519-Article Text-1489-1-10-20190218

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

SITUS LAMBANAPU: DIASPORA AUSTRONESIA

DI SUMBA TIMUR
Retno Handini1, Truman Simanjuntak2, Harry Octavianus Sofian3, Bagyo Prasetyo4
Myrtati Dyah Artaria5, Unggul Prasetyo Wibowo6, I Made Geria7

1
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten no 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan.
handiniretno@yahoo.com.
2
Center For Prehistoric And Austronesian Studies (CPAS), Jl. A. Dahlan IV no 12a Depok.
simanjuntaktruman@gmail.com.
3
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten no 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Harry.octa@gmail.com. Com.
4
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten no 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Prasetyo_bagyo@yahoo.com.
5
Departemen Antropologi FISIP Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam, Surabaya.
myrtati.artaria@fisipunair.ac.id,
6
Museum Geologi Bandung, Jl. Dipomegoro 7 Bandung.
uungpw@yahoo.com.
7
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten no 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan.
geria89@yahoo.com.

Abstract. Lambanapu Site: Diaspora Austronesia In East Sumba. The research at


Lambanapu Site aims to determine the position of Lambanapu in the distribution and
development of Austronesian ancestors and their culture in Sumba. The method used is survey,
excavation, analysis, and interpretation. The results of the research are skeletal findings and
urn burial also artifacts which are pottery, beads, metal jewelry, and stone tools. From the
dating result it is known that Lambanapu Site was inhabited at least 2.000 years ago and from
paleantropology analysis, it is estimated that the individuals found from primary and secondary
burial in Lambanapu are a mixture of Mongoloid and Australomelanesoid. Genetic mixing is
very possible, given the history of the archipelago's occupation which was filled by several
waves of great migration in the past. The Lambanapu site has provided an overview of Sumba's
ancestral life in the context of the archipelago. The Lamabanapu research results show us, how
Lambanapu and Sumba in general rich with historical and cultural values of the past that are
very useful for today's life. The wealth of historical and cultural values is not only for local
interests, but also to fill the rich history and culture of the archipelago, and even contribute to
global history.
Keywords: Lambanapu, prehistoric, Austronesian

Abstrak. Penelitian di Situs Lambanapu bertujuan untuk mengetahui posisi Lambanapu


dalam persebaran dan perkembangan leluhur Austronesia dan budayanya di Sumba. Metode
yang dilakukan adalah survei, ekskavasi, analisis, dan interpretasi. Hasil penelitian berupa
temuan rangka dan kubur tempayan serta artefak berupa gerabah, manik-manik, perhiasan
logam, dan alat batu. Dari hasil pertanggalan diketahui bahwa setidaknya Situs Lambanapu
telah dihuni 2.000 tahun yang lalu. Hasil analisis paleoantropologi diperkirakan individu yang
ditemukan di Lambanapu, baik kubur primer maupun sekunder, merupakan percampuran antara
Mongoloid dan Australomelanesoid. Percampuran genetika memang sangat memungkinkan
terjadi mengingat sejarah hunian Nusantara yang terisi oleh beberapa gelombang migrasi besar
pada masa lampau. Situs Lambanapu telah memberikan gambaran kehidupan leluhur Sumba
dalam konteks Nusantara. Hasil penelitian memperlihatkan betapa Lambanapu dan Sumba pada
umumnya memiliki kekayaan nilai sejarah dan budaya masa lampau yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan masa kini. Kekayaan nilai sejarah dan budayanya tidak hanya untuk kepentingan
lokal, tetapi juga untuk mengisi kekayaan sejarah dan budaya Nusantara, bahkan kontribusi
bagi sejarah global.
Kata Kunci: Lambanapu, prasejarah, Austronesia
Naskah diterima tanggal 14 November 2018, diperiksa 19 November 2018, dan disetujui tanggal 21 Januari 2019.

67
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 2, Desember 2018 : 1-14

1. Pendahuluan campuran genetika Penutur Ausronesia dan


Indonesia memiliki sejarah peradaban Melanesia (Lansing et al. 2011: 262)
yang sangat panjang, mulai dari munculnya Di antara problematik arkeologi Sumba,
Homoerectus sampai kemunculan Homosapiens sejarah dan perkembangan hunian penutur
yang melakukan migrasi ke Kepulauan Austronesia merupakan isu yang sangat
Indonesia. Kekayaan sejarah peradaban ini menarik diteliti di pulau ini untuk memberi
tidak lepas dari posisi lingkungan Indonesia kontribusi bagi pemahaman asal-usul dan
yang strategis dan kayanya sumber daya alam. persebaran leluhur bangsa Indonesia. Tujuan
Migrasi manusia ini menyebabkan Indonesia penelitian untuk memahami sejarah penghunian
menjadi bagian penting dari sejarah peradaban situs Lambanapu dikaitkan dengan persebaran
dunia dan menjadi perhatian para peneliti dari diaspora Austronesia. Penelitian dilakukan
dunia Internasional. di Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera,
Salah satu komunitas migrasi manusia Kabupaten Sumba Timur.
adalah penutur Austronesia yang mempunyai Asal-usul bahasa Austronesia mulai
pengaruh di belahan barat (Madagaskar) sampai diperbincangkan dan muncul pada awal abad
belahan timur (Pulau Paskah), serta belahan ke-20 yang melibatkan tokoh linguistik dan
utara (Taiwan dan Mikronesia), dan belahan arkeologi. Pada umumnya mereka mendukung
selatan di Selandia Baru. Komunitas penutur apa yang telah dikemukakan oleh R.A. Kern
Austronesia berlatar belakang budaya yang dan Wilhelm Schmidt. Hal ini didasarkan
sangat beragam mulai dari nelayan, pengelana pada sebaran beliung persegi batu yang diasah
laut, masyarakat agraris, sampai pedagang. permukaannya sebagai salah satu petunjuk
Perkembangan populasinya pun mencapai adanya migrasi orang Austronesia ke Kepulauan
beberapa babak, yaitu dari awal (masa neolitik) Indonesia dan Pasifik.
sampai ke proto historis, bahkan terus berlanjut Robert von Heine Geldern menyimpulkan
hingga ke masa historis (Bellwood 1997, 321; dari hasil pelacakan migrasi Austronesia dan ciri-
Simanjuntak, Pojoh, and Hisyam 2006,10). ciri budaya yang dibawa para migran tersebut,
Sejumlah penelitian arkeologi di para penutur Austronesia pada awalnya berasal
kawasan Sumba Timur pernah dilakukan dari Cina, lalu bermigrasi melalui jalur darat ke
oleh para peneliti, di antaranya A.C. Kruyt Indo-Cina, bahkan kemudian ke Semenanjung
(1908), Snell (1948), Soejono (1984), Bagyo Melayu. Para migran ini membawa budaya
Prasetyo (1985), Haris Sukendar (1990), Citha dengan ciri kegiatan bercocok tanam padi atau
Yuliati (1998), Jatmiko (2000) dan Retno cantel, memakai pisau batu, membuat minuman
Handini (2016, 2017) (van Heekeren and keras yang terbuat dari padi, beternak babi-
Soejono 1972; van Heekeren 1956; Handini sapi-kerbau untuk upacara, membuat barang
et al. 2018). Hanya saja penelitian tersebut pecah belah berupa tembikar, membuat kain
belum terkompilasi dengan baik, tetapi masih dari kulit kayu, menghuni rumah panggung,
menyisakan permasalahan, antara lain mengayau, mendirikan bangunan megalitik,
mengenai umur situs, ras, dan genetika dari dan mengembangkan gaya seni tertentu.
individu yang ditemukan serta jenis tanaman Keseluruhan budaya tersebut dikatagorikan
masa lalu di Sumba Timur sehingga penelitian sebagai budaya Beliung Persegi (Geldern
tersebut perlu dimutakhirkan. Tahun 2014-- 1945,148).
2016 Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Perkembangan baru menyangkut
melakukan penelitian genetika mengenai penelitian arkeologi dan linguistik dikemukakan
populasi asal orang Sumba yang merupakan K.C. Chang bahwa asal-usul Austronesia

68
Situs Lambanapu: Diaspora Austronesia di Sumba Timur. Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian,
Bagyo Prasetyo Myrtati Dyah Artaria, Unggul Prasetyo Wibowo, dan I Made Geria

dari Taiwan karena ada kesamaan tinggalan 2017, 98; Bellwood 2000, 152; Bellwood 1992,
arkeologis dari hasil penelitiannya, khususnya 103; Bellwood 1987, 171). Sayangnya, hal ini
budaya Ta pén -Kéng dengan situs-situs dari berbeda dengan kronologi proses migrasi yang
wilayah Asia Tenggara kepulauan. Penelitian diyakini Bellwood bermula dari Cina Selatan
W.G. Solheim II terhadap pembuatan tembikar (Fujian atau Zhejiang) sekitar 500 tahun SM.
di Asia Tenggara dan Melanesia memberikan Bahasa Austronesia baru muncul setelah para
dasar kesimpulan bahwa ketrampilan membuat petani tinggal cukup lama di Taiwan. Adapun
tembikar menyebar ke Melanesia dari dua secara arkeologis kehadiran bahasa Austronesia
sumber yang berbeda, yaitu Jepang dan Cina ditandai oleh budaya Ta-p’en-k’eng sekitar
Selatan. Jalur persebarannya kurang lebih sama 4.000 tahun SM. Bellwood memperkirakan
dengan jalur persebaran budaya Kapak Lonjong migrasi dari Taiwan ke Kepulauan Filipina
dan budaya Beliung Persegi seperti yang baru terjadi sekitar 4.500--2.000 tahun SM,
dikemukakan Heine-Geldern (Solheim 1964, yang berarti sekitar 2.000 tahun lebih kemudian
360, 376--384). dibanding dengan rekonstruksi linguistik
Dukungan kuat tentang teori asal-usul Blust (Simanjuntak and Widianto 2012, 255).
Austronesia dari Taiwan juga dilakukan oleh Kecuali dari perbedaan pertanggalan, pada
Robert Blust yang melakukan rekonstruksi intinya antara Blust dan Bellwood mempunyai
linguistik dan menghasilkan bahwa bahasa persamaan skenario dalam migrasi Austronesia
Austronesia mulai terbentuk di Taiwan sekitar dari Taiwan.
5000 tahun SM. Kemudian sekitar 4.500 SM Teori gabungan antara kajian linguistik
bahasa ini terpecah menjadi bahasa-bahasa dan arkeologi ini lebih populer disebut
Formosa (sekarang ada sekitar sembilan sebagai model Out of Taiwan. Menurut model
bahasa) dan Proto-Malayo-Polinesia (PMP). ini, pemutur bahasa-bahasa Austronesia
PMP muncul sebagai akibat migrasi penutur dikelompokkan sebagai komunitas yang berciri
Austronesia ke Filipina. Persilangan kembali ras Mongolid. Dalam proses migrasinya,
muncul sekitar 3.500 SM ketika terjadi migrasi mereka cenderung mendesak kelompok
dari Filipina ke Kepulauan Indonesia Barat masyarakat Australomelanesid, yang ketika itu
(Kalimantan-Sulawesi) dan Maluku sehingga sudah menetap di Asia Tenggara kepulauan dan
memunculkan (proto) Malayo-Polinesia Barat Oseania sebagai masyarakat pemburu-peramu.
dan (proto) Malayo-Polinesia Tengah Timur. Keunggulan teknologi yang dibawa oleh para
Jenis bahasa yang terakhir ini memunculkan penutur Austronesia menjadi faktor utama yang
percabangan kembali sekitar 2.500 SM menjadi menyebabkan makin terdesaknya pemburu-
Malayo Polinesia Tengah dan Malayo-Timur peramu yang sudah lama tinggal di kawasan
akibat migrasi dari Maluku ke selatan menuju tersebut.
Nusa Tenggara dan ke timur menuju Kepala Leluhur yang menurunkan sebagian besar
Burung (Papua Barat). Cabang yang ke timur bangsa Indonesia saat ini tidak hanya berasal
terpecah lagi menjadi subkelompok Halmahera dari keturunan masyarakat penutur Austronesia,
Selatan-Papua Barat dan bahasa-bahasa Oseanik tetapi ada leluhur bangsa lain yang lebih dulu
yang tersebar luas di Mikronesia, Melanesia, menghuni Nusantara sebelum Austronesia,
dan Polinesia sekitar 2.000 SM (Blust 1984, antara lain Ras Australomelanesid yang
45–68). menurunkan populasi di Papua dan sebagian
Rekonstruksi linguistik Blust agaknya Indonesia bagian timur, ada pula ras Mongolid
cocok dengan hasil penelitian arkeologi, yang bertutur Austroasiatik dari Asia Tenggara
terutama hasil sintesis Peter Bellwood (Bellwood daratan. Sejauh ini belum pernah ditemukan sisa-

69
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 2, Desember 2018 : 1-14

sisa bahasa Austroasiatik di Indonesia, kecuali 3. Hasil dan Pembahasan


di Sarawak yang masih menunjukkan unsur Situs Lambanapu merupakan salah satu
kosakata Austroasiatik. Genetika masyarakat situs kunci yang diharapkan dapat membuka
Indonesia sekarang sudah sangat kompleks dan penelusuran leluhur orang Sumba Timur
semakin kompleks pula sejak zaman sejarah dan kehidupannya pada masa lampau. Pada
dengan masuknya para pendatang antara lain lingkup lokal kepentingan itu mengarah pada
dari India, Arab, dan Cina. pemahaman siapa yang disebut sebagai etnik
Sumba, dari mana asalnya dan bagaimana cara
2. Metode hidup dan perkembangannya dalam ruang dan
Metode penelitian dilakukan secara waktu di lingkup Sumba, sedangkan dalam
eksploratif dan deskriptif dengan teknik lingkup regional berhubungan dengan posisi dan
penjaringan data melalui survei permukaan, peran Sumba dalam interaksi dengan populasi
ekskavasi, analisis, dan interpretasi. Melalui pulau-pulau tetangganya di Nusa Tenggara.
penelitian konseptual dan multidisiplin
dengan penerapan metode penelitian yang 3.1 Ekskavasi Situs Lambanapu
sesuai, diharapkan sejarah penghunian dan Secara administratif situs Lambanapu
perkembangan budaya Austronesia di Sumba terletak di Kelurahan Lambanapu, Kecamatan
semakin jelas dan memberi kontribusi bagi Kambera, Kabupaten Sumba Timur,
kepentingan ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Situs
Penelitian ini multidisipilin dan melibatkan Lambanapu terletak sekitar 6 km sebelah
berbagai latar belakang keilmuan, antara tenggara Kota Waingapu dan berada di tebing
lain arkeologi, antropologi, geologi, dan Sungai Kambaniru yang sudah mengalami
paleantropologi. Arkeolog adalah tulang pendangkalan. Secara astronomis, posisi situs
punggung penelitian ini yang bertugas melakukan terletak pada koordinat 09˚ 42' 09.2" lintang
ekskavasi dan analisis artefak, sementara selatan (LS) dan 120˚ 16' 56.6" bujur timur
antropolog bertugas untuk menghimpun (BT) serta berada pada ketinggian 22 meter dari
data dari hasil wawancara mengenai mitos permukaan laut (m dpl).
asal-usul orang/etnik Sumba. Geolog dalam Situs Lambanapu pada saat ini merupakan
penelitian ini melakukan tugasnya untuk situs yang berada di tepi rawa tapal kuda. Tanah
mengamati kondisi geologi lingkungan sekitar situs Lambanapu merupakan endapan aluvial
dan juga memberikan pemahaman tentang dengan materi sedimen berupa pasir halus,
lapisan- tanah dari kotak-kotak ekskavasi. lanau, dan lempung. Hal yang menarik adalah
Paleaontropolog dalam penelitian ini bertugas tanah aluvial di situs Lambanapu dan sekitarnya
untuk melakukan analisis pada temuan rangka. banyak mengandung cangkang kerang laut yang
Selain itu, penelitian ini juga melibatkan teknisi jika dilihat kondisinya memang alami berasal
pencetakan rangka, teknisi pemetaan, dan dari dalam tanah. Berdasarkan penelitian
teknisi penggambaran. Analisis fitolit dilakukan umur teras-teras pantai di Sumba Timur
di laboratorium Universitas Gadjah Mada untuk Pirazolianalisis garis pantai purba, kemunculan
mengetahui jenis tanaman yang hidup pada cangkang kerang laut ini di Situs Lambanapu
masa lalu. Analisis pertanggalan dilakukan di wajar karena daratan situs Lambanapu pernah
laboratorium Beta Analytic Testing Laboratory menjadi bagian dari pantai purba suatu teluk
di Miami dan Batan Tenaga Nuklir Nasional tempat muara Sungai Kambaniru purba. Pulau
(BATAN) untuk mengetahui kronologi umur Sumba terangkat dengan kecepatan sekitar
absolut situs Lambanapu. 0,5 mm/tahun. Berdasarkan hal tersebut,

70
Situs Lambanapu: Diaspora Austronesia di Sumba Timur. Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian,
Bagyo Prasetyo Myrtati Dyah Artaria, Unggul Prasetyo Wibowo, dan I Made Geria

Foto 1 Lanskap situs Lambanapu terhadap sungai lama dan permukiman penduduk, difoto dari arah selatan (Sumber:
Harry Ocavianus Sofian)

Foto 2 Kotak ekskavasi TP I--TP XI hasil ekskavasi tahun 2016--2017 (Sumber: Harry Octavianus Sofian)

keberadaan pantai purba di situs Lambanapu semakin mundur ke arah laut dan proses ini terus
mulai ada sekitar 30.000 tahun yang lalu. Sungai berlangsung sampai sekarang. Atas dasar itu,
Kambaniru, sebagai sungai yang bermuara di jika daratan di situs Lambanapu sudah dihuni
pantai ini, terus mengisi produk sedimennya. sejak 3.000 tahun yang lalu, besar kemungkinan
Dengan kombinasi kecepatan sedimentasi di bahwa penghuni awal daratan Lambanapu pada
muara Sungai Kambaniru dan pengangkatan masa lalu hidup dekat pantai dan muara Sungai
Pulau Sumba, garis pantai pun terus bergeser Kambaniru purba.

71
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 2, Desember 2018 : 1-14

Foto 3 Kotak ekskavasi yang dibuka tahun 2018 (Sumber: Harry Octavianus Sofian)

Penelitian di Lambanapu sudah pernah perluasan 0,25 m (Handini et al. 2018, 96).
dilakukan oleh Puslit Arkenas dan Balai Selain rangka manusia, temuan arkeologis
Arkeologi Denpasar pada tahun 1980-an. yang diperoleh dalam ekskavasi tahun 2016 dan
Penelitian ini kemudian dilanjutkan kembali 2017 adalah gerabah, kerang laut, keramik, dan
oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun pecahan kaca. Tim sangat berhati-hati dalam
2016 dengan membuka kotak TP1, TP2, TP3 menangani temuan, terutama dari kotak TP VIII,
dan TP4 yang masing-masing berukuran 1,5 x TP IX, TP X, dan TP XI, karena kotak tersebut
1,5 m (Handini et al. 2016, 30). Tahun 2017 merupakan bekas lubang sampah. Dalam lubang
pembukaan kotak diperluas lagi karena temuan tersebut ditemukan banyak sampah dari masa
rangka manusia yang menembus kotak-kotak kini, antara lain plastik, karet ban, pecahan
di sampingnya, sehingga diputuskan untuk botol, sepatu bekas, tutup kaleng, dan sampah
membuka kotak TP1-TP XI (Handini et al. organik seperti tulang ayam dan babi.
2017). Teknik pendalaman per spit dengan Temuan arkeologis yang didapat dalam
interval 10 cm, kecuali spit 1 dengan kedalaman ekskavasi tahun 2018 agak berbeda dengan hasil
ekskavasi sebelumnya, yaitu ditemukannya
15 cm. Kedalaman setiap kotak bervariasi antara
lulu amah1, manik-manik, beliung persegi, dan
spit 3 sampai dengan spit 14 sesuai dengan
fragmen besi.
posisi rangka dan tempayan kubur.
Ketika dilakukan ekskavasi tahun a. Gerabah
2018, tim peneliti mulai memberlakukan grid Gerabah ditemukan di setiap kotak
kotak agar lebih terarah. Metode ekskavasi ekskavasi, baik berbentuk fragmen maupun
utuh (tempayan atau kendi). Fragmen
juga mengikuti prosedur yang sama dengan
gerabah ditemukan dalam berbagai bagian,
sebelumnya, yakni dengan teknik pendalaman
antara lain cucuk, tepian, badan, dan alas.
per spit. Adapun kotak ekskavasi yang dibuka
Jumlah temuan gerabah pada ekskavasi
adalah EI, FI, GI, G1, E5, F5, dan G5 dengan
tahun 2018 jauh lebih besar dibandingkan
ukuran kotak 1,5 m x 1,5 m, kecuali kotak E5
dengan ekskavasi tahun 2017, sebagian
dengan ukuran 1,5 x 0,75 m dan kotak G1 yang 1 Lulu amah adalah benda terbuat dari logam menyerupai
dibuka dengan ukuran 2 x 2 m yang menyentuh kalung dengan kedua ujung berbentuk kepala ular. Lulu
amah di Sumba dipakai sebagai perhiasan atau mas
kotak F1 dan H1 yang masing-masing terkena kawin

72
Situs Lambanapu: Diaspora Austronesia di Sumba Timur. Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian,
Bagyo Prasetyo Myrtati Dyah Artaria, Unggul Prasetyo Wibowo, dan I Made Geria

Foto 4 dan 5 Teknik hias gores gerabah Lambanapu tahun 2017 (kiri) dan tahun 2018 (kanan)
(Sumber: Harry Octavianus Sofian)

besar merupakan gerabah yang polos, (Yuliati 1993, 25-26; Yuliati 2005, 20).
sebagian kecil memiliki hiasan. Teknik Gerabah yang ditemukan tahun 2016--2018
hias gerabah Lambanapu sudah pernah mempunyai pola hias yang sama dengan
dianalisis oleh Citha Yuliati, yang membagi gerabah sebelumnya.
teknik hias gerabah Lambanapu menjadi
b. Manik-Manik
lima cara, yaitu teknik gores, teknik cukil,
Manik-manik ditemukan dalam ekskavasi
teknik toreh, teknik tusuk, dan teknik tekan.
tahun 2016 dan 2017, tetapi sangat sedikit,
Adapun pola hias dibagi menjadi enam
sedangkan pada tahun 2018 manik-manik
belas jenis, yakni titik berjajar dua, garis
ditemukan cukup banyak dan bervariasi
zig-zag melalui teknik gores, garis patah
dilihat dari bahan, jenis, warna, dan ukuran.
berjajar tiga, segitiga berjajar, titk-titik
berjajar diselingi garis horizontal, garis- Sayangnya, analisis terhadap temuan
garis tebal, garis zig-zag patah, gabungan manik-manik masih dalam tahap pengerjaan
antara garis sejajar dan setengah bulatan, sehingga detailnya belum bisa diketahui.
garis berjajar dua, gabungan antara garis Jika dilihat dari posisi letaknya di sekitar
sejajar dan lingkaran, garis patah yang rangka, sangat mungkin manik-manik
tebal, garis patah dengan posisi acak, garis tersebut berfungsi sebagai bekal kubur.
patah dirangkai menyerupai tulang ikan, c. Logam
garis patah dalam posisi acak dilalui garis Temuan logam baru ditemukan pada
horizontal, teknik cukil dan pola tumpal ekskavasi tahun 2018 berbentuk perhiasan

Tabel 1. Distribusi gerabah per kotak hasil ekskavasi tahun Tabel 2. Distribusi gerabah per kotak hasil ekskavasi tahun
2017 (sumber : Retno Handini) 2018 (sumber : Retno Handini)

73
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 2, Desember 2018 : 1-14

Foto 6 dan 7 Sebagian temuan manik-manik Situs Lambanapu (Sumber: Retno Handini)

Foto 8 dan 9 Lulu amah di kotak G5 yang ditemukan pada spit 6 (55 – 65 cm (Sumber: Harry Octavianus Sofian)

anting (?) dan lulu amah. Lulu amah sampai


saat ini bersama dengan mamuli2 dan gading
masih digunakan sebagai belis atau emas
kawin para bangsawan di Sumba.
d. Alat Batu
Alat batu tidak banyak ditemukan dalam
kotak-kotak penggalian. Tahun 2017
ditemukan sebuah batu pipih semacam alat
untuk menggiling bumbu dan dua buah
Foto 10 Beliung persegi (sumber : Harry Octavianus
batu bulat. Pada tahun 2018 ditemukan Sofian)
sebuah beliung persegi dalam kondisi patah.
Beliung persegi ini ditemukan di spit 2 kotak d. Moluska
F5. Belum dapat dipastikan apakah artefak Temuan moluska pada ekskavasi sebelumnya
batu ini memiliki hubungan dengan situs tidak banyak ditemukan, hanya 4 buah dari
penguburan karena batu-batu ditemukan Kotak TP VII dan 1 buah dari kotak TP
pada lapisan awal yang sangat mungkin VIII. Pada ekskavasi tahun 2018 moluska
masih teraduk. dari jenis gastropoda maupun pelecypoda
ditemukan dalam tiap kotak ekskavasi,
2 Mamuli adalah perhiasan terbuat dari logam, baik
perunggu maupun emas, berbentuk/menyerupai vagina seperti terlihat dalam Tabel 3. Moluska
yang distilir sebagai lambang kesuburan. Bentuk mamuli yang ditemukan pada umumnya berasal
ini juga sering digambarkan dalam pahatan kubur batu,
rumah adat, dan kain tenun dari laut berbentuk manik-manik atau sisa

74
Situs Lambanapu: Diaspora Austronesia di Sumba Timur. Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian,
Bagyo Prasetyo Myrtati Dyah Artaria, Unggul Prasetyo Wibowo, dan I Made Geria

Tabel 3. Distribusi kerang per kotak ekskavasi 2018 yang relatif utuh dan delapan tengkorak
(Sumber: Harry Octavianus Sofian)
temuan 2018. Setelah dilakukan analisis
dan casting terhadap tiga individu utuh (dua
individu terlalu rapuh sehingga tidak bisa
di-casting). Tahun 2018 dilakukan casting
pada kotak G1 yang berukuran 1,5 x 1,5 m
dengan temuan tempayan dan rangka (kubur
sekunder) untuk mendapatkan gambaran
temuan kotak yang utuh. Setelah dilakukan
analisis dan casting, kubur-kubur tersebut
ditimbun kembali. Hal ini dilakukan dengan
makanan. Hal itu menggambarkan bahwa alasan keamanan. Karena berada di tengah
leluhur Lambanapu memanfaatkan moluska permukiman penduduk, situs Lambanapu
laut sebagai bahan pangan sekaligus bahan dikhawatirkan akan mudah rusak jika
pembuat kalung manik-manik. dibiarkan terbuka.
Dalam menganalisis keturunan atau asal-
e. Fauna Darat
usul populasi, keturunan, atau sering
Beberapa jenis fauna darat ditemukan
disebut ras, yang diobservasi pada rangka
pada ekskavasi tahun 2016--2018 sekitar
adalah gigi-geligi, bentuk wajah, dan bentuk
93 fragmen. Sayangnya, temuan fragmen
kepala. Sebagian besar gigi rangka yang
tulang tersebut masih dalam proses analisis
ditemukan mempunyai tembilang ganda
sehingga belum diketahui jenisnya secara
(double shovel), di bagian labial dapat
pasti. Namun, yang pasti jenis fauna paling
diraba suatu cekungan yang menandakan
banyak adalah Bovidae dan Suidae.
adanya keturunan dari Mongoloid.
f. Rangka Manusia Individu lain menunjukkan mempunyai
Temuan rangka manusia di Situs Lambanapu alveolar prognatism seperti yang banyak
cukup mendominasi dan membutuhkan dijumpai, baik pada Deuteromalayid di Jawa
penanganan khusus karena kondisinya maupun pada Protomalayid. Diperkirakan
yang rapuh. Pada tahun 2016 hingga 2017 hal ini disebabkan oleh percampuran
ditemukan lima individu dalam posisi Mongolid dengan Australomelanesid di
telentang yang relatif utuh dan lengkap, area Indonesia. Mongolid yang berada di
sedangkan tahun 2018 ditemukan belasan Benua Asia kebanyakan tidak mempunyai
individu dalam kondisi tidak lengkap. alveolar prognatism seperti ini. Wajah
Jumlah pasti individu yang ditemukan individu yang ditemukan lebih mengarah
belum dapat dihitung karena sebagian pada bentuk memanjang (leptoprosop)
berupa fragmen tengkorak yang sebagian meskipun tengkorak dan wajah tidak utuh
besar masih terpendam dalam tanah. tulang-tulangnya. Ciri wajah memanjang
Paleoantropolog yang melakukan analisis ini banyak dijumpai pada manusia
rangka belum bisa memastikan jumlah Sumba zaman sekarang, berbeda dari ciri
individu yang ditemukan tahun 2018 karena khas wajah Monggolid etnik Jawa yang
harus dilakukan pengangkatan rangka untuk melebar (mesoprosop sampai euryprosop).
memastikan jumlahnya. Berdasarkan analisis terhadap lima rangka
Analisis paleoantropologi dilakukan pada manusia utuh temuan tahun 2016-2017
lima temuan rangka tahun 2016--2017 dan delapan tengkorak temuan tahun

75
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 2, Desember 2018 : 1-14

2018 tersebut, diperkirakan individu yang belum ditarikhkan. Sebagai perbandingan hasil
ditemukan di Lambanapu merupakan pertanggalan C14 di Laboratorium Groningen,
percampuran antara Mongolid dan Belanda, dari situs Melolo yang terletak
Australomelanesid. sekitar 50 km di timur Lambanapu adalah
2870±60 BP atau lebih dari 2.500 tahun yang
3.2
Lambanapu dalam Perspektif lalu (komunikasi/wawancara pribadi dengan
Kebangsaan R.P. Soejono). Data pertanggalan tersebut
Sebagai hunian para leluhur, Situs membuktikan bahwa Lambanapu merupakan
Lambanapu merupakan aset yang tak ternilai sebuah situs prasejarah, yang sudah dihuni
harganya, karena menyimpan data tentang para leluhur Sumba sekitar 2.000 tahun yang
akar sejarah dan budaya yang tumbuh di lalu atau mungkin tidak lebih tua lagi. Mereka
Nusantara beserta nilai-nilai usungannya. inilah yang menurunkan populasi asli Sumba
Artefak yang mereka tinggalkan sangat sekarang walaupun tidak tertutup kemungkinan
beragam dan tampaknya situs ini merupakan sudah bercampur dengan ras atau manusia lain
situs multikomponen atau situs yang memiliki sebelum dan sesudah kedatangannya.
budaya berkelanjutan. Pola kubur terlentang dan Lambanapu dalam konteks mikro
primer menjadi bukti nyata pola penguburan merupakan sebuah situs hunian leluhur
para pendukung budaya Lambanapu. terdahulu. Kehadirannya di Sumba merupakan
Tujuh tempayan utuh yang ditemukan bagian dari persebaran mereka di Kepulauan
tahun 2016--2017 dan dua tempayan utuh Nusantara lewat laut dalam mencari ladang
yang ditemukan tahun 2018 belum dilakukan kehidupan yang baru. Pemilihan Lambanapu
pembukaan untuk memastikan ada tidaknya sebagai lokasi hunian dan penguburan
rangka. penelitian tahun 2019 tempayan yang merupakan sebuah kearifan. Posisi geografisnya
ditemukan direncanakan akan dibuka untuk pada lembah di sekitar daerah aliran Sungai
mengetahui apakah ada rangka di dalamnya. Kambaniru sebelum bermuara ke laut merupakan
Jika semua temuan dihitung, berdasarkan sebuah pilihan yang tepat karena merupakan
laporan penelitian sebelumnya, dari ekskavasi lingkungan yang menjanjikan kehidupan.
tahun 1980-an hingga saat ini sekurang- Dibandingkan dengan lingkungan perbukitan
kurangnya telah tercatat lebih dari 40 kubur yang kering dan tandus, lingkungan lembah
tanpa wadah dan sekitar 44 kubur tempayan yang basah memberikan sumber daya yang kaya
ditemukan di situs ini. Seluruh temuan beserta dengan ketersediaan vegetasi dan hewan yang
temuan asosiasi lainnya menggambarkan situs menunjang kehidupan manusia. Posisinya yang
Lambanapu merupakan situs kubur dengan dekat pantai memungkinkan penghuninya dapat
hunian terletak di sekitarnya. memanfaatkan sumber daya lautan. Hal itu
Pertanggalan hunian di Lambanapu terbukti pula dari penemuan kerang-kerangan
menunjukkan umur 2148±95 BP (calpal http:// bersama sisa fauna darat di dalam situs.
www.calpal-online.de/cgi-bin/quickcal.pl) Hasil analisis yang dilakukan pada rangka
202±127 BC. Hal itu berarti bahwa hunian dari kubur terbuka menunjukkan bahwa leluhur
Lambanapu setidaknya telah berlangsung sejak Sumba memiliki karakter ras Mongolid yang
2000 tahun yang lalu. Sampel pertanggalan kuat bercampur dengan ras Australomelanesid.
ini diperoleh dari arang yang berada di dalam Data sementara ini selaras pula dengan hasil
tempayan yang terbuka pada kotak TP X spit analisis DNA yang dilakukan Lembaga Eijkman
7-8. Sangat mungkin Lambanapu berasal dari terhadap populasi Sumba sekarang. Hasilnya
masa yang lebih tua karena lapisan bawah memperlihatkan campuran kedua ras tersebut,

76
Situs Lambanapu: Diaspora Austronesia di Sumba Timur. Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian,
Bagyo Prasetyo Myrtati Dyah Artaria, Unggul Prasetyo Wibowo, dan I Made Geria

bahkan di antara ras Mongoid diperkirakan dengan memanfaatkan sumberdaya laut dan
campuran kelompok penutur Austronesia darat. Penguburan bagi yang mati berada
dan Austroasiatik. Keragaman genetika ini di sekitar lokasi hunian dengan dua cara:
didukung pula hasil studi bahasa Sumba yang dikubur tanpa wadah dalam posisi terlentang
memperlihatkan 35 % di antaranya merupakan dengan kepala dihadapkan ke arah timur dan
bahasa Austronesia, sedangkan 65 % bahasa dikuburkan dalam tempayan. Sering jasad
non-Austronesia atau Papua (Lansing et al. orang mati itu diberi bekal kubur berupa manik-
2011, 270). manik, tembikar, dan peralatan lainnya. Sistem
Data arkeologi, genetika, dan bahasa penguburan ini mengandung makna religius
di atas menunjukkan bahwa orang Sumba dan sosial. Perlakuan khusus terhadap si mati
merupakan campuran dua ras, kurang lebih menggambarkan konsepsi kepercayaan akan
sama dengan populasi yang menghuni zona adanya kehidupan baru setelah kematian.
Wallacea pada umumnya. Percampuran Lambanapu bersama Melolo merupakan
genetika memang sangat memungkinkan terjadi situs kunci dalam pemahaman kehidupan
karena sejarah hunian Nusantara yang terisi leluhur Austronesia di Sumba atau dengan kata
oleh beberapa gelombang migrasi besar pada lain pemahaman tentang siapa yang disebut
masa lampau. Dalam konteks ini perlu dirunut sebagai populasi asli Sumba. Individu-individu
dari sekitar 60.000 tahun yang lalu. ketika yang dikuburkan di kedua situs merupakan
manusia modern awal menginjakkan kakinya leluhur yang turun-temurun dari generasi ke
di Nusantara untuk, berkembang seiring dengan generasi menurunkan populasi etnik Sumba
waktu. Pada akhir Zaman Es ca. 12.000 tahun sekarang. Sangat mungkin Situs Lambanapu
yang lalu keturunan lanjut ini mencirikan merupakan hunian-hunian awal sebelum
karakter khas yang oleh para ahli disebut ras generasi berikutnya menyebar ke wilayah lain
Australomelanesid, yaitu ras yang menurunkan di Sumba. Persebaran yang berlangsung seiring
penduduk asli yang mendiami wilayah Papua dengan perjalanan waktu akhirnya menjadikan
sekarang. Kemungkinan pendatang Monggolid keseluruhan wilayah pulau dihuni seperti yang
awal ini bertutur bahasa Austroasiatik perlu terlihat sekarang.
diteliti secara khusus oleh ahli bahasa pada Dalam konteks regional dan nasional,
penelitian pada masa yang akan datang. keberadaan Situs Lambanapu memberi
Kehadiran kedua kelompok penutur pemahaman tentang diaspora penutur
bahasa ini tentu menciptakan interaksi dengan Austronesia dalam persebarannya di kawasan
ras Australomelanesid hingga menciptakan Nusantara. Mereka menyebar ke berbagai pulau
hibridisasi dan akulturasi. Proses seperti inilah dengan cara berlayar mengarungi laut dan selat.
yang besar kemungkinan terjadi di Sumba. Jika Dengan menelusuri pantai mereka berhenti
demikian, dapat dipahami bahwa rangka-rangka di muara-muara sungai dan mengeksplorasi
situs Lambanapu memiliki karakter Monggolid lingkungan untuk mengetahui kelayakan huni.
yang bercampur dengan ras Australomelanesid. Ada kalanya mereka melanjutkan eksplorasi
Hal itu diperkuat oleh temuan berupa tembikar ke arah hulu sungai hingga menemukan lokasi
dan beliung persegi sebagai produk budaya khas yang mendukung penghunian. Posisi geografis
Penutur Austroasiatik dan Austronesia Lambanapu yang tidak jauh dari sungai
Dalam konteks semimakro, meskipun menunjukkan model persebaran semacam ini.
baru ditemukan situs kuburnya Lambanapu jelas Dalam konteks global, sangat mungkin
telah dihuni oleh nenek moyang Sumba. Para situs Lambanapu memperlihatkan leluhur
leluhur sudah mengenal hidup di perkampungan Sumba telah aktif terlibat dalam perdagangan

77
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 2, Desember 2018 : 1-14

global. Tidak mustahil benda-benda seperti kebijakan pengembangan arkeologi nasional


manik-manik tidak diproduksi di Sumba, yang berfokus pada pemajuan kebudayaan
tetapi didatangkan dari luar. Tentu saja hal daerah perbatasan, penggalian nilai-nilai
ini masih membutuhkan kajian lebih lanjut kebinekaan dan kemaritiman. Berkaitan dengan
untuk membuktikan bahwa Lambanapu wilayah perbatasan, Sumba termasuk pulau
memiliki kontribusi perdagangan global. terluar yang letaknya langsung berhadapan
Jika dibandingkan dengan pualu-pulau lain, dengan Benua Australia di selatan. Pemahaman
terutama di sekitar abad-abad menjelang atau tentang proses pertumbuhan hunian dan
sesudah Masehi, gugusan pulau di Indonesia peradaban dan nilai-nilai luhur budaya yang
sudah berinteraksi dengan pedagang asing diusungnya jelas menjadi sangat strategis untuk
yang membawa benda-benda eksotis dari luar: mendudukkan Sumba sebagai bagian yang tak
perhiasan emas, manik-manik, dan benda-benda terpisahkan dari wawasan Nusantara hingga
logam lainnya. Benda-benda ini dipertukarkan sekaligus menguatkan nilai keindonesiaan.
dengan komoditas lokal, seperti kapur barus, Di lain sisi, penggalian dan pemasyarakatan
kemenyan, damar, kayu gaharu, kayu cendana, nilai-nilai itu akan menumbuhkan pemahaman
dan rempah-rempah. Sangat mungkin hal tentang siapa “orang Sumba”, hingga
yang sama terjadi di Sumba, populasi pulau melandasi penguatan karakter dan penumbuhan
ini diperkirakan telah aktif dalam perdagangan kebanggaan, sekaligus menginspirasi kemajuan
internasional dengan memperdagangkan kayu yang kemudian bermuara pada peningkatan
cendana dan gaharu yang banyak tumbuh di kontribusi bagi bangsa pada masa depan yang
pulau ini. akan datang.
Budaya Dongson telah masuk ke Dalam ranah kemaritiman, posisi
kepulauan Nusantara melalui perdagangan geografis Sumba yang agak menjauh ke selatan
benda perunggu, seperti nekara dan kapak dan dibatasi laut oleh gugusan Kepulauan Nusa
berbagai tipe. Perdagangan ini berlangsung Tenggara, tidak menjadi hambatan bagi manusia
dari satu pulau ke pulau lain dari barat ke untuk menghuni pulau ini sejak ribuan tahun
timur hingga mencapai Papua. Patut dicatat yang lalu. Sumba bukanlah pulau yang terisolasi
pula bahwa pada sekitar abad-abad sebelum dengan sejarah yang berdiri sendiri, melainkan
dan sesudah Masehi inilah budaya Megalitik bagian dari dinamika kehidupan di Nusantara.
memasuki Nusantara. Inti budaya megalitik Sejarah penghunian Sumba merupakan
yang merupakan kepercayaan terhadap arwah rangkaian dari persebaran leluhur Austronesia di
leluhur ini rupanya sesuai dengan alam pikir Nusantara yang diperkirakan sejak 3.500 tahun
masyarakat Nusantara hingga diterima dan yang lalu. Para leluhur bangsa dapat menyebar
berkembang luas, bahkan berlanjut sebagai ke ribuan pulau di Nusantara berkat kemahiran
tradisi yang menembus waktu. Sampai sekarang mereka dalam pelayaran. Dengan menggunakan
beberapa daerah masih memperlihatkan budaya perahu cadik, alat transportasi khas leluhur
megalitik yang menonjol, termasuk Sumba. Austronesia, mereka mampu mengarungi lautan
Pemujaan roh yang merupakan inti dari budaya hingga dalam persebarannya dapat menghuni
Megalitik itu masih terus bertahan di Sumba kawasan kepulauan yang sangat luas. Sejarah
dan tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan asli mencatat persebaran mereka melingkupi
masyarakat Sumba, yakni Marapu. Madagaskar di barat dan Pulau Paskah di timur.
Situs Lambanapu sangat penting dan Sebaran ini merupakan sebuah capaian besar
strategis bagi penguatan nilai-nilai kebangsaan. dalam sejarah kemanusiaan. Dalam rangkaian
Kepentingan ini sesuai pula dengan prioritas persebaran itulah mereka memasuki Indonesia

78
Situs Lambanapu: Diaspora Austronesia di Sumba Timur. Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian,
Bagyo Prasetyo Myrtati Dyah Artaria, Unggul Prasetyo Wibowo, dan I Made Geria

ca. 4.000 BP. Bukti-bukti tertua ditemukan di Penelitian Lambanapu memberikan gambaran
Minanga Sipakko, Kalumpang, dan beberapa kehidupan tentang leluhur Sumba dalam
situs lainnya di Sulawesi dan dari sini bersebar konteks Nusantara. Penelusuran terhadap
lebih lanjut ke pulau-pulau lainnya. kehidupan para leluhur ini, selain bertujuan
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa untuk kemajuan ilmu pengetahuan, pemahaman
penutur Austronesia merupakan salah satu sejarah kehidupan para leluhur Nusantara,
leluhur bangsa yang memasuki Indonesia persebaran, dan perkembangannya, juga
dengan budaya neolitiknya dari Taiwan- penggalian nilai-nilai dan kearifan budaya yang
Filipina. Dunia maritim bukan sesuatu yang diciptakannya. Nilai-nilai ini sangat penting
asing, melainkan bagian yang tak terpisahkan untuk landasan keindonesiaan kita, landasan
dari proses penghunian leluhur Nusantara, peradaban bangsa dalam menuju bangsa yang
bahkan juga mengisi kehidupan mereka, berkepribadian, bangsa yang kuat di tengah-
khususnya yang mendiami wilayah pesisir. tengah peradaban dunia. Dengan menggali dan
Hunian awal dengan budaya khas mengaktualisasikan nilai-nilai itu, Indonesia
neolitiknya berlanjut pada budaya Paleometalik akan berdiri tegak di atas landasan kebangsaan
di sekitar abad-abad sebelum dan sesudah yang kuat berakar pada nilai-nilai budaya yang
Masehi dengan interaksi antarpulau yang bertumbuh dan berkembang sejak ribuan tahun
semakin intensif. Keberadaan laut tidak yang lalu hingga membentuk kepribadian
membatasi interkoneksi pulau oleh ketrampilan bangsa.
dan penguasaan teknologi pelayaran. Hasil penelitian memperlihatkan betapa
Mengenai aspek kebinekaan, nilai- Lambanapu dan Sumba pada umumnya memiliki
nilai budaya Sumba turut memperkaya, kekayaan nilai sejarah dan budaya masa lampau
sekaligus menguatkan keaneka-ragaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masa
budaya Nusantara. Kebudayaan tidak pernah kini. Kekayaan nilai sejarah dan budayanya
statis, tetapi terus berkembang secara gradual tidak hanya untuk kepentingan lokal, tetapi juga
atau cepat. Kenyataan kehidupan pada setiap untuk mengisi kekayaan sejarah dan budaya
pulau, termasuk di bagian-bagian pulau, selalu Nusantara, bahkan kontribusi bagi sejarah
berkembang seiring dengan perjalanan waktu. global.
Para penghuni dalam mempertahankan hidup
tentu perlu berinteraksi atau mengadaptasikan DAFTAR PUSTAKA
diri pada alam dan lingkungan kehidupannya. Bellwood, Peter. 1987. “The Prehistory of Island
Dalam proses inilah terjadi evolusi budaya lokal Southeast Asia: A Multidisciplinary
yang lama kelamaan menciptakan kekhasan, Review of Recent Research.” Journal
yang sering pula diperkaya lagi oleh masuknya of World Prehistory 1 (2): 171–224.
pengaruh luar. Semua keberagaman itu dalam doi:10.1007/BF00975493.
budaya Nusantara adalah unsur budaya khas,
———. 1992. “Austronesian Prehistory in
satu di dalam kebersamaan, bhinneka tunggal
Southeast Asia : Homeland , Expansion.”
ika.
In The Austronesians: Historical and
Comparative Perspective, edited by Peter
4. Penutup
Bellwood, 103–18. Canberra: ANU E
Temuan arkeologis dari situs Lambanapu
Press.
menunjukkan sejarah penghunian Sumba
merupakan bagian dari persebaran penutur ———. 1997. Prehistory of the Indo-Malayan
Austronesia prasejarah di Nusantara. Archipelago. 3rd ed. Canberra: The

79
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 2, Desember 2018 : 1-14

Australian National University Press. in Indonesian Archipelago : Proceedings


doi:10.1017/CBO9781107415324.004. of the International Symposium.”
Jakarta  : Indonesian Institute of Sciences  :
———. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-
International Center for Prehistoric
Malaysia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
an Austronesian Studies  : Indonesian
Utama.
National Committee for UNESCO.
———. 2017. First Islanders: Prehistory and
Simanjuntak, Truman, and Harry Widianto.
Human Migration in Island Southeast
2012. “Indonesia Dalam Arus Sejarah
Asia. John Wiley & Sons, Inc.
Jilid I.” In Indonesia Dalam Arus Sejarah
Blust, Robert. 1984. “The Austronesian Jilid I, edited by Truman Simanjuntak
Homeland: A Linguistic Perspective.” and Harry Widianto, 1:1–99. Jakarta:
Asian Perspectives. University of Hawai’i Ichtiar Baru van Hoeve. doi:2012.
Press. doi:10.2307/42928105.
Solheim, Wilhem G. 1964. “Further
Handini, Retno, Bagyo Prasetyo, Jatmiko, Relationships of the Sa-Huỳnh-Kalanay
I Made Geria, Vita, Agus, Truman Pottery Tradition.” Asian Perspectives
Simanjuntak, and Hedwi Prihatmoko. 8. University of Hawai’i Press: 196–211.
2016. “Peradaban Penutur Austronesia Di doi:10.2307/42928875.
Sumba Timur.” Jakarta.
Lansing, Stephen, J., Murray P. Cox, Therese
Handini, Retno, Truman Sofian, Harry A. de Vet, Sean S. Downey, Brian
Octavianus Simanjuntak, I Dewa Hallmark, and Herawati Sudoyo. 2011.
Kompiang, Unggul Prasetyo, Myrtati D “An Ongoing Austronesian Expansion
Artaria, I Made Geria, Bagyo Prasetyo, in Island Southeast Asia.” Journal of
Ginarto, Ngadiran, and Mujiono. 2018. Anthropological Archaeology 30 (3).
“Enelitian Diaspora Manusia Dan Academic Press: 262–72. doi:10.1016/J.
Keragaman Budaya Prasejarah Di Sumba JAA.2011.06.004.
Timur (Tahap III).” Jakarta.
van Heekeren, H R. 1956. “Urn Cemetery
Handini, Retno, Harry Octavianus Sofian, at Melolo, East Sumba (Indonesia).”
Truman Simanjuntak, Ardhi Syaifuddin, I Jakarta.
Dewa Kompiang, I Made Geria, Ginarto,
van Heekeren, H R, and R P Soejono. 1972.
and Ngadiran. 2017. “Penelitian Diaspora
The Stone Age of Indonesia. 2nd Revise.
Manusia Dan Keragaman Budaya
Vol. 61. Verhandelingen van Het
Prasejarah Di Sumba Timur (Tahap II).”
Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land-
Jakarta.
En Volkenkunde. Den Haag: The Hague,
Heine-Geldern, R. von. 1945. “Prehistorich Martinus Nijhoof.
Research in Netherlands Indies”. Peter
Yuliati, L.Kd. Citha. 1993. “Pola Hias Gerabah
Honig dan frans Verdorn (eds), Science
Lambanapu Hasil Ekskavasi Tahun
and Scientist in the Netherlands Indies.
1989.” Forum Arkeologi 6 (2): 24–35.
New York City: Boar for the Netherlands
http://forumarkeologi.kemdikbud.go.id/
Indies, Surinam and Curacao. Hlm: 148-
index.php/fa/issue/view/40.
-152.
———. 2005. “Penelitian Situs Lambanapu,
Simanjuntak, Truman, Ingrid H.E. Pojoh, and
Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara
Mohammad Hisyam. 2006. “Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People Timur.” Denpasar.

80

You might also like