Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 34

Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

PENERAPAN QAIDAH FIQHYYAH MUAMALAH


ُِ ‫ ا َأل ْج ُُرُ َوامضَّ َم ُان ََُل َ َْي َت ِم َؼ‬dan ‫امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْن‬
‫ان‬
DALAM TRANSAKSI EKONOMI (MUAMALAH)
Naila Khalidah 
Abstrak:
Qawaid Fiqhiyyah can be used as a tool in resolving legal issues that
have no legal provisions or certainty. The muamalah field is one of the
fields in Qawaid Fiqhiyyah al-Khashah. It is necessary to decipher the
Qaidah Fiqhiyyah in order to find out its application in economic
transactions (muamalah) in accordance with Islamic law by referring to
the Compilation of Syari'ah Economic Law (KHES). These rules
include qaidahُ ‫ان‬
ُِ ‫ا َُأل ْج ُر َُوامضَّ َم ُان ََُل َ َْي َت ِم َؼ‬, the purpose of this qaidah is that
between wages and compensation are not gathered or cannot be
united when the provision of wages and compensation is the same
because the wages are issued and the objects to be replaced are the
same. But if both are different, then why not wages and compensation
unite. This fiqhiyyah law relates to muamalah transactions for rent
(ijarah) with wages to pay (ujrah) and compensation (adh-dhaman).
Whereas in the Fiqhiyyah Qaidah ُْ‫امغ ُْر ُم ُابمغُن‬, the purpose of this qaidah
is that the risk accompanying benefits means that someone who uses
something must bear the risk, must be responsible for the dharar or
ghurmu and dhaman that will occur. This qaidah fiqhiyyah relates to
profits and losses as well as risks in the loan and loan transactions.
The provisions concerning the obligation to replace damage due to
negligence and responsibility for object maintenance in ijarah
transactions, as well as responsibility for the costs of storing and
maintaining assets in ariyah and rahn transactions are stated in the
articles contained in the Compilation of Sharia Economic Law (KHES)
which can be a reference in the transaction activities.
Kata kunci:
qaidah fiqhiyyah muamalah, ijarah, ariyah, dan rahn.

Penulis adalah Dosen Tetap & Sekretaris Prodi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhshiyah) STAI RAKHA AMUNTAI.
205
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

A. Pendahuluan
Qawaid fiqhiyyah adalah dasar-dasar atau fondasi bagi fiqh.
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) terdiri dari kaidah umum dan
kaidah khusus, kaidah khusus terbagi lagi kepada beberapa bidang, salah
satunya adalah di bidang Ekonomi (Muamalah). Kaidah yang khusus di
bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting karena perhatian
sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits terkait ibadah
mahdhah dan hukum keluarga Islam lebih dominan dibanding dengan
fiqh-fiqh yang lain. Akibatnya, di bidang fiqh-fiqh selain ibadah
mahdhah dan hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi
sangat luas dan materi-materi fiqh sebagai hasil ijtihad menjadi sangat
banyak.
Kepentingan qawaid fiqhiyyah dari segi penggalian dan penetapan
hukum Islam mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah
satu alat dalam menyelesaikan persoalan hukum yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.1
Terkait dengan persoalan-persoalan dalam bidang muamalah baik
Al-Muamalah Al-Madiyah yaitu muamalah yang bersifat kebendaan
yakni benda yang halal, haram dan syubhat untuk dimiliki,
diperjualbelikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan
kemudharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan lain
sebagainya atau terkait Al-Muamalah Al-Adabiyah seperti adanya
keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul,2 tidak ada
keterpaksaan, kejujuran, penipuan dan lain sebagainya, maka hadirlah
apa yang dinamakan qawaid fiqhiyyah muamalah yang merupakan
qaidah fiqhiyyah yang dhabit fiqhiyyahnya berkaitan dengan bab fiqh
muamalah.
Tentunya dalam muamalah, terdapat banyak sekali usaha-usaha
1
Faturrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin:
Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), April 2014), h. ix.
2
Mashunah Hanafi, Fiqh Praktis, (Banjarmasin: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2015), h. 58-59.
206
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Dengan


perkembangan ilmu dan tekhnologi serta tuntutan masyarakat yang
makin meningkat, maka melahirkan model-model transaksi baru yang
membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum Islam. Penyelesaian yang
di satu sisi tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah
kehidupan yang nyata, sudah tentu caranya adalah dengan
menggunakan kaidah-kaidah.3
Adapun kaidah-kaidah fiqih di bidang muamalah mulai dari kaidah
asasi dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudian
dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifahan Turki Utsmani
tidak kurang dari 99 kaidah yang termuat dalam Majallah al-Ahkam al-
Adliyyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan
menjadi jiwa dari 1.851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam
Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.4
Pada dasarnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah (Kompilasi Hukum
Islam) tersebut merupakan salah satu ensiklopedi fiqh Islam yang hanya
memuat peraturan keperdataan dalam bidang muamalah saja dan
sebagian kecil tentang hukum peradilan. Berdasar hal ini penulis tertarik
ingin menguraikan penjelasan beberapa qaidah fiqhiyyah dalam bidang
muamalah khususnya pada qaidah fiqh muamalah mengenai
ْ َ ‫‚ ا َأل ْج ُر َُوامضَّ َم ُان ََُل‬upah dan membayar ganti tidaklah berkumpul‛ dan
ُِ ‫َُيتَ ِم َؼ‬
‫ان‬
ُِ ْ ‫‚ ام ُغر ْرر ُمُابم ُغر‬resiko itu sejalan dengan keuntungan‛. Dengan adanya
‫رن‬
penguraian mengenai kaidah-kaidah tersebut maka akan diketahui
penerapan dalam transaksi ekonomi (muamalah) yang sesuai dengan
hukum Islam dengan mengacu pada Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah.

3
Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al Islami fi Tsaubihi al-Jadid,
(Beirut: Dar al Fikr, 1965).
4
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
129.
207
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

B. Qawaid Fiqhiyyah
1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah merupakan kata majemuk yang terbentuk dari
dua kata, yaitu qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian
tersendiri. Kata qawaid merupakan bentuk jama’ dari kata ‘qaidah’,
dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata ‘kaidah’ yang berarti
aturan atau patokan. Dalam tinjauan terminologi kaidah mempunyai
beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi’i dalam bukunya Ushul Fiqih Islami
menyatakan bahwa kaidah adalah:
ُ ‫املضاايُاملكَةُامىتًُندرجُحتتُلكُواحدةُمهناُحمكُجزئَاتُنثرية‬
‚Hukum yang bersifat universal 5(kulli) yang diikuti oleh satuan-
satuan hukum juz’i yang banyak‛.
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah
dengan:
ُ ‫حمكُلكيًُنعبقُػىلُمجَعُجزئَاثو‬
‚Hukum yang biasa berlaku
6
yang bersesuaian dengan sebagian
besar bagian-bagiannya‛.
Sedangkan kata fiqhiyyah diambil dari kata fiqh yang diberi
tambahan ‘ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau
penyandaran. Secara bahasa fiqh berarti pengetahuan, pemahaman atau
memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.7 Secara etimologi
makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak
dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari potongan ayat
dalam Surah At-Taubah ayat 122:
ُ …‫…مَتفليواُىفُادلٍن‬
Artinya: ‚…untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama...‛
5
Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, Ushul Fiqh al-Islami, (Iskandariyah
Muassasah Tsaqofah al-Jamiiyah, 1983), h. 4.
6
Fathi Ridwan, Min Falsafatil Tasyri' Islam, (Kairo: Darul Katib al-
Araby, 1969), h. 171-172.
7
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (t.tp: Dar al-Ma’arif, t.th Jilid IV), h.
3.450.
208
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

Kata fiqh juga ditemukan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:


ُ ‫منٍُردُهللاُتوُخرياًُُفليوُىفُادلٍن‬
Artinya: ‚Siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan,
akan diberikanNya pengetahuan dalam agama‛. (HR. Muslim)8
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti:
a. Menurut al-Jurjani al-Hanafi:
ُ‫امؼملُابَلحاكمُامرشًؼةُامؼموَةُمنُادههتاُامتفطوَةُوىوُػملُمس تنبطُابمرأٔيُوالاجهتادُوحيتاج‬
ُ‫فِوُاىلُامنظرُوامتبٔمل‬
"Ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah
yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan
melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".9
b. Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah al-Mubtada wal
Khabar:
ُ‫امفلو ُمؼرفة ُاحاكم ُهللا ُثؼاىل ُىف ُافؼال ُامللكفني ُابموجوب ُواحلظر ُوامندب ُوامكراىة‬
ُ‫والاابحة ُويه ُمتولاة ُمن ُامكتاب ُوامس نة ُوما ُهص ُتو ُامشارع ُملؼرفهتا ُمن ُا ٔألدةل‬
.‫فإذااس تخرجتُا ٔألحاكمُكِلُمياُفلو‬
‚Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang
berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan)
dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dan dari dalil-dalil yang
ditegaskan berdasarkan syara’, bila dikeluarkan hukum-hukum
dengan jalan ijtihad
10
dari dalil-dalil maka terjadilah apa yng
dinamakan fiqh‛.
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun
fiqhiyyah maka yang dimaksud dengan Qawaid Fiqhiyyah adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
ُ ‫ا ٔألمرُاملكىُاذلىًُنعبقُػوَوُجزئَاتُنثريةًُفيمُ ٔأحاكهماُمهنا‬
‚Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak dari

8
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Hadits Nomor 1037, Bab al-Nahyi
al-Masa’alah, Jilid IV), h. 108.
9
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang 1975), h. 25.
10
Ibid, h. 27.
209
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu‛.11


Atau dengan kata lain:
‫امفضاايُاملتؼولةُاب ٔألسسُامىتُتىنُػوهياُامشارعُ ٔأحاكموُوا ٔألغراضُامىتُكطدُإههياُتترشًؼو‬
‚Hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh
syari’ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya‛.12
Pengertian di atas memberikan pengertian atau pemahaman
bahwa Qawaid Fiqhiyyah yaitu pokok-pokok fiqh yang bersifat
menyeluruh yang dibuat dalam bentuk teks-teks perundang-undangan
yang ringkas, yang mencakup hukum-hukum yang disyariatkan secara
umum pada kejadian-kejadian yang termasuk di bawah naungannya.13
2. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah
Yang dimaksud dengan dasar pengambilan Qawaid Fiqhiyyah ialah
dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah. Perumusan tersebut meliputi
dasar formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang
dijadikan dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya
nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber
motivasi penyusunan qaidah fiqhiyyah. Adapun dasar materiil maksudnya
darimana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.14 Untuk lebih
lanjutnya akan diuraikan mengenai kedua dasar tersebut.
a. Dasar Formil
Hukum-hukum fiqh yang ada dalam untaian 1 kaidah yang
memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari
Al-Quran maupun Sunnah. Seperti dalam firman Allah Surah al-
Bayyinah ayat 5:
ُ‫اُامز ََكة ََُو َذ ِ َِلُ ِد ٍُنُامْلَ ِِّ َم ِة‬ َّ ‫ُُادل ٍَنُ ُحُنَ َفاءُ َوً ُ ِلميُو‬
َّ ‫اُامط ََلة ََُوً ُ ْؤثُو‬ َ َّ ‫َو َماُ ُأ ِم ُرواُا ََّلُ ِم ََ ْؼ ُبدُ و‬
ِ ّ ‫اُاَّللُ ُم ْخ ِو ِط َني ََُل‬
ِ
11
Asmuni Abdurrahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 11.
12
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh ………., Op Cit, h. 5.
13
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 7.
14
Miftahul Arifin dan A.Faisal Haq, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 285.
210
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

Artinya: ‚Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah


Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus‛.
Dan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:
ُِ ََّ ّ‫ُاه َّ َماُا َأل ْ َْعا ُل ُِابم ِن‬
ُ ‫ات‬
Artinya:‚Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung padaِ
niatnya‛.
Diistinbathkan, hukum berdasarkan niat untuk setiap perbuatan
mukallaf bukan saja pada masalah ibadah, tetapi terhadap perbuatan
di luar ibadah, karena persoalan niat juga mempunyai arti penting
dalam soal-soal lain, maka dirumuskanlah qaidah fiqhiyyah:
ُ ‫الامورُمبلاضدىا‬
‚Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya‛
Jadi perumusan qaidah fiqhiyyah itu berdasarkan pada Al-Qur’an
dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath
dan ijtihad.
b. Dasar Materiil
Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-
kata kaidah itu, adakalanya teks hadits, seperti qaidah yang berbunyi:
ُ ‫َّض ُرٍُُ َزا ُُل‬
َ َّ ‫ام‬
‚Kemudharatan itu harus dihilangkan‛
Kaidah ini berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW:
َ ِ ‫َُض َر َُو ََل‬
ُ (‫َُض َارُُ(رواهُابنُماُجو‬ َ َ ‫ََل‬
Artinya:‚Tidak boleh membuat mudharat diri sendiri dan tidak boleh
memudharatkankan orang lain‛. (HR. Ibn Majah)
Kaidah yang berasal dari hadits tersebut berlaku untuk semua
bidang hukum, baik ibadah, muamalah, munakahat maupun jinayat.
Disamping qaidah fiqhiyyah yang dirumuskan dari lafazh hadits,

211
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

seperti yang tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa qaidah


fiqhiyyah itu hasil perumusan ulama.15
3. Obyek Qawaid Fiqhiyyah
Dalam istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqh,
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i atau
perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum disebut dengan
Mahkum Fih.16 Adapun obyek qawaid fiqhiyyah adalah amaliyah orang-
orang dewasa yang bersifat praktis (af’al al-mukallaf al-‘amaliyyah)17
yaitu perbuatan mukallaf itu sendiri.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan perbuatan hukum
adalah pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan mukallaf yang memiliki
implikasi hukum.18 Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau
tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum karena di
dalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.
Berdasarkan pengertian tersebut maka perbuatan hukum terdiri dari 2
(dua) jenis yaitu:
a. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja menimbulkan
hak dan kewajiban pada satu pihak saja, seperti pemberian wasiat,
pengakuan anak dan lainnya.
b. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
menimbulkan kewajiban terhadap kedua pihak yang sedang
melakukan aqad, seperti perjanjian sewa, jual beli hutang piutang.19

15
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 31-34.
16
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 195.
17
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-
Khamsah), (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 10.
18
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 486.
19
http://isfahannur.blogspot.com/2011/08/perbuatan-hukum-dan-
mukallaf.html, Diakses pada tanggal 5 Juli 2018.
212
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

4. Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyyah


Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) terdiri dari kaidah umum
dan kaidah khusus. Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yang luas terhadap cabang dan
permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya
qawaid fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab
tertentu, terbagi pada 4 (empat) bagian, yaitu:
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al-Kubra, yaitu kaidah-
kaidah fiqh yang bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan
permasalahan fiqh. Kaidah-kaidah ini disepakati oleh seluruh
madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah:
1) Al-Umuru bi Maqashidiha;
2) Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk;
3) Al-Masyaqqatu Tajlib at-Taysir;
4) Adh-Dhararu Yuzal;
5) Al-’Adatu Muhakkamah.
b. Al-Qawa’id al-Kulliyyah, yaitu qawa’id yang menyeluruh yang
diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan
cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah
al-kharaju bi adh-dhaman mengenai hak mendapatkan hasil
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah adh-
dharar al-asyaddu yudfa’ bi adh-dharar al-akhaf mengenai bahaya
yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak
kaidah-kaidah ini masuk pada kaidah yang 5 atau masuk di bawah
kaidah yg lebih umum.
c. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah, yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh
pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini
terbagi pada 2 bagian yaitu kaidah yang ditetapkan dan disepakati
pada satu madzhab dan kaidah yang diperselisihkan pada satu
madzhab, seperti kaidah ar-rukhash la tunathu bi al-ma’ashiy
mengenai dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini
masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan
mazhab Hanafi dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.
213
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

d. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah


yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu
diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain,
dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab. Seperti kaidah hal al-
’ibroh bi al-hal aw bi al-maal? mengenai apakah hukum yang
dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini
diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. Oleh karena itu pada
umumnya diawali dengan kata hal (apakah).20
5. Tujuan dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah
Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah tentu ada tujuannya. Adapun
tujuan mempelajari Qawaid Fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang
mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh.
Dari tujuan mempelajari Qawaid Fiqhiyyah tersebut, maka manfaat
yang diperoleh adalah akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk
keadaan dan adat yang berbeda; mempermudah dalam menguasai
materi hukum; mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan
analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-
permasalahan baru; mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam
mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya
dari tempatnya.21
Adapun kepentingan Qaidah Fiqh dapat dilihat dari 2 (dua) sudut:
Pertama, dari sudut sumber qaidah merupakan media bagi peminat fiqh
Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-syari’at karena
dengan mendalami beberapa nash-nash, ulama dapat menemukan

20
H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA, Diposting pada tanggal 10 September
2012 dalam http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan,
Diakses pada
21
tanggal 11 September 2018.
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 28-29.
214
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

persoalan esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-
ahkam, qaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan
belum terjadi. Oleh karena itu, Qawaid Fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum
ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abd al-Salam menyimpulkan
bahwa Qawaid Fiqhiyyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan
suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi
kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuq menulis bahwa
seorang fuqaha tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
Qawaid Fiqhiyyah, karena jika tidak berpegang pada qaidah itu maka
hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara cabang-cabang
itu. Dengan berpegang pada Qaidah Fiqhiyyah tentunya mudah
menguasai cabangnya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.22

C. Qaidah Fiqhiyyah Muamalah


Kaidah secara bahasa adalah dasar. Dalam ilmu fiqh, seluruh bab-
bab dalam kitab fiqh pada dasarnya mendasarkan pada kelima kaidah
yaitu pada al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al-Kubra. Pada
dasarnya Qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) terdiri dari kaidah
umum dan kaidah khusus. Kaidah umum dan kaidah khusus yang
kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifahan Turki
Utsmani dalam Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.
Pada dasarnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah (Kompilasi Hukum
Islam) tersebut merupakan hasil upaya para ulama Turki dan merupakan
salah satu ensiklopedi fiqh Islam.23 Keberadaan Majallah al-Ahkam al-
Adliyyah menjadi tonggak awal sejarah pengkodifikasian hukum Islam ke
dalam bentuk Undang-Undang modern yang mempunyai kekuatan
imperatif untuk dilaksanakan oleh negara, sekaligus membuka jalan bagi
munculnya usaha pengkodifikasian hukum Islam.

22
Ibid, h. 30-31.
23
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum ………., Op Cit, h. 22.
215
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

Majallah al-Ahkam al-Adliyyah terdiri dari sebuah mukaddimah


dan 16 kitab, yang diuraikan dalam 1.851 pasal yang disusun dengan
sistematika kitab hukum modern. Bagian mukaddimah ini terdiri dari
100 pasal. Pasal 1 menjelaskan tentang definisi dan pembagian ilmu
hukum (fiqh), sumber hukum dan selebihnya 99 pasal lainnya
menguraikan tentang kaidah-kaidah umum yang bersumber dari kitab
al-Asybah wa al-Nazhair karya Ibnu Najim. Ke 99 kaidah tadi menjadi
acuan dan menjadi jiwa dari 1.851 pasal tentang transaksi yang
tercantum dalam Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.24
Ke 16 kitab tersebut hanya memuat masalah-masalah yang
berkaitan dengan keperdataan saja, seperti (1) al-Buyu’ (jual beli), (2)
al-Ijarah (sewa menyewa), (3) al-Kafalah (tanggungan atau jaminan),
(4) al-Hibah, (5) al-Hiwalah (pengalihan hutang), (6) al-Rahn
(gadai), (7) al-Amanah (penitipan barang), (8) al-Ghasb wa al-Itlaf
(merampas dan merusak harta orang lain), (9) al-Hijru, al-ikrah wa al-
Syuf’ah (pengampuan, paksaan dan ketetanggaan), (10) al-Sulh wa al-
Ibra’ (perdamaian dan pembebasan), (11) al-Syirkah (perkongsian),
(12) al-Wakalah (perwakilan), (13) al-Iqrar (pengakuan), (14) al-
Da’wa (gugatan), (15) al-Bayyinah wa al-tahlif (pembuktian dan
sumpah) dan (16) al-Qadha’ (peradilan).25
Di sini tampak jelas bahwa Majallah al-Ahkam al-Adliyyah hanya
memuat peraturan keperdataan dalam bidang muamalah saja dan
sebagian kecil tentang hukum peradilan. Bidang fiqh lainnya seperti
jinayah, warisan, wasiat dan wakaf tidak diatur dalam Undang-Undang
tersebut karena telah lebih dahulu dibuat dengan mengadopsi hukum
Eropa. Bidang muamalah ini termasuk salah satu bidang dalam qawaid
fiqhiyyah al-khashah yakni kaidah-kaidah fiqh yang khusus.
Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah SWT
untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan

24
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih………., Op Cit, h. 128-129.
25
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam. Jilid I,
(Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1991), h. 12.
216
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

kehidupan.26 Secara garis besar ruang lingkup muamalah adalah seluruh


kegiatan manusia yang mencakup segala aspek kehidupan manusia,
seperti sosial, ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Dalam kehidupan,
kita juga mempunyai aturan agama yang memang wajib kita laksanakan
jika ingin benar-benar menjadi seorang muslim yang haqiqi yaitu fiqh.
Dengan fiqh, segala aspek kehidupan harus berdasarkan hukum-hukum
Islam berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan
seperti wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Secara terperinci pembagian ruang lingkup fiqh muamalah terbagi
2 yakni ruang lingkup fiqih muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab
dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak,
hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan,
penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia
yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
Kemudian ruang lingkup pembahasan madiyah ialah masalah jual
beli (al-bai’ al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan
(kafalan dan dlaman), pemindahn utang (hiwalah), jatuh bangkrut
(taflis), batas tindakan (al-harju), perseroan dan perkongsian (al-
syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa menyewa
(al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-ariyah), barang titipan (al-
wadi’ah), barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-muzara’ah),
sewa menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrat al ’amal), gugatan
(al-syuf’ah), sayembara (al-ji’alah), pembagian kekayan bersama (al-
qismah), pemberian (al-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (al-
shulhu), dan ditambah dengan beberapa masalah mu’ashirah
(muhaditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah
masalah baru lainnya.27
Dari seluruh kegiatan dalam ruang lingkup fiqh muamalah di atas
mencakup dalam aspek ekonomi, yang mana perbuatan mukallaf nya
berhubungan dengan hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
26
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h. 2.
27
Ibid, h. 5.
217
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

sehingga menimbulkan kewajiban terhadap kedua pihak yang sedang


melakukan aqad. Aspek ekonomi dalam kajian fiqh sering disebut dalam
bahasa arab dengan istilah iqtishad yang artinya adalah suatu cara
bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas
kebutuhan yang ada sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas
dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas.
Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah
dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqh yang digunakan dalam
mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah
fiqh muamalah. Umat Islam diatur sedemikian rupa dalam berbagai
aktivitas perekonomian dengan tujuan agar setiap kegiatan tersebut tidak
keluar dari koridor yang berlaku di dalam Islam. Maka dalam
bermuamalah berlakulah sebuah kaidah yang mengatakan:
ُ‫ا َأل ْضل ُُِىفُ ْا َأل ْش ََا ِءُ ْاَل َُابُ َحةُ َح َّىتًَُدُ ُ َّلُ ْا َّدل ِم َْلُُػ َ َىلُامتَّ ْح ِر ْ ِي‬
‚Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada ِ
dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau
mengharamkannya)‛.
Berdasarkan kaidah ini berarti bahwa semua hal yang
berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan
maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-
Hadits), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, juga
perkembangan ilmu dan tekhnologi serta tuntutan masyarakat yang
makin meningkat, maka akan selalu ada muncul jenis-jenis transaksi
ekonomi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum Islam
yang sesuai dengan syariat, tentu caranya adalah dengan menggunakan
qaidah fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih). Qaidah fiqhiyyah yang khusus di
bidang muamalah terdapat sebanyak 24 qaidah28 termasuk qaidah
fiqhiyyah yang telah disebutkan di atas. Adapun qaidah-qaidah lainnya,
yaitu:

28
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 158.
218
‫‪Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018‬‬

‫‪ -١‬ا ٔألضلُيفُاملؼامةلُاَلٕابحةُإَلُ ٔأنًُدلُدمَلُػىلُحترمييا‬


‫‪ -٢‬ا ٔألضلُيفُاملنافعُاحللُواملضارُاحلرمةُتبٔدةلُرشغَة‬
‫‪ -٣‬ا ٔألضلُيفُامطفاتُامؼارضةُامؼدم‬
‫‪ -٤‬ا ٔألضلُيفُامؼلدُرىضُاملتؼاكدٍنُوهتِجتوُُيهُماُامزتماهُابمتؼاكد‬
‫‪ -٥‬امرىضُابمش ىيءُريضُمباًُتودلُمنو‬
‫‪ -٦‬احلاجةُثزنلُمزنةلُامَّضورةَُكهتُ ٔأوُخاضة‬
‫‪ -٧‬امؼربةُيفُامؼلودُنوملاضدُواملؼاينَُلُم ٔلمفاظُواملباين‬
‫‪ -٨‬إذاُتعلُش ئيُتعلُماُيفُمضنو‬
‫‪ -٩‬احلمكُابموس َةلُحمكُابمللاضد‬
‫‪َ -١١‬لًُمتُامتربعُإَلُابملبظ‬
‫‪ -١١‬اخلراجُابمضامنُ‬
‫‪ -١٢‬ا ٔألجرُوامضامنَُلَُيمتؼان‬
‫‪ -١٣‬امغرمُابمغمن‬
‫‪ -١٤‬ماُحرمُاس تؼامَلُحرمُاختاذه‬
‫‪ -١٥‬ا ٔألمرُابمترصفُيفُمكلُامغريُابظل‬
‫‪َ -١٦‬لَُيوزُ ٔألحدُ ٔأنًُرصفُيفُمكلُغريهُتَلُ ٕاذهو‬
‫‪ -١٧‬امتاتعُاتتعُ‬
‫‪ -١٨‬اَلٕجازةُامَلحلةَُكموَكةلُامساتلة‬
‫‪ -١٩‬اذاُزالُاملاهعُػادُاملمنوع‬
‫ُ‬ ‫‪ -٢١‬اذاُسلطُا ٔألضلُسلطُامفرع‬
‫‪ًُ-٢١‬غفرُيفُامبلاءُماَُلًُغفرُيفُالاتتداءُ‬
‫‪ًُ-٢٢‬وزمُُمراػاةُامرشطُتلدرُالاماكنُ‬
‫‪ -٢٣‬املؼروفُتنيُجتارَُكملرشوطُتُهنم‬
‫‪ -٢٤‬حرام لكُكرضُجرُمنفؼةُفيوُراب‬
‫‪Kaidah-kaidah fiqh dalam bidang muamalah di atas termasuk‬‬
‫‪dalam ruang lingkup al-Qawa’id al-Kulliyyah yaitu qawa’id yang‬‬
‫‪menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab tetapi dalam cabang-‬‬
‫‪cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada al-Qawa’id al-Fiqhiyyah‬‬
‫‪al-Asasiyyah al-Kubra yaitu kaidah-kaidah fiqh yang bersifat dasar.‬‬
‫‪Qaidah fiqhiyyah muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam‬‬
‫‪219‬‬
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

kegiatan muamalah yang notabene urusan keduniaan, manusia diberikan


kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat
kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal
tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya.
Efek yang timbul dari kaidah fiqh muamalah adalah adanya ruang
lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah,
termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang
muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum
ada atau belum dikenal, maka transaksi tersebut ‚dianggap‛
diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip
yang dilarang dalam Islam.

D. Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah ‫ران‬ ْ َ ‫ا َأل ْج ُر َوامضَّ ر َم ُان ََُل‬


ُِ ‫َُيتَ ِم َؼر‬
dan ‫ امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْن‬dalam Transaksi Ekonomi (Muamalah)
1. Qaidah ‫ران‬ ُِ ‫‚ ا َأل ْج ُر َوامضَّ ر َم ُانُ ََل َ َْيتَ ِم َؼر‬upah dan membayar ganti tidaklah
berkumpul‛
a. Pengertian ‫ُا َأل ْج ُر َوامضَّ َم ُُان‬
Kaidah fikih ini adalah kaidah tentang upah dan ganti rugi.
Untuk definisi ini digunakan istilah-istilah ajr, ujrah dan ijarah. Kata
ajra-hu digunakan apabila seseorang memberikan imbalan atas
pekerjaan orang lain. Kata al-ajr (pahala) biasanya digunakan untuk
balasan di akhirat, sedangkan kata ujrah (upah sewa) digunakan
untuk balasan didunia.29
Qaidah fiqhiyyah muamalah di atas, berkaitan dengan upah
mengupah atau sewa menyewa. Al-ajru menurut etimologi adalah
al-‘iwadh yaitu ganti dan upah. Sedangkan menurut terminologi Zain
al-Din Ibn Nujaim al-Hanafi dalam bukunya ‚Al-Bahr al-Raiq
Syarh Kanz al-Daqaiq‛ dan Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin

29
Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah: Menjalin
Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan
Panduan Islam, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2010), h. 145.
220
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

Salamah al-Qalyuby dalam bukunya ‚Hasyiyah Qalyubi‛


mengatakan bahwa al-ajru yaitu :30
ُ‫َمُ َمنْ َف َؼ ٍةُ ِت ِؼ َو ٍض‬
ُ ‫رشػ ًاَُتَ ْ ِو‬
َْ
‚Menurut syara’ yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan‛.
ُ ٍ ‫َغ ْل ٌدُػَىلُ َمنْ َف َؼ ٍةُ َم ْؼوُ ْو َم ٍةُ َم ْل ُط ْو َد ٍةُكَات َ ٌِةلُ ِنوْ َب ُْذلِ َُوا َٕل َاب َح ِةُ ِتُِؼ َو‬
‫ضُ َم ْؼوُ ْوٍُمُ َوضْ ًؼا‬
‚Yaitu akad atas manfaat yang diketahui dan sengaja untuk
memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui
ketika itu‛.
Berdasarkan pengertian di atas, berarti ijarah adalah menukar
sesuatu dengan adanya imbalan dengan sewa menyewa dan upah
mengupah. Sewa menyewa adalah ِ ‫رنيُاملنرا ِف ُع‬ َ ْ َ ‫( ت‬menjual manfaat) dan
upah mengupah adalah ‫( ت َ َْعُام ُل َّوُِة‬menjual tenaga atau kekuatan).31
Adapun dhaman menurut etimologi adalah al-kafalah
(jaminan) atau hamlan (beban) dan za’amah (tanggungan).
Sedangkan pengertian terminologi yang dimaksud dhaman menurut
Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshary dalam
bukunya ‚Fath al-Wahhab bi Syarh Minhaj al-Thulab‛ adalah:32
‚Yaitu menurut syara’ suatu ketetapan iltizam hak yang tetap
pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat
benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang
yang berhak menghadirkannya‛.
Dhaman artinya menepati. Ganti kerugian dalam akad
muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti
jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-
dhaman berupa barang atau uang.

30
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 253.
31
Ibid.
32
Ibid., h. 255.
221
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

b. Dasar Qaidah ‫ان‬ ْ َ ‫ا َأل ْج ُر َوامضَّ َم ُان ََُل‬


ُِ ‫َُيتَ ِم َؼ‬
Adapun dasar pengambilan Qaidah ‫ران‬ ْ َ ‫ ا َأل ْج ُر َوامضَّ ر َم ُان ََُل‬bisa
ُِ ‫َُيتَ ِم َؼ‬
ditemukan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW,
yakni:33
1) Dalil ayat Al-Qur’an
َُ ‫كَامَتُُاحُدَ ىُُٰ َماًُ َُ ٓبَت َ ِتُأُسُُت َئُْجِ ُر ُُهُا َّنُخ‬
ُ‫َريُ َم ِنُأُسُُتَـُْئ َج ُر َتُأُمُلَ ِو ُّيُأُ َُأل ِم ُني‬
Artinya:‚Salah seorang dari kedua wanita ِ itu berkata: ِ ‚Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya‛. (QS Al-Qashash ayat 26)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa disyaratkan adanya
imbalan atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang
punya keahlian di bidangnya.
ُٰٓ َ َ ‫ون ُِيفُأُ َُألُر ِضُفَيَلُُ َُن َؼ ُُلُ َ َِلُخَُر ًجاُػ‬
ُ‫ىلُ َأن‬ َ ُ‫وجُ ُمفُ ِسد‬ َ ‫كَامُو ْاًُ َُ َذاُأُمُلَُهر َنيُُِا َّنًُ َُبٔ ُج‬
َ ‫وج َُو َمُبٔ ُج‬
ِ
ُ‫اُوت َُهنَ ُمُُ َسدّا‬ َ َ‫َُجت َؼلَُتََُنَن‬
Artinya: ‚Mereka berkata: ‚Hai Dzulkarnain, sesungguhnya
Ya´juj dan Ma´juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di
muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu
pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara
kami dan mereka‛. (QS Al-Kahfi ayat 94)
Ayat di atas juga merupakan landasan syariah dalam ijarah
(sewa-menyewa) jasa orang lain yang harus disertai upah atau ujrah.
ُ‫نُوجُ ِد ُُك ُ َو ََل ُثُضَ ُا ٓ ُّروى َُّن ُ ِم ُتضَ ِ َّ ُلو ْا ُػَو َ ُِهي َُّن ُ َوانُ ُن َّن ُ ُأ ْومَرُ ِت‬
ُ ‫َأسُ ِكنُوى َُّن ُ ِمنُ ُ َحُِ ُث َُس َك ُنمت ُ ِ ّم‬
ِ
ُ‫ُحوَي َُُّن ُفَانُ ُ َأُرضَ ؼُ َن ُم َ ُُمك ُُفَئَاثُو ُُى َّن ُ ُأ ُج َورى َُّن َُو ُٔأث َ ِم ُرو ْا ُت َُنَ ُمك‬
َُ ‫ىت ًَُضَ ؼُ َن‬ ُٰ َّ ‫َُحلُفَبَه ِف ُلو ْا ُػَو َ ُِهي َّن ُ َح‬
ِ
َُُ ‫اس ُُتُفَ َس ُُت ِض ُع‬
ُ‫َُلُۥُٓ ُأخُ َر ُٰى‬ ُ َ ‫ِت َمؼُ ُروفُُ َوانُث َ َؼ‬
Artinya :‚Tempatkanlah mereka (para isteri) di manaِ kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,

33
Ibid., h. 247-251.
222
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka


bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;
dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya‛. (QS Al-Thalaq ayat 6)
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh
orang lain untuk menyusukan anak mereka, maka sebaiknya
diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak itu.
َ ‫كل َُو ِم َمنُ َجُا ٓ َءُ ِت ُِوۦُ ِ ُحلُُت َ ِؼ‬
ُ‫ريُو َأ َاُنُ ِت ُِوۦُ َز ِغمي‬ ِ ِ ‫كَامُو ْاُه َفُ ِلدُ ُُض َواعَُأُمُ َم‬
Artinya: ‚Penyeru-penyeru itu berkata: ‚Kami kehilangan piala
raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya‛. (QS. Yusuf ayat 72)
Ayat di atas adalah landasan hukum syariat tentang dhaman
atau kafalah. Kata za’im pada ayat tersebut berarti penjamin yakni
orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
2) Dalil hadits Nabi Muhammad SAW:
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari
Abu Hurairah ra:
ُ َّ ِ‫ٔأغ ُْعواُا َألجُِ َُريُ َأ ُْج َر ُهُُكَ ْبلَُ َأ ْنًَُرج‬
ُ‫فُ َغ َرُكُ ُو‬
Artinya: ‚Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum
keringatnya kering‛.
Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran
upah terhadap orang yang diperkerjakan yaitu menyegerakan
pembayaran upah setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.
c. Penerapan Qaidah ‫ان‬ ْ َ ‫ا َأل ْج ُر َوامضَّ َم ُان ََُل‬
ُِ ‫َُيتَ ِم َؼ‬
Qaidah fiqhiyyah ini berkaitan dengan sewa menyewa (ijarah)
atau upah mengupah (ujrah) dan ganti rugi (adh-dhaman). Ijarah
adalah menukar sesuatu dengan adanya imbalan dengan sewa
menyewa dan upah mengupah. Sewa menyewa adalah menjual

223
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

manfaat dan upah mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan.


Apabila ijarah itu sesuatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran
upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan
lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai
pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannnya.
Menurut Abu Hanafiah wajib diserahkan upahnya secara
berangsur-angsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut
Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad
sendiri. Ijarah adalah jenis akad lazim yaitu akad yang tidak
membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak karena ijarah
merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang
mewajibkan fasakh; rusaknya barang yang diupahkan; terpenuhinya
manfaat yang diakadkan; berakhirnya masa yang telah ditentukan;
dan selesainya pekerjaan.34
Dhaman dalam masalah muamalah yang kaitannya dengan
harta yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin dengan
pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Dalam harta maka ada tiga
macam:35
1) Kafalah bi al-dyan, yaitu kewajiban membayar hutang yang
menjadi beban orang lain, disyaratkan; hendaklah nilai barang
tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan;
hendaklah barang yang dijamin diketahui.
2) Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban
menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang
lain, seperti penyerahan barang jualan kepada pembeli.
3) Kafalah dengan ‘aib, yaitu bahwa barang yang didapati berupa
harta terjual dan mendapat cacat karena waktu yang terlalu lama
atau karena hal-hal lainnya.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad
yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan.
34
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Op Cit, h. 121-122.
35
Ibid, h. 194.
224
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka


ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan
tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang
yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai
tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maksimal untuk
memenuhi prestasinya dan Islam juga mengapresiasi orang yang
memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.36
Maksud dari kaidah diatas adalah antara upah dengan
membayar ganti rugi tidaklah berkumpul atau tidak bisa bersatu
ketika pemberian upah dan ganti rugi arahnya sama. Maksudnya
sebab dikeluarkannya upah dan objek yang perlu diganti tersebut
sama. Apabila keduanya berbeda, maka tidak mengapa upah dan
ganti rugi menyatu. Berkaitan dengan kaidah ini, disebutkan dalam
Syarh Al-Majallah kaidah ini melahirkan cabang-cabang, di
antaranya ‚apabila orang yang menyewa melewati batas yang telah
disyaratkan (disepakati antara pihak penyewa dan pihak yang
menyewakan), sekira dapat menyebabkan ganti rugi, maka upah
tidak wajib baginya‛. Sebagai contoh, seseorang menyewa
kendaraan untuk dipakai ke tempat tertentu. Namun dia melebihi
dari tempat yang telah ditentukan sehingga kendaraannya rusak.
Maka dia wajib mengganti kendaraan tersebut, tetapi tidak wajib
membayar sewanya.37
Berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
mengenai penggunaan obyek ijarah telah ditentukan pada pasal
265 Bagian Keempat:
1) Penyewa dapat menggunakan obyek ijarah secara bebas jika
akad ijarah dilakukan secara mutlak.

36
https://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi--
sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/, Diakses pada tanggal 13
September 2018.
37
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam
Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Al-Kautsar, 2013), h. 237.
225
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

2) Penyewa hanya dapat menggunakan obyek ijarah secara tertentu


jika akad ijarah dilakukan secara terbatas.38
Maka contoh transaksi ijarah di atas menerapkan penggunaan
obyek yang dipakai pada point 2 tersebut karena akadnya dilakukan
secara terbatas sehingga si penyewa wajib mengganti barang yang
pemakaiannya melebihi dari tempat yang telah ditentukan atau
disepakati sehingga menyebabkan kendaraan tersebut rusak.
Pemeliharaan obyek ijarah merupakan tanggung jawab pihak
penyewa sebagaimana ditentukan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) pada pasal 268 Bagian Kelima39 dan ketika
barangnya (kendaraan) tersebut rusak karena kelalaian si penyewa
maka penyewa wajib menggantinya, sebagaimana hal ini juga sesuai
dengan aturan yang dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) pada pasal 269 dan pasal 270 Bagian Kelima
mengenai pemeliharaan obyek ijarah, tanggung jawab kerusakan dan
nilai serta jangka waktu ijarah40 yaitu:
Pasal 269: (1) Kerusakan obyek ijarah karena kelalaian pihak
penyewa adalah tanggung jawab penyewa, kecuali
ditentukan dalam akad.
Pasal 270: Penyewa wajib membayar obyek ijarah yang rusak
berdasarkan waktu yang telah digunakan dan
besarnya ijarah ditentukan dalam musyawarah.
Hal ini juga berlaku apabila sebab dan tempatnya sama.
Adapun apabila keduanya berbeda, maka tidak mengapa upah dan
ganti rugi menyatu. Sebagai contoh, seseorang menyewa kendaraan
dengan janji akan menaikinya sendiri menuju tempat tertentu.
Namun, dia mengendarai dengan membonceng orang lain. Setelah
sampai ketempat tersebut, kendaraan yang dipakai rusak. Maka dia
38
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah (K.H.E.S), (Bandung: Fokusmedia, 2010), h. 65.
39
Ibid, h. 66.
40
Ibid.
226
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

wajib membayar sewanya dan memberi ganti rugi atas separuh nilai
kendaraan. Adapun alasan wajibnya dia membayar sewa karena dia
melampaui batas dengan membonceng orang lain. Maka kewajiban
sewa tersebut dikarenakan suatu sebab yaitu dia membonceng orang
lain dan kewajiban mengganti rugi karena sebab lain yaitu karena
tunggangannya rusak.41
Berdasarkan contoh di atas juga terdapat aturan yang sama
seperti contoh sebelumnya yakni dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) mengenai penggunaan obyek ijarah maka transaksi
ini adalah contoh transaksi ijarah yang menerapkan penggunaan
obyek yang dipakai pada point 2 yang menyatakan akad ijarah nya
dilakukan secara terbatas sehingga si penyewa hanya dapat
menggunakan obyek ijarah sesuai dengan kesepakatan dalam akad
yaitu dalam janji nya ia akan menaikinya sendiri menuju tempat
tertentu. Namun karena tunggangannya rusak akibat membonceng
orang lain maka si penyewa wajib mengganti rugi sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
pada pasal 269 yaitu kerusakan obyek ijarah karena kelalaian pihak
penyewa adalah tanggung jawab penyewa, kecuali ditentukan dalam
akad dan pada pasal 270: Penyewa wajib membayar obyek ijarah
yang rusak berdasarkan waktu yang telah digunakan dan besarnya
ijarah ditentukan dalam musyawarah.42
Kemudian contoh lainnya yaitu seorang tukang jahit, dimana ia
dibenarkan menahan jahitan yang dipesan sampai dilunasi upah
yang akan diberikan, apabila tidak ada syarat adanya penundaan
dalam pembayaran. Dengan cara ini apabila seseorang menahan
barang tersebut dan kemudian rusak, ia tidak mengganti kerusakan
itu dan ia tetap berhak pada upahnya.43 Contoh lainnya lagi yaitu:
seorang tukang sol sepatu, ia dibenarkan menahan sepatu yang

41
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100………., Op Cit, h. 237-238.
42
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 66.
43
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h.257.
227
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

diperbaiki sampai dilunasi upah yang akan diberikan, apabila tidak


ada perjanjian adanya penundaan dalam pembayaran. Dengan cara
ini apabila tukang sol sepatu menahan sepatu tersebut dan kemudian
rusak, ia tidak mengganti kerusakan itu dan ia tetap atas
mendapatkan upahnya.44
Dua contoh di atas adalah mengenai upah mengupah yakni
menjual tenaga atau kekuatan. Muamalah yang dilakukan oleh
tukang jahit dan tukang sol sepatu adalah ijarah yaitu sebagai sesuatu
pekerjaannya maka kewajiban pembayaran upahnya yaitu pada
waktu berakhirnya pekerjaan. Dalam hal ini menurut Imam Syafi’i,
apabila yang memberikan upah (mu’jir) menyerahkan zat benda
yang disewakan kepada orang yang menerima upah (musta’jir)
maka ia berhak menerima bayarannya yakni upah atau yang disebut
dengan ujrah. Adapun mengenai tidak wajibnya mengganti
kerusakan sebab bukan karena kelalaian musta’jir, sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
pada pasal 269 point 245 yaitu: Jika obyek ijarah rusak selama
masa akad terjadi bukan karena kelalaian penyewa, maka pihak yang
menyewakan wajib menggantinya. Hal tersebut terjadi pada dua
contoh di atas disebabkan memang tidak ada perjanjian mengenai
adanya penundaan dalam pembayaran maka ketika barang tersebut
kemudian rusak, maka ia tidak mengganti kerusakan itu dan ia tetap
berhak pada upahnya.
2. Qaidah ‫‚ امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْن‬resiko itu sejalan dengan keuntungan‛
a. Pengertian ‫امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْن‬
‫ غر ُرم‬berarti untung atau keuntungan, sedangkan ‫رن‬ ُِ ْ ُ‫ غ‬berarti rugi
atau kerugian. Maksud dari kaidah al-ghurmu bi al-ghunmi ialah

44
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-
Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 178.
45
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 66.
228
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

resiko itu menyertai manfaat maksudnya seseorang yang


memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Bisa juga berarti
‚denda itu seimbang dengan perolehan‛, maksudnya orang yang
memperoleh manfaat sesuatu menanggung kerugiannya. Kaidah ini
kebalikan dari faedah yang diberikan oleh kaidah ‚hasil itu dengan
tanggungan‛, artinya orang yang mendapatkan manfaat dari sesuatu
berkewajiban menanggung beban dan biaya untuk
keberlangsungannya.46
Menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna yang tersirat dari
kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat
dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab
atas dharar atau ghurmu serta dhaman yang akan terjadi. Misal,
biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan
dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya,
sesorang yang meminjam barang, maka ia wajib mengembalikannya
dan resiko biaya-biaya pengembaliannya.47
b. Dasar Qaidah ‫امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْن‬
Hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari dari
Abu Hurairah ra:
َ ‫يرٍُُ ْرنَ ُةُ ِتنَ َفلَ ِت ِوُا َذ‬
ُ‫اَُك َن‬ َّ ُ-‫هللاُ–ُضىلُهللاُػوَوُوسمل‬
ُ ‫ُامظ‬: ِ ُ‫ُىرٍْ َرةَُك َا َلُكَا َل َُر ُسو ُل‬َ ‫غنُ َأ ِِب‬ ْ
ِ ََ َ ُ َ ِ َ
َ ْ ٌُ‫ُمرى َُوه َ ًة َُوػَىلُا ِذلى‬
‫َرش ُب َُوٍَ ْرن ُةُامنَّفلة‬ ْ ‫رش ُبُم َ َُبُامنَّاكَة ُِا َذاُُ ََكه َْت‬
َ ْ ُ ٌُ‫َم ْرىُونً ُ َو‬
Artinya: ‚Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah
SAW: binatang tunggangan boleh ditunggangi karena
pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil
susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan,
bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan
biaya‛.48
Hadits di atas merupakan landasan syariah tentang ar-rahn
(gadai) yang menegaskan akan hak dan kewajiban bagi pihak-
46
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 ………., Op Cit, h. 243.
47
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 259.
48
Ibid, h. 258.
229
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

pihak yang melakukan akad gadai. Penerima barang gadai dapat


memanfaatkan kendaraan yang digadaikan kepadanya selama ia mau
merawatnya, begitu juga susu hewan boleh diminum bila digadaikan
dan penerima barang gadaian wajib memberikan biaya atas manfaat
yang diperolehnya. Dan secara tidak langsung diketahui bahwa
segala sesuatu baik dalam hal pemanfaatan maupun perbuatan yang
bersifat untuk meraih keuntungan atau manfaat, sudah pasti ada
resiko yang harus ditanggung. Baik resiko itu bersifat kecil atau
besar. Oleh karena itu, kaidah di atas mengatakan bahwa ‚Resiko itu
sejalan dengan keuntungan‛.
c. Penerapan Qaidah ‫امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْن‬
Dalam transaksi tentu ada manfaat yang diperoleh dan ada
kerugian yang menjadi resiko. Salah satu bagian dari muamalah yang
berkaitan dengan kaidah di atas adalah pinjam meminjam (ariyah).
Kata pinjam meminjam dalam bahasa Arab adalah disebut ariyah.
Sedangkan menurut terminologi Abd al-Rahman al-Jaziri
memberikan pengertian dengan ًُ‫( تركلُاملَنَرا ِفعُِ َمخَران‬memiliki manfaat
secara cuma-cuma). Ibnu Rifa’ah memberikan pengertian dengan
‫راُحي رلُُّا َِلهْ ِت َفرراعُُ ِت ر ِوُ َم ر َعُتَلَررا ِءُ َغ َْ ِن ر ِوُ ِمر َ ُرري ِ ّدُِه‬
ِ َ ‫( ا َاب َح ر ُةُا َِلهْ ِت َفرراعُِ ِت َمر‬kebolehan mengambil
manfaat suatu barang dengan halal serta tetap ِ zatnya supaya dapat
49
dikembalikannya).
Terhadap barang pinjaman, apabila peminjam telah
memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut
rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang
berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibnu
Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i dan Ishaq. Mereka berpegang
kepada hadits yang diriwayatkan Samurah ‫ػَ َرىلُام ََر ِدُ َمراُ َأخَر َُذ ْتُ َح َّرىتُثُر َؤ ِ ّد َُى‬
(pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, sehingga ia
mengembalikannya). Meskipun pinjam meminjam itu dibolehkan,
namun hendaklah dilakukan ketika ada kebutuhan yang mendesak
disertai dengan niat akan mengembalikannya. Menurut Hanafi, Maliki
49
Ibid, h. 260.
230
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

dan Hambali mengenai barang pinjaman, peminjam boleh


meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain, sekalipun
pemiliknya belum mengizinkannya. Jika penggunaannya untuk hal-
hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Namun
barang pinjaman tidak boleh untuk disewakan. Jika peminjam suatu
benda meminjam benda pinjaman tersebut kepada orang lain
kemudian rusak ditangan yang kedua, maka pemilik berhak meminta
jaminan kepada salah seorang di antara keduanya.50 Terhadap
barang pinjaman, maka sangat jelas yang memperoleh manfaat
adalah si peminjam. Oleh karena itu, peminjam dibebani untuk
menanggung resiko terhadap barang pinjaman.
Begitu pula terhadap barang gadaian, yang dimaksud dengan
gadai yaitu penetapan dan penahanan. Sedangkan menurut
terminologi sebagaimana pengertian yang diberikan oleh Taqiy al-
Din yaitu : ‫( َجؼر ُلُاملَرالِ َُو ِج َْلَر ًةُتردَ ٍْ ٍُن‬menjadikan harta sebagai jaminan
utang). Menurut Ahmad, Ishaq, al-Laits dan al-Hasan, jika barang
gadaian berupa binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka si
penerima gadai dapat mengambil manfaat dari binatang itu yang
disesuaikan dengan biaya pemeliharaannya yang dikeluarkan selama
binatang itu ada padanya. Mereka berpegang kepada Hadits
Rasulullah SAW:
‚Dari Abu Hurairah r.a berkata. Bersabda Rasulullah SAW:
binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya
apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk
diminum karena pembiayaannya, bila digadaikan bagi orang yang
memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya‛.
Pengambilan manfaat dari benda-benda gadai di atas
ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga
bagi yang memegang barang gadai seperti yang di atas punya
kewajiban tambahan. Pemegang gadai berkewajiban memberikan
makanan bila barang gadaian itu berupa hewan. Jadi yang
ditekankan adalah upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian
50
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Op Cit, h. 97.
231
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

yang ada pada dirinya. Tetapi apabila pemanfaatan barang gadaian


itu lebih dari keperluan maka diharamkan, karena termasuk riba.
ًُ َ‫ُكررضُ َجررُ َمنُْ َف َؼر ًُةُف‬
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: ‫يروُراب‬ ٍ ‫لك‬ ُّ (setiap
utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba). Murtahin
(penerima gadai) berkewajiban memelihara sebagaimana layaknya,
apabila barang gadaian itu hilang di bawah penguasaan murtahin,
maka murtahin tidak wajib menggantinya. Kecuali hilangnya itu
karena kelalaian penerima gadai, seperti gudang tempat disimpannya
barang gadai tidak dikunci, lalu barang gadai itu hilang dicuri
orang.51
Pemeliharaan objek rahn merupakan tanggung jawab murtahin
(pihak penerima gadai), apabila barang gadaian tersebut hilang
akibat kelalaian murtahin, maka murtahin wajib menggantinya dan si
pemberi gadai (rahin) pun dapat menuntut ganti rugi. Hal ini
dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pada
pasal 366 dan 367 Bagian Kedelapan mengenai penjualan harta
rahn52 yaitu:
Pasal 366: Jika penerima gadai tidak menyimpan dan atau
memelihara harta gadai sesuai dengan akad maka
pemberi gadai dapat menuntut ganti rugi.
Pasal 367 : Apabila harta gadai rusak karena kelalaiannya,
penerima gadai harus mengganti harta gadai.
Berlakunya kaidah al-ghurmu bi al-ghunmi ini diterapkan
pada transaksi ariyah dan rahn. Seseorang yang meminjam suatu
benda atau barang, maka ia wajib mengembalikan serta membayar
biaya angkutannya bila diperlukan, sebaliknya orang yang menitipkan
barang untuk dipelihara, maka ongkos angkut benda atau barang
dan pemeliharaannya dibebankan kepada pemilik barang (pemberi

51
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 261-263.
52
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 83.
232
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

gadai).53 Hal ini juga dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi


Syariah (KHES) pada pasal 362 Bagian Ketujuh mengenai
penyimpanan harta rahn54 yaitu pemberi gadai bertanggung jawab
atas biaya penyimpanan dan pemeliharaan harta gadai, kecuali
ditentukan dalam akad. Sebagai contoh seseorang yang menerima
barang gadaian harus memberikan bensin bila pemegang barang
gadai tersebut berupa kendaraan, sebab kendaraan tidak mungkin
bisa dihidupkan mesinnya tanpa diberi bensin dan kendaraan yang
mesinnya tidak dihidupkan tidak mungkin dapat dijalankan.55 Pada
dasarnya terdapat aturan mengenai biaya penyimpanan dan
pemeliharaan harta gadai yang dibebankan kepada si pemberi gadai,
namun dalam hal ini penerima gadai menggunakan harta gadai
tersebut yaitu harta yang berupa kendaraan. Pada pasal 357 dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Bagian Keenam
mengenai hak rahin dan murtahin disebutkan bahwa penerima gadai
tidak boleh menggunakan harta gadai tanpa seizin pemberi gadai.
Namun ketika ada kesepakatan oleh kedua pihak dalam akad rahn
maka diperbolehkan menggunakan harta apalagi penggunaan harta
kendaraan, karena kendaraan merupakan benda yang bergerak
sebagaimana dalam hadits disebutkan binatang tunggangan yang
digadaikan diperbolehkan untuk ditunggangi serta diambil
manfaatnya. Kendaraan merupakan harta gadai yang bernilai, hal
tersebut telah sesuai dengan rukun dan syarat rahn yang disebutkan
pada pasal 33256 yaitu harta gadai harus bernilai dan dapat
diserahterimakan.
Kaidah ini juga diterapkan di Bank Syariah melalui konsep
pembagian yakni profit and loss sharing (pembagian keuntungan

53
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 211.
54
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 82.
55
Faturrahman Azhari, Qawaid ………., Op Cit, h. 264.
56
Mahkamah Agung RI, Kompilasi ………., Op Cit, h. 77.
233
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

dan kerugian) melalui produk dengan akad mudharabah dan


musyarakah pada Bank Syariah. Oleh karena itu ada aturan dalam
pembagian keuntungan dan kerugian dalam pelaksanaan dua akad
tersebut. Adapun aturan mengenai pembagian keuntungan dan
kerugian dalam akad mudharabah dinyatakan dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dalam BAB VII pada Bagian
Kedua mengenai ketentuan mudharabah yaitu pada pasal 194
sampai pasal 21057 sedangkan ketentuan akad musyarakah
dinyatakan dalam BAB VI pada Bagian Pertama mengenai
ketentuan umum syirkah yaitu pada pasal 136 sampai pasal
141.58

E. Kesimpulan
1. Qaidah Fiqhiyyah ‫ان‬ُِ ‫( ا َُأل ْج ُُر ُ َوامضَّ َم ُان ََُل َ َْيتَ ِم َؼ‬Upah dan Membayar Ganti
Tidaklah Berkumpul)
Qaidah fiqhiyyah ini berkaitan dengan upah mengupah (ujrah)
atau sewa menyewa (ijarah) dan ganti rugi (adh-dhaman). Adapun
dasar pengambilan Qaidah ‫ران‬ ُِ ‫ ا َأل ْج ُر َوامضَّ ر َم ُان ََُلُ َ َْي َت ِم َؼ‬bisa ditemukan dalam
beberapa ayat Al-Qur’an di antaranya dalam QS. Al-Thalaq ayat 6 dan
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah ra. Adapun maksud dari kaidah ini adalah antara upah dengan
membayar ganti rugi tidaklah berkumpul atau tidak bisa bersatu ketika
pemberian upah dan ganti rugi arahnya sama. Maksudnya sebab
dikeluarkannya upah dan objek yang perlu diganti tersebut sama. Namun
apabila keduanya berbeda, maka tidak mengapa upah dan ganti rugi
menyatu.
Berkaitan dengan kaidah ini, disebutkan dalam Syarh Al-Majallah
bahwa kaidah ini melahirkan cabang-cabang, di antaranya apabila orang
yang menyewa melewati batas yang telah disyaratkan (disepakati antara
pihak penyewa dan pihak yang menyewakan), sekira dapat
57
Ibid, h. 52-55.
58
Ibid, h. 42-44.
234
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

menyebabkan ganti rugi, maka upah tidak wajib baginya. Sebagai contoh
seseorang menyewa kendaraan untuk dipakai ke tempat tertentu. Namun
dia melebihi dari tempat yang telah ditentukan sehingga kendaraannya
rusak. Maka dia wajib mengganti kendaraan tersebut, tetapi tidak wajib
membayar sewanya. Pentingnya dhaman dalam perjanjian agar dalam
akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan.
Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka
ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Contoh
lainnya dalam hal upah yaitu seorang tukang sol sepatu, ia dibenarkan
menahan sepatu yang diperbaiki sampai dilunasi upah yang akan
diberikan apabila tidak ada perjanjian adanya penundaan dalam
pembayaran. Dengan cara ini apabila tukang sol sepatu menahan sepatu
tersebut dan kemudian rusak, ia tidak mengganti kerusakan itu dan ia
tetap mendapatkan upahnya. Adapun ketentuan mengenai kewajiban
mengganti kerusakan sebab kelalaian serta tanggung jawab pemeliharaan
obyek dalam transaksi ijarah ini juga dinyatakan pada pasal-pasal yang
termuat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang bisa
menjadi acuan dalam kegiatan transaksinya.
2. Qaidah Fiqhiyyah ‫( امغ ُْر ُمُابمغ ُُِْن‬Resiko itu Sejalan dengan Keuntungan)
Qaidah fiqhiyyah ini berkaitan dengan keuntungan dan kerugian
serta resiko dalam transaksi pinjam meminjam (ariyah) dan rahn.
Adapun dasar pengambilan Qaidah ‫ُرن‬ ُِ ْ ‫ امغ ُْرر ُمُابمغ‬bisa ditemukan dalam
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah ra. Adapun maksud dari kaidah ini adalah resiko itu menyertai
manfaat, maksudnya seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus
menanggung resiko. Bisa juga berarti ‚denda itu seimbang dengan
perolehan‛ maksudnya orang yang memperoleh manfaat sesuatu
menanggung kerugiannya. Menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna
yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang
memperoleh manfaat dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus
bertanggung jawab atas dharar atau ghurmu serta dhaman yang akan
terjadi.

235
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

Dalam transaksi tentu ada manfaat yang diperoleh dan ada


kerugian yang menjadi resiko. Salah satu bagian dari muamalah yang
berkaitan dengan kaidah di atas yaitu pinjam meminjam (ariyah).
Seseorang yang meminjam suatu benda atau barang maka ia wajib
mengembalikan serta membayar biaya angkutannya bila diperlukan,
sebaliknya orang yang menitipkan barang untuk dipelihara maka ongkos
angkut benda atau barang dan pemeliharaannya dibebankan kepada
pemilik barang. Adapun mengenai tanggung jawab atas penyimpanan
dan biaya pemeliharaan harta tersebut dalam transaksi ariyah dan rahn
dinyatakan pada pasal-pasal yang termuat dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) yang bisa menjadi acuan dalam kegiatan
transaksinya. Kemudian kaidah ini juga diterapkan di Bank Syariah
melalui konsep pembagian yakni profit and loss sharing (pembagian
keuntungan dan kerugian) melalui produk dengan akad mudharabah dan
musyarakah pada Bank Syariah. Adapun aturan mengenai pembagian
keuntungan dan kerugian dalam akad mudharabah dan musyarakah ini
juga dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

236
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asmuni, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang,
1976.
Ahmad al-Zarqa, Mustafa, al-Fiqh al Islami fi Tsaubihi al-Jadid,
Beirut: Dar al Fikr, 1965.
Arifin, Miftahul dan A. Faisal Haq, Ushul Fiqh; Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997.
Azhari, Faturrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin:
Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), April 2014.
Dib Al-Bugha, Musthafa, Buku Pintar Transaksi Syariah; Menjalin
Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya
Berdasarkan Panduan Islam, Jakarta: Hikmah (PT Mizan
Publika), 2010).
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam
Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis,
Jakarta: Kencana, 2006.
Haidar, Ali, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam. Jilid I,
Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1991.
Hanafi, Mashunah, Fiqh Praktis, Banjarmasin: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2015.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad, Pengantar Hukum Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
___________________, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001.
http://isfahannur.blogspot.com/2011/08/perbuatan-hukum-dan-
mukallaf.html,

237
Jurnal Al-Risalah Volume 14, Nomor 2, Juli – Desember 2018

http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan,
https://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi--
sanksi--ganti--kerugian-dan-keadaan-memaksa/
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Hadits Nomor 1037, Bab al-Nahyi
al-Masa’alah, Jilid IV).
Karim Zaidan, Abdul, Al-Wajiz; 100 Kaidah Fikih dalam
Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: Al-Kautsar, 2013.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah (K.H.E.S), Bandung: Fokusmedia, 2010.
Manzur, Ibnu, Lisan al-‘Arab, (t.tp; Dar al-Ma’arif, t.th, Jilid IV).
Muhammad Asy-Syafii, Ahmad, Ushul Fiqh al-Islami, Iskandariyah
Muassasah Tsaqofah al-Jamiiyah, 1983.
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Ridwan, Fathi, Min Falsafatil Tasyri’ Islam, Kairo: Darul Katib al-
Araby, 1969.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
Tamrin, Dahlan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-
Khamsah), Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Usman, Muchlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-
Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Wahhab Khallaf, Abdul, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002.

238

You might also like