Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Putusan Tindak Pidana

Korupsi Terhadap Barang Buki/Uang Penganti Yang


Dirampas Untuk Negara Namun Secara Langsung
Dikembalikan Kepada Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

Kadek Teguh Dwiputra Jayakesunu1


1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: s.jayakesunu@gmail.com

Info Artikel Abstract


Masuk : LPD is a microfinance business entity at the
Diterima : indigenous/traditional village level whose existence has provided
Terbit : benefits both economically, socially and culturally for indigenous
peoples. When there are irregularities in the financial
Keywords : management of LPD or an act of breaking the law, the act falls
Indigenous/traditional into the scope of corruption. Because the core facilities and
Institutions, Corruption, State capital of LPD are sourced from budget of regional expenditure
Finance, Spoil revenue of Bali Province(APBD Bali), LPD losses are
categorized as state / regional losses. Then from some of the cases
that have been decided arises a problem related to justice for the
victim, namely the community (customer). However, with the
development of legal justice pradigma in Indonesia, in some
cases of LPD in Bali Province there are verdicts on LPD
corruption cases that impose provisions on seized evidence for
the LPD cq state. Above situation attract interest the author, to
explore, namely related to the void of norms in the ruling that
list the evidence as spoils / seized for the state as payment of
replacement money or evidence seized for the state cq LPD. The
problem raised in this journal is how is the procedure for solving
evidence as seized goods for the state cq Village Credit
Institution (LPD) as an institution owned by
indigenous/traditional villages? The writing of this journal aims
to find out and analyze the settlement of the verdict that states
that evidence was seized for the state cq Village Credit
Institution (LPD). The results of the discussion are that the
verdict on the seized evidence for the state cq Village Credit
Institution (LPD) is carried out through the submission / return
of the evidence directly to the Village Credit.

Abstrak
Kata kunci: LPD merupakan badan usaha keuangan mikro tingkat Desa
Lembaga Adat, Korupsi, Adat yang keberadaannya telah memberikan manfaat baik secara
Keuangan Negara, Barang ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat adat. Ketika dalam
Rampasan pengelolaan keuangan LPD terdapat penyimpangan atau suatu
perbuatan melanggar hukum maka perbuatan tersebut masuk ke

Jurnal Magister Hukum Udayanax,


ISSN: 1978-1520

DOI : dalam lingkup tindak pidana korupsi. Oleh karena fasilitas


xxxxxxx maupun modal inti LPD bersumber dari APBD/Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Bali maka kerugian LPD
itu dikategorikan sebagai kerugian negara/daerah. Lalu dari
beberapa perkara yang telah diputus tersebut timbul suatu
permasalahan yang terkait dengan keadilan bagi korban yaitu
masyarakat (nasabah). Namun dengan berkembangnya
pradigma keadilan hukum di Indonesia, dalam beberapa kasus
LPD di Provinsi Bali terdapat putusan perkara tindak pidana
korupsi LPD yang memberlakukan ketentuan terhadap barang
bukti yang dirampas untuk negara cq LPD. Hal inilah yang
menarik minat penulis untuk didalami yaitu terkait adanya
kekosongan norma dalam putusan yang mencantumkan amar
terhadap barang bukti sebagai barang rampasan/dirampas untuk
negara sebagai pembayaran uang pengganti atau barang bukti
dirampas untuk negara cq LPD. Permasalahan yang diangkat
dalam jurnal ni adalah bagaima prosedur penyelesaian barang
bukti sebagai barang yang dirampas untuk negara cq Lembaga
Perkreditan Desa selaku lembaga milik desa adat? Penulisan
jurnal ini bertujuan Untuk mengetahui dan menganalisis
penyelesaan terhadap putusan yang menyebutkan bahwa barang
bukti dirampas untuk negara cq lembaga perkreditan desa.
Adapun hasil pembahasannya adalah putusan terhadap barang
bukti yang dirampas untuk negara cq LPD dilaksanakan melalui
penyerahan/pengembalian barang bukti tersebut langsung
kepada LPD.

Copyright © 2022JMHU. All rights reserved.

1. Pendahuluan

Bali merupakan salah satu provinsi yang menggantungkan sebagian besar


kehidupan perekonomiannya pada kultur budaya dan kearifan lokal masyarakat.
Organisasi tradisional di Bali yang memiliki sifat otonomi yang berlandaskan
norma–norma asli bangsa Indonesia serta memiliki corak sosial religius yang
disebut sebagai Desa Pakraman/Adat.1 Berdasarkan peraturan, kebijakan dan
tanggung jawab otonomi daerah, Desa Adat juga dituntut untuk memiliki
pengelolaan ekonomi yang mandiri, sehingga di tahun 1984 pemerintah provinsi
Bali mempunyai gagasan untuk mendirikan Lembaga Perkreditan Desa/LPD pada
semua Desa Pakraman di Bali di tahun 1984 menggunakan Surat Keputusan (SK)
Gubernur Nomor 972 Tahun 1984 mengenai Pendirian LPD pada Provinsi Daerah
Tingkat I Bali.

Gagasan didirikannya LPD muncul melalui ide Gubernur Bali saat itu Prof. Ida
Bagus Mantra. Berawal ketika beliau berkunjung ke Sumatra Barat. Pada saat itu
beliau menemukan adanya Lembaga Keuangan milik adat yang berkembang
dengan baik yang diberi nama ”Lumbung Pitih Nagari”. Beberapa bulan kemudian
beliau mengikuti seminar di Semarang mengenai Lembaga Keuangan Desa (LKD)

1Sirtha, I. N. (1999). Strategi Pemberdayaan Desa Adat dengan Pembentukan Forum


Komunuikasi Antar Desa Adat. Kertha Patrika, 71 (24), hlm. 47.

July 201x : first_page – end_page


atau Badan Kredit Desa (BKD). Dari peristiwa-peristiwa tersebut beliau menilai
bahwa Bali memiliki potensi dan kesempatan untuk membentuk suatu Lembaga
Keuangan yang dikelola oleh lembaga adat/Pakraman seperti yang ada di Sumatra
Barat.

Dalam rangka mendorong jiwa wirausaha dan meningkatkan taraf hidup


masyarakat sebagai salah satu tujuannya, maka LPD menjalankan usahanya dengan
manajemen yang cukup mudah dan sederhana. Uniknya, Lembaga Keuangan
Mikro ini dijalankan berdasarkan adat Bali dalam sistem manajemennya, namun
telah dikelola secara profesional berdasarkan sistem perbankan modern dalam
teknis operasionalnya. Akan tetapi dari segi normatif formal status kelembagaan
LPD masih menimbulkan pro-kontra karena didirikan tanpa SK Gubernur Bank
Indonesia seperti ketentuan dalam Pasal 16 a Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa:

”Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali
apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan
Undang-Undang tersendiri.”

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2017 tentang lembaga
Perkreditan Desa menegaskan bahwa LPD merupakan badan usaha keuangan yang
keberadaannya telah memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial dan budaya
bagi masyarakat adat, dengan demikian secara tegas memperjelas status
kelembagaan dari LPD yaitu suatu badan usaha keuangan milik Desa Adat.

Sebagaimana dipahami bersama, bahwa visi LPD adalah terwujudnya LPD yang
sehat, kuat, produktif dan dipercaya sebagai badan usaha keuangan milik desa adat
untuk mendukung upaya peningkatan taraf hidup krama desa dan pembangunan
perekonomian Desa Adat secara berkelanjutan, serta pelestarian kebudayaan
daerah Bali berlandaskan Tri Hita Karana dalam rangka memperkaya khasanah
kebudayaan bangsa. Misi LPD adalah menciptakan kondisi yang kondusif untuk
mendorong peningkatan kinerja LPD dan pelayanan keuangan yang
berkesinambungan kepada warga masyarakat di Desa Adat untuk mendukung
pertumbuhan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
adat/krama desa di wilayah Bali.

LPD dibentuk untuk tujuan mengemban misi kultural, hanya melakukan kegiatan
secara internal-komunitas, dan beorientasi pada peningkatan kesejahteraan
komunitas desa adat yang pada dasarnya juga dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menanggung beban biaya pemeliharaan peradaban.
Orientasi profit pada kegiatan usaha LPD dapat dikatakan sebagai unsur semu,
dengan karakter yang mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat setempat
yang tentunya sangat berbeda dengan unsur profit dalam perbankan. Unsur profit
dalam kegiatan bank adalah unsur keuntungan dalam konteks hukum ekonomi.2

2 Nopirin, Ekonomi Moneter, Buku I, Edisi ke-4, BPFE, Yogyakarta, 2009, hlm. 21-22.

Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. X No. X April 2022, h. xxx-xxx x,


ISSN: 1978-1520

Sebagai badan usaha keuangan milik desa adat, kegiatan utama LPD adalah
menerima/menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk tabungan dan
deposito serta memberikan pinjaman kepada krama desa. Berkenaan dengan
kegiatan tersebut, maka salah satu kunci untuk memelihara stabilitas
perkembangan LPD diperlukan adanya unsur kepercayaan. Dengan kata lain,
krama desa percaya bahwa dana yang disimpan di LPD aman dan dapat ditarik
sewaktu-waktu. Demikian halnya dengan LPD, memberikan kepercayaan bahwa
dananya yang dipinjam oleh krama desa akan dikembalikan sesuai perjanjian.
Apabila unsur kepercayaan belum terbentuk, maka akan sulit bagi LPD untuk
berkembang. Hancurnya kepercayaan krama desa yang merupakan nasabah LPD,
akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup LPD serta akan berpengaruh
negatif bagi Desa Adat.

Pada tahun 2013 kinerja LPD di Bali sebagai lembaga keuangan mikro milik desa
adat mulai dipertanyakan sejak pertama kalinya muncul kasus tindak pidana
korupsi yang terkait dengan penyimpangan/penyelewengan pengelolaan
keuangan LPD. Melalui putusan Pengadilan Negeri Denpasar nomor
9/PID.SUS/TPKR/2013/PN DPS, Gede Budiasa alias Jero Tapakan Gede Budiasa
selaku kepala LPD Desa Adat Banyualit dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi pada pengelolaan LPD Desa Adat
Banyualit.

Hingga saat ini berdasarkan data putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pada Pengadilan Negeri Denpasar tindak pidana korupsi pada LPD se-Bali telah
mencapai angka 20 perkara dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2021. Dari
perkara yang telah diputus tersebut timbul suatu permasalahan yang terkait dengan
keadilan bagi korban yaitu masyarakat adat selaku nasabah di LPD. Akibat dari
penyimpangan/penyelewengan pengelolaan LPD tentunya menimbulkan kerugian
pada LPD itu sendiri, oleh karena modal LPD bersumber dari APBD/Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Bali maka kerugian LPD itu dikategorikan
sebagai kerugian negara/daerah sebagaimana yang dimuat dalam pertimbangan
putusan nomor 9/PID.SUS/TPKR/2013/PN DPS, atas nama terdakwa Gede
Budiasa alias Jero Tapakan Gede Budiasa atau dalam pertimbangan putusan
perkara LPD lainnya.

Permasalahan timbul ketika terdakwa dibebani dengan pidana tambahan uang


pengganti yang dibebankan atas kerugian keuangan negara/daerah akibat
perbuatan terdakwa. Dengan dibebaninya uang pengganti kepada terdakwa maka
tata cara pelaksanaan eksekusinya adalah terdakwa harus mengembalikan sejumlah
uang pengganti yang ditentukan dalam putusan ke kas negara/kas daerah. Menjadi
kurang bermanfaat ketika terdakwa yang melakukan perbuatan
penyalahgunaan/penyelewengan keuangan LPD sehingga mengakibatkan LPD
mengalami kerugian tatapi uang pengganti justru tidak dikembalikan kepada LPD,
melainkan wajib disetor ke kas negara/kas daerah.

Sebagai contoh dalam putusan perkara LPD Desa Adat Suwat. Pasca putusan
pengadilan yang menghukum tiga terpidana pengurus LPD Desa Adat Suwat di
Kecamatan Gianyar, Kejaksaan Negeri Gianyar melaksanakan eksekusi berupa
merampas barang bukti uang sejumlah Rp. 164.787.000 yang disita dari terdakwa Ni

July 201x : first_page – end_page


Made Sutria alias Bu Kadek sebagai pembayaran uang pengganti dan uang
sejumlah 164.788.000,- yang disita dari terdakwa Nyoman Nilawati alias Man Tok
sebagai pembayaran uang pengganti.

Vonis terhadap tiga pengurus LPD Desa Adat Suwat tersebut belum memuaskan
masyarakat adat yang juga sebagai nasabah LPD. Puluhan nasabah pun
mempertanyakan dana nasabah yang dikorupsi oleh terdakwa dan yang telah disita
sebagai barang bukti agar dikembalikan kepada LPD Desa Adat Suwat. Sementara
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gianyar melaksanakan eksekusi sebagaimana amar
putusan yang memerintahkan agar barang bukti uang sejumlah tersebut diatas
dirampas dan disetor ke kas negara/kas daerah sebagai pembayaran pidana uang
pengganti. Dinamika terhadap putusan perkara LPD Desa Adat Suwat tersebut
menimbulkan suatu permasalahan bagi korban dalam hal ini nasabah LPD yang
uangnya tidak kunjung kembali.

Dengan berkembangnya paradigma hukum progresif yang mana Hakim dituntut


agar tidak terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini banyak
memberikan ketidakadilan kepada yustisiaben/pencari keadilan dalam
menegakkan hukum karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk
menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum, maka
berkembanglah suatu putusan perkara tindak pidana korupsi yang memberlakukan
ketentuan terhadap barang bukti yang dirampas untuk dikompensasikan sebagai
pembayaran pidana uang pengganti namun melalui suatu lembaga non
pemerintah. Hal ini dapat kita ketemuan dalam putusan perkara LPD Desa Adat
Kapal.

Dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri


Denpasar nomor 22/Pid.Sus-TPK/2018/PN Dps tanggal 2 April 2019 atas nama
terdakwa I Made Ladra, terhadap barang bukti berupa tanah ayahan desa dan
rumah yang ada diatasnya beralamat di Lingkungan Tegal Saat Kapal, Desa Kapal,
Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung yang dikuasai oleh I Made Ladra dan Ni
Made Lestari dirampas untuk diserahkan kepada Desa Adat Kapal guna
pengembalian uang pengganti kerugian LPD Desa Adat Kapal yang
menguntungkan terdakwa sebesar Rp. 1.796.916.100 (satu milyar tujuh ratus
Sembilan puluh enam juta Sembilan ratus enam belas ribu serratus rupiah)

Dari beberapa putusan tentang perkara tindak pidana korupsi tentang


penyalahgunaan/penyelewengan pengelolaan LPD, terdapat hal menarik yang
harus didalami yaitu adanya kekosongan norma terkait putusan yang
mencantumkan amar terhadap barang bukti sebagai barang rampasan/dirampas
untuk negara sebagai pembayaran uang pengganti atau barang bukti dirampas
untuk negara cq LPD, oleh karena itu penulis tertarik mengangkat suatu penelitian
yang berjudul ”Pemulihan Keuangan Negara Melalui Putusan Barang Rampasan
Cq Lembaga Perkreditan Desa Selaku Lembaga Milik Desa Adat”.

Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka menimbulkan
beragam kejadian dan permasalahan dalam kehidupan masyarakat sehingga dalam
penelitian ini dapat dirangkum menjadi rumusan masalah yang dikemukakan
melalui pertanyaan yaitu bagaimana prosedur penyelesaian barang bukti sebagai

Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. X No. X April 2022, h. xxx-xxx x,


ISSN: 1978-1520

barang yang dirampas untuk negara cq Lembaga Perkreditan Desa selaku lembaga
milik desa adat?

2. Metode Penelitian

Penulisan jurnal penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian hukum
empiris. Dimana nantinya penulis akan menggunakan metode deskriftif analitis.
Metode deskriptif analitis adalah suatu metode yang fungsinya untuk
mendeskripsikan/menjelaskan atau memberikan gambaran terhadap objek yang
diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya
kemudian membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

Adapun data yang akan digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan artikel yang berkaitan
dengan pemberitaan mengenai permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
upaya pemulihan kerugian negara melalui eksekusi barang rampasan/uang
pengganti pada perkara Tindak Pidana Korupsi penyelewengan dana Lembaga
Perkreditan Desa.

3. Hasil Dan Pembahasan

3.1. Tindak Pidana Korupsi pada Lembaga Perkreditan Desa Selaku Lembaga
Milik Desa Adat

Secara sosiologis, korupsi merupakan tindakan deosialisasi, yaitu suatu tindakan


yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.
Mengabaikan kepedulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku tidak
peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan hak individunya dapat
terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam cara
pandang sosiologis maka korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga model.
Pertama, corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi,
apabila tidak korupsi atau melakukan penyimpangan, maka tidak dapat hidup.
Kedua, corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena serakah yaitu
sekalipun secara ekonomi cukup, tetapi tetap saja korupsi. Ketiga, corruption by
chane, artinya korupsi terjadi karena adanya kesempatan.

Susan Rose-Ackerman mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan


kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hubungan pemberi-penerima jasa di
sektor publik membuka peluang untuk berkorupsi. Definisi ini memberikan
pengertian begitu saja tanpa memisahkan perbedaan antara peran umum dengan
peran pribadi seorang pelaku. Artinya tidak jelas kapan seorang pejabat
melakukan perbuatan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik atau
pribadi. Pada sebagian besar masyarakat tidak membedakan pengertian sejelas
itu yaitu kapan oelaku bertindak sebagai pejabat publik dan kapan sebagai
pribadi. Di sektor swasta, kebiasaan memberi hadiah berlaku umum dan juga
sangat dihargai, dan tampaknya lumrah untuk memberi pekerjaan dan kontrak
kepada teman atau keluarga. Pada umumnya tidak ada yang merasa aneh untuk

July 201x : first_page – end_page


berlaku serupa di masyarakat umum. Dalam kenyataannya, bagi kebanyakan
orang perbedaan tajam antara dunia umum dan dunia pribadi merupakan
sesuatu yang aneh. Sekalipun demikian, penduduk di negara berkembang
membuat perbedaan yang jelas antara tingkah laku apa yang dapat diterima dan
apa yang ditolak berdasarkan norma budaya mereka sendiri.3 Penggambaran
korupsi oleh Rose-Ackerman seperti itu lebih menekankan pada aspek budaya.

Dalam perkembangannya tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi pada


Kementerian, Lembaga Pemerintah, BUMN, dan BUMD saja, perlu diketahui
pula sejak tahun 2013 di Provinsi Bali muncul pertama kali kasus
penyimpangan/penyelewengan pengelolaan keuangan LPD Desa Adat
Banyualit. Dalam putusan Pengadilan Negeri Denpasar nomor
9/PID.SUS/TPKR/2013/PN DPS dijelaskan bahwa pertimbangan dari mengapa
kasus LPD ini bisa masuk kedalam ranah/ruang lingkup dari tindak pidana
korupsi adalah karena LPD Desa Adat Banyualit mempergunakan modal atau
fasilitas yang berasal dari negara. LPD Desa Adat Banyualit ini didirikan
berdasarkan SK Gubernur Propinsi Bali Nomor 144 Tahun 1992 serta bermodal
inti yang berasal dari bantuan keuangan pemerintah Provinsi Bali yang diterima
pada tanggal 14 Juli tahun 1992 sebesar Rp. 5.000.000,- dan ditahun 1994 kembali
diberikan bantuan sebesar Rp. 2.500.000,-, kemudian kekayaannya bertambah
besar karena adanya kekayaan pihak lain berupa tabungan dan deposito nasabah
LPD Desa Adat banyualit.
Dalam putusan tersebut juga dipertimbangkan mengenai perbuatan yang
dilakukan oleh Terdakwa Gede Budiasa alias Jero Tapakan Gede Budiasa telah
memenuhi unsur kerugian negara. Menurut pertimbangan hakim yang
dimaksud kerugian negara adalah pengurangan kekayaan negara yang
disebabkan oleh suatu perbuatan melanggar hukum atau kelalaian seseorang
atau disebabkan oleh keadaan diluar kemampuan manusia. Dalam hal ini
keuangan negara yang berada di Lembaga Perkreditan Desa Banyualit sebesar
Rp. 1.863.126.650,- menurut ketentuan pasal 2 huruf i UU no 17 tahun 2993
tentang Keuangan Negara yaitu keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain
yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui website direktori putusan Mahkamah


Agung RI kasus mengenai peyimpangan/penyelewengan pengelolaan keuangan
LPD di Provinsi Bali sejak tahun 2013 sampai dengan tahun 2020 adalah sebagai
berikut :
No Tahun Nama Kasus LPD Jumlah Kerugian Negara
1 2013 Putusan Np. 9/PID.SUS/TPKR/2013/PN DPS Rp. 2.377.126.650,-
Tanggal 24 september 2013
Terdakwa Gede Budiasa alias Jro Tapakan
Gede Budiasa
Ketua LPD Desa Adat Banyualit Kabupaten
Buleleng
2 2014 Putusan No. 34/Pid.Sus.TPK/2014/PN.Dps Rp. 1.162.132.811,-
Tanggal 17 Maret 2015
Terdakwa I Ketut Manuaba
Ketua LPD Desa Adat Belaluan Kecamatan

3Susan Rose-Ackerman, 206, Korupsi Pemerintahan Sebab, Akibat dan Reformasi, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hal. 127.

Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. X No. X April 2022, h. xxx-xxx x,


ISSN: 1978-1520

Sukawati, Kabupaten Gianyar


3 2015 Putusan No. 27/Pid Sus TPK/2015/PN Dps Rp. 3.544.047.890,-
Tanggal 1 Desember 2015
Terdakwa I Ketut Kurniawan
Ketua LPD Desa Adat Kerta, Kecamatan
Payangan, Kabupaten Gianyar
4 2015 Putusan No. 40 /Pid.Sus.TPK/2015/PN Dps. Rp. 3.544.047.890,-
Tanggal 27 Januari 2016
Terdakwa Ni Wayan Rusnadi (staff pembukuan
LPD Desa Adat Kerta) dan Ni Wayan Juliantari
(Collector LPD Desa Adat Kerta)
5 2015 Putusan No. 36 /PID.SUS-TPK/2015/PN DPS Rp. 1.955.500.000,-
Tanggal 6 Januari 2016
Terdakwa I Gusti Nyoman Sutapa alias Gusti
Topong
Ketua LPD Sinabun, Kecamatan Sawan,
Kabupaten Buleleng
6 2017 Putusan No. 4/Pid.Sus.TPK /2017/PN.Dps Rp. 796.324.508
Tanggal 26 Juli 2017
Terdakwa Ni Nyoman NIlawati alias Man Tok
Sekretaris/TU LPD Desa Suwat Kecamatan
Gianyar, Kabupaten Gianyar

7 2017 Putusan No. 5/Pid.Sus.TPK /2017/PN.Dps Rp. 796.324.508


Tanggal 26 Juli 2017
Terdakwa Ni Made Sutria Alias Bu Kadek Alias
Bu Sembung
Kasir/Bendahara LPD Desa Suwat Kecamatan
Gianyar, Kabupaten Gianyar

8 2019 Putusan No. 2/Pid.Sus-TPK/2019/PN Dps Rp. 2.415.500.000,-


Tanggal 22 Mei 2019
Terdakwa I Cening Wartana
Ketua LPD Desa Adat Bebetin, Kecamatan
Sawan, Kabupaten Buleleng
9 2019 Putusan No. 10/Pid.Sus-TPK/2019/PN Dps Rp. 225.000.000,-
Tanggal 15 Oktober 2019
Terdakwa NI Luh Natariyantini, SE
Ketua LPD Desa Adat Selat, Kecamatan Susut
Kabupaten Bangli
10 2019 Putusan No. 22/Pid.Sus-TPK/2018/PN Dps Rp. 15.352.058.925,-
Tanggal 24 April 2019
Terdakwa I Made Ladra
Ketua LPD Desa Adat Kapal Kabupaten Badung
11 2019 Putusan No 8/Pid.Sus-TPK/2019/PN Dps Rp. 15.352.058.925,-
Tanggal 3 September 2019 (Rp. 5.020.102.760,-)
Terdakwa NI luh Rai Kristianti
Collector LPD Desa Adat Kapal Kabupaten
Badung
12 2019 Putusan No 9/Pid.Sus-TPK/2019/PN Dps Rp. 15.352.058.925,-
Tanggal 3 September 2019 (Rp. 2.229.071.475,-)
Terdakwa Ni Kadek Ratna Ningsih (Rp. 246.373.350,-)
Terdakwa Ni Wayan Suwardiani (Rp. 272.890.000,-)
Terdakwa Ni Made Ayu Arsianti (Rp. 400.000.000,-)
Terdakwa Ni Nyoman Sudiasih
Collector LPD Desa Adat Kapal Kabupaten
Badung

July 201x : first_page – end_page


13 2019 Putusan No. 6/Pid.Sus-TPK/2019/PN Dps Rp. 142.928.523,-
Tanggal 25 Juni 2019
Terdakwa I Nyoman Jaya
Ketua LPD Desa Adat Pacung Kabupaten
Gianyar
14 2019 Putusan No 21/Pid.Sus-TPK/2018/PN Dps Rp. 584.546.461,-
Tanggal 8 April 2019
Terdakwa I Wayan Sumadiyasa alias Mangku
Ketur
Ketua LPD Desa Adat Sega Kecamatan Abang
Kabupaten Karangasem

15 2020 Putusan No. 3/Pid.Sus-TPK/2020/PN Dps Rp. 1.264.686.000,-


Tanggal 8 Juni 2020
Terdakwa Komang Agus Putrajaya
Ketua LPD Desa Adat Gerokgak Kabupaten
Buleleng

16 2020 Putusan No. 19/Pid.Sus-TPK/2019/PN Dps Rp. 912.459.009,-


Tanggal 15 Januari 2020
Terdakwa I Gede Ketut Sukerta
Ketua LPD Sunantaya Kecamatan Penebel
Kabupaten Tabanan

17 2021 Putusan No. 3/Pid.Sus-TPK/2021/PN Dps Rp. 9.226.625.095,-


Tanggal 25 Mei 2021
Terdakwa I Wayan Sudarma
Ketua LPD Desa Adat Tanggahan Peken,
Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli

18 2021 Putusan No. 8/Pid.Sus-TPK/2021/PN Dps Rp. 913.022.734,-


Tanggal 25 Mei 2021
Terdakwa I Made Kartayasa alias Amon
Ketua LPD Desa Adat Batungsel Kecamatan
Pupuan Kabupaten Tabanan

19 2021 Putusan No. 5/Pid.Sus-TPK/2021/PN Dps Rp. 355.690.414,-


Tanggal 10 Juni 2021
Terdakwa Ketut Darmada alias Leber
Ketua LPD Desa Adat Kalianget Kecamatan
Seririt Kabupaten Buleleng
20 2021 Putusan No. 20/Pid.Sus-TPK/2021/PN Dps Rp. 1.101.976.131,-
Tanggal 5 Oktober 2021
Terdakwa I Wayan Sunarta
Sekretaris LPD Desa Adat Belumbang
Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan

Dari data tersebut disimpulkan bahwa LPD yang merupakan Lembaga milik
Desa Adat yang ada sejak tahun 1984 di Provinsi Bali dapat masuk kedalam
ranah tindak pidana korupsi apabila dalam pengelolaan keuangan LPD terdapat
perbuatan melanggar hukum atau kelalaian seseorang. Yang dapat dimintai
pertanggungjawaban adalah mereka yang melakukan perbuatan melanggar
hukum atau kelalaian.

Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. X No. X April 2022, h. xxx-xxx x,


ISSN: 1978-1520

3.2. Prosedur Penyelesaian Barang Bukti Sebagai Barang Yang Dirampas Untuk
Negara Cq Lembaga Perkreditan Desa Selaku Lembaga Milik Desa Adat

Dalam ketentuan Pasal 194 ayat (1) KUHAP disebutkan dalam hal putusan
pemidanaan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, pengadilan menetapkan
supaya barang bukti yang disita deserahkan kepada pihak yang paling
berhakmenerimanya kembali, yang Namanya tercantum dalam putusan
tersebut, kecuali jika menurut undang-undang, barang bukti itu harus dirampas
untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi. Dengan mengacu pada pasal tersebut terdapat tiga hal yang
menyangkut dengan barang bukti setelah putusan hakim diucapkan, yaitu :
1. Dikembalikan kepada yang berhak;
Hal ini biasanya menyangkut dengan barang bukti yang diperoleh dari
kejahatan. Yang mana untuk menentukan siapa yang paling berhak, harus
dilihat dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Misalnya dalam
perkara pencurian, jika korban menyatakan barang bukti adalah miliknya,
makai a adalah orang yang paling pantas menerima barang bukti tersebut.
2. Dirampas untuk negara;
Hal ini biasanya terjadi dalam perkara yang merugikan kepentingan negara,
misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang atau tindak
pidana umum yang barang buktinya (hasil kejahatan) bernilai ekonomis.
Maksud dari dirampas untuk negara ini adalah barang bukti tersebut
dilelang kemudian hasilnya diserahkan kepada negara.
3. Dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi ;
Hal ini umumnya terjadi pada barang bukti yang dipergunakan sebagai alat
untuk melakukan kejahatan, misalnya senjata tajam yang dipergunakan
untuk melukai korban atau barang-barang palsu yang dapat membahayakan
banyak orang.

Barang Rampasan adalah barang yang merupakan alat atau barang bukti dan
barang bukti tersebut dapat dilelang apabila telah diputuskan oleh Pengadilan
dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.4 Dalam Peraturan Jaksa Agung
nomor : Per-002/A/JA/05/2017 tentang Pelelangan dan penjualan Langsung
benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Benda Sita Eksekusi yang
dimaksud dengan barang rampasan adalah barang milik negara yang berasal
dari benda sitaan atau barang bukti yang ditetapkan dirampas untuk negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
atau barang lainnya yang ebrdasarkan penetapan hakim atau putusan
pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara.

Prosedur mengenai barang rampasan telah diatur jelas Dalam Peraturan Jaksa
Agung nomor : Per-002/A/JA/05/2017 tersebut yaitu dilakukan pelelangan,
ditetapkan status penggunaan atau dihibahkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pada umumnya penyelesaian barang rampasan yang
dilelang dapat dilakukan oleh Pusat pemulihan asset atau Kepala Kejaksaan

4 Kejaksaan Agung RI. Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan, Kejaksaan Agung RI.
Jakarta, 1988 hlm. 1206.

July 201x : first_page – end_page


Negeri dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Namun dalam kasus penyimpangan/penyelewengan pengelolaan keuangan
LPD yang mana terdapat putusan terhadap barang bukti dirampas untuk negara
cq. LPD belum diatur dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut.

Dalam beberapa putusan perkara LPD, jaksa maupun hakim menuntut dan
memutus barang bukti yang bernilai ekonomis agar dirampas untuk negara
namun melalui LPD itu sendiri, atau dalam hal ini amarnya berbunyi barang
bukti dirampas untuk negara cq LPD. Hal ini tentunya dengan historis dan
filosofis keadilan hukum yang harus diperoleh oleh korban yaitu
masyarakat/nasabah LPD akibat dari penyimpangan/penyelewengan
pengelolaan keuangan LPD itu sendiri. Peradilan sebagai instrument
pelaksanaan hukum dalam hal terjadi pristiwa konkret hendaknya dapat bekerja
secara sinergitas dan sistematis, sehingga dapat mencapai tujuan Bersama, yaitu
memberikan kepastian hukum sekaligus menegakkan keadilan bagi masyarakat
pencari keadilan.5

Apabila menganalisa dari beberapa penyelesaian kasus LPD yang telah ada,
jaksa melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan tindak pidana korupsi
yang amarnya menyatakan bahwa terhadap barang bukti yang dirampas untuk
negara cq LPD adalah terjadi pada perkara LPD Desa Adat Kapal, yang mana
amar putusannya berbunyi terhadap barang bukti berupa tanah ayahan desa dan
rumah yang ada diatasnya beralamat di Lingkungan Tegal Saat Kapal, Desa
Kapal, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung yang dikuasai oleh I Made Ladra
dan Ni Made Lestari dirampas untuk diserahkan kepada Desa Adat Kapal guna
pengembalian uang pengganti kerugian LPD Desa Adat Kapal yang
menguntungkan terdakwa sebesar Rp. 1.796.916.100 (satu milyar tujuh ratus
Sembilan puluh enam juta Sembilan ratus enam belas ribu serratus rupiah)

Dari Analisa diatas maka dapat disimpulkan jika pelaksanaan eksekusi terhadap
putusan barang bukti yang dirampas untuk negara cq LPD baru pertama kali
dilaksanakan pada kasus LPD Desa Adat kapal. Jaksa melakukan eksekusi
dengan cara mengembalikan barang bukti berupa tanah ayahan desa dan rumah
yang ada diatasnya beralamat di Lingkungan Tegal Saat Kapal, Desa Kapal,
Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung yang dikuasai oleh I Made Ladra dan Ni
Made Lestari dirampas untuk diserahkan kepada Desa Adat Kapal guna
pengembalian uang pengganti kerugian LPD Desa Adat Kapal yang
menguntungkan terdakwa sebesar Rp. 1.796.916.100 (satu milyar tujuh ratus
Sembilan puluh enam juta Sembilan ratus enam belas ribu serratus rupiah)
dikembalikan kepada LPD Desa Adat Kapal. Dari hasil wawancara terhadap
Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri badung selaku jaksa eksekutor bahwa …….
Disamping itu belum ada ketentuan yang dengan tegas mengatur tata cara
eksekusi barang rampasan cq. Lembaga/BUMN/BUMD. Dalam Peraturan Jaksa
Agung nomor : Per-002/A/JA/05/2017 hanya mengatur mengenai benda sitaan
atau barang bukti yang putusannya dikembalikan kepada Kementerian,
Lembaga, BUMN, atau BUMD tanpa pernyataan dirampas untuk negara.

5
Barzah Latupono. Buku Ajar Hukum Islam, Edisi Revisi. Yogyakarta : deepublish. 2020. Hl 74.

Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. X No. X April 2022, h. xxx-xxx x,


ISSN: 1978-1520

4. Kesimpulan

1. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya terjadi pada Kementerian, Lembaga


Pemerintah, BUMN, dan BUMD saja, khusus di Provinsi Bali Lembaga keuangan
milik Desa Adat yang disebut dengan LPD dapat terjadi Tindak Pidana Korupsi.
LPD yang merupakan Lembaga milik Desa Adat yang ada sejak tahun 1984 di
Provinsi Bali dapat masuk kedalam ranah tindak pidana korupsi karena adanya
modal atau fasilitas yang berasal dari negara saat pendirian LPD itu sendiri.
Modal yang jumlahnya kecil ditambah dengan kekayaan pihak lain dalam hal ini
masyarakat adat selaku nasabah tabungan atau deposito menjadikan seluruh atau
sebagian kekayaan LPD adalah merupakan keuangan negara. (keuangan negara
menurut Pasal 2 huruf i UU no 17 tahun 2993 tentang Keuangan Negara)
Kemudian apabila terjadi perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan
keuangan LPD yang mengakibatkan kerugian keuangan negara menjadi ranah
dari Tindak Pidana Korupsi.
2. Bahwa prosedur pelaksanaan eksekusi terhadap putusan barang bukti yang
dirampas untuk negara cq LPD belum diatur. Adapun beberapa putusan yang
mencantumkan amar barang bukti dirampas untuk negara cq LPD adalah
sebanyak ….. perkara. Dari jumlah perkara tersebut baru satu perkara yang telah
dilakukan eksekusi dengan cara mengembalikan barang bukti berupa tanah
ayahan desa dan rumah yang ada diatasnya beralamat di Lingkungan Tegal Saat
Kapal, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung yang dikuasai oleh I
Made Ladra dan Ni Made Lestari kepada LPD Desa Adat Kapal.

5. Saran

Dari peristiwa yang telah terjadi yaitu pelaksanaan eksekusi terhadap putusan
perkara LPD Desa Adat Kapal, yang mana jaksa tidak memiliki pedoman dalam
pelaksanaan eksekusi tersebut, maka penulis menyarankan agar pihak kejaksaan
dapat membuat suatu kebijakan tentang pelaksanaan putusan yang amarnya
berbunyi barang bukti dirampas untuk negara cq LPD/ barang bukti yang dirampas
untuk negara cq. Lembaga/kementerian/BUMN/BUMD. Dengan adanya kebijakan
tersebut nantinya diharapkan agar pelaksanaan eksekusi tidak menimbulkan
permasalahan baru maupun perdebatan mengenai barang bukti dilelang kemudian
diserahkan kepada Lembaga/Kementerian/BUMN/BUMD atau cukup diserahkan
saja langsung kepada Lembaga/Kementerian/BUMN/BUMD.

July 201x : first_page – end_page


Ucapan terima kasih

Om Swastiasu,

Pertama-tama penulis panjatkan puja dan puji sukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas perkenannya penulis dapat menyelesaikan
jurnal ini.

Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu, berkondribusi dan
mendukung penulis dalam menyelesaikan jurnal penelitian ini. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Dosen, orang tua, teman-teman kelas Pidana Magister ilmu hukum
Angkatan 2021 yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi kita smua, Om santi, santi, santi Om.

Daftar Pustaka / Daftar Referensi

Buku
Barzah Latupono. Buku Ajar Hukum Islam, Edisi Revisi. Yogyakarta : deepublish. 2020.
Kejaksaan Agung RI. Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan, Kejaksaan Agung RI.
Jakarta, 1988.
Sirtha, I. N. (1999). Strategi Pemberdayaan Desa Adat dengan Pembentukan Forum
Komunuikasi Antar Desa Adat. Kertha Patrika.
Susan Rose-Ackerman, 206, Korupsi Pemerintahan Sebab, Akibat dan Reformasi, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Nopirin, Ekonomi Moneter, Buku I, Edisi ke-4, BPFE, Yogyakarta, 2009.

Online/World Wide Web:


Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/beranda.html

Undang-Undangan/Peraturan :
Peraturan Jaksa Agung RI nomor : Per-002/A/JA/05/2017 tentang Pelelangan dan
penjualan Langsung benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Benda Sita
Eksekusi

Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. X No. X April 2022, h. xxx-xxx x,

You might also like