Skull Base Fracture

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

Skull base fracture

 
Skull base fracture adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak.
Dasar tengkorak ini dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu anterior, media dan posterior.
Sedangkan untuk fossa anteriornya sendiri dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian
medial (lamina cribrosa dan crista galli), bagian lateral (orbital roof, ethmoid, posterior wall
of the sinus), posterior (sphenoid dan sella).

.
Anterior fossa skull base fracture biasanya memiliki gejala klinis berupa ecchymosis
periorbita dapat terjadi secara bilateral, disebut brill hematom atau raccon eyes, sehingga
gejala ini sulit dibedakan dengan ecchymosis yang timbul karena cedera langsung. Kadang
disertai dengan anosmia jika cedera melibatkan N.olfactorius yang menembus lempeng
cribriformis. Selain itu sering timbul rhinorea jika bercampur dengan darah sulit dibedakan
dengan epistaksis. Untuk membedakan antara darah dengan rhinorea, darah tidak akan
membeku jika bercampu dengan cairan serebrospinal (CSS). Biasanya dilakukan halo test,
yaitu jika cairan diletakkan di atas kertas atau tissue, maka darah akan berkumpul di tengah
dan di pinggirannya terbentuk rembesan cairan CSS. Pada pasien ini dilakukan perawatan
secara konservatif karena biasanya kebocoran CSS dapat membaik secara spontan. Perlu
dihindari melakukan irigasi terhadap otorhea atau rhinorea karena akan mempermudah
terjadinya infeksi intrakranial, selain itu hindari pemasangan NGT jika dicurigai terdapat
anterior fossa skull base fracture. Jika selama observasi, bisanya dilakukan 2 minggu,
kebocoran CSS tidak berhenti maka dillakukan operasi untuk memperbaiki duramater yang
bocor.3 Panfacial fracture merupakan cedera pada tulang facial meliputi mandibula, wajah
bagian tengah (midface), naso-orbital-ethmoid dan tulang frontal. Untuk memastikan
diagnosis pada panfacial fracture, yaitu dengan menggunakan CT scan. Informasi yang
didapatkan dari pemeriksaan ini meliputi derajat dislokasi atau bentuk fraktur sehingga
memudahkan perawatan. Pada cedera panfacial yang parah restorasi oklusi penting dalam
merekonstruksi bentuk tulang wajah. Ketika kebutuhan akan oklusi diperlukan, penggunaan
intubasi endotracheal via oral maupun melalui nasal seharusnya dihindari mengingat
panfacial fracture meliputi cedera keseluruhan regio maksilofasial diperberat dengan adanya
trauma kepala seperti skull base fracture. Penempatan ETT dapat melalui insisi submental
atau bahkan dapat melalui tracheostomy jika dibutuhkan intubasi jangka waktu lama setelah
operasi. 5 Dari segi waktu operasi, terdapat berbagai macam pemikiran. Pertama,
penatalaksanaan pasien dilakukan dalam tujuh hari pertama pasca trauma untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Pembedahan dengan menggunakan coronal approach dianjurkan untuk
merekonstruksi bentuk luar wajah dan restorasi bentuk wajah berdasarkan bentuk lengkung
frontal, NOE kompleks dan lengkung zygoma, sehingga diperlukan kombinasi perawatan
craniomaxillofacial dan bedah saraf jika terdapat cedera skull base fracture dan fraktur
dinding posterior dari sinus. Reduksi NOE, midfacial dan mandibular fracture dapat
dilakukan pada tahap pertama jika operasi pada skull base fracture atau pada dinding
posterior sinus akan dilakukan pada tahap kedua akibat adanya cedera intrakranial, karena
untuk mereduksi fraktur akan lebih sulit setelah 14 hari.5 Kedua, meskipun ada anggapan
penanganan fraktur lebih cepat akan menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini tidak
menunjukkan perbedaaan yang cukup signifikan dengan penanganan fraktur antara 7-14 hari,
saat itu oedem akan lebih berkurang, sehingga lebih memudahkan untuk melakukan
manipulasi daerah fraktur dan jaringan lunaknya. Melaksanakan perawatan lebih dari waktu
tersebut akan menyulitkan tindakan karena telah terjadi fibrosis dan penyembuhan awal telah
terbentuk. Tetapi pada keadaan tertentu mengharuskan untuk dilakukan penundaan perawatan
bila keadaan pasien tidak stabil atau bila terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
CSS bukan merupakan 7 kontraindikasi mutlak untuk dilakukan perawatan fraktur, tetapi
upaya untuk melakukan tindakan perawatan fraktur dan upaya untuk memperbaiki kebocoran
mungkin dapat meningkatkan TIK setelah operasi. 8 Pada kasus ini tindakan pembedahan
dilakukan setelah 14 hari dengan asumsi mempertimbangkan adanya CSS selama kurun
waktu kurang dari dua minggu yang menunjukkan belum sembuhnya robekan dari dura.
Bilamana tindakan tetap dilakukan, akan memperparah cedera pada dura. Setelah 14 hari
tindakan dilakukan melalui intraoral approach untuk mencapai daerah fraktur. Tindakan
ORIF daerah fraktur hanya dilakukan pada daerah midface dan mandibula dengan
menggunakan kombinasi antara wire suspensi, plat dan screw pada maksila sedangkan
menggunakan plat dan screw pada mandibula. Sedangkan fraktur daerah zygoma dan NOE
tidak dilakukan pemasangan plat dan screw karena telah menunjukkan terbentuknya callus
atau penyatuan dari daerah tersebut sehingga bila dilakukan tindakan refracturing akan
menambah trauma pada daerah tersebut. Selain itu asumsi lain bahwa daerah tersebut tidak
bergerak secara aktif dibandingkan dengan maksila dan mandibula yang mendapat tekanan
berlebih selama proses pengunyahan. Fiksasi segmen fraktur yang tidak stabil ke struktur
yang lebih stabil merupakan tujuan penatalaksaan bedah untuk fraktur maksila. Prinsip
tampaknya sederhana tetapi akan menjadi lebih kompleks pada kasus panfacial fracture.

Pneumosefalus atau yang biasa disebut intracranial aerocele adalah terdapatnya udara dalam
ruang intrakranial yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti trauma kepala, infeksi,
barotrauma dan akibat pembedahan dari sinus. Hanya 0,5-1% dari semua trauma kepala
mengalami hal ini. Udara memasuki epidural space sebagai akibat skull base fracture berasal
dari sinus pada dasar anterior atau middle cranial fossa atau orbit. Jika terjadi robekan dura,
udara akan memasuki subdural space, demikian juga pada subarachnoid space. Terdapat dua
mekanisme terjadinya pneumosefalus, pertama adanya ballvalve effect, yaitu udara
memasuki area craniodural defect dari batuk, bersin atau adanya perubahan tekanan
nasofaring secara mendadak. Mekanisme yang kedua mungkin disebabkan kebocoran dari
CSS sehingga menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sedikit negatif. Akibat dari proses
ini udara bergerak masuk ke rongga kranial. Tanda dan gejala kadang sangat sedikit bahkan
dapat menjadi masalah yang sangat serius. Gejala dapat berupa sakit kepala, CSS rhinorea
atau othorea, serta adanya kejang. Kadang juga ditemukan timpany saat perkusi pada
tengkorak. Adanya hipertensi intrakranial atau keterlibatan parenkim focal menyebabkan rasa
sakit pada kepala meningkat, pusing, lemas, dan refleks abnormal. Pemeriksaan penunjang
yang sangat sensitif untuk kasus pneumosefalus adalah CT scan dan dapat menunjukkan
udara dalam rongga kranial sebanyak 0,5 cc. Terapi pneumosefalus sama dengan
penatalaksanaan CSS fistula. Perawatan awal berupa perawatan konservatif terdiri atas posisi
head up, hindari hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan pada sinus dan pemberian
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada otak. Pneumosefalus jarang memerlukan
tindakan pembedahan kecuali terjadi defisit neurologis dan adanya gambaran tension
pneumocephalus (gambaran fenomena Mount Fuji), pneumosefalus yang rekuren atau adanya
CSS lebih dari seminggu. Volume udara yang kecil (< 2 cc) biasanya hilang tanpa dilakukan
perawatan. Pemberian oksigen tambahan membantu absorpsi dari pneumosefalus. Tindakan
pembedahan dilakukan jika terdapat pneumosefalus rekuren, atau adanya gejela-gejala
peningkatan tekanan intrakranial yang menunjukkan adanya tension pneumocephalus.
Pembedahan dapat berupa insersi drain yang terhubung dengan underwater
seal,6pembedahan secara terbuka (craniotomi dekompresi) atau endoscopy, bur hole atau
needle aspirasi.

Insiden fraktur sinus frontal 5-15% dari semua fraktur tulang wajah. Sinus frontal merupakan
pelindung otak bagian anterior sehingga cedera pada daerah ini memiliki potensi yang lebih
fatal dibanding fraktur pada daerah wajah yang lain. Penatalaksanaan fraktur sinus frontalis
masih merupakan kontroversi sampai saat ini. Beberapa penulis beranggapan bahwa
intervensi secara bedah dibutuhkan pada setiap fraktur sinus frontalis agar dapat melakukan
evaluasi secara maksimal terhadap perluasan cedera terhadap duktus nasofrontalis dan
dinding posterior sinus frontalis. Penulis lain beranggapan kecuali fraktur dinding posterior
mengalami displace atau comminuted yang parah, adanya kebocoran CSS, atau sistem
drainase nasofrontal mengalami gangguan akibat cedera, dianjurkan observasi ketat tanpa
terapi bedah. Selain itu mereka juga beranggapan intervensi bedah akan menyebabkan
gangguan kosmetik pada dinding anterior sinus frontalis. Penatalaksanaan tetap bertujuan
untuk memperbaiki kosmetik dan mencegah komplikasi awal atau akhir termasuk sinusitis
akut dan kronis, pembentukan mucocele, abses otak, dan terjadinya osteomielitis. Langkah
pertama dalam penatalaksanaan fraktur sinus frontalis adalah mengevaluasi dan menangani
secara serius cedera yang mengancam jiwa. Selanjutnya data dikumpulkan untuk menyusun
langkah perawatan selanjutnya, yaitu keterlibatan specific bony table, jenis fraktur, ada atau
tidaknya keterlibatan duktus nasofrontalis dan adanya CSS. Perawatan definitif fraktur wajah
seharusnya ditunda sampai kondisi pasien stabil. Penatalaksanaan oleh bagian mata juga
perlu dilakukan jika melibatkan orbita dan seharusnya dipertimbangkan untuk setiap fraktur
sinus frontalis.10 Anterior table fractures Fraktur pada daerah ini jarang melibatkan sistem
drainase dan kebocoran CSS. Fraktur anterior linear atau nondisplace mungkin dirawat
dengan observasi dan dievaluasi secara ketat untuk menjamin sinus tetap bersih dan
mengandung udara. Pergeseran yang minimal dengan tidak ada atau sedikit deformitas
mungkin ditangani dengan observasi. Fraktur anterior dengan pergeseran yang besar
memerlukan reduksi dan fiksasi pada posisi anatomi untuk membentuk kontur frontal yang
normal, biasanya menggunakan plat mikro titanium. Fiksasi kadang tidak dibutuhkan untuk
comminuted fracture jika tulang stabil setelah direduksi. Posterior table fractures Fraktur
dinding posterior sinus frontalis sering menyebabkan robekan dura, yang dihubungkan
dengan kebocoran CSS dan kerusakan duktus nasofrontal. Perawatan tetap menjadi
kontroversi pada fraktur linear (nondisplaced) dinding posterior. Beberapa beranggapan
bahwa semua nondisplaced fracture dinding posterior seharusnya dieksplorasi karena akan
sulit menilai kerusakan pada dinding posterior tanpa melihat secara langsung. Akan tetapi
dengan kemampuan CT scan hal ini dapat dibuktikan. Ada anggapan bahwa jika tidak
ditemukan CSS atau cedera NFD pasien dapat diobservasi.10 9 Pada kasus yang telah
dipaparkan untuk pelaksanaan close fracture depress at regio sinus frontal sinistra dinding
eksterna lebih dari satu lamina, close fraktur linear at regio lamina interna sinus frontalis
sinistra, dilakukan secara konservatif dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah
diutarakan di atas. Traumatik optik neuropathy (TON) merupakan cedera akut pada nervus
optik sekunder terhadap suatu trauma. Akson saraf optik dapat rusak baik secara langsung
maupun tidak langsung dan hilangnya penglihatan mungkin sebagian atau seluruhnya. Cedera
tidak langsung ke saraf optik biasanya terjadi dari transmisi kekuatan pada kanal optik akibat
trauma kepala tumpul. Hal ini berbeda dengan TON langsung, yang mengakibatkan dari
gangguan anatomi serabut saraf optik dari trauma orbital menembus, fragmen tulang dalam
kanal optik, atau hematoma selubung saraf. Gejalanya dapat berupa kehilangan penglihatan
(visus menurun, kelainan lapang pandang, atau kehilangan penglihatan warna). Sebagian
besar kasus (sampai 60%) tampak dengan kehilangan penglihatan berat pada persepsi cahaya
(LP) atau lebih buruk. Pilihan pengobatan utama untuk TON berupa kortikosteroid sistemik
dan pembedahan dekompresi terhadap saraf optik, dapat sendiri-sendiri atau kombinasi.
Terapi steroid untuk TON dapat dikategorikan sebagai dosis moderat (60-100mg oral
prednisolon), dosis tinggi (1 g metilprednisolon intravena/hari), atau dosis mega (30 mg/kg
pemuatan dosis metilprednisone iv, diikuti oleh 5,4 mg/kg/jam selama 24 jam). Steroid
dianggap memberikan pelindung terhadap cedera saraf pada SSP melalui sifat antioksidan
dan penghambatan radikal bebas yang diinduksi peroksidasi lipid. Dasar pemikiran untuk
terapi bedah pada TON adalah untuk dekompresi saraf optik di lokasi cedera, yang sering
segmen intrakanalikular. Dekompresi bedah diperkirakan membantu mengurangi kompresi
saraf optik dan kompromi vaskular berikutnya yang mungkin terjadi sebagai akibat dari
cedera langsung. Selain itu, operasi telah didalilkan untuk menghilangkan fragmen tulang
yang mungkin menimpa saraf optik dalam kanal optik. Untuk prognosisnya Kebanyakan
penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara visual awal dan akhir. Pasien tanpa
persepsi cahaya (NLP) mungkin memiliki sedikit atau bahkan tidak terjadi pemulihan dalam
penglihatan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa sampai 50% pasien dengan TON dapat
memiliki beberapa perbaikan dalam visi, dengan atau tanpa pengobatan, meskipun sebagian
besar perbaikan minimal. Belum penelitian yang menunjukkan apakah dekompresi bedah
atau menggunakan steroid mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan observasi
saja.

Pneumocephalus juga dikenal dengan aerocele intraserebral atau pneumatocele


didefinisikan sebagai adanya gas di dalam kompartemen intracranial
(intraventrikuler, intraparenkimal, subarachnoid, subdural, dan epidural).

Gejala klinis tension pneumocephalus yaitu agitasi, delirium, bahkan penurunan


level kesadaran, perubahan pupil dan sindroma lobus frontalis. Perubahan
hemodinamik mungkin terjadi, yaitu episode bradikardia dengan atau tanpa
hipertensi.

Pneumocephalus juga dikenal dengan aerocele intraserebral atau pneumatocele didefinisikan


sebagai adanya gas di dalam kompartemen intracranial (intraventrikuler, intraparenkimal,
subarachnoid, subdural, dan epidural). Gejala klinis yang ditemukan antara lain nyeri kepala
(38%), mual dan muntah, kejang, dizziness, dan penenkanan status neurologis.1-7

Fraktur Tulang Tengkorak Terjadinya fraktur pada tulang tengkorak menunjukkan daya yang
besar yang mengenai kepala, hal ini juga mempengaruhi terjadinya cedera di intrakranial
seperti terjadinya perdarahan intrakranial.Fraktur pada tulang tengkorak bisa berupa fraktur
linear, fraktur depressed, fraktur kominutif, fraktur diastasis dan fraktur pada dasar
tengkorak. Pada fraktur dasar tengkorak tanda-tanda klinisnya antara lain ekimosis periorbital
(raccoon eyes), ekimosis retro aurikuler (battle’s sign), paresis nervus fasialis, rhinorrheadan
otorrhea. Fraktur liniear yaitu fraktur garis tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang.Disebabkan karena suatu energi yang rendah, yang mengenai area
permukaan yang luas pada tengkorak kepala. Pada pemeriksaan radiologis akan terlihat
sebagai garis radiolusen sedangkan fraktur depresi adalah fraktur dengan satu atau lebih tepi
fraktur terletak di bawah level anatomik normal dari tulang tengkorak sekitarnya yang masih
utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi benturan relatif besar terhadap area benturan yang
relatif kecil. Berikut merupakan gambaran CT scan yangdapat ditemukan pada pasien cedera
kepala dengan fraktur tulang tengkorak:

1. Fraktur tulang tengkorak linier Merupakan fraktur yang paling sering dan dapat
mengakibatkan hematoma epidural.Fraktur di kranium ini paling sering pada area
temporal dan parietal.
2. Fraktur tulang tengkorak depresi Fraktur depresi sering berakibat pada kerusakan
otak dan sering terjadi pada regio frotoparietal biasanya berupa fraktur kominutif.

3. Fraktur basis cranii (fraktur dasar tengkorak) Fraktur ini merupakan fraktur paling
berat berupa fraktur linier pada dasar tulang tengkorak. Pada pemeriksaan CT scan
dapat dicurigai terdapat fraktur basis cranii terutama bila terdapat udara dalam otak
(traumatic pneumocephalus), cairan di mastoid air cells, atau air–fluid level di sinus
sfenoid.
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901
di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013):
1. Le Fort I Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng
horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari
dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris.
Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang
nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga
inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary
melalui lempeng pterygoid.
3. Le Fort III Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya
yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita
medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura
frontozygomatic. Garis fraktur kemudian 11 memanjang melalui sutura zygomaticotemporal
dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.
Fraktur PALATUM

Fraktur midfasial atau panfasial dapat disertai dengan fraktur palataum. Fraktur palatum
pertama kali dijelaskan oleh Rene Le Fort dalam makalahnya pada tahun 1901 pada fraktur
maksila. Fraktur palatum ini jarang terjadi terlokalisir. Semua pasien dengan fraktur palatum
memiliki gejala terkait fraktur Le Fort I pada penelitian tahun 1998 yang dilakukan oleh
Hendrickson dkk. Selanjutnya,insidensi fraktur palatum pada pasien dengan fraktur Le Fort
telah dilaporkan antara 8% dan 13,2%.8 Fraktur palatum diklasifikasikan berdasarkan lokasi
fraktur.9–11 Chen dkk mengklasifikasikan fraktur palatum menjadi sagital, transversal dan
kominuted.11 Salah satu hal yang fundamental dalam pentalaksanaan fraktur wajah yang
sangat berat adalah perbaikan intraoperatif reduksi anatomi untuk memperoleh oklusi normal
fraktur.6,7
Diagnosis Pemeriksaan klinis selalu diperlukan, serta pemeriksaan computed tomography
(CT) scan. Saat evaluasi klinis menunjukkan adanya fraktur, penting juga untuk melakukan
pemeriksaan yang berhubungan dengan fungsi.1. Pemeriksaan penglihatan Pemeriksaan yang
teliti dan terarah pada orbita sebaiknya dilakukan pada pasien mengalami trauma pada
maksilofasial.6 Penting juga untuk memeriksa pergerakan bola mata sebagai petunjuk adanya
otot ekstraokular yang terperangkap (dan/atau trauma saraf).7 2. Pemeriksaan nervus kranial
Nervus kranial sebaiknya diperiksa, termasuk fungsi nervus yang mempengaruhi mata
(nervus kranial II,III,IV dan VI), nervus trigeminal pada semua bagian dan terutama fungsi
nervus wajah, tidak hanya untuk dokumentasi tetapi juga untuk kemungkinan dekompresi
nervus jika diperlukan.7,12 3. Palpasi bimanual Fraktur Le Fort biasanya dievaluasi dengan
memeriksa pergerakan relatif dari os maksila dengan kranium. Arkus maksila anterior
dipegang dan digoyang, dengan tangan yang lain di dahi. Jika ada pergerakan relatif arkus
maksila dan maksila terhadap os frontal, fraktur Le Fort dapat dicurigai. Level pergerakan
mungkin sulit dideteksi, tetapi CT scan akan memperkirakannya.7 4. Radiografi Radiografi
konvensional kurang ideal. Radiografi konvensional secara frekuen gagal untuk memberikan
informasi yang detail mengenai sifat dan luas fraktur dasar tengkorak, trauma dinding orbita,
fraktur pterigoid plate, fraktur sagital maksila dan prosesus condylar mandibular CT scan
adalah investigasi diagnostik utama dengan multiplanar dan rekonstruksi 3D. 13 CT scan
memberikan manfaat untuk evaluasi tulang dan memberikan informasi detail tentang alur
fraktur. CT scan juga memberikan informasi tentang jaringan lunak termasuk perluasan
edema, adanya benda asing, hematom retrobulbar dan terjepitnya otot ekstraokular.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan fraktur maksilofasial harus mengikuti panduan meliputi


penatalaksanaan definitif awal, membuka secara luas segmen fraktur dan reposisi anatomi
dengan fiksasi segmen fraktur pada semua potongan.14 Penatalaksanaan awal dari fraktur
sepertiga tengah wajah meliputi prinsip umum dari penatalaksanaan trauma yaitu memastikan
jalan nafas baik dan menjaganya, mengawasi perdarahan dan menelusuri dan menatalaksana
trauma yang berhubungan (tulang belakang leher, trauma neurologi)
Fraktur Le Fort I dapat secara adekuat diekspos melalui insisi sulkus ginggivobukal,
fraktur Le Fort II memerlukan insisi pada kelopak mata bawah.
Fraktur Le Fort III pendekatan memerlukan insisi koronal untuk mengekspos secara penuh
nasofrontal, orbital medial dan regio zigoma. Untuk fraktur Le Fort I, miniplate ditempatkan
pada masing-masing butrress nasomaxilaris dan zigomatikomaksilaris. Untuk Le Fort II,
tambahan miniplate pada nasofrontal dan infraorbital. Untuk Le Fort III, stabilisasi pada
artikulasio zigomatikomaksilaris.3 Fraktur dari anterior meluas ke fraktur palatum dapat
dicapai melalui insisi ginggivobukal yang digunakan untuk mengekspos dan memperbaiki
buttress vertikal. Tulang diatas gigi anterior lebih adekuat untuk penempatan miniplate
dengan multiple screw. Harus berhati-hati untuk mencegah trauma pada akar gigi. Perluasan
posterior fraktur palatum biasanya dapat direduksi dengan cara tertutup jika mukoperiosteum
palatum intak.6 Teknik operasi fraktur palatum tipe sagital, dengan menggunakan archbar
dan wire untuk menstabilkan alveolar ridge dan buttress maksila. 9,11 Untuk fraktur palatum
tipe transversal, setelah stabilisasi alveolar ridge dan buttress maksila dengan fiksasi
intermaksila, dilakukan pemasangan miniplate dan screw pada alveolar ridge posterior. Untuk
tipe kominuted, dilakukan dengan fiksasi intermaksila, dental splinting dan flap palatum
untuk menutup defek palatum jika diperlukan.11

Penatalaksanaan Fraktur Maxilofacial


Prinsip dasar dalam penatalaksanaan fraktur terdiri atas tiga yaitu reduction, fixation, dan
immobilization yang bertujuan untuk mengembalikan bentuk, fungsi, dan 4 oklusi sehingga
pasien tidak harus melewati second surgery seperti recontouring dan bone graft (Malik N,
2008).
Reduction Suatu proses reposisi fragmen fraktur ke posisi anatomi semula, dibagi menjadi
dua teknik yaitu close reduction dan open reduction.
Close reduction merupakan reposisi fragmen fraktur tanpa tindakan bedah dan menggunakan
oklusi gigi sebagai panduan sedangkan open reduction melalui tindakan bedah. Close
reduction dibagi lagi menjadi reduction by manipulation dan reduction by traction.
-Reduction by manipulation Tindakan ini dapat dilakukan ketika pasien fraktur dengan
mobilitas besar datang segera setelah trauma terjadi. Reduction dapat dilakukan dengan
menggunakan instrument khusus memegang fragmen fraktur yaitu disimpaction forceps.
Tindakan ini dilakukan dibawah anestesi LA atau GA sesuai kebutuhan pasien .
-Reduction by traction Tindakan ini menggunakanarch bars dan head gears. Arch bars yang
dipasang akan diberi elastic traction dan pasien diinstruksikan untuk membuka dan menutup
mulut secara perlahan. Apabila oklusi tercapai, elastic traction diganti dengan wire sebagai
intermaxillary fixation or ligation (IMF atau IML) dan apabila oklusi tidak tercapai dalam
waktu 48 jam maka dilanjutkan dengan open reduction
Reduction dengan IMF 2.2.2 Fixation Proses setelah reduction untuk memfiksasi fragmen
fraktur dengan struktur anatomi sekitarnya sebagai upaya pencegahan terjadinya
displacement, dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu direct skeletal fixation menggunakan
bone clamps, pin fixation, dan transosseus wiring sedangkanindirect skeletal fixation yang
menggunakan arch bars dan IML atau Gunning splint(Malik N, 2008).
Immobilization Perangkat fiksasi harus dipertahankan hingga terjadi penyatuan tulang.
Periode immobilization tergantung dari jenis fraktur dan tulang yang terlibat. Periode
immobilzation untuk maksila adalah sekitar 3 – 4 minggu sedangkan untuk mandibula sekitar
4 – 6 minggu sedangkan pada kasus fraktur kondilus periode immobilization hanya sekitar 2
– 3 minggu untuk mencegah terjadinya ankilosis di TMJ(Malik N, 2008).
Beberapa jenis perangkat fiksasi fraktur diaplikasikan pada maxillary dental arch dan
mandibular dental arch serta intermaxillary fixation dibuat menggunakan wire atau elastic
band. Metode utama yang sering digunakan adalah dental wiring, arch bars dan splint karena
mudah diterapkan. Perangkat fiksasi fraktur memilki beragam jenis dan digunakan sesuai
jenis fraktur, lokasi fraktur, jumlah gigi, status periodontal serta kemampuan perangkat
apakah dapat digunakan untuk kasus tersebut atau tidak (Malik N, 2008
Splinting Splinting merupakan teknik yang digunakan untuk membatasi pergerakan gigi,
mencegah terlepasnya gigi, menstabilkan gigi yang mengalami trauma dan mencegah
kerusakan lebih lanjut pada jaringan pulpa dan periodontal selama masa penyembuhan
sehingga memungkinkan regenerasi jaringan. Glickman mendefinisikan splint sebagai alat
yang digunakan untuk menstabilisasi bagian yang mengalami cedera. Splint yang digunakan
harus bersifat fleksibel untuk membantu mempercepat penyembuhan jaringan periodontal.
Mempertahankan oral hygiene dan 7 mencegah infeksi merupakan hal yang penting untuk
mendukung penyembuhan jaringan periodontal selama proses stabilisasi (Fonseca, dkk.,
2012). Metode fiksasi dengan dental splint bervariasi tergantung tipe trauma.
Pada sebagian besar kasus, splint didesain sederhana dan digunakan selama 7 sampai 10 hari.
Pada kasus fraktur gigi dan tulang alveolar, diperlukan fiksasi jangka panjang
biasanya 2 sampai 4 bulan. Berbagai kontroversi muncul mengenai durasi fiksasi terkait
komplikasi post-traumatic. Penelitian menunjukkan bahwa durasi fiksasi tidak terkait dengan
komplikasi post-traumatic, periode fiksasi sepenuhnya bergantung pada kondisi klinis kasus
(Fonseca, dkk., 2012). Namun beberapa dekade terakhir, pengetahuan mengenai perbaikan
gigi yang mengalami trauma dan perubahan posisi telah diperbaiki dan panduan perawatan
didasarkan pada evidence. Periode splinting yang lama dan bersifat rigid meningkatkan risiko
komplikasi saat penyembuhan. Splinting yang bersifat fleksibel dengan periode penggunaan
singkat lebih efektif dan stimulus mekanis yang diberikan rendah sehingga memungkinkan
revaskularisasi dan mampu mencegah ankilosis gigi dan mempertahankan vitalitas sel epitel
Hertwig pada selubung akar yang penting dalam perkembangan akar (Honorio, dkk., 2015).

You might also like