Professional Documents
Culture Documents
Kadek Teguh Dwiputra J - TP EKONOMI
Kadek Teguh Dwiputra J - TP EKONOMI
Abstrak
Kata kunci: LPD merupakan badan usaha keuangan mikro tingkat Desa
Lembaga Adat, Korupsi, Adat yang keberadaannya telah memberikan manfaat baik secara
Keuangan Negara, Barang ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat adat. Ketika dalam
Rampasan pengelolaan keuangan LPD terdapat penyimpangan atau suatu
perbuatan melanggar hukum maka perbuatan tersebut masuk ke
1. Pendahuluan
Gagasan didirikannya LPD muncul melalui ide Gubernur Bali saat itu Prof. Ida
Bagus Mantra. Berawal ketika beliau berkunjung ke Sumatra Barat. Pada saat itu
beliau menemukan adanya Lembaga Keuangan milik adat yang berkembang
dengan baik yang diberi nama ”Lumbung Pitih Nagari”. Beberapa bulan kemudian
beliau mengikuti seminar di Semarang mengenai Lembaga Keuangan Desa (LKD)
”Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali
apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan
Undang-Undang tersendiri.”
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2017 tentang lembaga
Perkreditan Desa menegaskan bahwa LPD merupakan badan usaha keuangan yang
keberadaannya telah memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial dan budaya
bagi masyarakat adat, dengan demikian secara tegas memperjelas status
kelembagaan dari LPD yaitu suatu badan usaha keuangan milik Desa Adat.
Sebagaimana dipahami bersama, bahwa visi LPD adalah terwujudnya LPD yang
sehat, kuat, produktif dan dipercaya sebagai badan usaha keuangan milik desa adat
untuk mendukung upaya peningkatan taraf hidup krama desa dan pembangunan
perekonomian Desa Adat secara berkelanjutan, serta pelestarian kebudayaan
daerah Bali berlandaskan Tri Hita Karana dalam rangka memperkaya khasanah
kebudayaan bangsa. Misi LPD adalah menciptakan kondisi yang kondusif untuk
mendorong peningkatan kinerja LPD dan pelayanan keuangan yang
berkesinambungan kepada warga masyarakat di Desa Adat untuk mendukung
pertumbuhan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
adat/krama desa di wilayah Bali.
LPD dibentuk untuk tujuan mengemban misi kultural, hanya melakukan kegiatan
secara internal-komunitas, dan beorientasi pada peningkatan kesejahteraan
komunitas desa adat yang pada dasarnya juga dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menanggung beban biaya pemeliharaan peradaban.
Orientasi profit pada kegiatan usaha LPD dapat dikatakan sebagai unsur semu,
dengan karakter yang mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat setempat
yang tentunya sangat berbeda dengan unsur profit dalam perbankan. Unsur profit
dalam kegiatan bank adalah unsur keuntungan dalam konteks hukum ekonomi.2
2 Nopirin, Ekonomi Moneter, Buku I, Edisi ke-4, BPFE, Yogyakarta, 2009, hlm. 21-22.
Sebagai badan usaha keuangan milik desa adat, kegiatan utama LPD adalah
menerima/menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk tabungan dan
deposito serta memberikan pinjaman kepada krama desa. Berkenaan dengan
kegiatan tersebut, maka salah satu kunci untuk memelihara stabilitas
perkembangan LPD diperlukan adanya unsur kepercayaan. Dengan kata lain,
krama desa percaya bahwa dana yang disimpan di LPD aman dan dapat ditarik
sewaktu-waktu. Demikian halnya dengan LPD, memberikan kepercayaan bahwa
dananya yang dipinjam oleh krama desa akan dikembalikan sesuai perjanjian.
Apabila unsur kepercayaan belum terbentuk, maka akan sulit bagi LPD untuk
berkembang. Hancurnya kepercayaan krama desa yang merupakan nasabah LPD,
akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup LPD serta akan berpengaruh
negatif bagi Desa Adat.
Pada tahun 2013 kinerja LPD di Bali sebagai lembaga keuangan mikro milik desa
adat mulai dipertanyakan sejak pertama kalinya muncul kasus tindak pidana
korupsi yang terkait dengan penyimpangan/penyelewengan pengelolaan
keuangan LPD. Melalui putusan Pengadilan Negeri Denpasar nomor
9/PID.SUS/TPKR/2013/PN DPS, Gede Budiasa alias Jero Tapakan Gede Budiasa
selaku kepala LPD Desa Adat Banyualit dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi pada pengelolaan LPD Desa Adat
Banyualit.
Hingga saat ini berdasarkan data putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pada Pengadilan Negeri Denpasar tindak pidana korupsi pada LPD se-Bali telah
mencapai angka 20 perkara dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2021. Dari
perkara yang telah diputus tersebut timbul suatu permasalahan yang terkait dengan
keadilan bagi korban yaitu masyarakat adat selaku nasabah di LPD. Akibat dari
penyimpangan/penyelewengan pengelolaan LPD tentunya menimbulkan kerugian
pada LPD itu sendiri, oleh karena modal LPD bersumber dari APBD/Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Bali maka kerugian LPD itu dikategorikan
sebagai kerugian negara/daerah sebagaimana yang dimuat dalam pertimbangan
putusan nomor 9/PID.SUS/TPKR/2013/PN DPS, atas nama terdakwa Gede
Budiasa alias Jero Tapakan Gede Budiasa atau dalam pertimbangan putusan
perkara LPD lainnya.
Sebagai contoh dalam putusan perkara LPD Desa Adat Suwat. Pasca putusan
pengadilan yang menghukum tiga terpidana pengurus LPD Desa Adat Suwat di
Kecamatan Gianyar, Kejaksaan Negeri Gianyar melaksanakan eksekusi berupa
merampas barang bukti uang sejumlah Rp. 164.787.000 yang disita dari terdakwa Ni
Vonis terhadap tiga pengurus LPD Desa Adat Suwat tersebut belum memuaskan
masyarakat adat yang juga sebagai nasabah LPD. Puluhan nasabah pun
mempertanyakan dana nasabah yang dikorupsi oleh terdakwa dan yang telah disita
sebagai barang bukti agar dikembalikan kepada LPD Desa Adat Suwat. Sementara
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gianyar melaksanakan eksekusi sebagaimana amar
putusan yang memerintahkan agar barang bukti uang sejumlah tersebut diatas
dirampas dan disetor ke kas negara/kas daerah sebagai pembayaran pidana uang
pengganti. Dinamika terhadap putusan perkara LPD Desa Adat Suwat tersebut
menimbulkan suatu permasalahan bagi korban dalam hal ini nasabah LPD yang
uangnya tidak kunjung kembali.
Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka menimbulkan
beragam kejadian dan permasalahan dalam kehidupan masyarakat sehingga dalam
penelitian ini dapat dirangkum menjadi rumusan masalah yang dikemukakan
melalui pertanyaan yaitu bagaimana prosedur penyelesaian barang bukti sebagai
barang yang dirampas untuk negara cq Lembaga Perkreditan Desa selaku lembaga
milik desa adat?
2. Metode Penelitian
Penulisan jurnal penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian hukum
empiris. Dimana nantinya penulis akan menggunakan metode deskriftif analitis.
Metode deskriptif analitis adalah suatu metode yang fungsinya untuk
mendeskripsikan/menjelaskan atau memberikan gambaran terhadap objek yang
diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya
kemudian membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.
Adapun data yang akan digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan artikel yang berkaitan
dengan pemberitaan mengenai permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
upaya pemulihan kerugian negara melalui eksekusi barang rampasan/uang
pengganti pada perkara Tindak Pidana Korupsi penyelewengan dana Lembaga
Perkreditan Desa.
3.1. Tindak Pidana Korupsi pada Lembaga Perkreditan Desa Selaku Lembaga
Milik Desa Adat
3Susan Rose-Ackerman, 206, Korupsi Pemerintahan Sebab, Akibat dan Reformasi, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hal. 127.
Dari data tersebut disimpulkan bahwa LPD yang merupakan Lembaga milik
Desa Adat yang ada sejak tahun 1984 di Provinsi Bali dapat masuk kedalam
ranah tindak pidana korupsi apabila dalam pengelolaan keuangan LPD terdapat
perbuatan melanggar hukum atau kelalaian seseorang. Yang dapat dimintai
pertanggungjawaban adalah mereka yang melakukan perbuatan melanggar
hukum atau kelalaian.
3.2. Prosedur Penyelesaian Barang Bukti Sebagai Barang Yang Dirampas Untuk
Negara Cq Lembaga Perkreditan Desa Selaku Lembaga Milik Desa Adat
Dalam ketentuan Pasal 194 ayat (1) KUHAP disebutkan dalam hal putusan
pemidanaan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, pengadilan menetapkan
supaya barang bukti yang disita deserahkan kepada pihak yang paling
berhakmenerimanya kembali, yang Namanya tercantum dalam putusan
tersebut, kecuali jika menurut undang-undang, barang bukti itu harus dirampas
untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi. Dengan mengacu pada pasal tersebut terdapat tiga hal yang
menyangkut dengan barang bukti setelah putusan hakim diucapkan, yaitu :
1. Dikembalikan kepada yang berhak;
Hal ini biasanya menyangkut dengan barang bukti yang diperoleh dari
kejahatan. Yang mana untuk menentukan siapa yang paling berhak, harus
dilihat dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Misalnya dalam
perkara pencurian, jika korban menyatakan barang bukti adalah miliknya,
makai a adalah orang yang paling pantas menerima barang bukti tersebut.
2. Dirampas untuk negara;
Hal ini biasanya terjadi dalam perkara yang merugikan kepentingan negara,
misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang atau tindak
pidana umum yang barang buktinya (hasil kejahatan) bernilai ekonomis.
Maksud dari dirampas untuk negara ini adalah barang bukti tersebut
dilelang kemudian hasilnya diserahkan kepada negara.
3. Dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi ;
Hal ini umumnya terjadi pada barang bukti yang dipergunakan sebagai alat
untuk melakukan kejahatan, misalnya senjata tajam yang dipergunakan
untuk melukai korban atau barang-barang palsu yang dapat membahayakan
banyak orang.
Barang Rampasan adalah barang yang merupakan alat atau barang bukti dan
barang bukti tersebut dapat dilelang apabila telah diputuskan oleh Pengadilan
dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.4 Dalam Peraturan Jaksa Agung
nomor : Per-002/A/JA/05/2017 tentang Pelelangan dan penjualan Langsung
benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Benda Sita Eksekusi yang
dimaksud dengan barang rampasan adalah barang milik negara yang berasal
dari benda sitaan atau barang bukti yang ditetapkan dirampas untuk negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
atau barang lainnya yang ebrdasarkan penetapan hakim atau putusan
pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara.
Prosedur mengenai barang rampasan telah diatur jelas Dalam Peraturan Jaksa
Agung nomor : Per-002/A/JA/05/2017 tersebut yaitu dilakukan pelelangan,
ditetapkan status penggunaan atau dihibahkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pada umumnya penyelesaian barang rampasan yang
dilelang dapat dilakukan oleh Pusat pemulihan asset atau Kepala Kejaksaan
4 Kejaksaan Agung RI. Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan, Kejaksaan Agung RI.
Jakarta, 1988 hlm. 1206.
Dalam beberapa putusan perkara LPD, jaksa maupun hakim menuntut dan
memutus barang bukti yang bernilai ekonomis agar dirampas untuk negara
namun melalui LPD itu sendiri, atau dalam hal ini amarnya berbunyi barang
bukti dirampas untuk negara cq LPD. Hal ini tentunya dengan historis dan
filosofis keadilan hukum yang harus diperoleh oleh korban yaitu
masyarakat/nasabah LPD akibat dari penyimpangan/penyelewengan
pengelolaan keuangan LPD itu sendiri. Peradilan sebagai instrument
pelaksanaan hukum dalam hal terjadi pristiwa konkret hendaknya dapat bekerja
secara sinergitas dan sistematis, sehingga dapat mencapai tujuan Bersama, yaitu
memberikan kepastian hukum sekaligus menegakkan keadilan bagi masyarakat
pencari keadilan.5
Apabila menganalisa dari beberapa penyelesaian kasus LPD yang telah ada,
jaksa melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan tindak pidana korupsi
yang amarnya menyatakan bahwa terhadap barang bukti yang dirampas untuk
negara cq LPD adalah terjadi pada perkara LPD Desa Adat Kapal, yang mana
amar putusannya berbunyi terhadap barang bukti berupa tanah ayahan desa dan
rumah yang ada diatasnya beralamat di Lingkungan Tegal Saat Kapal, Desa
Kapal, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung yang dikuasai oleh I Made Ladra
dan Ni Made Lestari dirampas untuk diserahkan kepada Desa Adat Kapal guna
pengembalian uang pengganti kerugian LPD Desa Adat Kapal yang
menguntungkan terdakwa sebesar Rp. 1.796.916.100 (satu milyar tujuh ratus
Sembilan puluh enam juta Sembilan ratus enam belas ribu serratus rupiah)
Dari Analisa diatas maka dapat disimpulkan jika pelaksanaan eksekusi terhadap
putusan barang bukti yang dirampas untuk negara cq LPD baru pertama kali
dilaksanakan pada kasus LPD Desa Adat kapal. Jaksa melakukan eksekusi
dengan cara mengembalikan barang bukti berupa tanah ayahan desa dan rumah
yang ada diatasnya beralamat di Lingkungan Tegal Saat Kapal, Desa Kapal,
Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung yang dikuasai oleh I Made Ladra dan Ni
Made Lestari dirampas untuk diserahkan kepada Desa Adat Kapal guna
pengembalian uang pengganti kerugian LPD Desa Adat Kapal yang
menguntungkan terdakwa sebesar Rp. 1.796.916.100 (satu milyar tujuh ratus
Sembilan puluh enam juta Sembilan ratus enam belas ribu serratus rupiah)
dikembalikan kepada LPD Desa Adat Kapal. Dari hasil wawancara terhadap
Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri badung selaku jaksa eksekutor bahwa …….
Disamping itu belum ada ketentuan yang dengan tegas mengatur tata cara
eksekusi barang rampasan cq. Lembaga/BUMN/BUMD. Dalam Peraturan Jaksa
Agung nomor : Per-002/A/JA/05/2017 hanya mengatur mengenai benda sitaan
atau barang bukti yang putusannya dikembalikan kepada Kementerian,
Lembaga, BUMN, atau BUMD tanpa pernyataan dirampas untuk negara.
5
Barzah Latupono. Buku Ajar Hukum Islam, Edisi Revisi. Yogyakarta : deepublish. 2020. Hl 74.
4. Kesimpulan
5. Saran
Dari peristiwa yang telah terjadi yaitu pelaksanaan eksekusi terhadap putusan
perkara LPD Desa Adat Kapal, yang mana jaksa tidak memiliki pedoman dalam
pelaksanaan eksekusi tersebut, maka penulis menyarankan agar pihak kejaksaan
dapat membuat suatu kebijakan tentang pelaksanaan putusan yang amarnya
berbunyi barang bukti dirampas untuk negara cq LPD/ barang bukti yang dirampas
untuk negara cq. Lembaga/kementerian/BUMN/BUMD. Dengan adanya kebijakan
tersebut nantinya diharapkan agar pelaksanaan eksekusi tidak menimbulkan
permasalahan baru maupun perdebatan mengenai barang bukti dilelang kemudian
diserahkan kepada Lembaga/Kementerian/BUMN/BUMD atau cukup diserahkan
saja langsung kepada Lembaga/Kementerian/BUMN/BUMD.
Om Swastiasu,
Pertama-tama penulis panjatkan puja dan puji sukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas perkenannya penulis dapat menyelesaikan
jurnal ini.
Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu, berkondribusi dan
mendukung penulis dalam menyelesaikan jurnal penelitian ini. Terima kasih penulis
ucapkan kepada Dosen, orang tua, teman-teman kelas Pidana Magister ilmu hukum
Angkatan 2021 yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi kita smua, Om santi, santi, santi Om.
Buku
Barzah Latupono. Buku Ajar Hukum Islam, Edisi Revisi. Yogyakarta : deepublish. 2020.
Kejaksaan Agung RI. Himpunan Peraturan Tentang Pembinaan, Kejaksaan Agung RI.
Jakarta, 1988.
Sirtha, I. N. (1999). Strategi Pemberdayaan Desa Adat dengan Pembentukan Forum
Komunuikasi Antar Desa Adat. Kertha Patrika.
Susan Rose-Ackerman, 206, Korupsi Pemerintahan Sebab, Akibat dan Reformasi, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Nopirin, Ekonomi Moneter, Buku I, Edisi ke-4, BPFE, Yogyakarta, 2009.
Undang-Undangan/Peraturan :
Peraturan Jaksa Agung RI nomor : Per-002/A/JA/05/2017 tentang Pelelangan dan
penjualan Langsung benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Benda Sita
Eksekusi