Cerpen Anak

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

PUTRI SEORANG SAUDAGAR

Konon duluuuu sekali, adalah seorang saudagar yang kaya. Dia mempunyai tiga orang putri. Ketiganya
berparas cantik. Sulung memiliki tubuh yang ramping. Karena itu dia senang sekali memakai baju yang bagus-
bagus. Tengah mempunyai kulit yang halus lembut. Karena itu dia suka memakai perhiasan yang indah-indah.
Sedang si Bungsu suaranya sangat merdu. Sifatnya juga lemah lembut. Dia sayang sekali kepada ayahnya.

Suatu hari saudagar itu akan berdagang ke negri seberang. Negeri itu sangat jauh letaknya. Harus
melewati hutan dan gurun yang tandus. Di sana banyak berkeliaran perampok.
“Nah!” kata saudagar itu kepada ketiga putrinya. “Apa yang kalian inginkan untuk oleh-oleh nanti?”
“Biasa Yah,” sahut si Sulung. “Saya ingin sebuah baju yang paling cantik yang ada di negri itu.”
“Kalau saya sih minta dibawakan perhiasan yang paling indah yang ada di negri itu,” seru si Tengah.

Bungsu hanya diam. Teringat dia akan mimpinya semalam. Dia merasa cemas, takut
kalau apa yang dimimpikannya itu akan menjadi kenyataan. “Bagaimana
Bungsu?” Apa yang kau inginkan?” tanya saudagar itu karena si Bungsu hanya
memandangi dirinya saja.
“Saya ingin ayah tidak pergi,” sahut si Bungsu dengan suara pelan.
“Huuuu!” seru si Sulung sebal. “Kalau Ayah tidak pergi bagaimana aku bisa
mendapat baju yang cantik!”
“Iya, nih. Kamu bagaimana sih!” seru si Tengah tidak kalah kesal. “Kalau
Ayah tidak pergi aku kan tidak bisa memiliki perhiasan yang indah.”
Saudagar itu menepuk bahu si Bungsu tanda mengerti. “Ayah mengerti mengapa kau merasa cemas
melepas ayah pergi. Tapi percayalah. Ayah bisa menjaga diri.”
Bungsu menundukkan kepalanya. Ingin rasanya dia menceritakan mimpinya. Tetapi dia takut
ditertawakan. Tentu kedua kakanya akan berkata, “Alaa, mimpi itu kan cuma bunga tidur.”
Karena itu setelah ayahnya pergi, Bungsu terus gelisah. Bayangan mimpi itu terus mengganggu
pikirannya. Setiap kali memikirkan ayahnya air matanya menitik. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk
menyusul ayahnya. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumahnya.

Dia berjalan menuju luar kota. Setelah seharian berjalan, dia merasa lelah. Dia duduk menyandar di
bawah sebatang pohon yang rindang. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan mimpinya.
“Oooh, seandainya aku menjadi burung, tentu aku bisa lebih cepat menyusul Ayah,” keluhnya. Tak terasa
air mata menetes di pipinya. Angin sepoi-sepoi membuat matanya mengantuk. Apalagi badannya sudak capek
sekali. Akhirnya dia tertidur lelap. Entah berapa lama dia tidur. Ketika sudah bangun dia merasa ada sesuatu
yang aneh di tubuhnya.. Seluruh badannya telah ditumbuhi bulu-bulu. Tangannya berubah menjadi sayap. Dan
mulutnya menjadi paruh. Dia tidak bisa lagi berbicara seperti semula. Yang keluar dari mulutnya hanyalah
suara siulan yang sangat merdu.
Meskipun begitu Bungsu merasa gembira. Sebab dengan memiliki sayap, kini dia bisa lebih cepat
menemukan ayahnya. Dia lalu terbang. Makin tinggi. Makin jauh. Tapi dia belum juga menemukan ayahnya.
Dia sudah merasa putus asa ketika tiba-tiba dari kejauhan dia mendengar suara pekik burung gagak. Dia
mencoba terbang ke arah itu. Dilihatnya segerombolan burung gagak raksasa terbang mengelilingi sesuatu
benda. Bungsu segera mendekati mereka.

Astaga! Pekiknya dalam hati. Itu kuda ayahnya. Sepertinya kuda itu sudah mati. Berarti ayahnya ada di
sekitar tempat itu. Dengan rasa cemas dia memeriksa sekitar tempat itu. Akhirnya dia menemukan ayahnya.
Tergeletak pingsan di balik segerombolan semak. Tubuhnya terluka. Nampaknya ayahnya telah menjadi korban
perampokan. Mungkin sebelum merampok ayahnya disiksa lebih dulu.
Menetes air mata Bungsu melihat keadaan ayahnya itu. Teringat dia akan mimpinya. Apa yang
ditakutkannya telah menjadi kenyataan. Dia harus segera mencari pertolongan agar ayahnya bisa diselamatkan.
Bungsu segera terbang mengelilingi gurun itu. Melihat kalau-kalau ada orang yang bisa dimintai pertolongan.
Haaa! Ada seorang pemuda gagah yang sedang mengendarai kuda. Nampaknya dia bermaksud beristirahat,
sebab kini dia menghentikan kudanya. Memasang kemah. Menurunkan perbekalan yang dibawanya, kemudian
memberi kudanya minum dan makan. Nah, sekarang pemuda itu siap menikmati makan siangnya.
Bungsu segera menukik. Menyambar roti yang siap dimasukkan ke mulut pemuda itu. Si pemuda mula-
mula kaget dengan kejadian tiba-tiba itu. Tetapi kemudian dia menjadi heran. Karena burung yang telah
menyambar rotinya itu tidak segera terbang menjauhinya. Burung itu terbang rendah di hdapannya. Berputar-
putar seolah ingin ditangkap.
Pemuda itu menjadi penasaran. Dia berdiri. Mencoba menangkap burung cantik yang kelihatan jinak itu.
Tetapi si burung mengelak. Terbang menjauh sedikit lalu berputar-putar kembali. Pemuda itu terus mengikuti
burung itu. Dia penasaran. Tak sadar dia telah meninggalkan kemahnya. Kini dilihatnya burung cantik itu
hinggap di atas sebuah pohon kecil. Si Pemuda mengendap-endap. Mengulurkan tangan, siap menangkap si
burung. Tetapi tiba-tiba dia terbelalak kaget.

“Astaga!” serunya tatkala melihat saudagar yang sedang tergeletak pingsan. Dia segera mengangkat
tubuh saudagar itu. Segera dibawanya ke kemahnya. Sementara burung cantik mengikuti dari belakang.
Setelah berada di kemahnya, saudagar itu dirawatnya dengan baik. Luka-lukanya dibersihkan, diberi
obat. Pakaiannya yang kotor diganti. Dan ketika saudagar itu siuman, dia menjadi heran.
“Siapa anda?” tanyanya menatap penolongnya.
“Saya kebetulan sedang lewat. Burung itu yang menunjukkan Bapak kepada saya. Rupanya Bapak telah
menjadi korban perampok,” sahut pemuda itu.
Saudagar mengangguk. “Yaa … sungguh menyesal saya karena tidak
mau mendengar kata-kata anak saya yang bungsu. Padahal dia sudah
melarang saya pergi. Akh, dia tentu sangat sedih bila mengetahui keadaan
saya sekarang,” kata saudagar itu seraya menitikkan air matanya.

Aneh! Tiba-tiba saja si Bungsu berubah kembali menjadi seorang putri

yang cantik. Dia segera memeluk ayahnya dengan gembira.


“Ayah! Syukurlah Ayah selamat,” katanya.
“Astaga! Jadi kau yang telah menunjukkan ayah kepada orang itu?” tanya saudagar itu. “Mengapa kau
bisa menjadi burung?”
Bungsu segera mengisahkan kejadiannya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang telah
menolong ayahnya. Si Pemuda tersenyum.
“Saya kagum sekali mendengar bagaimana besarnya kasih sayangmu kepada ayahmu. Kebetulan saya
melakukan perjalanan ini untuk mencari seorang istri. O, ya. Perkenalkan. Saya Pangeran dari negri seberang.
Kalau kamu tidak keberatan saya ingin melamar kamu menjadi istri saya.”
Begitulah akhirnya, mereka kawin dan hidup berbahagia. Saudagar itu kembali pulang ke rumahnya
tanpa membawa oleh-oleh bagi kedua putrinya yang lain. Namun Bungsu menitipkan sebuah gaun yang cantik
dan sepasang perhiasan bagi kedua kakaknya.
Leave a comment »

TIGA TERSANGKA

1 Juli 2009 · Filed under CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO) · Tagged TIGA


TERSANGKA

Putri Kajal terkejut ketika membuka peti kayu tempat ia menyimpan tiara emas semalam. Benda
berharga itu sekarang sudah tidak ada di tempatnya lagi. Padahal pagi ini ia bermaksud mengunjungi kerajaan
tetangga. Dan seperti biasa ia harus mengenakan tiara emas itu.
Tanpa banyak buang waktu, Putri Kajal langsung melaporkan kejadian itu pada Raja
Salman. Karuan saja Raja Salman terkejut. Ia sudah menugaskan dua pengawal di pintu
kamar Putri Kajal, jadi bagaimana bisa seorang pencuri masuk ke dalam kamar putri
kesayangannya.

Raja Salman segera menitahkan Patih Rangga menyelesaikan masalah ini. “Aku

percaya kau bisa menyelesaikan kasus ini seperti biasanya,” titah Raja Salman di hadapan
Patih Rangga.
Patih Rangga mengangguk menyatakan kesanggupannya. Ia segera menanyakan pengawal yang bertugas
menjaga kamar Putri Kajal semalam. Akhirnya didapat keterangan, ada tiga orang yang memasuki kamar Putri
Kajal. Mereka adalah para pengasuh Putri Kajal yang memang mempunyai hak istimewa dapat memasuki
kamar Putri Kajal dengan leluasa.
“Sekarang juga aku menginginkan mereka menghadapku satu persatu,” seru Patih Rangga kemudian.

Pengasuh pertama seorang wanita yang rambutnya sudah memutih. Ia telah mengasuh Putri Kajal sejak
masih bayi. Atas permintaan Patih Rangga ia mulai bertutur apa yang dilakukannya semalam.
“Hamba masuk ke dalam kamar Tuan Putri tak lama setelah Tuan Putri tertidur. Seperti biasa hamba
hanya membetulkan letak selimut Tuan Putri,” papar pengasuh pertama.
“Apa kau tidak melihat kotak kayu tempat menyimpan tiara emas itu semalam?” selidik Patih Rangga.
“Hamba melihatnya. Peti itu seperti biasa ada di atas meja rias. Tapi hamba tidak berani menyentuhnya
tanpa seizin Tuan Putri,” jawab sang pengasuh.
Patih Rangga berpikir sebentar. Ia kemudian menyuruh pengasuh pertama keluar dan menitahkan
pengasuh kedua menghadapnya. Pengasuh kedua lebih muda dari pengasuh pertama. Ia bertugas mengasuh
Putri Kajal sejak masa kanak-kanak. Seperti sebelumnya, pengasuh kedua diminta menceritakan apa yang
dilakukannya semalam di kamar Putri Kajal.

“Hamba menyiapkan pakaian Putri Kajal untuk dikenakan hari ini. Itu sudah menjadi tugas hamba,”
tuturnya.
“Apa kau melihat peti kayu tempat Tuan Putri menyimpan tiara emas itu?”
“Ya, tentu saja. Tapi hamba tidak berani menyentuh peti itu tanpa izin Tuan Putri,” jawab pengasuh
kedua.
Patih Rangga menganggukkan kepalanya. Ia menyuruh pengasuh kedua keluar dan pengasuh ketiga
dimintanya masuk. Pengasuh ketiga paling muda di antara yang lain. Ia baru mengasuh ketika Putri Kajal
menginjak usia remaja. Patih Rangga segera memintanya menceritakan apa yang dilakukannya semalam di
kamar Putri Kajal.

“Tugas hamba adalah mempersiapkan perhiasan yang akan dipakai Putri Kajal

hari ini. Tapi hamba sama sekali tidak tahu dengan hilangnya tiara emas itu. Hamba
tidak berani menyentuhnya kecuali seizin Tuan Putri,” tutur pengasuh ketiga.
Patih Rangga mengerutkan keningnya. Ia kemudian menyuruh dua pengasuh sebelumnya masuk
kembali. Bahkan Putri Kajal dimintanya ikut bergabung.
Suasana jadi begitu tegang karena biasanya Patih Rangga memang dapat segera menyelesaikan masalah
apa pun yang terjadi di dalam istana.
“Terus terang saja, aku tidak bisa menemukan siapa yang telah mencuri tiara emas milik Putri Kajal.
Ketiga pengasuh yang menjadi tersangka dalam masalah ini semuanya lepas dari tuduhan pencurian. Untuk itu
aku hanya bisa memutuskan kesalahan pada Putri Kajal. Tentu saja bukan sebagai pencuri, melainkan telah
lalai menjaga barang berharga miliknya sendiri. Dan untuk kelalaiannya itu, Tuan Putri harus menerima
hukuman. Selama sebulan Putri Kajal tidak boleh keluar dari kamar, kecuali tiara emas itu dapat ditemukan,”
Patih Rangga mengeluarkan keputusan.

Putri Kajal terkejut. “Itu tidak adil, Patih Rangga. Lagi pula apa yang dapat kulakukan selama sebulan di
dalam kamar? Aku juga ingin bermain di halaman istana, mengunjungi rakyatku, membaca di perpustakaan,
menyanyi di pendopo, dan lain-lainnya seperti biasa, protes Putri Kajal.
Patih Rangga tak mengeluarkan suara. “Putusan ini tidak bisa diubah kecuali oleh Baginda Raja Salman,”
kata Patih Rangga kemudian.
Putri Kajal menitikkan air mata. Ia mulai menangis sedih. Ayahnya pasti tidak akan memenuhi
permintaannya agar Patih Rangga merubah keputusannya, karena dia tahu ayahnya begitu menghargai setiap
keputusan Patih Rangga.

Tiba-tiba saja pengasuh pertama bersujud di depan Patih Rangga. “Ampuni Putri Kajal, Patih Rangga.
Hambalah yang bersalah telah mengambil tiara emas milik Putri Kajal. Tapi, hamba tidak bermaksud
mencurinya, hamba hanya menyembunyikannya untuk sementara waktu. Malam tadi, hamba masuk ke dalam
kamar dan mengambil tiara emas itu dari dalam kotak kayu. Hamba tahu tidak ada yang akan dicurigai dari
kami bertiga karena kami tidak pernah menyentuh kotak itu tanpa seizin Tuan Putri. Tiara emas itu masih ada
di dalam kamar. Hamba menyembunyikannya di kolong lemari pakaian,” tutur pengasuh pertama.
“Mengapa kau lakukan itu?” tanya Patih Rangga.
“Hamba mempunyai seorang anak lelaki di perbatasan kerajaan. Ia pemilik sebuah kedai. Kemarin ia
datang menemuiku dan menceritakan ada segerombolan penjahat yang mabuk di kedainya. Saat mabuk itu,
seorang penjahat bercerita punya rencana untuk merampok Tuan Putri saat melintas perbatasan. Mereka
mengincar tiara emas milik Putri Kajal. Hamba tidak ingin terjadi hal merugikan Tuan Putri, makanya sengaja
hamba sembunyikan tiara itu agar Tuan Putri tidak jadi pergi hari ini,” kata pengasuh pertama.
“Seharusnya kau memberitahukan hal itu padaku. Tapi baiklah, aku mengampunimu. Sekarang ambilkan
tiara emas itu. Tuan Putri tetap akan berangkat hari ini,” titah Patih Rangga.

Patih Rangga segera menyusun rencana menjebak gerombolan penjahat yang akan merampok Putri
Kajal. Berkat kecerdikannya dan kesigapan prajurit istana, dua puluh penjahat berhasil diringkus.
“Masalah ini tidak hanya selesai dengan ditemukannya tiara emas milik Putri Kajal dan siapa pencurinya.
Bahkan tidak cukup selesai dengan membatalkan rencana kepergian Putri Kajal. Kerajaan harus mampu
mengatasi kejahatan yang menjadi penyebabnya,” kata Patih Rangga ketika memberi laporan terhadap Raja
Salman usai menjalankan tugas.

Leave a comment »

PUTRI UWINA

1 Juli 2009 · Filed under CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO) · Tagged PUTRI UWINA

Sudah delapan tahun menikah, Bangsawan Morrits dan Arlauna, istrinya, belum juga dikaruniai anak.
Segala usaha sudah mereka tempuh tapi belum juga menampakkan hasil.
“Apalah artinya harta yang berlimpah bila seorang anak pun tidak kumiliki,” keluh pasangan suami istri
bangsawan ini.
Arlauna akhirnya mengandung menjelang usia perkawinan mereka yang ke limabelas. Betapa
sukacitanya Bangsawan Morrits mengetahui hal ini. Namun, kegembiraan itu ternyata harus bercampur dengan
duka ketika Uwina, anak perempuan mereka lahir. Uwina lahir dalam keadaan yang sukar dipercaya. Sebelah
matanya melotot dan sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik-sisik kasar. Suara tangisnya pun kroarr, kroarr, serak
seperti suara kodok. Orang tua mana yang tak sedih menghadapi kenyataan ini. Rasa sayang Bangsawan
Morrits dan istrinya terhadap Uwina sama sekali tak berubah. Mereka cuma mengkuatirkan nasib Uwina kelak.
Apakah orang-orang tak akan jijik memandangnya?

Sambil menangis, mereka berdua mengadukan nasibnya kepada Peri Anelot. Setelah berkali-kali
namanya diserukan barulah Peri Anelot muncul dan dengan lembut dia berkata, “Aku tidak bisa
menyembuhkan penyakit putrimu karena memang itu bukan wewenangku untuk melakukannya. Hanya
temanku yang bisa. Tapiii….”
“Tapi apa, Peri?” desak Bangsawan Morrits tak sabar.
Peri Anelot berkata ragu, “Temanku, Peri Boherik itu sering mengajukan syarat yang aneh. Aku takut
kalian tak sanggup melaksanakan syaratnya nanti.”
“Apa pun yang terjadi nanti, sekarang tolong panggilkan temanmu itu dulu,” pinta Bangsawan Morrits.
“Semoga dia kasihan pada kami dan tidak mensyaratkan apa-apa.”
Sekejap kemudian… wuuzz!!! Setelah Peri Anelot merapalkan mantera muncullah Peri Boherik diiringi
pusaran angin yang sangat kencang. Tidak seperti peri-peri lain yang tampak anggun, peri yang satu ini malah
terlihat urakan. Sayap biru di punggung kirinya pun agak sobek. Entah sayap itu masih bisa dipergunakan untuk
terbang atau tidak.

“Aku sudah tahu kenapa aku dipanggil ke sini. Butuh bantuanku, kan?” tanya

Peri Boherik sambil cengar-cengir nakal. “Boleh saja. Asal kalian berdua mematuhi
syaratku.”
“Apa syaratnya?” tanya Arlauna.
“Hmph… penyakit yang ada di tubuh Uwina akan kupindahkan ke tubuh
kalian.” Katanya masih sambil cengengesan, “Tidak ada tawar-menawar. Bila tidak
mau, ya sudah. Aku pergi saja!” Peri Boherik bersiap-siap akan menghilang.
“Tunggu, Peri. Kami terima syaratmu itu,” seru Bangsawan Morrits dan istrinya.
“Bagus!” sahut peri yang nakal itu. “Kalian boleh mengasuh Uwina tapi tidak boleh mengaku sebagai
orangtuanya. Aku dan Peri Anelot akan menggantikan posisi kalian. Kutukan terhadap kalian akan lenyap bila
suatu saat Uwina mengakui kalian berdua sebagai orangtuanya. Tapi, apakah ia mau mengakui kalian yang
berwajah buruk, ha, ha, ha…”

Begitulah, demi kesembuhan putri yang mereka sayangi, Bangsawan Morrits dan istrinya rela berkorban.
Wajah Bangsawan Morrits yang tampan berubah jadi menyeramkan. Matanya melotot dan suaranya serak
seperti suara kodok. Sedangkan kulit Arlauna yang putih mulus kini ditumbuhi sisik-sisik kasar. Walaupun
menderita, mereka berdua tidak pernah mengeluh karena setiap hari Uwina ada di dekat mereka. Tentu saja
Uwina tidak mengetahui bahwa dua orang buruk rupa yang selalu mengasuh dan merawatnya dengan penuh
kasih sayang itu adalah orang tua kandungnya. Pelayan-pelayan di rumah itu pun cuma tahu bahwa dua orang
itu sudah dipercaya oleh majikan mereka untuk mengasuh Uwina.
Suatu hari Uwina kecil bertanya pada pengasuhnya, “Kenapa Papa dan Mama tidak pernah mengajakku
bermain?”
“Papa dan mamamu harus bekerja, Uwina.” Jawab pengasuhnya dengan suara serak.
“Apakah itu berarti mereka tidak menyayangiku?” tanya Uwina lagi.
“Tentu saja mereka sayang padamu. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Kalau Uwina
rajin belajar dan tidak cengeng, pasti Papa dan Mama akan mengajak bermain.” Kata pengasuh yang badannya
bersisik dengan bijaksana. “Percayalah, Uwina. Burung yang kecil saja mau dan suka bermain dengan anaknya,
apalagi orang tuamu yang memiliki anak semanis kamu.”
Lima belas tahun sudah umur Uwina. Dia tumbuh menjadi gadis cilik yang disukai
semua orang. Dia selalu memberi nasihat kepada teman-temannya dengan tutur kata yang
lemah lembut, sehingga tak ada yang merasa tersinggung karena teguran dan nasihatnya.
Suatu hari tersiar kabar bahwa Pangeran David, putra mahkota yang baru berumur
lima tahun sedang sakit keras. Hal ini dikarenakan tak ada seorang pun yang sanggup
memenuhi permintaan sang putra mahkota. Siapa yang sanggup bila bulan purnama yang
dimintanya. Tabib sakti dan badut-badut istana juga tak bisa menyembuhkan dan
menghiburnya.
Uwina yang mendengar kabar itu jadi teringat pengalamannya sendiri ketika masih
seusia Pangeran David. Maka bergegaslah Uwina ke istana.

Seminggu kemudian, mendadak ada rombongan istana berkunjung ke rumah Bangsawan Morrits. Tentu
saja hal ini mengejutkan seluruh penghuni rumah Bangsawan Morrits. Apalagi baginda raja datang sendiri ke
situ cuma untuk bertemu dengan Uwina.
“Uwina, aku ingin berterima kasih kepadamu,” kata baginda Raja dengan wajah ceria, “Putraku,
Pangeran David sudah sembuh.”
Uwina membungkuk dengan sikap hormat, “Baginda, waktu masih seusia Pangeran David, hamba pun
pernah minta diambilkan bulan purnama. Mereka lalu memberi hamba sebutir mutiara. Kata mereka itulah
bulan purnama. Hamba pun percaya. Lalu, hamba melakukan hal yang sama terhadap putra Baginda. Kalau
hamba waktu itu percaya tentu Pangeran David juga akan percaya, begitu pikir hamba.”
“Tapi bagaimana saat dia melihat bulan kembali bersinar di malam berikutnya. Bukankah dia akan tahu
kalau telah dibohongi?”
Uwina tersenyum, “Benar. Itu juga pernah hamba alami. Tapi mereka mengatakan bahwa bunga yang
telah dipetik kelak pasti berbunga lagi. Gigi yang telah tanggal juga dapat tumbuh lagi. Oleh karena itu bulan
yang telah diambil pun pasti ada yang menggantikan,” jawab Uwina. “Hamba rasa itu jawaban yang paling
cocok untuk anak seusianya. Bila dewasa kelak, Pangeran David pasti lebih bijaksana. Saat itu dia pun akan
tahu bahwa tidak mungkin manusia mengambil bulan purnama.”

Mendengar penjelasan tersebut Baginda Raja mengangguk-angguk puas. Sungguh bijaksana gadis kecil
ini, pikir Baginda Raja kagum. Kemudian, “Siapakah ‘mereka’ yang mengajarkan semuanya itu kepadamu?”
tanyanya.
“Mereka adalah orang tua hamba, Baginda.” Jawab Uwina.
“Ooo… mereka berdua inikah orang tuamu?” Baginda Raja menunjuk Bangsawan Morrits dan Arlauna
yang palsu.
“Orang tua bukanlah orang yang melahirkan anaknya saja tapi tidak merawat dan mengasuhnya. Orang
yang merawat, mengasuh, mengajarkan hal-hal bijaksana pada anak itulah yang lebih pantas disebut sebagai
orang tua. Mereka berdua memang orang yang melahirkan hamba, Baginda. Tapi yang lebih pantas disebut
orang tua hamba adalah kedua orang ini. Merekalah yang mengajarkan banyak hal pada hamba,” kata Uwina
sambil memeluk kedua orang pengasuhnya yang buruk rupa.
WHUUZZ!! DHUARR!!! Tiba-tiba dua gulungan sinar putih menyelubungi kedua pengasuh Uwina dan
dalam sekejap mereka kembali ke wujud asli, yaitu Bangsawan Morrits dan Arlauna. Pengaruh sihir telah
lenyap bersamaan dengan pengakuan Uwina tadi.
“Ha, Ha, Ha, … kamu benar-benar beruntung, Morrits. Tapi aku belum menyerah,” tawa Bangsawan
Morrits yang palsu menggetarkan seisi rumah. Sebelum orang-orang menyadari apa sebenarnya yang telah
terjadi, Bangsawan Morrits dan Arlauna palsu langsung menggabungkan diri dengan yang asli. Orang-orang
tidak tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Cuma Uwina yang tampak tenang-tenang saja, katanya, “Aku
tahu ada peri-peri nakal yang menyamar menjadi orang tuaku. Baiklah. Kini aku akan menguji kalian berempat.
Dan peri-peri nakal harus berjanji tidak akan mengganggu kami lagi bila kalian gagal dalam ujian nanti.”

Orang lain yang ada di situ, termasuk Baginda Raja, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh Uwina
untuk mendapatkan kedua orang tuanya kembali.
“Mama berdua, aku minta kalian memelukku secara bergantian,” pinta Uwina.
Meskipun heran dengan permintaan itu, keduanya memeluk Uwina. Setelah ‘mama’ kedua telah
melepaskan pelukannya, tanpa ragu lagi Uwina segera menggenggam tangan ‘mama’ yang pertama
memeluknya, katanya sambil tersenyum, “Inilah mamaku yang asli karena dia memeluk sambil membelai
rambutku dengan lembut. Sedangkan kau memeluk pinggangku keras sekali,” tuding Uwina pada ‘mama’ yang
lainnya. “Kau memang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk seorang anak karena kau memang bukan
mamaku.”
Menyadari penyamarannya telah terbongkar, Arlauna palsu yang merupakan jelmaan Peri Anelot
langsung menghilang. Suaranya saja yang masih terdengar, “Peri Boherik lebih baik kau pun juga pergi dari
sini. Sia-sia saja kamu menghalangi kasih sayang antara orang tua dan anak seperti mereka!”
“Jangan kuatir, aku pasti bisa mengalahkan si Morrits!” teriak Bangsawan Morrits yang palsu dengan
spontan.

Grrr!! Orang banyak tertawa menyaksikan kebodohan bangsawan palsu yang tak sengaja membuka
kedoknya sendiri. Karena malu yang tak terkira, bangsawan palsu itu langsung kabur dari rumah Bangsawan
Morrits. Peri Boherik yang usil kapok menggoda manusia lagi. Dia berjanji kalau menolong orang lain ya
tolong saja, tidak usah pakai prasyarat segala. Dia tidak mau lagi dikatai peri yang usil tapi tolol.
Kini Uwina hidup bahagia bersama orang tua kandungnya. Peri-peri usil tidak ada yang berani
mengganggu lagi. Mereka rupanya segan mengusili orang yang pandai seperti Uwina. Jangan-jangan malah
akan mempermalukan diri sendiri. Selain itu, Uwina kini diangkat menjadi saudara angkat Pangeran David dan
dia mengajarkan pada Pangeran David semua ilmu yang diperoleh dari orang tuanya.
Pengorbanan Bangsawan Morrits dan Arlauna tidak sia-sia karena kini Uwina dikenal orang sebagai
“Putri Uwina yang bijaksana”.

Leave a comment »

PENCULIKAN TABIB ISTANA

1 Juli 2009 · Filed under CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO) · TaggedPENCULIKAN


TABIB ISTANA

Tabib Akhsay sudah lebih sepuluh tahun menjadi tabib istana. Cara pengobatannya dengan ramuan obat
yang sederhana telah berulang kali menyembuhkan penyakit keluarga istana. Itu sebabnya berita hilangnya
Tabib Akhsay dari rumahnya membuat seisi istana cemas.
Patih Rangga segera dititahkan Baginda Raja untuk mencari ke mana hilangnya Tabib Akhsay. Begitu
mendapat kepercayaan itu segera saja Patih Rangga menuju rumah Tabib Akhsay. Ditemuinya Radev di dalam
rumah itu. Patih Rangga mengenal Radev sebagai asisten Tabib Akhsay.
“Ceritakan padaku, kapan terakhir kamu melihat Tabib Akhsay?” tanya Patih Rangga menyelidik.
“Kemarin siang Tabib Akhsay memberitahu saya hendak mencari beberapa daun untuk ramuan obat.
Tabib Akhsay pergi ke selatan menuju Danau Perak. Ada beberapa daun yang hanya dapat ditemukan di sana,”
tutur Radev yang masih belia.

Patih Rangga memutuskan untuk menelusuri jejak hilangnya Tabib Akhsay. Dengan menunggang kuda
ia segera menuju ke selatan. Setiap tiba di satu kampung Patih Rangga berhenti sebentar menanyakan perihal
Tabib Akhsay.
“Ya, kami pernah melihatnya kemarin. Ia menunggang kuda menuju selatan,”
kata penduduk kampung pertama yang Patih Rangga tanyai. Jawaban serupa juga
diberikan penduduk pada beberapa kampung berikutnya. Sampai kampung ke lima,
para penduduknya memberi jawaban yang berbeda.
“Tidak. Kami tidak melihat Tabib Akhsay melewati kampung kami. Biasanya
Tabib Akhsay berhenti dulu di kampung ini bila hendak menuju Danau Perak karena
inilah kampung terakhir menuju Danau Perak,” kata kepala kampung.
Patih Rangga mengerutkan keningnya sebentar. Berarti Tabib Akhsay hilang antara kampung ke empat
dan ke lima. Memang ada hutan kecil yang memisahkan dua kampung itu. Patih Rangga memutuskan untuk
kembali ke hutan kecil itu. Ia tidak menolak ketika kepala kampung kelima menawarkan seorang penduduk
yang mahir melacak jejak untuk menemaninya.

Setibanya di hutan kecil dari kejauhan Patih Rangga melihat kuda putih milik Tabib Akhsay. Bersama
Ranjit yang menemaninya, Patih Rangga menghampiri kuda putih itu. Sementara Ranjit mengamati jejak yang
tertinggal di tanah.
“Patih Rangga, menurut saya Tabib Akhsay telah diculik oleh penduduk kampung Kaki Besar,” kata
Ranjit kemudian.
“Kampung Kaki Besar? Aku baru mendengarnya.”
“Di sebelah timur hutan ini ada lembah yang dihuni satu suku yang memiliki telapak kaki besar. Mereka
memegang teguh aturan nenek moyang mereka untuk tidak memakai alas kaki ke mana pun mereka pergi,”
jelas Ranjit.
“Kalau begitu mari kita ke sana,” ajak Patih Rangga.
Letak perkampungan yang mereka tuju sebenarnya tidak jauh. Tapi karena jalan menuju kampung itu
sangat curam dan licin, terpaksa mereka turun dari kuda dan berjalan kaki.
Saat melewati jalan setapak tiba-tiba telinga Patih Rangga menangkap suara yang amat dikenalnya. Suara
siulan yang biasa dilakukan Tabib Akhsay saat mencari dedaunan untuk ramuan obat.
“Suara itu datangnya dari sebelah sana,” Ranjit memberi petunjuk ke samping kiri jalan setapak. Buru-
buru Patih Rangga menerobos semak-semak. Dari sela dedaunan yang lebar, Patih Rangga melihat Tabib
Akhsay tengah sibuk mengumpulkan dedaunan, namun di belakangnya dua orang berwajah seram terus
menguntit sambil memegang tombak tajam.

Dugaan Patih Rangga bahwa Tabib Akhsay diculik semakin kuat. Ia segera berbisik pada Ranjit. Tak
berapa lama kemudian keduanya bergerak pelan mendekat dari belakang Tabib Akhsay. Hupf, dengan sekali
loncatan keduanya berhasil melumpuhkan dua orang di belakang Tabib Akhsay.
“Patih Rangga, biarkan mereka,” teriak Tabib Akhsay yang menyaksikan
kegaduhan kecil itu.
“Bukankah mereka yang menculik Anda, Tabib Akhsay?” tanya Patih Rangga
heran.
“Mulanya memang begitu,” jelas Tabib Akhsay. Mereka berdua mencegatku
dalam perjalanan ke Danau Perak. Lantas mereka membawaku secara paksa ke
kampung mereka. Kupikir tadinya mereka bermaksud menyanderaku dan minta tebusan kepada istana. Tapi
rupanya mereka menculikku karena butuh pertolonganku. Di kampung mereka berjangkit penyakit yang
disebabkan oleh sejenis cacing tanah.”

Patih Rangga manggut-manggut. Ia akhirnya melepaskan dua orang yang dicekalnya.


“Bukankah setiap kampung sudah punya seorang tabib?” Patih Rangga mengingatkan.
“Tabib mereka sudah meninggal sebulan lalu dan belum ada yang menggantinya.”
“Tapi Anda tidak bisa terlalu lama di sini karena istana membutuhkan Anda, Tabib Akhsay.”
“Saya mengerti. Jika tidak keberatan, sebaiknya Patih Rangga kembali ke istana lebih dulu. Beritahukan
perihal saya kepada Baginda Raja. Mintakan beberapa orang untuk membantu saya di sini dan tunjuk pula
seorang tabib untuk ditempatkan di kampung mereka. Satu lagi yang penting, agar Baginda Raja membuat
perintah kepada penduduk kampung mereka agar mau menggunakan alas kaki. Tanpa titah Baginda, mereka
tidak mau melanggar aturan nenek moyang mereka.”

Patih Rangga setuju dengan usul Tabib Akhsay. Ia segera meninggalkan Tabib Akhsay yang ternyata
sedang mencari daun untuk ramuan obatnya. Sedangkan dua orang yang mengawalnya itu sengaja
diperintahkan untuk menjaga Tabib Akhsay dari serangan binatang liar. Sementara Ranjit diminta untuk turut
menemani Tabib Akhsay.
Ketika Patih Rangga menyampaikan laporannya kepada Baginda Raja, terlihat wajah Baginda sangat
sedih. Ia menyesali dirinya yang tidak memperhatikan kesehatan rakyatnya hingga ia tak tahu ada seorang tabib
yang ditempatkan di satu kampung telah meninggal. Padahal kampung itu sangat memerlukan pertolongan
kesehatan.
Esok paginya satu rombongan dari istana diutus menuju Kampung Kaki Besar. Mereka membawa
beberapa tenaga tabib dan obat-obatan. Selain itu Patih Rangga membawa surat perintah agar penduduk
Kampung Kaki Besar mau menggunakan alas kaki.
“Baginda juga memberi bantuan ratusan pasang alas kaki bagi penduduk Kampung Kaki Besar agar
mereka segera melakukan keputusan Baginda. Sumber penyakit mereka disebabkan oleh cacing tanah dan itu
hanya dapat dicegah dengan memakai alas kaki,” tutur Patih Rangga kepada kepala Kampung Kaki Besar.

Setelah Kepala Kampung memakai alas kaki, para penduduk pun mau memakainya. Hanya saja karena
sebelumnya mereka tidak biasa menggunakan alas kaki, ukuran telapak kaki mereka memang besar-besar.
Barangkali setelah bertahun-tahun nanti, penduduk di sana telapak kakinya akan berubah tak sebesar sekarang.
Mungkin nama kampung mereka pun akan berubah. Apa ya kira-kira namanya?

Leave a comment »

MANUSIA SATU KATA

1 Juli 2009 · Filed under CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO) · Tagged MANUSIA SATU
KATA

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para
pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja
Mahendra langsung membidik anak panahnya. Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra
mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya
memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan.
Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.

“Hei! Siapa kau?” tanya Raja. Orang itu tak menjawab. “Aku

Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!” pintanya dengan nada keras.


“Tidak!” jawab orang itu.
Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun
sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian,
jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata
orang tadi yang melempar tali.
“Jadi kau mau menolongku?”
“Tidak!” jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak,
mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau
menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa
terima kasih.
“Maukah kau kubawa ke kerajaan?” tawar Raja.
“Tidak!” jawab si penolong.
“Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.”
“Tidak!” jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.

Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata
tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih.
“Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak.”
“Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?”
“Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang.”
Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini. Setelah merenung beberapa saat, Patih
tersenyum dan berkata,
“Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi
sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya.”
“Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal
ini dengan sayembara?”
“Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki
keputren dengan cara membujuk penjaganya.”
“Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?”
“Manusia satu kata itu, Paduka.”
“Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!”
“Percayalah pada hamba, Paduka.”

Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di

alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan


tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya
tiga peserta yang berhasil.
Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih
memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya
disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren.
Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan.
“Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?” tanya peserta pertama.
“Tidak!” jawab si manusia satu kata.
“Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?”
“Tidak!”
Pertanyaan tinggal satu.
“Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!” ujar si manusia satu kata.
Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai.
Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil,
“Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?”
pertayaan pertama peserta kedua.
“Tidak!”
“Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?”
“Tidak!”
“Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk.”
“Tidak!”

Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk
keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati.
Peserta terakhir maju. Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja
muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.
“Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?”
tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan
mantap pula penjaga menjawab.
“Tidak!” Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja
muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti
dan pandai.
Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu
yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.

Leave a comment »

PILT, MONSTER YANG TAK MENYERAMKAN


1 Juli 2009 · Filed under CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO) · Tagged MONSTER YANG
TAK MENYERAMKAN

Profesor Simon, bosku, memintaku mencari Artur. Ia temanku sesama ahli geologi. Artur menghilang di
sebuah lembah di wilayah Afrika. Saat itu ia sedang menyelidiki jejak manusia purba.  Setibanya di
Afrika, aku langsung menuju lembah itu. Penduduk setempat bercerita bahwa lembah itu berbahaya. Ada
monster pemangsa manusia tinggal di balik lembah itu. Namun aku tidak takut. Sambil menggendong ransel
kulit  berisi berbagai peralatan, kumulai perjalananku mencari Artur.  “Apa sih yang dicari Artur di
tempat seperti ini?” omelku saat merayap dengan susah payah di antara celah batuan pegunungan. Aku tak
berani menoleh ke bawah. Setibanya di puncak, aku bingung tak tahu harus ke mana lagi. Akhirnya aku tertidur
bersandar di dinding batu.  Entah berapa lama aku tertidur. Tiba-tiba ada
bulu-bulu kasar mengusap wajahku. “Aaaaa…” aku menjerit sekuat tenaga.
Mataku melotot melihat sosok mahluk berbulu tebal di hadapanku.  Aku
sudah bersiap-siap lari andai diserang. Tapi, aneh! Ia malah bertepuk-tepuk
tangan dan menyeringai. Sepertinya senang melihatku ketakutan. Diam-diam
kuambil sebuah alat berbentuk terompet kecil. Kutekan tombol merahnya dan
kuarahkan ke tubuh mahluk itu.  Krsk kersk! Tuit… Krsk… tuit! Alatku mulai bekerja. Kini aku bisa
mengerti apa yang diucapkan monster itu.  “Horee, manusia itu ketakutan! Lalala… dia takut
padaku!”  Kudekatkan alat berbentuk corong terompet itu ke mulutku, “Hei! Jangan ganggu aku.
Wajahmu yang mengerikan membuatku takut!” seruku.  Dengan bantuan alat itu, makhluk itu kini
mengerti ucapanku. Ia berhenti meledek dan mendekat ke arahku. “Jangan takut! Aku ingin jadi temanmu. Baru
kamu yang ketakutan melihat wajahku. Teman-temanku bilang, wajahku terlalu tampan dan tidak cocok
menjadi monster!” ia lalu menangis tersedu-sedu.  Mulanya aku ingin tertawa mendengar ucapannya.
Mana ada monster yang tampan, batinku, Tapi melihat ia menangis seperti anak kecil, hatiku jadi iba. 
“Sudah, jangan menangis. Bagiku kamu sangat menyeramkan. Aku belum pernah bertemu monster. Jadi kukira
kau hendak memakanku,” ujarku.  Monster itu menggelengkan kepala. “Apa kau tak tahu, monster cuma
makan buah dan sayur. Untuk apa aku memakanmu. Aku tidak doyan!”  “Kalau begitu, mengapa kalian
selalu menakut-nakuti manusia?”  “Ya, terpaksa,” jawabnya lugu, ”kalau tidak ditakut-takuti, manusia
akan menemukan tempat persembunyian kami. Dan kami bisa dibunuh. Temanmu sendiri bilang, kami harus
hati-hati terhadap manusia.”  “Temanku? Maksudmu… Artur?” tanyaku berdebar-debar.  Monster
itu mengangkat bahu. “Aku tak tahu siapa namanya. Dua minggu lalu kami memergokinya sedang mengamati
gua kami. Ia sekarang tinggal bersama kami.”  Aku lega sekaligus cemas. Kini Artur berada di sarang
monster!  Tiba-tiba monster itu mengangkat tubuhku dan menjepit pinggangku dengan ketiaknya, ”Akan
kubawa kau ke tempatku,” katanya. Aku tak bisa menolak. Kupejamkan mata kuat-kuat saat dibawa menaiki
bukit-bukit batu, melintasi padang rumput… kepalaku sampai pusing.  Setelah itu aku ditarik memasuki
gua dengan lorong bercabang-cabang. Lamaaa sekali kami berjalan dalam kegelapan. Akhirnya seberkas
cahaya terlihat di ujung lorong.  “Di sinilah tempat tinggalku,” tunjuk monster itu.  Tempat itu
membuatku tertegun. Seluruh dinding dan lantai gua dilapisi emas. Monster-monster kecil berkejar-kejaran.
Monster-monster yang lebih besar bercanda dengan riangnya.  “Halo, Monster Tampan,” sapa monster
berkepala naga. ”Rupanya kau bawa teman lagi?” Wajah monster ini dan monster lainnya, jauh lebih
mengerikan dari monster yang membawaku ke sini.  Mereka lalu menyuguhiku buah-buahan dan
minuman sari buah yang segaaar sekali. Aku juga diajak menari dan menyanyi. Monster berkepala babi yang
berbulu hijau lalu bercerita,  “Zaman dulu, nenek moyang monster dan manusia bersahabat. Tapi sejak
teknologi manusia semakin maju, mereka jadi ingin tahu segala hal. Bangsa monster pun mulai diburu. Mereka
mengorbankan persahabatan sejati demi kepentingan pribadi. Sejak itulah kami tinggal di gua ini turun-
temurun. Menunggu saat yang tepat untuk kembali ke dunia luar. Tapi kudengar manusia semakin ganas.
Padahal kami tak pernah memusuhi mereka.”  “Apa aku bisa keluar dari tempat ini?” tanyaku
kemudian.  Monster-monster itu terkekeh-kekeh,”Tentu saja. Kami tak pernah menahan siapa pun yang
ingin pergi dari sini.”  “Aku tak percaya!” nada suaraku mulai naik. “Buktinya temanku yang kalian
tangkap dua minggu lalu, belum juga kalian bebaskan!”  Monster bertangan empat langsung menarik
lenganku ke tempat yang mirip perkebunan di dalam gua. Sinar matahari masuk melalui pantulan-pantulan
cermin yang dipasang di sekiling gua. Di situ ternyata ada beberapa manusia. Mereka sedang memetiki buah.
Artur juga ada di situ!  “Kami berada di sini bukan karena ditahan monster. Tapi untuk mencari
kedamaian. Lihat saja! Di tempat ini terdapat banyak sekali emas. Tapi monster-monster itu tidak saling
membunuh untuk memperebutkannya,” cerita Artur.  Kutepuk bahu Artur perlahan,”Semua mahluk
memang ingin hidup damai. Tapi, kau tak boleh melupakan tanggung jawabmu. Dan melupakan bos kita,
Profesor Simon. Kalau Profesor mengira kita ditangkap monster, ia bisa datang ke lembah ini membawa
tentara. Tempat ini tidak akan tenang lagi.”  Artur terdiam.  Kataku lagi, ”Lebih baik kita pulang.
Dan mengajarkan kedamaian di luar sana. Semoga suatu saat nanti monster-monster bisa bersahabat dengan
manusia kembali.”  Artur akhirnya mau kuajak pulang. Kami berdua sepakat akan merahasiakan tempat
itu. Ketika akan pulang, si monster tampan memaksa ingin ikut. Terpaksa ia kubawa pulang di dalam peti.
Dengan syarat ia tak boleh memperlihatkan dirinya pada  manusia lain. Monster tampan itu kuberi nama
Pilt.  Mula-mula Pilt memang tidak sekali pun keluar dari rumahku. Tapi suatu sore sepulangnya dari
kantor, Pilt meloncat keluar dari semak-semak sambil  berteriak mengagetkanku. Tampaknya ia senang sekali
melihat wajahku yang pucat terkejut. Cepat-cepat kusuruh ia masuk. Untung sudah sore, jadi kurasa tak ada
orang yang melihat kejadian itu.  Suatu malam saat sedang nonton televisi, pintu rumahku diketuk
seseorang. Ketika kubuka, Jeni, anak kecil tetanggaku. Ia tersenyum sambil mengulurkan sebuah kantung
plastik, katanya, ”Paman, tolong berikan permen ini pada monster yang tinggal di rumah Paman. Tadi pagi aku
sudah berjanji akan memberinya permen.”  Aku melongo mendengarnya. Segera kutarik Jeni
masuk.  “Jeni, apakah orang tuamu tahu tentang monster ini?” tanyaku gugup.  Ia menggeleng
membuatku lega. Tapi…” Marthina dan Will tahu,”  Kutepuk dahiku keras. Gawat! Bagaimana kalau
orangtua anak-anak iini tahu? Aku hampir marah pada Pilt. Tapi aku jadi terharu ketika kulihat wajah Pilt
begitu gembira menerima permen dari Jeni. Pilt mengunyah permen perlahan sambil memeluk Jeni yang
mengelus-elus kepala Pilt. Aku jadi teringat ucapan Pilt malam sebelumnya,  ”Sekarang aku ingin jadi
monster yang tak menyeramkan, monster yang tampan. Jadi aku punya
banyak teman di sini.”  Aku terenyuh. Mana ada monster yang tak
menyeramkan. Mungkin cuma anak-anak seperti Jeni, Marthina, dan
Will saja yang menganggap Pilt tidak menyeramkan. Aku yakin mereka
berempat bisa bersahabat. Kupinjami alat berbentuk terompetku
sehingga mereka bisa berkomunikasi.  Kini, sudah 20 tahun aku tak
bertemu Pilt. Masih kuingat malam itu Pilt menghilang dari kamarnya.
Ketika sejumlah orang dewasa memaksa masuk. Rupanya orang tua Jeni,
Marthina, dan Will mencurigai anak-anak mereka yang sering pergi
sambil membawa makanan dari rumah. Setelah diikuti, akhirnya
ketahuan, anak-anak mereka sedang bermain dengan monster. Pasti Pilt ketakutan ketika orang-orang
dewasa itu beramai-ramai hendak menangkapnya. Ia disangka monster jahat. Untung Pilt sempat melarikan
diri.  Pilt tak pernah muncul lagi. Sesekali ada berita di koran tentang mahluk berbulu coklat di kereta api
bawah tanah. Aku tak berusaha menyelidikinya, meski pun aku yakin itu pasti Pilt. Biarlah Pilt tinggal di
lorong-lorong kereta api bawah tanah yang mirip dengan tempat tinggalnya dulu. Biarlah Pilt mengajak
manusia bersahabat dengan caranya sendiri.

Leave a comment »

Bunga Cheri

1 Juli 2009 · Filed under CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO) · Tagged Bunga Cheri

Di suatu puri, hiduplah seorang bangsawan dengan putri tunggalnya yang jelita, bernama Manuella.
Orang-orang biasa memanggilnya Putri Manu. Sejak kecil Manuella tidak memiliki ibu lagi. Ayahnya sangat
menyayanginya. Segala keinginan Manuella selalu dipenuhi. Ini membuat Manuella menjadi sangat manja.
Semua yang ia inginkan harus ia dapatkan. Dan ayahnya belum pernah menolak keinginan Manuella. Malah
selalu segera mengabulkannya.
Salah satu kegemaran Manuella adalah berganti-ganti pakaian. Dalam satu hari ia dapat berganti pakaian
empat sampai lima kali. Di kamarnya terdapat enam lemari pakaian yang indah. Namun ia belum merasa puas.
“Ayah, lemari pakaian Manu telah penuh. Buatkan lemari pakaian yang baru dan besar ya,” pintanya
pada suatu hari.
“Tentu anakku. Ayah akan segera memanggil tukang kayu terpandai di negeri ini. Dan menyuruhnya
membuat lemari pakaian di sepanjang lantai atas puri ini.”
“Oh Ayah! Manu tidak sabar menunggu lemari itu selesai. Dan mengisinya dengan pakaian-pakaian yang
indah…”
Ayahnya tertawa sambil memeluk Manuella dengan penuh kasih sayang. Dibelainya rambut anaknya
yang berwarna keemasan. Begitulah kehidupan Manuella dari tahun ke tahun.
Pada suatu hari di musim semi, ayahnya berteriak-teriak memanggil Manuella.
“Manuella, kemari, Nak! Ayah ingin berbicara denganmu.”
Seminggu lagi hari ulang tahun Manuella yang ke 17. Ayahnya akan mengadakan pesta besar untuknya.
Anak-anak bangsawan dari berbagai negeri akan diundangnya. Mendengar hal itu Manuella menari-nari
gembira.
“Ayah, di pesta itu Manu ingin memakai gaun terindah. Dan ingin menjadi putri tercantik di dunia.”
“Anakku, kaulah putri tercantik yang pernah Ayah lihat! Ayah akan segera mendatangkan para penjual
kain. Juga memanggil penjahit terkenal untuk merancang gaun yang terindah untukmu…”
Keesokan harinya datanglah para penjual kain dari berbagai negara. Mereka membawa kain-kain yang
terindah. Manuella sangat gembira. Setelah memilih-milih, ia menemukan selembar kain sutera putih, seputih
salju. Sangat halus dan indah luar biasa. Seorang penjahit yang terkenal segera merancang, mengukur dan
menjahit gaun yang sesuai dengan keinginan Manuella. Manuella sangat puas melihat gaun barunya. Segera
dikenakannya gaun itu, lalu menari-nari di depan kaca. Rambutnya yang panjang terurai keemasan…
“Hm, kau sungguh putri tercantik di dunia. Setiap tamu akan kagum padamu nanti,” gumam Manuella
sambil meneliti apa lagi yang kurang pada penampilannya. Tiba-tiba ia sadar, tidak ada hiasan di kepalanya. Ia
segera mencari ayahnya,
“Ayah, Manu perlu hiasan untuk rambut Manu….”
“Anakku, kenakan saja mahkota emasmu. Cocok dengan rambutmu yang keemasan,” kata ayahnya.
“Akh, Manu bosan ayah..” jawab Manuella.
“Bagaimana kalau mahkota berlian? Ayah akan segera memesannya jika kau mau,” bujuk ayahnya.
“Tidak, tidak! semua itu tidak cocok dengan baju dan rambut Manu” teriak Manuella.
“Oh..anakku..mutiara yang dikenakan ibumu ketika ia menikah dengan ayah sangat indah, kau boleh
memakainya nak…ayah ambilkan ya…”kata
ayahnya dengan sabar.
“Tidak. Manu ingin yang lain yang terindah,”
katanya sambil berlari menuju halaman.
“Manuella, kembali anakku, sebentar lagi
akan datang tamu-tamu kita” teriak ayahnya. Tapi
Manuella tak mau mendengar ayahnya, ia berlari ke
halaman yang dipenuhi dengan pohon-pohon cheri,
dimana bunga-bunganya yang putih bersih
memenuhi setiap ranting-rantingnya, sehingga
cabang dan rantingnya yang berwarna cokelat
hampir tak tampak lagi.
Manuella berlari dari satu pohon ke pohon
yang lain, dan tiba-tiba ia berpikir “Betapa indahnya bunga-bunga cheri ini, aku ingin merangkainya menjadi
mahkotaku.” Ketika tangannya akan meraih sebuah bunga, terdengarlah suara yang halus.
“Jangan sentuh kami, jauhilah kami. Kalau tidak, kami akan mengubahmu menjadi bunga!” Manuella
menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi ia tak melihat seorang pun. Ia berlari ke sebuah pohon yang lain, dan ketika
ia akan memetik bunganya, terdengar lagi suara yang sama.
Dengan penuh kejengkelan berteriaklah Manuella sambil memandang pohon itu, “Hai, dengar! Tak ada
seorang pun di negeri ini yang dapat melarangku, dan semua orang di negeri ini tahu, segala keinginanku harus
terpenuhi! Siapa yang berani melarangku?”
Tiba-tiba bertiuplah angin dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara yang halus. “Dengar Manuella,
tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya. Tidak juga kau…”
“Bohong, bohong, selama ini segala keinginanku selalu dipenuhi, dan sekarang aku akan memetik bunga-
bunga ini untuk mahkotaku, dan tak seorang pun berhak melarangku” teriak Manuella sambil menendang
pohon-pohon disekitarnya.
“Kau akan menyesal Manuella, jika tidak kau jauhi kami…”
Dan ketika tangan Manuella menyentuh sebuah bunga, berubahlah ia menjadi bunga, di antara bunga-
bunga cheri yang lain yang ada di pohon itu. Ia menangis menyesali segalanya, tapi sudah terlambat. Ia melihat
tamu-tamu berdatangan. Ia mendengar suara tawa tamu-tamunya, tapi ia tak dapat ikut serta. Ia menangis dan
menjerit-jerit, tapi tak seorang pun mendengarnya.
Hari semakin sore, lampu-lampu di seluruh puri dinyalakan, musik mulai diputar dan seluruh tamu yang
diundang telah datang. Ayahnya bingung mencari Manuella diseluruh puri, kemudian ia bersama para pelayan
mencari Manuella diseluruh halaman sambil berteriak.
“Manuella…Manuella….dimana kau nak….” Manuella dapat mendengar suara ayahnya dan para
pelayan yang berteriak-teriak memanggilnya. Ketika ia melihat ayahnya berdiri tepat di bawahnya, ia berusaha
berteriak sekuat tenaga, tapi ayahnya tak dapat mendengar suaranya dan ia mulai menangis, air matanya
menetes dan jatuh ke kepala ayahnya. Manuella melihat bagaimana ayahnya mengusap air yang menetes di
kepalanya, dan bergumam perlahan.
“Akh …mulai hujan, di mana engkau bersembunyi anakku..” Dengan menundukkan kepala ia kembali ke
puri dan menyuruh seluruh pelayannya kembali karena dipikirnya sebentar lagi akan turun hujan.
Setelah tamu terakhir meninggalkan puri, dan musik dihentikan, sang ayah diam termangu di depan
jendela. Lampu-lampu puri dibiarkan menyala semua, karena ia berpikir anaknya akan kembali dan ia akan
dapat dengan mudah melihat jalan menuju puri.
“Anakku, diluar dingin. Dimana engkau nak…kembalilah anakku. Ayah sangat kuatir” gumam ayahnya
seorang diri dengan sedih. Tiba-tiba bertiuplah angin yang membawa sura jerit Manuella “Ayah…ayah…tolong
Manu ayah…tolong…”
“Manuella…Manuella…di mana engkau nak, ayah datang…ayah akan segera datang nak” teriak ayahnya
dengan penuh harapan. Ia segera membangunkan para pelayan untuk mencari Manuella di sekitar puri dan di
seluruh halaman sekali lagi. Mereka mencari Manuella setapak demi setapak, tapi sampai pagi merekah,
Manuella tak pernah ditemukan kembali.
Sang ayah telah putus asa, dan ia berhari-hari hanya duduk di depan jendela, menanti angin datang yang
kadang-kadang membawa jeritan anak tercintanya. Ia yakin itu suara anaknya, tapi ia tak pernah tahu dari mana
suara itu sampai akhir hayatnya. ***

Leave a comment »

JIAN ANJING DAN RAKU KURA-KURA

30 Juni 2009 · Filed under CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO) · Tagged JIAN ANJING
DAN RAKU KURA-KURA

Whuuuz… whuuuzz…
Ibu Mia Kucing terbangun mendengar suara
ribut-ribut. Ia keluar rumah dan bertanya pada Bu Abi
Kambing. 
“Siga si Raja Hutan ulang tahun. Seluruh
penghuni hutan diundang ke pestanya malam nanti.”
“Kok mendadak begini?” tanya Bu Mia heran.
“Raja baru ingat pagi ini. Persiapannya jadi serba
terburu-buru. Raja menyuruh Raku Kura-kura dan Kiki
Kelinci menempelkan undangan di pohon.”
“Oh, dua pelari cepat itu? Pantas ribut ekali,” omel Bu Mia Kucing.  “Kalau bukan mereka berdua,
siapa lagi yang bisa disuruh?”
“Benar juga,” sahut Bu Mia. “Walaupun Raku Kura-kura itu berkaki pendek, namun larinya … wow,
luar biasa!”
Malamnya, semua hewan di hutan berkumpul di halaman istana. Pakaian dan perhiasan mereka serba
gemerlap. Dan tentu saja mereka tak lupa membawa hadiah untuk Raja Siga Singa. Hadiah-hadiah itu
diletakkan teratur di atas meja di dekat pagar istana. Hanya Jian Anjing yang tidak menumpuk hadiahnya
bersama yang lain. Diletakkannya hadiah mangkuk kristal bening itu di bawah meja. Ia takut mangkuk itu
pecah jika tertindih hadiah-hadiah lain.
Sementara itu …
“Hosh! Hosh! Sepertinya pesta sudah mulai. Ukh, untung Raja belum muncul,” gumam Raku Kura-kura
terengah-engah. Ia datang sedikit terlambat. Walau larinya cepat, tapi rumahnya paling jauh dari istana.
Ketika hendak bergabung dengan tamu-tamu lainnya, Raku Kura-kura ragu-ragu sejenak. Kemudian
secepat kilat ia bersembunyi di bawah meja tempat tumpukan hadiah.
“Gawat!” desisnya.” Semuanya berpenampilan mewah. Bisa-bisa aku jadi tamu berpenampilan
terburuk,” Raku Kura-kura cemas memandangi tubuhnya yang polos tanpa hiasan sedikitpun.
Raku Kura-kura sudah biasa menjadi pusat perhatian karena larinya yang sangat cepat. Apalagi setelah ia
berhasil mengalahkan Kiki Kelinci dalam suatu pertandingan lari. Namun, tak mungkin kan ia harus berlari ke
sana ke mari untuk menarik perhatian.
Ah! Tiba-tiba matanya melihat sebuah mangkuk kristal indah di sampingnya. Milik siapa ini? pikir Raku
Kura-kura. “Ah, aku tahu!” serunya ketika mendapat ide.
Gluduk gluduk! Dengan hati-hati ia menggelindingkan mangkuk itu ke balik semak-semak. Dibalurinya
dengan getah dan daun sampai warnanya berubah kehijauan. Lebih bagus daripada warna bening tadi.
Mangkuk itu lalu diikatnya ke punggungnya dengan akar-akar pohon. Berat, tapi tak jadi soal.
Penuh percaya diri Raku Kura-kura masuk ke halaman istana. Semua mata langsung tertuju padanya.
“Wah, Raku Kura-kura! Indah sekali benda yang ada di punggungmu! Hijau kemilau seperti zamrud!”
decak para tamu kagum.
Raku Kura-kura mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia puas diperhatikan seperti itu. Namun Jian Anjing
menatapnya curiga. Ia yakin benda di punggung Raku Kura-kura adalah mangkuk kristal miliknya. Jian Anjing
segera memeriksa kolong meja tempat hadiah. Benar! Mangkuk kristalnya menghilang! Ia langsung berteriak,
“Raku Kura-kura, pencuri! Kembalikan mangkuk kristalku!”
Tamu-tamu pesta kaget dan bingung.
“Cepat lepaskan mangkuk itu dari punggungmu!” Jian Anjing berusaha menarik lepas mangkuk itu. Tapi
akar pohon yang melilit terlalu kuat. Keduanya sama-sama terpental.
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar,
“Siapa yang berani membuat keonaran di hari ulang tahunku?!” Siga si Raja Hutan muncul. Ia duduk di
singasananya sambil melotot ke arah Raku Kura-kura dan Jian Anjing. Semua terdiam menahan napas.
“Maaf, Baginda,” sembah Jian Anjing hormat. “Tapi mangkuk yang akan hamba hadiahkan untuk
Baginda telah dicuri Kura-kura ini.”
“Tidak, Baginda!” bantah Raku Kura-kura tegas. “Mangkuk ini hamba temukan di kolong meja itu.
Hamba cuma bermaksud meminjamnya sebentar.”
“Tapi kau mengambilnya tanpa seijinku. Itu mencuri namanya!” Keduanya terus berbantahan.
“DIAM!” bentak si Raja Hutan. Ia menyuruh Raku Kura-kura segera mengembalikan mangkuk itu.
“Tapi akar-akar yang melilit di tubuh hamba terlalu kuat. Sepertinya … mangkuk ini tidak bisa dilepas,”
elak Raku Kura-kura. 
“Raku Kura-kura, aku tahu kau menyukai mangkuk itu,” kata
Siga Raja Hutan. “Jian Anjing sebenarnya hendak memberikan
mangkuk itu untukku. Tapi rasanya mangkuk itu memang lebih pantas
untukmu. Baiklah, kuizinkan kau memilikinya. Mulai sekarang,
teruslah ke mana-mana dengan mangkuk di punggungmu.”
“Terima kasih, Baginda,” Raku Kura-kura mencibir ke arah Jian
Anjing yang terpaksa merelakan mangkuk itu.
“Tapi…” lanjut Siga Raja Hutan, “Sebagai gantinya, kemampuan berlari cepatmu kuberikan pada Jian
Anjing. Adil, bukan?”
Sejak itu Raku Kura-kura cuma bisa berjalan lambat-lambat, dan menjaga agar mangkuk kristal di
punggungnya tidak jatuh. Sering ia menyesali keadaan dirinya. Karena tak ada lagi yang mengelu-elukan
kecepatan larinya.
Itu sebabnya sampai sekarang bangsa kura-kura memiliki mangkuk keras di punggungnya. Dan tetap
berjalan lambat. Kalau bertemu makhluk lain, mereka cepat-cepat menyusupkan kepala ke dalam mangkuknya.
Mungkin malu kalau ada yang menanyakan tentang Raku, nenek moyang mereka yang serakah.
Sementara itu, bangsa anjing sampai kini bisa berlari cepat. Dan terbiasa mengejar pencuri seperti Jian,
nenek moyang mereka.

Leave a comment »
Iklan
Report this ad


Cari
  

 Calender’s Lala
Februari 2018
S S R K J S M
« Jan    
  1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28  
 Kategori Lala’s Blog
o CERITA PENDEK dan DONGENG_(majalah BOBO)(107)
 Cerita Rakyat Aceh (2)
 Cerita Rakyat Bali (1)
 Cerita Rakyat Bangka Belitung (5)
 Cerita Rakyat DI Yogyakarta(2)
 Cerita Rakyat DKI Jakarta(2)
 Cerita Rakyat Jawa Barat (2)
 Cerita Rakyat Jawa Tengah(2)
 Cerita Rakyat Jawa Timur (1)
 Cerita Rakyat Kalimantan Barat (4)
 Cerita Rakyat Kalimantan Tengah (1)
 Cerita Rakyat Lampung (3)
 Cerita Rakyat Riau (9)
 Cerita Rakyat Sulawesi Tengah (5)
o FISIKA (15)
o Ilmu Pengetahuan Umum (3)
o KIMIA (7)
o Lala's Blog (18)
o MATEMATIKA (9)
o Penemu – ensiklopedia (16)
o SEJARAH Indonesia (7)
 Tulisan Update Lala’s Blog
o 2009-12-25 and 2009-12-26
o 2009-12-21
o Lebaran-an_20 September 2009
o TMII_23 September 2009
o Naik Mobil-mobilan di Carrefour Express….
o Angsa kertas
o English Version_The Origin of Mermaid
o Ambun dan Rimbun
o English Version_The Legend of Tanduk Alam
o Legenda Tanduk Alam
o Legenda Batu Bagga
o Asal Mula Ikan Duyung
o English Version_The Crying Stone
o Batu Menangis
o English Version_The Golden Watermelon (Sambas)
Joaquina Ariella Lambang's Blog
Buat situs web atau blog gr

You might also like