Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 18

MAKNA GEREJA BAMBU BAGI UMAT KATOLIK DI BUNDER:

Studi Kualitatif dengan Interpretative Phenomenological Analysis

Cornelius Maruli / FT 3250, Paulus Yosse Pratama / FT 3852, Yohanes Ferry Ariyant
o / FT 3867, Yuvens Kristia Efrata / FT 3872

Fakultas Teologi Wedhabakti, Yogyakarta

Abstract

This paper is the result of a qualitative research using an interpretative phenomenologi


cal analysis method. The research is motivated by the author's interest in the existence
of the Stepanus Church in Bunder Village, Bandungan, Jatinom District, Klaten Rege
ncy, where some of the furniture for this Catholic place of worship is made of bamboo
In addition, some residents in Bunder village work as bamboo craftsmen. The face of
the Church, which has local characteristics, is one form of inculturation of the Catholi
c Church in Indonesia, especially in the Bunder region. The author chose six Catholic
s from the Bunder area as participants. The aims of this research are: (1) to interpret th
e experiences of the faithful who live as bamboo craftsmen, (2) to describe the meanin
g of the presence of the Bamboo Church for the people and the local community. The
results of the research show that the bamboo church has a meaning that concerns the r
elationship of people with God, others and nature. Bamboo crafts have a meaning as a
n expression of faith in God. The Bamboo Church has a meaning as a bond of brother
hood. The bamboo church gives local wisdom meaning to the universe. The bamboo c
hurch gives the meaning of an exemplary life to the community.

Keywords: bamboo, inculturation, Bunder, people

Abstrak

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif dengan metode interpretative
phenomenological analysis. Penelitian dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis pada
keberadaan Gereja Stepanus di Desa Bunder, Bandungan, Kecamatan Jatinom,
Kabupaten Klaten yang sebagian furniture tempat ibadah Katolik ini terbuat dari
bambu. Selain itu, sebagian warga di desa Bunder, berprofesi sebagai pengrajin bamb
u. Wajah Gereja yang berciri lokal ini menjadi salah satu wujud inkulturasi Gereja
Katolik di Indonesia, khususnya di wilayah Bunder. Penulis memilih enam orang

1
Katolik dari wilayah Bunder sebagai partisipan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk: (1) memaknai pengalaman umat beriman yang hidup sebagai pengrajin bambu,
(2) mendeskripsikan makna kehadiran Gereja bambu bagi umat dan masyarakat
setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gereja bambu memiliki makna yang
menyangkut relasi umat dengan Allah, sesama dan alam ciptaan. Kerajinan bambu
bermakna sebagai ungkapan iman pada Allah. Gereja Bambu bermakna sebagai tali
pengikat persaudaraan. Gereja bambu memberi makna kearifan lokal terhadap alam
semesta. Gereja bambu memberi makna keteladanan hidup pada masyarakat.

Kata kunci: bambu, inkulturasi, bunder, gereja

PENDAHULUAN

Sebagai makhluk yang bersifat spiritual, manusia selalu terdorong untuk mengara
hkan diri pada yang ultimate. Melalui berbagai ritual keagamaan, manusia menjalin re
lasi dengan yang ultimate yang berada di luar dirinya. Manusia diajak untuk mengam
bil jarak dari hidup keseharian dan menyadari bahwa ia melakukan kesalahan dan but
uh perdamaian. Arnold Van Gennep membagi ritual menjadi tiga tahapan, yakni; 1)
Separasi (preliminal rites), subjek ritual mengambil jarak dari kehidupan dan
menyadari keterpisahan dan ketidakharmonisan. 2) Transisi (liminal rites), seseorang
ada dalam kenangan suatu tatanan yang harmonis atau disebut juga tahap ambang. 3)
Inkorporasi (post liminal rites) menggambarkan suasana pembebasan, pendamaian
dan hidup baru.1 Melalui ketiga tahapan itu, proses pembentukan diri atau formatif
secara psikologis terjadi, sehingga subyek ritual diteguhkan dan memiliki orientasi
hidup yang baru.2

Ada berbagai motivasi manusia melakukan ritual kepada kekuatan supranatural. A


da yang melakukan suatu ritual untuk memperoleh kebaikan spiritual berupa pertolon
gan atau petunjuk untuk keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Ada pula yang m
emandang ritual sebagai sarana untuk menemukan makna hidup dalam hubungannya
dengan Tuhan. Di dalam suatu ritual, biasanya manusia mempersembahkan sesuatu se
bagai ungkapan syukur kepada yang sakral. Sebagai contoh, setiap hari Minggu setela

1
Arnold Van Genep, “The Rites of Passage”, (The University of Chicago Press, USA: 1960), hal 10-11.

2
La Janu, “Ritual Alo Pada Masyarakat Cia-cia Burangasi Kabupaten Buton”, (Jurnal el Harakah,
Universitas Haluoleo: Vol.14 No.2: 2012), Hal 160.

2
h perayaan Hati Kudus Yesus, umat Ganjuran melakukan ritual/upacara kirap agung.
Mereka membuat sebuah persembahan berbentuk gunungan yang berisi berbagai mac
am hasil bumi untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Ritual ini dibuat sebagai ungkap
an syukur yang mendalam atas panen dan penyertaan Tuhan dalam hidup mereka. Tak
hanya itu, ritual yang dijalankan dalam sebuah komunitas religius tertentu dapat mem
perkuat ikatan persaudaraan komunitas itu sendiri, sebab ketika beritual semua orang
berkumpul, membaur, dan menjadi satu untuk berelasi dengan yang sakral.

Menarik, bahwa di tengah arus modernitas yang melanda di hampir semua segi ke
hidupan manusia termasuk hidup keagamaan, ritual keagamaan tetap mendapat tempa
t dan bahkan terus tumbuh subur. Sehubungan dengan praktik ritual sebagai ungkapan
syukur kepada Tuhan, keberadaan Gereja Stepanus di Desa Bunder, Bandungan, Kec.
Jatinom, Kab. Klaten, menjadi fenomena yang menarik. Sebagian besar furniture tem
pat ibadah Katolik ini terbuat dari bambu. Dari observasi awal kami mengetahui bahw
a hampir seluruh warga desa Bunder, tempat kapel ini berdiri berprofesi sebagai pengr
ajin bambu. Dari segi ekonomi, penghasilan pengrajin bambu tidak seberapa. Apalagi
untuk sekarang ini, mereka harus membeli bambu lantara bambu di tempat tersebut su
dah habis. Karena itu, kehadiran bangunan gereja ini sangat berciri lokal. Dengan ber
bagai furniture yang terbuat dari bambu ini, umat Katolik di Desa Bunder berusaha m
empersembahkan seluruh diri mereka melalui berbagai seni keterampilan dari bambu.

Selain keberadaan bangunan gereja yang unik itu, masyarakat Desa Bunder memp
unyai masalah besar dengan air. Walaupun desa ini berada di daerah perbukitan, sumb
er air tanah sangat sulit ditemukan. Mereka biasa menggunakan air hujan untuk meme
nuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Bahkan mereka mengkonsumsi air hujan yang sud
ah diproses sedemikian rupa. Berdasarkan latar belakang ini, kelompok memilih feno
mena Gereja St. Stepanus Bunder sebagai pokok persoalan dalam kaitannya dengan in
kulturasi iman Katolik. Melalui tulisan ini, kelompok ingin memberikan sumbangan p
emikiran dengan judul, Makna Gereja Bambu bagi Umat Katolik di Bunder: Studi
Kualitatif dengan Metode Interpretative Phenomenological Analysis.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan persoalan


sebagai berikut: (1) Bagaimana kisah gereja bambu ini terjadi? (2) Bagaimana umat
memaknai persaudaraan di antara mereka? (3) Bagaimana umat memaknai dirinya
dalam kebersamaan dengan sesama dan alam ciptaan? (4) Bagaimana kepedulian

3
umat terhadap alam dapat menjadi peluang kerjasama dengan semua orang? (5)
Apakah kehadiran gereja bambu ini berdampak dan berdaya guna bagi masyarakat?

KERANGKA TEORI

Proses inkulturasi di Indonesia tidak bisa diceraikan dari situasi masyarakat


lokal yang dihiasi oleh keragaman budaya dan tradisi, termasuk keberadaan Gereja
Stepanus di Desa Bunder, Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.
Berhadapan dengan pluralitas budaya ini, para Uskup Asia (FABC) berusaha untuk
menyadarkan umat beriman Kristiani di Asia akan keberadaan Gereja Asia. Umat di
Asia menyadari bahwa wilayahnya merupakan sebuah benua yang amat kaya akan
budaya, tradisi, nilai-nilai keutamaan dan agama. Para uskup memandang kekayaan
Asia ini sebagai peluang untuk menampakkan kekhasan wajah Gereja Asia tanpa
menyangkal jati dirinya sebagai bagian dari Gereja universal. Gereja Asia mengakui
dan mengapresiasi berbagai tanda dan simbol dari kebudayaan masyarakat yang
selasar dengan nilai-nilai Injil dan iman Kristiani. Bahkan para uskup menganjurkan
untuk menggunakan berbagai bentuk arsitektur, seni budaya, bahasa, dan nyanyian
sebagai bagian dari suasana dalam tata peribadatan dan perayaan Ekaristi.3
Penghargaan terhadap budaya ini menjadi salah satu usaha bagi Gereja Asia
untuk mengakarkan iman dalam kehidupan jemaat lokal yang konkrit dalam segala
dimensinya, sehingga kehidupan iman umat menjadi aktual, relevan, dan kontekstual.
Pada sidang umum FABC 2022 yang berlangsung di Bangkok, para uskup Asia
berkomitmen untuk melakukan pertobatan pastoral dan ekologis dengan secara positif
menanggapi “baik jeritan bumi maupun jeritan orang miskin”. Selain itu, mereka juga
berkomitmen untuk meningkatkan budaya damai dan harmoni dalam kerjasama
dengan agama dan dengan berbagai tradisi, pemerintah dan LSM dalam menanggapi
masalah-masalah urgen dan aktual seperti hak asasi manusia, pengentasan
kemiskinan, perdagangan manusia, dan pemeliharaan bumi. Komitmen-komitmen ini
mendapatkan inspirasinya dari Injil dan pengajaran-pengajaran Paus Fransiskus akhir-
akhir ini.4

3
Fransz Josef Eilers (ed), For All the Peoples of Asia vol. 4: Federation of Asian Bishops’ Conferences Do
cuments from 2002-2006, (Quezon City: Claretian Publications, 2007), 233.

4
Pesan Sidang Umum FABC untuk Umat Asia: Berjalan Bersama sebagai Umat Asia, tersedia di https://
www.hidupkatolik.com/2022/10/31/64993/pesan-sidang-umum-fabc-untuk-umat-asia-berjalan-bersa
ma-sebagai-umat-asia.php, diakses pada 15 Desember 2022.

4
Melalui Ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus mengajak semua orang
melakukan pertobatan ekologis demi menjaga keutuhan ciptaan. Pertobatan itu
pertama-tama dibangun dalam diri masing-masing pribadi kristiani dengan memeriksa
hidup dan mengakui bahwa tindakan-tindakannya di masa lampau dan masa kini yang
telah membawa kerugian kepada ciptaan Allah (LS 216). Pertobatan itu pada dasarnya
memang merupakan pertobatan batin yang mendalam, namun juga bersamaan dengan
konsistensi perbuatan iman yang nyata (LS 217).

Gereja mempunyai keprihatinan dan kepedulian terhadap fenomena kerusakan


lingkungan yang mengancam keutuhan ciptaan. Gereja merespon persoalan krisis
ekologi dewasa ini dengan menyerukan spiritualitas ekologis yang berakar pada
keyakinan iman kristiani. Karena bumi adalah rumah semua manusia bersama, maka
tanpa membedakan suku, ras, agama dan antar golongan manapun, Paus Fransiskus
menyerukan pertobatan ekologis komunal, demi menciptakan dinamisme perubahan
keberlanjutan. Salah satu dari wujud pertobatan ekologis adalah sikap bersama yang
menumbuhkan semangat murah hati dan penuh kelembutan bagi manusia dan ciptaan-
ciptaan lain yang rentan. Manusia mesti membangun persaudaraan dengan seluruh
ciptaan (LS 220).

Keterhubungan antara manusia dengan seluruh alam ciptaan juga ditegaskan


kembali oleh Paus Fransiskus dalam dokumen Fratelli Tutti. Paus Fransiskus
mengingatkan bahwa berhadapan dengan situasi dewasa ini, “Tak seorang pun bisa
menghadapi hidup sendirian” (FT 8). Situasi dunia dewasa ini, yang diliputi konflik
dan persaingan menciptakan kondisi yang semakin tidak mendekatkan satu sama lain,
berpotensi menyingkirkan yang lemah, membatasi diri dalam sekat kepentingan
sempit, dan bahkan mendorong keinginan untuk menguasai orang lain. Padahal,
manusia hanya dapat hidup, berkembang dan mencapai kesempurnaan karena
pemberian dirinya yang tulus bagi orang lain. Sebaliknya, manusia tidak dapat
mengenali dirinya sendiri tanpa perjumpaan dengan orang lain (FT 87-88). Maka,
bagi Paus Fransiskus, manusia perlu berjalan bersama dengan membangun
persaudaraaan tanpa sekat. Persaudaraan yang kuat itu dibangun berdasarkan pondasi
nilai kristiani, yakni “kasih yang universal” (FT 83).

5
Kasih persaudaraan di antara umat beriman itu disempurnakan oleh Roh
Kudus melalui karunia-karunia di dalam Gereja. Lumen Gentium 12 mengingatkan
kembali makna karunia-karunia yang telah diberikan Allah kepada Umat Allah.
Dikatakan bahwa “Roh Kudus tidak hanya menyucikan dan membimbing Umat Allah
melalui sakramen-sakramen serta pelayanan-pelayanan, dan menghiasnya dengan
keutamaan, melainkan Ia juga ‘membagi-bagikan’ karunia-karunia-Nya kepada
masing-masing menurut kehendak-Nya (bdk.1 Kor 12:11).” Maka, masing-masing
dari kita telah diberikan karunia-Nya. Anthony Ekpo dalam tulisannya mengatakan
bahwa maksud dari karunia yang diberikan kepada umat Allah dalam LG 12 adalah
untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama sebagai wujud nyata Tri Munera
Christi (Imam, Nabi, Raja).5 Dengan kemampuan yang ada, dengan potensi-potensi
yang dimiliki masing-masing anggota menjadi sebuah aset yang berguna bagi
pelayanan Kerajaan Allah.

Setiap orang berpartisipasi menurut karunianya (bdk. LG 12). Partisipasi


dalam hidup ilahi menuntun pada persekutuan dengan Allah dan sesama, yang
ditunjukkan dalam kasih dan pelayanan yang memberikan diri (bdk.Yoh 17), Pohon
anggur dan ranting-rantingnya menjadi lambang persekutuan ini (bdk.Yoh 15:1-13),
Roh diberikan untuk menopang dan memperkuat persekutuan ini (bdk.Yoh 14:15-
17).6 Maka bisa dikatakan persatuan anggota Gereja yang partisipatif adalah hakikat
Gereja untuk membangun kesatuan Tubuh Mistik Kristus didunia (LG 7).

Partisipasi umat beriman dirayakan melalui ritual yang dalam konteks ini
berarti liturgi dan ibadah Kristiani, yang selalu diekspresikan dalam konteks tertentu
dan melalui konteks kebudayaan setempat (Bdk SC 37). Menurut Paul S Chung,
perhatian kita pada kekayaan lokal, memberikan pengakuan terhadap realitas budaya
dan sosial, sekaligus merekontruksi Teologi yang selama ini hanya “mengikuti” Barat
dengan mencoba mengatur interpretasi secara bebas dari rasionalitas Barat.7

5
Anthony Ekpo, "The Sensus Fidelium and the Threefold Office of Christ: A Reinterpretation of Lumen
Gentium No. 12," Theological Studies Vol. 76.2 (2016): 330–346, 335.

6
Michael Amaladoss, The Asian Jesus, (Maryknool Orbis books: New York), 2006, 14.

7
Paul S Minjung, Contructing Iregular Theology, Bamboo and Minjung in East Asian Perspective, (Bost
on-Bril:2009).

6
Dalam kebudayaan Timur, khususnya Jepang, bambu merupakan simbol
utama dalam budaya. Bambu memiliki ciri-ciri dan bentuk yang unik, kelenturan,
daun hijau, dan batangnya yang berongga dapat ditafsirkan berdasarkan makna
religius setempat. Masao Takenaka, seorang teolog asal Jepang, telah menulis sebuah
buku berjudul, When the Bamboo Bends. Secara umum, buku ini merefleksikan
kekristenan dan pluralitas agama di Asia dengan menggunakan simbol bambu. Masao
menekankan bahwa alam semesta itu berciri simbolis dan ia menganggap penting
simbol-simbol utama di Asia seperti, beras, bunga, naga, teh, dan bambu. Mirip
dengan Karl Rahner yang berbicara tentang simbol dalam kerangka antropologis,
Masao Takenaka, mengekspresikan ciri simbolis pada ranah ekologis dan
antropologis.

Dalam pemahaman ini, Takenaka menggunakan pendekatan semiotik dengan


simbol dan gambar sebagai media untuk menyampaikan gagasannya. Misalnya,
bambu mencerminkan banyak hal terkait penggunaannya di dalam berbagai aspek
kehidupan di masyarakat, termasuk konteks Kristen di Asia. Salah satunya ialah
bahwa bambu mencerminkan semangat orang Jepang. Masao Takenaka
mengungkapkan bahwa vitalitas dan daya tahan bambu melambangkan semangat dan
daya juang orang Jepang. Bambu meskipun diterpa angin dan badai, dia menunjukkan
elastisitas dan fleksibilitas yang luar biasa. Meski saat musim dingin, bambu di
Jepang menanggung salju, dia tetap kokoh. Walau bengkok, bambu tidak jatuh.
Bambu juga mempunyai akar yang kuat. Akar bambu sangat kuat karena ia dapat
menembus dinding. Orang Jepang berkata, “Hachiku no ikioi” yang berarti, “kekuatan
bambu tak tertahankan”, seperti itulah semangat orang-orang Jepang. Kekuatan itu
justru dilihat dari makna terdalam spiritualitas bambu yakni, kekosongan batang
bambu yang diletakkan di atas akarnya yang sangat kuat.

Singkatnya, pendekatan simbolik Takenaka secara efektif dapat menyentuh


konteks kebudayaan setempat. Melaui pendekatan ini, Gereja-gereja Asia dapat
mengalami iman mereka kepada Kristus dengan keaslian budaya yang terintegrasi
dengan konteks hidup mereka. Maka, proses inkulturasi Gereja di Indonesia juga
penting untuk mengeksplorasi kebudayaan lokal sebagai bagian dari identitas umat
beriman. Upaya seperti itu dapat membantu umat beriman yang hidup dalam lokalitas
tertentu untuk mengembangkan hubungan yang lebih dalam dengan Kristus.

7
Dengan demikian, hasil penelitian kualitatif melalui metode Interpretative
Phenomenological Analysis dimaknai bersama dengan kerangka-kerangka teori yang
telah di jelaskan di atas. Kerangka teori itu meliputi Gereja dalam konteks Asia,
wejangan Paus Fransiskus tentang relasi manusia dengan alam ciptaan melalui
Ensiklik Laodatosi dan Frateli Tutti, karunia-karunia yang menunjang partisipasi, dan
pendekatan simbolik-semiotik terhadap bambu menurut Masao Takenaka.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Interpretative


Phenomenological Analysis (IPA). Metode ini merupakan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi untuk memahami makna dari pengalaman individu dalam
sebuah konteks. Tujuan IPA adalah untuk memahami bagaimana partisipan memaknai
dunia personal dan sosialnya.8 Sasaran utama dari pendekatan ini adalah makna dari
suatu pengalaman, peristiwa, keadaan, dan status yang dimiliki oleh partisipan.
Karena itu, pendekatan ini adalah sebuah jalan untuk memahami bagaimana manusia
menafsirkan pengalaman hidupnya.

Interpretative Phenomenological Analysis sendiri adalah suatu metodologi


penelitian yang berusaha mengidentifikasi bagaimana individu atau partisipan
memaknai pengalamannya dengan cara menguji pengalaman partisipan itu
berdasarkan prinsip-prinsip fundamental fenomenologi, hermeneutik, dan ideografi. 9
Dalam konteks psikologi, idiografi dimaksud sebagai cara pandang yang mengizinkan
seorang peneliti untuk melihat setiap partisipannya secara unik dan tidak boleh
menyamakan begitu saja setiap orang.10 Menurut Smith, Flowers dan Larkin, tiga
pemikir modern yang dikenal sebagai ahli pendekatan IPA menyatakan bahwa; IPA
merupakan sebuah pendekatan kualitatif yang berkomitmen untuk menguji bagaimana
orang merasakan pengalaman hidup mereka.11

Dalam hal ini, unsur fenomenologi atau pengalaman yang dialami partisipan
menjadi sangat penting. Fenomenologi itu sendiri merupakan sebuah pendekatan
8
Jonathan A Smith, Qualitative Psychology: A Practical Guide to Research Methods, (London: Sage, 20
03). lih. YF La Kahija, Penelitian Fenomenologis, Jalan Memahami Pengalaman Hidup, (Yogyakarta: Ka
nisius, 2017), 60.
9
Igor Pietkiewicz dan Jonathan A. Smith, “A Practical Guide to Using Intrepretative Phenomenological
Analysis in Qualitative Research Psycohology”, Psychological Journal, 20, 1. (2014): 8.
10
Y.F. La Kahija, Penelitian Fenomenologis, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 60.
11
Jonathan A. Smith, Paul Flowers, dan Michael Larkin, Interpretative Phenomenological Analysis: Th
eory, Method and Research, (Los Angeles: SAGE, 2009), 1.

8
kualitatif yang konsep dan teorinya pertama kali dicetuskan oleh Edmund Husserl
(1931) sebagai suatu jalan untuk memahami secara mendalam dan teliti pengalaman
hidup seseorang (partisipan) dan makna penting yang teridentifikasi dari fenomena
yang dialaminya.12 Pemahaman mengenai pengalaman partisipan nantinya diperoleh
melalui proses hermeneutik. Menurut Cambridge Dictionary Philosophy Second
Edition, Hermeneutik adalah suatu seni atau teori interpretasi atau penafsiran, serta
jenis filosofi.13 Menurut Van Manen yang menulis tentang hermeneutical
phenomenology, hermeneutik fenomenologi adalah pengalaman hidup dari fenomena
yang dialami partisipan dan interpretasi (teks) dari yang mereka hidupi dan alami. 14
Dengan demikian, metode IPA ini berguna untuk melihat pengalaman partisipan
yakni umat di wilayah Bunder yang sebagian merupakan pengrajin Bambu dengan
fenomena Gereja bambu.

HASIL PENELITIAN

Kerajinan Bambu sebagai Ungkapan Iman kepada Allah

Aspek pengalaman sebagai pengrajin bambu mempengaruhi pemaknaan diri di


hadapan Allah dalam kebersamaan dengan sesama dan alam ciptaan. Keenam
partisipan mengungkapkan dengan teguh bahwa karya seni yang mereka buat menjadi
sarana untuk mengungkapkan iman kepada Allah. Mereka menyadari kekuatan dan
kelemahan diri mereka. Keenam partisipan menggunakan apa yang ada dalam diri
mereka untuk menjawab kebutuhan, tantangan, dan harapan Gereja dan masyarakat
sekitar mereka dan memaknainya sebagai persembahan kepada Allah.
Hampir satu bulan penuh mereka berkumpul setiap malam untuk membuat
altar, ambo, meja, dan kursi dari bambu. Tak jarang mereka harus bergulat dengan
rasa lelah karena tugas harian sebagai kepala keluarga. Kadang mereka juga harus
berkonflik dengan keluarga mereka sendiri. Mereka mengaku bahwa waktu yang
tidak sebentar ini justru menjadi kesempatan bagi diri mereka bersama dengan

12
Jonathan A. Smith, Paul Flowers, dan Michael Larkin, Interpretative phenomenological analysis: T
heory, method and research, 15.
13
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, Second Edition, (New York: Cambridge Univer
sity Press, 1999), 377.

14
Phenomenology describes how one orients to lived experience, hermeneutics describes how one inte
rprets the "texts" of life, and semiotics is used here to develop a practical writing or linguistic approach
to the method of phenomenology and hermeneutics. Van Manen, Researching Lived Experience: Huma
n Science for an Action Sensitive Pedagogy, (USA: University of New York Press, 1990), 4.

9
keluarga dan jemaat untuk berproses. Karya tangan mereka menjadi ekspresi
ungkapan syukur yang berasal dari hati yang paling dalam kepada Allah.
Proses pembuatan gereja bambu itu telah membuat mereka belajar dalam
membangun hidup bersama yang harmonis. Karena semua mereka buat sendiri, gereja
bambu itu menjadi sangat memberdayakan jemaat. Dalam wawancara kami, keenam
partisipan mengungkapkan bahwa selama proses pembuatan itu, masing-masing orang
berusaha saling berkontribusi sesuai dengan apa yang bisa mereka buat; mulai dari
penebangan bambu sampai tahap penyelesaian akhir. Pada poin ini kita bisa melihat
indahnya kerukunan yang terbentuk dari kesadaran diri kolektif akan kebutuhan dan
harapan bersama.
Gereja bambu itu mengumpulkan mereka sebagai satu jemaat. Meskipun pada
awalnya mereka enggan untuk membuat gereja bambu dan hanya karena menuruti
kemauan pastor paroki, sekarang mereka mengaku enggan untuk mengganti karya-
karya dari bambu itu dengan batu atau kayu. Mereka telah menemukan kekhasan dari
mereka sebagai jemaat. Seperti yang sudah kami ungkapkan di muka, dalam
kebersamaan sebagai satu jemaat inilah mereka mengungkapkan imannya dan
mempersembahkan seluruh kemampuan diri mereka kepada Allah.
Sudah menjadi pandangan umum bagi umat Katolik bahwa iman akan Yesus
Kristus harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Artinya, iman itu terkait erat dengan
dimensi sosial manusia. Kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat adalah medan
yang nyata dan konkrit bagi umat beriman dalam mewujudkan iman itu. Gereja
bambu itu telah menjadi tempat di mana umat beriman bertemu dengan Allah dan
mempersembahkan apa yang terbaik dari diri mereka dalam kebersamaan sebagai satu
jemaat. Melalui kerja keras dalam mewujudkan aneka kerajinan bambu itu, keenam
partisipan mau mengamalkan salah satu nasihat Rasul Paulus untuk menjadikan
seluruh diri dengan berbagai hal yang dapat mereka lakukan sebagai persembahan
yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah sebagai persembahan yang
sejati (bdk. Rm 12:1).
Proses beriman akan Yesus Kristus yang dialami oleh umat Katolik di Bunder
diungkapkan secara kreatif dalam upaya membangun paseduluran yang ndeso. Paus
Fransiskus menegaskan,
“Setiap bagian umat Allah, dengan menerjemahkan karunia Allah ke dalam
hidupnya sendiri dan sesuai dengan kecakapannya, memberikan kesaksian
tentang iman yang telah diterimanya dan memperkaya-nya dengan ungkapan-
ungkapan baru dan fasih. Dapat dikatakan bahwa “suatu bangsa terus-menerus

10
mengevangelisasi dirinya sendiri”. Di sini terletak pentingnya kesalehan yang
merakyat, ungkapan sejati kegiatan perutusan yang spontan dari umat Allah.
Ini merupakan proses yang berkelanjutan dan berkembang, di mana Roh
Kudus adalah pelaku utamanya”.15

Dengan caranya masing-masing, keenam partisipan dipanggil untuk ikut serta


dalam fungsi imamat Kristus, yaitu sebagai imam, nabi, dan raja melalui hidup iman
dan cinta kasih yang mereka hayati dan mereka wujudkan dalam hidup sehari-hari.
Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium art. 10 menegaskan panggilan ini,
“Sebab mereka yang dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh
Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk sebagai
orang kristiani, dengan segala perbuatan mereka, mempersembahkan korban
rohani, dan untuk mewartakan daya kekuatan Dia, yang telah memanggil
mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang mengagumkan (lih. 1Ptr
2:4-10). Maka hendaknya semua murid Kristus, yang bertekun dalam doa dan
memuji Allah (lih. Kis 2:42-47), mempersembahkan diri sebagai korban yang
hidup, suci, berkenan kepada Allah (lih. Rom 12:1). Hendaknya mereka di
seluruh bumi memberi kesaksian tentang Kristus... Imamat itu mereka
laksanakan dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan
bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri
serta cinta kasih yang aktif”.

Sebagai imam, mereka mempersembahkan semua karya, doa-doa, usaha


kerasulan mereka, hidup sebagai suami istri dan dalam keluarga, jerih payah mereka
sehari-hari, dan beban-beban dalam hidup sebagai korban rohani yang
dipersembahkan kepada Bapa melalui perantaraan persembahan Yesus Kristus
sebagai satu-satunya persembahan yang berkenan kepada Allah (LG 34). Sebagai
nabi, mereka mewartakan Injil Kristus melalui kesaksian hidup dan kata-kata, lebih-
lebih memberi kesaksian iman dan cinta kasih Kristus dalam hidup sebagai suami istri
dan hidup berkeluarga sebagai tanda paling nyata dari kehadiran Kerajaan Allah dan
harapan akan hidup bahagia (LG 35). Sebagai raja, mereka terlibat secara aktif dan
konstruktif dalam usaha mewujudkan kesatuan, kerukunan, dan kedamaian sebagai
paguyuban Umat Allah dan dalam hidup memasyarakat, sehingga Kristus semakin
menyinari segenap masyarakat dengan cahaya-Nya yang menyelamatkan (LG 36).

Menyangkut Kearifan Lokal terhadap Alam Semesta

Bambu memiliki arti mendalam bagi masyarakat Bunderan, dan secara khusus
umat Katolik di sana. Bambu sejak awal menjadi sumber penghidupan mereka yang

15
EG 122.

11
mayoritas adalah pengrajin bambu, khususnya pembuat kurungan ayam. Bagi umat
Katolik Bunderan, keberadaan bambu dimaknai secara mendalam. Bambu yang hidup
secara berumpun memberi harapan akan kehidupan persekutuan erat yang dicita-
citakan umat Katolik Bunderan. Bambu pun juga memiliki kegunaan yang sangat
mendasar dan praktis dalam kehidupan mereka, bahkan menjadi sumber mata
pencarian. Rumpun bambu hidup dengan menyimpan banyak air, selalu bertunas, dan
tumbuh lagi saat dipotong. Bagi umat Bunderan, pemaknaan itu memiliki kedekatan
dengan pengalaman historis mereka. Berawal dari satu orang yang menjadi katolik,
sekarang ini tumbuh berkembang menjadi banyak.

Sebagai sumber penghidupan, umat Bunderan memperlakukan bambu dengan


hormat. Berdasarkan kearifan lokal, mereka memilih waktu yang tepat untuk
menebang bambu. Waktu yang secara khusus di yakini adalah sebelum matahari terbit
tepat pada hari ….. (lali) setelah hari Jumat wage, selama dua minggu dan sebelum
matahari terbit. Bagi mereka, pada waktu yang dipilih itu, kadar air masih sedikit,
kandungan gula masih di bawah, karena itu hama tidak naik ke atas. Dalam proses
penebangan dan pengolahan bambu, khususnya untuk kepentingan Gereja, umat
Bunderan melakukannya secara bersama, dan melibatkan banyak orang. Hal ini
membawa dampak baik yang menyatukan kepedulian, dan membangun keterlibatan
banyak umat. Melalui cara ini, hidup persekutuan menjadi konkret.

Sumber penghidupan dari bambu yang identik dengan alam sempat


mengalami kontra dengan mata pencarian lain, yakni penambangan pasir ilegal di area
desa Bunderan. Di satu sisi, bekerja di tambang pasir secara ekonomis memberikan
keuntungan yang jauh lebih besar, dan instan dari pada sebagai pengrajin bambu.
Walaupun di sisi lain, umat sadar akan banyaknya tindakan penyelewengan dan
perusakan alam yang bertentangan dengan visi mempertahankan keutuhan alam
ciptaan. Kehadiran tambang pasir sempat mengalihkan usaha hampir seluruh umat
Bunderan. Mereka berbondong-bondong beralih menjadi penambang pasir dadakan.
Pekerjaan pengrajin bambu, atau bertani singkong, jagung dan kacang ditinggalkan
demi penghasilan yang lebih besar dan instan. Namun, ada juga dari mereka yang
tetap bertahan dan tidak tergiur menjadi penambang pasir. Akhirnya, bambu tetaplah
menjadi “penolong” bagi mereka, karena saat penambangan pasir harus terhenti,
bambu tetap menjadi sumber penghidupan utama mereka.

12
Gereja Bambu sebagai Tali Pengikat Persaudaraan

Gereja Bambu ini sebetulnya sarana juga untuk mengikat persaudaraan. Segala
macam peralatan liturgi dan perabotan kapel dibuat oleh warga dan umat Stasi Bunder
dalam suasana kebersamaan. Misalnya Mas Grondong yang bersama beberapa teman
membuat altar dari sore sampai malam. Mereka berkumpul di Gedung gereja,
bercengkerama, sambil menyelesaikan tugas bersama. Memang pernah terjadi konflik
antara keluarga dan juga mas gondrong, namun itu tidak menyurutkan semangatnya
untuk berada dalam komunitas Gereja dan membuat perabotan tersebut. Proses
pembuatan perabotan tersebut menjadi kesempatan bagi beberapa umat untuk
berkumpul di gereja. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa proses
pembuatan perabotan dari bahan bambu tersebut membuat mereka mau berkontribusi
untuk kepentingan Gereja. Ada beberapa di antara mereka yang tidak begitu aktif di
liturgi, namun ketika membuat perabotan ini, mereka bersemangat karena bagi
mereka inilah kontribusi sekaligus persembahan yang bisa mereka berikan untuk
Tuhan.

Partisipasi umat semakin tampak ketika mereka diminta untuk membuat kursi
umat dari bahan bambu. Setiap keluarga yang berdasarkan instruksi dari imam,
membuat kursi untuk disumbangkan ke gereja. Hasilnya, dahulu pernah kursi umat
terbuat juga dari bambu. Namun karena masalah ketahanan bahan, “maka kursi
diganti dengan kayu. Melalui pengalaman itu, umat menyadari bahwa semua keluarga
akhirnya “berlomba” bersama keluarganya untuk memberikan yang terbaik bagi
Gereja.

Gereja Bunder menampilkan kehidupan masyarakat sebagai paguyuban atau


komunitas. Salah satu bukti nyata adalah adanya kehadiran paguyuban pengerajin
bambu. Salah satu pekerjaan mereka ialah menjadi penyambung antara pengerajin
bambu dan pasar, juga seringkali diundang untuk dekorasi manten diluar daerah
Bunder. Salah seorang umat memberikan kesaksian bahwa para pengrajin bambu juga
menjadi promotor untuk memperkenalkan seni bambu ke luar daerah Bunder. Suatu
paguyuban persekutuan tidak hanya terjadi di dalam lingkungan umat Katolik, tapi
juga bersama masyarakat sekitar. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebersamaan
ketika ada acara Asian Youth Day pada tahun 2017. Ternyata, masyarakat juga rela
membantu untuk melancarkan suksesnya acara tersebut. Umat beragama non-Kristen

13
juga membantu dalam pembuatan salib karena ada seniman yang bukan Katolik dan
juga membantu dalam persiapan live in para biarawan, biarawati, bahkan juga Uskup.
Begitu juga sebaliknya, ketika hari raya umat muslim mereka juga saling membantu
dalam ibadah kurban. Situasi inilah yang terjadi dalam masyarakat Bunder yang di
dalamnya termasuk umat Stasi bunder.

Memberi Keteladanan Hidup kepada Masyarakat

Seorang partisipan yang kami jumpai menceritakan tentang sejarah awal


berkembangnya umat di wilayah Bunder. Berkembangnya umat di Bunder berawal
dari lelaki muslim yang berporofesi sebagai guru, dan karena menikah dengan
seorang wanita Katolik, ia kemudian dibaptis. Lelaki itu adalah orang tua pak Widi,
ketua wilayah Bunder periode 2022 ini.

“Waktu itu, anak-anak bermain bola di depan rumah orangtuanya pak Widi.
Orangtuanya pak Widi suka memberi anak-anak makanan dan mengajak
bernyanyi bersama.”
Kenangnya, sambil bercerita tentang waktu pertama kali ia terkesan dengan
keluarga Katolik yang baru satu-satunya ada di wilayah Bunder itu.

“Seandainya, bapaknya pak Widi itu tidak meninggal di usia muda, pasti akan
banyak orang yang masuk Katolik, karena ia sangat disegani di masyarakat.”
Tambahnya bercerita tentang masa lalunya.
Partisipan kami itu menjadi saksi hidup keteladanan sebuah keluarga Katolik
di awal mula berkembangnya umat Bunder. Dialah salah satu anak yang kala itu
dibaptis karena terkesan dengan kemurahan hati keluarga ini. Keluarga orangtuanya
Pak Widi itu menerima mereka dengan murah hati, membagikan makanan, dan
tampak seperti orang berada secara ekonomi. Maklum, orangtuanya pak Widi adalah
seorang guru, maka keteladanan hidup di masyarakat dan pengaruhnya pasti begitu
besar.

Inilah salah satu model inkulturasi di mana yang menjadi titik tolak bukanlah
pertama-tama pewartaan Injil, tetapi pengalaman religius umat yang menangkap cara
Tuhan bertindak melalui keteladanan hidup orang lain dengan merenungkan
pengalaman keberimanannya sendiri. Fokus utama model inkulturasi ini bukanlah
menghasilkan sebuah teologi misi atau inkulturasi, tetapi untuk mengalami dan
memaknai bagaimana Tuhan diungkapkan dalam dan melalui pengalaman yang
konkrit. Pengalaman religius itu secara otentik melibatkan latar belakang budaya dan

14
sejarah hidup seseorang. Bevans mengatakan bahwa, “Pengalaman religius pribadi
secara otentik melibatkan latarbelakang budaya iman seseorang, yang dalam segala
hal merupakan produk dari sejarah, geografis, sosial dan lingkungan budaya
setempat.”16

Memberi keteladanan hidup di masyarakat adalah salah satu aspek inkulturasi


yang kami temukan di wilayah Gereja Bunder. Temuan kami ini berangkat dari
pemaknaan kami terhadap sejarah berkembangnya umat di wilayah Bunder. Makna
keteladanan itu ditangkap melalui pengalaman umat Bunder itu sendiri dalam
mengakui apa yang telah mereka hargai melalui pengalaman kebersamaan mereka di
dalam masyarakat.

“Bambu selalu bertunas, mati satu tumbuh seribu. Umat bunder sendiri yang
awalnya hanya satu sekarang jadi banyak.” Kata seorang partisipan, teringat
akan pernyataan Romo Praktik yang pernah bertugas di wilayah Bunder.
Inkulturasi tanpa budaya yang apresiatif tidak akan berbuah banyak. Budaya
apresiatif terhadap keteladanan hidup religius di suatu masyarakat justru dapat
berfungsi sebagai pintu gerbang untuk memaknai keteladanan hidup umat setempat
terhadap lingkup masyarakat yang lebih luas. Asian Youth Day, Juli 2017, menjadi
panggung umat di wilayah Bunder untuk menunjukkan kepada masyarakat yang lebih
luas mengenai keteladanan akan cinta lingkungan, cinta budaya, toleran dalam
beragama, hidup sederhana, guyub, rukun, dan gotong-royong dalam bermasyarakat.
Semua itu dimulai dari sikap apresiatif mereka terhadap ide dan gagasan untuk
menjadi manusia yang berbudaya.

“Awalnya kami tidak mau. Umat merasa tidak mampu, tapi karena
pendampingan dari Romo Yadi, umat akhirnya merasa semangat untuk
melaksanakannya. Sebluan dan dua bulan terakhir menjelang AYD, semua
masyarakat kerja bakti dan saling bantu membantu, bergotong royong untuk
membuat berbagai kreativitas dari bambu.” Tutur salah seorang partisipan
menerangkan pergulatan umat kala itu.
AYD menjadi panggung bagi umat untuk mengapresiasi budaya dan
kehidupan lokal di tengah masyarakat yang hidup dekat dengan bambu.

“AYD ini kesempatan bagi kami untuk berlomba-lomba membuat karya dari
bambu dan menunjukkan pada dunia mengenai seni bambu”. Ujar Mas
Gondrong dalam salah satu kesempatan sharing selepas Ekaristi malam
minggu, 19 November 2022.

16
Stephen Bevans, Model of Contextual Theology, (New York: Orbis Book, 2012), 104.

15
Bagi Mas Gondrong, yang memiliki tangan khas seorang pengrajin, tampak
besar-besar dan kasar, karena menganyam bambu; suasana desa dan bambu menjadi
daya tarik masyarakat. Hal ini memberi kebanggaan tersendiri bagi umat setempat.
“Mungkin nggk ada kok ter, Gereja di manalah seperti ini. Selain bambu, kami
juga mungkin dikenal karena ikatan persaudaraan kami. Karena Gereja bambu
inilah kami jadi sering menghabiskan waktu di Gereja untuk kumpul dengan
yang lain. Ada yang cari bambu, ada yang nganyam. Jadi tumbuhlah kerja
sama di dalam diri kami. Nah, inilah yang membuat kami guyub.”
Siapa sangka, kekosongan batang bambu itu bisa menjadi daya tarik bagi
masyarakat yang luas dan menjadi sarana untuk menunjukkan keteladanan umat
Bunder bagi masyarakat sekitar. Seperti batang bambu yang kosong, tetapi diletakkan
di atas akarnya yang sangat kuat, di sanalah kami mencoba memaknai spiritualitas
yang menjadi akar aspek keteladanan umat beriman di wilayah Bunder. Kami sepakat
dengan Masao Takenaka mengenai aspek spiritualitas yang paling penting dari bambu
yakni, spiritualitas kekosongan. Batang bambu yang belubang mengandung makna
spiritual yang begitu dalam, yakni soal kekosongan dan kerendahan hati di hadapan
Allah.17 Masao Takenaka merefleksikan kekosongan batang bambu ini dengan
kerendahan hati Kristus yang berkenan menjadi manusia bahkan sebagai seorang
hamba (bdk. Flp 2:7-8). Menurut Masao Takenaka, inilah kenosis yang dimaknai
sebagai humanisme Kristosentris yang menjadi perhatian Paulus bagi umat Filipi.

Kenosis dalam teks Filipi berarti ‘mengosongkan diri’ (εαυτόν έκένωσεν, 2:7). 18
Teks yang sudah umum dikenal di kalangan para teolog ini mengungkapkan dua
makna yakni, pengosongan diri Kristus dan pemuliaan-Nya. Kristologi Paulus tentang
pengosongan diri Kristus ini bukan sekadar pengajaran intelektual kepada jemaat di
Filipi. Kenosis membawa pesan pastoral bagi persoalan jemaat. Pertama, ada pewarta
yang mewartakan diri sendiri dan bukan Kristus. Kedua, jemaat lebih mengutamakan
hal-hal lahiriah seperti sunat. Ketiga, kebanggaan yang berlebih terhadap tradisi
Yahudi sehingga menganggap orang-orang yang tidak mengikuti tradisi Yahudi tidak
diselamatkan. Keempat, jemaat memandang hal duniawi sebagai yang utama.
Berhadapan dengan persoalan-persoalan itu, Paulus menyarankan kepada jemaatnya
supaya mereka mengikuti teladan Kristus yang tidak menganggap kesetaraan dengan

17
Masao Takenaka, When the Bamboo Bends - Christ and Culture in Japan, (Geneva - WWC Publicatio
n: 2002), 59.
18
Teresia Kuo-Yu Tsui, Kenosis in the Letter of Paul to the Philippians: The Way of the Suffering Philipi
an Community to Salvation, Louvain Studies, 31 (2006) 307

16
Allah sebagai yang harus dipertahankan melainkan Ia mengosongkan diri. Kristus
tidak bermegah, tetapi rendah hati.
Kerendahan hati atau dalam bahasa spiritual pengosongan diri yang direfleksikan
dari kekosongan batang bambu juga tampak dalam proses inkulturasi umat di wilayah
Bunder. Tanpa kemurahan hati yang mengalir dari kerendahan hati Kristus, umat di
Bunder tidak akan tumbuh sebanyak sekarang ini. Itulah apa yang sudah diceritakan
dalam kesaksian partisipan kami mengenai awal mula berkembangnya umat di
Bunder. Tanpa adanya kekosongan hati untuk mengapresiasi sebuah gagasan
mengenai Gereja dari bambu, kreativitas dari dari batang bambu, kerukunan umat,
serta kecintaan mereka pada alam tidak akan tersebar di masyarakat luas.

Dalam arti yang lebih dalam, kerendahan hati dari kekosongan batang bambu,
mesti menjadi “senjata” untuk melawan penambangan liar terhadap pasir. Bagi umat,
bambu adalah ‘senjata’. Namun, pemaknaan bambu sebagai senjata itu masih berlaku
dalam konteks senjata untuk melawan penjajah. Umat Bunder sadar bahwa penjajahan
yang mereka hadapi saat ini hadir dalam bentuk eksploitasi terhadap lingkungan.

“Sebetulnya dilema juga. Kehadiran tambang itu (pasir) ya menguntungkan ya


merugikan. Di satu sisi menguntungkan dalam hal ekonomi karena banyak
umat kita yang bekerja di sana dan mendapat uang lebih daripada pengrajin
bambu. Tapi di sisi lain, alam jadi rusak, ini yang menyulitkan petani desa
yang ada di sini. Karena kalau pasir itu terus digali, maka lahan kami akan
semakin habis. Tanah juga jadi tidak subur. Belum lagi, kalau air susah
dicari.”

Aspek keteladanan hidup bagi masyarakat, akhirnya haruslah mengakar pada


kristologis. Itu karena bambu yang kosong selalu ditopang oleh akar yang kuat
sehingga tidak mudah roboh kendati digoncang ke sana kemari. Kendati berhadapan
dengan tawaran ekonomi yang lebih menjanjikan, sebagian umat di Bunder tetap
bertahan atau kembali menjadi pengrajin bambu. Sebagian dari mereka adalah umat
yang telah memasuki usia senja, karena tenaga tidak kuat untuk menjadi penambang.

KESIMPULAN

Proses inkulturasi, melalui kehadiran Gereja bercorak bambu di wilayah Bunder,


Keuskupan Agung Semarang, tidak lepas dari konteks historis, budaya, dan kultur sosial
masyarakat setempat yang sebagian besar merupakan para pengrajin bambu. Budaya
ketaatan orang Jawa yang berhadapan dengan pelayanan Imam Katolik yang kreatif terkait
gagasan untuk mendirikan Gereja dengan ornamen dan perabotan dari bambu karena

17
melihat konteks umat, melahirkan suatu inkulturasi yang kontekstual. Kontekstualisasi itu
bukan hanya terkait dengan seni bambu, tetapi juga dialog dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari.

Fenomena Gereja bambu telah membantu umat Katolik di wilayah Bunder untuk
memaknai persaudaraan di antara mereka dengan semangat gotongroyong. Di balik
semangat itu, ada spiritualitas batang bambu yang mekipun kosong, tetapi bertopang pada
akar yang kuat. Itulah makna pengosongan diri dan kerendahan hati untuk saling bekerja
sama, berbagi karunia dan tenaga dalam mendekatkan diri kepada Kristus. Oleh karena itu,
inkulturasi Gereja di Indonesia penting untuk mengeksplorasi kebudayaan lokal
sebagai bagian dari identitas umat beriman. Upaya seperti itu dapat membantu umat
beriman yang hidup dalam lokalitas tertentu untuk mengembangkan hubungan yang
lebih dalam dengan Kristus.
Umat memaknai diri mereka di dalam kebersamaan dengan sesama dan alam
ciptaan melalui persembahan diri dalam membuat karya seni dari bambu bagi Gereja.
Meskipun kepedulian umat terhadap alam ciptaan sempat tergoyahkan oleh tawaran
ekonomi yang menjanjikan dari penambangan pasir ilegal, namun bambu menjadi ruang
bagi mereka untuk kembali pulang. Bambu bagi mereka menjadi ‘senjata’ karena melalui
kerajinan bambu, mereka memperoleh sumber penghasilan. Semakin sedikit umat yang
menambang pasir karena kembali beralih menjadi pengrajin bambu itu akan memberikan
keseimbangan pada alam ciptaan. Sebab, penambangan pasir liar dapat merusak ekosistem
pertanian di wilayah Bunder yang juga menjadi panggung mata pencaharian sebagian besar
masyarakat di sana.

Dengan demikian, kehadiran gereja bambu tentu berdampak dan berdaya guna
bagi masyarakat. Gereja yang dibangun dari kerajinan anyaman bambu oleh umat
setempat dimaknai sebagai ungkapan iman pada Allah. Oleh masyarakat sekitar,
gereja bambu bermakna sebagai tali pengikat persaudaraan. Gereja bambu memberi
makna kearifan lokal terhadap alam semesta. Gereja bambu juga memberi makna
keteladanan hidup pada masyarakat.

18

You might also like