Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

TANTANGAN PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DAN

PENDEKATANNYA DALAM MENGHADAPI TUNTUTAN


KOMPETENSI DI ERA MODERN
Muhammad Farid Anfasa
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
anfasafarid410@gmail.com
Abstract: Islamic religious education currently faces complex challenges from both
internal and external factors. To effectively respond to these challenges and demands,
Islamic religious education needs to develop strategies that enable the formulation of
relevant curricula capable of competing with the changes of the times. The objective
of this research is to provide information on the challenges and demands faced by
contemporary Islamic religious education and the strategies that can be used in
curriculum development. This study is a qualitative investigation conducted through
literature review. The research findings indicate that Islamic religious education
currently faces challenges from both internal and external perspectives. Internal
challenges include achieving the eight national education standards, addressing the
population growth that leads to a demographic bonus, and addressing issues related
to students' character. Islamic religious education is also required to prepare human
resources with competencies that align with the demands of the modern era, thereby
producing graduates who can thrive and compete in a modern context. On the other
hand, external challenges are more future-oriented, such as preparing Islamic
religious education to be relevant to societal needs, developments in technology and
information, growth in the creative and cultural sectors, and the internationalization
of education, including the concept of a World-class University. By understanding
these challenges and demands, Islamic religious education can formulate appropriate
strategies for curriculum development. These strategies should consider relevant
internal and external factors concerning the future, ensuring that Islamic religious
education remains relevant, responsive, and competitive in the face of changing times.
Keywords: Challenges Curriculum Development, Curriculum Building, Modern
Competence

Abstrak: Pendidikan Agama Islam saat ini menghadapi tantangan yang kompleks baik
dari faktor internal maupun eksternal. Untuk dapat merespons tantangan dan tuntutan
ini, Pendidikan Agama Islam perlu mengembangkan strategi yang memungkinkannya
untuk merumuskan kurikulum yang relevan dan dapat bersaing dengan perubahan
zaman. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai tantangan
dan tuntutan yang dihadapi oleh Pendidikan Agama Islam era kontemporer serta
strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Penelitian ini
merupakan kajian kualitatif yang dilakukan berdasarkan penelusuran literatur. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan Agama Islam saat ini menghadapi
tantangan dari segi internal dan eksternal. Tantangan internal meliputi pencapaian
delapan standar nasional pendidikan, pertumbuhan penduduk yang menghasilkan
bonus demografi, dan permasalahan terkait karakter peserta didik. Pendidikan Agama
Islam juga dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang memiliki
kompetensi sesuai dengan tuntutan zaman modern, sehingga menghasilkan alumni
yang mampu bertahan dan bersaing dalam era Modrn. Sementara itu, tantangan
eksternal lebih terkait dengan masa depan, seperti persiapan pendidikan Agama Islam
yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan teknologi dan informasi,
pertumbuhan sektor kreatif dan budaya, serta internasionalisasi pendidikan seperti
konsep World-class University. Dengan memahami tantangan dan tuntutan ini,
Pendidikan Agama Islam dapat merumuskan strategi yang tepat dalam pengembangan
kurikulum. Strategi tersebut harus mempertimbangkan faktor-faktor internal dan
eksternal yang relevan dengan masa depan, sehingga pendidikan Agama Islam dapat
tetap relevan, responsif, dan kompetitif dalam menghadapi perubahan zaman.
Kata Kunci: Tantangan Pengembangan Kurikulum, Curiculum Building, Kompetensi
Era Modern

A. Pendahuluan
Pendidikan Agama Islam dianggap sebagai sebuah sistem yang melibatkan
hubungan antara komponen-komponen yang berbeda untuk mencapai tujuan
tertentu.1 Namun, saat ini Pendidikan Agama Islam menghadapi tantangan yang
kompleks, baik dari internal maupun eksternal. Secara internal, tantangan
tersebut meliputi profesionalitas pendidik, kurikulum, dan lain sebagainya.
Sedangkan tantangan eksternal berkaitan dengan bagaimana Pendidikan Agama
Islam dapat bertahan menghadapi orientasi kontemporer dan masa depan.
Meskipun secara historis, pendidikan Agama Islam memiliki peran dalam
membentuk pribadi manusia yang utuh secara jasmani dan rohani, namun
pelaksanaannya dalam institusi dan sistem pendidikan tidak selalu mencapai
harapan yang diinginkan. Dengan kata lain, ada beberapa masalah yang
menghambat sistem pendidikan dalam mencapai tujuannya.2 Salah satu masalah
internal adalah bahwa meskipun secara formal dan teoritis, pendidikan Islam
dianggap memberikan kontribusi pada peserta didik dalam hal kecerdasan
intelektual yang baik, namun tidak semua peserta didik dapat menerapkan
pengetahuan kognitif yang mereka miliki dalam bentuk amal dan prilaku. Ini
menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual peserta didik tidak selalu sejalan
dengan implementasi nilai-nilai dan ajaran yang diajarkan dalam Pendidikan
Agama Islam.
Hal ini tercermin dari penurunan moral yang dialami oleh peserta didik dan
remaja dalam kehidupan nyata, dan menjadi dasar dalam mengevaluasi perlunya
perbaikan dalam berbagai aspek Pendidikan Agama Islam. Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan Islam belum efektif dalam mengintegrasikan kecerdasan dan
penerapan nilai-nilai bagi peserta didik.3 Masalah ini secara tidak langsung
mengindikasikan bahwa Pendidikan Agama Islam saat ini menghadapi tantangan
yang berasal tidak hanya dari internal pendidikan Agama Islam, tetapi juga dari
faktor eksternal. Ini mendorong perlunya melakukan perbaikan melalui
pengembangan dan pembinaan kurikulum yang ada, dengan tujuan mencapai
tujuan pendidikan Agama Islam untuk mencetak insan al-kaamil, yaitu individu
yang seimbang antara pengetahuan dan amal.4 Terutama, pendidikan Agama
Islam yang dirumuskan oleh KH. Ahmad Dahlan menjadi lebih relevan dengan
tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi sosial-ekonomi

1
Mahmud, Pemikran pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2019), hlm. 99
2
Idris & Mokodensho, Model Pendidikan Islam Progresif. J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 7(2),
72–86, 2021, hlm. 73
3
Hasan Baharun, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Nurja, 2017), hal.
284
4
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017), hlm. 64
masyarakat saat ini. Pendidikan Agama Islam dianggap sebagai upaya untuk
membentuk individu Muslim yang memiliki karakter yang utuh, pemahaman
agama yang mendalam, berilmu, memahami persoalan dunia, dan mampu
mendorong kemajuan masyarakatnya.5 Oleh karena itu, pengembangan dan
pembinaan kurikulum menjadi hal yang sangat penting bagi pendidikan Agama
Islam secara keseluruhan.
Menurut Sukiman dalam Nurgiantoro menjelaskan bahwa terdapat dua
istilah yang berbeda dalam program perumusan kurikulum. Pertama,
"Curriculum development" mengacu pada kegiatan menghasilkan kurikulum.
Kedua, "Curriculum building" adalah kegiatan penyempurnaan kurikulum yang
sudah ada berdasarkan evaluasi yang telah divalidasi, dengan tujuan
menghasilkan kurikulum yang lebih baik.6 Meskipun ada perbedaan istilah dalam
pengembangan kurikulum, hal tersebut bukanlah inti dari tujuan pendidikan
Agama Islam. Paling penting adalah bagaimana pendidikan Agama Islam mampu
merumuskan dan mempersiapkan kurikulum yang relevan dan integral dengan
pengetahuan serta tuntutan perkembangan zaman. Namun, penting untuk dicatat
bahwa hal ini tidak akan berhasil tanpa melakukan pembinaan profesionalisme
pada para pengembang kurikulum, seperti para pendidik di lembaga pendidikan.
Menurut Auedray dan Howard, yang dijelaskan oleh Oemar Hamalik,
pengembangan kurikulum didefinisikan sebagai "Curriculum development" is
defined as "the preparation of learning opportunities aimed at achieving certain
goals in students, as well as the assessment of the extent to which these goals
have been achieved." Definisi ini menekankan bahwa kurikulum tidak hanya
berkaitan dengan kualitas dan relevansi materi yang disampaikan, atau hanya
tentang jumlah peserta didik. Namun, kurikulum harus lebih fokus pada ide
bahwa komponen-komponen pendidikan saling terhubung secara relevan dan
dapat dikontekstualisasikan dengan kemajuan dan perubahan yang dibutuhkan
oleh peserta didik setelah mereka menyelesaikan pendidikan. Dengan kata lain,
pengembangan kurikulum berfungsi untuk mengukur, memahami, dan menilai
sejauh mana kemajuan yang dicapai oleh peserta didik. Inilah yang dimaksud
dengan "Learning opportunity" (kesempatan belajar) dalam definisi tersebut,
bahwa membentuk pengalaman belajar dalam pengembangan kurikulum berarti
membangun hubungan antara komponen-komponen pendidikan yang
diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran, dengan harapan dapat
membawa peserta didik menuju tujuan yang diharapkan.7 Pengalaman belajar
merupakan inti dari kurikulum. Ternyata, pengalaman belajar memiliki pengaruh
signifikan dalam mematangkan peserta didik, tidak hanya dalam penguasaan
ranah kecerdasan mereka, tetapi juga dalam bagaimana mereka membangun
hubungan sosial di dalam sekolah, bekerja dalam kelompok, berinteraksi dengan
lingkungan fisik, dan hal-hal lainnya.

5
Zetty Azizatun Ni’mah, Genealogi Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: Madani,
2017), hal. 61
6
Sukiman, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015),
hlm. 6
7
Oemar Hamalik, Manajemen Pegembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012),
hlm. 97
Ketika terjadi kesenjangan dalam mencapai tujuan pendidikan, fokus utama
perhatian harus diberikan pada pengembangan kurikulum. Artinya, inti dari
masalah kesenjangan tersebut terletak pada pengembangan kurikulum, baik
dalam sistem maupun ruang lingkupnya. Hal ini dikarenakan pencapaian
kompetensi dan keberhasilan pengalaman belajar peserta didik merupakan hasil
dari kegiatan pengembangan kurikulum. Hasan Baharun mengomentari bahwa
masalah dalam mencapai tujuan pendidikan sering kali disebabkan oleh dominasi
kebijakan politik dalam pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam,
sehingga rumusan kurikulum menjadi lebih dipengaruhi oleh faktor politik
daripada memperhatikan tujuan berdasarkan filosofi-pedagogis. Dampaknya
terlihat pada implementasi dan formulasi pembelajaran di lembaga pendidikan.8
Hal ini seharusnya tidak terjadi karena pengembangan kurikulum yang terpusat
pada kebijakan politik akan membatasi rumusan kurikulum yang seharusnya
lebih mempertimbangkan kebutuhan yang kontekstual sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan lapangan.
Oemar Hamalik mengungkapkan bahwa pengembangan kurikulum yang
dinamis diharapkan dapat merespons tuntutan struktural pemerintah, seperti
kebijakan yang ditetapkan oleh gubernur, bupati, dan pemerintah daerah,
termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama
yang bertanggung jawab atas pendidikan di daerah masing-masing yang biasanya
memiliki pengaruh terhadap aspek ide kurikulum. Terkait dengan hal tersebut,
pengembangan kurikulum diharapkan dapat relevan dengan perkembangan
IPTEK (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Komunikasi) serta era kontemporer
yang terus berkembang tanpa adanya intervensi kepentingan. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum harus berfokus pada tujuan kurikulum, yaitu relevansi
kurikulum dengan IPTEK dan tuntutan masyarakat dari waktu ke waktu. Ketiga
tuntutan ini, yaitu tuntutan struktural pemerintah, perkembangan IPTEK, dan
tuntutan zaman, harus terintegrasi dan terus terhubung dalam pengembangan
kurikulum sebagai langkah awal dalam merumuskan pengembangan kurikulum
dan sebagai indikator keberhasilan suatu kurikulum.9
Penelitian ini bertujuan untuk menyumbangkan pengetahuan dalam domain
ilmiah terkait tantangan dan tuntutan yang dihadapi oleh Pendidikan Agama
Islam di era kontemporer, serta strategi yang dapat digunakan untuk
meresponsnya melalui pengembangan kurikulum. Melalui tulisan ini, diharapkan
dapat memberikan informasi yang berguna sebagai pertimbangan atau dasar
untuk mencapai kesimpulan dan merumuskan strategi menghadapi tantangan dan
tuntutan yang dihadapi oleh pendidikan Islam saat ini. Dengan memulai dari hal
ini, fokus pembahasan dalam jurnal ini adalah menganalisis tantangan dan
tuntutan yang dihadapi oleh Pendidikan Agama Islam di era modern saat ini, serta
bagaimana Pendidikan Islam itu sendiri dapat merumuskan strategi dalam
menanggapi tantangan tersebut.

8
Hasan Baharun, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka Nurja, 2017), hal.
285
9
R. Rusdi, Kurikulum Perencenaan, Implementasi, Evaluasi, Inovasi dan Riset, (Bandung: Alafabeta,
2017) hlm. 244
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis kepustakaan.
Sumber data yang digunakan adalah informasi yang diperoleh dari berbagai karya
ilmiah yang relevan dengan topik penelitian yang dilakukan.10 Beberapa sumber
yang digunakan antara lain "Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik" oleh
Hasan Baharun, "Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik" oleh Nana
Syaodih Sukmadinata, "Pengembangan Kurikulum di Perguruan Tinggi" oleh
Sukiman, "Manajemen Pengembangan Kurikulum" oleh Oemar Hamalik, serta
buku-buku dan artikel jurnal ilmiah lainnya yang reputasinya diakui dan relevan
dengan tema penelitian. Proses pengumpulan data dilakukan dengan mencari dan
mengumpulkan sumber data yang sesuai dengan tema penelitian. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis berdasarkan tingkat relevansi dan keterkaitannya
dengan tantangan pengembangan kurikulum di era masa depan. Setelah semua
data terkumpul, dilakukan analisis data yang meliputi pengumpulan data,
penyajian data, kondensasi data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi. Dengan
menggunakan metode tersebut, penelitian ini berusaha untuk menyajikan
informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai tantangan dan
tuntutan yang dihadapi oleh Pendidikan Islam era kontemporer, serta strategi
yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum sebagai respons terhadap
tantangan tersebut.

C. Hasil dan Pembahasan


1. Tantangan Pengembangan Kurikulum PAI
Perkembangan zaman yang terus berubah hingga mencapai era
globalisasi saat ini telah menghadirkan tantangan bagi pendidikan secara
umum dan Pendidikan Islam secara khusus. Dalam era Society 5.0 yang
menekankan lapangan kerja berbasis teknologi, dunia pendidikan harus
mampu beradaptasi dan merespons kebutuhan zaman. Tuntutan utama adalah
mencetak lulusan yang memiliki daya saing di pasar kerja dan mampu
berkontribusi dalam membangun masyarakat madani. Pertumbuhan dalam
kedua dimensi tersebut, yaitu dunia kerja dan masyarakat, harus
dipertimbangkan sebagai langkah awal untuk mempersiapkan peran
pendidikan yang signifikan di kedua wilayah tersebut.11
Pendidikan Agama Islam menghadapi tantangan yang semakin besar
dan kompleks di masa depan sebagai akibat perkembangan zaman.12 Ketika
melihat kondisi pendidikan Agama Islam saat ini, tantangan yang
dihadapinya berasal dari internal dan eksternal pendidikan. Tantangan
internal adalah tantangan yang terdapat di dalam komponen dan sistem
pendidikan Agama Islam itu sendiri. Beberapa hal yang menjadi tantangan di

10
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2019), hlm. 127
11
Muslih, Upaya Pengembangan Kurikulum Prodi S . 2 Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN
Walisongo Semarang Muslih Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Pendahuluan Tantangan
yang Dihadapi Oleh Dunia Pendidikan Kita Semakin Hari Semakin Berat . Dikatakan Dem. Nadwa :
Jurnal Pendidikan Islam, 12(51), 155–180.2018, hlm. 156
12
Suarni, (2019), Pendidikan Islam Menjawab Tantangan, Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam, 6(2),
80–85, hal. 85
dalam wilayah internal pendidikan Agama Islam termasuk pencapaian dan
keberhasilan delapan standar nasional pendidikan. Pertama adalah standar isi,
standar proses, kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pendanaan, dan standar penilaian merupakan delapan standar nasional
tersebut.13
Tantangan Kedua yakni pertumbuhan penduduk Indonesia juga menjadi
tantangan bagi pendidikan Agama Islam. Indonesia diharapkan mendapatkan
manfaat dari bonus demografi pada tahun 2035, yang mengacu pada proporsi
sumber daya manusia pada kelompok usia produktif (15-64 tahun) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok usia muda dan lanjut. Antara tahun
2020-2030, angkatan kerja secara keseluruhan (usia 15-64 tahun) akan
mencapai 70%, sementara 30% sisanya adalah warga yang tidak produktif,
yaitu anak-anak (usia 0-14 tahun) dan orang tua (usia 65 tahun ke atas).14
Pertumbuhan sumber daya manusia yang melimpah ini menjadi tantangan
bagi pendidikan Agama Islam untuk mempersiapkan individu yang memiliki
nilai-nilai positif dan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan
negara. Jika potensi sumber daya manusia ini dimanfaatkan dengan baik,
maka akan menghasilkan modal dan kontribusi positif bagi pembangunan
negara. Namun, jika potensi sumber daya manusia ini tidak dioptimalkan,
dapat menjadi hambatan bagi kemajuan negara. Tantangan pendidikan
Agama Islam dalam hal ini adalah bagaimana mempersiapkan dan
memberdayakan potensi sumber daya manusia ini agar menjadi individu yang
kompeten, berkualitas, dan profesional sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
Secara khusus, Azyumardi Azra menekankan bahwa kurangnya
ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, baik dalam hal pengajar
(guru dan dosen) maupun tenaga administrasi, merupakan masalah yang perlu
diperhatikan oleh pendidikan Agama Islam. Terutama, kurangnya kinerja
proaktif dari dosen dan karyawan. Hal ini disebabkan oleh kelemahan sumber
daya manusia yang masih kurang kompeten dan kreatif dalam menciptakan
inovasi. Oleh karena itu, pendidikan Agama Islam harus mampu menghadapi
tantangan zaman ini dengan memperkuat sumber daya manusia yang
kompetitif dalam menghadapi revolusi zaman.
Tantangan ketiga adalah persoalan pendidikan karakter. Masalah
karakter masih terus berlanjut hingga saat ini, terutama ketika dunia
dihadapkan dengan revolusi yang begitu cepat, yang mengancam moral dan
karakter generasi muda. Degradasi moral yang dialami oleh peserta didik sulit
dikendalikan oleh perubahan budaya yang didominasi oleh teknologi, yang
mempengaruhi pandangan dunia dan pola pikir serta karakter mereka. Oleh
karena itu, eksistensi pendidikan Agama Islam sangat penting dalam
menggalakkan pendidikan karakter untuk memperkuat moral anak bangsa.

13
I. Machali, (1970). Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 dalam Menyongsong Indonesia Emas
Tahun 2045. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 71. Hal. 84
14
Dedi Purwana dan Agus Wibowo, Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2017), hlm. 13
Tantangan keempat adalah paradigma yang kurang tepat dalam
memahami kurikulum. Dalam pendidikan Agama Islam, masih terdapat sudut
pandang yang memperhatikan kurikulum hanya dalam aspek pemahaman dan
penguasaan tanpa memberikan penekanan pada aplikasi nyata. Artinya,
pengelolaan pendidikan Agama Islam terlalu banyak menekankan dimensi
kognitif dan mengabaikan dimensi nilai atau penerapannya. Pandangan
terhadap pendidikan Islam sering kali terbatas pada transfer pengetahuan saja,
tanpa memperhatikan transfer nilai. Meskipun pada dasarnya pendidikan
Islam bergerak di ranah tersebut, mempersempit pendidikan Islam hanya pada
transfer pengetahuan adalah pandangan yang kurang tepat.15 Hal ini perlu
ditekankan oleh para praktisi pendidikan, karena hal tersebut berdampak pada
kurangnya kepribadian yang beretika dan berkualitas pada generasi bangsa
ini. Paradigma ini perlu diubah melalui sistem pendidikan yang diterapkan.16
Tantangan eksternal yang dihadapi oleh pendidikan Islam lebih
berfokus pada tantangan masa depan. Beberapa tantangan eksternal tersebut
meliputi: pertama, kebutuhan dan tuntutan masa depan; kedua, persepsi
publik; ketiga, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.17 Revolusi dari
setiap era, masalah lingkungan, kemajuan teknologi dan informasi,
pertumbuhan industri kreatif dan budaya yang pesat, serta perkembangan
pendidikan internasional seperti universitas kelas dunia, memberikan dampak
signifikan yang membutuhkan formulasi dan strategi baru yang dirancang
oleh dunia pendidikan.18
Semua ini merupakan tantangan pendidikan Islam yang berorientasi
pada masa depan. Era Society 5.0 yang didukung oleh Revolusi Industri 4.0
menciptakan tantangan yang lebih besar daripada era sebelumnya. Untuk
menghadapi tantangan ini, pendidikan harus tetap mempertahankan konsep
relevansi dan dinamis dalam kurikulum. Tuntutan dari era revolusi saat ini
menuntut pendidikan Islam untuk mengembangkan peserta didik dengan
kemampuan high-order thinking skill (HOTS), kemampuan dalam
pemecahan masalah, berpikir kritis, dan keterampilan kreatif, agar mereka
siap menghadapi realitas kehidupan di era 5.0 dan masa depan, dengan
landasan akhlakul karimah.19
Dalam menghadapi tantangan pendidikan Islam, terutama tantangan
internal dan eksternal, diperlukan reorientasi dalam memandang pendidikan
Islam sebagai respons terhadap kebutuhan manusia. Fokus utama pendidikan
Islam adalah mempersiapkan kapabilitas dan kompetensi sumber daya
manusia (SDM) sebagai faktor utama dalam ruang lingkup pendidikan Islam.
Perubahan zaman menuntut pendidikan Islam yang adaptif, dinamis, dan

15
Prasetia & Fahmi, (2020). Reorientasi, Peranan Tantangan Pendidikan Islam di Tengah Pandemi,
Tarbawi, 9(1), hal. 25
16
P.H. Putra, (2019), Tantangan Pendidikan Islam dalam Menghadapi Society 5.0, Jurnal Islamika:
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 19(02), 99–110, hal. 107
17
H.W. Halifa Haqiqi, Revolusi Industri 4.0 di Tengah Era Society 5.0, (Yogyakarta: Quadrant, 2019),
hlm. 170
18
Masdar Hilmy, Pendidikan Islam Dan Tradisi Ilmiah, (Malang: Intrans Publishing, 2016), hlm. 23
19
D. Khoirin, (2021), Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam 2013 Integratif Dalam
Menghadapi Era Society 5.0, Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, (April), 83–94, hlm. 85
fleksibel dalam mengikuti perkembangan zaman, serta tidak boleh
mengalami stagnasi. Lembaga pendidikan dan komponennya, terutama
pendidik, memainkan peran penting dalam membentuk kualitas SDM.
Dalam menyiapkan generasi SDM yang baik, pendidik harus memiliki
beberapa penguasaan kompetensi. Pertama, penguasaan kompetensi
pedagogik, yang mensyaratkan pemahaman yang komprehensif tentang
pembelajaran. Kedua, penguasaan kompetensi kepribadian, yang
mengharuskan pendidik menjadi contoh teladan bagi peserta didik dengan
kepribadian yang kuat, akhlak terpuji, bijaksana, berwibawa, dan
bermartabat. Ketiga, penguasaan kompetensi profesional, yaitu penguasaan
materi pembelajaran secara mendalam. Keempat, penguasaan kompetensi
sosial, yaitu kemampuan pendidik dalam menjalin hubungan yang efektif dan
efisien dengan peserta didik, orang tua, masyarakat, dan perubahan sosial
yang terjadi. Pendidik juga harus mampu mengembangkan kurikulum yang
integratif, relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta perkembangan masyarakat yang semakin kompetitif.20
Berdasarkan keterangan di atas, dalam menghadapi tantangan
pendidikan Islam baik dari wilayah internal maupun eksternal, diperlukan
upaya kerjasama antara pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk
menghasilkan kurikulum yang integratif. Hal ini dilakukan untuk menjawab
tantangan-tantangan yang ada dan membentuk peserta didik yang mampu
bertahan dalam era yang terus mengalami reformasi di semua aspek
kehidupan, yang tentunya memberikan implikasi terhadap kurikulum
pendidikan Islam.
2. Upaya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Era
Modern
Pendidikan yang dianggap berkualitas adalah pendidikan yang mampu
menghasilkan hasil atau keluaran pendidikan yang relevan dengan kebutuhan
dan tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena itu, pengembangan
pendidikan tidak hanya terbatas pada penambahan atau transformasi terhadap
upaya yang sudah ada sebelumnya, atau peningkatan jumlah pendidikan
secara kuantitas. Lebih dari itu, pengembangan pendidikan perlu
memperhatikan bahwa tujuannya adalah menciptakan hasil yang lebih dari
biasanya dan lebih relevan dengan tuntutan perkembangan zaman. Revolusi
dan dominasi teknologi pada era saat ini mewajibkan manusia untuk
melakukan rekonstruksi dan reorientasi sistem pendidikan yang berkembang
di tengah perkembangan saat ini.21
Pengembangan kurikulum merupakan suatu kebutuhan mendesak yang
harus mencerminkan tindakan untuk memecahkan masalah dan memenuhi
kebutuhan masyarakat sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Selain
menghasilkan gagasan, pengembangan kurikulum juga harus mampu
menyediakan solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk menjawab

20
S.H. Zainiyati, (2014), Desain Pengembangan Kurikulum Integratif, Nadwa: Jurnal Pendidikan
Islam, 8(2), 295–312, hlm. 296
21
L. Hakim, (2021), Transformasi Pendidikan Agama Islam : Strategi dan Adaptasi Pada Era
Revolusi Industri 4.0, 9(4), 760–766, hal. 761
tantangan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, pemerintah perlu
merancang ulang sistem pendidikan di berbagai lembaga pendidikan agar
menjadi sistem yang komprehensif dan memiliki mekanisme yang sistematis,
termasuk sinkronisasi kurikulum antar lembaga. Hal ini dilakukan dengan
mempertimbangkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) agar
menghasilkan tenaga kerja yang siap bekerja dalam perekonomian global.22
Seiring dengan kemajuan zaman, perkembangan teknologi memiliki
dampak yang signifikan dalam mengubah kehidupan masyarakat. Setelah
revolusi industri 4.0, Jepang meluncurkan konsep masyarakat 5.0 yang baru.
Dalam konteks ini, pendidikan memainkan peran penting dalam
mempersiapkan peserta didik menghadapi era masyarakat 5.0. Oleh karena
itu, pemerintah Indonesia merevisi kurikulum 2013 dengan penekanan pada
pembelajaran yang mencakup Penguatan Pendidikan Karakter (PPK),
Literasi, Creative, Critical Thinking, Communicative, Collaborative (4C),
dan Higher Order Thinking Skill (HOTS). Kemampuan-kemampuan ini
dianggap penting bagi peserta didik dalam menghadapi berbagai fenomena
kehidupan di era masyarakat 5.0 dan perkembangan zaman yang akan datang.
Dengan merancang kurikulum yang mengintegrasikan kemampuan dan
keterampilan tersebut, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
memecahkan masalah, mencapai kesimpulan yang tepat, dan mendorong
kesejahteraan dalam masyarakat.23
UNESCO telah menekankan empat visi mendasar pendidikan di abad
ke-21 dalam paradigma pembelajaran. Visi Pertama, Belajar untuk Berpikir,
berfokus pada pengembangan pengetahuan logis dan rasional. Belajar
dijelaskan sebagai proses memperoleh, memperdalam, dan menerapkan
pengetahuan. Penguasaan materi sangat penting bagi peserta didik di abad ke-
21, serta memiliki keinginan untuk belajar sepanjang hayat. Hal ini
menunjukkan upaya mereka untuk meningkatkan kemampuan mereka sendiri
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki dan keyakinan mereka dalam
memahami konsep-konsep yang diperlukan untuk pencapaian di masa depan.
Peserta didik harus siap untuk belajar setiap saat ketika dihadapkan pada
kondisi baru yang membutuhkan perolehan keterampilan baru.
Visi kedua adalah belajar melakukan atau belajar hidup. Peserta didik
perlu belajar bekerja agar dapat beradaptasi dan berhasil dalam masyarakat
yang berubah dengan cepat. Baik peserta didik maupun orang dewasa
membutuhkan pengetahuan akademis dan terapan, serta kemampuan untuk
menggabungkan pengetahuan dan keterampilan, menjadi kreatif dan adaptif,
serta menerjemahkan semua karakteristik ini menjadi keterampilan yang
bermakna.
Visi ketiga adalah belajar menjadi pemimpin, yang berarti belajar
menjadi diri sendiri dengan fokus pada pembentukan karakter. Keterampilan
akademik dan kognitif sangat penting bagi anak-anak untuk berhasil, tetapi

22
A. Asy’ari & T. Hamami, (2020), Strategi Pengembangan Kurikulum Menghadapi Tuntutan
Kompetensi Abad 21, Iq (Ilmu Al-Qur’an): Jurnal Pendidikan Islam, 3(01), 19–34, hal. 31
23
R. Utami, (2019), Integrasi Kurikulum di Indonesia dalam Menghadapi Era Society 5.0, 4th
International Conference On Education, 213–218, hal. 215
bukan satu-satunya bakat yang mereka butuhkan. Individu dengan kualitas
dan identitas adalah peserta didik yang memiliki kompetensi kognitif
esensial. Mereka mampu menghadapi kegagalan, konflik, dan krisis, serta
mengatasi tantangan abad ke-21. Generasi muda, khususnya, harus mampu
berkolaborasi dan belajar dengan berbagai kelompok dalam berbagai
lingkungan kerja dan sosial, serta beradaptasi dengan perubahan.
Visi keempat adalah belajar hidup bersama, yang berarti belajar untuk
hidup dengan orientasi pada toleransi dan kerja sama. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa peserta didik yang belajar secara kooperatif mencapai
tingkat kemampuan yang lebih tinggi daripada peserta didik yang bekerja
sendiri dalam hal berpikir kritis dan kemampuan mempertahankan materi dari
waktu ke waktu. Peserta didik akan dapat berpartisipasi aktif dalam
percakapan, mengintegrasikan strategi dan pembelajaran mereka, serta
berpikir kritis melalui pembelajaran bersama.24
Sehubungan dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
telah mengembangkan paradigma pembelajaran abad ke-21 yang berfokus
pada kemampuan siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai
sumber, mengidentifikasi masalah, berpikir analitis, dan berkomunikasi serta
berpartisipasi dalam pemecahan masalah. Menurut BSNP 2010, terdapat
beberapa kerangka pembelajaran abad ke-21 yang dijelaskan sebagai berikut:
(a) Keterampilan Pemecahan Masalah dan Keterampilan Berpikir Kritis, yang
mencakup kemampuan berpikir kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam
konteks pemecahan masalah. (b) Keterampilan Komunikasi dan Kolaborasi
(Communication and Collaboration Skills), termasuk kemampuan untuk
berinteraksi dan bekerja sama dengan berbagai orang. (c) Kreativitas dan
Inovasi (Creativity Innovation Skills), yang melibatkan kemampuan
menghasilkan ide-ide yang mengarah pada terobosan. (d) Literasi Teknologi
Informasi dan Komunikasi, yaitu kemampuan menggunakan teknologi untuk
meningkatkan kinerja dan aktivitas sehari-hari. (e) Keterampilan Literasi
Informasi dan Media, yang melibatkan pemahaman dan penggunaan berbagai
media komunikasi untuk menyampaikan ide-ide dan melakukan kegiatan
kolaboratif serta interaksi dengan berbagai pihak. (f) Keterampilan Belajar
Kontekstual, yang melibatkan kemampuan melakukan pembelajaran mandiri
dalam konteks yang relevan sebagai bagian dari pengembangan diri. Ini
adalah paradigma pembelajaran abad ke-21 yang dikembangkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan fokus pada keterampilan
pemecahan masalah, berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas,
literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi informasi dan media,
serta keterampilan belajar kontekstual.25
Dalam era kontemporer (abad ke-21), sebuah desain pendidikan yang
sesuai dengan konteks tersebut menjadi penting untuk membekali peserta
didik dengan berbagai kemampuan abad ke-21 yang telah disebutkan

24
B.A. Sumantri (2019), Pengembangan Kurikulum i Indonesia Menghadapi Tuntutan Kompetensi
Abad 21, At-Ta’lim : Media Informasi Pendidikan Islam, 18(1), 27, hlm. 41-42
25
Etistika Yuni Wijaya, Dwi Agus Sudjimat, & Amat Nyoto, (2016), Transformasi Pendidikan Abad
21 Sebagai Tuntutan, Jurnal Pendidikan, 1, 263–278, hal. 266
sebelumnya. Dalam hal ini, Wagner et al. (2006) membahas perlunya
pengembangan kurikulum berdasarkan prinsip "3 Rs Baru" (Rigor,
Relevance, & Respect). Kekakuan mengacu pada fleksibilitas proses
pembelajaran daripada kekakuan dan monoton. Relevansi berarti setiap
pembelajaran harus relevan dengan dunia nyata maupun masa depan. Hal ini
melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik, terutama pola interaksi
yang membangun kompetensi akademik dan sosial.26
Konsep-konsep yang disebutkan di atas menimbulkan tuntutan
perubahan paradigma dalam pembelajaran di abad ke-21. Terdapat empat hal
yang perlu diubah sebagai konsekuensi dari pergeseran paradigma tersebut.
Pertama, perubahan terkait masalah informasi. Di era ini, akses terhadap
informasi menjadi lebih sulit, sehingga peserta didik perlu belajar bagaimana
mendapatkan informasi dari berbagai sumber. Kedua, pembelajaran harus
didesain sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat membangun,
mengidentifikasi, dan menganalisis masalah, bukan hanya memperbaiki
masalah yang sudah diidentifikasi. Ketiga, pembelajaran harus difokuskan
pada pengembangan kemampuan berpikir analitis, seperti pengambilan
keputusan, daripada berpikir secara mekanistik dan rutin. Keempat,
pembelajaran harus menekankan pemecahan masalah secara tim dan
kerjasama. Hal ini penting mengingat meningkatnya kompleksitas masalah
yang dihadapi, yang membutuhkan penggunaan bidang-bidang spesifik
secara bersamaan.27
Beberapa karakteristik dari pembelajaran abad ke-21 mencakup
kolaborasi dalam pendidikan, konteks yang relevan, penekanan pada siswa
sebagai pusat pembelajaran, dan integrasi sekolah dengan masyarakat. Dalam
kurikulum K-13, terdapat dua pendekatan yang terkait langsung dengan
kebutuhan abad ke-21, yaitu pendekatan inkuiri dan saintifik, yang digunakan
sebagai model untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran baru dalam
abad ke-21.28
Agar peserta didik dapat aktif dalam semua kegiatan abad ke-21,
pendidik perlu merencanakan pembelajaran dengan baik. Kegiatan yang
mendorong peserta didik untuk berpikir kritis saat memecahkan masalah,
bekerja dalam tim, dan berkomunikasi, semuanya harus diintegrasikan dalam
rencana pembelajaran. Penekanan pada rencana pembelajaran bukan hanya
untuk menentukan hasil belajar peserta didik, tetapi juga untuk
mengembangkan kapasitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran itu sendiri tidak lagi dianggap sebagai kegiatan yang terpisah.
Penilaian dirancang untuk mendidik peserta didik agar mampu mengatasi
masalah dunia nyata dalam konteks global yang kompleks di masa depan.

26
E. Syaputra & S. Sariyatun, (2020), Pembelajaran Sejarah di Abad 21 (Telaah Teoritis Terhadap
Model dan Materi), Yupa: Historical Studies Journal, 3(1), 18–27, hal. 21
27
Ibid, hlm. 22
28
Diah Rusmala Dewi, (2019), Pengembangan Kurikulum di Indonesia dalam Menghadapi Tuntutan
Abad Ke-21, As-Salam: Jurnal Studi Hukum Islam & Pendidikan, 8(1), 1–22, hlm. 20
Oleh karena itu, pendidik harus memiliki keahlian baik dalam bidang
keilmuan maupun metode pengajaran.29
Tim Pengembang Kurikulum 2013 berhasil mencapai kompetensi abad
ke-21 setelah menguji berbagai metodologi pembelajaran. Berdasarkan
penelitian oleh Ahmad Yani & Mamat Ruhimat (2018) dan para ulama
lainnya, beberapa poin penting yang diungkapkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Kurikulum 2013 mengakui bahwa tantangan masa depan tidak dapat
dipisahkan dari fenomena globalisasi, seperti keberadaan organisasi
perdagangan dunia (WTO), Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(ASEAN) Community, Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Tengah (CAFTA). Selain itu, isu
yang terkait dengan lingkungan, kemajuan teknologi informasi, konvergensi
ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, serta
kebangkitan industri kreatif juga menjadi perhatian. Kedua, Kurikulum 2013
mengacu pada konsep "Inovator DNA" oleh Jeff Dyer, Hal Gregersen, dan
Clayton M. Christensen (2011) dari Harvard Business Review di Amerika
Serikat. Konsep ini menunjukkan bahwa wirausahawan inovatif memiliki
kecerdasan kreatif. Mereka menggunakan lima keterampilan penemuan
dalam mengembangkan ide-ide baru dan kreatif, yaitu mengasosiasikan,
bertanya, mengamati, bereksperimen, dan berjejaring. Ketiga, abad ke-21
juga menekankan pada pengembangan karakter melalui indikator kesadaran
global, kesadaran ekonomi dan bisnis, literasi kewirausahaan, literasi
kewarganegaraan, literasi kesehatan, dan literasi lingkungan. Nilai-nilai
karakter tersebut, seperti keagamaan, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat nasionalisme,
cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, suka
membaca, peduli lingkungan, kepedulian sosial, dan tanggung jawab, telah
dimasukkan dalam Kurikulum 2013. Keempat, keberadaan bonus demografi
yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif (15 hingga 64 tahun)
yang melimpah antara tahun 2010 hingga 2035, menjadi alasan lain lahirnya
Kurikulum 2013. Populasi usia produktif yang cukup berkualitas, kompeten,
kreatif, dan memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang baik, dapat menjadi
berkah. Namun, jika mereka tidak memiliki kompetensi yang memadai, tidak
kreatif, berakhlak buruk, dan tidak sehat, mereka dapat menjadi beban. Dalam
rangka mencapai kompetensi abad ke-21, pendidik perlu mengembangkan
rencana pembelajaran yang mencakup pemikiran kritis, kerja tim,
komunikasi, dan penyelesaian masalah. Selain itu, penilaian juga diarahkan
untuk mengembangkan kapasitas peserta didik dalam proses pembelajaran,
bukan hanya untuk menentukan hasil belajar mereka. Pendekatan yang
holistik dan terintegrasi diperlukan untuk menghadapi tantangan abad ke-
21.30

29
Ibid, hlm. 20
30
P. Purwadhi, (2019). Pengembangan Kurikulum dalam Pembelajaran Abad XXI,. Mimbar
Pendidikan, 4(2), 103–112, hlm. 107
Menurut Azyumardi Azra, ada dua persoalan yang perlu diperbaiki
dalam pendidikan tinggi di lingkungan pendidikan Islam, terutama di
UIN/IAIN/STAIN, yaitu tuntutan sosial dan harapan akademik. Pendidikan
tinggi di UIN/IAIN/STAIN memiliki tujuan untuk menghasilkan ahli-ahli
keilmuan Islam yang dapat menjadi penggerak dalam pendidikan, penelitian,
dan kemajuan ilmu keislaman. Selain itu, pendidikan tinggi juga berupaya
meningkatkan kompetensi dan keahlian peserta didik dalam penguasaan ilmu
keislaman dan ilmu penunjang yang diperlukan untuk pengembangan dan
penerapan ilmu keislaman dalam masyarakat yang lebih luas. Mereka
diharapkan memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang keilmuan Islam,
serta memiliki pola pikir ilmiah dan amal ilmiah. Sebagai hasil dari
pendidikan tinggi, peserta didik (dan lulusan) diharapkan memiliki
kompetensi sebagai berikut: 1) Penguasaan paradigma umum keilmuan
Islam, 2) Penguasaan dan keahlian dalam bidang khusus keilmuan Islam, 3)
Penguasaan dan kemampuan dalam ilmu penunjang, 4) Penguasaan dan
kemampuan dalam melakukan penelitian. 5) Kemampuan untuk
mengabstraksi dan menerapkan teori ilmiah, minimal dalam bentuk karya
akademis.31
3. Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Sebagai realitas, Indonesia merupakan negara yang memiliki
masyarakat multikultural yang komprehensif, dengan beragam budaya,
agama, kepercayaan, politik, dan tingkat ekonomi. Namun, seringkali realitas
ini diabaikan atau dianggap sebagai objek periferal dalam pengembangan
kurikulum nasional. Para pengembang kurikulum cenderung mengabaikan
hal ini, padahal eksistensi kurikulum seharusnya menjadi subjek utama dalam
implementasi kurikulum di sekolah. Faktor-faktor yang ada dalam
masyarakat yang majemuk ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam
pengembangan kurikulum di sekolah.
Dalam konteks tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang muncul
dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum. Masyarakat yang majemuk
dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat pengembangan kurikulum.
Oleh karena itu, para pengembang kurikulum perlu melakukan analisis
mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan
kurikulum. Hal ini menjadi landasan penting dalam mencari solusi yang tepat
untuk menetapkan kurikulum yang strategis, efektif, dan efisien.
Sukmadinata dalam karyanya menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi pengembangan kurikulum:32
Pertama, Perguruan tinggi. Perguruan tinggi memiliki pengaruh yang
signifikan dalam pengembangan kurikulum. Pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di universitas berpengaruh pada program
pengembangan kurikulum. Jenis ilmu pengetahuan yang dikembangkan di
universitas secara umum mempengaruhi isi atau materi pelajaran yang akan

31
I. Maysela & M. Arif, (2021), Tuntutan dan Pengembangan Studi Islam di Perguruan Tinggi, At-
Turots : Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 12–25, hlm. 16
32
Sukiman, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015),
hlm. 43
dikembangkan dalam kurikulum. Pengetahuan dan teknologi memberikan
kontribusi tidak hanya pada pengembangan isi kurikulum, tetapi juga
berdampak pada proses pembelajaran. Perkembangan teknologi tidak hanya
menjadi pertimbangan dalam ranah isi kurikulum, tetapi juga mendukung
pengembangan alat bantu dan media pendidikan. Teknologi merupakan
bagian integral dari kurikulum dan memiliki peran penting dalam
pengembangan pembelajaran. Selain itu, pengembangan ilmu pendidikan,
keguruan, dan penyiapan guru di lembaga pendidikan tenaga kependidikan
seperti FKIP, STKIP, dan IKIP juga memiliki pengaruh dalam
pengembangan kurikulum. Kurikulum lembaga pendidikan tenaga
kependidikan mempengaruhi pengembangan kurikulum terutama melalui
penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan yang dimiliki oleh guru yang
dihasilkan.
Kedua, lapisan masyarakat. Sekolah merupakan bagian integral dari
masyarakat dan memiliki peran penting dalam mempersiapkan peserta didik
untuk memiliki kehidupan yang terhormat dan bermartabat. Sekolah
dianggap sebagai agen masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
masyarakat setempat. Kurikulum sekolah seharusnya mencerminkan harapan
dan kebutuhan masyarakat. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk
mendapatkan data dari masyarakat sebagai pertimbangan dalam
pengembangan kurikulum, serta melayani aspirasi, gagasan, dan kebutuhan
masyarakat. Salah satu kekuatan dalam masyarakat adalah perkembangan
dunia usaha. Dunia usaha juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam
pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan. Hal ini dapat dipahami
karena sekolah tidak hanya mempersiapkan peserta didik sebagai alumni,
tetapi juga harus mempersiapkan mereka untuk hidup layak, mampu bekerja,
dan berwirausaha. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum perlu
memperhatikan kehidupan dan dunia usaha yang dapat dijalani oleh peserta
didik sebagai pertimbangan yang penting.
Ketiga, sistem nilai yang berlaku. Sekolah, sebagai bagian integral dari
masyarakat, terpengaruh oleh berbagai aspek dalam kegiatan pengembangan
kurikulum. Salah satu aspek yang menjadi pertimbangan oleh pengembang
kurikulum adalah sistem nilai yang ada dalam masyarakat, yang
mempengaruhi kegiatan di sekolah dari berbagai sudut pandang.
Sekolah memiliki peran penting dalam mempertahankan dan
menyampaikan sistem nilai sebagai institusi komunal. Sistem nilai, yang
meliputi nilai adat, moral, agama, sosial, budaya, dan politik, harus
diintegrasikan ke dalam kurikulum. Namun, kompleksitas sistem nilai yang
ada dalam masyarakat menjadi tantangan bagi pengembang kurikulum.
Masyarakat memiliki budaya yang beragam dengan nilai-nilai yang berbeda-
beda, termasuk dalam dimensi intelektual, sosial, spiritual, dan lainnya, yang
masing-masing memiliki seperangkat nilai sendiri. Selain itu, terdapat pula
dimensi sosial, ekonomi, politik, dan fisik dalam masyarakat. Misalnya,
estetika, etika, dan agama juga memiliki nilai-nilai yang seringkali berbeda
dari fitur-fitur sebelumnya yang disebutkan.
Guru memainkan peran yang signifikan dalam pengembangan
kurikulum Pendidikan Islam. Mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari
pendidikan Islam dan memiliki keterkaitan yang kuat. Guru dianggap sebagai
"faktor esensial" dalam pengembangan kurikulum mereka sendiri. Mereka
perlu secara aktif mengikuti perkembangan teknologi untuk menjaga interaksi
edukatif yang berdampak besar terhadap proses pembelajaran bagi peserta
didik di lembaga pendidikan Islam. Dengan pengembangan kurikulum PAI
yang tepat, lembaga Pendidikan Agama Islam dapat memberikan hasil yang
berkualitas, dengan dukungan dari guru-guru yang selaras dengan kemajuan
teknologi dan informasi.33 Pemenuhan kebutuhan guru memiliki dampak
signifikan terhadap etos guru dan motivasi mereka untuk meningkatkan
kualitas diri. Hal ini penting dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam perspektif zakiah derajat, pemenuhan kebutuhan tersebut
mempengaruhi etos kerja guru dan mencerminkan semangat dalam mencintai
profesinya serta pengembangan pribadi melalui pengalaman agama dan
kualifikasi sebagai guru. Dengan memperhatikan aspek ini, guru akan mampu
memperkuat etos kerjanya dan menjalankan tugasnya dengan penuh
dedikasi.34
Oleh karena itu, penting bagi pemegang otoritas dalam pengembangan
kurikulum untuk memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal tersebut.
Hal ini akan menjadi landasan utama dalam menciptakan program
pengembangan kurikulum yang lebih efisien dan efektif di lembaga
Pendidikan Islam. Pengembangan kurikulum merupakan cerminan dari
pendidikan yang masih dianggap efektif dalam menciptakan dan membentuk
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Oleh karena itu, merumuskan
kurikulum melalui pengembangan kurikulum menjadi alternatif yang
memberikan peluang bagi pendidikan untuk mencetak SDM yang unggul dan
selalu siap menghadapi tuntutan perubahan masyarakat dan zaman.

D. Kesimpulan
Berdasarkan informasi yang diperoleh, kualitas pendidikan diukur dari
kemampuan untuk mengembangkan potensi sistem dan komponen pendidikan
secara kualitatif maupun kuantitatif, serta menghasilkan hasil yang berkualitas
dan mampu bertahan dengan perkembangan zaman. Tantangan yang dihadapi
oleh Pendidikan Islam membutuhkan kurikulum yang tidak hanya mentransfer
pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai yang relevan dengan zaman, untuk
mempersiapkan SDM yang kompeten dalam menghadapi perkembangan
zaman. Beberapa nilai yang harus dimiliki oleh peserta didik adalah
kemampuan dalam pemecahan masalah, berpikir kritis, kreativitas, dan
memiliki karakter yang baik. Dalam menghadapi perubahan zaman yang
signifikan, penting bagi Pendidikan Islam untuk merumuskan kurikulum yang
integratif dan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi

33
Nana Syaodah Sukamdinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2017), hlm. 159
34
Abdul Khabir, (2020), Pendidikan Agama Islam di Era Globalisasi, Edukasi Islamika, Forum
Tarbiyah, 7(1), hlm. 10
pengembangan kurikulum. Penting juga untuk memiliki pengembang
kurikulum yang berkualitas, kreatif, dan profesional yang memiliki otoritas
dalam mengembangkan kurikulum. Kerjasama antara lembaga pendidikan,
pemimpin yayasan atau kepala sekolah, dan struktur pemerintah yang peduli
terhadap pendidikan Islam diperlukan untuk menciptakan pendidikan Islam
yang berkualitas dan mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan
zaman.

Daftar Pustaka
Abdul Khabir. (2020). Pendidikan Agama Islam di Era Globalisasi. Edukasi Islamika, Forum
Tarbiyah, 7(1)
Ahmad Tafsir. 2017. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Asy’ari, A., & Hamami, T. (2020). Strategi Pengembangan Kurikulum Menghadapi Tuntutan
Kompetensi Abad 21. Iq (Ilmu Al-Qur’an): Jurnal Pendidikan Islam, 3(01), 19–34
Dedi Purwana, Agus Wibowo. 2017. Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Diah Rusmala Dewi. (2019). Pengembangan Kurikulum di Indonesia dalam Menghadapi
Tuntutan Abad Ke-21. As-Salam: Jurnal Studi Hukum Islam & Pendidikan, 8(1), 1–22
Hakim, L. (2021). Transformasi Pendidikan Agama Islam : Strategi dan Adaptasi Pada Era
Revolusi Industri 4.0, 9(4), 760–766.
Halifa Haqiqi, H. W. 2019. Revolusi Industri 4.0 di Tengah Era Society 5.0. Yogyakarta:
Quadrant
Hasan Baharun. 2017. Pengembangan Kurikulm Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Nurja
Idris, M., & Mokodenseho, S. (2021). Model Pendidikan Islam Progresif. J-PAI: Jurnal
Pendidikan Agama Islam. 7(2), 72–86.
Khoirin, D. (2021). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam 2013 Integratif
Dalam Menghadapi Era Society 5.0. Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, (April), 83–94
Machali, I. (1970). Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 dalam Menyongsong
Indonesia Emas Tahun 2045. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 71.
Mahmud. 2019. Pemikran pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Masdar Hilmy. 2016. Pendidikan Islam Dan Tradisi Ilmiah. Malang: Intrans Publishing
Maysela, I., & Arif, M. (2021). Tuntutan dan Pengembangan Studi Islam di Perguruan Tinggi.
At-Turots : Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 12–25
Muslih, Upaya Pengembangan Kurikulum Prodi S. 2 Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN
Walisongo Semarang Muslih Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Pendahuluan Tantangan yang Dihadapi Oleh Dunia Pendidikan Kita Semakin Hari
Semakin Berat Dikatakan Dem. Nadwa : Jurnal Pendidikan Islam, 12(51), 155–
180.2018
Nana Syaodah Sukmadinata. 2017. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Oemar Hamalik. 2012. Manajemen Pegembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Prasetia, S. A., & Fahmi, M. (2020). Reorientasi, Peranan Tantangan Pendidikan Islam di
Purwadhi, P. (2019). Pengembangan Kurikulum dalam Pembelajaran Abad Xxi. Mimbar
Pendidikan, 4(2), 103–112
Putra, P. H. (2019). Tantangan Pendidikan Islam dalam Menghadapi Society 5.0. Jurnal
Islamika :Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 19(02), 99–110
Rusdi, R. 2017. Kurikulum Perencenaan, Implementasi, Evaluasi, Inovasi dan Riset. Bandung:
Alafabeta, CV
Suarni. (2019). Pendidikan Islam Menjawab Tantangan. Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam,
6(2), 80–85.
Sukiman. 2015. Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Sumantri, B. A. (2019). Pengembangan Kurikulum i Indonesia Menghadapi Tuntutan
Kompetensi Abad 21. At-Ta’lim : Media Informasi Pendidikan Islam, 18(1), 27
Etistika Yuni Wijaya, Dwi Agus Sudjimat, & Amat Nyoto. (2016). Transformasi
Pendidikan Abad 21 Sebagai Tuntutan. Jurnal Pendidikan, 1, 263–278
Syaputra, E., & Sariyatun, S. (2020). Pembelajaran Sejarah di Abad 21 (Telaah Teoritis
Terhadap Model dan Materi). Yupa: Historical Studies Journal, 3(1), 18–27
Tengah Pandeii. Tarbawi, 9(1), 21–38
Utami, R. (2019). Integrasi Kurikulum di Indonesia dalam Menghadapi Era Society
5.0. 4th International Conference On Education, 213–218
Zainiyati, H. S. (2014). Desain Pengembangan Kurikulum Integratif. Nadwa: Jurnal
Pendidikan Islam, 8(2), 295–312
Zetty Azizatun Ni’mah. 2017. Genealogi Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
Malang: Madani

You might also like