Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 78

1

ANALISIS KERAWANAN DAN UPAYA MITIGASI


BENCANA LONGSOR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
(DAS) PERCUT

SKRIPSI

TIWI ANGRIANI
181201026

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022

1
2

ANALISIS KERAWANAN DAN UPAYA MITIGASI


BENCANA LONGSOR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
(DAS) PERCUT

SKRIPSI

Oleh:
TIWI ANGRIANI
181201026

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan


gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022

2
ii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Tiwi Angriani


NIM : 181201026
Judul : Analisis Kerawanan dan Upaya Mitigasi Bencana Longsor
di Daerah Aliran Sungai (DAS) Percut

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Dalam pengutipan-
pengutipan yang dilakukan penulis pada bagian-bagian tertentu adalah hasil dari
karya orang lain yang termuat dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Medan, Maret 2022

Tiwi Angriani
NIM: 181201026

ii
iii

ABSTRACT

TIWI ANGRIANI. Landslide Hazard Analysis and Mitigation Efforts in the Percut
Watershed (DAS) by BEJO SLAMET.

Percut watershed is one of the watersheds in North Sumatra Province which


crosses 3 regions, namely Karo Regency in the upstream part, Deli Serdang
Regency in the middle and Deli Serdang Regency and Medan City in the
downstream. Damage in the upstream Percut watershed will have an impact on the
downstream area, namely Medan City and Deli Serdang Regency causing the
Percut watershed to become critical, this critical condition is caused by the large
number of felling trees on the cliff area which causes landslides in the upstream
area. Landslide is the movement of land due to the influence of gravity which causes
the displacement of the mass of soil or rock in an oblique direction from its original
position, so that it is separated from the intact mass. This research was conducted
from October to November 2021. This study aims to analyze the level of landslide
susceptibility and identify landslide disaster mitigation in the Percut watershed.
This study uses parameters such as soil type, slope, land cover, rainfall and rock
types. The landslide hazard analysis process is carried out using a Geographic
Information System (GIS). The results of the classification of landslide
susceptibility classes in the Percut watershed are 5 classes, namely very low, low,
medium, high and very high classes. The broadest class of landslide susceptibility
is found on a slope of 0-8% at an altitude of <250 masl. The Percut watershed is
dominated by landslide susceptibility classes in the low and medium landslide
classes, with an area of 12,190.47 ha and 10,578.18 ha in each class. Mitigation
efforts are carried out by making gabion embankments on river banks, planting
vegetation on bare land, not cutting down trees on hillsides and making terraces on
steep cliffs and not building houses or buildings by cutting straight cliffs.

Keywords: Hazard, Landslide, Geographic Information System, Watershed,


Mitigation

iii
iv

ABSTRAK

TIWI ANGRIANI. Analisis Kerawanan dan Upaya Mitigasi Bencana Longsor di


Daerah Aliran Sungai (DAS) Percut, dibimbing oleh BEJO SLAMET.

DAS Percut merupakan salah satu DAS di Provinsi Sumatera Utara yang
melintasi 3 wilayah, yaitu Kabupaten Karo dibagian hulu, Kabupaten Deli Serdang
di bagian tengah dan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan di bagian hilir.
Kerusakan di hulu DAS Percut akan berdampak di kawasan hilirnya yaitu Kota
Medan dan Kabupaten Deli Serdang menyebabkan DAS Percut menjadi kritis,
kondisi kritis ini disebabkan oleh banyaknya penebangan pohon pada areal tebing
yang menyebabkan longsor di kawasan hulu. Longsor adalah pergerakan tanah
karena adanya pengaruh gaya gravitasi yang menyebabkan berpindahnya massa
tanah atau batuan dengan arah miring dari posisi semula, sehingga terpisah dari
massa yang utuh. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai bulan
November 2021. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kerawanan
longsor dan identifikasi mitigasi bencana longsor pada DAS Percut. Penelitian ini
menggunakan parameter-parameter seperti jenis tanah, kemiringan lereng, tutupan
lahan, curah hujan dan jenis batuan. Proses analisis kerawanan longsor dilakukan
menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG). Hasil klasifikasi kelas kerawanan
longsor pada DAS Percut terdapat 5 kelas yaitu kelas sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi dan sangat tinggi. Kelas kerawanan longsor paling luas terdapat pada
kemiringan lereng 0-8% pada ketinggian <250 mdpl. DAS Percut ini didominasi
kelas kerawanan longsor pada kelas longsor rendah dan sedang luas 12.190,47 Ha
dan 10,578,18 Ha pada masing-masing kelas. Dalam upaya mitigasi dilakukan
dengan cara membuat tanggul bronjong pada tepi sungai, penanaman vegetasi pada
lahan gundul, tidak menebang pohon di lereng bukit serta membuat terasering pada
tebing curam dan tidak membuat rumah atau bangunan dengan memotong tebing
secara lurus.

Kata Kunci: Kerawanan, Longsor, Sistem Informasi Geografis, Daerah Aliran


Sungai, Mitigasi

iv
v

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Tiwi Angriani dilahirkan di


Binjai pada tanggal 26 November 1999. Penulis
dilahirkan dari pasangan Bapak Wahyudi dan Almh. Ibu
Nurmiah, penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Penulis memulai pendidikannya di SD Negeri
024868 Binjai pada tahun 2006-2012, pendidikan tingkat
Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 10 Binjai
pada tahun 2012-2015, pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Tunas
Pelita Binjai pada tahun 2015-2018, melanjutkan pendidikannya penulis lulus
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada
tahun 2018 di Fakultas Kehutanan USU, penulis memilih peminatan Manajemen
Hutan.
Selain mengikuti pendidikan di perkuliahan, penulis juga mengikuti di
beberapa organisasi di kampus. Penulis mengikuti organisasi Studi Pedesaan USU
sebagai anggota, penulis pernah menjadi panitia dalam kegiatan Forestry Science
Competition yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan pada tahun 2019.
Penulis pernah menjadi asisten Praktikum Ekonomi Sumber Daya Hutan pada
tahun 2021. Penulis telah mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan
(PPEH) di Kebun Agroforestry Binjai pada tahun 2020, dan melaksanakan kegiatan
Praktik Kerja Lapangan (PKL) di BBKSDA Dolok Tinggi Raja Simalungun pada
tahun 2021. Penulis juga telah melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Kerawanan dan Upaya Mitigasi Bencana Longsor di DAS Percut” yang dibimbing
oleh Dr. Bejo Slamet, S.Hut., M.Si.

v
vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat
dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Skripsi
yang berjudul “Analisis Kerawanan dan Upaya Mitigasi Bencana Longsor di
Daearah Aliran Sungai (DAS) Percut” dengan baik untuk memenuhi persyaratan
menyelesaikan studi pada Program S1 Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Bejo Slamet, S.Hut., M.Si. selaku pembimbing yang telah membimbing,
memberi arahan berupa saran dan masukan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ahcmad Siddik Thoha, S.Hut., M.Si., Dr. Ir. Yunasfi, M.Si., dan Dr. Apri
Heri Iswanto, S.Hut., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan dan arahan kepada penulis dalam memperbaiki skripsi ini.
3. Dr. Tito Sucipto, S.Hut., M.Si., IPU selaku Ketua Program Studi Kehutanan
dan Dr. Arida Susilowati, S.Hut., M.Si. selaku Sekretaris Program Studi
Kehutanan serta seluruh Staf Pengajar dan Pegawai di Fakultas Kehutanan,
Universitas Sumatera Utara.
4. Orang tua penulis Bapak Wahyudi, Alhm. Ibu Nurmiah, Adik Astria Dwi
Yanti, Nenek Ponijah yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan
moral maupun materi serta memberikan motivasi sehingga sampai saat ini
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Keluarga kedua penulis, Ramadani Putri Saragih, Laely Nurfauziah, Isma
Fibrina Putri Daulay, Indah Rahmadani Harahap, Muhammad Khoirun
Rahman, Cristian Sianipar dan Putri Miftahul yang telah berjuang dari semester
1 sampai sekarang yang selalu membantu dan memberikan dukungan dalam
menyelesaikan skripsi ini, serta Na Jaemin selaku idola panutan penulis yang
memberikan semangat dalam proses penulisan skripsi.
6. Teman satu dosen pembimbing penulis Dinda Putri, Dewi Adinda, Emia
Pepayosa, Olga Puji dan Niara Sari yang telah membantu penulis dalam
penyusunan data dan menyelesaikan skripsi ini.

vi
vii

7. Saudara penulis Kak Anggi Yulia, Kak Melani, Kak Uci Oktaviani, Mas Elvan
Sanjaya dan sahabat penulis Irmaya Hasyim yang selalu memberikan
dukungan baik berupa moral maupun materil dan semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2022

Tiwi Angriani

vii
viii

DAFTAR ISI

Halaman
PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................................ i
PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................ 1
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
Kegunaan Penelitian.................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Lokasi ................................................................................ 4
Bencana Longsor ......................................................................................... 4
Daerah Aliran Sungai
Pengertian Daerah Aliran Sungai ...................................................... 5
Fungsi Daerah Aliran Sungai............................................................. 6
Pembagian Daerah Aliran Sungai ...................................................... 7
Jenis Tanah Longsor
Runtuhan (Fall) ................................................................................. 8
Robohan (Topple) .............................................................................. 8
Longsoran (Slides) ............................................................................. 9
Pencaran Lateral (Lateral spread) ..................................................... 9
Aliran (Flow) ..................................................................................... 10
Bagian-Bagian Longsoran........................................................................... 10
Faktor Penyebab Terjadinya Longsor
Faktor Hidrologi ................................................................................ 11
Topografi ........................................................................................... 11
Lereng Terjal ..................................................................................... 12
Tanah Yang Kurang Padat dan Tebal ................................................ 12
Batuan Yang Kurang Kuat................................................................. 12

viii
ix

Jenis Tata Lahan ................................................................................ 13


Getaran ............................................................................................... 13
Susut Muka Air Danau atau Bendungan ........................................... 13
Adanya Beban Tambahan .................................................................. 13
Pengikisan/Erosi ................................................................................ 13
Adanya Material Timbunan Pada Tebing .......................................... 13
Bekas Longsoran Lama ..................................................................... 14
Adanya Bidang Diskontinitas (Bidang Tidak Sinambung) ............... 14
Penggundulan Hutan .......................................................................... 14
Lokasi Pembuangan Sampah ............................................................. 14
Klasifikasi Kerawanan Longsor .................................................................. 14
Sistem Informasi Geografis (SIG) ............................................................. 15
Digital Elevation Model (DEM) ................................................................. 17

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 18
Alat dan Bahan ............................................................................................ 19
Prosedur Penelitian...................................................................................... 19
Metode Pengumpulan Data ............................................................... 19
Metode Pengolahan Data ................................................................... 20
Analisis Rawan Bencana Longsor ..................................................... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN


Parameter Pemicu Tanah Longsor Di DAS Percut
Jenis Tanah ........................................................................................ 27
Kemiringan Lereng ............................................................................ 30
Tutupan Lahan ................................................................................... 32
Curah Hujan ....................................................................................... 35
Jenis Batuan ....................................................................................... 36
Sebaran Spasial Kerawanan Longsor di DAS Percut ................................. 38
Hasil Uji Validasi ........................................................................................ 39
Sebaran Kawasan Rawan Longsor Menurut Wilayah Administrasi ........... 39
Sebaran Kerawanan Longsor Berdasarkan Ketinggian Lahan/Elevasi ....... 43
Sebaran Kerawanan Longsor Berdasarkan Jarak Jalan ............................... 44
Sebaran Kerawanan Longsor Berdasarkan Jarak Sungai ............................ 46
Mitigasi Bencana Longsor .......................................................................... 47

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan ................................................................................................. 50
Saran ........................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
x

DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Bagian-bagian Longsoran ..................................................................... 11
2. Data Penelitian ...................................................................................... 20
3. Klasifikasi Skor Jenis Tanah ................................................................. 22
4. Klasifikasi Skor Kemiringan Lereng .................................................... 23
5. Klasifikasi Skor Penggunaan Lahan ..................................................... 23
6. Klasifikasi Skor Curah Hujan ............................................................... 24
7. Klasifikasi Skor Jenis Batuan................................................................ 24
8. Skor Kelas Interval Kerawanan Longsor .............................................. 25
9. Klasifikasi Skor Ketinggian Lahan/Elevasi .......................................... 26
10. Luasan Jenis Tanah DAS Percut ......................................................... 27
11. Luasan Kemiringan Lereng DAS Percut............................................. 20
12. Luasan Tutupan Lahan DAS Percut .................................................... 32
13. Luasan Curah Hujan DAS Percut ....................................................... 35
14. Luasan Jenis Batuan DAS Percut ........................................................ 37
15. Sebaran Kawasan Kerawanan Longsor DAS Percut .......................... 41
16. Luasan Ketinggian Lahan/Elevasi DAS Percut .................................. 44
17. Luasan Kerawanan Longsor DAS Percut per Jarak Jalan ................... 45
18. Luasan Kerawanan Longsor DAS Percut per Jarak Sungai ................ 46
19. Mitigasi Berdasarkan Tingkat Kerawanan dan Tutupan Lahan .......... 48

x
xi

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Runtuhan Batuan ................................................................................... 8
2. Robohan Batuan .................................................................................... 9
3. Rotasi Batuan dan Luncuran Batuan ..................................................... 9
4. Pencaran Batuan .................................................................................... 10
5. Aliran Batuan ........................................................................................ 10
6. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................... 18
7. Diagram Alir ......................................................................................... 19
8. Peta Sebaran Jenis Tanah DAS Percut .................................................. 29
9. Peta Sebaran Kemiringan Lereng DAS Percut ................................... 31
10. Peta Sebaran Tutupan Lahan DAS Percut ........................................ 34
11. Peta Sebaran Curah Hujan DAS Percut ............................................ 36
12. Peta Sebaran Jenis Batuan DAS Percut ............................................ 38
13. Kelas Rawan Longsor di Lokasi Penelitian ...................................... 39
14. Peta Sebaran Rawan Longsor DAS Percut ....................................... 42
15. Peta Sebaran Kerawanan Longsor Berdasarkan Ketinggian Lahan/
Elevasi DAS Percut .......................................................................... 44
16. Longsor Pada Tebing Sungai ............................................................ 47

xi
xii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Titik Validasi Lapangan ......................................................................... 57

xii
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan julukan negara seribu pulau, karena
Indonesia merupakan negara dengan pulau yang banayk, baik pulau kecil maupun
pulau besar. Indonesia berada di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik. Selain memiliki keanekaragaman yang unik dan banyak,
Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan kerawanan bencana alam yang
tinggi. Faktor yang membuat Indonesia benar-benar menakjubkan keindahan dan
nilai curah hujan yang tinggi, karena wilayah Indonesia yang berada pada garis
khatulistiwa dengan iklim tropis, iklim tropis ini yang mengakibatkan Indonesia
memiliki curah hujan tinggi. Perubahan kondisi cuaca dan iklim yang tidak stabil
dapat menimbulkan terjadinya bencana. Bencana yang sering terjadi yaitu bencana
longsor yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi (Umaternate et al., 2021).
Letak geografis Indonesia berada pada garis khatulistiwa, yang berada di
dalam lempeng primer dunia, yaitu Lempeng Eurasia, India Australia dan
Samudera Pasifik yang dapat mengakibatkan pertumbukan antar lempeng.
Pertumbukan ini mengakibatkan terbangunnya lipatan, yang menjadi asal sebaran
gempa bumi, palung samudera, patahan pada busur kepulauan dan sebaran gunung
berapa. Sehingga Indonesia menjadi negara rawan terhadap letusan gunung berapi
dan gempa bumi. Akibat letusan gunung berapi akan terbentuk pelapukan jenis
tanah. Jenis pelapukan yang berada pada batuan perbukitan/pegunungan memiliki
kemiringan yang terjal sehingga dapat menyebabkan daerah perbukitan rawan
longsor. Ditambah topografi perbukitan yang memiliki kecuraman tinggi dan
potensi curah hujan tinggi akan menjadi pemicu terjadi bencana tanah longsor yang
tinggi (Purba et al., 2014).
Bencana alam merupakan masalah yang sering terjadi di semua negara di
dunia. Bencana alam merupakan kejadian yang mengancam keselamatan manusia,
selain itu bencana alam juga dapat merugikan baik dari segi fisik maupun materil.
Salah satu faktor yang menjadi pembeda pada jenis bencana yaitu letak bentang
alam dan geografis, seperti yang terjadi di Indonesia, Indonesia terletak diantara
dua lempeng dan benua yang menjadikan Indonesia rawan terjadi bencana gempa
2

bumi dan bencana tsunami, tidak hanya gempa dan tsunami yang pernah terjadi di
Indonesia, namun hampir semua bencana pernah terjadi di Indonesia yang banyak
memakan korban jiwa dan kerugian materi (Sulistio et al., 2020).
Tanah longsor sangat sering terjadi di daerah perbukitan. Tanah longsor
juga dipicu oleh hujan, sehingga bencana terkait tanah longsor akan meningkat pada
musim hujan. Indonesia merupakan wilayah dengan topografi yang beragam dan
memiliki banyak perbukitan serta memiliki potensi curah hujan tinggi karena
berapa di kawasan iklim tropis. Longsor atau tanah longsor biasa disebut sebagai
perpindahan tanah. Dampak tanah longsor memiliki pengaruh terhadap kehidupan
manusia, yaitu rusaknya lahan yang mengakibatkan tertimbunnya bangunan dan
dan hilangnya nyawa (Sobirin et al., 2017).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Percut merupakan salah satu DAS di Provinsi
Sumatera Utara yang melintasi 3 wilayah, yaitu Kabupaten Karo dibagian hulu,
Kabupaten Deli Serdang di bagian tengah dan Kabupaten Deli Serdang dan Kota
Medan di bagian hilir. Kerusakan di hulu DAS Percut akan berdampak di kawasan
hilirnya yaitu Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang yang menyebabkan DAS
Percut menjadi kritis, kondisi kritis ini disebabkan oleh banyaknya penebangan
pohon pada areal tebing yang menyebabkan longsor di kawasan hulu. Penggunaan
lahan yang tidak sesuai dapat menyebabkan rusaknya kawasan DAS. DAS Percut
merupakan kawasan yang sering terjadi banjir ketika musim hujan, banyak yang
membuat kawasan ini menjadi daerah banjir termasuk berubahnya fungsi
penggunaan lahan di sekitar Sungai Percut. Dampak dari banjir yang sering terjadi
di DAS Percut adalah tanah longsor. Untuk menangani masalah tersebut,
diperlukan cara yang tepat untuk mencegah terjadinya longsor, antara lain dengan
adanya bangunan pengendali banjir dan longsor. Dalam mengatasi dan
memperbaiki kualitas DAS Percut harus dilakukan klasifikasi kerawanan longsor
dan mitigasi bencana. Mitigasi bencana yang dilakukan yaitu memperbaiki kondisi
tanah dan sistem tutupan lahan serta melakukan mitigasi bencana longsor untuk
memperbaiki kualitas tanah dan air (Rahmad dan Sormin, 2018).
Kawasan hulu DAS Percut berada di Kabupaten Karo dengan kemiringan
lereng sangat curam. Kecamatan yang di lalui oleh DAS Percut yaitu Kecamatan
Bandar Baru dan Sibolangit. Kedua kecamatan tersebut dengan kemiringan lereng
3

curam yaitu 60°-70° dan 80°-90° pada masing-masing kecamatan. Selain memiliki
kemiringan lereng curam Kabupaten Karo memiliki curah hujan yang tinggi pada
setiap tahunnya. Sehingga Kabupaten Karo memiliki potensi pergerakan tanah
sedang sampai tinggi yang mengakibatkan Kabupaten Karo memiliki potensi
longsor dengan kelas sangat tinggi (Rahmad et al., 2018).
Curah hujan di Sumatera Utara selama bulan Februari merupakan yang
terendah dibandingkan bulan-bulan lainnya. Peningkatan curah hujan pada bulan
Maret yang mencapai puncaknya padabulan April, lalu mengalami penurunan lagi
hingga mencapai Juni. Terus meningkat hingga mencapai puncak musim hujan
tertinggi di Sumatera Utara yang terjadi pada bulan November. Bahaya tanah
longsor pada umumnya terjadi pada bulan November karena peningkatan kadar
intensitas hujan. Pada saat kemaraupanjang akan mengakibatkan penguapan air
dalam jumlah besar dari permukaan tanah. Curah hujan pada awal musim
penghujan bisa mengakibatkan terjadinya longsor, hal tersebut dikarenakan
masuknya dan terkumpulnya air di dasar lereng melalui tanah yang retak sehingga
menyebabkan gerakan menyamping. Saat ada pohon dipermukaan, longsor dapat
dihindari karena akan ada air yang diserap oleh tanaman (Prasetyo et al., 2018).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat kerawanan longsor pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Percut, Sumatera Utara dan
2. Identifikasi upaya mitigasi bencana longsor pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Percut, Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk:
1. Memberikan informasi mengenai tingkat kerawanan longsor pada Daerah Aliran
Sungai (DAS) Percut, Sumatera Utara.
2. Memberikan informasi mengenai pencegahan bencana longsor pada Daerah
Aliran Sungai (DAS) Percut, Sumatera Utara.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi


DAS Percut melintasi tiga wilayah kota dan kabupaten di Sumatera Utara
yaitu Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan hingga ke hilir
Kabupaten Deli Serdang. Secara geografis, Sungai Percut berada pada 3°10'40.87''
sampai 3°46'20.77'' Lintang Utara dan 98°32'01.20'' sampai 98°48'02.88'' Bujur
Timur. Sungai Percut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, antara lain
sebagai sumber air minum, irigasi untuk pertanian, tambak bahkan tempat
pembuangan limbah domestik dan industri. Pemanfaatan lahan di sekitar sungai
akan mempengaruhi kualitas air Sungai Percut, jika lahan di sekitar sungai di
manfaatkan dengan baik maka akan baik kualitas air sungai, jika lahan dirusak
maka kualitas air sungai akan buruk (Machairiyah et al., 2020).

Bencana Longsor
Indonesia menjadi negara yang sering terjadi bencana. Terjadinya bencana
longsor di Indonesia banyak memakan korban jiwa dan hilangnya harta benda.
Longsor terjadi karena terjadinya gangguan dengan kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng. Pada saat terjadinya pergerakan massa tanah, lereng didominasi
oleh tanah dan bergerak melalui bidang miring, pergerakan tanah pada bidang
miring maupun bidang lengkung dapat terjadi, gerakan tersebut disebut longsor.
Terjadinya longsor sangat diperlukan untuk menentukan zona longsor sesuai
dengan jenis pergerakan tanahnya (Irawan et al., 2020).
Bencana longsor adalah bencana alam yang biasa terjadi di daerah
pegunungan dan pada saat musim hujan serta merupakan bencana yang memakan
banyak korban jiwa dan hilang nya harta benda. Bencana longsor terjadi sangat erat
kaitannya dengan kondisi alam seperti jenis batuan, jenis tanah, kemiringan lereng,
curah hujan dan tutupan lahan. Selain itu, manusia juga andil menjadi salah satu
faktor yang dalam mempengaruhi terjadinya longsor, seperti alih fungsi hutan yang
tidak sesuai dengan ketentuan dan aturan tata guna lahan dan perluasan pemukiman
di kawasan dengan topografi terjal (Rahmad et al., 2018).
5

Tanah longsor adalah bencana alam yang menyebabkan kerusakan dan


hilangnya nyawa manusia, kerusakan fasilitas umum yang berdampak dalam
menurunnya kondisi sosial dan ekonomi. Dapat dikatakan bahwa tanah longsor
bergerak secara besar-besaran. Biasanya tanah longsor yang ditimbulkan oleh
faktor alam, misalnya hujan deras dan lereng yang curam. Aktivitas manusia juga
bisa menyebabkan terjadinya longsor, misalnya penebangan liar dan membangun
rumah dengan memotong tebing secara lurus (Rahayu et al., 2019).
Longsor adalah suatu proses dimana meterial terbentuk pada suatu lereng
ke bawah atau keluar. Material pada lereng dapat berupada batuan induk, tanah,
biota atau kombinasi dari beberapa unsur tersebut. Tanah longsor adalah gerakan
miring yang terbentuk dari batuan, tanah lumpur dan bongkahan-bongkahan besar
oleh gaya gravitasi. Apabila lereng terjal maka kemungkinan jatuhnya material ke
lokasi yang lebih rendah akan semakin besar (Kurniawan, 2008).

Daerah Aliran Sungai


Pengertian daerah aliran sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh
pegunungan yang pada saat air hujan turun mengalir melalui saluran-saluran ke
anak-anak sungai kemudian menyusuri sungai utama dan ke laut, tempat air hujan
itu jatuh, ke bawah akan mengalir sepanjang saluran-saluran tersebut ke anak-anak
sungainya kemudian berkonsentrasi menuju sungai utama dan akan bermuara di
laut. Kejadian ini sering menimbulkan terjadinya banjir dan tanah longsor. Salah
satu faktor yang yang mempengaruhi fungsi suatu DAS adalah penggunaan lahan.
Jika penggunaan lahan baik akan menguntungkan daerah sekitarnya, sebaliknya
jika penggunaan lahan yang buruk akan menyebabkan kerusakan pada daerah di
sekitarnya dan membuat penurunan kualitas DAS. Bencana alam sering terjadi pada
beberapa kawasan yang memiliki kerusakan lingkungan terutama pada penurunan
kualitas DAS (Rahmad dan Sormin, 2018).
Menurut UU No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yaitu, suatu wilayah
daratan yang dibentuk menjadi satu kesatuan dengan bantuan sungai dan anak-anak
sungainya yang mempunyai fungsi menerima, menyimpan, dan mengalirkan air
hujan ke danau atau laut yang mempengaruhi aktivitas darat. Menurut Undang-
6

Undang Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah tahun 2002 dari Departemen
Umum Penataan Ruang, DAS dapat didefinisikan sebagai suatu daerah yang
memiliki bentuk dan sifat daerah tersebut (Harisagustinawati et al., 2020).
Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam bahasa Inggris memiliki istilah
watershed, drainase area atau daerah aliran sungai, hingga batas DAS adalah garis
bayangan sepanjang punggung bukit atau pegunungan yang memisahkan suatu
sistem aliran dengan yang lain. Pengertian DAS terdiri atas bagian utama DAS yang
membentuk zona hulu dan zona persebaran air di bawah DAS bagian hilir dan
berakhir pada badan air atau laut berupa danau. Ekosistem, di mana terdapat unsur-
unsur pada organisme dan lingkungan biofisik serta terdapat unsur kimia yang
saling berhubungan (Fuady dan Azizah, 2008).
Sumberdaya hutan memiliki fungsi yang sangat spesifik diantaranya yaitu
fungsi hidrologi. Hidrologi berfungsi mengatur konservasi tanah dan penataan air.
Pengaturan ini berfungsi sebagai pembentuk satu kesatuan ekosistem yang di kenal
dengan sebutan Daerah Aliran Sungai (DAS). Ekosistem DAS merupakan hasil
interaksi atas berbagai komponen fisik, biologis, sosial, ekonomi, budaya dan
kelembagaan. Interaksi komponen-komponen tersebut terjadi karena luasan
ekosistem ini sangat bervariasi, mulai dari wilayah sangat kecil hanya beberapa
hektar hingga wilayah yang sangat luas yang melintasi batas administrasi
pemerintahan seperti kabupaten atau bahkan provinsi (Renjaan dan Erare, 2013).

Fungsi daerah aliran sungai


DAS di Indonesia belum di kelola dan di kendalikan dengan baik, sehingga
banyak mengalami permasalahan, contohnya kerusakan DAS terkait kondisi
ekonomi masyarakat yang berada di daerah peralihan dan hulu DAS, kepekaan dan
kesadaran serta kemampuan ekonomi masyarakat masing rendah dan masyarakat
tidak menunjukkan perhatian penuh terhadap lingkungan sehingga terjadi
penurunan kualitas ekosistem. Kekritisan lahan dan tanah disebabkan akibat adanya
pemanfaatan lahan dan hutan yang tidak sesuai dengan prinsip konservasi atau
perlindungan dan melebihi daya dukungnya. Kekritisan lahan juga terjadi akibat
ulah manusia karena pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan yang
7

semakin banyak mengakibatkan banyaknya kegiatan yang merugikan lahan salah


satunya dengan cara penebangan pohon disekitar aliran sungai (Aryani et al., 2020).
Pengaturan penggunaan lahan dan pengoptimalan penggunaan lahan dalam
pengelolaan DAS memiliki kepentingan ekologis dan rasional sebagai hasil dari
penggunaan indikator kuantitas, kontinuitas dan kualitas aliran sungai keluar DAS.
Pengelolaan DAS bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki DAS agar dapat
membangun produk-produk pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan,
peternakan dan industri masyarakat di sekitar DAS. DAS di Indonesia mengalami
kerusakan dari tahun ke tahun yang semakin meningkat karena pertambahan jumlah
penduduk semakin pesat, dengan bertambahnya jumlah penduduk penggunaan
lahan akan semakin besar, hal tersebut menyababkan banyaknya penebangan hutan
yang mengakibatkan terjadinya longsor (Satriawan, 2017).

Pembagian daerah aliran sungai


DAS merupakan kesatuan ekosistem alam yang utuh mulai dari ekosistem
pegunungan, ekosistem pesisir hulu sampai ekosistem pesisir hilir. Dikembalikan
ke daya dukung bebannya, sesuai dengan pernyataan Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 2012, daya dukung suatu DAS merupakan kemampuan suatu DAS dalam
membangun pelestarian dan keserasian ekosistem dan dan menaikkan pemanfaatan
sumber daya alam secara lestari bagi kehidupan makhluk hidup. DAS akan
mendukung potensi kualitas DAS yang memiliki kondisi tanah dan kuantitas,
kualitas dan kontinuitas airnya, sosial, ekonomi, investasi air dan pemanfaatan
ruang daerahnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, pembangunan air dan
pemanfaatan ruang wilayahnya berfungsi sebagaimana mestinya, pembangunan-
pembangunan apa saja yang perlu dipertahankan sebagaimana mestinya.
DAS terdiri dari tiga bagian yaitu bagian hulu, bagian tengah dan bagian
hilir. Dengan topografi yang beragam, curah hujan yang tinggi dan sebagai tempat
perlindungan serta menjaga kondisi agar terhindar dari kerusakan. Menurut
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahnun 2012, DAS sentral berfungsi menjadi tempat
pemanfaatan air untuk kepentingan ekonomi dan sosial dan tinggi muka air tanah.
Selain itu juga terkait menggunakan infrastruktur hidrolik, misalnya pengelolaan
sungai, waduk dan danau. Tata kelola DAS sangat penting untuk dijaga karena
8

setiap kegiatan yang dilakukan di kawasan hulu akan mempengaruhi kawasan


hilirnya. Pemodelan aliran sungai akan memilih bentuk waduk yang dipengaruhi
oleh aliran DAS di bagian hulu (Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012).

Jenis-Jenis Tanah Longsor


Menurut Varnes, (1978) mengelompokkan tanah longsor menjadi 5 jenis
longsor yaitu runtuhan (fall), robohan (topples), longsoran (slides), pencaran
lateral (lateral spread) dan aliran (flow). Pengelompokkan Varnes didasarkan pada
mekanisme gerakan dan material yang berpindah. Pengelompokkan tersebut
dijelaskan sebagai berikut:

Runtuhan (fall)
Runtuhan (fall) ialah penurunan massa batuan tertentu pada lereng yang
curam. Longsoran jenis ini ditandai dengan adanya sedikit atay tidak ada
pergerakan antara blok yang runtuh dan yang tidak terisi. Blom yang jatuh
biasanya akan jath bebas, lepas, atau tergelincir tanpa melalui bidang geser.
Keruntuhan terjadi karena adanya daerah diskontinu seperti retakan pada batuan.
Ilustrasi dari longsor jenis runtuhan (fall) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Runtuhan Batuan

Robohan (topple)
Robohan (topples) ialah jatuhnya batuan biasanya berkecimpung melalui
bidang-bidang diskontinu yang lurus dalam lereng. Bidang diskontinu ini berupa
retakan dalam batuan misalnya dalam runtuhan. Lonsor tipe ini umumnya terjadi
dalam batuan menggunakan kelerengan sangat tegal hingga tegak. Ilustrasi dari
longsor jenis robohan (topple) dapat dilihat pada Gambar 2.
9

Gambar 2. Robohan Batuan

Longsoran (slides)
Longsoran (Slides) merupakan pergerakan batuan sepanjang lereng melalui
bidang geser pada lereng. Tanah longsor sering terjadi pada awal pergerakan karena
mengalami keretakan dengan bentuk tapal kuda di bagian atas lereng mulai
berkembang. Bidang geser ini dapat berupa bidang yang relatif lurus (translasi)
atau bidang lengkung ke atas (rotasi). Kedalaman bidang longsoran pada longsoran
translasi lebih kecil daripada kedalaman bidang longsoran pada longsoran rotasi.
Material yang aktif selama translasi dapat berupa balok (slab). Longsoran aktif
yang berputar melalui bidang geser melengkung dikatakan terhalang (subsidence).
Nendatan sering muncul di lereng yang tersusun dari materi relativistik. Ilustrasi
dari longsor jenis longsoran (slides) dapat dilihat pada Gambar 3.

a b
Gambar 3. (a) Rotasi Batuan (b) Luncuran batuan

Pencaran lateral (lateral spread)


Pencaran lateral (lateral spread) ialah material tanah atau batuan yang
berpindah secara translasi pada kemiringan landai hingga datar. Lereng bergerak
pada susunan tanah lunak yang terbebani dengan massa tanah diatasnya. Beban ini
10

yang mengakibatkan lapisan tanah lunak stress dan mekar ke arah lateral. Ilustrasi
dari longsor jenis pencaran lateral (lateral spread) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pencaran Batuan

Aliran (flow
Aliran (flows) yaitu massa mengalir sebagai cairan kental. Aliran dalam
dapat dibedakan menjadi aliran debris, jenis tanah jika massa aktifnya didominasi
oleh material tanah yang lebih halus, dan aliran slurry jika massa aktifnya jenuh
dengan air. Jenis lain yang mengikuti aliran ini adalah aliran pada musim kemarau
yang sering terjadi dengan aliran dangkal. Di alam, longsor sering terjadi jika dua
atau lebih jenis tanah digunakan secara bersamaan. Tanah longsor diklasifikasikan
sebagai tanah longsor campuran atau kompleks. Ilustrasi dari longsor jenis aliran
(flow) dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Aliran Batuan

Bagian-Bagian Longsoran
Longsor di Indonesia melalui bidang gelincir dengan lengkungan yang
sering terjadi pada lereng tanah lempung atau lempung berpasir. Oleh sebab itu
Varnes (1978) menguraikan bagian-bagian longsoran pada tabel berikut ini:
11

Tabel 1. Bagian-Bagian Longsoran


Nama Definisi
Mahkota longsoran Pergerakan pada daerah bagian yang tinggi dari tebing dan tidak
berdekatan.
Tebing atau gawir utama Lereng terjal pada muka tanah dengan posisi di bagian longsoran.
longsoran
Puncak longsoran Bagian titik tertinggi pada posisi material yang bergerak dengan
tebing atau gawir utama longsoran.
Kepala longsoran Longsor atas sepanjang kontak antara material yang bergerak.
Tebing atau gawir minor Permukaan lereng terjal pada material akan bergerak dan
menghasilkan pergerakan lanjutan
Tubuh utama Longsoran di bagian dimana material bergerak antara bidang luncur,
tebing utama longsoran dan jari-jari bidang luncur
Kaki longsoran Pergerakan longsor dari jari bidang gelincir menuju permukaan
tanah.
Ujung longsoran Lokasi longsor yang terletak paling jauh dari puncak longsor
Jari kaki longsoran Bagian terbawah longsoran berbentuk melengkung, berasal dari
material longsoran yang bergerak dan terletak paling jauh dari tebing
utama.
Bidang gelincir Bidang kedap air untuk landasan pergerakan massa tanah
Jari dari bidang gelincir Gabungan antara bagian bawah bidang gelincir longsoran dengan
permukaan tanah asli
Permukaan pemisah Bagian dari permukaan tanah yang pada awalnya berbatasan dengan
kaki longsoran
Material yang bergerak Bergeraknya material dari posisi asli yang bergerak dengan
longsoran yang dibentuk oleh massa yang diakumulasi oleh massa
Daerah yang tertekan Daerah yang terdapat didalam material yang bergerak dan terletak
dibawah permukaan tanah
Zona akumulasi Area longsor yang ditemukan pada meterial yang terdapat di
permukaan tanah
Sumber: Varnes (1978)

Faktor Penyebab Terjadinya Longsor


Menurut Debataraja dan Pardede, (2020), penyebab bencana tanah longsor
terdiri atas beberapa faktor yaitu:

Faktor Hidrologi
Siklus hidrologi adalah pergerakan air dari permukaan laut menuju
atmosfer, lalu kembali lagi ke permukaan bumi dan kembali ke laut, siklus hidrologi
merupakan proses yang tidak pernah terhenti. Makhluk hidup lainnya memanfatkan
air yang tertahan di sungai, danau/kolam dan mata air (Asdak, 2018). Siklus
hidrologi berawal dari menguapnya air laut, uap hasil penguapan bergerak yang
dibawa oleh udara. Pada kondisi yang menguntungkan, uap akan mengembun yang
membentuk awan, pada porsinya dapat menghasilkan presipitasi. Curah hujan yang
turun ke bumi akan bergerak ke arah dan cara yang berbeda seperti sebagian besar
12

curah hujan akan disimpan dalam tanah yang berdekatan dengan titik dimana air
jatuh dan pada akhirnya akan dikembalikan pada atmosfer melalui penguapan dan
transpirasi dari tumbuhan. Faktor utama terjadinya longsor yaitu curah hujan tinggi.
Turunnya hujan dengan kapasitas yang besar akan membuat terkikisnya lapisan
tanah yang mengakibatkan terjadinya longsor.

Topografi
Sungai Percut adalah sungai yang berada di Provinsi Sumatera tergolong
kedalam kategori kritis, DAS ini termasuk kawasan yang rawan banjir pada saat
musim hujan. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan penanganan yang
sesuai dengan pembangunan pengendalian banjir. DAS Percut memiliki bentuk
seperti bulu burung yang meliputi Kecamatan Batang Kuis, Percut Sei Tuan, Pantai
Labu, Sibolangit, Tanjung Morawa, Patumbak, Biru-biru, STM hulu dan STM
hilir (Rahmad dan Sormin, 2018). Kecamatan-kecamatan tersebut termasuk dalam
wilayah Daerah Aliran Sungai Percut, tidak semua kabupaten tersebut termasuk
dalam cakupan kawasan DAS Percut tetapi hanya bagian-bagian tertentu saja.

Lereng Terjal
Kemiringan lereng akan mempengaruhi kestabilan lereng, besarnya sudut
lereng maka semakin besar kemungkinan terjadinya longsor. Longsor terjadi karena
adanya pembentukan lereng yang curam.

Tanah yang Kurang Padat dan Tebal


Tanah kurang padat adalah jenis tanah liat (clay) yang memiliki ketebalan
>2,50 meter dan sudut lereng ˪ = 220°.

Batuan yang Kurang Kuat


Batuan hasil dari letusan gunung merapi (lahar) merupakan jenis batuan
yang kurang kuat, sehingga suatu saat mudah runtuh.
13

Jenis Tata Lahan


Pemadatan alami yang terjadi pada tanah akan kuat terhadap longsor, namun
apabila tanah di manfaatkan sebagai lahan pertanian dengan cara menggali agar
gembur sering ditaburkan bahan kimia pada tanah akan mengakibatkan tanah
menjadi rawan longsor, hal ini disebabkan oleh rusaknya kandungan dalam tanah
akibat bahan kimia.

Getaran
Ikatan antar tanah akan lemah jika terdapat getaran akibat terjadinya gempa,
kendaraan berat dan pukulan.

Susut Muka Air Danau atau Bendungan


Tingginya permukaan air pada danau dapat berubah karena adanya
pengaruh ketegangan air pori pada tanah, sehingga akan mempengaruhi kekuatan
dan kestabilan tanah.

Adanya Beban Tambahan


Kestabilan tanah dipengaruhi oleh pembangunan konstruksi, karena terjadi
penambahan beban di atas tanah yang menimbulkan tekanan tanah dan merubah
volume pori tanah.

Pengikisan/Erosi
Adanya tikungan air pada sungai menyebabkan pengikisan/erosi pada
tanah, perbukitan bagian atas yang mengalami penebangan sehingga menjadi
gundul akan menyebabkan terjadinya longsor. Saluran drainase jalan raya pada
daerah perbukitan yang terkikis akan menimbulkan ketidakstabilan konstruksi jalan
yang akan mengakibatkan terjadinya longsor pada tanah kearah posisi yang lebih
rendah.

Adanya Material Timbunan pada Tebing


Ditemukannya galian dan timbunan (Cut and Fill) akibat pembukaan jalan
baru menyebabkan terjadinya penambahan dan pengurangan beban terhadap tanah
14

yang akan mengakibatkan nambahnya kapasitas karena adanya timbunan tanah


yang tidak stabil dan menyebabkan longsor.

Bekas Longsoran Lama


Longsoran lama terdapat pada daerah perbukitan disekitar gunung berapi
yang diakibatkan oleh lava gunung tersebut, pada dasarnya tanah tidak akan terikat
erat antar partikel dan akan menyebabkan berubahnya kadar air dan beban
tambahan yang mengakibatkan terjadinya longor kembali.

Adanya Bidang Diskontinuitas (Bidang Tidak Sinambung)


Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri sebagai berikut:
1. Bidang lapisan batuan
2. Bidang hubungan penutup tanah dengan batuan dasar
3. Bidang hubungan recahan batuan dengan batuan padat
4. Bidang hubungan batuan untuk dialiri air antara celah batuan
5. Bidang hubungan antar tanah lembek (soft soil) dan keras
6. Bidang lemah yang menjadi lapisan longsor.

Penggundulan Hutan
Hutan yang memiliki pohon-pohon tinggi yang berakar sebagai saluran
untuk membawa air dari tanah ke tanah dan penyimpanan air. Jika hutan mengalami
penggundulan, tanah akan menjadi tandus, gersang, menyebabkan tegangan air
yang tidak stabil yang mengarah pada tanah longsor.

Lokasi Pembungan Sampah


Tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pengumpulan dan
pembungan sampah akan mengalami degradasi atau penurunan kualitas lahan
karena berubahnya bahan-bahan penyimpanan, seperti sayur, kaleng, kaca, plastik,
karton dan bahan organik lainnya yang akan mengalami pembusukan dan
pelapukan.

Klasifikasi Kerawanan Longsor


Dalam mengukur tingkat kerawanan longsor diperlukan pengklasifikasian
terhadap zona berpotensi bencana longsor berdasarkan tingkat kerawanan.
15

Umaternate et al., (2021) mengklasifikasikan tingkat kerawanan longsor


berdasarkan kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan :
1. Kawasan Kerawanan Longsor Tinggi (Zona tipe A)
Kawasan dengan tingkat kerawanan longsor tinggi berada pada kemiringan
lereng >40% dengan ketinggian tempat >2000 mdpl, biasanya berada pada
kawasan pegunungan dan perbukitan.
2. Kawasan Kerawanan Longsor Sedang (Zona tipe B)
Kawasan dengan tingkat kerawanan longsor sedang berada pada kemiringan
antara 21% - 40% dengan ketinggian tempat 500 - 2000 mdpl, biasanya berada
di kawasan kaki gunung, kaki perbukitan dan tebing sungai.
3. Kawasan Kerawanan Longsor Rendah (Zona tipe C)
Kawasan dengan tingkat kerawanan longsor rendah berada pada kemiringan 0 -
20% dengan ketinggian tempat 0 – 500 mdpl, biasanya berada pada dataran
rendah.

Sistem Informasi Geografis (SIG)


Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS)
merupakan suatu sistem informasi terkumputerisasi sehingga dapat digunakan
dalam memproses data spasial bereferensi geografis (dengan bentuk fakta, detail,
kondisi dan lainnya) yang dapat disimpan dalam suatu basis data yang berkaitan
dengan masalah dan kondisi dunia nyata. SIG memberikan manfaat berupa
wawasan tentang global, perencanaan strategis dan prediksi hasil. Pada umumnya,
SIG beroperasi menurut kombinasi lima komponen yaitu data, perangkat lunak
(software), perangkat keras (hardware), pengguna (user) dan aplikasi. Pada
komputer maupun website dekstop ditemukan beberapa tools yang dapat digunakan
dalam menjalankan sistem informasi geografis. ArcView, ArcGIS, Info Peta dan
lainnya termasuk alat dalam menjalankan sistem informasi geografis pada
komputer, sedangkan tools dengan basis website yaitu layanan open source yang
dikenal dengan Google Maps yang disediakan oleh Google (Masykur, 2014).
SIG merupakan sebuah komponen sistem komputer yang terdiri atas software
hardware, data geografis dan sumber daya manusia yang berjalan dengan efektif
dalam jaringan berdasarkan informasi geografis untuk memperoleh, mengelola,
menyimpan, meningkatkan, memanipulasi, mengintegrasi, menganalisis,
16

memperbarui dan memvisualisasikan suatu data agar berjalan lancar. GIS


(WebGIS) merupakan jaringan komputer yang digunakan untuk mengumpulkan
dan menyebarkan informasi geografis secara visual di World Wide Web tanpa
penggunaan perangkat lunak GIS, baik secara spasial maupun spektral. Objek
tunggal yang akan dikaji dengan studi multispektral berdasarkan objek dengan
pendekatan spasial dan spektral yang dianggap menarik, sehingga memungkinkan
dalam pengklasifikasian jenis-jenis lahan yang dibangun menurut metode dan
objeknya (Kurniawan et al., 2016).
Dalam memantau perkembangan dampak bencana dibuat suatu teknologi
yang dapat digunakan dalam penyusunan dan pembuatan peta kerawanan adalah
sistem informasi geografi. Sistem tersebut dapat digunakan dengan menganalisis
keruangan (analisis spasial) mulai dari membuat, mengedit, menyimpan, mengolah
data spasial dan memperbaharui. Sejalan dengan berubah dan perkembangan zaman
dan teknologi, dalam mempermudah dalam proses pembuatan peta atau pemetaan,
dibuatlah sebuah aplikasi yang bisa digunakan untuk memetakan kawasan di lokasi
yang jauh. Dalam sistem informasi geografis (SIG) tidak hanya ditampilkan dalam
bentuk tekstual tetapi terdapat aplikasi yang mempermudah akses dalam
penyimpanan dan pemodifikasian suatu data (Sudrajat dan Kurnianingtyas, 2020).
Shiddiq et al., (2019) memaparkan bahwa SIG terdiri dari beberapa proses
pengembangan yaitu:
1. Desktop GIS/SIG digunakan hanya pada komputer dekstop dan tidak semua
orang dapat mengaksesnya dikarenakan aplikasi ini merupakan aplikasi mandiri,
aplikasi ini mampu menampilkan data peta, menganalisis data dan
mempublikasikan.
2. Web GIS ialah sistem informasi geografis yang menggunakan sistem jaringan
komputer agar dapat melakukan integrasi, penyebaran dan komunikasi tentang
informasi geografis secara visual di World Wide Web melalui internet.
3. Mobile GIS berlaku untuk perangkat mobile dengan kapasitas penyimpanan,
memori dan resolusi yang terbatas. Penyebaran GIS seluler dapat dilakukan
dengan metode yang tidak bergantung pada penyimpanan data seluler atau
dengan modifikasi server.
17

Digital Elevation Models (DEM)


Digital Elevation Models (DEM) adalah representasi digital dari medan,
dengan setiap nilai piksel yang sesuai dengan ketinggian di atas datum. DEM dapat
dibuat dari survei, digitalisasi peta topografi kertas yang ada, atau teknik
penginderaan jauh. DEM sekarang terutama dibuat menggunakan teknik ini.
Penginderaan jauh dengan mengamati manfaat area spasial yang luas dapat
dipetakan oleh lebih sedikit orang dengan biaya lebih rendah. DEM paling populer
di dunia karena aksesibilitasnya, resolusi fitur, akurasi vertikal, dan lebih sedikit
artefak dan noise dibandingkan sistem DEM global alternatif (Hawker et al., 2018).
Model elevasi digital (DEM) adalah representasi kuantitatif dari permukaan
bumi yang memberikan informasi dasar tentang relief tanah. DEM dan atribut
turunannya (kemiringan, aspek, area dan jaringan drainase, kelengkungan, indeks
topografi, dan lain-lain.) merupakan parameter penting untuk mengekstraksi atau
mengevaluasi informasi. Setiap proses yang menggunakan analisis tanah. Ini
merupakan prasyarat dalam berbagai aplikasi seperti pemodelan aliran air, estimasi
limpasan, simulasi dan manajemen banjir, pemodelan jalur, pergerakan massa,
analisis bentuk medan, studi kartografi, bahaya vulkanik, visualisasi dan pemetaan
medan, studi iklim dan meteorologi. Memperoleh DEM berkualitas data di area
yang luas adalah tugas yang sulit karena proses pembuatan DEM open source yang
kompleks tersedia sebagai SRTM (1kan untuk AS dan 3kan untuk wilayah lain.
ASTER GDEM (30m) ETOPO 30 (30 kan yang ~ 1000 m) dan banyak lainnya
memiliki resolusi lebih kasar Representasi DEM skala kecil diperlukan untuk studi
simulasi skala global dan regional (Mukherjee et al., 2013).
DEM menyediakan model representasi terus menerus dari ketinggian bumi
permukaan. Bentuk data spasial ini menyediakan model kenyataan yang
mengandung penyimpangan dari kebenaran, atau kesalahan. Itu sifat dan tingkat
kesalahan ini sering tidak diketahui dan tidak tersedia bagi pengguna data spasial.
Namun demikian, DEM adalah salah satu sumber data spasial yang paling penting
untuk analisis hidrologi digital saat mereka menggambarkan topografi yang
mendorong aliran permukaan. Ketidakpastian dalam representasi DEM medan
melalui elevasi dan topografi turunan parameter jarang diperhitungkan oleh
pengguna DEM (Wechsler, 2007).
18

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Percut,
Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Oktober sampai Bulan
November 2021. Peta lokasi penelitian Analisis Kerawanan dan Upaya Mitigasi
Bencana Longsor di Daearah Aliran Sungai (DAS) Percut, dapat dilihat pada
Gambar 6.

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian


19

Alat dan Bahan Penelitian


Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, smartphone, aplikasi
Timestamp, Aplikasi Avenza Maps, seperangkat Laptop dan software Microsoft
Excel, ArcMap 10.3, DEMNAS, Data BMKG, Data RePPProT, tanahair.indonesia
(badan informasi geospasial) tahun 2020.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Peta Wilayah DAS Percut,
Peta Jenis Tanah, Peta Kemiringan Lereng, Peta Tutupan Lahan, Peta Curah Hujan,
Peta Jenis Batuan, Peta Ketinggian Lahan/Elevasi dan Peta Jarak Sungai dan Jarak
Jalan.

Prosedur Penelitian
Prosedur kerja dalam penelitian Analisis Kerawanan dan Upaya Mitigasi
Bencana Longsor di Daearah Aliran Sungai (DAS) Percut dilakukan pada tahap
yang telah tersaji pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram Alir Penelitian

Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer
Data primer dikumpulkan melalui survey lapangan (Ground check).
Dilakukan survey lapangan (Ground check) untuk mengetahui kondisi dan jenis
longsor yang terdapat di lokasi penelitian. Pengecekan lapangan (Ground check) ini
20

menggunakan aplikasi Avenza Maps. Aplikasi ini digunakan untuk mengambil titik
dan foto di lapangan.
Pengumpulan data sekunder
Parameter yang digunakan dalam pengumpulan data sekunder yaitu
menggunakan studi literatur dan peta wilayah DAS Percut, Peta Jenis Tanah, Peta
Kemiringan Lereng, Peta Tutupan Lahan, Peta Curah Hujan, Peta Jenis Batuan,
Peta Jarak Sungai dan Jarak Jalan dan Peta Ketinggian Lahan/Elevasi. Data tersebut
diperoleh dari pengunduhan DEMNAS, KLHK, http://earthexplorer.usgs.gov,
https://dataonline.bmkg.go.id/home, RePPProT (https://lintasbumi.com/) dan
https://tanahair.indonesia.go.id/. Data yang dibutuhkan pada penelitian ini tersaji
pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Penelitian


No. Data Diperoleh dari
1. Curah hujan Kabupaten Karo, BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan
Kabupaten Deli Serdang dan Kota Geofisika) Sumatera Utara/
Medan tahun 2010 – 2020 https://dataonline.bmkg.go.id/.
2. Peta kemiringan lereng Kabupaten DEMNAS
Karo, Kabupaten Deli Serdang
dan Kota Medan
3. Peta tutupan lahan Kabupaten Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Karo, Kabupaten Deli Serdang (KLHK)
dan Kota Medan 2020
4. Peta ketinggian lahan/elevasi DEMNAS
Kabupaten Karo, Kabupaten Deli
Serdang dan Kota Medan
5. Peta jenis tanah Kabupaten Karo, RePPProT (https://lintasbumi.com/)
Kabupaten Deli Serdang dan Kota
Medan
6. Peta Jenis Batuan Kabupaten RePPProT (https://lintasbumi.com/)
Karo, Kabupaten Deli Serdang
dan Kota Medan
7. Peta Jalan dan Sungai https://tanahair.indonesia.go.id/
8. Peta Administrasi DAS Percut https://tanahair.indonesia.go.id/
9. Peta DAS Percut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK)

Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan yaitu melalui pendekatan analisis skoring
dan analisis spasial. Data yang dibutuhkan yaitu berupa Peta Jenis Tanah, Peta
Kemiringan Lereng, Peta Tutupan Lahan, Peta Curah Hujan, Peta Jenis Batuan,
Peta Ketinggian Lahan/Elevasi dan Peta Jarak Sungai dan Jarak Jalan. Setelah
mendapatkan peta yang dibutuhkan dilakukan penginputan data dalam software
21

SIG. Data-data yang telah diperoleh dari peta-peta tematik tersebut kemudian di
proses melalui seperangkat Laptop dengan software ArcGIS. Data yang didapat
menjadi pedoman dalam menentukan wilayah penelitian serta sebagai pedoman
dalam menganalisis pemetaan kerawanan longsor.

Analisis Kerawanan Bencana Longsor


Analisis tingkat kerawanan longsor dilakukan dengan menganalisis peta
tematik wilayah DAS Percut berupa Peta Jenis Tanah, Peta Kemiringan Lereng,
Peta Peta Tutupan Lahan, Peta Curah Hujan, Peta Jenis Batuan, Peta Ketinggian
Lahan/Elevasi dan Peta Jarak Sungai dan Jarak Jalan. Selain itu dilakukan analisis
spasial dan analisis skoring dengan menggunakan aplikasi GIS. Pada setiap jenis
peta yang sudah didapat akan dilakukan pengklasifikasian berdasarkan skor
kemudian diberi bobot untuk dilakukan penyusunan (overlay). Overlay tersebut
akan dilakukan menggunakan ArcGIS.
Pemberian bobot dan skoring dilakukan untuk menentukan tingkat
kerawanan longsor pada lokasi penelitian. Pemberian bobot skor berdasarkan pada
besar kecilnya pengaruh tingkat rawan longsor pada lokasi penelitian. Pada tingkat
rawan longsor di akhir akan ditunjukkan pada jumlah skor keseluruhan yang sudah
dilakukan pada tahap sebelumnya.

Jenis tanah
Salah satu parameter penyebab terjadinya longsor yaitu jenis tanah maka
untuk mengetahui tingkat kepekaan tanah terhadap longsor yaitu dengan cara
pemberian skor pada jenis tanah, jika nilai skor tinggi maka jenis tanah tersebut
peka terhadap terjadinya longsor. Tanah mampu dalam melepaskan dan menahan
air yang masuk akan menentukan tingkat kepekaan tanah terhadap longsor. Jenis
tanah di suatu kawasan memiliki peran yang sangat dominan dalam penyerapan
atau peresapan air. Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam tanah secara
vertikal karena adanya gaya gravitasi. Laju infiltrasi dipengaruhi oleh jenis tanah,
kelembaban tanah, kepadatan tanah dan tumbuhan di atasnya. Semakin lama laju
infiltrasi ke dalam tanah, maka semakin rendah daya serapnya karena meningkatnya
lengas tanah (Darmawan et al., 2017). Klasifikasi skor jenis tanah berdasarkan Tata
22

Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS (RTkRHL-
DAS) tahun 2009 tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Skor Jenis Tanah


No. Kriteria Infiltrasi Skor
1. Aluvial, Hidromorf kelabu, Planosol Kecil 1
2. Latosol Agak Kecil 3
3. Alfisol, Regosol Sedang 5
4. Andosol, Entisol, Inceptisol Agak Besar 7
5 Litosol, Organosol, Renzina Besar 9
Sumber :Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS
(RTkRHL-DAS) (2009)

Kemiringan lereng
Kemiringan lereng memiliki pengaruh besar terhadap kejadian longsor. Jika
suatu tempat memiliki lereng curam maka lokasi tersebut berpotensi besar terhadap
longsor. Kemiringan lereng pada umumnya dinyatakan dalam (%). Kemiringan
tebing yang curam akan meningkatkan pergerakan atau daya dorong terhadap
pergeseran tanah. Kecuraman lereng terbentuk karena adanya kejadian erosi air
sungai, air laut, mata air dan angin. Kemiringan pada daerah perbukitan atau
pegunungan merupakan kawasan rawan bencana longsor. Lereng yang memiliki
kemiringan lebih dari 25-40% atau >40% memiliki potensi terjadinya longsor,
namun lereng atau medan landai tidak menutup kemungkinan terjadinya longsor
tergantung pada kondisi geologi lereng tersebut (Haribulan et al., 2019).
Dalam penelitian ini data kemiringan lereng akan di dapat melalui data
DEMNAS. Data DEMNAS dipakai untuk menghitung kemiringan lereng secara
digital. Data yang diperoleh tersebut berupa data raster yang akan dikonversi
menjadi data poligon dan vektor. Klasifikasi skor kemiringan lereng berdasarkan
Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS
(RTkRHL-DAS) tahun 2009 tersaji pada Tabel 4.
23

Tabel 4. Klasifikasi Skor Kemiringan Lereng


No. Kriteria Keterangan Skor
1. (>40%) Sangat curam 9

2. (25-40%) Curam 7

3. (15-25%) Agak curam 5

4. (8-15%) Landai 3

5. (0-8%) Datar 1

Sumber : Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS
(RTkRHL-DAS) (2009)

Tutupan lahan
Tingkat kerawanan longsor dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan suatu
daerah, karena tutupan lahan berperan dalam mengikat limpasan air hujan yang
melebihi kapasitas pada proses laju infiltrasi. Lahan yang ditanami oleh vegetasi
akan banyak melakukan infiltrasi air hujan sampai ke sungai daripada lahan yang
tidak ditanami oleh vegetasi. Lahan yang ditanami vegetasi akan mengalami
kemungkinan kecil terjadinya longsor (Darmawan et al., 2017). Klasifikasi skor
tutupan lahan tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Skor Tutupan Lahan


No. Tutupan lahan Skor Bobot
1. Sungai 0
2. Danau 0
3. Hutan 1
4. Perkebunan 5 20%
5. Pemukiman 1
6. Sawah 1
7. Semak belukar 9
8. Tegalan 5
Sumber : Pangaribuan et al., (2019)

Curah hujan
Meningkatnya presipitasi dan muka air tanah akibat curah hujan tinggi
mengakibatkan terjadinya kejenuhan pada tanah. Tidak kuatnya material penyusun
tanah dan batuan saat air hujan menggenangi lereng akan mengakibatkan terjadinya
pergeseran tanah dan batuan dan meningkatkan berat massa tanah. Terjadinya erosi
di kaki lereng akibat hujan yang mengalir pada permukaan lahan berpotensi
24

meningkatkan besaran sudut kemiringan yang menyebabkan terjadinya bencana


longsor (Haribulan et al., 2019). Klasifikasi skor cuah hujan tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Skor Curah Hujan


1.

No. Kriteria (mm/tahun) Keterangan Skor


1. < 1500 Sangat kering 1
2. 1501 – 2000 Kering 2
3. 2001 – 2500 Sedang 3
4. 2501 – 3000 Basah 4
5. > 3000 Sangat basah 5
Sumber : Puslittanak (2004)

Jenis batuan
Jenis batuan akan dilakukan klasifikasi menurut asal batuan pada lokasi
penelitian. Jenis batuan tersebut diklasifikasikan menurut asal jenis batuannya, jenis
batuannya terdiri dari batuan sedimen, batuan karst, batuan vulkanik dan batuan
alluvial. Batuan dengan tingkat kerawanan longsor rendah yaitu batuan alluvial.
Batuan yang terjadi karena lingkungannya yang berada di pesisir laut, sungai dan
danau yaitu batuan sedimen dan karst. Batuan sedimen dan karst memiliki kepekaan
sedang terhadap terjadinya longsor, sementara batuan vulkanik merupakan batuan
yang tidak akan pecah. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi struktur batuan
disuatu tempat. Batuan memiliki sifat yang berbeda tergantung daerah asalnya.
Sifat yang dimiliki batuan dipengaruhi oleh tekstur dan struktur, kandungan
mineral, kondisi cuaca, sedimentasi atau rekatan dan bentuk gabungan lapisan
bidang dasar (Rahmad et al., 2018). Klasifikasi skor jenis batuan tersaji pada Tabel
7.

Tabel 7. Klasifikasi Skor Jenis Batuan


No. Jenis Batuan Skor Bobot
1. Batuan vulkanik 9
2. Batuan sedimen 5 10 %
3. Batuan alluvial 1
Sumber : Puslittanak (2004)

Kapasitas pada pembobotan pada setiap parameter berbeda, tergantung


pada permasalahan yang dialami. Menurut Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi
Bencana Geologi, (2005) parameter yang paling tinggi terhadap pengaruh
25

terjadinya longsor yaitu curah hujan, sehingga saat melakukan pembobotan curah
hujan lebih tinggi dari parameter lainnya. Maka dari itu didapat persamaan untuk
menghitung tingkat kerawanan longsor pada suatu daerah sebagai beriku:

Skor Total: (15%xPJT)+(25%xPKL)+(20%xPPL)+(30%xPCH)+(10%xPJB)

Keterangan:
PJT : Parameter Jenis Tanah
PKL : Parameter Kemiringan Lereng
PPL : Parameter Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan
PCH : Parameter Curah Hujan
PJB : Parameter Jenis Batuan

Kelas interval
Pengolahan nilai kelas interval pada kelas kerawanan longsor memiliki
tujuan dalam perbedaan kelas kerawanan longsor. Menurut Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Tanah Dan Agroklimat, (2004) rumus yang dipakai dalam
pengelasan interval yaitu:

𝑋𝑡 − 𝑋𝑟
𝐾𝑖 =
𝐾

Klasifikasi kelas rawan longsor didapat berdasarkan penentuan skor nilai


pada kelas interval masing-masing tingkat longsor. Jika jumlah skor semakin tinggi
maka akan semakin tinggi tingkat kerawanan tanah longsor pada suatu daerah, skor
interval kelas rawan longsor disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Skor Kelas Interval Kelas Kerawanan Longsor


Kelas Skor Interval Kelas Kerawanan
I 100-260 Sangat Rendah
II 260-420 Rendah
III 420-580 Sedang
IV 580-740 Tinggi
V 740-900 Sangat Tinggi

Ketentuan nilai interval melalui pendekatan interval melalui cara


menghitung nilai maksimal dan nilai minimal pada setiap pembuatan peta, kelas
diperoleh melalui cara menghitung selisih antara data tertinggi dan data terendah
26

kemudian dibagi dengan jumlah kelas yang diinginkan.

Uji validasi
Perbandingan hasil analisis kerawanan longsor pada peta dengan hasil
ground check di lapangan dilakukan pada saat uji validasi. Pada perhitungan titik
hasil validasi yang diperoleh dari lapangan dengan menggunakan overall accuracy.

Analisis longsor pada DAS Percut berdasarkan ketinggian lahan/elevasi


Ketinggian lahan/elevasi merupakan ukuran ketinggian pada lokasi yang
berada diatas permukaan laut. Elevasi sangat berpengaruh pada kejadian kerentanan
longsor, hal tersebut diakibatkan pada ketinggian lahan yang tergantung dengan
besarnya sudut lereng. Tingginya suatu kawasan akan mempengaruhi terjadinya
longsor. Jika kawasan semakin tinggi maka terjadinya bencana longsor akan
semakin tinggi (Darmawan et al., 2017). Klasifikasi skor ketinggian lahan/elevasi
tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi Skor Ketinggian Lahan/Elevasi


No. Elevasi (mdpl) Keterangan
1 <250 mdpl Sangat Rendah
2 250-500 mdpl Rendah
3 500-1000 mdpl Sedang
4 1000-1500 mdpl Tinggi
5 1500-2000 mdpl Sangat Tinggi
6 >2000 mdpl Amat Sangat Tinggi
Sumber: Darmawan et al., (2017)

Analisis longsor pada DAS Percut berdasarkan jarak sungai dan jarak jalan
Jarak sungai dan jarak jalan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya
longsor. Longsoran ditepi sungai sering terjadi karena tidak adanya penahan yang
kuat pada tepi sungai, longsoran ini sering dijumpai pada saat musim penghujan.
Begitu juga dengan longsoran jalan yang sering terjadi pada lereng dipinggir jalan
dengan kemiringan yang curam, longsor ini mengakibatkan terganggunya aktivitas
masyarakat bahkan banyaknya korban jiwa (Toyfur et al., 2020).
27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Penyebab Tanah Longsor di DAS Percut

Jenis tanah
DAS Percut memiliki berbagai macam jenis tanah yaitu Entisols, Histosols,
Inceptisols, Oxisols dan Ultisols. Luasan pada setiap jenis tanah tersaji pada Tabel
10.
Tabel 10. Luasan Jenis Tanah DAS Percut
Jenis Tanah Total Luas (Ha) Persentase (%)
Entisols 7.028,35 16,92
Histosols 2.947,87 7,10
Inceptisols 26.259,62 63,21
Oxisols 1.991,57 4,79
Ultisols 3.314,82 7,98
Total Luas (Ha) 41.542,23 100,00
Sumber: Hasil Analisis RePPProT (2022)

Entisols merupakan jenis tanah bertekstur liat atau jenis tanah lempung,
memiliki nilai reaksi tanah yang beragam mulai dari agak asam sampai basa (pH
5,6 – 8,5). Lapisan tanah yang mengandung kadar liat atau batuan tinggi akan
berfungsi sebagai peluncur. Bidang luncur pada tanah terjadi karena adanya batuan
yang tidak tembus tanah. Lapisan dengan kandungan liat yang tinggi tidak mampu
menahan tekanan air dan beban yang berada diatasnya, hal tersebut menjadi pemicu
terjadinya lonsor (Priyono, 2015). Longsor sering terjadi jika ditemukan retakan
pada bagian atas tanah yang memiliki lapisan yang tidak kuat menopang air di
atasnya karena tidak tahan air pada lereng miring. Jenis tanah Entisols pada
kawasan DAS Percut terdapat pada Wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Kota
Medan jenis tanah Entisols memiliki luasan mencapai 7.028,35 Ha (16,92%).
Jenis tanah Histosols atau tanah gambut dibentuk dari endapan bahan
organik dari sisa-sisa jaringan tumbuhan yang sudah terjadi dalam waktu yang
lama. Terhambatnya aliran permukaan karena bahan organik akan mengakibatkan
terjadinya perlambatan kecepatan aliran air dan relatif tidak merusah bahan organik.
Pelapukan bahan organik memiliki kekuatan dalam menyerap air dan menampung
air yang tinggi sampai tiga kali lipat dari berat keringnya. Bahan organik berperan
dalam memperkecil dan memperlambat aliran permukaan, memantapkan agregat
28

tanah sehingga dapat menahan pergerakan tanah dan meningkatkan infiltrasi pada
tanah (Dariah et al., 2004). Jadi dengan adanya jenis tanah Histosols dapat
memperkecil terjadinya tanah longsor, karena jenis tanah tersebut bekerja dengan
baik dalam menyerap dan menahan air. Jenis tanah Histosols pada kawasan Daerah
Aliran Sungai Percut terdapat di wilayah Kabupaten Deli Serdang jenis tanah
Histosols memiliki luasan mencapai 2.947,87 Ha (7,10%).
Jenis tanah Inceptisols adalah jenis tanah yang mengandung bahan mineral
yang baru berkembang sehingga jenis tanah Inceptisols memiliki tingkat kesuburan
yang rendah. Menurut Waas et al., (2014), tanah inceptisol merupakan tanah
mineral pertumbuhan awal yang dicirikan oleh pembentukan karat dan struktur
tanah yang lemah. Tanah inceptisol di lokasi penelitian merupakan tanah yang
paling merata atau dominan di lokasi penelitian. Inceptisol berasal dari sedimen
laut, alluvium dan lempung, gunung berapi dan batu pasir. Tanah yang berkembang
dari sedimen laut di dasar laut memiliki lapisan tanah yang cukup dalam dengan
tekstur yang halus, tanah bereaksi secara netral, dan susunan horizon Bg-Cg di
lahan basah yang menyebabkan saluran drainase menjadi tersekat bahkan
tersumbat. Tanah inceptisol tumbuh melalui material aluvial, lempung dan berpasir
dengan reaksi tanah dalam, berstektur halus, netral dengan susunan horizon AB-
wC pada tanah kering berdrainase sedang sampai dengan baik, sehingga
menjadikan tanah inceptisol sebagai tanah yang rentan terhadap longsor. Jenis tanah
Inceptisols pada kawasan Daerah Aliran Sungai Percut tersebar di wilayah Daerah
Aliran Sungai Percut, jenis tanah Inceptisols memiliki luasan mencapai 26.259,62
Ha (63,21%).
Jenis tanah Oxisols merupakan jenis tanah yang tingkat pelapukan lanjut
(tua) sehingga memiliki tekstur liat dan memiliki tingkat kesuburannya rendah.
Kandungan besi dalam tanah oxisols berperan mengikat dan pengikat partikel tanah
agar tidak mudah hancur oleh erosi dan tanah longsor atau tetesan air hujan yang
jatuh ke permukaan tanah (Rostaman et al., 2011). Jenis tanah Oxisols pada
kawasan Daerah Aliran Sungai Percut terdapat di wilayah Kabupaten Deli Serdang,
jenis tanah Oxisols memiliki luasan mencapai 1.991,57 Ha (4,79%).
Tanah jenis ultisol adalah tanah mineral yang tumbuh dalam bentuk elevasi
dengan susunan horizon A-Bt-C. Ultisol terbentuk dari bahan induk skies, genesis,
29

kuarsa, batuan metamorf, filit dan batu gamping. Tanah ultisol juga banyak
mengandung bahan organik, pH rendah, banyak unsur hara, sehingga rendemennya
rendah yang membuat tanah ultisol rawan longsor (Waas et al., 2014). Jenis tanah
Ultisols pada kawasan DAS Percut terdapat di wilayah Kabupaten Karo, jenis tanah
Ultisols memiliki luasan mencapai 3.314,82 Ha (7,98%). Jenis tanah pada DAS
Percut disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta Sebaran Jenis Tanah DAS Percut


30

Priyono, (2015) menyatakan, Indonesia memiliki banyak gunung berapi,


beriklim tropis dan terletak antara pertemuan Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-
Australia, Laut Filipina dan Samudera Pasifik sehingga menyebabkan Indonesia
sebagai negara dengan rawan bencana alam yang beragam termasuk longsor. Jadi
pada dasarnya semua tanah di Indonesia rawan longsor. Kerentanan terhadap tanah
longsor dapat meningkat dengan curah hujan yan tinggi, lereng yang curam dan
kurangnya perhatian manusia.

Kemiringan lereng
Faktor penyebab longsor lainnya adalah kemiringan lereng, longsor sering
terjadi pada kemiringan lereng terjal. Pada daerah pegunungan dengan kemiringan
yang curam akan menjadi faktor yang sangat rentang terhadap longsor. Kawasan
yang mempunyai lereng curam dapat mengakibatkan melapuknya material
dibawahnya yang akan bergerak menuruni lereng meskipun tanpa media
pengangkut, hal ini terjadi sebab adanya gaya gravitasi yang menarik material
tersebut.
Klasifikasi kemiringan lereng pada DAS Percut didapat dari data Digital
Elevation Model (DEM), sehingga diperoleh hasil pengklasifikasian kemiringan
lereng berupa luasan pada setiap kelas kemiringan lereng yang tersaji pada Tabel
11.

Tabel 11. Luasan Kemiringan Lereng DAS Percut


Kemiringan Lereng Total Luas (Ha) Persentase (%)
0 – 8% 28.732,34 69,16
8 – 15% 2.827,17 6,81
15 – 25% 2.943,28 7,09
25 – 40% 3.404,49 8,20
> 40% 3.634,95 8,75
Total Luas (Ha) 41.542,23 100,00
Sumber: Hasil Analisis DEMNAS (2022)

Kemiringan lereng 0-8% (datar) merupakan wilayah yang paling luas


penyebaran longsor pada wilayah Daerah Aliran Sungai Percut dengan luas
28.732,34 Ha (69,16%). Karena wilayah DAS Percut lebih banyak di daerah datar
di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Kemiringan lereng >40% (sangat
curam) dan curam yang diindikasi sebagai pemicu longsor secara berturut-turut
mencapai luasan mencapai 3.634,95 Ha (8,75%) dan 3.404,49 Ha (8,20%). Sebaran
31

kelerengan curam dan sangat curam dijumpai pada bagian hulu Das. Jika
kemiringan lereng sangat curam maka akan mengakibatkan terjadinya longsor
sangat besar. Peta kemiringan lereng DAS Percut disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Peta Sebaran Kemiringan Lereng DAS Percut


32

Fransiska et al., (2017) menyatakan bahwa parameter penyebab longsor


lainnya adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng menggambarkan tentang
kestabilan permukaan lahan terhadap gaya gravitasi. Tingginya curah hujan
menjadi pemicu terjadinya longsor karena mengakibatkan pergerakan tanah di
lereng curam. Terbentuknya lereng dipengaruhi oleh kondisi air curah hujan,
sehingga membuat lereng menjadi tidak stabil dan mengakibatkan terjadi longsor.

Tutupan lahan
Klasifikasi Tutupan lahan pada Daerah Aliran Sungai Percut berdasarkan
data KLHK Sumatera Utara Tahun 2020 terbagi kedalam tiga belas tipe seperti:
hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder/bekas tebangan, hutan
mangrove sekunder, perkebunan/kebun, permukiman/lahan terbangun, pertanian
lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, sawah, semak belukar, semak
belukar rawa, tambak, tana terbuka dan tubuh air. Persebaran tutupan lahan di DAS
Percut mempunyai luas yang berbeda pada tiap tipe tutupan lahan yang telah tersaji
pada Tabel 12.

Tabel 12. Luasan Tutupan Lahan DAS Percut


Tutupan Lahan Total Luas (Ha) Persentase (%)
Hutan lahan kering primer 4.225,05 10,17
Hutan lahan kering sekunder/bekas tebangan 894,96 2,15
Hutan mangrove sekunder 720,45 1,73
Perkebunan/kebun 12.447,06 29,96
Permukiman/lahan terbangun 11.945,79 28,77
Pertanian lahan kering 2.867,53 6,9
Pertanian lahan kering campur semak 216,53 0,52
Sawah 3.217,77 7,75
Semak belukar 909,69 2,19
Semak belukar rawa 251,96 0,61
Tambak 3.528,98 8,49
Tanah terbuka 89,11 0,21
Tubuh air 227,35 0,55
Total Luas (Ha) 41.542,23 100
Sumber: Hasil Analisis KLHK Sumatera Utara (2022)

Tipe tutupan lahan jenis Perkebunan/kebun merupakan jenis tutupan lahan


yang memiliki kawasan paling luas yaitu 12.447,06 Ha (29,96%), ini dikarenakan
wilayah DAS Percut terletak di daerah Kabupaten Karo yang merupakan wilayah
pegunungan dimana sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar
DAS Percut bekerja sebagai petani, wilayah tersebut sangat cocok untuk bercocok
33

tanam. Jenis tutupan lahan hutan lahan kering primer dengan luas 4.225,05 Ha
(10,17%).
Tipe tutupan lahan hutan lahan kering sekunder/bekas tebangan memiliki
luasan 894,96 Ha (2,15%). Hutan lahan kering sekunder/bekas tebangan di DAS
Percut sudah banyak mengalami kerusakan, terutama kerusakan akibat tebangan.
Tipe tutupan lahan hutan mangrove sekunder memiliki luasan 720,45 Ha (1,73%).
Hutan mangrove berada pada Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli
Serdang, wilayah tersebut terdapat tutupan mangrove cukup luas. Tipe tutupan
lahan permukiman/lahan terbangun memiliki luas 11.945,79 Ha (28,76%), hal ini
terjadi karena DAS Percut melintasi wilayah perkotaan dengan tingkat hunian yang
padat. Tipe tutupan lahan jenis pertanian lahan kering memiliki luas sebesar
2.867,53 Ha (6,90%), yang utamanya dapat dijumpai di wilayah hulu yang masuk
dalam wilayah adminitrasi Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang yang
Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani.
Jenis tutupan lahan pertanian kering campur semak memiliki luas sebesar
216,53 Ha (0,52%) Tipe tutupan lahan Sawah memiliki luasan 3.217,77 Ha
(7,75%). Tipe tutupan lahan semak belukar memiliki luasan 909,69 Ha (2,19%).
Tipe tutupan lahan semak belukar rawa memiliki luasan 251,96 Ha (0,61%). Tipe
tutupan lahan tambak memiliki luasan 3.528,98 Ha (8,49%). Tipe tutupan lahan
tubuh air memiliki luasan 227,35 Ha (0,55%). Tipe tutupan lahan paling kecil yaitu
tanah terbuka dengan luasan 89,11 Ha (0,21%).
Tutupan lahan berupa perkebunan dan hutan mampu menjaga kestabilan
tanah dan lahan, karena jenis tutupan lahan tersebut memiliki sistem perakaran yang
kuat sehingga mampu menjaga kekompakan sistem tanah dan pengaturan
kestabilan limpasan air hujan. Tutupan lahan semak belukar, pertanian lahan kering
maupun sawah, relatif kurang baik dalam menjaga kestabilan permukaan tanah
karena jenis tutupan lahan ini memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga
perakarannya tidak mampu mengikat tanah yang dapat mengakibatkan sering
terjadinya longsor pada tipe tutupan lahan ini. Indracahya et al., (2015) menyatakan
bahwa vegetasi pada penggunaan lahan yang kurang cocok pada kondisi fisik
daerah akan mengakibatkan masalah lingkungan khususnya pada terjadinya
longsor. Peta tutupan lahan DAS Percut tersaji pada Gambar 10.
34

Gambar 10. Peta Sebaran Tutupan Lahan DAS Percut


35

Curah hujan
Faktor curah hujan merupakan parameter penyebab longsor paling penting.
Faktor curah hujan penting terhadap longsor adalah intensitas hujan berhubungan
dengan peluang terjadinya longsor.
Curah hujan yang tercatat dan berpengaruh terhadap DAS Percut hasil
pengukuran BMKG Sumatera Utara tahun 2010-2020 terbagi kedalam dua tipe
yaitu: basah dan sangat basah. Luasan pada masing-masing tipe curah hujan tersaji
pada Tabel 13.

Tabel 13. Luasan Curah Hujan DAS Percut


Curah Hujan (mm/tahun) Kelas Hujan Total Luas (Ha) Persentase (%)
2501 - 3000 Basah 21.369,82 51,44
> 3000 Sangat Basah 20.172,41 48,56
Total Luas (Ha) 41.542,23 100,00
Sumber: Hasil Analisis BMKG Sumatera Utara (2022)

Luasan areal dengan kategori kelas hujan basah mencapai 21.369,82 Ha


(51,44%) dan yang masuk kategori sangat basah mencapai 20.172,41 Ha (48,56 %).
Tabel 15 menunjukkan bahwa wilayah DAS Percut mempunyai intensitas hujan
tahunan yang mendukung peluang terjadinya longsor semakin besar. Intensitas
hujan yang besar berkaitan dengan pengisian air tanah dan erosi. Erosi akan
menyebabkan terkikisnya lapisan tanah dan mengurang daya ikat antar partikel
tanah sehingga meningkatkan potensi terjadinya longsor. Hujan juga berkaitan
dengan pengisian air tanah, jika pengisian air tanah berlebihan dan tanah jenuh air
serta lapisan bawahnya kedap air maka peluang terjadinya longsor juga makin
besar. Berdasarkan pernyataan Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi,
(2005) dengan tingginya curah hujan yang terjadi, akan membuat lapisan tanah
semakin terkikis, terkikisnya lapisan tanah secara terus-menerus akan
mengakibatkan bencana longsor. Peta curah hujan DAS Percut tersaji pada Gambar
11.
36

Gambar 11. Peta Sebaran Curah Hujan DAS Percut

Jenis batuan
Secara geologi sebagian wilayah DAS Percut adalah daerah yang memiliki
struktur batuan yang terpengaruh oleh kondisi pegunungan sekitarnya. Setiap
batuan memiliki sifat yang berbeda-beda tergantung dari asal-usul pembentukan
37

batuan tersebut. Pada dasarnya, sifat batuan terpengaruh oleh kandungan mineral,
kondisi cuaca, struktur dan tekstur, sedimentasi dan bentuk lapisan bidang datar.
Klasifikasi Jenis batuan pada DAS Percut berdasarkan data Regional
Physical Planning Programme for Transmigration, (1988) terdapat dua jenis batuan
yaitu: batu aluvial dan batu vulkanik. Luasan jenis batuan tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14. Luasan Jenis Batuan DAS Percut


Jenis Batuan Total Luas (Ha) Persentase (%)
Batuan Alluvial 18.096,16 43,56
Batuan Vulkanik 23.446,07 56,44
Total Luas (Ha) 41.542,23 100,00
Sumber: Hasil Analisis RePPProT (2022)

Batuan yang terbentuk dari material batuan yang memiliki ukuran seperti
bongkahan, kerikil, lempung, pasir serta gambut yang memiliki umur holosen
adalah batuan alluvial. Batuan aluvial termasuk jenis batuan muda. Batuan alluvial
menyebar pada kawasan DAS Percut sehingga memiliki luas sebesar 18.096,16 Ha
(43,56%).
Batuan yang berasal dari letusan gunung berapi yang tidak terurai adalah
jenis batuan vulkanik. Batuan vulkanik memiliki luasan yang tinggi pada DAS
Percut dengan luasan 23.446,07 Ha (56,44%). Batuan vulkanik pada dasarnya tahan
akan terjadi nya erosi dan longsor. Buchori dan Susilo, (2012) menyatakan bahwa
pada kawasan pegunungan, bahan induk bumi akan berupa batuan padat yang
berasal dari vulkanik, batuan sedimen dan batuan metamorf. Tanah yang berasal
dari batuan sedimen relatif lebih rentan terhadap erosi dan longsor, batuan yang
berasal dari batuan sedimen antara lain lempung, lempung berkapur atau
batugamping dan batugamping. Di Dalam batuan vulkanik memiliki susunan
struktur batuan yang lunak, sehingga akan mudah terjadinya longsor pada suatu
lereng. Jika dalam batuan vulkanik tidak memiliki susunan struktur yang lunak
maka batuan tersebut tidak mudah terjadi longsor. Kedua jenis batuan tersebut
tersebar secara merata pada DAS Percut. Klasifikasi jenis batuan DAS Percut tersaji
pada Gambar 12.
38

Gambar 12. Peta Sebaran Jenis Batuan DAS Percut

Sebaran Spasial Kerawanan Longsor di DAS Percut


Hasil yang dihasilkan dari analisis kerawanan longsor DAS Percut yaitu
sebanyak lima kelas kerawanan yang mungkin terjadi, mulai dari kelas sangat
rendah, kelas rendah, kelas sedang, kelas tinggi dan kelas sangat tinggi.
39

Hasil Uji Validasi


Jumlah titik yang diperoleh dari lapangan : 309 titik (Lampiran 1). Hasil
perhitungan overall accuracy : 279/309 x 100% = 90%. Hasil perhitungan kappa
accuracy : 81,83%, perhitungan kappa accuracy merupakan perhitungan antara
kecocokan peta dengan survey lapangan.
Hasil observasi (survey lapangan) didapat dari hasil validasi keseluruhan
(overall accuracy) dengan nilai diatas 80%. Hasil perhitungan keseluruhan hasil
validasi yang diperoleh dapat memenuhi standar pada skala nasional dan
internasional yaitu diatas 80%. Gambar kelas kemiringan lereng pada lokasi
penelitian tersaji pada Gambar 13.

a b

c d
Gambar 13. Kelas Rawan Longsor di Lokasi Penelitian (a) Longsor Tebing (Sangat Tinggi)
(b) Longsor Tebing Sungai (Sangat Tinggi) (c) Longsor Tebing (Tinggi) (d) Longsor
Lahan (Sedang)

Sebaran Kawasan Rawan Longsor Menurut Wilayah Administrasi


Kelas rawan longsor pada DAS Percut berdasarkan hasil analisis terdapat
lima kelas kerawanan yaitu kelas rawan sangat rendah, kelas rawan rendah, kelas
rawan sedang, kelas rawan tinggi dan kelas rawan sangat tinggi. Survey lapangan
disesuaikan dengan tingkat kerawanan longsor yaitu untuk 5 kelas yaitu kelas
sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi yang disesuaikan dengan
40

letak lapangan. Terdapat titik lokasi yang tidak sesuai dengan kategori kerentanan
di lapangan. Ada kasus yang menunjukkan kondisi kerawanan longsor tinggi yang
seharusnya sangat tinggi. Kondisi lapangan yang ditemukan adalah adanya
perubahan pemanfaatan hutan menjadi areal perkebunan dan pertanian akibat
aktivitas perambahan oleh masyarakat. Thoha et al., (2021a) menyatakan bahwa
tingginya hasil akurasi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa
kemungkinan, dimana terdapat perbedaan interpretasi sampel pada peta dengan
kondisi sebenarnya di lapangan.
Sebaran spasial kerawanan longsor berdasarkan hasil klasifikasi
menunjukkan bahwa pada kelas kerawanan longsor sangat tinggi dan tinggi hanya
dijumpai di wilayah Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang (Tabel 15).
Wilayah yang terkategori kerawanan sangat tinggi berada di wilayah hulu DAS.
Kelas kerawanan rendah dan sedang tersebar di ketiga wilayah administrasi
sedangkan kelas kerawanan sangat rendah hanya teridentifikasi di Kabupaten Deli
Serdang pada wilayah hilir DAS dengan luasan 2.666,26 Ha. Berdasarkan hasil
identifikasi ini maka yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah areal kelas
kerawanan longsor tinggi dan sangat tinggi di Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli
Serdang.
Terjadinya longsor karena adanya suatu perubahan yang terjadi pada
permukaan bumi, yaitu adanya pengaruh dari kondisi geomorfologi sehingga
menyebabkan tejadinya gangguan pada kestabilan tanah atau batuan penyusun
lereng. Kerentanan longsor dipicu oleh faktor curah hujan dan penggunaan lahan.
Banyak kerugian yang ditimbulkan oleh bencana longsor yaitu kerugian sosial dan
ekonomi serta rusaknya lahan permukiman, pertanian, terganggunya jalur lalu
lintas, saluran irigasi dan menimbulkan banyaknya korban jiwa (Susanto dan
Putranto, 2016). Tingkat kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan akibat tingginya
bencana longsor yang disebabkan kurangnya komunikasi dan koordinasi yang
efektif antara masyarakat sehingga upaya pencegahan longsor masih lemah.
Pepohonan atau vegetasi erat kaitannya dengan longsor, karena vegetasi
berperan sangat penting dalam menjaga kestabilan lereng. Indrajaya dan Wuri,
(2008) menyatakan bahwa akar vegetasi dapat mengikat partikel tanah sehingga
menjaga kestabilan tanah dan dapat memperkuat lereng, sehingga dengan semakin
41

banyaknya vegetasi (hutan) maka akan menjaga kestabilan tanah dan mencegah
terjadinya banjir. Pada saat melakukan evapotranspirasi vegetasi dapat mengurangi
ketersediaan air tanah sehingga dapat mempertahankan stabilitas lereng karena
berkurangnya beban lereng oleh air. Kondisi tanah yang kering sehingga menjadi
retak serta peran vegetasi menjadi negatif yang menyebabkan terjadinya longsor.
Hal tersebut disebabkan oleh retaknya tanah akibat kekeringan, memiliki kapasitas
tampung air yang tinggi, sehingga jika terjadi penambahan air secara tiba-tiba
dalam jumlah banyak atau hujan deras dan berlangsung lama, tanah menjadi labil
dan akibatnya akan terjadi longsor.
Thoha et al., (2021b) penanggulangan bencana tanah longsor hanya dapat
berhasil apabila diperoleh pengetahuan rinci tentang frekuensi, karakter, dan
besaran pergerakan massa yang diharapkan di suatu daerah. Peta rawan longsor
harus memberikan informasi yang memadai dan dapat dipahami oleh para
perencana dan pengambil keputusan. Pengelolaan lahan diperlukan untuk
memperbaiki lahan kritis yang memiliki tingkat kerawanan longsor yang tinggi
misalnya dengan penerapan sistem agroforestri dan rehabilitasi lahan.
Peta kerawanan longsor diasumsikan dapat digunakan sebagai dasar untuk
menganalisis kejadian longsor di masa mendatang dan dibutuhkan untuk menjadi
dasar dalam setiap strategi mitigasi bencana longsor. Berdasarkan hasil analisis
rawan longsor yang dihitung melalui overlay peta rawan longsor dengan peta
administrasi DAS Percut didapat luas tingkat longsor pada tiap Kabupaten dan Kota
yang dapat dilihat pada Tabel 15 dan Peta kerawanan longsor dapat dilihat pada
Gambar 14.

Tabel 15. Sebaran Kawasan Kerawanan Longsor DAS Percut


Kelas Kerawanan Kabupaten/Kota Luas Total (Ha)
Longsor Deli Serdang Medan Karo
Sangat Rendah 2.666,26 2.666,26
Rendah 12.190,47 9.837,01 285,90 22.313,38
Sedang 10.578,18 529,26 2.351,90 13.459,34
Tinggi 2.614,59 241,54 2.856,13
Sangat Tinggi 242,29 4,83 247,12
Luas Total (Ha) 28.292,46 10.427,67 2.922,17 41.542,23
42

Gambar 14. Peta Sebaran Rawan Longsor DAS Percut

Konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat menjadi salah satu potensi
terjadinya bencana longsor. Menurut Thoha et al., (2020) menyatakan bahwa
konversi suatu lahan menjadi kegiatan yang berpotensi meningkatkan kerawanan
suatu wilayah. Pergantian jenis tanaman dari jenis tanaman berkayu berakar keras
43

yang akan kuat menahan tanah menjadi tanaman semusim yang berakar serabut
sehingga menyebabkan terjadinya longsor di kemudian hari. Lahan dengan
kemiringan lereng sangat curam memiliki potensi longsor lebih tinggi. Tanah
longsor biasanya terjadi secara berkala yang terletak pada kondisi tertentu seperti
kondisi geologi, lereng, dan tanah, yang dikategorikan sebagai faktor yang tidak
dapat dipisahkan. Pada wilayah yang sama kemungkinan terjadinya longsor dapat
terjadi kembali karena struktur tanahnya masih dapat terjadi longsor kembali.

Sebaran Kerawanan Tanah Longsor Berdasarkan Ketinggian Lahan/Elevasi


Sebaran spasial kerawanan longsor berdasarkan ketinggian tempat diatas
permukaan laut teridentifikasi bahwa pada wilayah dengan ketinggian lebih dari
1000 mdpl teridentifikasi kelas kerawanan longsor sangat tinggi seluas 4.065,83
Hektar. Tabel 16 memberikan gambaran bahwa jika tinggi suatu tempat semakin
tinggi diatas permukaan laut maka potensi terjadi longsor semakin besar.
Berdasarkan hasil klasifikasi ketinggian tempat pada kelas rawan longsor luasan
paling besar teridentifikasi kelas rawan longsor sedang dengan luasan 21.755,31
Ha. Ketinggian tempat diatas permukaan laut paling mendominasi pada wilayah
DAS Percut adalah ketinggian <250 mdpl dengan luasan 28.797,53 Ha.
Lesik et al., (2020), menjelaskan bahwa faktor yang menjadi pengendali
iklim yang paling penting pada daerah iklim tropis adalah ketinggian tempat atau
elevasi, terutama pada tekanan suhu dan curah hujan. Lalu dibuat pernyataan bahwa
semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, maka semakin tinggi curah hujan
yang turun. Ketinggian tempat/elevasi sangat mempengaruhi terjadinya longsor, hal
tersebut dikarenakan ketinggian lahan tergantung pada kemiringan lereng dan besar
sudut lereng. Elevasi suatu tempat menjadi patokan terjadinya tanah longsor, karena
wilayah dengan ketinggian yang tinggi secara umum memiliki lereng yang curam.
Menurut Regmi et al., (2014), elevasi yang tinggi pada daerah dataran tinggi dengan
lereng curam dapat dijadikan sebagai faktor pengkondisi tanah longsor sehingga
pada ketinggian tersebut banyak terjadi longsor, meskipun di beberapa dataran
tinggi terdapat lereng landai. Luasan dan Peta ketinggian lahan/elevasi tersaji dalam
Tabel 16 dan Gambar 15.
44

Tabel 16. Luasan Ketinggian Lahan/Elevasi DAS Percut


Ketinggian Kelas Kerawanan Longsor Luas Total
(mdpl) Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat (Ha)
Rendah Tinggi
<250 mdpl 7,22 9.633,24 18.495,21 655,5 6,36 28.797,53
250-500 mdpl 12,46 846,92 2.990,47 625,58 4.475,43
500-1000 mdpl 18,93 413,2 1.291,73 36,16 1.760,02
1000-1500 mdpl 112,45 1.471,05 2.425,47 56,86 4.065,83
1500-2000 mdpl 26,24 528,93 1.504,75 383,5 2.443,42
Luas Total (Ha) 7,22 9.803,32 21.755,31 8.867,92 1.108,46 41.542,23
Sumber: Hasil Analisis DEMNAS (2022)

Gambar 15. Peta Sebaran Ketinggian Lahan/Elevasi DAS Percut


45

Sebaran Kerawanan Tanah Longsor Berdasarkan Jarak Jalan


Longsor selain berbahaya bagi manusia juga berbahaya bagi keberlanjutan
banguan infrastruktur seperti jalan, bendungan dan saluran irigasi. Longsor dapat
menyebabkan menurunnya kinerja infrastruktur jalan. Penyebab terjadinya longsor
di ruas jalan yaitu tidak adanya penahan tanah sehingga akan mengakibatkan
terganggunya fungsi ruas jalan dalam suatu jaringan jalan. Jika suatu ruas jalan
mengalami gangguan akan menyebabkan terganggunya ruas jalan pada jaringan
jalan lainnya. Saat musim hujan dengan curah hujan tinggi akan menyebabkan
terjadinya longsor di pinggir jalan semakin besar. Akibat dari longsor ini yaitu
menyebabkan terganggunya aktivitas manusia bahkan sering menimbulkan korban
jiwa. Jalan dengan lereng curam memiliki potensi terjadinya longsor pinggi jalan
menjadi besar. Terjadinya longsor dikibatkan oleh parameter-parameter penyebab
longsor yang terjadi secara bersamaan. Parameter-parameter yang memicu kejadian
longsor adalah dengan adanya penambahan bahan pada lereng misalnya
permukiman atau bangunan, perpotongan antar kaki lereng dan ditemukannya
kegiatan penggalian yang tajam pada kawasan lahan dengan kemiringan lereng
curam (Toyfur et al., 2020).
Pada jarak 50 meter dari jalan merupakan kawasan yang paling luas yaitu
seluas 16.234,12 Ha. Pada jarak 0 sampai 100 meter merupakan areal dengan jarak
yang dekat dengan sungai sehingga tingkat aktivitas manusia yang tinggi sehingga
pada areal ini perlu mendapatkan perhatian dalam mitigasinya. Kelas kerawanan
longsor tinggi dan sangat tinggi terdapat pada jarak jalan paling luas terdapat pada
jarak 1000 sampai 10000 meter. Hal ini terjadi karena semakin jauh jarak jalan
terhadap sungai maka semakin kecil terjadinya longsor. Luas kerawanan longsor di
DAS Percut berdasarkan jarak jalan dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Luasan Kerawanan Longsor DAS Percut per Jarak Jalan
Kelas Kerawanan Longsor
Luas Total
Jarak Jalan (m) Sangat Sangat
Rendah Sedang Tinggi (Ha)
Rendah Tinggi
50 4.051,34 11.550,22 595,34 37,21 16.234,12
100 0,02 1.907,92 4.517,35 551,3 43,39 7.019,96
250 0,43 2.257,07 3.401,57 1.299,69 133,12 7.091,87
500 1,48 1.222,37 1.001,70 1.560,28 211,99 3.997,84
1000 0,91 347,23 585,64 1.546,85 209,21 2.689,84
10000 8,58 695,01 3.353,45 451,56 4.508,60
Luas Total (Ha) 2,84 9.794,51 21.751,49 8.906,91 1.086,48 41.542,23
46

Sebaran Kerawanan Tanah Longsor Berdasarkan Jarak Sungai


Erosi tebing sungai merupakan erosi yang sering terjadi karena terkikisnya
kaki dan dasar sungai yang tergerus oleh air yang mengalir dari sungai. Kecepatan
aliran, kondisi vegetatif di zona riparian, pertanian di pantai, lebar dan kedalaman
sungai dan tektur tanah mempengaruhi erosi tebing. Bagian tebing sungai memiliki
potensi besar terhadap tejadinya erosi tebing karena benturan aliran sungai yang
terjadi (Yoga dan Widiyanto, 2016). Erosi tepian sungai adalah dampak dari aliran
air hujan yang berpotensi merusak yang mengikis tepian dan dasar sungai. Longsor
yang terjadi disekitar sungai mengakibatkan terganggunya kualitas air. Jika lokasi
longsor dekat sungai maka kualitas air sungai akan mengalami penurunan.
Tindakan yang harus dilakukan dalam pengurangan risiko terjadinya erosi
tebing yang dapat menyebabkan longsor antara lain membuat tanggul bronjong,
yang mengurangi erosi yang terjadi di dasar tebing sungai, dipasang di sisi kiri dan
kanan yang harus berada di sepanjang dasar sungai dekat jeram dan membuat alur
sunai yaitu mengatur arah aliran, mengurangi laju aliran di sepanjang bantaran yang
dapat mempercepat proses sedimentasi pada bantaran (Raharja et al., 2016).
Areal dengan jarak 100 meter dari sungai merupakan kawasan dengan luas
paling tinggi yaitu seluas 14.541,66 Ha. Kelas kerawanan tinggi dan sangat tinggi
terletak pada jarak 100 sampai 250 meter dari sungai. Hal tersebut karena semakin
dekat jarak lokasi ke sungai maka akan semakin rawan longsor. Potensi terjadi
longsor pada kawasan yang berada dekat sungai sangat tinggi, yaitu pada lahan
pinggir sungai dan memiliki kondisi vegetasi yang tidak baik. Terjadinya erosi pada
tepi sungai akibat tidak adanya vegetasi dengan akar keras sehingga tidak ada
penahan air jika terjadi hujan. Luasan kerawanan longsor di DAS Percut
berdasarkan jarak sungai dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Luasan Kerawanan Longsor DAS Percut per Jarak Sungai
Kelas Kerawanan Longsor
Luas Total
Jarak Sungai (m) Sangat Sangat
Rendah Sedang Tinggi (Ha)
Rendah Tinggi
100 0,29 2.725,52 5.448,30 5.728,41 639,14 14.541,66
250 0,78 2.311,27 4.376,29 2.585,06 359,42 9.632,83
500 1,11 2.325,30 4.051,48 530,9 86,76 6.995,55
1000 0,63 1.853,62 4.437,67 60,67 1,18 6.353,77
10000 578,79 3.437,75 1,88 4.018,42
Luas Total (Ha) 2,81 9.794,50 21.751,50 8.906,92 1.086,50 41.542,23
47

Berdasarkan hasil survey lapangan, kerawanan longsor berdasarkan jarak


sungai terdapat pada tebing-tebing sungai. Longsor tebing sungai pada lokasi
penelitian tersaji pada Gambar 16.

a b
Gambar 16. (a) Longsor Tebing Sungai (b) Pengikisan Tebing Sungai

Mitigasi Bencana Longsor


Hasil identifikasi sebaran kerawanan longsor di DAS Percut diperoleh
luasan kelas longsor rendah dan sedang secara berturut-turut mencapai luasan
12.190,47 Ha dan 10.578,18 Ha pada setiap kelas. Karena wilayah ini memiliki
resiko bahaya dan resiko kerugian yang rendah dibandingkan dengan kelas
kerawanan tinggi dan sangat tinggi, maka dalam memitigasi bencana longsor
difokuskan pada kerawanan tinggi dan sangat tinggi. Meskipun demikian, jika di
lapangan terdapat titik-titik lokasi tertentu yang mempunyai potensi terjadinya
longsor besar maka perlu juga dimitigasi walaupun pada peta termasuk ke dalam
kategori kelas kerawanan rendah dan sedang.
Pengurangan dampak bencana adalah suatu cara dalam mengatasi dampak
yang merugikan akibat terjadinya suatu bencana. Dalam UU No. 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, menjelaskan bahwa penyelenggaraan
penanggulangan bencana dilakukan agar bijak dalam melakukan dalam pencegahan
bencana, rehabilitasi dan tanggap darurat. Pencegahan bencana dilakukan dengan
tujuan untuk menghilangkan atau meminimalisir resiko terjadinya suatu bencana.
Tinggal di daerah rawan bencana membutuhkan kewaspadaan dan kesiapan
menghadapi bencana yang tidak terduga. Kesiapsiagaan bekerja untuk mengurangi
dampak bencana melalui pencegahan yang efektif, tepat waktu, lengkap dan efektif
untuk tanggap darurat dan bantuan bencana. Mitigasi bencana dilakukan dalam
meminimalisir risiko bencana, melalui pembangunan fisik serta peningkatan
kesadaran dan peningkatan kapasitas untuk merespon ancaman bencana.
48

Untuk memperbaiki dan memulihkan kawasan yang terkena dampak


bencana harus dilakukan rehabilitasi. Seperti yang dijelaskan dalam UU No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 1 ayat (11) yaitu rehabilitasi
atau pemulihan adalah peningkatan dan perbaikan seluruh aspek pelayanan
masyarakat atau publik di wilayah pascabencana bertujuan untuk menormalkan
aspek-aspek pemerintahan dalam kehidupan bermasyarakat di wilayah
pascabencana.
Ada beberapa ancaman yang tidak dapat dihindari, namun dampaknya bisa
dikurangi dengan pengurangan risiko bencana melalui manajemen risiko bencana.
Siklus penanggulangan bencana meliputi empat fase, yaitu kesiapsiagaan, tanggap
darurat, pencegahan/mitigasi dan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Dalam melakukan mitigasi dilakukan tindakan yang dapat diambil dari pencegahan
atau pengurangan dampak bencana. Kegiatan mitigasi terfokus pada tindakan
jangka panjang dalam pengurangan risiko bencana.
Pasal 4 menjelaskan penanggulangan bencana untuk menjamin
perlindungan masyarakat terhadao risiko bencana alam; mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku; terjaminnya penyelenggaraan penanggulangan
bencana secara teratur, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh; menghormati
budaya lokal; memperkuat partisipasi dan kemitraan publik dan swasta; bersama-
sama memajukan semangat kerjasama, solidaritas bersama. Mitigasi bencana
longsor berdasarkan tingkat kerawanan dan tutupan lahan tersaji pada Tabel 19.

Tabel 19. Mitigasi Berdasarkan Tingkat Kerawanan dan Tutupan Lahan


Kelas Kerawanan Jenis Tutupan Mitigasi Bencana Longsor
Longsor Lahan
Tinggi Perkebunan Membuat struktur konservasi seperti rak tebing
harus dibangun untuk mempertahankan tebing terjal
di jalan raya (membuat terasering), Pengubahan pola
pemanfaatan kawasan dengan cara mengelola lahan
yang semula hanya ditanami tanaman semusim
dengan dilakukan pengubahan pola lahan dengan
menanami pohon berakar keras, Pembuatan saluran
drainase yang sesuai dengan tipe tanah.
Pertanian lahan Membuat saluran drainase, Menambah pupuk
kering organik untuk menyuburkan tanah, Membuat
saluran irigasi untuk perairan pertanian, Menanam
jenis tanaman pertanian sesuai dengan kondisi tanah
dan lingkungan.
49

Kelas Kerawanan Jenis Tutupan Mitigasi Bencana Longsor


Longsor Lahan
Pertanian lahan Memberikan pupuk organik pada tanah agar subur,
kering campur Menanam pohon disekitar lahan, Menyeleksi semak
semak yang baik dan tidak untuk lahan tersebut, Membuat
saluran irigasi untuk lahan pertanian.
Hutan lahan kering Menanam pohon dengan akar keras, Tidak
primer menebang pohon di tepi lereng, Melakukan
penanaman pohon di areal yang gundul dan di lereng
curam, Membuat saluran drainase, Dilakukan
pemasangan papan peringatan kawasan rawan
longsor oleh Dishub dan kepolisian serta perhutani
di kawasan hutan.
Hutan lahan kering Dibuat papan peringatan untuk tidak menebang
sekunder/bekas pohon pada kawasan hutan, Melakukan penanaman
tebangan pohon berakar keras dan di areal gundul dan curam,
Tidak menebang pohon di tepi lereng.
Sawah Tidak membuat sawah di lahan yang miring, Tidak
membuat sawah ditepi sungai, Tidak membuat
sawah di atas lereng, Menanam pohon di sekitar
sawah, Membuat kawasan berlereng berbentuk
terasering atau membuat struktur konservasi seperti
rak yang dibangun untuk mempertahankan tebing
yang curam.
Sangat Tinggi Semak Belukar Menyiangi semak belukar, Menanam pohon pada
lahan semak belukar agar menjadi penahan air pada
kawasan tersebut.
Hutan lahan kering Menanam pohon dengan akar keras, Tidak membuat
primer rumah di tepi lereng, Tidak menebang pohon di tepi
lereng, Tidak membangun rumah di sempadan
sungai, Melakukan penanaman pohon di areal yang
gundul dan di lereng curam, dilakukan pemasangan
papan peringatan kawasan rawan longsor oleh
Dishub dan kepolisian serta perhutani di kawasan
hutan.
Hutan lahan kering Dibuat papan peringatan untuk tidak menebang
sekunder/bekas pohon pada kawasan hutan, Melakukan penanaman
tebangan pohon berakar keras, Tidak menebang pohon di tepi
lereng, Melakukaan penanaman pohon di areal
gundul dan curam
Pertanian lahan Menambah pupuk organik untuk menyuburkan
kering tanah, Membuat saluran irigasi untuk perairan
pertanian, Menanam jenis tanaman pertanian sesuai
dengan kondisi tanah dan lingkungan.
Perkebunan/kebun Membuat struktur konservasi seperti rak tebing
harus dibangun untuk mempertahankan tebing terjal
di jalan raya (membuat terasering), menanam pohon
berakar keras disekitar perkebunan yang berfungsi
sebagai penahan air
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Hasil analisis klasifikasi kerawanan longsor pada DAS Percut, memiliki lima
kelas rawan longsor yaitu kelas sangat rendah, kelas rendah, kelas sedang, kelas
tinggi dan kelas sangat tinggi. DAS Percut didominasi kerawanan longsor pada
kelas longsor rendah dan sedang memiliki luas 12.190,47 Ha dan 10,578,18 Ha
pada masing-masing kelas.
2. Dalam mengurangi dan pencegahan bencana longsor perlu dilakukan beberapa
cara untuk pencegahan atau mitigasi pada setiap tutupan lahan yaitu penanaman
vegetasi (pohon) yang berakar keras harus disesuaikan dengan kondisi fisik
daerah, tidak membuat rumah di tepi sungai dan di tepi lereng, membuat saluran
drainase, membuat struktur konservasi seperti rak tebing harus dibangun untuk
mempertahankan tebing curam di jalan raya, tidak membuat rumah/bangunan
dengan memotong tebing secara lurus.

Saran
1. Hasil analisis rawan longsor pada kawasan DAS Percut dilakukan untuk
mengetahui wilayah mana saja yang sangat rentan terhadap bencana longsor.
Penelitian ini diharapkan sebagai peringatan akan kewaspadaan masyarakat dan
pemerintah terhadap terjadinya longsor. Peta kerawanan longsor ini akan
menjadi panduan sebagai peringatan dini pada wilayah rawan longsor.
2. Penelitian ini menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aryani N, Ariyanti DO, Ramadhan M. 2020. Pengaturan Ideal tentang Pengelolaan


Daerah Aliran Sungai di Indonesia (Studi di Sungai Serang Kabupaten
Kulon Progo). Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 27 (3): 592-614.

Asdak C. 2018. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai Gadjah Mada
University Press.

Buchori I, Susilo J. 2012. Model Keruangan untuk Identifikasi Kawasan Rawan


Longsor. Tata Loka 14 (4): 282-294.

Dariah A, Subagyo H, Tafakresnanto C, Marwanto S. 2004. Kepekaan tanah


terhadap erosi. Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng:
7-30.

Darmawan K, Hani'ah, Suprayogi A. 2017. Analisis Tingkat Kerawanan Banjir Di


Kabupaten Sampang Menggunakan Metode Overlay Dengan Scoring
Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal Geodesi Undip 6 (1): 31-40.

Debataraja SMT, Pardede J. 2020. Studi Penyebab Terjadinya Longsor Pada Jalan
Provinsi Lintas Sipahutar-Pangaribuan Desa Siabal-Abal II. Jurnal Darma
Agung 28 (1): 31-38.

Fransiska L, Tjahjono B, Gandasasmita K. 2017. Studi Geomorfologi Dan Analisis


Bahaya Longsor Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Buletin Tanah dan
Lahan 1 (1): 51-57.

Fuady Z, Azizah C. 2008. Tinjauan daerah aliran sungai sebagai sistem ekologi dan
manajemen daerah aliran sungai. Jurnal Lentera 6 (1): 1-10.

Haribulan R, Gosal PH, Karongkong HH. 2019. Kajian Kerentanan Fisik Bencana
Longsor Di Kecamatan Tomohon Utara. SPASIAL 6 (3): 714-724.

Harisagustinawati H, Aswandi A, Sunarti S. 2020. Karakter DAS Kambang


Berdasarkan Analisis Morfometri dan Aspek Biofisik. Jurnal Daur
Lingkungan 3 (2): 38.

Hawker L, Bates P, Neal J, Rougier J. 2018. Perspectives on Digital Elevation


Model (DEM) Simulation for Flood Modeling in the Absence of a High-
Accuracy Open Access Global DEM. Frontiers in Earth Science 6: 1-9.

Indracahya MB, Suwarno, Sutomo. 2015. Kajian Penggunaan Lahan Terhadap


Kerawanan Longsorlahan Di SUB-DAS Logawa Kabupaten Banyumas.
Jurnal Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Geografi FKIP UMP. 13
Juni 2015.
Indrajaya Y, Wuri H. 2008. Potensi Hutan Pinus merkusii Jungh. et de Vriese
Sebagai Pengendali Tanah Longsor Di Jawa (Potency of Merkus Pine
(Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) Forest as Landslide Control in Java).
Info Hutan 5 (3): 231-240.

Irawan LY, Syafi'i IR, Rosyadi I, Siswanto Y, Munawaroh A et al. 2020. Analisis
potensi rawan bencana tanah longsor di Kecamatan Jabung, Kabupaten
Malang. Jurnal Pendidikan Geografi 25 (2): 102-113.

Kurniawan J, Purnawan B, Apriyanti D. 2016. Perbandingan Fungsi Software


Arcgis 10.1 Dengan Software Quantum Gis 2.14.5 Untuk Ketersediaan Data
Berbasis Spasial. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Teknik Geodesi
1 (1): 1-11.

Kurniawan L. 2008. Kajian Penilaian Bahaya Tanah Longsor Provinsi Sumatera


Utara. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 10 (2): 90-98.

Lesik EM, Sianturi HL, Geru AS, Bernandus. 2020. Analisis Pola Hujan Dan
Distribusi Hujan Berdasarkan Ketinggian Tempat Di Pulau Flores. Jurnal
Fisika 5 (2): 118-128.

Machairiyah, Nasution Z, Slamet B. 2020. Pengaruh Pemanfaatan Lahan terhadap


Kualitas Air Sungai Percut dengan Metode Indeks Pencemaran (IP).
LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia 27 (1): 13-25.

Masykur F. 2014. Implementasi Sistem Informasi Geografis Menggunakan Google


Maps Api Dalam Pemetaan Asal Mahasiswa. Jurnal SIMETRIS 5 (2): 181-
186.

Mukherjee S, Joshi PK, Mukherjee S, Ghosh A, Garg RD et al. 2013. Evaluation


of vertical accuracy of open source Digital Elevation Model (DEM).
International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation
21: 205-217.

Pangaribuan J, Sabri L, Amarrohman FJ. 2019. Analisis Daerah Rawan Bencana


Tanah Longsor Di Kabupaten Magelang Menggunakan Sistem Informasi
Geografis Dengan Metode Standar Nasional Indonesia dan Analythical
Hierarchy Process. Jurnal Geodesi Undip 8 (1): 288-297.

Prasetyo B, Irwandi H, Pusparini N. 2018. Karakteristik Curah Hujan Berdasarkan


Ragam Topografi Di Sumatera Utara. Jurnal Sains dan Teknologi
Modifikasi Cuaca, 19 (1): 11-20.

Priyono. 2015. Hubungan Klasifikasi Longsor, Klasifikasi Tanah Rawan Longsor


Dan Klasifikasi Tanah Pertanian Rawan Longsor. GEMA 27 (49): 1602-
1617.
Purba JO, Subiyanto S, Sasmito B. 2014. Pembuatan Peta Zona Rawan Tanah
Longsor Di Kota Semarang Dengan Melakukan Pembobotan Parameter.
Jurnal Geodesi Undip 3 (2): 40-52.

[Puslittanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004.


Laporan Akhir Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir dan
Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung, Jawa
Barat Bagian Barat Berbasis Sistem Informasi Geografi. Bogor:
Puslittanak Bogor.

[PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Managemen


Bencana Tanah Longsor. Bandung: Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Badan Geologi.

Raharja R, Wibowo FG, Ningsih RV, Machdum SV. 2016. Peran Kearifan Lokal
dalam Mitigasi Bencana: Studi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana
Longsor di Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor. Jurnal Dialog
Penanggulangan Bencana 7 (2): 111-119.

Rahayu AMU, Ardiansyah AN, Nuraeni NS. 2019. Wilayah Kerawanan Longsor
Di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Jurnal Geografi Gea 19 (1):
1-8.

Rahmad R, Sormin A. 2018. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis Untuk


Arahan Penggunaan Lahan Di Das Percut, Sumatera Utara. Jurnal Tunas
Geografi 07 (01): 57-68.

Rahmad R, Suib S, Nurman A. 2018. Aplikasi SIG Untuk Pemetaan Tingkat


Ancaman Longsor Di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara. Majalah Geografi Indonesia 32 (1): 1-13.

[RePPProT] Regional Physical Planning Programme for Transmigration. 1988.


Review of Phase I Results. Sumatra. Each consists of 2 olumes, plus 3 sets
of maps. Jakarta: Official Development Assistance (ODA) and Ministry of
Transmigration.

Regmi NR, Giardino JR, McDonald EV, Vitek JD. 2014. A Comparison Of
Logistic Regression-Based Models Of Susceptibility To Landslides In
Western Colorado, USA. Landslides 11 (2): 247-262.

Renjaan H, Erare SR. 2013. Pengelolaan Hutan di Era Otonomi Daerah. PATRIOT
6 (1): 54-101.

Rostaman T, Kasno A, Anggria L. 2011. Perbaikan Sifat Tanah dengan Dosis Abu
Vulkanik Pada Tanah Oxisols. Badan Litbang Pertanian: 357-368.
Satriawan H. 2017. Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam
Rangka Optimalisasi Kelestarian Sumberdaya Air (Studi Kasus DAS
Peusangan Aceh). Majalah Ilmiah Universitas Almuslim 9 (1): 29-35.

Shiddiq I, Nugraha AL, Suprayogi A. 2019. Desain Aplikasi Sistem Informasi


Geografis Pedagang Pasar Menggunakan Visual Basic Dan Dotspatial
(Studi Kasus: Pasar Bintoro Kabupaten Demak). Jurnal Geodesi Undip 8
(1): 446-455.

Sobirin, Sitanala FTR, Ramadhan M. 2017. Analisis Potensi Dan Bahaya Bencana
Longsor Menggunakan Modifikasi Metode Indeks Storie Di Kabupaten
Kebumen Jawa Tengah. 59-64.

Sudrajat ASE, Kurnianingtyas AP. 2020. Pemetaan Kebakaran Hutan Dan Lahan
Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan Menggunakan Aplikasi
Sistem Informasi Geografis. Jurnal Planologi 17 (2): 232-248.

Sulistio S, Rondonuwu DM, Poli H. 2020. Analisis Rawan Bencana Tanah Longsor
Di Kecamatan Ratahan Timur Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal
Spasial 7 (1): 164-175.

Susanto N, Putranto TT. 2016. Analisis Level Kesiapan Warga Menghadapi Potensi
Bencana Longsor Kota Semarang. Teknik 37 (2): 54-58.

Thoha AS, Patana P, Sari T, Hulu D. 2021a. Spatial distribution of landslide


vulnerability level in Langkat Regency, North Sumatra Province, Indonesia.
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 912 (1): 1-13.

Thoha AS, Slamet B, Harahap M, Sari T, Hulu D. 2021b. The analysis of landslide
vulnerability level distribution in the Labuhanbatu Utara Regency, North
Sumatera Province, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science 912 (1): 1-11.

Thoha AS, Sundari D, Patana P, Sulistiyono N. 2020. Spatial distribution of


landslide vulnerability level in Dairi District, North Sumatera Province,
Indonesia. Journal of Physics: Conference Series 1542 (1): 1-10.

Toyfur M, Iyana S, Alia F. 2020. Identifikasi Kerentanan Bencana Longsor Pada


Ruas Jalan Nasional. Applicable Innovation of Engineering and Science
Research (AVoER) 1 (1): 573-577.

Umaternate AN, Tarore RC, Karongkong HH. 2021. Identifikasi Tingkat


Kerawanan Bencana Longsor Di Kecamatan Kawangkoan Utara,
Kabupaten Minahasa. Jurnal Spasial 8 (8): 126-132.

Varnes DJ. 1978. Slope Movement Types and Processes Di dalam: R. L. Schuster
and R. J. Krizek, editor. Special Report Landslides: Analysis and Control
Washington D. C Transportation and Road Research Board, National
Academy of Science. hlm 11-33.

Waas ED, Ayal J, Kaihatu S. 2014. Evaluasi dan Penentuan Jenis Tanah Di
Kabupaten Seram Bagian Barat. Agros 16 (2): 336-348.

Wechsler S. 2007. Uncertainties associated with digital elevation models for


hydrologic applications: a review. Hydrology and Earth System Sciences 11
(4): 1481-1500.

Yoga AGH, Widiyanto W. 2016. Kajian Kerawanan Longsor Tebing Sungai Code
Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Kasus: Penggal Sungai Code antara
Banteng-Gondolayu). Jurnal Bumi Indonesia 5 (2): 1-10.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Hasil Validasi Titik Lapangan Lokasi Penelitian Daerah Aliran Sungai
Percut
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
1 Tanda tempat 33_1 Tinggi
2 Tanda tempat 33_2 Tinggi
3 Tanda tempat 33_1 Tinggi
4 Tanda tempat 33_2 Tinggi
5 Tanda tempat 33_3 Tinggi
6 Tanda tempat 33 Tinggi
7 Tanda tempat 32_5 Tinggi
8 Tanda tempat 32_1 Tinggi
9 Tanda tempat 32_2 Tinggi
10 Tanda tempat 32_3 Tinggi
11 Tanda tempat 32_4 Tinggi
12 Tanda tempat 32_3 Tinggi
13 Tanda tempat 32_4 Tinggi
14 Tanda tempat 32 Tinggi
15 Tanda tempat 31 Tinggi
16 1 Tanda tempat 30 Sangat Tinggi
17 Tanda tempat 31_3 Sangat Tinggi
18 Tanda tempat 31_1 Sangat Tinggi
19 Tanda tempat 31 Sangat Tinggi
20 Tanda tempat 31_2 Sangat Tinggi
21 Tanda tempat 31_4 Sangat Tinggi
22 Tanda tempat 30 Sangat Tinggi
23 Tanda tempat 33 Tinggi
24 Tanda tempat 34 Tinggi
25 Tanda tempat 34_1 Tinggi
26 Tanda tempat 34_2 Tinggi
27 Tanda tempat 34_1 Tinggi
28 Tanda tempat 34_2 Tinggi
29 sungai lau mentar Sedang
30 Tanda tempat 35_1 Tinggi
31 Tanda tempat 35 Tinggi
32 sungai 1 Sedang
33 Tanda tempat 35_3 Tinggi
34 sungai 2 Sedang
35 Tanda tempat 35_3 Tinggi
36 sungai 2 Sedang
37 Tanda tempat 35_2 Tinggi
38 Tanda tempat 29 Tinggi
39 Tanda tempat 30 Tinggi
40 Tanda tempat 30_1 Tinggi
41 Tanda tempat 30_2 Tinggi
42 Tanda tempat 30_3 Tinggi
Lampiran 1. Lanjutan
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
43 Tanda tempat 30_8 Sangat Tinggi
44 Tanda tempat 30_9 Sangat Tinggi
45 Tanda tempat 30_7 Sangat Tinggi
46 Tanda tempat 37 Sedang
47 Tanda tempat 39 Sedang
48 Tanda tempat 39_1 Sedang
49 Tanda tempat 30_6 Tinggi
50 Tanda tempat 30_5 Tinggi
51 Tanda tempat 30_4 Tinggi
52 Tanda tempat 34 Tinggi
53 Tanda tempat 36_1 Tinggi
54 Tanda tempat 36 Tinggi
55 Tanda tempat 36_2 Tinggi
56 Tanda tempat 35 Sangat Tinggi
57 Tanda tempat 37_1 Sangat Tinggi
58 Tanda tempat 37_2 Sangat Tinggi
59 Tanda tempat 37_3 Sangat Tinggi
60 Tanda tempat 29 Tinggi
61 Tanda tempat 29_1 Tinggi
62 sungai lau mbelin Sedang
63 Tanda tempat 29_2 Tinggi
64 Tanda tempat 38_2 Sedang
65 Tanda tempat 38_1 Sedang
66 Tanda tempat 38 Sedang
67 Tanda tempat 36 Sedang
68 Tanda tempat 28 Tinggi
69 Tanda tempat 28 Tinggi
70 Tanda tempat 28_2 Tinggi
71 Tanda tempat 28_1 Tinggi
72 Tanda tempat 28_3 Tinggi
73 Tanda tempat 27 Tinggi
74 Tanda tempat 27 Sedang
75 Tanda tempat 27_1 Sedang
76 Tanda tempat 23_4 Tinggi
77 Tanda tempat 26_4 Tinggi
78 Tanda tempat 24 Tinggi
79 Tanda tempat 23_2 Tinggi
80 Tanda tempat 24_8 Tinggi
81 Tanda tempat 24_1 Tinggi
82 Tanda tempat 24 Tinggi
83 Tanda tempat 24_2 Tinggi
84 Tanda tempat 26_1 Tinggi
Lampiran 1. Lanjutan
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
85 Tanda tempat 24_3 Tinggi
86 Tanda tempat 26_2 Tinggi
87 Tanda tempat 26 Tinggi
88 Tanda tempat 26 Tinggi
89 Tanda tempat 26_3 Tinggi
90 Tanda tempat 24_7 Tinggi
91 Tanda tempat 23_1 Tinggi
92 Tanda tempat 24_4 Tinggi
93 Tanda tempat 24_5 Tinggi
94 Tanda tempat 24_6 Tinggi
95 Tanda tempat 25 Sedang
96 Tanda tempat 25 Tinggi
97 Tanda tempat 25_2 Tinggi
98 Tanda tempat 25_1 Tinggi
99 Tanda tempat 19_2 Tinggi
100 Tanda tempat 19_1 Tinggi
101 Longsor 19 Tinggi
102 Tanda tempat 18 Sedang
103 Tanda tempat 18_1 Sedang
104 Longsor 18 Sedang
105 Tanda tempat 17_2 Sedang
106 Tanda tempat 17_1 Sedang
107 Tanda tempat 17 Sedang
108 Longsor 17 Sedang
109 Tanda tempat 16 Tinggi
110 Tanda tempat 16_1 Tinggi
111 Tanda tempat 16_3 Tinggi
112 Tanda tempat 16_2 Tinggi
113 Longsor 16 Sangat Tinggi
114 Tanda tempat 15 Tinggi
115 Longsor 15 Sangat Tinggi
116 Tanda tempat 15_1 Tinggi
117 Tanda tempat 21_5 Sedang
118 Tanda tempat 21_4 Sedang
119 Tanda tempat 21_3 Sedang
120 Tanda tempat 21_2 Sedang
121 Tanda tempat 21 Sedang
122 Tanda tempat 21_1 Sedang
123 Tanda tempat 21 Sedang
124 Tanda tempat 21_1 Sedang
125 Longsor 21 Tinggi
126 Tanda tempat 14 Tinggi
Lampiran 1. Lanjutan
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
127 Tanda tempat 14 Tinggi
128 Tanda tempat 14_1 Tinggi
129 Tanda tempat 13_1 Tinggi
130 Longsor 13 Sangat Tinggi
131 Longsor 12 Tinggi
132 Tanda tempat 12_3 Tinggi
133 Tanda tempat 12 Tinggi
134 Tanda tempat 12_2 Tinggi
135 Tanda tempat 12_1 Tinggi
136 Longsor 12 Sangat Tinggi
137 Tanda tempat 11 Sedang
138 Tanda tempat 11_1 Tinggi
139 Longsor 11 Tinggi
140 Tanda tempat 10_1 Sedang
141 Tanda tempat 10 Sedang
142 Tanda tempat 10_2 Sedang
143 longsor 8 Sangat Tinggi
144 Longsor 10 Tinggi
145 Longsor 10 Sedang
146 Tanda tempat 8 Tinggi
147 Tanda tempat 8_1 Tinggi
148 Tanda tempat 7_1 Sedang
149 Tanda tempat 7 Sedang
150 Longsor 7 Sangat Tinggi
151 longsor 8 Tinggi
152 Tanda tempat 9 Tinggi
153 Longsor 9 Sangat Tinggi
154 Longsor 6 Sangat Tinggi
155 Tanda tempat 9_1 Tinggi
156 Tanda tempat 6 Tinggi
157 Tanda tempat 9_2 Tinggi
158 Tanda tempat 6_1 Tinggi
159 Tanda tempat 6_2 Tinggi
160 longsor 8_2 Tinggi
161 longsor 8_1 Tinggi
162 Tanda tempat 5_3 Tinggi
163 Tanda tempat 5_2 Tinggi
164 Longsor 5 Tinggi
165 Tanda tempat 5_1 Tinggi
166 Tanda tempat 5 Tinggi
167 Tanda tempat 4_3 Tinggi
168 Tanda tempat 4 Tinggi
Lampiran 1. Lanjutan
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
169 Tanda tempat 4_2 Tinggi
170 Longsor 4 Tinggi
171 Tanda tempat 4_1 Tinggi
172 Longsor 1 Sedang
173 Tanda tempat 1_3 Sedang
174 Tanda tempat 1_2 Sedang
175 Tanda tempat 1 Sedang
176 Tanda tempat 1_1 Sedang
177 Longsor 3 Tinggi
178 Tanda tempat 3 Sedang
179 Tanda tempat 3_1 Sedang
180 Tanda tempat 3_2 Sedang
181 Tanda tempat 3_3 Sedang
182 Tanda tempat 3_2 Sedang
183 Tanda tempat 3_3 Sedang
184 Longsor 3 Sedang
185 Longsor 3_1 Sedang
186 Tanda tempat 2_6 Tinggi
187 Tanda tempat 2_5 Tinggi
188 Tanda tempat 2_3 Tinggi
189 Tanda tempat 2_2 Tinggi
190 Tanda tempat 2_1 Tinggi
191 Tanda tempat 2_4 Tinggi
192 Longsor 2 Tinggi
193 Tanda tempat 2 Tinggi
194 longsor 20_1 Sedang
195 longsor 20_2 Sedang
196 Tanda tempat 20_2 Sedang
197 Tanda tempat 20_1 Sedang
198 Tanda tempat 20 Sedang
199 Tanda tempat 20_3 Sedang
200 Tanda tempat 20_4 Sedang
201 longsor 20 Sedang
202 longsor 20 Tinggi
203 Tanda tempat 10_2 Tinggi
204 Tanda tempat 10_1 Tinggi
205 Tanda tempat 10 Tinggi
206 Tanda tempat 10 Tinggi
207 Tanda tempat 9_5 Sedang
208 Tanda tempat 9_4 Sedang
209 Tanda tempat 9_3 Sedang
210 Tanda tempat 9_2 Sedang
Lampiran 1. Lanjutan
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
211 Tanda tempat 9_6 Sedang
212 Tanda tempat 9 Sedang
213 Tanda tempat 9_1 Sedang
214 Tanda tempat 9 Tinggi
215 Tanda tempat 8 Tinggi
216 Tanda tempat 8 Tinggi
217 Tanda tempat 8_1 Tinggi
218 Tanda tempat 8_2 Tinggi
219 Tanda tempat 8_4 Tinggi
220 Tanda tempat 15 Tinggi
221 Tanda tempat 15 Tinggi
222 Tanda tempat 15_1 Tinggi
223 Tanda tempat 15_2 Tinggi
224 Tanda tempat 15_3 Tinggi
225 Tanda tempat 7_2 Tinggi
226 Tanda tempat 7_1 Tinggi
227 Tanda tempat 7 Tinggi
228 Tanda tempat 16_2 Sedang
229 Tanda tempat 16_3 Sedang
230 Tanda tempat 16_1 Tinggi
231 Tanda tempat 16 Tinggi
232 Tanda tempat 16 Tinggi
233 Tanda tempat 17_2 Sedang
234 Tanda tempat 17 Sedang
235 Tanda tempat 17 Tinggi
236 Tanda tempat 17_1 Sedang
237 Tanda tempat 13 Tinggi
238 Tanda tempat 14 Tinggi
239 Tanda tempat 14 Tinggi
240 Tanda tempat 14_3 Tinggi
241 Tanda tempat 14_1 Tinggi
242 Tanda tempat 13 Sedang
243 Tanda tempat 14_2 Tinggi
244 Tanda tempat 13_1 Sedang
245 Tanda tempat 13_2 Sedang
246 Tanda tempat 6_3 Tinggi
247 Tanda tempat 6_2 Tinggi
248 Tanda tempat 6_1 Tinggi
249 Tanda tempat 6 Tinggi
250 Tanda tempat 6 Tinggi
251 Tanda tempat 12 Tinggi
252 Tanda tempat 5_1 Tinggi
Lampiran 1. Lanjutan
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
253 Tanda tempat 5_3 Tinggi
254 Tanda tempat 5_2 Tinggi
255 Tanda tempat 5 Tinggi
256 Tanda tempat 5 Sedang
257 Tanda tempat 4 Tinggi
258 Tanda tempat 4 Sedang
259 Tanda tempat 4_1 Tinggi
260 Tanda tempat 4_2 Tinggi
261 Tanda tempat 3_2 Sedang
262 Tanda tempat 3_1 Sedang
263 Tanda tempat 3 Sedang
264 Tanda tempat 3 Sedang
265 Tanda tempat 2 Sedang
266 Tanda tempat 2_2 Sedang
267 Tanda tempat 2_3 Sedang
268 Tanda tempat 2_4 Sedang
269 Tanda tempat 2_1 Sedang
270 Tanda tempat 18 Tinggi
271 Tanda tempat 1 Tinggi
272 Tanda tempat 1 Tinggi
273 Tanda tempat 1_1 Tinggi
274 Tanda tempat 18 Sedang
275 Tanda tempat 18_1 Sedang
276 Tanda tempat 18_3 Rendah
277 Tanda tempat 18_2 Rendah
278 Tanda tempat 19_2 Sedang
279 Tanda tempat 19_1 Sedang
280 Tanda tempat 19 Sedang
281 Tanda tempat 19 Sedang
282 Tanda tempat 20 Sedang
283 Tanda tempat 20 Sedang
284 Tanda tempat 8_3 Tinggi
285 Tanda tempat 11 Tinggi
286 Tanda tempat 11_2 Tinggi
287 Tanda tempat 11_1 Tinggi
288 Tanda tempat 11_3 Tinggi
289 Tanda tempat 11 Tinggi
290 Tanda tempat 4_1 Sedang
291 Tanda tempat 4_2 Sedang
292 Tanda tempat 4_3 Sedang
293 Tanda tempat 4_4 Sedang
294 Tanda tempat 4 Sedang
Lampiran 1. Lanjutan
No. Nama Tempat Kelas Longsor/Observasi
295 Tanda tempat 4 Sedang
296 Tanda tempat 1_2 Sedang
297 Tanda tempat 1 Sedang
298 Tanda tempat 1_4 Sedang
299 Tanda tempat 1_1 Sedang
300 Tanda tempat 1 Sedang
301 Tanda tempat 2 Sedang
302 Tanda tempat 2_1 Sedang
303 Tanda tempat 2_2 Sedang
304 Tanda tempat 2_3 Sedang
305 Tanda tempat 3 Sedang
306 Tanda tempat 3 Sedang
307 Tanda tempat 3_2 Sedang
308 Tanda tempat 3_1 Sedang
309 Tanda tempat 3_4 Sedang

You might also like