Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

MODEL DAN PERANAN LEMBAGA ZAKAT

Fuadi
Dosen Fakultas Syariah dan Dakwah Universitas Serambi Mekkah
JL. Teungku Imum Lueng Bata, Banda, Batoh, Banda Aceh, Aceh (0651) 23245

ABSTRAK
Zakat adalah pensucian, pertumbuhan, dan berkah. Menurut istilah zakat berarti
kewajiban seseorang muslim untuk mengeluarkan nilai bersih dari kekayaan yang
telah mencukupi satu nisab, diberikan kepada mustahik zakat dengan beberapa
syarat yang telah ditentukan. Kelembagaan zakat pada dasarnya merupakan
aplikasi informasi yang dikuasai sumber daya manusia untuk mengatur
pekerjaannya dalam kesatuan-kesatuan kegiatan, memadu kesatuan-kesatuan
kegiatan itu menjadi sebuah struktur yang tersusun dnegan baik dan harmonis dan
membudayakan pengoperasian kegiatan-kegiatan itu menjadi bagian dari tata dan
sistem nilai manusia. Kelembagaan zakat yang meliputi administrasi, organisasi,
institusi dan tradisi termasuk bagian dari fungsi sumber daya manusia. Sehingga
kelembagaan itu merupakan manifestasi sumber daya manusia diluar dirinya
Tuntutan profesionalisme mengharuskan organisasi pengelola zakat dikelola
secara fokus dan full time. Mereka yang sehari-hari mengurus organisasi
pengelola zakat ini dinamakan Amil Zakat. Mereka inilah yang berhak atas bagian
zakat (asnaf amilin). Pemahaman terhadap konsep lembaga amil seperti Baitul
Mal, BAZ dan LAZ sebagai lembaga pengelola jarang sekali mendapat perhatian
khusus mengingat Indonesia bukan Negara Islam, maka pelaksanaan
pengumpulan zakat terpisah dari penarikan pajak dan administrasinya juga
terpisah.
Kata Kunci : Model, Peranan Lembaga Zakat

PENDAHULUAN

Zakat adalah pensucian, pertumbuhan, dan berkah. Menurut istilah zakat

berarti kewajiban seseorang muslim untuk mengeluarkan nilai bersih dari

104
kekayaan yang telah mencukupi satu nisab, diberikan kepada mustahik zakat

dengan beberapa syarat yang telah ditentukan (Andri Soemitra, 2009: 407).

Menurut Hamdan Rasyid, didalam Al-Qur’an kata zakat disebutkan sebanyak 32

kali dan sebagian besar beriringan dengan kata shalat. Bahkan jika digabung

dengan perintah untuk memberikan infak, sedekah untuk kebaikan dan memberi

makan fakir miskin maka jumlahnya mencapai 115 kali (Hamdan Rasyid, 2003:

103).

Kelembagaan zakat pada dasarnya merupakan aplikasi informasi yang

dikuasai sumber daya manusia untuk mengatur pekerjaannya dalam kesatuan-

kesatuan kegiatan, memadu kesatuan-kesatuan kegiatan itu menjadi sebuah

struktur yang tersusun dnegan baik dan harmonis dan membudayakan

pengoperasian kegiatan-kegiatan itu menjadi bagian dari tata dan sistem nilai

manusia. Kelembagaan zakat yang meliputi administrasi, organisasi, institusi dan

tradisi termasuk bagian dari fungsi sumber daya manusia. Sehingga kelembagaan

itu merupakan manifestasi sumber daya manusia diluar dirinya (Safwan Idris,

1997: 272).

Selain itu dalam pengelolaan harta zakat dibutuhkan amil zakat yaitu

semua pihak yang bertindak mengerjakan segala hal yang berkaitan dengan

pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran harta zakat.

Mereka juga mempunyai wewenang untuk memungut dan membagikan serta

tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran masyarakat tentang

hukum zakat, menerangkan sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar

zakat dan mereka yang mustahik, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta

105
menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan UU No. 38 Tahun 1999

tentang pengelolaan zakat pada bab III pasal 6 dan 7 dilaksanakan oleh BAZ dan

LAZ (Andri Soemitra, 419-425).

Tuntutan profesionalisme mengharuskan organisasi pengelola zakat

dikelola secara fokus dan full time. Mereka yang sehari-hari mengurus organisasi

pengelola zakat ini dinamakan Amil Zakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa amil

zakat adalah profesi, sebagaimana profesi-profesi lain. Mereka inilah yang berhak

atas bagian zakat (asnaf amilin). Pemahaman terhadap konsep lembaga amil

seperti Baitul Mal, BAZ dan LAZ sebagai lembaga pengelola jarang sekali

mendapat perhatian khusus mengingat Indonesia bukan Negara Islam, maka

pelaksanaan pengumpulan zakat terpisah dari penarikan pajak dan administrasinya

juga terpisah (Ali Hasan, 2008: 96).

LANDASAN TEORI

1. Pengertian Zakat

Zakat sendiri secara etimologi berasal dari kata kerja dasar (fi’il madhi)

zakat, yang berarti, tumbuh dan berkembang (zaka al-zar’: tanaman itu telah

berkembang), memberi berkah (zakat al-na- faqal: pemberian nafkah itu telah

memberikan ber- kah), bertambah kebaikannya (fulan zaak: orang yang

bertambah kebaikannya), menyucikan (qad aflaha man zakkabu: beruntunglah

orang yang mampu me- nyucikan jiwanya), serta menyanjung (fala tazku an-

fusakum: jangan sekali-kali kamu menyanjung dirimu sendiri (Muhammad al-

Syarbani, 1976: 183).

Sementara secara terminologi, Sayyid Sabiq mendefinisikannya sebagai

106
suatu predikat untuk jenis barang yang dikeluarkan manusia, sebagai hak Allah,

untuk dibagikan kepada fakir-miskin. Definisi serupa juga dikemukakan oleh

Muhammad Zuhri al-Ghamrani, yakni bentuk predikat untuk suatu barang dalam

kadar tertentu yang dikeluarkan guna men- sucikan harta dan jasmani manusia;

sesuai dengan firman Allah: ”Ambillah zakat dari harta mereka untuk

membersihkan dam mensucikan mereka” (Q.S. al- Taubah: 103).

Sedangkan Taqiyyuddin Abu Bakar ibn Muhammad mendefinisikannya

sebagai suatu predikat untuk menyebut kadar jumlah barang tertentu yang

diberikan kepada golongan yang telah ditentukan dengan persyaratan tersendiri.

Menurutnya, pemakaian istilah zakat dalam syari’at Islam mengandung arti

metafisis, yakni, agar benda yang dikeluarkan oleh umat Islam dapat bertambah

secara berlipat ganda, sebagaimana dikehendaki Allah dalam Q.S. Ar-Ruum: 39

”Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu mak- sudkan untuk

mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang

yang melipat gandakan (pahalanya)”.

2. Model dan Peran Lembaga Zakat

1. Baitul Mal

Fungsi Baitul Mal secara jelas telah banyak diungkapkan baik pada masa

Rasulullah SAW maupun pada masa kekhalifahan setelah Beliau wafat Namun

secara konkrit pelembagaan Baitul Mal bar dilakukan pada masa Umar Bin

Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami

perubahan. Lembaga Baitul Mal itu berpusat di ibukota Madinah dan memiliki

cabang di provinsi-provinsi wilayah. Sebagaimana kita ketahui Rasulullah SAW

107
merupakan kepala Negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang

keuangan Negara di abad ke tujuh. Semua hasil penghimpunan kekayaan Negara

harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan

kebutuhan Negara. Tempat pusat pengumpulan dana tersebut bernama bait al-mal,

pada masa Rasulullah terletak di Mesjid Nabawi (Euis Amalia, 78).

Menurut Muhammad Saad baitul mal yang dibentuk Umar bin Khothab

yaitu (Wardi A. Wahab, 2007: 67):

a. Baitul mal zakat

b. Baitul mal pajak dan cukai

c. Baitul mal harta rampasan perang

d. Baitul mal untuk barang-barang yang tidak ada pemiliknya.

Badan Baitul Mal merupakan salah satu lembaga zakat yang telah menjadi

lembaga permanen yang berfungsi sebagai pemungut, penyalur dan pengawal

harta zakat (Armiadi, 2008: 189). Sebagai lembaga pengelola zakat, Baitul Mal

dibentuk oleh pemerintah dan harus bersifat independen, netral, non politik

(Bukan organisasi politik). Dalam arti tidak mempunyai ketergantungan kepada

orang – orang tertentu atau lembaga lain, dalam menjalankan aktivitasnya tidak

hanya menguntungkan golongan tertentu saja, tidak diskriminasi, legalitas serta

melakukan aliansi strategis dengan berbagai pihak, baik dalam pencarian dana,

penyaluran dan publikasi (Armiadi, 204 – 205).

Dalam manajemennya, baitul mal memiliki fungsi yang terdiri dari lima

aktivitas dasar, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian,

penunjukan/pelantikan staf dan pengendalian. Bagi suksesnya institusi ini, baitul

108
mal perlu memadukan manajemen rasional dengan budaya yang positif untuk

mencapai kemajuan (Armiadi, 200).

Adapun Peranan Baitul Mal diantaranya sebagai berikut :

a. Menampung sumber penerimaan negara dan mendistribusikannya

ke berbagai sektor.

b. Pengelolaan keuangan negara langsung di bawah pengawasan

Rasulullah dengan sekretaris khusus.

c. Sebagian beasar disalurkan untuk kebutuhan ekonomi, sosial dan

budaya.

d. Sistem distribusi yang sangat fleksibel (tidak birokratis)

2. Badan Amil Zakat (Baz)

Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelolaan zakat yang dibentuk oleh

pemerintah, yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas

mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan

ketentuan agama (Andri Soemitra, 419).

a. Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ)

Pembentukan Badan Amil Zakat merupakan hak otoritatif pemerintah,

sehingga hanya pemerintahlah yang berhak membentuk BAZ, baik untuk tingkat

nasional sampai tingkat kecamatan. Di semua tingkatan tersebut memiliki

hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif. Badan Amil

Zakat dibentuk sesuai dengan tingkatan wilayahnya masing – masing, yaitu

(Andri Soemitra, 419):

a) Nasional dibentuk oleh presiden atas usulan menteri;

109
b) Daerah Provinsi dibentuk oleh gubernur atas usul kepala kantor

wilayah departemen agama provinsi;

c) Daerah kabupaten atau daerah kota dibentuk oleh bupati atau

walikota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten

atau kota; dan

d) Kecamatan dibentuk oleh camat atas usul kepala kantor urusan

agama kecamatan.

b. Pengurus dan Unsur Organisasi BAZ

Dalam kepengurusan BAZ terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah

yang memenuhi persyaratan tertentu. Seperti yang dijelaskan dalam Keputusan

Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang – Undang

Nomor 38 Tahun 1999, yaitu unsur masyarakat terdiri dari ulama, kaun cendekia,

tokoh masyarakat, dan tenaga professional (Pasal 2 Ayat 2) (Andri Soemitra,

420). Adapun dalam organisasinya BAZ terdiri atas unsur pelaksana,

pertimbangan, dan pengawasan yang memiliki susunan organisasi sebagai berikut

(Didin Hafidhuddin, 2002: 130):

a) Badan Pelaksana meliputi unsur ketua, sekretaris, bagian

keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian dan

pendayagunaan berfungsi sebagai pelaksana pengelola zakat.

b) Dewan Pertimbangan meliputi unsur ketua, sekretaris dan

anggota yang berfungsi Memberikan pertimbangan, fatwa,

saran, dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi

110
Pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi

aspek syariah dan manajerial (Didin Hafidhuddin, 2002: 131).

c) Komisi Pengawasan meliputi unsur ketua, sekretaris dan

anggota berfungsi sebagai pengawas internal lembaga atas

operasional kegiatan yang dilaksanakan badan pelaksana.

d) Masa tugas kepengurusan Badan Amil Zakat adalah selama 3

(tiga) tahun (Pasal 13 Keputusan Menteri Agama).

c. Kewajiban Badan Amil Zakat

Setelah terbentuk secaa resmi, Badan Amil Zakat mempunyai kewajiban

yang harus dilaksanakan, yaitu (Andri Soemitra, 420 – 421):

a) Segera melakukan kegiatan sesuai program kerja yang telah

dibuat.

b) Menyusun laporan tahunan termasuk laporan keuangan

c) Mempublikasikan laporan keungan tahunan yang telah diaudit

oleh akuntan publik atau lembaga pengawas pemerintah yang

berwenag melalui media massa sesuai dengan tingkatannya,

selambat-lambatnya enam bulan setelah tahu buku berakhir.

d) Menyerahkan laporan tahunan tersebut kepada pemerintah dan

Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tingkatannya.

e) Merencanakan kegiatan tahunan.

f) Mengutamakan pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat

yang diperoleh di daerah masing-masing sesuai dengan

tingkatannya.

111
d. Pembubaran BAZ

Jika para pengelola Badan Amil Zakat tidak melaksanakan kewajiban

sebagaiamana tersebut di atas, maka keberadaaannya dapat ditinjau ulang.

Mekanisme peninjauan ulang ini dilakukan dengan beberapa tahapan (Andri

Soemitra, 421):

a) Diberikan peringatan tertulis oleh pemerintah yang

membentuknya sebanyak maksimal tiga kali.

b) Jika peringatan telah diberikan sebanyak tiga kali dan tidak ada

perbaiikan, pembentukan Badan Amil Zakat tersebut ditinjau

ulang serta pemerintah dapat membentuk kembali Badan Amil

Zakat dengan susunan pengurus baru, sesuai dengan susunan

pengurus baru, sesuai mekanisme yang berlaku.

3. Lembaga Amil Zakat (Laz)

Sebelum berlakunya undang-undang pengelolaan zakat, sebenarnya fungsi

dari pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat, telah eksis terlebih

dahulu ditengah-tengah masyarakat. Menurut Undang-undang lembaga amil zakat

ini adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa

masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak dibidang dakwah, pendidikan

sosial, dan kemaslahatan umat Islam (Andri Soemitra, 422). Sebagai organisasi

yang tumbuh dari masyarakat, struktur organisasi Lembaga Amil Zakat terus

berbenah sesuai dengan situasi dan kondisinya. Lembaga Amil Zakat tetap efisien

dan efektif meski kegiatannya terus berkembang, sehingga lembaga ini tetap sadar

112
untuk tidak terjebak dalam kompleksitas keragaman kegiatan (Eri Sudewo,

2004:165).

Secara substansial, organisasi Lembaga Amil Zakat memang jauh lebih

luwes ketimbang Badan Amil Zakat. Banyak hal yang mengkondisikan lembaga

ini bisa lebih leluasa mengembangkan organisasinya. Karena tidak dihadang

tradisi birokrasi pemerintah, di masyarakat menyediakan banyak pilihan untuk

pengembangan organisasi dalam SDM yang cukup baik dari sisi kuantitas maupun

kualitas (Eri Sudewo, 2004: 282).

a. Pengesahan atau Pengukuhan Lembaga Amil Zakat

Untuk dapat dikukuhkan oleh pemerintah, sebuah Lembaga Amil Zakat

harus memenuhi dan melemparkan melampirkan persyaratan sebagai berikut:

- Akte pendirian (berbadan hukum).

- Data muzakki dan mustahuk.

- Daftar susunan pengurus.

- Rencana program kerja jangka pendek, jangka menengah,

jangka menengah, dan jangka panjang.

- Neraca atau laporan posisi keuangan.

- Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.

Hanya Lembaga Amil Zakat yang telah dikukuhkan oleh pemerintah saja

yang diakui bukti setoran zakatnya sebagai pengurang penghasilan kena pajak dari

muzakki yang membayar dananya. Bentuk badan hukum untuk Lembaga Amil

Zakat, yaitu yayasan, karena Lembaga Amil Zakat termasuk organisasi nirlaba,

113
dan badan hukum yayasan dalam melakukan kegiatannya tidak berorientasi untuk

memupuk laba.

b. Kewajiban Lembaga Amil Zakat

Setelah dapat pengukuhan, Lembaga Amil Zakat memilki kewajiban

sebagai berikut (Andri Soemitra, 423):

- Segera melakukan kegiatan sesuai dengan progaram kerja

yang telah dibuat

- Menyusun laporan, termasuk laporan keuangan.

- Mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit

melalui media massa.

- Menyerahkan laporan kepada pemerintah.

c. Pencabutan Pengukuhan Lembaga Amil Zakat

Jika sebuah Lembaga Amil Zakat tidak lagi memenuhi persyaratan

pengukuhan dan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana di atas,

pengukuhannya dapat ditinjau ulang bahkan sampai dicabut. Mekanisme

peninjauan ulang terhadap Lembaga Amil Zakat dilakukan dengan memberikan

pperingatan tertulis sampai tiga kali. Bila tiga kali diperingatkan secara tertulis

tidak ada perbaikan, akan dilakukan pencabutan pengukuhan. Pencabutan

pengukuhan tersebut akan mengakibatkan hilangnya hak pembinaan,

perlindungan, dan pelayanan dari pemerintah, tidak diakuinya bukti setoran zakat

yang dikeluarkannya sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan tidak dapat

melakukan pengumpulan dana zakat.

114
4. Pengembangan Harta Zakat

Apabila zakat diwajibkan pada harta yang berkembang dengan lima jenis

harta yang wajib dan delapan kelompok yang berhak menerimanya. Hal seperti ini

dapat dikiaskan bahwa kewajiban zakat merupakan usaha pengembangan bagi kita

yang mengharapkan kemajuan Negara Islam. Apabila keuntungan pada usaha

produksi dibagikan kepada factor-faktor pendukung dan saham-saham yang

menjadi modal, keuntungan pada sistem zakat dibagikan kepada delapan

kelompok yang berhak menerima zakat (Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly,

2006: 137–138).

Dalam pengembangan harta zakat dapat dilakukan melalui pendekatan

demokratis dan pendekatan dialogis. Untuk masyarakat yang pluralitas seperti ini

pendekatan demokratis dianggap sebagai pendekatan yang sangat tepat dalam

menghidupkan dan memberdayakan gerakan zakat yang berdasarkan kepada

nilai–nilai kerakyatan, kebersamaan, persaudaraan, keterbukaan, toleransi,

keadilan dan saling menghargai. Sementara pendekatan dialogis dapat berupa

penyuluhan, pencerahan dan penyadaran zakat (Safwan Idris, 179–211).

Tidak dapat dipungkiri bahwa zakat dalam usahanya menutupi kebutuhan

kelompok-kelompok yang berhak akan harta zakat mempunyai bentuk minimal

dalam mewujudkannya. Zakat juga menggabungkan antara sarana, tujuan dan

gerakan pengembangan. Dalam kaidah pendikotomian zakat yang disyariatkan

agama Islam dengan pengambilan harta zakat dari orang-orang kaya dan

kemudian diberikan kepada orang–orang miskin agar tercapai pengembangan

daerah dan masyarakatnya terjamin. Hal ini sesuai dengan hadis Muadz Ibn Jabal

115
ketika dia diutus oleh Nabi Muhammad SAW ke Yaman dan diperintahkan untuk

mengambil harta zakat dari orang-orang yang kaya dan membagikannya kembali

kepada orang-orang yang miskin. Hal seperti ini juga dilakukan pada

kepemimpinan Umar Ibn Khattab r.a. pendikotomian zakat adalah kebijaksanaan

agama yang positif untuk menggerakkan dan menggabungkan kekuatan tingkat

produksi pada masyarakat. Sehingga terwujudnya tujuan dan munculnya kembali

sarana yang hilang dalam praktik pengembangan harta zakat pada masyarakat

modern sekarang ini (Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly, 139-140).

Sehingga potensi zakat yang actual sangat terkait dengan ketentuan-

ketentuan hukum tentang kekayaan yang wajib dizakatkan dan tingakt

perkembangan ekonomi masyarakat Islam (Safwan Idris, 258).

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan, maka dapat diambil

beberapa kesimpulan diantaranya :

a. Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga amil zakat (LAZ) dan Badan Amil

Zakat (BAZ) bisa diberikan secara konsumtif untuk keperluan memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari dan bisa pula secara produktif untuk

meningkatkan usaha yang dilakukan oleh para mustahik. Dengan cara ini

mudah-mudahan zakat bukan sekadar dibagikan habis kepada mustahik,

melainkan dapat menggugah kesadaran mereka untuk meningkatkan

kehidupannya melalui kegiatan usaha sendiri.

b. Struktur organisasi Badan Amil Zakat terdiri dari tiga bagian, yaitu Dewan

Pertimbangan, Komisi Pengawas, dan Badan Pelaksana. Sedangkan

116
Lembaga Amil Zakat yang telah dikukuhkan oleh pemerintah saja yang

diakui bukti setoran zakatnya sebagai pengurang penghasilan kena pajak

dari muzakki yang membayar dananya. Bentuk badan hukum untuk

Lembaga Amil Zakat, yaitu yayasan, karena Lembaga Amil Zakat

termasuk organisasi nirlaba, dan badan hukum yayasan dalam melakukan

kegiatannya tidak berorientasi untuk memupuk laba.

c. Dalam pengembangan harta zakat dapat dilakukan melalui pendekatan

demokratis dan pendekatan dialogis. Untuk masyarakat yang pluralitas

seperti ini pendekatan demokratis dianggap sebagai pendekatan yang

sangat tepat dalam menghidupkan dan memberdayakan gerakan zakat

yang berdasarkan kepada nilai-nilai kerakyatan, kebersamaan,

persaudaraan, keterbukaan, toleransi, keadilan dan saling menghargai.

Sementara pendekatan dialogis dapat berupa penyuluhan, pencerahan dan

penyadaran zakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly, Ekonomi Zakat : Sebuah Kajian Moneter
dan Keuangan Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006)

Abdurrachman Qadir (2001). Zakat (Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial), ed.1,
cet.2. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ahmad M. Saefuddin (1987). Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam.


Edisi 1. Jakarta: CV Rajawali.

Ali Hasan, Zakat dan Infak : Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di
Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2008).

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana


Prenata Media Group, 2009).

Armiadi, Zakat Produktif : Solusi Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat,


(Banda Aceh : Ar-Raniry Press, 2008).
117
Bhuono Agung Nugroho (2005). Strategi Jitu Memilih Statistik Penelitian dengan
SPSS. Edisi 1. Yogyakarta: Andi Offset.

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003). Metodologi Penelitian. cetakan 5.


Jakarta: Bumi Aksara.

Didin Hafidhhuddin (2002). Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema


Insani.

Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta : Gema Insani


Press, 2002).

Eri Sudewo, Manajemen Zakat, (Jakarta : Institut Manajemen Zakat, 2004)

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok : Gramata Publishing,


tt).

Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia, Cet.I, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003).

Imam Ghozali (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.


Edisi ke 3. Semarang: UNDIP Press.

Jonathan Sarwono (2007). Analisis Jalur untuk Riset Bisnis dengan SPSS. Ed 1.
Yogyakarta: Andi Offset.

Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat, JURNAL EKONOMI ISLAM,


Vol. II, No. 1, Juli 2008.

Moehar Daniel Ms. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. cetakan ke.2. Jakarta:
Bumi Aksara.

Muhammad dan Ridwan Mas’ud (2005). Zakat dan Kemiskinan Instrumen


Pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogyakarta: UII Press.

Muhammad Daud Ali (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. cetakan 1.
Jakarta: UI Press.

Muhammad Ridwan (2005). Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet 2.


Yogyakarta: UII Press.

Nachrowi Djalal Nachrowi, dan Hardius Usman (2005). Penggunaan Teknik


Ekonometrika. Edisi revisi. Jakarta: Raja grafindo Persada. Proyek
Pembinaan Zakat dan Wakaf (1982). Pedoman Zakat (4). Jakarta:
Departemen Agama.

Rifqi Muhammad (2006). Akuntansi Lembaga Keuangan Publik Islam, Modul


Mata Kuliah. Yogyakarta: FIAI UII.

118
Safwan Idris, Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Ummat, (Jakarta :
PT. Cita Puga Bangsa, 1997).

Soehadi (1999). Pengantar Metodelogi Penelitian Sosial Bisnis Manajemen.


Yogyakarta: Lukman Offset.

Suharsimi Arikunto (1998). Prosedur Penelitian(suatu pendekatan praktek), cet.


11. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sukandarrumidi (2002). Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis untuk Peneliti


Pemula. cetakan 1. Yogyakarta: UGM Press.

T. Gilarso (2002). Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro, Cet ke 9. Yogyakarta:


Kanisius.

Wardi A. Wahab, Peran Kelembagaan Amil Zakat Pada Periode Awal Islam,
(Banda Aceh : Ar-Raniry Press, 2007).

119

You might also like