukan
Permatasari & Laksito (2013) memiliki hasil keadilan berpengaruh negatif
terhadap tindakan penggelapan pajak yang artinya semakin tidak adilnya suatu
sistem perpajakan yang berlaku maka kecendrungan Wajib Pajak akan semakin
tinggi. Pemungutan pajak harus dilakukan secara adil dan merata agar Wajib
Pajak memiliki motivasi untuk tetap memenuhi kewajiban perpajakannya, selain
itu manfaat yang diterima oleh Wajib Pajak melalui alokasi dana pajak juga harus
dirasakan secara merata. Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti menurunkan
hipotesis:
H3 : Keadilan pajak berpengaruh terhadap penggelapan pajak
2.4.4 Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap tindakan penggelapan
pajak
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan,
mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajibanperpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan adanya pemeriksaan pajak
mampu meningkatkan etika wajib pajak mengenai penggelapan pajak.
Adanya korelasi antara intensitas pemeriksaan pajak dengan penggelapan
pajak adalah bahwa ketika pemeriksaan pajak dilakukan secara intensif ataupun
dalam suatu periode yang teratur, maka penggelapan pajak akan semakin kecil.
Penelitian (Dharmayanti, 2017) menunjukan bahwa pemeriksaaan pajak tidak
berpengaruh terhadap penggelapan pajak namun penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh (Lambey and Walandouw, 2017) menunjukan bahwa pemeriksaan
pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak.
Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti menurunkan hipotesis:
H4 : Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penggelapan pajak
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kuantitatif.
“pendekatan kuantitatif adalah pengukuran data kuantitatif dan statistik objektif
melalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel orang-orang atau penduduk yang
diminta menjawab atas sejumlah pertanyaan tentang survey untuk menentukan
frekuensi dan presentase tanggapan mereka”. Cresweel (2010 : 24)
Pendekatan kuantitatif ini adalah penelitian yang bersifat pre-determinded,
analisis data statistik serta interpretasi data statistik. Peneliti yang menggunakan
pendekatan kuantitatif akan menguji suatu teori dengan cara merinci suatu
hipotesis-hipotesis yang spesifik, lalu mengumpulkan data untuk mendukung atau
membantah hipotesis-hipotesis tersebut. Pendekatan yang akan dilakukan dalam
penelitian ini adalah pendekatan analisis kuantitatif berdasarkan informasi
statistika. Pendekatan penelitian yang dalam menjawab permasalahan penelitian
memerlukan pengukuran yang cermat terhadap variabel-variabel dari objek yang
diteliti untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan terlepas dari
konteks waktu, tempat dan situasi.
Metode kuantitatif dapat diartikan juga sebagai metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat positivisme. Metode ini digunakan untuk meneliti pada
populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen
penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/ statistik, dengan tujuan untuk menguji
hipotesis yang telah ditetapkan. Sugiyono (2012 : 11)
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
kuantitatif merupakan suatu pendekatan di dalam penelitian untuk menguji
hipotesis dengan menggunakan uji data statistik yang akurat. Berdasarkan latar
belakang dan rumusan masalah yang telah disebutkan, penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengukur pengaruh pemahaman
sistem perpajakan, tarif pajak, keadilan pajak dan pemeriksaan pajak terhadap
penggelapan pajak
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Karawang, yang berlokasi di Jl. Jenderal
Ahmad Yani No 17, Nagasari, Kec Karawang Barat Karawang Jawa Barat 41312
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 6 bulan di mulai bulan januari
sampai dengan bulan juni 2023 yang telah di uraikan pada tabel berikut :

Tabel 3.1
Waktu Penelitian
Jadwal Penelitian
No Nama Kegiatan
Jan-23 Feb-23 Mar-23 Apr-23 May-23 Jun-23
1 Pengajuan Judul
2 Penyusunan Proposal
3 Observasi Lapangan
4 Penyebaran Kuisioner
5 Analisis dan Pengolahan Data
6 Penyusunan Skripsi
3.3 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
Variabel Independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sistem
pajak, Tarif pajak, Keadilan pajak, dan Pemeriksaan pajak. Sedangkan variabel
dependennya adalah Penggelapan pajak. Variabel penelitian pada dasarnya adalah
suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai
variasi tertentu yang di tetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian di
tarik kesimpulan (Sugiyono, 2019:68).
Definisi operasional yaitu mengoperasionalisasi variabel yang menunjukan
bagaimana suatu variabel diukur. Penelitian ini menggunakan dua jenis variabel,
yaitu variabel dependen ( variabel terikat/tergantung ) dan variabel independen
( variabel bebas ).
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
..................................................................................

3.4 Populasi, sampel dan Teknik Sampling


3.4.1 Populasi Penelitian
Menurut Arikunto (2013, hlm. 173), “populasi adalah keseluruhan subjek
penelitian”. Sedangkan menurut Sugiyono (2012, hlm. 80) mengemukakan
bahwa:
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari yang kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya
orang, tetapi juga obyek dan juga benda-benda alam yang lain. Populasi juga
bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/ subyek yang dipelajari, tetapi
meliputi seluruh karaketristik/sifat yang dimiliki oleh subyek/obyek itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa populasi
merupakan keseluruhan subyek atau obyek yang menjadi fokus dalam penelitian
dengan memerhatikan beberapa karakteristik yang sesuai dengan penelitian yang
sedang dilakukan.
Populasi yang dijadikan objek penelitian ini adalah wajib pajak orang
pribadi (WPOP) yang terdaftar pada KPP Pratama Karawang.
3.4.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat
diberlakukan untuk populasi”. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus
betul-betul representatif atau mewakili (Sugiyono:2011,hlm 118).
Penenetuan pengambilan sampel ditentukan apabila kurang dari 100 lebih
baik diambil semua hingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika
jumlah subjeknya besar dapat diambil 10-15% atau 20-55% atau lebih tergantung
sedikit banyaknya dari kemampaun peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana,
sempit luasnya wilayah dari setiap subjek, serta besar kecilnya resiko yang di
tanggung oleh peneliti (Arikunto :2008)
3.4.3 Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik
convenience sampling. Teknik convenience sampling yaitu pemilihan sampel
sesuai dengan keinginan peneliti (Sugiyono,2012). Sampel dalam penelitian ini
meliputi jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama
Karawang dengan sampel sebanyak 25.512 orang. Penelitian ini mengambil 100
data reponden untuk mewakili sampel yang ada. Data responden ini diambil 100
responden karena mengingat waktu, tenaga, dan dana yang terbatas.

3.5 Pengumpulan Data Penelitian


3.5.1 Sumber Data Penelitian
Dalam setiap penelitian, peneliti dituntut untuk menguasai teknik
pengumpulan data sehingga menghasilkan data yang relevan dengan penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis data kuantitaif dari sumber
primer dan sumber sekunder. Menurut Arikunto (2010, hlm. 172) “sumber data
penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh”. Adapun sumber data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian langsung
secara empirik kepada pelaku langsung atau yang terlibat langsung dengan objek
penelitian, data tersebut kemudian dikumpulkan dan diolah sendiri oleh peneliti.
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah seluruh data yang
diperoleh dari angket yang disebarkan kepada responden siswa SMAN 10
Bandung yang menjadi partisipan dalam penelitian ini yaitu siswa yang memiliki
orangtua single parent.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak berhubungan langsung dengan
masalah penelitian tetapi data ini mendukung untuk memperoleh data. Data
sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa buku, dokumen-dokumen, artikel-
artikel, situs internet, kepustakaan, jurnal baik berupa teori maupun data yang
berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
Dengan demikian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.2 Sumber Data

N
o Keterangan Jenis Data
Data wajib pajak orang pribadi
1 (WPOP) Primer
2 Data kuisioner pra-penelitian Primer
3 Data kuisioner penelitian Primer
Sumber: diolah oleh peneliti

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data


a. Observasi Lapangan
Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang
tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang
terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Menurut Hadi (dalam
Sugiyono : 2012 hlm 145). Observasi dalam penelitian ini dilakukan sebelum
dilaksanakannya pengambilan data yaitu untuk mengamati hal apa yang membuat
wajib pajak orang pribadi melakukan tindakan penggelapan pajak. Hal ini
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun instrumen penelitian.
b. Studi Kepustakaan
Studi ini digunakan sebagai pembanding atau untuk mendukung informasi
yang berkaitan dengan masalah penelitian. Teknik ini digunakan untuk
melengkapi data-data dalam rangka menganalisis masalah yang sedang diteliti.
Dalam hal ini terutama menyangkut masalah sistem pajak, tarif pajak, keadilan
pajak dan pemeriksaan pajak. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan masukan
berupa konsep-konsep, prinsip, teori dan peraturan pemerintah yang berhubungan
dengan penelitian yang dilaksanakan.
c. Kuesioner
Kuesioner merupakan teknik pemgumpulan data yang dilakukan dengan
cara memberi beberapa pertanyaan tertulis kepada responden untuk menjawabnya
(Sugiono : 2012 hlm 142). Dalam penelitian ini kuisioner digunakan untuk
mengumpulakan data dari para responden yang telah ditentukan. Kuisioner berisi
pertanyaan yang menyangkut tentang sistem pajak, tarif pajak, keadilan pajak dan
pemeriksaan pajak kepada wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP
Pratama Karawang. Pertanyaan disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip
penulisan angket seperti isi dan tujuan pertanyaan, bahasa yang digunakan, tipe
dan bentuk pertanyaan, panjang pertanyaan, urutan pertanyaan, penampilan fisik
angket dan sebagainya.
Dengan adanya kontak langsung antara peneliti dengan responden akan
menciptakan suatu kondisi yang cukup baik, sehingga responden dengan sukarela
akan memberikan data obyektif dan cepat (Sugiyono : 2012 hlm 142). Oleh
karena itu, peneliti melakukan kontak langsung dengan responden yang terdaftar
pada KPP Pratama Karawang.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan angket tertutup yang disajikan
dengan serangkaian alternatif dan responden cukup memberi tanda silang,
melingkar ataupun mencentang (sesuai permintaan) pada jawaban yang
dianggapnya sesuai dengan pendapat responden.

3.5.3 Instrumen Penelitian


Dalam penelitian ini, instrument penelitian yang digunakan adalah
kuisioner (angket), dengan skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena
sosial (Sugiyono :2012 hlm 93).
Pernyataan yang dijawab oleh responden mendapat nilai sesuai dengan
alternatif jawaban yang bersangkutan. Kriteria penilaian dari pernyataan tersebut
memiliki 4 alternatif jawaban, yaitu untuk pernyataan positif mempunyai nilai
SS=4. S=3, TS=2, dan STS=1 sedangkan untuk pernyataan negatif mempunyai
nilai SS=1, S=2, TS=3, dan STS=4.
Berikut digambarkan rentang skala pada model likert
Tabel 3.3 Rentang Skala likert
Pernyataan Sangat Sesuai Tidak Sangat Tidak
Sikap Sesuai Sesuai Sesuai
Positif 4 3 2 1
Negatif 1 2 3 4

3.6 Analisis Data


3.6.1 Rancangan Analisis
Rancangan analisis data dapat diartikan proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang telah diperoleh dari hasil observasi lapangan dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan
kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana
yang lebih penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga
mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Umi Narimawati, 2010:41 ).
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
program SPSS Versi 16.0 .
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang
dilihat dari nilai rata-rata, standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum,
range, kurtosis, dan skewness (Ghozali, 2018:19). Statistik deskriptif memberikan
gambaran terperinci mengenai profil responden meliputi : jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
2. Uji Asumsi Klasik
Persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear
berganda yang berbasis Ordinary Least Square ( OLS ). Uji Asumsi Klasik terdiri
dari :
a. Uji Normalitas
Menurut Gujarati, Santoso dan Arif dalam Juliandi dan Irfan ( 2016:160),
Uji normalitas ini data dilakukan untuk melihat apakah dalam model regresi,
variabel independen dan variabel dependennya normal atau tidak. Selain itu,
metode lain yang bisa digunakan untuk mendeteksi masalah normalitas yaitu uji
Kolmogorov-Smirnov (KS) yang digunakan untuk mengetahui apakah sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal dengan kriteria :
a. Jika nilai signifikan > 0,05, maka data tersebut berdistribusi normal.
b. Jika nilai signifikan < 0,05, maka data tersebut tidak berdistribusi normal.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinieritas digunakan untuk menguji apakah di dalam model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen (bebas). Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel
independen.mMultikolinieritas dapat dilihat dengan membandingkan nilai
tolerance dan Variance Inflation factor (VIF). Batasan yang dipakai untuk
menunjukan adanya multikolinearitas adalah nilai tolerance < 0,10 atau VIF < 10
( Mtsweni et al.,2020 ).
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain ( Arif dan Gujarati dalam Juliandi & Irfan, 2015:61). Jika varian tidak
terjadi perbedaan (tetap) disebut homokedastisitas sedangkan jika terjadi
perbedaan disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah model yang
tidak terjadi heteroskedastisitas (Maharani & Roosdiana, 2020).
d. Uji Validitas dan Reabilitas
Uji Validitas menunjukan derajat ketepatan antara data yang
sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti
( Sugiyono,2017:125 ). Uji Validitas ini dilakukan untuk mengukur apakah data
yang telah didapat setelah penelitian merupakan data yang valid atau tidak,
dengan menggunakan alat ukur yang digunakan ( kuisioner ). Pengujian validitas
ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS, jika nilai faktor loading >
0,05 maka indikator yang dimaksud adalah valid dan signifikan dalam mengukur
suatu instrumen, namun sebaliknya jika nilai faktor loading < 0,05 maka indikator
yang dimaksud adalah tidak valid dan tidak dapat mengukur suatu instrumen.
Uji reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dengan menggunakan
objek yang sama akan menghasilkan data yang sama ( Sugiyono, 2017:130 ).
Tujuan penelitian reabilitas adalah untuk melihat apakah instrumen penelitian
merupakan intrumen yang handal dan dapat dipercaya. Suatu kuisioner dikatakan
relibel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten
atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2016:47). Uji Reabilitas dinyatakan
dengan koefisien Cronbach’s Alpha, yang nilainya akan dibandingkan dengan
koefisien reabilitas minimal yang dapat diterima jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,6
maka instrument penelitian realibel. Jika nilai Cronbach’s Alpha < 0,6 maka
instrument tidak realibel (Ghozali, 2016:48). Variabel dikatakan baik apabila
memiliki nilai Cronbach’s Alpha > 0,6 ( Priyatno, 2013:30 ).
3. Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model regresi berganda
yang digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh pada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Analisis regresi digunakan untuk
memprediksi pengaruh lebih dari satu variabel bebas terhadap satu variabel
tergantung, baik secara parsial maupun simultan.
Y= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e
Keterangan:
Y = Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
α = Konstanta
β1,2,3 = Koefisien regresi
X1 = Sistem Perpajakan
X2 = Tarif Pajak
X3 = Keadilan Pajak
X4 = Pemeriksaan Pajak
e = error term
4. Analisis Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel independen. Nilai
koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti
kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel
independen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
independennya memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variasi variabel dependen. Kelemahan mendasar penggunaan
koefisien determinasi adalah bias terhadap jumlah variabel independen yang
dimasukkan ke dalam model. Setiap tambahan satu variabel independen, maka R2
akan meningkat, tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh signifikan
terhadap variabel dependen.
3.6.2 Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan pengujian secara
parsial ( uji t) dan penyajian secara simultan ( uji F ). Hipotesis yang akan di uji
dan dibuktikan dalam penelitian ini berkaitan dengan pengaruh variabel-variabel
bebas dari pemahaman sistem perpajakan, tarif pajak, keadilan pajak dan
pemeriksaan pajak terhadap variabel terkaitnya yaitu penggelapan pajak dengan
tingkat signifikan 5 % atau 0,05.
1. Uji Hipotesis Hubungan Parsial (Uji-t)
Uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh setiap variabel independen
terhadap variabel dependen (Ghozali, 2018:97). Uji t digunakan untuk mengukur
signifikansi pengaruh pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan
perbandingan nilai t hitung masing-masing koefisien regresi dengan t tabel sesuai
dengan tingkat signifikansi yang digunakan. Ketentuan menilai hasil nilai t tabel
digunakan tingkat signifikansi 0,10 dengan derajat kebebasan df = n-1.
Kriteria penerimaan hipotesis positif
1. Jika -t hitung < -t tabel dan p value < α < 0,10, maka Ho tidak dapat ditolak
atau Ha tidak dapat diterima, artinya variabel independen tidak mempunyai
pengaruh terhadap variabel dependen.
2. Jika -t hitung > -t tabel dan p value < α < 0,10, maka Ho ditolak atau Ha
diterima, artinya variabel independen mempunyai pengaruh terhadap variabel
dependen.

Gambar 3.1
Penerimaan uji-t positif

Kriteria penerimaan hipotesis negatif


1. Jika t hitung > t tabel dan p value < α < 0,10, maka Ho tidak dapat ditolak atau
Ha ditolak, artinya variabel independen tidak mempunyai pengaruh terhadap
variabel dependen.
2. Jika t hitung < t tabel dan p value > α > 0,10, maka Ho ditolak atau Ha
diterima, artinya variabel independen mempunyai pengaruh terhadap variabel
dependen.
Gambar 3.2
Penerimaan Uji-t negatif
2. Uji Hipotesis Hubungan Simultan (Uji-f)
Uji statistik F pada dasarnya digunakan untuk mengukur ketepatan fungsi
regresi sampel dalam menaksir nilai aktual (Goodness of Fit). Uji F menguji
apakah variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen secara baik
atau untuk menguji apakah model yang digunakan telah fit atau tidak (Ghozali,
2018:98). Ketentuan menilai hasil hipotesis uji F adalah berupa level signifikansi
5% dengan derajat kebebasan pemilang df = k dan derajat kebebasan penyebut
(df) = n-k-1 dimana k adalah jumlah variabel bebas pengujian dilakukan dengan
membandingkan kriteria:
1. Jika fhitung> ftabel, atau p value < α = 0,05 maka model yang digunakan dalam
penelitian bagus (fit).
2. Jika fhitung< ftabel, atau p value > α = 0,05 maka model yang digunakan dalam
penelitian tidak bagus (tidak fit).
Perbandingan nilai kritis yang diperoleh ini selanjutnya akan dikonfersikan
dengan nilai tabel sesuai dengan ketentuan dalam.

Gambar 3.3
Penerimaan Hipotesis Uji-f
dftr
RUSDIATI, S. (2016). Pengaruh Pemahaman Akuntansi, Peraturan Perpajakan,
Transparansi Dalam Pajak Dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan.
8–41. http://repository.ump.ac.id/440/

You might also like