Professional Documents
Culture Documents
Makna Gereja Bambu Bagi Umat Katolik Di Bunder
Makna Gereja Bambu Bagi Umat Katolik Di Bunder
Cornelius Maruli / FT 3250, Paulus Yosse Pratama / FT 3852, Yohanes Ferry Ariyant
o / FT 3867, Yuvens Kristia Efrata / FT 3872
Abstract
Abstrak
Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif dengan metode interpretative
phenomenological analysis. Penelitian dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis pada
keberadaan Gereja Stepanus di Desa Bunder, Bandungan, Kecamatan Jatinom,
Kabupaten Klaten yang sebagian furniture tempat ibadah Katolik ini terbuat dari
bambu. Selain itu, sebagian warga di desa Bunder, berprofesi sebagai pengrajin bamb
u. Wajah Gereja yang berciri lokal ini menjadi salah satu wujud inkulturasi Gereja
Katolik di Indonesia, khususnya di wilayah Bunder. Penulis memilih enam orang
1
Katolik dari wilayah Bunder sebagai partisipan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk: (1) memaknai pengalaman umat beriman yang hidup sebagai pengrajin bambu,
(2) mendeskripsikan makna kehadiran Gereja bambu bagi umat dan masyarakat
setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gereja bambu memiliki makna yang
menyangkut relasi umat dengan Allah, sesama dan alam ciptaan. Kerajinan bambu
bermakna sebagai ungkapan iman pada Allah. Gereja Bambu bermakna sebagai tali
pengikat persaudaraan. Gereja bambu memberi makna kearifan lokal terhadap alam
semesta. Gereja bambu memberi makna keteladanan hidup pada masyarakat.
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk yang bersifat spiritual, manusia selalu terdorong untuk mengara
hkan diri pada yang ultimate. Melalui berbagai ritual keagamaan, manusia menjalin re
lasi dengan yang ultimate yang berada di luar dirinya. Manusia diajak untuk mengam
bil jarak dari hidup keseharian dan menyadari bahwa ia melakukan kesalahan dan but
uh perdamaian. Arnold Van Gennep membagi ritual menjadi tiga tahapan, yakni; 1)
Separasi (preliminal rites), subjek ritual mengambil jarak dari kehidupan dan
menyadari keterpisahan dan ketidakharmonisan. 2) Transisi (liminal rites), seseorang
ada dalam kenangan suatu tatanan yang harmonis atau disebut juga tahap ambang. 3)
Inkorporasi (post liminal rites) menggambarkan suasana pembebasan, pendamaian
dan hidup baru.1 Melalui ketiga tahapan itu, proses pembentukan diri atau formatif
secara psikologis terjadi, sehingga subyek ritual diteguhkan dan memiliki orientasi
hidup yang baru.2
1
Arnold Van Genep, “The Rites of Passage”, (The University of Chicago Press, USA: 1960), hal 10-11.
2
La Janu, “Ritual Alo Pada Masyarakat Cia-cia Burangasi Kabupaten Buton”, (Jurnal el Harakah,
Universitas Haluoleo: Vol.14 No.2: 2012), Hal 160.
2
h perayaan Hati Kudus Yesus, umat Ganjuran melakukan ritual/upacara kirap agung.
Mereka membuat sebuah persembahan berbentuk gunungan yang berisi berbagai mac
am hasil bumi untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Ritual ini dibuat sebagai ungkap
an syukur yang mendalam atas panen dan penyertaan Tuhan dalam hidup mereka. Tak
hanya itu, ritual yang dijalankan dalam sebuah komunitas religius tertentu dapat mem
perkuat ikatan persaudaraan komunitas itu sendiri, sebab ketika beritual semua orang
berkumpul, membaur, dan menjadi satu untuk berelasi dengan yang sakral.
Menarik, bahwa di tengah arus modernitas yang melanda di hampir semua segi ke
hidupan manusia termasuk hidup keagamaan, ritual keagamaan tetap mendapat tempa
t dan bahkan terus tumbuh subur. Sehubungan dengan praktik ritual sebagai ungkapan
syukur kepada Tuhan, keberadaan Gereja Stepanus di Desa Bunder, Bandungan, Kec.
Jatinom, Kab. Klaten, menjadi fenomena yang menarik. Sebagian besar furniture tem
pat ibadah Katolik ini terbuat dari bambu. Dari observasi awal kami mengetahui bahw
a hampir seluruh warga desa Bunder, tempat kapel ini berdiri berprofesi sebagai pengr
ajin bambu. Dari segi ekonomi, penghasilan pengrajin bambu tidak seberapa. Apalagi
untuk sekarang ini, mereka harus membeli bambu lantara bambu di tempat tersebut su
dah habis. Karena itu, kehadiran bangunan gereja ini sangat berciri lokal. Dengan ber
bagai furniture yang terbuat dari bambu ini, umat Katolik di Desa Bunder berusaha m
empersembahkan seluruh diri mereka melalui berbagai seni keterampilan dari bambu.
Selain keberadaan bangunan gereja yang unik itu, masyarakat Desa Bunder memp
unyai masalah besar dengan air. Walaupun desa ini berada di daerah perbukitan, sumb
er air tanah sangat sulit ditemukan. Mereka biasa menggunakan air hujan untuk meme
nuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Bahkan mereka mengkonsumsi air hujan yang sud
ah diproses sedemikian rupa. Berdasarkan latar belakang ini, kelompok memilih feno
mena Gereja St. Stepanus Bunder sebagai pokok persoalan dalam kaitannya dengan in
kulturasi iman Katolik. Melalui tulisan ini, kelompok ingin memberikan sumbangan p
emikiran dengan judul, Makna Gereja Bambu bagi Umat Katolik di Bunder: Studi
Kualitatif dengan Metode Interpretative Phenomenological Analysis.
3
umat terhadap alam dapat menjadi peluang kerjasama dengan semua orang? (5)
Apakah kehadiran gereja bambu ini berdampak dan berdaya guna bagi masyarakat?
KERANGKA TEORI
3
Fransz Josef Eilers (ed), For All the Peoples of Asia vol. 4: Federation of Asian Bishops’ Conferences Do
cuments from 2002-2006, (Quezon City: Claretian Publications, 2007), 233.
4
Pesan Sidang Umum FABC untuk Umat Asia: Berjalan Bersama sebagai Umat Asia, tersedia di https://
www.hidupkatolik.com/2022/10/31/64993/pesan-sidang-umum-fabc-untuk-umat-asia-berjalan-bersa
ma-sebagai-umat-asia.php, diakses pada 15 Desember 2022.
4
Melalui Ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus mengajak semua orang
melakukan pertobatan ekologis demi menjaga keutuhan ciptaan. Pertobatan itu
pertama-tama dibangun dalam diri masing-masing pribadi kristiani dengan memeriksa
hidup dan mengakui bahwa tindakan-tindakannya di masa lampau dan masa kini yang
telah membawa kerugian kepada ciptaan Allah (LS 216). Pertobatan itu pada dasarnya
memang merupakan pertobatan batin yang mendalam, namun juga bersamaan dengan
konsistensi perbuatan iman yang nyata (LS 217).
5
Kasih persaudaraan di antara umat beriman itu disempurnakan oleh Roh
Kudus melalui karunia-karunia di dalam Gereja. Lumen Gentium 12 mengingatkan
kembali makna karunia-karunia yang telah diberikan Allah kepada Umat Allah.
Dikatakan bahwa “Roh Kudus tidak hanya menyucikan dan membimbing Umat Allah
melalui sakramen-sakramen serta pelayanan-pelayanan, dan menghiasnya dengan
keutamaan, melainkan Ia juga ‘membagi-bagikan’ karunia-karunia-Nya kepada
masing-masing menurut kehendak-Nya (bdk.1 Kor 12:11).” Maka, masing-masing
dari kita telah diberikan karunia-Nya. Anthony Ekpo dalam tulisannya mengatakan
bahwa maksud dari karunia yang diberikan kepada umat Allah dalam LG 12 adalah
untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama sebagai wujud nyata Tri Munera
Christi (Imam, Nabi, Raja).5 Dengan kemampuan yang ada, dengan potensi-potensi
yang dimiliki masing-masing anggota menjadi sebuah aset yang berguna bagi
pelayanan Kerajaan Allah.
Partisipasi umat beriman dirayakan melalui ritual yang dalam konteks ini
berarti liturgi dan ibadah Kristiani, yang selalu diekspresikan dalam konteks tertentu
dan melalui konteks kebudayaan setempat (Bdk SC 37). Menurut Paul S Chung,
perhatian kita pada kekayaan lokal, memberikan pengakuan terhadap realitas budaya
dan sosial, sekaligus merekontruksi Teologi yang selama ini hanya “mengikuti” Barat
dengan mencoba mengatur interpretasi secara bebas dari rasionalitas Barat.7
5
Anthony Ekpo, "The Sensus Fidelium and the Threefold Office of Christ: A Reinterpretation of Lumen
Gentium No. 12," Theological Studies Vol. 76.2 (2016): 330–346, 335.
6
Michael Amaladoss, The Asian Jesus, (Maryknool Orbis books: New York), 2006, 14.
7
Paul S Minjung, Contructing Iregular Theology, Bamboo and Minjung in East Asian Perspective, (Bost
on-Bril:2009).
6
Dalam kebudayaan Timur, khususnya Jepang, bambu merupakan simbol
utama dalam budaya. Bambu memiliki ciri-ciri dan bentuk yang unik, kelenturan,
daun hijau, dan batangnya yang berongga dapat ditafsirkan berdasarkan makna
religius setempat. Masao Takenaka, seorang teolog asal Jepang, telah menulis sebuah
buku berjudul, When the Bamboo Bends. Secara umum, buku ini merefleksikan
kekristenan dan pluralitas agama di Asia dengan menggunakan simbol bambu. Masao
menekankan bahwa alam semesta itu berciri simbolis dan ia menganggap penting
simbol-simbol utama di Asia seperti, beras, bunga, naga, teh, dan bambu. Mirip
dengan Karl Rahner yang berbicara tentang simbol dalam kerangka antropologis,
Masao Takenaka, mengekspresikan ciri simbolis pada ranah ekologis dan
antropologis.
7
Dengan demikian, hasil penelitian kualitatif melalui metode Interpretative
Phenomenological Analysis dimaknai bersama dengan kerangka-kerangka teori yang
telah di jelaskan di atas. Kerangka teori itu meliputi Gereja dalam konteks Asia,
wejangan Paus Fransiskus tentang relasi manusia dengan alam ciptaan melalui
Ensiklik Laodatosi dan Frateli Tutti, karunia-karunia yang menunjang partisipasi, dan
pendekatan simbolik-semiotik terhadap bambu menurut Masao Takenaka.
METODE PENELITIAN
Dalam hal ini, unsur fenomenologi atau pengalaman yang dialami partisipan
menjadi sangat penting. Fenomenologi itu sendiri merupakan sebuah pendekatan
8
Jonathan A Smith, Qualitative Psychology: A Practical Guide to Research Methods, (London: Sage, 20
03). lih. YF La Kahija, Penelitian Fenomenologis, Jalan Memahami Pengalaman Hidup, (Yogyakarta: Ka
nisius, 2017), 60.
9
Igor Pietkiewicz dan Jonathan A. Smith, “A Practical Guide to Using Intrepretative Phenomenological
Analysis in Qualitative Research Psycohology”, Psychological Journal, 20, 1. (2014): 8.
10
Y.F. La Kahija, Penelitian Fenomenologis, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 60.
11
Jonathan A. Smith, Paul Flowers, dan Michael Larkin, Interpretative Phenomenological Analysis: Th
eory, Method and Research, (Los Angeles: SAGE, 2009), 1.
8
kualitatif yang konsep dan teorinya pertama kali dicetuskan oleh Edmund Husserl
(1931) sebagai suatu jalan untuk memahami secara mendalam dan teliti pengalaman
hidup seseorang (partisipan) dan makna penting yang teridentifikasi dari fenomena
yang dialaminya.12 Pemahaman mengenai pengalaman partisipan nantinya diperoleh
melalui proses hermeneutik. Menurut Cambridge Dictionary Philosophy Second
Edition, Hermeneutik adalah suatu seni atau teori interpretasi atau penafsiran, serta
jenis filosofi.13 Menurut Van Manen yang menulis tentang hermeneutical
phenomenology, hermeneutik fenomenologi adalah pengalaman hidup dari fenomena
yang dialami partisipan dan interpretasi (teks) dari yang mereka hidupi dan alami. 14
Dengan demikian, metode IPA ini berguna untuk melihat pengalaman partisipan
yakni umat di wilayah Bunder yang sebagian merupakan pengrajin Bambu dengan
fenomena Gereja bambu.
HASIL PENELITIAN
12
Jonathan A. Smith, Paul Flowers, dan Michael Larkin, Interpretative phenomenological analysis: T
heory, method and research, 15.
13
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Second Edition, (New York: Cambridge Univer
sity Press, 1999), 377.
14
Phenomenology describes how one orients to lived experience, hermeneutics describes how one inte
rprets the "texts" of life, and semiotics is used here to develop a practical writing or linguistic approach
to the method of phenomenology and hermeneutics. Van Manen, Researching Lived Experience: Huma
n Science for an Action Sensitive Pedagogy, (USA: University of New York Press, 1990), 4.
9
keluarga dan jemaat untuk berproses. Karya tangan mereka menjadi ekspresi
ungkapan syukur yang berasal dari hati yang paling dalam kepada Allah.
Proses pembuatan gereja bambu itu telah membuat mereka belajar dalam
membangun hidup bersama yang harmonis. Karena semua mereka buat sendiri, gereja
bambu itu menjadi sangat memberdayakan jemaat. Dalam wawancara kami, keenam
partisipan mengungkapkan bahwa selama proses pembuatan itu, masing-masing orang
berusaha saling berkontribusi sesuai dengan apa yang bisa mereka buat; mulai dari
penebangan bambu sampai tahap penyelesaian akhir. Pada poin ini kita bisa melihat
indahnya kerukunan yang terbentuk dari kesadaran diri kolektif akan kebutuhan dan
harapan bersama.
Gereja bambu itu mengumpulkan mereka sebagai satu jemaat. Meskipun pada
awalnya mereka enggan untuk membuat gereja bambu dan hanya karena menuruti
kemauan pastor paroki, sekarang mereka mengaku enggan untuk mengganti karya-
karya dari bambu itu dengan batu atau kayu. Mereka telah menemukan kekhasan dari
mereka sebagai jemaat. Seperti yang sudah kami ungkapkan di muka, dalam
kebersamaan sebagai satu jemaat inilah mereka mengungkapkan imannya dan
mempersembahkan seluruh kemampuan diri mereka kepada Allah.
Sudah menjadi pandangan umum bagi umat Katolik bahwa iman akan Yesus
Kristus harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Artinya, iman itu terkait erat dengan
dimensi sosial manusia. Kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat adalah medan
yang nyata dan konkrit bagi umat beriman dalam mewujudkan iman itu. Gereja
bambu itu telah menjadi tempat di mana umat beriman bertemu dengan Allah dan
mempersembahkan apa yang terbaik dari diri mereka dalam kebersamaan sebagai satu
jemaat. Melalui kerja keras dalam mewujudkan aneka kerajinan bambu itu, keenam
partisipan mau mengamalkan salah satu nasihat Rasul Paulus untuk menjadikan
seluruh diri dengan berbagai hal yang dapat mereka lakukan sebagai persembahan
yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah sebagai persembahan yang
sejati (bdk. Rm 12:1).
Proses beriman akan Yesus Kristus yang dialami oleh umat Katolik di Bunder
diungkapkan secara kreatif dalam upaya membangun paseduluran yang ndeso. Paus
Fransiskus menegaskan,
“Setiap bagian umat Allah, dengan menerjemahkan karunia Allah ke dalam
hidupnya sendiri dan sesuai dengan kecakapannya, memberikan kesaksian
tentang iman yang telah diterimanya dan memperkaya-nya dengan ungkapan-
ungkapan baru dan fasih. Dapat dikatakan bahwa “suatu bangsa terus-menerus
10
mengevangelisasi dirinya sendiri”. Di sini terletak pentingnya kesalehan yang
merakyat, ungkapan sejati kegiatan perutusan yang spontan dari umat Allah.
Ini merupakan proses yang berkelanjutan dan berkembang, di mana Roh
Kudus adalah pelaku utamanya”.15
Bambu memiliki arti mendalam bagi masyarakat Bunderan, dan secara khusus
umat Katolik di sana. Bambu sejak awal menjadi sumber penghidupan mereka yang
15
EG 122.
11
mayoritas adalah pengrajin bambu, khususnya pembuat kurungan ayam. Bagi umat
Katolik Bunderan, keberadaan bambu dimaknai secara mendalam. Bambu yang hidup
secara berumpun memberi harapan akan kehidupan persekutuan erat yang dicita-
citakan umat Katolik Bunderan. Bambu pun juga memiliki kegunaan yang sangat
mendasar dan praktis dalam kehidupan mereka, bahkan menjadi sumber mata
pencarian. Rumpun bambu hidup dengan menyimpan banyak air, selalu bertunas, dan
tumbuh lagi saat dipotong. Bagi umat Bunderan, pemaknaan itu memiliki kedekatan
dengan pengalaman historis mereka. Berawal dari satu orang yang menjadi katolik,
sekarang ini tumbuh berkembang menjadi banyak.
12
Gereja Bambu sebagai Tali Pengikat Persaudaraan
Gereja Bambu ini sebetulnya sarana juga untuk mengikat persaudaraan. Segala
macam peralatan liturgi dan perabotan kapel dibuat oleh warga dan umat Stasi Bunder
dalam suasana kebersamaan. Misalnya Mas Grondong yang bersama beberapa teman
membuat altar dari sore sampai malam. Mereka berkumpul di Gedung gereja,
bercengkerama, sambil menyelesaikan tugas bersama. Memang pernah terjadi konflik
antara keluarga dan juga mas gondrong, namun itu tidak menyurutkan semangatnya
untuk berada dalam komunitas Gereja dan membuat perabotan tersebut. Proses
pembuatan perabotan tersebut menjadi kesempatan bagi beberapa umat untuk
berkumpul di gereja. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa proses
pembuatan perabotan dari bahan bambu tersebut membuat mereka mau berkontribusi
untuk kepentingan Gereja. Ada beberapa di antara mereka yang tidak begitu aktif di
liturgi, namun ketika membuat perabotan ini, mereka bersemangat karena bagi
mereka inilah kontribusi sekaligus persembahan yang bisa mereka berikan untuk
Tuhan.
Partisipasi umat semakin tampak ketika mereka diminta untuk membuat kursi
umat dari bahan bambu. Setiap keluarga yang berdasarkan instruksi dari imam,
membuat kursi untuk disumbangkan ke gereja. Hasilnya, dahulu pernah kursi umat
terbuat juga dari bambu. Namun karena masalah ketahanan bahan, “maka kursi
diganti dengan kayu. Melalui pengalaman itu, umat menyadari bahwa semua keluarga
akhirnya “berlomba” bersama keluarganya untuk memberikan yang terbaik bagi
Gereja.
13
juga membantu dalam pembuatan salib karena ada seniman yang bukan Katolik dan
juga membantu dalam persiapan live in para biarawan, biarawati, bahkan juga Uskup.
Begitu juga sebaliknya, ketika hari raya umat muslim mereka juga saling membantu
dalam ibadah kurban. Situasi inilah yang terjadi dalam masyarakat Bunder yang di
dalamnya termasuk umat Stasi bunder.
“Waktu itu, anak-anak bermain bola di depan rumah orangtuanya pak Widi.
Orangtuanya pak Widi suka memberi anak-anak makanan dan mengajak
bernyanyi bersama.”
Kenangnya, sambil bercerita tentang waktu pertama kali ia terkesan dengan
keluarga Katolik yang baru satu-satunya ada di wilayah Bunder itu.
“Seandainya, bapaknya pak Widi itu tidak meninggal di usia muda, pasti akan
banyak orang yang masuk Katolik, karena ia sangat disegani di masyarakat.”
Tambahnya bercerita tentang masa lalunya.
Partisipan kami itu menjadi saksi hidup keteladanan sebuah keluarga Katolik
di awal mula berkembangnya umat Bunder. Dialah salah satu anak yang kala itu
dibaptis karena terkesan dengan kemurahan hati keluarga ini. Keluarga orangtuanya
Pak Widi itu menerima mereka dengan murah hati, membagikan makanan, dan
tampak seperti orang berada secara ekonomi. Maklum, orangtuanya pak Widi adalah
seorang guru, maka keteladanan hidup di masyarakat dan pengaruhnya pasti begitu
besar.
Inilah salah satu model inkulturasi di mana yang menjadi titik tolak bukanlah
pertama-tama pewartaan Injil, tetapi pengalaman religius umat yang menangkap cara
Tuhan bertindak melalui keteladanan hidup orang lain dengan merenungkan
pengalaman keberimanannya sendiri. Fokus utama model inkulturasi ini bukanlah
menghasilkan sebuah teologi misi atau inkulturasi, tetapi untuk mengalami dan
memaknai bagaimana Tuhan diungkapkan dalam dan melalui pengalaman yang
konkrit. Pengalaman religius itu secara otentik melibatkan latar belakang budaya dan
14
sejarah hidup seseorang. Bevans mengatakan bahwa, “Pengalaman religius pribadi
secara otentik melibatkan latarbelakang budaya iman seseorang, yang dalam segala
hal merupakan produk dari sejarah, geografis, sosial dan lingkungan budaya
setempat.”16
“Bambu selalu bertunas, mati satu tumbuh seribu. Umat bunder sendiri yang
awalnya hanya satu sekarang jadi banyak.” Kata seorang partisipan, teringat
akan pernyataan Romo Praktik yang pernah bertugas di wilayah Bunder.
Inkulturasi tanpa budaya yang apresiatif tidak akan berbuah banyak. Budaya
apresiatif terhadap keteladanan hidup religius di suatu masyarakat justru dapat
berfungsi sebagai pintu gerbang untuk memaknai keteladanan hidup umat setempat
terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Asian Youth Day, Juli 2017, menjadi
panggung umat di wilayah Bunder untuk menunjukkan kepada masyarakat yang lebih
luas mengenai keteladanan akan cinta lingkungan, cinta budaya, toleran dalam
beragama, hidup sederhana, guyub, rukun, dan gotong-royong dalam bermasyarakat.
Semua itu dimulai dari sikap apresiatif mereka terhadap ide dan gagasan untuk
menjadi manusia yang berbudaya.
“Awalnya kami tidak mau. Umat merasa tidak mampu, tapi karena
pendampingan dari Romo Yadi, umat akhirnya merasa semangat untuk
melaksanakannya. Sebluan dan dua bulan terakhir menjelang AYD, semua
masyarakat kerja bakti dan saling bantu membantu, bergotong royong untuk
membuat berbagai kreativitas dari bambu.” Tutur salah seorang partisipan
menerangkan pergulatan umat kala itu.
AYD menjadi panggung bagi umat untuk mengapresiasi budaya dan
kehidupan lokal di tengah masyarakat yang hidup dekat dengan bambu.
“AYD ini kesempatan bagi kami untuk berlomba-lomba membuat karya dari
bambu dan menunjukkan pada dunia mengenai seni bambu”. Ujar Mas
Gondrong dalam salah satu kesempatan sharing selepas Ekaristi malam
minggu, 19 November 2022.
16
Stephen Bevans, Model of Contextual Theology, (New York: Orbis Book, 2012), 104.
15
Bagi Mas Gondrong, yang memiliki tangan khas seorang pengrajin, tampak
besar-besar dan kasar, karena menganyam bambu; suasana desa dan bambu menjadi
daya tarik masyarakat. Hal ini memberi kebanggaan tersendiri bagi umat setempat.
“Mungkin nggk ada kok ter, Gereja di manalah seperti ini. Selain bambu, kami
juga mungkin dikenal karena ikatan persaudaraan kami. Karena Gereja bambu
inilah kami jadi sering menghabiskan waktu di Gereja untuk kumpul dengan
yang lain. Ada yang cari bambu, ada yang nganyam. Jadi tumbuhlah kerja
sama di dalam diri kami. Nah, inilah yang membuat kami guyub.”
Siapa sangka, kekosongan batang bambu itu bisa menjadi daya tarik bagi
masyarakat yang luas dan menjadi sarana untuk menunjukkan keteladanan umat
Bunder bagi masyarakat sekitar. Seperti batang bambu yang kosong, tetapi diletakkan
di atas akarnya yang sangat kuat, di sanalah kami mencoba memaknai spiritualitas
yang menjadi akar aspek keteladanan umat beriman di wilayah Bunder. Kami sepakat
dengan Masao Takenaka mengenai aspek spiritualitas yang paling penting dari bambu
yakni, spiritualitas kekosongan. Batang bambu yang belubang mengandung makna
spiritual yang begitu dalam, yakni soal kekosongan dan kerendahan hati di hadapan
Allah.17 Masao Takenaka merefleksikan kekosongan batang bambu ini dengan
kerendahan hati Kristus yang berkenan menjadi manusia bahkan sebagai seorang
hamba (bdk. Flp 2:7-8). Menurut Masao Takenaka, inilah kenosis yang dimaknai
sebagai humanisme Kristosentris yang menjadi perhatian Paulus bagi umat Filipi.
Kenosis dalam teks Filipi berarti ‘mengosongkan diri’ (εαυτόν έκένωσεν, 2:7). 18
Teks yang sudah umum dikenal di kalangan para teolog ini mengungkapkan dua
makna yakni, pengosongan diri Kristus dan pemuliaan-Nya. Kristologi Paulus tentang
pengosongan diri Kristus ini bukan sekadar pengajaran intelektual kepada jemaat di
Filipi. Kenosis membawa pesan pastoral bagi persoalan jemaat. Pertama, ada pewarta
yang mewartakan diri sendiri dan bukan Kristus. Kedua, jemaat lebih mengutamakan
hal-hal lahiriah seperti sunat. Ketiga, kebanggaan yang berlebih terhadap tradisi
Yahudi sehingga menganggap orang-orang yang tidak mengikuti tradisi Yahudi tidak
diselamatkan. Keempat, jemaat memandang hal duniawi sebagai yang utama.
Berhadapan dengan persoalan-persoalan itu, Paulus menyarankan kepada jemaatnya
supaya mereka mengikuti teladan Kristus yang tidak menganggap kesetaraan dengan
17
Masao Takenaka, When the Bamboo Bends - Christ and Culture in Japan, (Geneva - WWC Publicatio
n: 2002), 59.
18
Teresia Kuo-Yu Tsui, Kenosis in the Letter of Paul to the Philippians: The Way of the Suffering Philipi
an Community to Salvation, Louvain Studies, 31 (2006) 307
16
Allah sebagai yang harus dipertahankan melainkan Ia mengosongkan diri. Kristus
tidak bermegah, tetapi rendah hati.
Kerendahan hati atau dalam bahasa spiritual pengosongan diri yang direfleksikan
dari kekosongan batang bambu juga tampak dalam proses inkulturasi umat di wilayah
Bunder. Tanpa kemurahan hati yang mengalir dari kerendahan hati Kristus, umat di
Bunder tidak akan tumbuh sebanyak sekarang ini. Itulah apa yang sudah diceritakan
dalam kesaksian partisipan kami mengenai awal mula berkembangnya umat di
Bunder. Tanpa adanya kekosongan hati untuk mengapresiasi sebuah gagasan
mengenai Gereja dari bambu, kreativitas dari dari batang bambu, kerukunan umat,
serta kecintaan mereka pada alam tidak akan tersebar di masyarakat luas.
Dalam arti yang lebih dalam, kerendahan hati dari kekosongan batang bambu,
mesti menjadi “senjata” untuk melawan penambangan liar terhadap pasir. Bagi umat,
bambu adalah ‘senjata’. Namun, pemaknaan bambu sebagai senjata itu masih berlaku
dalam konteks senjata untuk melawan penjajah. Umat Bunder sadar bahwa penjajahan
yang mereka hadapi saat ini hadir dalam bentuk eksploitasi terhadap lingkungan.
KESIMPULAN
17
melihat konteks umat, melahirkan suatu inkulturasi yang kontekstual. Kontekstualisasi itu
bukan hanya terkait dengan seni bambu, tetapi juga dialog dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Fenomena Gereja bambu telah membantu umat Katolik di wilayah Bunder untuk
memaknai persaudaraan di antara mereka dengan semangat gotongroyong. Di balik
semangat itu, ada spiritualitas batang bambu yang mekipun kosong, tetapi bertopang pada
akar yang kuat. Itulah makna pengosongan diri dan kerendahan hati untuk saling bekerja
sama, berbagi karunia dan tenaga dalam mendekatkan diri kepada Kristus. Oleh karena itu,
inkulturasi Gereja di Indonesia penting untuk mengeksplorasi kebudayaan lokal
sebagai bagian dari identitas umat beriman. Upaya seperti itu dapat membantu umat
beriman yang hidup dalam lokalitas tertentu untuk mengembangkan hubungan yang
lebih dalam dengan Kristus.
Umat memaknai diri mereka di dalam kebersamaan dengan sesama dan alam
ciptaan melalui persembahan diri dalam membuat karya seni dari bambu bagi Gereja.
Meskipun kepedulian umat terhadap alam ciptaan sempat tergoyahkan oleh tawaran
ekonomi yang menjanjikan dari penambangan pasir ilegal, namun bambu menjadi ruang
bagi mereka untuk kembali pulang. Bambu bagi mereka menjadi ‘senjata’ karena melalui
kerajinan bambu, mereka memperoleh sumber penghasilan. Semakin sedikit umat yang
menambang pasir karena kembali beralih menjadi pengrajin bambu itu akan memberikan
keseimbangan pada alam ciptaan. Sebab, penambangan pasir liar dapat merusak ekosistem
pertanian di wilayah Bunder yang juga menjadi panggung mata pencaharian sebagian besar
masyarakat di sana.
Dengan demikian, kehadiran gereja bambu tentu berdampak dan berdaya guna
bagi masyarakat. Gereja yang dibangun dari kerajinan anyaman bambu oleh umat
setempat dimaknai sebagai ungkapan iman pada Allah. Oleh masyarakat sekitar,
gereja bambu bermakna sebagai tali pengikat persaudaraan. Gereja bambu memberi
makna kearifan lokal terhadap alam semesta. Gereja bambu juga memberi makna
keteladanan hidup pada masyarakat.
18