Professional Documents
Culture Documents
47 84 1 SM
47 84 1 SM
A. Pendahuluan
Qawaid fiqhiyyah adalah dasar-dasar atau fondasi bagi fiqh.
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) terdiri dari kaidah umum dan
kaidah khusus, kaidah khusus terbagi lagi kepada beberapa bidang, salah
satunya adalah di bidang Ekonomi (Muamalah). Kaidah yang khusus di
bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting karena perhatian
sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits terkait ibadah
mahdhah dan hukum keluarga Islam lebih dominan dibanding dengan
fiqh-fiqh yang lain. Akibatnya, di bidang fiqh-fiqh selain ibadah
mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi
sangat luas dan materi-materi fiqh sebagai hasil ijtihad menjadi sangat
banyak.
Kepentingan qawaid fiqhiyyah dari segi penggalian dan penetapan
hukum Islam mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah
satu alat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.1
Terkait dengan persoalan-persoalan dalam bidang muamalah baik
Al-Muamalah Al-Madiyah yaitu muamalah yang bersifat kebendaan
yakni benda yang halal, haram dan syubhat untuk dimiliki,
diperjualbelikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan
kemudharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan lain
sebagainya atau terkait Al-Muamalah Al-Adabiyah seperti adanya
keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul,2 tidak ada
keterpaksaan, kejujuran, penipuan dan lain sebagainya, maka hadirlah
apa yang dinamakan qawaid fiqhiyyah muamalah yang merupakan
qaidah fiqhiyyah yang dhabit fiqhiyyahnya berkaitan dengan bab fiqh
muamalah.
Tentunya dalam muamalah, terdapat banyak sekali usaha-usaha
1
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin:
Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), April 2014), h. ix.
2
Mashunah Hanafi, Fiqh Praktis, (Banjarmasin: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2015), h. 58-59.
206
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
3
Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al Islami fi Tsaubihi al-Jadid,
(Beirut: Dar al Fikr, 1965).
4
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
129.
207
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
B. Qawaid Fiqhiyyah
1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah merupakan kata majemuk yang terbentuk dari
dua kata, yaitu qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian
tersendiri. Kata qawaid merupakan bentuk jama’ dari kata ‘qaidah’,
dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata ‘kaidah’ yang berarti
aturan atau patokan. Dalam tinjauan terminologi kaidah mempunyai
beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi’i dalam bukunya Ushul Fiqih Islami
menyatakan bahwa kaidah adalah:
ُ املضاايُاملكَةُامىتًُندرجُحتتُلكُواحدةُمهناُحمكُجزئَاتُنثرية
‚Hukum yang bersifat universal 5(kulli) yang diikuti oleh satuan-
satuan hukum juz’i yang banyak‛.
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah
dengan:
ُ حمكُلكيًُنعبقُػىلُمجَعُجزئَاثو
‚Hukum yang biasa berlaku
6
yang bersesuaian dengan sebagian
besar bagian-bagiannya‛.
Sedangkan kata fiqhiyyah diambil dari kata fiqh yang diberi
tambahan ‘ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau
penyandaran. Secara bahasa fiqh berarti pengetahuan, pemahaman atau
memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.7 Secara etimologi
makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak
dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari potongan ayat
dalam Surah At-Taubah ayat 122:
ُ ……مَتفليواُىفُادلٍن
Artinya: ‚…untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama...‛
5
Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, Ushul Fiqh al-Islami, (Iskandariyah
Muassasah Tsaqofah al-Jamiiyah, 1983), h. 4.
6
Fathi Ridwan, Min Falsafatil Tasyri' Islam, (Kairo: Darul Katib al-
Araby, 1969), h. 171-172.
7
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (t.tp: Dar al-Ma’arif, t.th Jilid IV), h.
3.450.
208
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
8
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Hadits Nomor 1037, Bab al-Nahyi
al-Masa’alah, Jilid IV), h. 108.
9
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang 1975), h. 25.
10
Ibid, h. 27.
209
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
211
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
15
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 31-34.
16
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 195.
17
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-
Khamsah), (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 10.
18
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 486.
19
http://isfahannur.blogspot.com/2011/08/perbuatan-hukum-dan-
mukallaf.html, Diakses pada tanggal 5 Juli 2018.
212
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
20
H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA, Diposting pada tanggal 10 September
2012 dalam http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan,
Diakses pada
21
tanggal 11 September 2018.
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 28-29.
214
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
persoalan esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-
ahkam, qaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan
belum terjadi. Oleh karena itu, Qawaid Fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum
ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abd al-Salam menyimpulkan
bahwa Qawaid Fiqhiyyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan
suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi
kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuq menulis bahwa
seorang fuqaha tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
Qawaid Fiqhiyyah, karena jika tidak berpegang pada qaidah itu maka
hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara cabang-cabang
itu. Dengan berpegang pada Qaidah Fiqhiyyah tentunya mudah
menguasai cabangnya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.22
22
Ibid, h. 30-31.
23
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum ………., Op Cit, h. 22.
215
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
24
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih………., Op Cit, h. 128-129.
25
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam. Jilid I,
(Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1991), h. 12.
216
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
28
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 158.
218
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
29
Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah: Menjalin
Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan
Panduan Islam, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2010), h. 145.
220
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
30
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 253.
31
Ibid.
32
Ibid., h. 255.
221
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
33
Ibid., h. 247-251.
222
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
223
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
36
https://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi--
sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/, Diakses pada tanggal 13
September 2018.
37
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam
Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Al-Kautsar, 2013), h. 237.
225
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
wajib membayar sewanya dan memberi ganti rugi atas separuh nilai
kendaraan. Adapun alasan wajibnya dia membayar sewa karena dia
melampaui batas dengan membonceng orang lain. Maka kewajiban
sewa tersebut dikarenakan suatu sebab yaitu dia membonceng orang
lain dan kewajiban mengganti rugi karena sebab lain yaitu karena
tunggangannya rusak.41
Berdasarkan contoh di atas juga terdapat aturan yang sama
seperti contoh sebelumnya yakni dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) mengenai penggunaan obyek ijarah maka transaksi
ini adalah contoh transaksi ijarah yang menerapkan penggunaan
obyek yang dipakai pada point 2 yang menyatakan akad ijarah nya
dilakukan secara terbatas sehingga si penyewa hanya dapat
menggunakan obyek ijarah sesuai dengan kesepakatan dalam akad
yaitu dalam janji nya ia akan menaikinya sendiri menuju tempat
tertentu. Namun karena tunggangannya rusak akibat membonceng
orang lain maka si penyewa wajib mengganti rugi sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
pada pasal 269 yaitu kerusakan obyek ijarah karena kelalaian pihak
penyewa adalah tanggung jawab penyewa, kecuali ditentukan dalam
akad dan pada pasal 270: Penyewa wajib membayar obyek ijarah
yang rusak berdasarkan waktu yang telah digunakan dan besarnya
ijarah ditentukan dalam musyawarah.42
Kemudian contoh lainnya yaitu seorang tukang jahit, dimana ia
dibenarkan menahan jahitan yang dipesan sampai dilunasi upah
yang akan diberikan, apabila tidak ada syarat adanya penundaan
dalam pembayaran. Dengan cara ini apabila seseorang menahan
barang tersebut dan kemudian rusak, ia tidak mengganti kerusakan
itu dan ia tetap berhak pada upahnya.43 Contoh lainnya lagi yaitu:
seorang tukang sol sepatu, ia dibenarkan menahan sepatu yang
41
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100………., Op Cit, h. 237-238.
42
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 66.
43
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h.257.
227
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
44
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-
Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 178.
45
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 66.
228
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
51
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 261-263.
52
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 83.
232
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
53
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 211.
54
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 82.
55
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 264.
56
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 77.
233
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
E. Kesimpulan
1. Qaidah Fiqhiyyah انُِ ( ا َُأل ْج ُُر ُ َوامضَّ َم ُان ََُل َ َْيتَ ِم َؼUpah dan Membayar Ganti
Tidaklah Berkumpul)
Qaidah fiqhiyyah ini berkaitan dengan upah mengupah (ujrah)
atau sewa menyewa (ijarah) dan ganti rugi (adh-dhaman). Adapun
dasar pengambilan Qaidah ران ُِ ا َأل ْج ُر َوامضَّ ر َم ُان ََُلُ َ َْي َت ِم َؼbisa ditemukan dalam
beberapa ayat Al-Qur’an di antaranya dalam QS. Al-Thalaq ayat 6 dan
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah ra. Adapun maksud dari kaidah ini adalah antara upah dengan
membayar ganti rugi tidaklah berkumpul atau tidak bisa bersatu ketika
pemberian upah dan ganti rugi arahnya sama. Maksudnya sebab
dikeluarkannya upah dan objek yang perlu diganti tersebut sama. Namun
apabila keduanya berbeda, maka tidak mengapa upah dan ganti rugi
menyatu.
Berkaitan dengan kaidah ini, disebutkan dalam Syarh Al-Majallah
bahwa kaidah ini melahirkan cabang-cabang, di antaranya apabila orang
yang menyewa melewati batas yang telah disyaratkan (disepakati antara
pihak penyewa dan pihak yang menyewakan), sekira dapat
57
Ibid, h. 52-55.
58
Ibid, h. 42-44.
234
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
menyebabkan ganti rugi, maka upah tidak wajib baginya. Sebagai contoh
seseorang menyewa kendaraan untuk dipakai ke tempat tertentu. Namun
dia melebihi dari tempat yang telah ditentukan sehingga kendaraannya
rusak. Maka dia wajib mengganti kendaraan tersebut, tetapi tidak wajib
membayar sewanya. Pentingnya dhaman dalam perjanjian agar dalam
akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan.
Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka
ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Contoh
lainnya dalam hal upah yaitu seorang tukang sol sepatu, ia dibenarkan
menahan sepatu yang diperbaiki sampai dilunasi upah yang akan
diberikan apabila tidak ada perjanjian adanya penundaan dalam
pembayaran. Dengan cara ini apabila tukang sol sepatu menahan sepatu
tersebut dan kemudian rusak, ia tidak mengganti kerusakan itu dan ia
tetap mendapatkan upahnya. Adapun ketentuan mengenai kewajiban
mengganti kerusakan sebab kelalaian serta tanggung jawab pemeliharaan
obyek dalam transaksi ijarah ini juga dinyatakan pada pasal-pasal yang
termuat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang bisa
menjadi acuan dalam kegiatan transaksinya.
2. Qaidah Fiqhiyyah ( امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْنResiko itu Sejalan dengan Keuntungan)
Qaidah fiqhiyyah ini berkaitan dengan keuntungan dan kerugian
serta resiko dalam transaksi pinjam meminjam (ariyah) dan rahn.
Adapun dasar pengambilan Qaidah ُرن ُِ ْ امغ ُْرر ُمُابمغbisa ditemukan dalam
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah ra. Adapun maksud dari kaidah ini adalah resiko itu menyertai
manfaat, maksudnya seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus
menanggung resiko. Bisa juga berarti ‚denda itu seimbang dengan
perolehan‛ maksudnya orang yang memperoleh manfaat sesuatu
menanggung kerugiannya. Menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna
yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang
memperoleh manfaat dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus
bertanggung jawab atas dharar atau ghurmu serta dhaman yang akan
terjadi.
235
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
236
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asmuni, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang,
1976.
Ahmad al-Zarqa, Mustafa, al-Fiqh al Islami fi Tsaubihi al-Jadid,
Beirut: Dar al Fikr, 1965.
Arifin, Miftahul dan A. Faisal Haq, Ushul Fiqh; Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997.
Azhari, Faturrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin:
Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), April 2014.
Dib Al-Bugha, Musthafa, Buku Pintar Transaksi Syariah; Menjalin
Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya
Berdasarkan Panduan Islam, Jakarta: Hikmah (PT Mizan
Publika), 2010).
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam
Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis,
Jakarta: Kencana, 2006.
Haidar, Ali, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam. Jilid I,
Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1991.
Hanafi, Mashunah, Fiqh Praktis, Banjarmasin: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2015.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad, Pengantar Hukum Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
___________________, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001.
http://isfahannur.blogspot.com/2011/08/perbuatan-hukum-dan-
mukallaf.html,
237
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018
http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan,
https://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi--
sanksi--ganti--kerugian-dan-keadaan-memaksa/
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Hadits Nomor 1037, Bab al-Nahyi
al-Masa’alah, Jilid IV).
Karim Zaidan, Abdul, Al-Wajiz; 100 Kaidah Fikih dalam
Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: Al-Kautsar, 2013.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah (K.H.E.S), Bandung: Fokusmedia, 2010.
Manzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab, (t.tp; Dar al-Ma’arif, t.th, Jilid IV).
Muhammad Asy-Syafii, Ahmad, Ushul Fiqh al-Islami, Iskandariyah
Muassasah Tsaqofah al-Jamiiyah, 1983.
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Ridwan, Fathi, Min Falsafatil Tasyri’ Islam, Kairo: Darul Katib al-
Araby, 1969.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
Tamrin, Dahlan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-
Khamsah), Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Usman, Muchlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-
Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Wahhab Khallaf, Abdul, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002.
238