Perbandingan HK Kontrak BK 20190823

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 213

PERBANDINGAN HUKUM KONTRAK

(Comparative Contract Law)

Oleh
Budiono Kusumohamidjojo

Universitas Katolik Parahyangan


Program Pascasarjana
Program Studi Magister Ilmu Hukum
2015-08-26/2017-07-31/2018-10-19/2019-09-11

1
PERBANDINGAN HUKUM KONTRAK
(Comparative Contract Law)

00. Pengantar

BAGIAN PERTAMA
Perbandingan Hukum Kontrak: Sejarah Dan Sistem
(Comparative Contract Law: History And System)

BAGIAN KEDUA
Perbandingan Asas-Asas Hukum Kontrak
(Principles of Contract Law Compared)

2
BAGIAN PERTAMA
Perbandingan Hukum Kontrak: Sejarah Dan Sistem
(Comparative Contract Law: History And System)
01. Pendahuluan: Pengertian dan Ruang Lingkup
Perbandingan Hukum Kontrak
02. Pengertian Kontrak
03. Perbandingan Sistem Hukum
03.1. Beberapa sistem hukum di dunia
03.2. Sistem dan Prinsip Hukum Romawi
03.3. Sistem dan Prinsip Hukum Anglo-Saxis
03.4. Sistem dan Prinsip Hukum Eropa Kontinental
03.5. Perbedaan Utama antara Common Law dan Civil Law
03.6. Code Napoléon
03.7. Pendekatan Timbal-balik
04. Sistem dan Prinsip Hukum Kontrak Indonesia
05. Sistem dan Prinsip Hukum Kontrak Common Law

3
BAGIAN KEDUA
Perbandingan Asas-Asas Hukum Kontrak – 1/4
(Principles Of Contract Law Compared)

06. Keabsahan dan Akibat Hukum

07. Kebatalan (Nullity) dan Berakhirnya (Discharge)


Kontrak

08. Resepsi Konsep-Konsep Common Law dalam Kontrak-


Kontrak Indonesia

09. Konvensi-Konvensi Internasional

10. Kepastian Hukum dan/atau Fairness dalam Kontrak

4
BAGIAN KEDUA
Perbandingan Asas-Asas Hukum Kontrak – 2/4
(Comparative Contract Law Principles)
06. Keabsahan dan Akibat Hukum
06.1. Kesamaan dan Perbedaan Sistemik
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak

07. Kebatalan (Nullity) dan Berakhirnya (Discharge)


Kontrak
07.1. Kebatalan (Nullity) Kontrak
07.2. Berakhirnya Kontrak (expiry/discharge of
contract)
07.3. Pengakhiran Kontrak (Termination of contract)

5
BAGIAN KEDUA
Perbandingan Asas-Asas Hukum Kontrak – 3/4
(Comparative Contract Law Principles)

08. Resepsi Konsep2 Common Law dalam Kontrak2


Indonesia
08.1. Damage
08.2 Ex aequo et bono versus in stricto sensu
08.3 Negligence (kelalaian) dan Misconduct (perbuatan
jahat, tidak pantas)
08.4 Penalty (hukuman) dan Fine (denda )
08.5 Ultra petita

6
BAGIAN KEDUA
Perbandingan Asas-Asas Hukum Kontrak – 4/4
(Principles Of Contract Law Compared)

09. Konvensi-Konvensi Internasional


09.1. The International Chamber of Commerce (ICC)
09.2. Incoterms
09.3. FIDIC
09.4 UNCITRAL
09.5 CISG
09.6 UNIDROIT
10. Kepastian Hukum dan/atau Fairness dalam Kontrak
10.1 Kepastian Hukum/Legal certainty
10.2 Keadilan, Fairness dan Acceptability

Literatur

7
COURSE

8
1. PENDAHULUAN: PENGERTIAN DAN RUANG
LINGKUP PERBANDINGAN HUKUM KONTRAK - 1/4
• Black’s Law Dictionary
“ Comparative Jurisprudence : The study of the principle of
legal science by the comparison of various systems of law.”
(Studi tentang prinsip-prinsip ilmu hukum melalui
pembandingan berbagai sistem hukum)
• Zweigert & Kötz: An Introduction to Comparative Law
“ Comparative law is the comparison of the different legal
systems of the world.”
(Perbandingan hukum adalah pembandingan berbagai sistem
hukum yang berbeda di dunia)

9
01. PENDAHULUAN: PENGERTIAN DAN RUANG
LINGKUP PERBANDINGAN HUKUM KONTRAK – 2/4

Tahun 1900 di Paris, Edouard Lambert dan Raymond


Saleilles menyelenggarakan International Congress for
Comparative Law untuk membentuk:
“a common law of mankind” (droit commun de
l’humanite).
A world law must be created – not today, perhaps not
even tommorow – but created it must be, and
comparative law must create it.

10
01. PENDAHULUAN: PENGERTIAN DAN RUANG
LINGKUP PERBANDINGAN HUKUM KONTRAK – 3/4

Manfaat dari studi perbandingan hukum:


a) Mengenal dan memahami berbagai sistem
hukum utama di dunia.
b) Mengenal dan memahami berbagai prinsip
atau lembaga hukum untuk mengambil manfaat
dari prinsip atau lembaga hukum tsb.
c) Mengenal dan memahami berbagai prinsip
atau lembaga hukum dalam kerangka antar-
sistem hukum sebagai basis hukum internasional.

11
01. PENDAHULUAN: PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
PERBANDINGAN HUKUM KONTRAK – 4/4

Dua urgensi utama perbandingan hukum


kontrak:
• pertama, pada akhirnya para pihak yang
bertransaksi harus menyepakati suatu
kontrak yang mau dan dapat mereka sepakati,
tetapi
• kedua: kontrak itu harus tidak melanggar
hukum di wilayah yurisdiksi mereka masing-
masing.
12
Pengertian “Perjanjian”:
▪ harmony or accordance in opinion or feeling;
a position or result of agreeing;
▪ a negotiated and typically legally binding
arrangement between parties as to a course of
action.
▪ “… peristiwa di mana seorang atau satu pihak
berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di
mana dua orang atau dua pihak itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.” (Pasal
1313 KUHPdt)

13
02. PENGERTIAN KONTRAK – 1/3

Kontrak, dari bahasa Inggris contract:


An agreement between two or more persons which
creates an obligation to do or not to do a particular
thing.... The writing which contains the agreement of
parties, with the terms and conditions, and which serves as
a proof of the obligation. (Black’ law dictionary, 6th edition).

Jadi ‘kontrak’ adalah:


suatu perjanjian (tertulis) di antara dua atau lebih orang
(pihak) yang menciptakan (hak dan) kewajiban untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. ...
Tulisan yang memuat kesepakatan para pihak, dengan
ketentuan2 dan syarat2, dan yang berfungsi sebagai bukti dari
kewajiban2 (dan hak2).
14
02. PENGERTIAN KONTRAK – 2/3

‘Perjanjian’ belum tentu adalah ‘kontrak’.


Kontrak adalah perwujudan tertulis dari
perjanjian
Perjanjian: salah satu dari dua dasar hukum
yang ada selain dari undang2 yang dapat
menimbulkan perikatan (KUH Pdt Pasal 1233).
(Bagaimana jika kontrak bertentangan dengan
undang2?)

15
02. PENGERTIAN KONTRAK – 3/3

16
16
03. PERBANDINGAN SISTEM HUKUM – 1/3

▪ Sejarah dunia mengenal sejumlah sistem hukum


yang berbeda satu dari yang lain;
▪ Sebelum arus globalisasi: masing2 sistem hukum
itu terselenggara seolah independen satu dari
yang lain.
▪ Abad ke-20: perniagaan antar-bangsa semakin
banyak melibatkan subjek hukum yang berasal
dari, dan tunduk kepada berbagai sistem hukum
yang berbeda.
▪ Karena itu: perbandingan sistem hukum menjadi
penting.
17
03. PERBANDINGAN SISTEM HUKUM – 2/3

Subjek hukum swasta dari sistem hukum yang berbeda dan


bertransaksi:
• bisa menyetujui sejumlah kesepakatan,
• harus tetap taat kepada sistem hukum masing2,
• harus boleh tunduk kepada hukum di yurisdiksi counterpart
(pihak seberang).
• Harus mentaati hukum di yurisdiksi counterpart.

Ada beberapa sistem hukum besar di dunia yang perlu kita


ketahui:
dalam kerangka hukum kontrak terutama sistem Common Law
dan sistem Civil Law banyak menjadi tumpuan dalam perumusan
kontrak2 antar-subjek hukum antar-yurisdiksi sejak medio abad
ke-20.
18
03. PERBANDINGAN SISTEM HUKUM – 3/3

• Studi perbandingan hukum menampilkan berbagai


kesamaan maupun perbedaan untuk memungkinkan
dirumuskannya common denominators yang dapat
memenuhi kebutuhan timbal-balik dari para subjek
hukum yang berasal dari sistem hukum yang berbeda.
• Kokkini-Iatridou misalnya menyatakan, bahwa
“No matter how sistematically it is carried out, research
cannot be described as being comparative if it does not give
an explanation of the similarities and differences.”

(Dimitra Kokkini-Iatridou, Some Methodological Aspects of Comparative Law. The third


part of a (pre-)paradigm, Netherlands International Law Review, Netherlands
International Law Review / Volume 33 / Issue 02 / August 1986, pp 143-194, Copyright
© T.M.C. Asser Press 1986)

19
03.1. Beberapa sistem hukum di dunia
Christian Hertel melaporkan hasil researchnya dan menyimpulkan adanya
tujuh rumpun hukum besar (Rechtskreis) di dunia sbb:
1 - Rumpun hukum Common Law;
2 - Rumpun hukum Romano-Germanik, yang kemudian dirumuskan
dalam Code Napoléon;
3 - Rumpun hukum German (di kalangan etnik yang berbahasa Jerman);
4 - Rumpun hukum negara2 Komunis (yang pernah ada maupun yang
masih ada);
5 - Rumpun hukum lainnya yang terpaut dengan rumpun Romano-
Germanik terutama di Asia Timur;
6 - Rumpun hukum Skandinavia/Nordik yang membaurkan rumpun
Common Law dan rumpun Romano-Germanik);
7 - Rumpun hukum Islam (yang mempengaruhi sistem hukum di sejumlah
negara).
http://www.notarius-
international.uinl.org/DataBase/2009/Notarius_2009_01_02_hertel_en.pdf (2014-07-04),

20
03.2. Sejarah dan Sistem Hukum Romawi – 1/3
Proses sejarah sosial
Struktur sosial: pertentangan kelas patricia dan kelas
plebeia → konsiliasi → ketertiban dan keadilan
Proses politik
Kerajaan (struktur feodal, ca.753 SM)→
Republik (res publica (kepentingan publik), ca.509 SM)→
Kekaisaran (Imperium Romanum, 49 SM, Julius Caesar )
Proses tata negara
Pembangunan institusional: 1) censor/precept (kaisar); 2)
konstitusi, 3) senat (legislatif), 4) magistrat (yudikatif), 5)
consul (exekutif),
Mekanisme: checks and balances
21
03.2. Sejarah dan Sistem Hukum Romawi – 2/3
Produk utama Hukum Romawi
1. Pembedaan substansi:
Dari Aristoteles: forma (bentuk) dan materia (isi) → fakta
hukum.
2. Dokumentasi/Codex, a.l.
Hukum ‘12 Tabel’ (Leges Duodecim Tabularum, ca. tahun
449 SM) sampai diberlakukannya Corpus Iuris
Civilis (tahun 529 TM)
3. Sistem dua kamar:
Dari Ulpianus: Hukum Publik (ius publicum) dan Hukum
Perdata (ius privatum)
4. Sistem dua subjek:
Dari Gaius alias Caius: orang (persona) dan benda (res)
5. Kontrak
Prinsip2 dan doktrin2.

22
03.2. Sejarah dan Sistem Hukum Romawi – 3/3
Struktur Corpus Iuris Civilis:
•Institutiones (buku pengantar untuk mempelajari Codex
dan Pandekta).
•Pandekta|Digesta (‘menyeluruh’, berisi uraian
sistematis yang menyeluruh dari hukum positif ketika
itu).
•Codex Iustinianus (tahun 533, kumpulan undang-
undang kekaisaran sejak abad ke-2 TM). → Code
Napoléon.
•Novellae (new laws): undang-undang kekaisaran yang
diberlakukan sejak tahun 534, mula-mula dalam bahasa
Latin, sejak abad ke-7 digantikan oleh bahasa Yunani).
23
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 1/9

Istilah ‘Civil Law‘ berasal dari bahasa Latin: ‘ius civile‘,


yaitu hukum yang berlaku bagi para cives (warga negara),
dan dibedakan dari:
** ius naturale (hukum alam dalam hukum Romawi),
** ius gentium, bukan ius inter gentes,
** ius poenale.
Ius civile berkembang terutama di Eropa daratan,
sehingga sering disebut “sistem Hukum Eropa
Kontinental”.

24
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 2/9
Ferdinand Stone (A Primer on Codification, 1955): empat
macam ciri dari Kodifikasi dalam Civil Law system:
1. ketentuan hukum tertulis: the law be written
essentially in the form of statutes rather than in the form
of court opinions (yurisprudensi);
2. sistematis: the provisions of the code be drafted and
arranged systematically;
3. seragam: the code be dealt with by courts and
subsequent legislatures in a unified fashion;
4. kompetensi professional: the code be constructed by
experts rather than lay persons.

25
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 3/9
Peradilan Prancis pada dasarnya tersusun dalam tiga tingkatan, mirip
dengan Indonesia.
Pengadilan Biasa:
kasus kriminal dan Pdt; perkara lalu-lintas; pengadilan sipil (tribunal de
grande instance) untuk kasus2 > EUR10.000.
Pengadilan Administratif (ordre administratif): mengawasi
pemerintah dan menangani keberatan2 terhadap pemerintah, mirip
dengan PTUN di Indonesia.
Pengadilan Banding (cour d'appel): mengadili banding dari
pengadilan2 yang lebih rendah;
Pengadilan Tingkat Terakhir (cour de cassation): mengadili banding
dari pengadilan-pengadilan yang lebih rendah dalam kerangka
penafsiran hukum.

26
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 4/9

27
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 5/9
Peradilan Prancis:
PENGADILAN BIASA:
pengadilan biasa (ordre judiciaire) yang mengadili kasus
kriminal dan Pdt:
pengadilan tingkat minor, terdiri dari:
+ pengadilan polisi (tribunal de police) untuk perkara
lalu-lintas dan laporan2 ringan, dan
+ pengadilan minor (tribunal d' instance) untuk kasus2
Pdt ringan.
Pengadilan tingkat mayor, terdiri dari :
+ pengadilan criminal (tribunal correctionnel), dan
+ pengadilan sipil (tribunal de grande instance) untuk
kasus2 > EUR10.000.

28
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 6/9

Struktur peradilan Jerman didasarkan pada Artikel 92


dari UUD: kekuasaan kehakiman berada pada para
hakim, dan bahwa peradilan diselenggarakan oleh:
+ Mahkamah Konstitusi Federal,
+ pengadilan-pengadilan federal, dan
+ pengadilan-pengadilan negara-bagian.
Jadi ada dua tingkatan saja:
+ Tingkat Federal
+ Tingkat Negara Bagian

29
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 7/9

30
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 8/9
Tingkat Negara Bagian:
+ Pengadilan negeri
 Amtsgericht (pengadilan negeri), untuk pidana < dua tahun, dan
 Schöffengericht untuk pidana antara 2 dan 4 tahun.
+ Pengadilan negara bagian:
 große Strafkammer (pengadilan pidana besar) atau
Staatsschutzkammer (pengadilan perlindungan negara) untuk pidana
> 4 tahun atau kejahatan politik ringan.
 Schöffengericht (untuk pidana yang mengakibatkan kematian) dan
Wirtschaftsstrafkammer (pengadilan kejahatan ekonomi).
 Strafsenat (Senat pidana) untuk pidana politik berat, misalnya
kasus terror Baader-Meinhoff.
+ kleine Landesstrafkammer (pengadilan pidana negara bagian):
pengadilan banding untuk memeriksa fakta dan hukum dari
Amtsgericht.

31
03.3. Sejarah dan Sistem Civil Law – 9/9

Tingkat Federal:
+ Oberlandesstrafsenat: pengadilan banding untuk kekeliruan
hukum dalam keputusan Amtsgericht dan kleine Strafkammer.

+ Mahkamah Agung (Bundesgerichtshof): pengadilan kasasi


untuk kekeliruan hukum dalam keputusan:

= Landgericht (pengadilan negeri negara bagian); serta

= Oberlandesgericht (pengadilan banding negara bagian).

32
03.4. Code Napoléon 1/2

Sistem kodifikasi yang diperintahkan oleh Napoléon


Bonaparte setelah menjadi Kaisar Napoléon I dikenal
sebagai Code Napoléon - sebetulnya bernama resmi Code
civil des Français - diselesaikan pada tahun 1804.

Prinsip:
+ demokratis dan anti absolutisme feodal;
+ melarang diskriminasi manusia karena kelahiran;
+ membenarkan kebebasan beragama;
+ res publica (para pejabat pemerintah harus orang-
orang yang cakap).

33
03.4. Code Napoléon 2/2
Code Napoléon
Struktur tiga bagian: hukum tentang orang, hukum tentang
benda, dan hukum perniagaan;
•État de droit (doktrin negara hukum/Rechsstaat);
•melarang undang2 ex post facto (Nulla poena sine lege);
•melarang hakim untuk menolak mengadili suatu kasus atas dasar
tidak adanya hukum (non-refusal);
•mewajibkan hakim untuk menafsirkan undang2; (apa
akibatnya?)
•hakim dilarang untuk membuat keputusan mengenai kasus yang
melibatkan kuasa legislatif (doktrin Trias Politika);
•kontra stare decisis.
•mengukuhkan supremasi laki2 terhadap perempuan (sekarang
sudah dihapuskan, termasuk juga di Indonesia);
•menghapuskan perceraian kondisional persetujuan timbal-balik
pada tahun 1804 berkat Revolusi Prancis tahun 1789.
34
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law – 1/8
• Istilah ‘Common Law’ berasal dari bahasa Prancis
‘comune-ley’ (dari bahasa Latin: communis lex) yang
merujuk pada adat kebiasaan (custom) di Inggris yang
tak tertulis, dan mendapatkan kekuatan hukum
melalui keputusan2 hakim.

• Kebiasaan (custom) tidak otomatis menjadi common


law.

• Custom menjadi hukum hanya melalui keputusan


pengadilan.

35
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law – 2/8
Common Law dari istilah Anglo-Norman ‘commune ley’, adalah
sistem yang dibangun mula-mula dari case law yang berbeda
dari Civil Law atau hukum yang dikodifikasi. Istilah Common
Law sendiri sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis,
kendati asal-mula istilah ini adalah istilah bahasa Prancis-
Normandia ‘comune ley’ dan berarti ‘Common Law’.
(La Common Law («droit commun»), de l'anglo-normand «commune ley», est un
système bâti essentiellement sur le droit jurisprudentiel par opposition au droit civiliste
ou codifié. L'expression Common Law est difficilement traduisible en français, bien que
l'origine de ce mot provienne d'une expression franco-normande «commune ley»
signifiant «loi commune».)

Kawasan Anglo-Normandia adalah suatu wilayah pantai barat laut Prancis


yang berhadapan dengan sisi selatan kepulauan Inggris.

36
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law – 3/8

Pada tahun 1154, Raja Henry II (1133–1189) mengangkat


dan melembagakan kebiasaan2 lokal (custom) menjadi
kaidah hukum kerajaan menjadi Common Law sebagai
sistem hukum integral dan dengan demikian mengakhiri
perbedaan2 lokal dan sekaligus mengurangi ketidak-pastian
hukum.

Dalam sistem Common Law hakim ditempatkan dalam posisi


untuk merumuskan hukum dan juga menerapkan hukum.

Praktik itulah yang menjadi cikal bakal dari doktrin stare


decisis yang mashur itu.

37
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law – 4/8

Sistem Common Law memberi arti penting kepada preseden


dan bersandar pada pemahaman, bahwa tidaklah adil untuk
memperlakukan kasus2 yang faktanya mirip secara
berbeda2: “treat similar cases similarly.” Keseluruhan
preseden itu membangun Common Law dan mengikat bagi
proses pembuatan keputusan2 pengadilan selanjutnya
(doktrin stare decisis).

Jika pengadilan memandang bahwa suatu kasus merupakan


"a matter of first impression”, para hakim berwenang dan
berkewajiban untuk menciptakan hukum dengan
mendirikan preseden baru yang juga mengikat bagi kasus2
serupa di masa depan.

38
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law – 5/8
• Equity Law (dikembangkan dua atau tiga abad setelah
lahirnya sistem Common Law) sebagai alternatif yang
‘lebih lunak’ dalam kasus2 tertentu ketimbang Common
Law yang lebih ketat untuk mendatangkan fairness.
• Equity Law berfungsi menyelesaikan perselisihan2
mengenai ganti rugi yang tidak sepadan sebagai upaya
pemulihan dan untuk mengantarkan fairness ke dalam
sistem Common Law.
• Lambat laun raja malahan merujuk kasus2 demikian
kepada perdana menteri (Chancellor) dan menjadi cikal
bakal dari ‘Court of Chancery’ yang berwenang
menjatuhkan keputusan “at equity.”
39
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law: UK – 6/8

40
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law: UK – 7/8

41
03.5. Sejarah dan Sistem Common Law: USA – 8/8

42
03.5. Perbedaan Utama antara Common Law dan Civil Law

1. Pertama: sumbernya (keputusan pengadilan vs. legislatif).


2. Kedua: strukturnya (equity vs. statuta).
3. Ketiga: sistematiknya (compendium vs. codex).
4. Keempat: sistem adversarial (perlawanan) vs. sistem
inquisitorial (interogasi).
5. Kelima: stare decisis vs. legal opinions.

43
03.7. Pendekatan Timbal-balik

Baik sistem Common Law maupun sistem Civil Law


mempunyai kelebihannya masing2:

+ kelebihan Common Law: menggunakan keputusan


hakim (yurisprudensi/case law) sebagai sumber hukum,
karena memang tidak selalu terdapat hukum positif
yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara
tertentu.

+ kelebihan Civil Law: bagaimanapun juga kodifikasi


memberikan tuntunan normatif yang bisa diandalkan
oleh siapa saja dan kapan saja.

44
04. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK INDONESIA – 1/5

1) Tahun 2605 tarikh Jepang (tahun 20 Showa), atau tahun 1945 tarikh Masehi.

45
04. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK INDONESIA – 2/5
Akibatnya, segala kaidah hukum positif Nederlands Indie berlaku
lanjut dalam wilayah Republik Indonesia, selama tidak dihapuskan
atau diganti.
Khusus di bidang Hukum Kontrak, lanjutlah berlakunya Buku III
dari KUHPdt, terutama Pasal 1320 dan Pasal 1338.
•Pasal 1320 KUHPdt menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian2
harus dipenuhi empat syarat (Tot de bestaanbaarheid der
overeenkomsten worden vier voorwaarden vereischt):
1) persetujuan (toestemming) dari pihak2 yang mengikatkan
dirinya (de toestemming van degenen die zich verbinden);
2) kecakapan (bekwaamheid) dari pihak2 untuk membuat suatu
perikatan;
3) suatu hal tertentu (bepaald onderwerp);
4) suatu causa yang dibolehkan (geoorloofde oorzaak).
46
04. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK INDONESIA – 3/5

ad.1: Kesepakatan (overeenkomst) dari pihak2 menurut


Pasal 1321 KUH Pdt tidak boleh mengandung:
a) Kekhilafan (Pasal 1322 KUH Pdt);
b) Paksaan (Pasal 1323 - 1327 KUH Pdt);
c) Penipuan (Pasal 1328 KUH Pdt).

ad.2 : Kecakapan (bekwaamheid): menurut Pasal 1329 KUH


Pdt setiap orang adalah cakap membuat perikatan, kecuali ia
dinyatakan tidak cakap oleh Undang2, yaitu:
a) orang belum dewasa;
b) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c) wanita bersuami (ditiadakan oleh SEMA No 3/1963).

47
04. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK INDONESIA – 4/5

ad.3: Suatu hal tertentu (bepaald onderwerp, Pasal 1332-


1334 KUH Pdt).
a) Pasal 1332 KUH Pdt: hanya barang2 yang dapat
diperdagangkan saja yang yang dapat menjadi pokok
perjanjian.
b) Pasal 1334 KUH Pdt: barang2 yang akan ada di kemudian
hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
ad.4 : Suatu causa yang dibolehkan (geoorloofde oorzaak,
Pasal 1335 - 1337 KUH Pdt).
Pasal 1337 KUH Pdt: suatu sebab adalah tidak dibolehkan
atau terlarang apabila:
a) dilarang oleh peraturan perundang-undangan;
b) bertentangan dengan kesusilaan;
c) bertentangan dengan ketertiban umum.
48
04. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK INDONESIA – 5/5

Ketentuan hukum manakah yang menjadi dasar bagi prinsip


‘kebebasan berkontrak’ dalam lingkup hukum Pdt Indonesia?

Mengapa demikian?

49
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 1/9

Dalam Common Law: A contract is “a legally binding


agreement”.
Namun, agar sesuatu dapat menjadi kontrak yang mengikat
secara hukum, ada dua kelompok syarat yang harus
dipenuhi:

a) Adanya ‘offer’ (tawaran) dan ‘acceptance’


(penerimaan/setuju).
b) Dipenuhinya lima kondisi dari suatu kontrak
(Contractual objective conditions).

50
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 2/9

Offer dan Acceptance


Suatu Offer
Suatu offer harus jelas, yang tidak sama dengan invitation to treat
(undangan untuk menangani) atau sering disebut juga bid invitation
(undangan untuk menawar) yang tidak perlu terinci.

+ Suatu offer dijawab dengan acceptance atau non-acceptance. Jika


suatu offer dijawab dengan non-acceptance, maka tidak ada
kelanjutan transaksi.

+ Sedangkan suatu invitation to treat atau invitation to bid dijawab


dengan suatu ‘bidding’ (penawaran), offeror (pembuka tawaran)
harus menyatakan acceptance atau non-acceptance terhadap bidding
oleh bidder tersebut.

51
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 3/9
•Acceptance adalah suatu pernyataan setuju untuk menerima
tawaran, dan bukan sekadar ‘penerimaan‘.
•Ada perbedaan besar antara ‘menerima’ (to receive) kiriman suatu
rancangan kontrak dengan ‘setuju untuk menerima’ (to accept)
suatu kontrak beserta ketentuan2nya.
•Penerima tawaran harus mengetahui isi tawaran yang diajukan
kepadanya ketika menerima tawaran tersebut.
•Pernyataan acceptance mengimplikasikan bahwa acceptor
memahami apa yang ditawarkan dan berniat menerimanya.
•Setelah menandatangani suatu kontrak, acceptor tidak bisa
menyatakan bahwa dia tidak memahami betul apa yang menjadi isi
dari offer yang di-aksep-nya.

52
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 4/9
Five contractual objective conditions:
1.Pertimbangan (consideration) yang menjelaskan mengapa
para pihak hendak berkontrak (tidak ada kontrak yang jatuh dari
langit) (⇒ Whereas Clauses);
2.Maksud (intention) untuk mengadakan kontrak (⇒ ‘Article 1’);
3.Kemampuan/kapasitas (capacity) para pihak untuk
berkontrak (⇒ representations (& warranties));
4.Bentuk tertentu (form/formalities), misalnya tertulis, otentik,
dsb.;
5. Keabsahan (legality): para pihak tidak dapat menyepakati
sesuatu yang tidak sah atau melanggar hukum positif.

53
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 5/9
(i) Consideration: ⇒ whereas clauses): Hanya janji yang didukung oleh legal
consideration merupakan suatu janji yang mengikat secara hukum: Suatu
kontrak logisnya datang dari pertimbangan2 para pihak. Terdapat tiga
ketentuan penting yang mengatur consideration:

•a) Adequacy of consideration yang tidak harus adequate atau


seimbang, tetapi harus nyata/real. Di sini berlaku maxim caveat
emptor (Lat: Let the buyer beware).

•b) Consideration must move from the promise. Penggugat harus


telah memenuhi janjinya dalam consideration, sebelum menggugat
bahwa pihak lain telah ingkar janji.

•c) Consideration must not be 'past’. Consideration harus berupa


prestasi yang masih sedang dipenuhi atau yang akan dipenuhi, dan
tidak boleh merupakan prestasi yang sudah berlalu.
54
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 6/9

•(ii) Intention: ⇒ ‘Article 1’ untuk berkontrak: intensi/maksud


adalah suatu kesadaran untuk mencapai suatu tujuan di masa
yang akan datang.

Maksud para pihak (harus) bersifat compatible: Contoh:

•+ Pemilik bermaksud memberikan sewa atas rumahnya, dan


penyewa bermaksud menerima sewa atas rumah itu.

•+ Pemerintah Indonesia bermaksud untuk memberikan lisensi


kepada perusahaan minyak/gas untuk mengeksploitasi
lapangan di Natuna, dan beberapa perusahaan minyak/gas
bermaksud menanggapi maksud pemerintah Indonesia itu.

55
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 7/9

•(iii) Kemampuan/kapasitas (capacity: ⇒ representations (&


warranties)) dari para pihak untuk berkontrak:
Umumnya siapa saja dapat menjadi pihak pada kontrak (any
legal ‘person’ may be a party to a contract), meski ada sejumlah
pengecualian terhadap keterbukaan itu:

•Anak di bawah usia dewasa (minors), yaitu 18 tahun, kecuali


jika diwakili oleh walinya (trustee).

•Orang-orang dengan akal kurang sehat (unsound mind) dan


orang-orang mabuk.

56
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 8/9
(iv) Bentuk tertentu (formalities)
Pada umumnya tidak disyaratkan formalitas tertentu dalam
pembuatan kontrak, dengan pengecualian:

+ Kontrak yang berlaku hanya jika dibuat dalam bentuk yang


khusus (Contract which are valid only when made in a special
form), yaitu perjanjian2 yang dinyatakan sah apabila dibuat
dalam bentuk khusus, misalnya: bentuk akte (deed) atau akad
(covenant) atau kontrak di bawah cap (contract under
(corporate) seal).

+ Kontrak yang harus bisa dibuktikan dalam bentuk khusus


(Contracts required to be evidenced in a special form ,
misalnya: purchase order (‘PO’)).

57
05. SISTEM DAN PRINSIP HUKUM KONTRAK COMMON LAW – 9/9
(v) Keabsahan (Legality)
Sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum
positif (illegal). Dalam sistem Common Law, perjanjian yang
dikualifikasi sebagai illegal antara lain adalah perjanjian:
a) untuk melakukan suatu tindak pidana;
b) yang isinya bertentangan dengan public policy/interest;
c) yang bertentangan dengan kesusilaan;
d) Melanggar hak orang lain.
Meskipun demikian, illegality dalam Common Law merupakan
pengertian yang abstrak dan tidak terukur. Sekalipun suatu
kontrak telah memenuhi keabsahan, dia dapat saja
menghadapi berbagai masalah.
Misalnya?
58
BAGIAN KEDUA
PERBANDINGAN ASAS-ASAS HUKUM KONTRAK
(PRINCIPLES OF CONTRACT LAW COMPARED)

06. KEABSAHAN DAN AKIBAT HUKUM

06.1. Kesamaan dan Perbedaan Sistemik


06.2. Dasar Keabsahan Kontrak
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji
06.6. Hukum yang Berlaku

59
06.1. Kesamaan dan Perbedaan Sistemik – 1/4

Civil Law

60
06.1. Kesamaan dan Perbedaan Sistemik – 2/4

Common Law

61
06.1. Kesamaan dan Perbedaan Sistemik – 3/4
Prinsip ‘perwakilan sukarela’, disebut pula sebagai
‘zaakwaarneming’ (Ned.) atau ‘negotiorum gestio’ (management
of business) is a form of spontaneous voluntary agency in which
somebody (the gestor), acts on behalf and for the benefit of a
principal (dominus negotii), but without the latter's prior
consent) meliputi:
+ Perbuatan sukarela tanpa perintah, untuk mewakili pihak lain,
dengan/tanpa pengetahuan pihak lain tersebut, yang berakibat
timbulnya perikatan dengan pihak lain tersebut, sampai pihak lain
tersebut sanggup melakukannya sendiri (pengurusan kepentingan
orang lain tanpa perintah untuk itu, Pasal 1354 KUH Pdt).
+ Tiap pemenuhan prestasi karena memperkirakan adanya
kewajiban, padahal pemenuhan prestasi tersebut tidak diwajibkan,
berhak untuk menuntut kembali prestasi tersebut (Pasal 1359
KUH Pdt).
62
06.1. Kesamaan dan Perbedaan Sistemik – 4/4
Prinsip ‘quasi contract’
• Quasi contract: An obligation which law creates in absence
of agreement; it is invoked by courts where there is unjust
enrichment (Black's Law Dictionary). Atau: implied-in-law
contract or constructive contract, a fictional contract created
by courts for equitable, not contractual, purposes.
• Doctrine of unjust enrichment: General principle that one
person should not be permitted unjustly to enrich himself at
the expense of another, … (Black's Law Dictionary).
• Tuntutan ganti rugi dalam quasi contract disebut quantum
meruit (Lat.: as much as he deserves). Quasi contract adalah
identik dengan Pasal 1359 KUH Pdt, tetapi tidak sama
dengan negotiorum gestio (Pasal 1354 KUH Pdt).
63
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 1/14
a. Prinsip Kebebasan Berkontrak
(i) Latar Belakang:
(a) “The first codification of private law was made in 1804 by
the Code Civil (Code Napoléon). The Code Civil contained
the principles of freedom of contract, recognition of
property, and other principles affirmed by the French
revolution, but was at the same time largely a
codification of the Roman law that had been applied in
France for centuries.”

64
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 2/14

a. Prinsip Kebebasan Berkontrak


(i) Latar Belakang:
(b) Jadi prinsip kebebasan berkontrak sebenarnya
sudah diakui dalam Hukum Romawi, meskipun
prinsip itu naik ke permukaan wacana kontrak
dalam abad ke-19 yang menandai bangkitnya
liberalisme: “The freedom to contract is the
underpinning of laissez-faire economics and is a
cornerstone of free-market libertarianism. Through
freedom of contract, individuals entail a general
freedom to choose with whom to contract, whether to
contract or not, and on which terms to contract.”

65
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 3/14

a. Prinsip Kebebasan Berkontrak


(i) Latar Belakang:
(c) Perkembangan dalam Common Law ternyata menanggapi
prinsip itu tidak seliberal dalam sistem Civil Law.
Lord Denning tidak percaya pada doktrin kebebasan
berkontrak:
“No freedom for the little man who took the ticket or order
form or invoice. The big concern said, "Take it or leave it."
The little man had no option but to take it. The big
concern could and did exempt itself from liability in its
own interest without regard to the little man.”

Bagaimana keadaan di Indonesia?


66
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 4/14
a. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Civil Law
Pasal 1320 KUH Pdt a.l. menyatakan: Supaya terjadi perjanjian yang
sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. Persetujuan mereka yang mengikatkan dirinya;
Ini mengimplikasikan asas ‘kebebasan berkontrak’ (freedom of
contract), karena orang adalah bebas/tidak dapat dipaksa untuk setuju
atau tidak setuju terhadap suatu hal tertentu.

Prinsip Kebebasan untuk Berkontrak itu mencakup:


1) Kebebasan untuk menentukan kehendak untuk membuat atau
tidak membuat perjanjian;
2) Kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan dibuat suatu
perjanjian;
3) Kebebasan untuk menetapkan isi perjanjian;
4) Kebebasan untuk menetapkan bentuk perjanjian;
5) Kebebasan untuk menetapkan cara pembuatan perjanjian.
67
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 5/14
a. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Civil Law
•Banyak sekali literatur Indonesia yang merujuk kepada Pasal
1338 kalimat pertama, yang menyatakan bahwa “Semua
perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”
•Padahal ketentuan Pasal 1338 itu mengatur mengenai
‘Akibat Perjanjian’ dan bukan bagaimana suatu perjanjian
dapat terjadi (Judul Bagian 3: Van het gevolg der overeenkomsten).
* Bukankah suatu perjanjian hanya dapat terjadi jika orang
menggunakan kebebasannya untuk memberikan suatu
persetujuan (toestemming), persis seperti disyaratkan oleh
Pasal 1320 KUH Pdt?
68
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 6/14
a. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Common Law
Dalam lingkup Common Law, dasar dari prinsip ‘kebebasan
berkontrak’ terletak dalam doktrin ‘laissez-faire’ (biar jalan
sendiri, bebas dari pemerintah. Dari Menteri Keuangan Prancis Jean-
Baptiste Colbert, 1619–1683). Kata Patrick S. Atiyah (Inggris,
1931-):
“At least it may be said that the idea of freedom of contract
embraced two closely connected, but none the less distinct,
concepts.
+ In the first place, it emphasized that contracts were based on
mutual agreement, while in
+ the second place, it stressed that the creation of a contract was
the result of a free choice unhampered by external control such
as government or legislative interference.” (corporate leverage?)
69
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak - 7/14
a. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Common Law
Atiyah menandai:
- the age of freedom of contract: 1770 -1870;
- the gradual decline in belief in freedom of contract (1870
- 1980), khususnya di Inggris.
Penurunan kepercayaan terhadap asas kebebasan
berkontrak terutama disebabkan oleh:
- penggunaan perjanjian standard oleh perusahaan2
besar (take it or leave it);
- menurunnya free choice sebagai dasar perikatan
(hanya yang kuat yang bebas: “might makes right”).
Apa konsekuensinya bagi rakyat banyak?
Adakah peranan pemerintah?

70
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 8/14
b. Prinsip Konsensualisme
(Principle of Consensus, Consensus Theory)

“Meeting of the minds (also referred to as mutual


agreement, mutual assent or ’consensus ad idem’) is a
phrase in contract law used to describe the intentions of the
parties forming the contract. In particular it refers to the
situation where there is a common understanding in the
formation of the contract. This condition or element is often
considered a necessary requirement to the formation of
a contract.”
Bagaimana caranya menolong seorang “innocent
signatory”?
71
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 9/14
b. Prinsip Konsensualisme
(Principle of Consensus, Consensus Theory)
Civil Law
Asas Konsensualisme (kesepakatan, consensus) tercantum dalam
Pasal 1320 KUH Pdt yang menekankan persetujuan dari para
pihak untuk membuat perjanjian:
apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh
pihak lainnya.
Konsensus tidak ada bila terdapat 3 (tiga) halangan yang
ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Pdt, yaitu
+ Paksaan (Ned: dwang, Eng: coercion);
+ Kekhilafan (Ned: dwaling, Eng: oversight);
+ Penipuan (Ned: bedrog, Eng: fraud).
Kemungkinan denial dan jalan keluar.

72
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 10/14
b. Prinsip Konsensualisme
(Principle of Consensus, Consensus Theory)
Common Law
Di Amerika, Bagian 23 dari Restatement Second
menyatakan:

It is essential to a bargain that each party manifest assent


with reference to the manifestation of the other. (Hal
penting dalam suatu transaksi adalah bahwa masing2
pihak menyatakan persetujuan sesuai dengan pernyataan
pihak lawannya).
Misalnya ketentuan: A bermaksud untuk menjual
pabriknya dan B bermaksud untuk membeli pabrik
tersebut.
73
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 11/14
b. Prinsip Konsensualisme
(Principle of Consensus, Consensus Theory)
Common Law
Consensus dianggap tidak terjadi apabila terdapat:

+ Mistake (kekhilafan)
+ Duress (paksaan)
+ Misrepresentation (kebohongan, pemerdayaan,
penyesatan, penipuan)

74
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 12/14
b. Prinsip Konsensualisme
(Principle of Consensus, Consensus Theory)
Common Law
(a) Mistake (kekhilafan)
Terdapat 3 macam mistake:
+ Common mistake: kekhilafan dari kedua belah pihak: A
dan B melakukan jual beli barang yang A dan B tidak tahu
bahwa barang tersebut telah tiada.
+ Mutual mistake: kekhilafan yang berlainan dari kedua
belah pihak: dalam transaksi pengiriman barang C
mengirim dengan KA Parahyangan pukul 06.30,
sedangkan D mengira KA Parahyangan 16.30.
+ Unilateral mistake: kekhilafan yang terjadi pada salah
satu pihak saja.
75
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 13/14
b. Prinsip Konsensualisme
(Principle of Consensus, Consensus Theory)
Common Law
(b) Duress (paksaan)
Paksaan harus memenuhi dua unsur:
+ paksaan melawan kemauan dari korban; dan
+ paksaan tersebut melawan hukum.
Disebutkan paksaan melawan 'kemauan', karena tidak
mencakup paksaan dalam pengertian fisik.
Paksaan fisik menyebabkan perjanjian batal demi hukum
dan tidak perlu dimintakan pembatalannya.
Dalam Restatement Second, Contracts section 174
dinyatakan bahwa: A contract entered into under duress by
physical compulsion is void. (bukan voidable)
76
06.2. Dasar Keabsahan Kontrak – 14/14
b. Prinsip Konsensualisme
(Principle of Consensus, Consensus Theory)
Common Law
(c) Misrepresentation: kebohongan, pemerdayaan, penipuan
Dalam Common Law, misrepresentation sering disebut an
untrue statement of fact.
Black's Law Dictionary: “any manifestation by words or other
conduct by one person to another that under the circumstances
amounts to an ascertain not in accordance with the facts.”
Ada dua macam misrepresentation:
+ Innocent misrepresentation, yaitu suatu misrepresentation
yang oleh pelakunya dianggap sebagai perilaku yang benar ;
+ Fraudulent misrepresentation, yaitu misrepresentation
yang oleh pelakunya memang diketahuinya sebagai perilaku
yang tidak benar.
77
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 1/17
a. Doktrin Pacta Sunt Servanda – a/d

▪Lain dari yang biasanya dinyatakan, doktrin “perjanjian


harus ditaati” berasal dari Hukum Romawi,
▪ tetapi istilah “pacta sunt servanda” sendiri berasal dari
Paus Gregorius IX (Italia, 1145-1241) dalam diktumnya ‘Liber
Extra’ (1234).
▪(perjanjian harus dilayani/dijalankan. Latin ‘servo’: mentaati,
melindungi, melayani).

78
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 2/17
a. Doktrin Pacta Sunt Servanda – b/d
1. Hukum Romawi membedakan contractus dari pactum.
2. Contractus: perjanjian yang dibuat dalam bentuk resmi
dan dapat digugat,
3. Pactum: perjanjian yang dapat digugat hanya
berdasarkan asas bona-fides (kebaikan & keyakinan, apa
akibatnya?).
4. Kita ketahui: itikad buruk harus dibuktikan oleh
penggugat.
5. Gregorius IX kemudian menetapkan: juga pactum yang
tidak resmi (pacta nuda) dapat digugat, karena itu
jadinya “pacta sunt servanda”.

79
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 3/16
a. Doktrin Pacta Sunt Servanda - c/d
Civil Law

➢Dalam sistem Civil Law, suatu kontrak mengikat sebagai


Undang2 (pacta sunt servanda) karena dinyatakan demikian
oleh undang2.

➢Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat kedua-


belah pihak seperti mengikatnya sebuah undang2 (Pasal
1338 KUH Pdt).

➢Pelanggaran kontrak ≠ PMH?

80
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 4/17
a. Doktrin Pacta Sunt Servanda – d/d
Common Law
Berbeda dengan doktrin bahwa kontrak itu 'mengikat
sebagai Undang2' dalam Civil Law, Common Law menyatakan
bahwa:
➢ perjanjian 'must be observed' ;
➢ perjanjian 'shall be held sacred' ;

Di Amerika, pacta sunt servanda diartikan: absent


extraordinary circumstances, the parties must perform as
agreed even if performance becomes uncomfortable or
inconvenient.

81
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 5/17
b. Kontrak Sebagai Kaidah Hukum Privat
(Contract as Binding Law Provision) – a/c
1)Dalam sistem Civil Law maupun Common Law pada
prinsipnya berlaku doktrin yang menyatakan suatu kontrak
itu berlaku sebagai kaidah hukum bagi para
pembuatnya.
2)Perbedaan di antara keduanya terletak dalam
rasionalisasinya.
3)Dalam Civil Law, doktrin itu dikukuhkan sebagai
undang2 (codified, codex), sedangkan
4)dalam Common Law kaidah itu dilandaskan pada
common sense: kontrak yang tidak ditaati memang tidak
ada gunanya.
82
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 6/17
b. Kontrak Sebagai Kaidah Hukum Privat
(Contract as Binding Law Provision) – b/c
Civil Law
1)Pasal 1338 KUH Pdt: perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang2 bagi yang membuatnya.
2)Akibatnya: hukum positif menentukan bahwa perjanjian
mengikat sebagai hukum terhadap para pihak yang
membuatnya.
3)Selain dari itu, Pasal 1339 KUH Pdt menegaskan:
“Perjanjian2 tidak hanya mengikat untuk hal2 yang secara
tegas dinyatakan dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang2.”
4)Apa akibatnya?
83
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 7/17
b. Kontrak Sebagai Kaidah Hukum Privat
(Contract as Binding Law Provision) – c/c
Common Law
▪Dalam Common Law, contract adalah: “a legally binding
agreement made between two or more persons, by which rights are
acquired by one or more to acts or forbearances on the part of the
other or others.”
▪Jadi: isi perjanjian mengikat secara hukum (legally binding)
terhadap para pihak yang membuatnya untuk menaati:
a) isi perjanjian;
b) kepatutan (fair dealings);
c) kebiasaan (customs);
d) perundang-undangan (statutes),
▪dengan syarat, bahwa kontrak itu tidak bertentangan dengan
kepatutan dan kebiasaan yang meliputi: moralitas, hukum positif,
kehormatan, keamanan negara, dsb.
84
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 8/17
c. Prinsip Eksklusivitas Kontrak (Privity Of Contract) – a/d

▪Doktrin privity of contract menyatakan: Suatu perjanjian


adalah hubungan private antara para pihak yang membuatnya,
dan tidak ada pihak lain dapat memperoleh hak2 atau
menimbulkan tanggungjawab di bawahnya.
▪Doktrin privity of contract sangat mendasar dalam hukum
kontrak, dalam sistem Civil Law maupun dalam sistem
Common Law, kendati keduanya berbeda dalam menyikapi
doktrin itu.
▪Hukum Romawi justru mengenal kebalikan dari doktrin
privity of contract, yaitu doktrin “ius quaesitum tertio”:
mengakui pihak yang berhak menuntut manfaat dari suatu
kontrak, kendati bukan merupakan pihak padanya.

85
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 9/17
c. Prinsip Eksklusivitas Kontrak (Privity Of Contract) – b/d

Civil Law
▪KUH Pdt mengakui doktrin privity of contract → Pasal
1315: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”

▪Dan Pasal 1340 KUH Pdt →: “Perjanjian hanya berlaku bagi


para pihak yang membuatnya.”

▪ Dengan kekecualian…

86
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 10/17
c. Prinsip Eksklusivitas Kontrak (Privity Of Contract) – c/d
▪Dengan kekecualian Pasal 1316 KUH Pdt: “Meskipun demikian
… diperbolehkan untuk … menjamin … pihak ketiga, dengan
menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak
mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap …
penanggung … pihak ketiga itu (atau yang telah berjanji, untuk
menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak
ini menolak memenuhi perikatannya).”
▪Apalagi Pasal 1317 jelas menganut doktrin ius quaesitum
tertio: “Dapat pula … diperjanjikan … untuk … orang ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu.
Siapa pun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh
menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan
mempergunakan syarat itu.”
87
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 11/17
c. Prinsip Eksklusivitas Kontrak (Privity Of Contract) – d/d

Common Law
▪Sistem Common Law tidak mengakui doktrin ius
quaesitum tertio dan justru menekankan privity of
contract: suatu kontrak tidak dapat melimpahkan hak atau
kewajiban kepada pihak yang bukan pihak pada kontrak. (apa
akibatnya?)
▪Ruang lingkup utama dari doktrin privity of contract:
a) tiada seorangpun dapat memperoleh hak2 dari suatu
perjanjian jika ia bukan pihak dalam perjanjian itu;
b) tiada seorangpun dapat dibebani tanggungjawab dalam suatu
perjanjian jika ia bukan pihak dalam perjanjian itu.

88
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 12/17
d. Doktrin Ultra vires – a/f

▪Pengertian ‘ultra vires’ dari Latin: melebihi kuasa. Doktrin


ultra vires dalam hukum kontrak menyatakan: pihak yang
tidak berwenang pribadi/ memiliki kuasa untuk
mengikatkan diri dalam suatu kontrak, akan membuat
kontrak itu berlaku terhadap dirinya sendiri saja, kecuali
tindakannya itu kemudian diakui oleh pihak yang
diwakilinya.

▪Baik dalam sistem Common Law maupun Civil Law, prinsip


kehati-hatian mengharuskan kita untuk memastikan, bahwa
mitra kontrak kita (counter part) berwenang
pribadi/memiliki kuasa untuk membuat suatu kontrak.
89
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 13/17
d. Doktrin Ultra vires – b/f

Civil Law
Dalam Hukum Indonesia, prinsip ini diatur dalam
Pasal 1320 ayat 2. KUH Pdt:
Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat
syarat:
1. persetujuan dari mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.

90
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 14/17
d. Doktrin Ultra vires – c/f
Civil Law
Pasal 1320 ayat 2. KUH Pdt ini singkat, tetapi memiliki cakupan luas :
a) kecakapan subjektif: subjek dalam keadaan sehat badan/jiwa,
serta cukup umur. Kecukupan umur dalam hukum Indonesia tunduk
pada berbagai Undang2, a.l.: Pasal 330 KUH Pdt, usia 21 tahun atau
sudah menikah;
b) kecakapan objektif: subjek menguasai kebebasan objektif untuk
menyetujui atau tidak menyetujui sesuatu.
c) kecakapan kognitif: subjek memahami perbuatan kontraktualnya.
d) kecakapan korporatif: khusus jika mewakili suatu badan hukum
pemerintah/swasta, subjek harus memiliki wewenang/kuasa yang sah
untuk mengikatkan badan hukum yang diwakilinya.

91
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 15/17
d. Doktrin Ultra vires – d/f
Common Law
Tindakan ultra vires membawa akibat :
▪Tindakan ultra vires tidak dapat diratifikasi oleh para pihak berkontrak,
bahkan juga jika mereka menginginkannya. → suatu kontrak yang
ditandatangani oleh seorang pegawai tanpa kuasa memadai, dapat
ditolak oleh perusahaan yang bersangkutan untuk mengikatnya sebagai
kewajiban hukum.
▪Doktrin estoppel mirip dengan “Actio Pauliana” dalam hukum Indonesia:
“upaya hukum untuk membatalkan transaksi oleh debitur demi
kepentingan debitur itu, yang dapat merugikan kepentingan para
krediturnya.”
▪Doktrin a fortiori: suatu kontrak yang ditaati penuh oleh para pihaknya
tidak dapat disergah. → jika suatu perusahaan sudah dinyatakan pailit,
maka dapat dipastikan bahwa perusahaan itu tidak mungkin melakukan
transaksi baru lagi.

92
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 16/17
d. Doktrin Ultra vires – e/f
Common Law
Pengecualian:
▪Jika kontrak telah dilaksanakan sepenuhnya, para pihak tidak dapat
membatalkannya berdasarkan ultra vires.
▪Jika kontrak telah dijalankan sebagian, dapat diajukan gugatan untuk
suatu quasi contract, untuk memulihkan manfaat yang dapat diperoleh.
(Quasi-contract mengandaikan: suatu kontrak dengan muatan dari
quasi-contract seharusnya telah dibuat, kendati kontrak itu sebetulnya
tidak ada. Konsep itu diterapkan dalam keadaan2 yang berhubungan
dengan konsep restitusi. Di Indonesia tidak diakui)
▪Perusahaan tidak dapat membela seorang pegawai yang melakukan tort
dalam kerangka pekerjaannya, dengan menyatakan bahwa tindakan itu
sebagai ultra vires. (Tort: kesalahan Pdt yang secara tidak adil
mengakibatkan orang lain menderita kerugian yang menimbulkan
tanggung-gugat hukum (legal liability) bagi pihak pelaku tort, yang
disebut tortfeasor. Di Indonesia tidak dikenal)
93
06.3. Akibat Hukum dari Kontrak – 17/17
e. konsep “negotiorum gestio” dan “quasi contract” - f/f
a) Doktrin “negotiorum gestio” dalam bahasa Belanda:
“zaakwaarneming,” dalam bahasa Inggris: management
of business. (KUH Pdt Psl 1354)
b) Common Law tidak menganut doktrin negotiorum
gestio, tetapi menerima doktrin “quasi contract” untuk
menghitung quantum meruit (Eng: what one has
earned): ganti-rugi dalam kasus “unjust enrichment”.
c) Doktrin “quasi contract” tidak dianut dalam Civil Law,
tetapi kasus “unjust enrichment” masuk ke dalam
kategori PMH (KUH Pdt Psl 1365, interpretasi MA
Belanda dalam kasus Lindenbaum v. Cohen, 1919).

94
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 1/12

Istilah
▪Dalam naskah ini kita menggunakan istilah ‘tanggung-gugat’
sebagai pada kata dari ‘liability’ dalam bahasa Inggris, dan
‘tanggung-jawab’ untuk ‘responsibility’.

▪Liability memang menghendaki bahwa debitur menanggung


suatu gugatan terhadapnya dan tidak semata-mata
“mempertanggung-jawabkan” perbuatannya.

▪Pengertian ‘responsibility’ bermuatan moral, pengertian


‘liability’ lebih bermuatan hukum….

95
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 2/12

▪Mr. A shall be the party to be liable for such damage = Tuan


A harus menjadi pihak yang bertanggung-gugat untuk
kerugian tersebut.
▪Mr. B shall be responsible for his recklessness = Tuan B
harus bertanggung-jawab untuk kesembronoannya.
▪Mr. C cannot be held liable for the failure to deliver the
goods as the sudden promulgation of the law prohibiting
such act is beyond his responsibility = Tuan C tidak bisa
dipertanggung-gugatkan untuk kegagalannya menyerahkan
barang, karena pemberlakuan tiba2 dari undang2 untuk
melakukannya tidaklah merupakan tanggung-jawabnya.

96
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 3/12
▪Moss: ada perbedaan antara Civil Law dan Common Law dalam
ruang tanggung-gugat, misalnya dalam hal jual-beli (yang terjadi
setiap hari dalam hidup kita): “in a contract of sale, for example,
the seller will be
1)obliged to deliver the goods,
2)in the volume and with the quality as specified in the
contract,
3) at the agreed place of delivery and
4)on the agreed delivery date.
1)The buyer will be obliged to pay the agreed price according
to the agreed modalities, as well as
2)to take delivery at the agreed place and
3)on the agreed time.”
Apa akibatnya?
97
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 4/12

Tetapi dapat terjadi:


a)penjual terlambat menyerahkan barang, atau
b)jumlah barang yang diserahkan tidak sesuai dengan
kontrak, atau
c)mutu barang tidak sesuai dengan ‘spec’ (spesifikasi),
d)dan dengan demikian menimbulkan pelanggaran terhadap
kontrak.

Apa yang dapat dilakukan oleh Pembeli?

98
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 5/12

Moss:
▪Civil Law dan Common Law tidak berbeda dalam
menanggapi tanggung-gugat yang disebabkan oleh ingkar
janji yang menghukum pihak pengingkar-janji karena
kesengajaan jahat (wilful misconduct) atau kelalaian
(negligence).

▪Tetapi Civil Law dan Common Law berbeda perlakuannya


terhadap tanggung-gugat untuk ingkar janji yang tidak
disebabkan oleh kesengajaan jahat atau kelalaiannya.

99
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 6/12

Wanprestasi (kelalaian/kealpaan) seorang debitur dapat


berupa empat macam :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya;
b. tidak melaksanakan sebagaimana dijanjikan;
c. terlambat melakukan apa yang dijanjikanmya;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.

(Subekti: Hukum Perjanjian, Intermasa: hlm.45; Pasal


1243 KUH Pdt).

100
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 7/12

Empat akibat dari ingkar-janji:


a. debitur membayar ganti-rugi yang diderita oleh
kreditur ;
b. pembatalan perjanjian atau juga dinamakan
pemecahan perjanjian;
c. peralihan risiko (dari siapa kepada siapa?);
d. membayar biaya perkara, kalau sampai
diperkarakan di depan hakim.

(Subekti: Hukum Perjanjian, Intermasa: hlm.45; Pasal


1239-1241 KUH Pdt).

101
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 8/12
Civil Law
Hukum Norwegia: jika suatu pihak dapat mempengaruhi
suatu proses (produksi): akibat daripadanya merupakan
tanggung-jawab pihak tersebut.
1)Jika proses produksi telah dimulai, peristiwa2 selama
proses tersebut tidak harus menjadi tanggung-jawab
produsen.
2)Kejadian itu harus ditest oleh ahli yang ditunjuk oleh para
pihak.
3)Jika pelaksanaan kontrak secara objektif masih mungkin,
tetapi praktiknya akan “ribet”, juga tersedia instrumen
hukum lain bagi pihak yang terkena akibatnya.
4)Hukum Norwegia menghalangi pelaksanaan kewajiban
kontraktual yang akan menimbulkan dampak yang tidak
wajar.
102
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 9/12
Civil Law
Hukum Jerman, § 280 ff. BGB: pengingkar-janji berkewajiban
membuktikan, bahwa dia tidak berlaku lalai. (Presumption of non-
negligence. Terbalik dengan hukum Indonesia: beban pembuktian
buruk sangka ada pada pihak yang menuduh/jaksa).
▪Sejauh terbukti tidak terjadi kelalaian, pengingkar-janji tidak
bertanggung-gugat terhadap ingkar janjinya, kendati halangannya
berada dalam kendalinya.
▪§ 275 BGB: suatu kewajiban tidak perlu dijalankan jika
pelaksanaannya telah menjadi tidak mungkin, secara objektif maupun
subjektif, sehingga upaya2 untuk menjalankannya menyimpang dari
kepentingan pihak lainnya terhadap pelaksanaan kinerja itu.
▪Kontraktor bertanggung-jawab untuk para sub-kontraktor baik
untuk keseluruhan maupun sebagian kontrak (jadi juga bertanggung-
gugat) (§ 278 BGB; Pasal 1613 KUH Pdt).
103
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 10/12
Civil Law
Hukum Italia, article 1218 dari Codice Civile: pihak yang tidak
memenuhi kewajibannya secara benar, bertanggung-gugat, kecuali
dia dapat membuktikan bahwa non-performance disebabkan oleh
hambatan yang terjadi karena force majeure (sama dgn Hk
Jerman).
▪Kendati demikian, excuse bagi non-performance bersifat
sementara, jika halangannya menyusut dan para pihak masih
berkepentingan untuk melaksanakan kontrak (article 1256).
▪Kontraktor dibebaskan jika halangan yang disebabkan oleh para
sub-kontraktor mengakibatkan halangan ganda (article 1228):
halangan itu mengenai sub-kontraktor maupun kontraktor utama).
Kesimpulan: sistem Civil Law lumayan lunak terhadap non-
performance yang disebabkan oleh force majeure.
104
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 11/12
Common Law
▪Hukum Inggris mengutamakan pembagian risiko dari kejadian2
terhadap para pihak: pengacara Inggris mengutamakan: siapa yang
harus menanggung risiko dari kejadian2, ketimbang menunjuk siapa
yang harus dipersalahkan (pragmatis).
▪Para pihak berkewajiban absolut untuk melaksanakan kontrak mereka
dengan cermat. (Tentu saja, bukankah para pihak itu sendiri yang
merumuskan hukum yang harus berlaku di antara mereka berdasarkan
common sense?).
▪Satu-satunya situasi yang dapat membebaskan suatu pihak dari
kewajiban kontraktualnya tanpa dia dapat dipersalahkan telah melanggar
kontrak adalah keadaan force majeure dan menghalangi pelaksanaan
kewajibannya, atau kinerjanya berakibat melawan hukum.
▪Inilah rupa kejadian yang disebut “frustration of the contract”, dan
penerapannya sangatlah terbatas.

105
06.4. Tanggung-Gugat untuk Ingkar Janji - 12/12
Common Law
▪Pelaksanaan kontrak yang menjadi begitu susahnya tidaklah membuat
pelaksanaannya menjadi tidak mungkin: terlepas dari kemungkinan
bahwa objek dari kontrak musnah, ‘frustration’ adalah force
majeure/supervening event, yang harus dikukuhkan melalui pengujian
yang ketat.
▪Kontrak hanya dapat dinyatakan ‘frustrated’ hanya jika kejadian kahar itu
secara mendasar merubah hakekat dari kewajiban2 yang harus
dilaksanakan: “bukanlah kesengsaraan atau ketidak-nyamanan atau
kehilangan berat yang dapat memberlakukan prinsip ‘frustration.’”
▪Syaratnya: “suatu perubahan harus sangat penting, sehingga pelaksanaan
kewajibannya menghasilkan kebalikan dari apa yang sebenarnya
dikontrakkan.” Berbeda dengan hukum Italia, hukum Inggris tidak
mengakui ‘temporary frustration’, justru karena tunduk pada syarat2 yang
ketat.
▪Kesimpulan: sistem hukum Inggris sangat sukar memaafkan suatu
ingkar janji yang disebabkan oleh force majeure.
106
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 1/10
▪Korban dari ingkar janji terhadap kontrak akan menghendaki
pemulihan hak berdasarkan kontrak.
▪Sebagian besar upaya pemulihan (akan/dapat) dirumuskan dalam
kontrak berupa denda, pengambil-alihan, dsb.
▪Sering terjadi: upaya pemulihan harus melibatkan pihak ketiga:
mediator/arbitrase/pengadilan. Di situlah sistem Civil Law dan sistem
Common Law berbeda.
▪ Umumnya, teringkar-janji meminta hakim memerintahkan
pengingkar-janji memenuhi kewajiban2 kontraktualnya, yang
merupakan pilihan utama dalam kebanyakan sistem hukum.
▪Rumus umumnya: pihak teringkar janji menikmati perlindungan dari
sistem hukum yang menyediakan sanksi terhadap pengingkar-janji.
▪pengingkar-janji harus memenuhi tuntutan korban untuk melakukan
pemulihan, jika tidak, dia mengalami penindakan pihak yang berwenang
→ hukum publik.

107
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 2/10
Civil Law
Hukum Norwegia 1: tujuan pemulihan utama: menegakkan kembali
situasi di antara para pihak sebagaimana tercantum dalam kontrak,
dengan cara, menuntut pengingkar-janji untuk:
▪memenuhi kewajibannya (mirip dengan Pasal 1239 KUH Pdt);
▪memperbaiki kerusakan objek kontrak;
▪mengganti barang; dan
▪mengurangi harga yang harus dibayar.
Teringkar-janji boleh menahan pelaksanaan kewajibannya (a.l.
membayar harga) dan mengakhiri kontrak jika keekonomian dari
ingkar janji terlalu dirugikan.
Pengingkar-janji harus membayar direct damages: kerugian yang
wajar akibat langsung dari pelanggaran kontrak (ongkos yang sudah
dikeluarkan korban), tetapi tidak untuk indirect damages, misalnya
kehilangan potential profit.
108
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 3/10
Civil Law
• Hukum Norwegia 2: Tetapi, dalam hal wilful misconduct
atau gross negligence pengingkar-janji harus membayar
indirect damages seperti kehilangan keuntungan karena
loss of profit for stop of production, atau karena kontrak
dengan pihak ketiga menjadi gagal (casus mixtus).
• Konstruksi ini penting dalam kasus-kasus show business.
• Namun demikian, dalam ingkar janji yang diakibatkan
oleh perubahan keadaan secara mendasar, hukum
Norwegia memungkinkan amandemen kontrak untuk
menyeimbangkan keadaan (doktrin rebus sic stantibus).

109
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 4/10
Civil Law
Hukum Jerman 1: teringkar-janji dapat memilih 1) meminta specific
performance atau 2) meminta ganti rugi sebagai gantinya (in lieu of),
atau 3) mengakhiri kontrak, dengan memberikan grace period kepada
pengingkar-janji untuk melaksanakan kewajibannya.
▪Jika ingkar janji disebabkan oleh negligence atau misconduct, teringkar-
janji dapat memilih a) minta ganti rugi untuk kewajiban yang tidak
dipenuhi (kleiner Schadenersatz), atau b) mengganti keseluruhan kinerja
kewajiban dengan setara (grosser Schadenersatz) (§ 280 BGB).
▪Tingkat negligence tidak mempengaruhi besarnya ganti kerugian, yang
mencakup indirect damages karena hilangnya kesempatan (meraih
keuntungan).
▪Namun demikian, ruang lingkup yang luas dari kerugian tidak langsung
ini mensyaratkan kewajaran yang bisa dinilai (§ 252 BGB).
110
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 5/10
Civil Law
Hukum Jerman 2: Ada dua cara untuk menilai kerugian.
▪1) jika teringkar-janji memilih menahan kewajibannya (untuk
membayar), penilaiannya dibuat berdasarkan ‘difference theory’:
nilai kerugian = selisih di antara nilai kinerja yang harus
diterimanya dan nilai kinerja yang ditahan oleh teringkar-janji.
▪2) Jika teringkar-janji memilih menjalankan kewajiban kontraknya,
kerugian dinilai berdasarkan teori subrogasi (Pasal 1400 KUH Pdt):
nilai kerugian = sebesar nilai penuh dari kinerja yang tidak
terlaksana.
▪Semangat BGB: pihak teringkar-janji lebih mementingkan kontrak
dipenuhi lengkap. Berbeda dengan hukum Norwegia, perubahan
keadaan akan memaksa para pihak untuk merundingkan kembali
kontrak, dan jika itu gagal, mengakhiri kontrak.
111
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For
Non-Performance) - 6/10

Specific performance is an equitable remedy in the law of


contract, whereby a court issues an order requiring a
party to perform a specific act, such as to complete
performance of the contract.

Specific performance is commonly used in the form of


injunctive relief concerning confidential information or
real property. While specific performance can be in the
form of any type of forced action, it is usually to complete a
previously established transaction, thus being the most
effective remedy…

112
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 7/10
Civil Law
Hukum Italia 1: pilihan teringkar-janji: menuntut kinerja khusus
(specific performance) atau pengakhiran kontrak (jika ada kelalaian)
plus ganti rugi (article 1218 Codice Civile).
▪Tetapi article 1176 Codice Civile mensyaratkan jika pengingkar-janji
membuktikan telah melakukan upaya terbaik (diligence)
sebagaimana bonus pater familias (doktrin Hukum Romawi), dia
tidak harus membayar ganti rugi.
▪Jika ada gross misconduct ganti rugi yang harus dibayar, jumlahnya
sebesar yang dapat diperkirakan plus semua kerugian nyata yang
disebabkan oleh pelanggaran kontrak.
▪Kerugian indirect atau consequential damages harus dibayar (jika
dapat diperkirakan sebelumnya), termasuk juga losses dan potential
profit.

113
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 8/10
Civil Law
Hukum Italia 2: Article 1460: Teringkar-janji dapat menahan
kinerjanya, jika pengingkar-janji melanggar kewajiban kontraktualnya.
▪Jika teringkar-janji memilih tidak menjalankan kewajibannya, kalkulasi
kerugiannya akan memperhitungkan penghematan/peluang akibat
ditangguhkannya kinerja itu. (exceptio non adimpleti contractus)
▪Halangan yang mengakibatkan non-performance akan menghentikan
daya kerja dari kontrak (beda dengan hukum Norwegia atau Jerman
yang memungkinkan pihak korban meminta pengakhiran kontrak).
▪Jika halangan hanya sementara, kewajiban kontraktual hanya tertunda
sementara dan efektif lagi selekas halangan berakhir.
▪Perubahan keadaan membuat pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat
jika kontrak tidak diakhiri (rebus sic stantibus).
▪Kendati begitu, pihak teringkar-janji dapat mengamandemen kontrak
untuk menghindari pengakhiran sesuai dengan perubahan keadaan itu.
114
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 9/10
Common Law
Hukum Inggris 1: hanya mengakui ganti rugi sebagai pemulihan
bagi pelanggaran kontrak dan pengakhiran kontrak dalam hal
pelanggaran kontrak berat.
▪Kinerja khusus dibolehkan jika ganti rugi dipandang tidak sepadan
dengan jika dihasilkan oleh kinerja khusus (pengadilan Inggris sangat
ketat dalam membolehkan specific performance).
▪Ganti rugi → pemulihan utama dalam hukum Inggris: kewajiban
kontraktual dipandang sebagai absolut dan pelanggaran apapun
akan memberi hak kepada teringkar janji untuk menuntut ganti rugi,
terlepas dari apakah pengingkar-janji dapat dipersalahkan atau tidak.
▪Syaratnya: harus ada kausalitas yang teruji antara pelanggaran
kontrak dan kerugian yang terjadi. Ganti rugi harus dibayarkan jika
terbukti merupakan akibat dari pelanggaran kontrak.
115
06.5. Pemulihan untuk Ingkar Janji (Remedies For Non-
Performance) - 10/10
Common Law
Hukum Inggris 2: pihak teringkar-janji dapat mengklaim ganti rugi:
1) sehubungan dengan penyiapan atau pelaksanaan sebagian dari
kontrak (negative contractual interest or reliance interest), atau 2)
untuk loss of gain karena gagalnya kontrak (positive contractual
interest or expectation interest).
▪Jika pelaksanaan kontrak terhalang, pengingkar-janji dimaafkan
hanya jika halangan mengakibatkan frustration of the contract yang
mengakibatkan kontrak berhenti berdaya kerja, sehingga tak ada cara
untuk menghentikan (suspend) kewajiban kontraktual atau untuk
memperpanjang jangka waktu kontrak.
▪Dalam hal perubahan keadaan yang membuat pelaksanaan kontrak
menjadi berat, tidak ada aturan khusus: non-performance akan
diperlakukan sebagai pelanggaran kontrak dengan akibat2 yang
sudah dikemukakan.
116
06.6. Hukum yang Berlaku (governing law, choice of law)
– 1/5

▪Commercial contracts almost always include a "choice of law


clause" to reduce uncertainty.
▪Tetapi hukum manakah yang harus berlaku terhadap suatu
kontrak? Tidak masalah, jika para pihak berasal dari dan
tunduk pada yurisdiksi yang sama. Persoalan timbul jika para
pihak pada kontrak berasal dari dan/atau tunduk pada lebih
dari satu yurisdiksi.
▪Hukum Romawi sudah mengenal persoalan ini dan juga
sudah mengedepankan beberapa doktrin pilihan, yang
kemudian diambil alih baik oleh sistem Civil Law maupun
Common Law.
117
06.6. Hukum yang Berlaku (governing law, choice of law)
– 2/5
Civil Law
Umumnya menganut doktrin2 berikut secara alternatif:
▪Lex loci contractus, atau doktrin yang mengikuti lokasi
pembuatan kontrak (Satrio quote Arrest Rotterdam 1947);
▪Lex loci rei sitae (the law where the property is situated),
disebut juga Lex situs;
▪Lex fori (the laws of the jurisdiction in which a legal action
is brought); serta
▪Lex Loci Solutionis: pilihan hukum ditentukan dari tempat
di mana kontrak dilaksanakan (Sudargo Gautama).

118
06.6. Hukum yang Berlaku (governing law, choice of law)
– 3/5

Civil Law
▪Sistem Civil Law juga menerapkan dokrin Renvoi (dari
Prancis: to send back): “…the rules of the conflict of laws are to
be understood as incorporating not only the ordinary or
internal law of the foreign state or country, but its rules of the
conflict of laws as well. According to this theory "the law of a
country" means the whole of its law.”
▪Doktrin itu diakui misalnya dalam hukum kontrak Jerman
dengan kualifikasi: Undang2 Pengantar Hukum Pdt, Art. 4,
Renvoi; split law, dst.

119
06.6. Hukum yang Berlaku (governing law, choice of law)
– 4/5
Common Law
▪Tendensi: para pihak dari Jepang, Prancis dan Jerman, serta dari
kebanyakan negara bagian Amerika Serikat sering memilih hukum
New York, bahkan jika mereka/transaksinya tidak ada hubungan
dengan New York. Motif: Common Law New York memiliki
kedalaman serta daya prakiraan yang unggul di bidang hukum
kontrak.
▪Mirip di bidang korporasi: perusahaan2 Amerika dan kontrak2
Amerika mengenai masalah2 korporasi (seperti merger dan akuisisi
perusahaan, hak pemegang saham dsb.) kerap kali merujuk kepada
hukum korporasi Delaware.
▪Mirip di bidang perkapalan dan maritim: para pihak dari berbagai
yurisdiksi sering memilih hukum Inggris dan Wales, lebih lagi bagi
para pihak dari bekas koloni Inggris serta anggota Commonwealth,
dan menunjuk London sebagai pusat untuk menyelesaikan
perkara2 perkapalan (admiralty). 120
06.6. Hukum yang Berlaku (governing law, choice of law)
– 5/5
Kesimpulan
▪Belum tentu Common Law selalu lebih baik. Civil Law bisa saja lebih
jelas ketimbang case law jika badan legislatif bekerja sangat bagus
sehingga statuta Civil Law bisa lebih rinci ketimbang statuta Common
Law.
▪Tetapi: tidak ada proses legislasi dalam Civil Law yang dapat
mencerdasi berbagai kemungkinan faktual, kedalaman dan rincian case
law dari pengadilan2 Common Law, yang memberikan daya prakiraan
tambahan dan memajukan perniagaan.
▪Berikut ini contoh suatu klausula standar yang mengatur ‘choice of law’
yang bisa diterapkan dalam kontrak berdasarkan Civil Law maupun
Common Law:
”Governing Law. This Agreement shall be governed, construed, and
enforced in accordance with the laws of the State of [GOVERNING LAW
COUNTRY], without regard to its conflict of laws rules.”
Namun, pengisian kolom [GOVERNING LAW COUNTRY] justru yang tidak
selalu gampang. 121
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.1. Kebatalan (nullity) Kontrak (void and voidable contracts) – 1/6
Pada dasarnya suatu kontrak bisa berhenti berfungsi bagi
para pihak yang membuatnya karena tiga sebab:
▪Hambatan hukum (undang2) yang membuat kontrak batal;
▪Ketentuan kontrak yang membuatnya berakhir (expiry);
▪Kontrak diakhiri secara paksa (termination).
Masing2 masalah itu dijelaskan di bawah ini.

122
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.1. Kebatalan (nullity) Kontrak (void and voidable contracts) – 2/6
Civil Law 1
Dalam Hukum Pdt Indonesia, pengaturan mengenai dapat
dibatalkannya (voidable) dan batalnya demi hukum
(void) suatu kontrak sudah implisit dalam Pasal 1320 KUH
Pdt:
Suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi empat
syarat, yaitu:
a) persetujuan mereka yang mengikatkan dirinya;
b) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c) suatu hal tertentu;
d) suatu causa yang dibolehkan (geoorloofde oorzaak).

123
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.1. Kebatalan (nullity) Kontrak (void and voidable contracts) – 3/6
Civil Law 2
Pemahaman luas membedakan dua syarat dalam ketentuan Pasal
1320 itu:
▪syarat subyektif yang tidak dipenuhi (butir a) dan b)): sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya dan/atau kecakapan untuk
membuat suatu perikatan), maka perjanjian dapat dibatalkan
(voidable);
▪syarat obyektif yang tidak dipenuhi (butir c) dan d)): tidak
adanya hal tertentu dan/atau sebab yang dibolehkan), maka
perjanjian batal demi hukum (void by law);
▪KUH Pdt juga dengan menguncinya dengan Pasal 1441:
“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau
penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya.”
124
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.1. Kebatalan (nullity) Kontrak (void and voidable contracts) – 4/6
Common Law 1
Dalam Common Law system :

▪Kontrak batal demi hukum (a void by law contract)


karena suatu ketidaksahan (nullity) atau karena tidak ada
hak yang dapat diperoleh daripadanya;

▪Kontrak dapat dibatalkan (a voidable contract) jika


kontrak diperlakukan sebagai tidak efektif oleh salah satu
dari para pihak, jika memenuhi syarat tertentu, yaitu;

125
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.1. Kebatalan (nullity) Kontrak (void and voidable contracts) – 5/6
Common Law 2
Kekeliruan (mistake)
a) Kekeliruan objektif yang dapat membatalkan suatu kontrak
yang sah:
▪Kekeliruan mengenai pokok kontrak.
▪Kekeliruan mengenai kemungkinan fisik dari kontrak.
▪Kekeliruan mengenai judul kontrak (title) misalnya: kontrak
sewa, padahal seharusnya kontrak sewa-beli.
b) Kekeliruan subjektif yang membatalkan kesepakatan:
▪Kekeliruan mengenai ketentuan2 kontrak.
▪Kekeliruan mengenai identitas pokok kontrak. Misalnya: Akta
tanah dengan nomor JB 007, padahal seharusnya JP 007.
▪Kekeliruan mengenai identitas pihak berkontrak.
126
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.1. Kebatalan (nullity) Kontrak (void and voidable contracts) – 6/6

Common Law 3
Misrepresentation
Misrepresentation (misrepresentasi: kebohongan,
pemerdayaan, penyesatan, penipuan), yang terdiri dari :
a) Misrepresentasi aktif yang bersifat pembohongan
sengaja(fraudulent misrepresentation);
b) Misrepresentasi pasif karena ketidaktahuan (innocent
misrepresentation).

127
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA (DISCHARGE)
KONTRAK
07.2. Berakhirnya Kontrak (expiry/Discharge of contract) – 1/4
Civil Law 1
Pasal 1381 KUH Pdt merupakan ketentuan yang mencampurkan
berakhirnya suatu kontrak karena kontrak memang berakhir dan karena
diakhiri karena macam2 sebab: “Perikatan hapus:
a) karena pembayaran;
b) karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan;
c) karena pembaruan utang;
d) karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e) karena percampuran utang;
f) karena pembebasan utang;
g) karena musnahnya barang yang terutang;
h) karena kebatalan atau pembatalan;
i) karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I
buku ini; dan
j) karena daluwarsa, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.” 128
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA (DISCHARGE)
KONTRAK
07.2. Berakhirnya Kontrak (expiry/Discharge of contract) –
2/4
Civil Law 2
Jadi hapusnya perikatan berdasarkan Pasal 1381 KUH Pdt
implisit dapat terjadi karena:
1) perikatan hapus karena memang berakhir sesuai dengan
ketentuan kontrak:
a) pembayaran;
f) karena pembebasan utang;
g) karena musnahnya barang yang terutang;
i) karena berlakunya suatu syarat pembatalan, atau
j) karena daluwarsa;
Atau:

129
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.2. Berakhirnya Kontrak (expiry/Discharge of
contract) – 3/4
Civil Law 3
2) diakhiri dengan sengaja/artifisial yang tidak niscaya
sesuai dengan ketentuan kontrak:

b) karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan


penyimpanan atau penitipan;
c) karena pembaruan utang (novation);
d) karena perjumpaan utang atau kompensasi (set-off);
e) karena percampuran utang;

130
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.2. Berakhirnya Kontrak (expiry/Discharge of contract) –
4/4
Common Law
Dalam Common Law, berakhirnya perjanjian dapat disebabkan:
a) By performance;
b) By agreement:
Kontrak dapat diakhiri dengan kesepakatan; atau
digantikan oleh kontrak lain (novation);
c) Kontrak dapat tunduk pada suatu syarat tertentu, yang jika
tak terpenuhi akan mengakibatkan batalnya kontrak tersebut
(conditional contract);
d) By frustration;
e) By breach of contract.
f) By legislation.
131
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.3. Pengakhiran Kontrak (Termination of contract) – 1/5

Sebuah kontrak dapat diakhiri sebelum berakhirnya kontrak


yang bersangkutan:

▪Dengan kesepakatan, → tidak ada masalah


▪Oleh salah satu pihak → masalah.

Pengakhiran kontrak sepihak biasanya dikehendaki oleh


pihak teringkar-janji karena pelanggaran berat atas kontrak.

Civil Law dan Common Law ternyata berbeda dalam hal ini.

132
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.3. Pengakhiran Kontrak (Termination of contract) – 2/5
Civil Law 1
▪Pasal 1241 KUH Pdt tidak memberi hak kepada korban pelanggaran
kontrak/ingkar janji untuk mengakhiri kontrak.
▪Pasal 1267 dan Pasal 1455 KUH Pdt intinya mengatur pihak
teringkar-janji:
a) Memaksa pengingkar-janji untuk melaksanakan kontrak, atau
b) Menuntut pembatalan kontrak dengan menuntut penggantian
biaya, kerugian dan bunga,
tetapi tidak dapat mengakhiri kontrak secara sepihak.
▪Sikap Pasal 1338 KUH Pdt, kalimat kedua, sangat jelas:
“Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan2 yang
ditentukan oleh undang2.”
Apa akibatnya? Bagaimana mengatasinya?
133
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.3. Pengakhiran Kontrak (Termination of contract) – 3/5
Civil Law 2
Biasanya para pihak menelikung pasal 1338 KUH Pdt dengan
suatu klausula sbb.:
“Para Pihak dengan ini menyatakan sepakat mengesampingkan
berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUH Pdt terhadap Perjanjian ini,
sehingga pengakhiran Perjanjian ini dapat dilakukan secara sah
cukup dengan surat pemberitahuan secara tertulis dari Pihak yang
satu kepada Pihak yang lain, tanpa perlu menunggu adanya
keputusan dari Pengadilan, serta dengan ini Para Pihak menyatakan
melepaskan hak2 yang timbul dari padanya apabila ada.”

Bagaimana dengan Pasal 1267 KUH Pdt?

134
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.3. Pengakhiran Kontrak (Termination of contract) – 4/5
Common Law 1
Dalam Common Law, pengakhiran perjanjian (termination)
dapat disebabkan oleh:
▪Impossibility of performance. Misalnya, suatu kontrak konser
musik dapat diakhiri jika pemusiknya tiba2 jatuh sakit.
▪Kekeliruan, pemerdayaan, atau misrepresentasi dapat
merupakan alasan untuk mengakhiri kontrak.
▪Breach of contract. Jika ada pihak yang tidak melaksanakan
kontrak, pihak lainnya dapat membatalkannya, dan pihak ini
dapat menuntut pemulihan kerugian yang dideritanya karena
pelanggaran itu.
135
07. KEBATALAN (NULLITY) DAN BERAKHIRNYA
(DISCHARGE) KONTRAK
07.3. Pengakhiran Kontrak (Termination of contract) – 5/5

Common Law 2
Dalam Common Law, pihak korban breach of contract dapat
mengakhiri kontrak:
A common law right to terminate will arise in three
circumstances:
▪a breach of an essential term;
▪a sufficiently serious breach of a non-essential term; or
▪the repudiation or renunciation of the contract by the other
party.

136
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA

▪Sejak UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing


membuka gerbang bagi FDI (foreign direct investment) di
Indonesia, kita kebanjiran kontrak yang dibuat antara pihak
Indonesia dan asing.
▪Banyak dari kontrak yang rancangannya berasal dari pihak
asing memuat ketentuan2 yang tadinya tidak kita kenal dan
berasal dari sistem Common Law.
▪Sebagai akibatnya, banyak konsep dan bahkan istilah2
hukum yang baru harus kita adopsi dalam kontrak2 yang
diberlakukan berdasarkan hukum Indonesia. Beberapa di
antaranya akan dipaparkan berikut ini.
137
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 1
•‘Damage’ sebenarnya berarti ‘kerusakan’, tetapi dalam hukum
kontrak dia lebih berarti kerugian. Saudara kembar ‘damage’
(kerugian) adalah ‘indemnity’ (ganti rugi atau ganti kerugian),
karena damage harus dipulihkan dengan indemnity.
•Legal Information Institute dari Cornell University merumuskan
‘damage’ sebagai: “sum of money the law imposes for a breach of
some duty or violation of some rights.”
•Kepustakaan Jerman (jadi dalam kerangka Civil Law) merumuskan
‘kerugian’ (Schaden) sebagai:
“setiap kerugian yang diderita seseorang karena suatu kejadian
tertentu terhadap kekayaan atau terhadap kebendaan hukum lain
kepunyaannya....“

138
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA

08.1. Damage - 2

Pasal 1244 KUH Pdt menurunkan kewajiban ganti rugi


terhadap non-performance pada kontrak:

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian


dan bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak
dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu
dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu
hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan
kepadanya.”
(force majeure harus dibuktikan)

139
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA

08.1. Damage - 3
•KUH Pdt tidak merumuskan apa itu ‘kerugian’, tetapi Pasal
1239 KUH Pdt menetapkan:
“Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu, diselesaikan dengan memberikan
penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak
memenuhi kewajibannya.”
•Memang, “bila debitur tidak memenuhi kewajibannya”,
terjadilah kerugian pada pihak kreditur. Kendati demikian,
sistem Civil Law nampaknya tidak melakukan spesifikasi
terhadap apa itu ‘kerugian’, beda halnya dengan Common
Law.
140
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA

08.1. Damage - 4
Dalam praktik Common Law terdapat paling sedikit lima
macam ‘damages’:
•Liquidated damages (kerugian terbatasi);
•Direct damages (kerugian langsung);
•Actual damages (kerugian nyata);
•Consequential damages (kerugian terakibat); dan
•Material damages (kerugian material/berat)
(damage, harfiah: kerusakan)

141
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA

08.1. Damage - 5
a. Liquidated damages 1/4
Liquidated damages (juga disebut ascertained damages, atau
kerugian terbatasi): kerugian yang jumlahnya ditentukan oleh
para pihak ketika merumuskan kontrak, untuk diperoleh
pihak yang mengalami kerugian, sebagai kompensasi bagi
suatu pelanggaran kontrak (misalnya, keterlambatan). Jika
jumlah kerugian tidak ditentukan sejak semula, maka jumlah
itu disebutkan sebagai ‘kira2’ ('at large’) untuk kemudian
ditentukan oleh pengadilan atau arbitrase dalam hal
terjadinya pelanggaran.

142
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA

08.1. Damage - 6
a. Liquidated damages 2/4
Untuk menegakkan suatu klausula liquidated damage harus
dipenuhi dua syarat:
▪Pertama, jumlah dari kerugian yang diidentifikasi harus
kurang-lebih sepadan dengan kerugian yang dialami oleh
pihak yang hendak mendapatkan manfaat dari klausula itu.
▪Kedua, kerugian itu harus cukup tidak jelas (hanya dapat
diperkirakan) ketika kontrak dibuat dan bahwa klausula itu
dipandang akan menyelamatkan kedua belah pihak dari
kesulitan di masa depan untuk meng-estimasi
(memperkirakan) besarnya kerugian.

143
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 7
a. Liquidated damages 3/4
Meskipun KUH Pdt tidak merumuskan apa itu ‘damages’, Pasal
1247 KUH Pdt menetapkan:
“Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan
bunga, yang diharap atau sedianya dapat diduga pada waktu
perikatan diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh tipu daya yang dilakukannya.”
Pasal ini menekankan:
▪Appropriateness;
▪Ganti rugi deals with a specific breach of contract.

144
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 8
a. Liquidated damages 4/4
Pasal 1247 KUH Pdt dengan demikian mengandung unsur apa yang
disebut dalam Common Law sebagai ‘liquidated damages’,
yaitu: damages whose amount the parties designate during the
formation of a contract for the injured party to collect as
compensation upon a specific breach (e.g., late performance). Jadi
liquidated damage itu adalah kerugian yang jumlahnya dapat
diperkirakan secara layak pada awal pembuatan kontrak, dan jumlah
keseluruhannya tidak melebihi nilai kontrak. Jadi elemen2nya
adalah:
▪A compensation, due to a breach; payment due to contract;
▪Limited injury;
▪Foreseeableness.
Jadi LD itu bukannya bisa tidak terbatas, melainkan harus terbatasi.
145
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 9
b. Direct damages 1/2
Jenis kerugian lain adalah yang disebut sebagai ‘direct
damages’ yang merupakan akibat langsung dari dilanggarnya
suatu kontrak (misalnya rusaknya barang karena
keterlambatan penyerahan atau karena cara pengangkutan
yang menyalahi kontrak).
Pasal 1248 KUH Pdt mengatur direct damages sbb.:
“Bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh
tipu daya debitur, maka penggantian biaya, kerugian dan
bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan
kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang
menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan
itu.” 146
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 10
b. Direct damages 2/2
▪Dalam Common Law direct damages adalah selisih antara nilai
dari kinerja yang diterima dan nilai dari kinerja yang dijanjikan
dalam kontrak atau nilai pasar.
▪Klausula ini bertujuan menempatkan pihak yang diciderai layak
menerima ganti rugi, ketimbang menghukum pihak pengingkar-
janji.
▪ Direct damages mengalir langsung dan serta merta dari tindakan
pihak pengingkar-janji, ketimbang dari akibat atau hasil dari
perbuatannya.
▪Dengan begitu, direct damages tidak mencakup kerugian
insidental atau kerugian tidak langsung (incidental atau indirect
damages), seperti misalnya pengeluaran yang terjadi sebagai akibat
dari non-performance atau hilangnya keuntungan. 147
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 11
c. Actual damages
▪ Actual damages atau kerugian nyata mirip sekali dengan direct
damages karena meliputi kerugian langsung yang terjadi akibat
tidak dilaksanakannya suatu kontrak atau ketentuan2 tertentu
daripadanya.
▪ Actual damages merupakan kerugian yang sungguh terjadi dan
juga disebut sebagai kerugian kompensasi (compensatory damages),
yang dibayarkan untuk cidera, kerugian, dsb. yang diderita pihak
teringkar-janji karena tindakan atau kegagalan bertindak oleh pihak
lain.
▪ Kerugian nyata dapat diukur/dinilai: biaya2 dibayarkan sesuai
dengan cidera, kerugian, dsb. yang diderita oleh pihak teringkar-janji
yang dapat segera dibuktikan. Kompensasi demikian tidak termasuk
ganti rugi nominal atau ganti rugi hukuman (punitive damages).
148
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 12
d. Consequential damages 1/4
▪ Consequential damage (atau juga ‘indirect damages’ atau
‘special damages’, Indonesia: kerugian terakibat), suatu
kerugian yang bisa mencakup: kerugian produk, pendapatan
dan bahkan keuntungan yang sedianya dapat diperoleh pihak
teringkar-janji.
▪ Jadi, ganti rugi terakibat yang bisa dijatuhkan terhadap
pihak yang merugikan bisa besar sekali dan bahkan melebihi
nilai kontrak.
▪ Karena itu suatu kontrak sering diasuransikan juga.

149
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 13
d. Consequential damages 2/4
Dalam Common Law, consequential damages (dikenal juga
sebagai special damages) adalah kerugian yang terbukti
merupakan akibat dari ingkar janji suatu pihak terhadap
kewajiban kontraktualnya, dan dapat mempengaruhi
perhitungan dari jenis ganti rugi, misalnya: pelanggaran
kontrak versus tort claim: a civil wrong that unfairly causes
someone else to suffer loss or harm.

150
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 14
d. Consequential damages 3/4
▪ Jika suatu kontrak dilanggar, pemulihan yang diakui oleh pihak
teringkar-janji adalah pemulihan kerugian yang timbul langsung
(directly) akibat pelanggaran (direct damages), seperti biaya perbaikan
atau penyelesaian pekerjaan sesuai dengan dokumen2 kontrak,
kerugian nilai atau kerugian karena pekerjaan yang gagal.
▪ Tetapi consequential damages juga mencakup kerugian produk dan
kerugian keuntungan atau pendapatan yang dapat dipulihkan, jika
dapat diperkirakan secara wajar oleh para pihak ketika pembuatan
kontrak.
▪ Cara perhitungan begini dapat mengakibatkan kerugian besar bagi
pihak pengingkar-janji. Sangat mungkin itulah sebabnya mengapa
Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak mengakui ganti rugi bagi
consequential damages.
151
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 15
d. Consequential damages 4/4
▪ Pasal 1246 KUH Pdt mengatur mengenai “keuntungan yang
sedianya dapat diperolehnya”:
▪ “Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur,
terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan
yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi
pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini.”
▪ Ada kesan umum bahwa KUH Pdt mengakui ‘consequential
damage’ yang tidak diakui oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat itu.

152
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 16
e. Material damages 1/3
▪ Material damages dikenal dalam Common Law maupun KUH
Pdt. Yurisprudensi Indonesia malahan juga mengenal konsep
‘kerugian immaterial’.
▪ Kerugian material dirumuskan sebagai: “kerugian yang
nyata-nyata ada yang diderita oleh Pemohon”,
▪ sedangkan sebaliknya kerugian immaterial dirumuskan
sebagai: “kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan
diterima oleh pemohon di kemudian hari atau kerugian dari
kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh
Pemohon di kemudian hari.”
153
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 17
e. Material damages 2/3
Rumusan yang mirip kita dapatkan dalam Common Law: “In
general, material damages refer to damages caused to a
person’s property or patrimony. Courts can award damages for
injury to a person’s property in situations where it has been
completely destroyed, has been damaged or has deteriorated
and where the victim has incurred a loss as a result of the injury
to the property.”

154
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 18
e. Material damages 3/3
▪ Suatu perusahaan asuransi di Amerika Serikat menurunkan
rumusan sbb.:
“Material Damage:
All property-related damage losses covered by the policy. This
includes the following: property damage (PD), comprehensive
damage (COMP), collision damage (COLL), Fire/Theft Combined
Additional Coverage (FTCA), rental reimbursement (RR), or
uninsured motorist property damage (UMPD).”

▪ Jadi material damage itu adalah kerusakan berat terhadap


harta benda sedemikian rupa, sehingga harta benda itu tidak
bermanfaat lagi.
155
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 19
f. Incidental damages
▪ Section 2-715 dari Uniform Commercial Code Amerika
Serikat merumuskan ‘incidental damages’ sebagai:
“any commercially reasonable charges, expenses or commissions
incurred in stopping delivery, in the transportation, care and
custody of goods after the buyer's breach, in connection with
return or resale of the goods or otherwise resulting from the
breach.“

▪ Dalam Common Law, konsep incidental damages kerap


dihadapkan pada consequential damage.
UCC: Uniform Commercial Code.
156
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 20
g. Kasus 1/2
Berikut ini adalah contoh dari suatu klausula yang memuat
macam-macam damages tersebut, yang sebagian tidak kita
kenal, tetapi pihak asing menghendakinya di dalam kontrak
yang tunduk pada hukum Indonesia:
“All remedies under the Contract shall be sole and exclusive
and neither of the PARTIES shall be liable for indirect or
consequential damages including loss of profit and revenue,
except for as required by Law.“

157
08. RESEPSI KONSEP-KONSEP COMMON LAW
DALAM KONTRAK-KONTRAK INDONESIA
08.1. Damage - 21
g. Kasus 2/2
Atau yang berikut ini yang tunduk pada hukum “England and
Wales“ tetapi pihak Indonesia tidak dapat menolaknya:
“Notwithstanding anything to the contrary in this Agreement,
neither Party nor such Party’s directors, officers, employees or
affiliates, shall be liable for any incidental, special, indirect or
consequential damages or losses of any kind caused to the other
Party or anyone on its behalf, including, without limitation, loss
of profits, business, data or revenue, regardless of whether they
were advised of the possibility of the occurrence of such
damages or losses.“

158
08.2 EX AEQUO ET BONO VERSUS IN STRICTO
SENSU – 1/5

▪Prinsip ‘ex aequo et bono’ Lat: "sesuai dengan apa


yang setara dan baik", maksudnya: memberi
kebebasan kepada hakim untuk memutuskan
kasusnya dengan adil dan baik untuk para pihak,
sesuai dengan kekebasan hakim dalam sistem
Common Law.

▪Prinsip ‘ex aequo et bono’ merupakan konsekuensi


dari alam pikir ‘rule of law’ (yang sukar
diterjemahkan ke dalam bahasa2 German maupun
Romanik), tidak sama dengan ‘Rechtsstaat’.
159
08.2 EX AEQUO ET BONO VERSUS IN STRICTO
SENSU – 2/5
▪Dalam sistem Civil Law hakim harus mentaati
prinsip ‘in stricto sensu’ (strict sense of the law) dan
mengacu kepada hukum yang telah dikodifikasikan
(karena itu sering dituding sebagai ‘positivisme
hukum’).

▪Prinsip ‘in stricto sensu’ merupakan konsekuensi


dari doktrin ‘Rechtsstaat’ (Jerman dan Belanda), atau
“Autorité de la loi” (kekuasaan hukum, Prancis) yang
sejarahnya hendak memerangi kesewenangan
absolutisme.
160
08.2 EX AEQUO ET BONO VERSUS IN STRICTO
SENSU – 3/5
▪Baik prinsip ‘ex aequo et bono’ maupun prinsip ‘in stricto
sensu’ memang memiliki kekuatan dan kelemahan
masing2, yang tidak dapat dilepaskan dari filsafat hukum
dan sejarah politik yang melatar-belakanginya masing2.

▪Subekti: According to the Code of Civil Procedure,


arbitrators shall decide according to the rules of the Law,
unless the arbitration agreement or the arbitration clause
has given to them the competence to decide “ex aequo et
bono“.
(Prof. R. Subekti, SH., Kumpulan Karangan: Hukum Perikatan, Arbitrase dan
Peradilan, Bandung: Alumni, 1992: 64.)

161
08.2 EX AEQUO ET BONO VERSUS IN STRICTO
SENSU – 4/5
▪“The Parties and the Escrow Agent further expressly agree that
Article 631 of the R.V. shall apply only to the extent that the
members of the board of arbitration shall be bound by strict rules
of law in making their or his/her decision and may not pronounce
judgment on equitable principle or ‘Ex aequo et bono.’”

▪“Keputusan mahkamah arbitrase akan mengikat secara final


terhadap para pihak pada Perjanjian ini. Para pihak pada
Perjanjian ini secara tegas setuju dengan Undang-Undang No. 30
of 1999 mengenai Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif
(‘Undang-Undang Arbitrase’) bahwa dalam memutuskan ketidak-
sepakatan atau sengketa, para arbiter akan terikat pada aturan-
aturan hukum yang ketat, dan tidak boleh beralih untuk
memutuskan hal itu secara setara dan pantas (Ex aequo et bono).”
162
08.2 EX AEQUO ET BONO VERSUS IN STRICTO
SENSU – 5/5
“Any dispute arising from or related to the present
contract shall be submitted to the FIBA Arbitral
Tribunal (FAT) in Geneva, Switzerland and shall be
resolved in accordance with the FAT Arbitration Rules
by a single arbitrator appointed by the FAT President.
The seat of the arbitration shall be Geneva,
Switzerland. The arbitration shall be governed by
Chapter 12 of the Swiss Act on Private International
Law (PIL), irrespective of the parties' domicile. The
language of the arbitration shall be English. The
arbitrator shall decide the dispute Ex aequo et bono.”
163
08.3 Negligence dan Misconduct – 1/3

▪Kita mengenal konsep negligence (kelalaian), tetapi


kita tidak mengenal misconduct (perbuatan
jahat/tidak pantas) dalam arti perbuatan yang
bertentangan dengan kontrak maupun etika bisnis
umumnya.

▪Lebih lagi, kita tidak membedakan negligence dari


gross negligence (kelalaian berat) dan willful
misconduct (perbuatan jahat/tidak pantas yang
disengaja).

164
08.3 Negligence dan Misconduct – 2/3

Sistem Common Law membedakan keempat konsep


itu dengan tajam dalam kaitan dengan akibatnya
terhadap korbannya, sbb.:
▪gross negligence: lebih berat daripada negligence;
▪misconduct: lebih berat dari gross negligence; dan
▪willful misconduct: lebih berat dari misconduct.
Perbedaannya nanti akan terletak dalam berat atau
ringannya ganti rugi yang harus dibayar oleh pelaku.

165
08.3 Negligence dan Misconduct – 3/3

Model suatu klausula terkait:


“Each Party shall be responsible for, and shall
indemnify the other Party from and against, all
damages incurred by such other Party and/or its
personnel (including injury or death) and/or their
property arising or resulting from the (gross)
negligence and/or (willful) misconduct of such Party
and/or its personnel in the performance of this
Agreement. “

166
08.4 Penalty (hukuman) dan Fine (denda)

▪Sanksi dapat dijatuhkan karena undang2 atau karena kontrak.


Dalam kerangka kontrak, para pihak dapat menyepakati sanksi
apa yang harus dijatuhkan dalam hal terjadinya suatu
pelanggaran terhadap kontrak.
▪Apa yang dapat disepakati sebagai sanksi oleh para pihak
dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kontrak adalah:
a) denda (fine, misalnya dalam keterlambatan membayar);
b) perampasan barang (misalnya dalam hal ingkar janji dalam
leasing kendaraan); atau
c) lock-out (misalnya blokade terhadap bangunan yang
disewa dalam hal penerima sewa tidak membayar uang
sewa).
167
08.5 Doktrin non-ultra petita – 1/3

▪ Doktrin ini berasal dari Hukum Romawi. Aslinya berbunyi:


“ne eat iudex ultra petita partium“ (Lat.: tiada pernah hakim
bertindak lebih jauh daripada yang dimohonkan oleh para
pihak).

▪“Ultra Petita” is a Latin term which means beyond that which


is sought. It is used to refer to a decision of a court which grants
more than what is asked for.

▪Lawannya adalah “non ultra petita”, artinya: "not beyond the


request", artinya: pengadilan tidak boleh memutuskan lebih
dari yang dimohonkan oleh penggugat kepadanya.

Apa logikanya?
168
08.5 Doktrin ultra petita – 2/3

▪Doktrin Ultra Petita biasa diterapkan oleh pengadilan2 di


Amerika Serikat, jika para hakim memandang bahwa
kepada penggugat pantas diberikan lebih daripada apa yang
digugatnya. Jadi itu adalah apa yang dipandang menjadi
Common Law sebagai hasil dari common sense. (Apa
logikanya?)

▪Sebaliknya, doktrin Non-Ultra Petita berlaku terhadap


hakim yang bekerja berdasarkan Civil Law. Logikanya:
hakim harus menjatuhkan suatu keputusan berdasarkan
hukum positif (yang telah dikodifikasikan) yang memang
berlaku terhadap suatu gugatan yang diajukan oleh
penggugat.

169
08.5 Doktrin ultra petita – 3/3
Berikut ini adalah argumen mengenai doktrin Ultra Petita dalam
hukum Indonesia:
▪ “Ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan Pasal
189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus
melebihi apa yang dituntut (petitum). … Di dalam hukum Pdt
berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim ”tidak berbuat apa-
apa”, … Hakim hanya menimbang hal2 yang diajukan para pihak dan
tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita
atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah
hal2 yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat
membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah
sendiri hal2 yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari
yang diminta.”
▪Jadi, dalam sistem hukum Indonesia harus diberlakukan doktrin
Non Ultra Petita. (Blog Seputar Hukum dan Peradilan, Ex Aequo et Bono, 22 Mei 2011,)
170
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 1/30
▪Perbedaan2 antara sistem Common Law dan sistem Civil
Law yang berpengaruh luas terhadap kebanyakan negara di
dunia mendorong orang untuk membangun berbagai
kesepakatan pada tingkat dunia untuk menegakkan standar2
dalam pembuatan kontrak2 niaga.
▪Perhatian untuk masalah standar2 dalam pembuatan
kontrak2 niaga pada tataran internasional sudah dimulai
sebelum pecahnya Perang Dunia II, sebelum pertengahan abad
ke-20.
▪“International contracts are often subject also to international
sources such as conventions, or to non-national sources (often
also called, … lex mercatoria, or trans-national law or,
borrowing … public international law, soft law).”
171
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 2/30

▪Konvensi2 internasional bertujuan mencapai penyamaan


persepsi mengenai ketentuan2 kontrak internasional, supaya
lebih efisien dalam pelaksanaannya maupun penyelesaian
sengketa (jika timbul).
▪Selalu ada konsep2 yang diajukan dalam konvensi2
internasional itu tidak diterima baik secara sebagian dan
apalagi sepenuhnya oleh berbagai negara.
▪Contoh: Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982
(UNCLOS) yang begitu penting, ditolak oleh Amerika Serikat,
yang justru memiliki kekuatan maritim terbesar di dunia.

Apa logikanya keberatan Amerika Serikat?

172
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 3/30
09.1. The International Chamber of Commerce (ICC) 1/2
Berkedudukan/didirikan di Paris, tahun 1919, kini beranggotakan 180
negara. Produknya yang banyak diterapkan dalam kontrak2 yang
melibatkan para pihak antar-yurisdiksi:
▪Tahun 1923 ICC mendirikan the International Court of Arbitration,
yang menyelesaikan sengketa2 berdasarkan ICC Rules of Arbitration,
(versi terakhir tahun 2012).
▪Incoterms® – International Commercial Terms, disingkat sebagai
“Incoterms”, mula2 diberlakukan tahun 1936, versi terakhir tahun
2010.
▪Dalam hukum Indonesia, keberlakuan dari International Arbitration
Agreement didasarkan pada Undang2 no. 30 tahun 1999 tentang
Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian Sengketa Alternatif
melalui arbitrase harus disepakati oleh para pihak secara tertulis (Pasal
3).
(Apa akibatnya?) 173
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 4/30
09.1. The International Chamber of Commerce (ICC) 2/2
Chaterine Kessedjan: Eksekusi keputusan dari suatu arbitrase di
Indonesia memerlukan keputusan hakim mengenai 4 hal pokok:
a) keabsahan dari suatu kesepakatan arbitrase di antara para
pihak (format, materi);
b) tindakan sementara yang diperlukan selama proses arbitrase
(injunction).
c) pengabaian keputusan arbitrase, dan
d) eksekusi keputusan arbitrase.
Court ruling Indonesia tentang keberlakuan perjanjian ybs serta
eksekusi dari keputusan arbitrase asing dalam yurisdiksi Indonesia
potensial menghambat penyelesaian perselisihan yang sudah
diputuskan melalui proses arbitrase.

174
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 5/30
09.1. INCOTERMS – 1/4
▪ Incoterms: International Commercial Terms (ketentuan2
komersial internasional): dirumuskan dan pertama kali diterbitkan
tahun 1936 oleh the International Chamber of Commerce (ICC).
▪ Incoterms terakhir adalah terbitan ke-8 dari tahun 2010, dan
digunakan oleh kalangan niaga untuk melakukan pengiriman dan
penyerahan barang dalam rangka jual-beli atau kontrak2 pengadaan
(procurement contracts).
▪ Ciri yang menonjol dari rumus2 Incoterms adalah penggunaan
singkatan tiga huruf besar yang sudah menjadi istilah umum.
▪ Tujuan utama dari Incoterms adalah untuk mengkomunikasikan
dengan jelas dan tegas, syarat2 yang berkenaan dengan tugas
pembeli dan penjual, biaya dan risiko yang bisa terkait dengan
transportasi dan penyerahan barang.
175
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 6/22
09.1. INCOTERMS – 2/4

▪Incoterms de facto sudah diterima dan dimanfaatkan oleh


pemerintah, badan2 pemerintah, importir, exportir, lawyers,
usaha angkutan, asuransi, bank dan praktisi di seluruh
dunia dalam bidang perdagangan internasional.
▪Tujuan dari Incoterms adalah untuk menghapuskan atau
paling sedikit mengurangi ketidakpastian yang terkait dengan
urusan pengiriman dan penyerahan barang di berbagai
bagian dunia.
▪Di bawah ini adalah suatu uraian singkat mengenai FOB dan
CIF yang banyak digunakan oleh para pihak yang berkontrak.

176
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 7/22
09.1. INCOTERMS – 3/4
▪FOB dari: Free On Board: penjual menyerahkan barang di
kapal yang ditunjuk pembeli di pelabuhan pengapalan atau
lokasi pengadaan barang. Risiko kehilangan/kerusakan
barang beralih ketika barang berada di atas kapal, pembeli
menanggung segala biaya sejak saat itu.
▪CIF dari: Cost, Insurance and Freight: penjual
menyerahkan barang di kapal atau lokasi pengadaan barang.
Risiko kehilangan/kerusakan beralih ketika barang berada di
atas kapal. Penjual harus mengontrak untuk dan
membayar biaya dan pengangkutan untuk membawa
barang ke pelabuhan tujuan yang ditunjuk.

177
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 8/22
09.1. INCOTERMS – 4/4

▪“Penjual mengontrak asuransi terhadap risiko pembeli


untuk kehilangan/kerusakan terhadap barang selama
pengangkutan.
▪Pembeli harus mencatat, bahwa berdasarkan CIF penjual
harus mendapatkan asuransi sebatas minimumnya.
▪Jika pembeli hendak mendapatkan perlindungan
asuransi lebih, maka pembeli harus bersetuju secara
tegas dengan penjual atau mengatur sendiri
tambahan asuransi yang dikehendakinya.”

178
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 9/30
09.1. INCOTERMS – 4/4

179
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 10/30
09.2. FIDIC – 1/5
▪Pencipta FIDIC : Fédération Internationale Des Ingénieurs-
Conseils (Inggris: International Federation of Consulting
Engineers). Versi terakhir: tahun 2017
▪Kontrak2 FIDIC membedakan GCC (General Conditions of
Contract) dari SCC (Special Conditions of Contract). GCC adalah
ketentuan2 umum yang akan membentuk bagian utama dari
keseluruhan suatu set bid documents dan tidak boleh dirubah.

▪Perubahan2 yang diperlukan ditampung dalam SCC yang


relevan untuk suatu bid (penawaran) yang spesifik, dan harus
dibentuk terpisah untuk setiap bid (jika ada beberapa bid) dan
akan merupakan tambahan terhadap GCC.
▪Kekuatan SCC: jika ada perbedaan antara GCC dan SCC, maka
ketentuan2 SCC yang akan menentukan.
180
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 11/30
09.3. FIDIC – 2/5
Beberapa model kontrak FIDIC:
▪The Short Form Construction Contract (Green Book):
Conditions of Contract for Construction for Building and
Engineering Works Designed by the Employer (below
USD500,000 and less than 6 months);
▪The Plant and Design-Build Contract (Yellow Book):
Conditions of Contract for Plant and Design-Build for Electrical
and Mechanical Plant and for Building and Engineering Works
Designed by the Contractor;
▪The EPC/Turnkey Contract (Silver Book): Conditions of
Contract for (Engineer, Procure, Construct) EPC/Turnkey
Projects: Contractor takes total responsibility for the design,
procurement, construction and operation of the Project;
181
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 12/30
09.3. FIDIC – 3/5
▪The Plant and Design-Build Contract (Yellow Book):
Conditions of Contract for Plant and Design-Build for Electrical
and Mechanical Plant and for Building and Engineering Works
Designed by the Contractor;
- Peranan (dan tanggung-jawab) Kontraktor yang lebih besar.
- Lebih banyak batas waktu untuk menyelesaikan berbagai
persoalan dengan Pemilik.
- High unforeseen risks.
- No maintenance.

182
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 13/30
09.3. FIDIC – 4/5
▪The EPC/Turnkey Contract (Silver Book): Conditions of
Contract for (Engineer, Procure, Construct) EPC/Turnkey
Projects: Contractor takes total responsibility for the design,
procurement, construction and operation of the Project;
▪- Lumpsum fixed price
▪- Peranan Pemilik yang terbatas
▪- Tidak banyak unforseen risks
▪- Projek diserahkan kepada Pemilik jika sudah siap operasi
untuk dibayar.

183
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL 14/30
09.3. FIDIC – 5/5

184
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 15/30
09.4. UNCITRAL 1/3
▪UNCITRAL: The United Nations Commission on International
Trade Law, dibentuk oleh Majelis Umum PBB melalui
Resolution 2205 (XXI) tanggal 17 Desember 1966 dengan
tujuan: "to promote the progressive harmonization and
unification of international trade law".

▪UNCITRAL Model Law on International Commercial


Arbitration (2006)

CHAPTER I. GENERAL PROVISIONS


Article 1. Scope of application
(1) This Law applies to international commercial arbitration,
subject to any agreement in force between this State and any
other State or States.
185
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 16/30
09.4. UNCITRAL 2/3

▪Indonesia adalah anggota UNCITRAL, tetapi belum


melakukan ratifikasi terhadapnya, sehingga tidak (belum)
diwajibkan untuk tunduk terhadapnya, tetapi berdasarkan
hukum internasional sudah tidak boleh melakukan tindakan
yang bertentangan.
▪Karen Mills: Indonesia’s Arbitration Law (Undang2 no. 30
tahun 1999) is not based upon the UNCITRAL Model Law,
although it has a number of similar provisions.

186
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 17/30
09.4. UNCITRAL 3/3
UNCITRAL mencakup 9 konvensi, meski yang sudah amat relevan
adalah:
▪ Konvensi (3) CISG: Convention on Contracts for the International
Sale of Goods,
▪ Konvensi (4) Convention on International Bills of Exchange and
International Promissory Notes,
▪ Konvensi (6) SBLC: Convention on Independent Guarantees and
Stand-by Letters of Credit.
karena banyak sekali terlibat dalam praktik perniagaan.
▪Indonesia ikut menandatangani UNCITRAL, tetapi masih dalam
tahap menyiapkan ratifikasi Convention on Contracts for the
International Sale of Goods yang kerap disingkat sebagai ‘CSIG.‘
▪Kendati demikian, dalam praktik kita mengamati: banyak mitra
asing kontrak sudah menginginkan penyesuaian dalam kontrak
mereka dengan pihak Indonesia. 187
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 18/30
09.5. The Vienna Convention on Contracts for the International
Sale of Goods (‘CISG’) 1/4
▪ CISG dirancang oleh UNCITRAL dan diadopsi di Wina tahun 1980.
CISG (juga dikenal sebagai Vienna Convention) didasarkan pada dua
upaya penyeragaman perdagangan internasional:
▪a) konvensi2 yang berkaitan dengan ULF: the Uniform law on the
Formation of Contracts for the International Sale of Goods serta:
▪b) ULIS: the Uniform Law on the International Sale of Goods. (Den
Haag 1949).
▪Konvensi Den Haag ini buntu, sehingga tahun 1968 UNCITRAL
ditugaskan untuk mengerjakan kedua konvensi itu menjadi naskah
yang lebih akseptabel.
▪UNCITRAL kemudian mengajukan Vienna Convention (resminya
CISG) dengan modifikasi yang membuatnya bisa diterima oleh
negara2 yang berbeda latar belakang hukum, ekonomi dan sosialnya.
188
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 19/30
09.5. CISG 2/4
▪CISG ditandatangani 63 negara dan mendapat banyak perhatian dunia
akademis sebagai model pertama dari hukum yang seragam sebagai
suatu hukum internasional yang diratifikasi begitu banyak negara, tetapi
juga memberikan pengakuan terhadap aturan2 yang dilahirkan
dari praktik komersial internasional.
▪Kuncinya akan terletak pada CISG: apakah dapat menjadi suatu badan
internasional yang otonom yang mengadopsi perubahan2 keadaan
(ingat ‘rebus sic stantibus’) yang tidak tergantung dari yurisdiksi dari
negara2 peratifikasi dengan aneka sistem hukum.
▪CISG justru tidak/belum diratifikasi oleh sejumlah negara penting
seperti Inggris Raya, beberapa negara di Amerika Tengah dan Amerika
Selatan, kebanyakan negara Arab dan Afrika, India dan sejumlah negara
Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Para pihak yang berkontrak dari
Amerika Serikat malahan menggunakan Artikel 6 dari CISG untuk
mengesampingkan CISG dalam kontrak2 mereka.
189
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 20/30
09.5. CISG 3/4
▪Seperti biasa dalam praktik, para penandatangan bisa
melakukan pensyaratan (reservation), dan memang
digunakan oleh negara2 Skandinavia, yang mengajukan
pensyaratan terhadap Part II CISG mengenai pembentukan
kontrak (pensyaratan Artikel 92), dan mengesampingkan
berlakunya CISG terhadap kontrak2 antar-negara
Skandinavia (pensyaratan Artikel 94).
▪Argentina, Chile, Tiongkok, Rusia dan Ukraina mengajukan
pensyaratan terhadap ketentuan2 yang mengizinkan kontrak2
dibuat, diamandemen atau diakhiri dengan cara lain selain
yang tertulis (pensyaratan Artikel 96).

190
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 21/30
09.5. CISG 4/4
▪Daya kerja CISG sekarang masih lumayan terbatas. Namun
hubungan internasional memang selalu begitu, dan CISG
mempunyai dua kemungkinan: daya lakunya menjadi
semakin luas, atau bisa juga meredup dan menjadi
dokumen mati.
▪ Tetapi para pihak yang berkontrak dapat dengan bebas
mengadopsi ketentuan2 dari CISG dalam kontrak mereka,
jika mereka memandangnya bermanfaat karena
memudahkan kerjasama mereka: business pragmatism.
▪Dan jika kebiasaan itu meluas, negara2 akan dihadapkan
pada suatu situasi de facto yang harus mereka kukuhkan
secara de jure melalui parlemen2 mereka.
191
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 22/30
09.6. UNIDROIT 1/9
▪UNIDROIT: Institut international pour l'unification du
droit privé (dalam bahasa Inggris: the International Institute
for the Unification of Private Law) didirikan tahun 1924
berdasarkan keputusan Liga Bangsa2 (League of Nations).
▪League of Nations yang didirikan seusai Perang Dunia I itu
kemudian bubar karena Perang Dunia II, dan de facto setelah
Perang Dunia II kemudian berganti menjadi United Nations
(PBB).
▪Karena League of Nations bubar, UNIDROIT didirikan lagi
pada tahun 1940, dan berkedudukan di Roma, Italia.

192
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 23/30
09.6. UNIDROIT 2/9

▪Tahun 1994 UNIDROIT menerbitkan UNIDROIT Principles


yang pertama, kemudian direvisi pada tahun 2004, dan edisi
terakhir adalah tahun 2016.
▪UNIDROIT Principles adalah dokumen dengan 500 halaman,
dengan bagian yang memuat legendanya (cara membacanya)
saja berjumlah 45 halaman.
▪Menilik isinya, UNIDROIT Principles adalah codex yang
memuat aturan2 umum (general rules) untuk mengatur
“international commercial contracts.”

193
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 24/30
09.6. UNIDROIT 3/9
▪Indonesia mengakui UNIDROIT atas dasar PerPres No. 59
Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International
Institute for the Unification of Private Law (Statuta Lembaga
Internasional Untuk Unifikasi Hukum Pdt), meskipun
UNIDROIT sendiri tidak memiliki kekuatan mengikat secara
hukum.
▪Masalahnya: ada juga kontrak2 yang melibatkan pihak
Indonesia yang mengajukan sebagian prinsip2 UNIDROIT.
▪Pada akhirnya adalah memang materi kontrak yang akan
menjadi bahan pertimbangan untuk menerima atau tidak
menerima prinsip2 tersebut, yang memang bisa dilakukan
sejauh tidak bertentangan dengan hukum Indonesia.
194
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 25/30
09.6. UNIDROIT 4/9
“Perbedaan Prinsip UNIDROIT dengan CISG 1980 antara
lain:
▪UNIDROIT merupakan upaya pengaturan hukum kontrak
internasional terhadap transaksi yang tidak terbatas
pada jual-beli barang internasional.

▪sedangkan CISG mengkhususkan diri pada kontrak jual-


beli barang internasional.”
▪Perhatian lebih banyak kepada UNIDROIT Principles itu,
karena banyak pihak dari kawasan negara industri maju
mulai merujuk kodex itu dalam kontrak2 mereka, sehingga
lambat laun juga akan menghadapkan kita kepada tuntutan
untuk memahami apa yang mereka kehendaki.
195
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 26/30
09.6. UNIDROIT 5/9
▪UNIDROIT Principles bukanlah suatu konvensi internasional
ataupun model hukum, melainkan lebih mirip dengan fungsi
seperti yang dilakukan oleh Restatements of the Law yang
diterbitkan oleh the American Law Institute pada tataran
internasional.
▪Prinsip2 itu lebih bermaksud merumuskan secara sistematis
dan dengan cara yang memungkinkan interpretasi yang
sama terhadap kaidah2 utama yang berlaku dalam bidang
kontrak internasional di seluruh dunia.
▪Prinsip2 itu untuk sebagian merupakan kodifikasi dari
prinsip2 yang bersifat umum yang dimuat dalam kontrak2
internasional.
196
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 27/30
09.6. UNIDROIT 6/9
▪Prinsip2 UNIDROIT merupakan hasil kerja perbandingan
hukum yang intensif dari ahli2 dan menawarkan formula2
yang modern dan fungsional, dan berambisi untuk
mendapatkan perhatian dari parlemen2 sedunia ketika
mereka merumuskan undang2 atau peraturan di bidang
kontrak internasional.
▪Ambisi itu wajar belaka karena memang menguntungkan
seluruh dunia. Prinsip2 UNIDROIT juga bertujuan untuk
digunakan sebagai acuan dalam menafsirkan dokumen2
internasional.
▪Tetapi lebih jauh Prinsip2 UNIDROIT maunya juga dirujuk
sebagai pedoman perumusan oleh para pihak yang
berkontrak dalam merumuskan kontrak mereka.
197
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL – 28/30
09.6. UNIDROIT 7/9
▪Para perumus dari Prinsip2 UNIDROIT hendak mengajukan
aspirasi yang netral: para pihak yang berkontrak hendaknya
merujuk kepada Prinsip2 UNIDROIT ketimbang hukum suatu
negara tertentu, ketika menentukan klausula “governing law”,
lebih2 jika suatu sistem hukum yang dipilih untuk berlaku
terhadap kontrak itu ternyata sukar untuk diterapkan.
▪Prinsip2 UNIDROIT terutama berguna bagi para arbiter, lebih2
ketika mereka sedang hendak memutuskan suatu perselisihan
yang melibatkan pihak2 trans-nasional.
▪Mereka tidak lagi akan harus mempelajari kebiasaan2 dagang
internasional atau konsep2 yang mirip entah dari mana saja.

▪Singkat kata: mereka dapat mengandalkan Prinsip2 UNIDROIT.

198
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL –
29/30
09.6. UNIDROIT 8/9
UNIDROIT PRINCIPLES
OF INTERNATIONAL COMMERCIAL CONTRACTS
2010
PREAMBLE (Purpose of the Principles)
CHAPTER 1: GENERAL PROVISIONS
CHAPTER 2: FORMATION AND AUTHORITY OF AGENTS
CHAPTER 3: VALIDITY
CHAPTER 4: INTERPRETATION
CHAPTER 5: CONTENT, THIRD PARTY RIGHTS AND CONDITIONS
CHAPTER 6: PERFORMANCE
CHAPTER 7: NON-PERFORMACE
CHAPTER 8: SET-OFF
CHAPTER 9: ASSIGNMENT OF RIGHTS, TRANSFER OF
OBLIGATIONS. ASSIGNMENT OF CONTRACTS
CHAPTER 10: LIMITATION PERIODS
CHAPTER 11: PLURALITY OF OBLIGORS AND OF OBLIGEES
Annex: Text of the Articles of the Principles of International Contracts
Index

199
09. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL
– 30/30
09.6. UNIDROIT 9/9
Article 1.1 (Freedom of contract)
Article 1.2 (No form required)
Article 1.3 (Binding character of contract)
Article 1.4 (Mandatory rules)
Article 1.5 (Exclusion or modification by the parties)
Article 1.6 (Interpretation and supplementation of the
Principles)
Article 1.7 (Good faith and fair dealing)
Article 1.8 (Inconsistent behaviour)
Article 1.9 (Usages and practices)
Article 1.10 (Notice)
Article 1.11 (Definitions)
Article 1.12 (Computation of time set by parties) .
200
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 1/11
10.1 Kepastian Hukum/Legal certainty 1/2
- hukum perjanjian Indonesia maupun sistem Common Law
tidak mensyaratkan bahwa perjanjian atau kesepakatan yang
menimbulkan perikatan/commitment harus tertulis.
- bukti mengenai kesepakatan para pihak adalah relevan jika
terjadi perselisihan di antara para pihak.
- Jika tidak ada bukti objektif, maka dihadirkan saksi. Masalahnya
adalah, saksi bisa juga menjadi tidak objektif.
- saksi bisa lupa,
- bisa juga dia memihak,
- bisa juga saksi sudah meninggal.
- maka dibutuhkan bukti objektif bagi perjanjian atau
kesepakatan, yang sudah berbentuk kontrak, yaitu perjanjian atau
kesepakatan yang tertulis.
201
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 2/11
10.1 Kepastian Hukum/Legal certainty 2/2
Sifat tertulis membuat kontrak menjadi lebih sukar untuk diabaikan,
sehingga memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkontrak maupun pihak ketiga.
Tetap saja kontrak bisa juga dipalsukan, secara subjektif maupun
objektif.
- Pemalsuan kontrak secara subjektif oleh para pihak: memalsu tempat
maupun waktu penandatanganan kontrak tidak sesuai faktanya,
kerap terjadi dengan back-dating. Dalam kenyataan bisa terjadi, bahwa
dalam masa antara tanggal mundur dan tanggal nyata itu banyak
peristiwa terjadi.
- Pemalsuan kontrak yang objektif: dengan merubah bagian2 tertentu
dari suatu kontrak.
- Baik pemalsuan kontrak secara subjektif maupun objektif adalah
perbuatan pidana.
202
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 3/11
10.2 Keadilan, Fairness dan Acceptability 1/3
1) Fungsi kontrak: memberikan kepastian (hukum) agar para pihak dapat
melaksanakan hak dan kewajiban masing2 sebagaimana disepakati dalam
kontrak.
2) Realisasi kontrak terjadi dalam proses give and take konsesional yang
menuntut fairness.
3) Fairness tidak persis sama dengan keadilan, melainkan lebih: saya akan
memberi anda timbal-balik (Lat.: aequus) untuk apa yang saya anggap
pantas (Lat.: bonum) menerimanya dari anda. Hasilnya adalah kesepakatan
yang setara dan pantas/baik (Lat.: ad aequo et bono).
4) kesepakatan setara dan pantas menentukan tingkat penerimaan
(acceptability) dari, serta ketaatan pada rumusan2 hak dan/atau kewajiban.
5) tingkat penerimaan yang relatif setara tidak menjamin tingkat fairness
dari ketentuan2 kontrak (karena salah satu pihak kurang cerdik untuk
memahami keadaan unfair itu).

203
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 4/11
10.2 Keadilan, Fairness dan Acceptability 2/3

Caveat:
Arbiter/hakim tidak berwenang mengadili:
1) apakah suatu persetujuan itu adil atau tidak adil.
2) mengadili fairness dari suatu kontrak,
3) melainkan sebatas mengadili keluhan/gugatan/complaint
dari satu pihak mengenai pelanggaran pihak lain terhadap
ketentuan2 kontrak.

204
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 5/11
10.2 Keadilan, Fairness dan Acceptability 3/3
Hakim hanya berwenang mengadili:
1) keluhan/gugatan/complaint dari satu pihak: kontrak
telah disepakati berkat pihak lain mengelabuinya, atau
karena pihak lain berhasil menyembunyikan suatu fakta
(misrepresentation) yang andaikata diketahui olehnya, dia
tidak akan menyetujui kontrak itu.
2) Keluhan/gugatan/complaint harus dibuktikan supaya
arbiter/hakim mempunyai dasar bagi keputusannya.
3) Keputusan arbiter/hakim akan adil atau tidak adil
bukannya terhadap kontrak, melainkan terhadap
pokok perselisihan berkenaan dengan pelaksanaan
kontrak.
205
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 6/11
10.3 Hakim dan Masalah Interpretasi 1/5
1)Hakim/arbiter harus yakin mengenai apa yang difahaminya dari kontrak,
dan bukan menduga2.
2)Pembaca/penelaah (reviewer) kontrak bertugas memahami apa yang
tidak jelas dari suatu kontrak. Dia harus menemukan maksud dari para
pihak mengenai keadaan2 yang mereka hadapi dengan bermacam cara:
mulai dari penafsiran harfiah sampai kepada penafsiran subjektif dan
penafsiran objektif.
3)Selama masa laku dari kontrak bisa timbul keadaan yang tidak bisa
dijelaskan oleh rumusan kata2nya, sehingga kontrak harus ditafsirkan
(baik berdasarkan Civil Law maupun Common Law).
4)Bisa saja hakim/arbiter menemukan ketentuan kontraktual yang
melanggar hukum/kepatutan/akal sehat. (ingat Psl. 1320 KUH Pdt).
Apa akibatnya?

206
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 7/11
10.3 Hakim dan Masalah Interpretasi 2/5
1)Dalam sistem Jerman pembaca/reviewer harus memahami
kehendak para pihak sesuai dengan prinsip itikad baik dan fair
dealing.
2)Untuk kepentingan predictability, penafsiran harus dilakukan
seobjektif mungkin, dengan pengertian bahwa seorang yang berakal
sehat akan berperilaku sama dalam keadaan2 yang serupa (prinsip
‘bonus pater familias’).
3)Sistem Jerman tidak mengizinkan hakim untuk membuat penafsiran
yang bertentangan dengan ketentuan2 yang jelas dari suatu kontrak
atau yang melampaui cakupan kontrak (prinsip ‘non-ultra petita’).
4)Celah yang diketemukan harus diisi sedemikian rupa sehingga
menciptakan keseimbangan dalam kepentingan yang berbeda dari
para pihak.
207
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 8/11
10.3 Hakim dan Masalah Interpretasi 3/5
1)Dalam sistem Inggris pembaca/reviewer harus memahami
maksud timbal-balik dari para pihak atas dasar kontrak itu
sendiri.
2)pembaca/reviewer harus memahami kontrak semata2
berdasarkan ketentuan2 yang tertulis di dalamnya.
3)Kata2 dari kontrak harus dimengerti menurut maknanya
yang sederhana dan harfiah.
4)Dalam sistem Inggris dianggap tidak mungkin untuk
memahami suatu kontrak dengan cara yang bertentangan
dengan bahasa kontrak itu (prinsip ‘parol evidence’), yang
mencegah para pihak menghasilkan bukti baru untuk
menambah, merubah atau menentang kata suatu kontrak.
208
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 9/11
10.3 Hakim dan Masalah Interpretasi 4/5
1) UNIDROIT Principles: pembaca/reviewer harus bisa
memastikan maksud bersama dari para pihak atau bisa
juga suatu pemahaman objektif dari seorang yang berakal
sehat (art. 4.1(2)).
2) Merger principle: article 2.17, para pihak dianggap sudah
meneguhkan semua maksud mereka dalam kontrak dan
bahwa tidak ada dokumen/bukti lain yang akan ditambahkan
atau untuk merubah maksud dari kontrak tersebut.
3) Dalam proses penafsiran celah dalam kontrak dapat diisi
dengan kriteria berdasarkan article 4.8: 1) maksud para
pihak, 2) hakikat dan tujuan dari kontrak, 3) itikad baik dan
fair dealing, 4) common sense.
209
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM KONTRAK 10/11
10.3 Hakim dan Masalah Interpretasi 5/5
Kesimpulan
1)Dalam Civil Law, penafsiran kontrak didasarkan pada kehendak para
pihak dan bukannya atas dasar kebajikan2 (virtues) atau keharusan2 yang
dimandatkan oleh alam kepada manusia.
2)Sistem Inggris tidak menerima doktrin kehendak, jadi strateginya adalah:
membuat segala2nya jelas di dalam kontrak, sehingga kontrak2 Common
Law biasanya lebih panjang dari kontrak2 Civil Law.
3)Baik dalam sistem Civil Law maupun Common Law ada saja situasi di
mana penafsiran sulit sekali dijalankan.
4)Jika hakim tidak berhasil memahami ketentuan kontrak yang disengketakan,
dia terpaksa meminta kejelasan dari kedua belah pihak dan/atau saksi ahli.
5)Tentu, para pihak memberikan penjelasan menurut versinya masing2. Dalam
keadaan serupa itu hakim akan terpaksa menerapkan doktrin mesotes dari
Aristoteles: mencari titik tengah di antara yang adil dan tidak adil.

210
10. KEPASTIAN HUKUM DAN/ATAU FAIRNESS DALAM
KONTRAK 11/11
Ambisi Common Law untuk membuat segala-galanya jelas di
dalam kontrak, dicontohkan oleh klausula ini:
• “Istilah “Informasi Rahasia” sebagaimana digunakan dalam
Perjanjian ini berarti setiap dan semua informasi teknis, niaga atau
bisnis atau informasi yang bersifat rahasia atau kepemilikan yang
diungkapkan langsung atau tak-langsung kepada Kontraktor oleh
Prinsipal atau Afiliasinya yang dalam pandangan Prinsipal dapat
berguna untuk Kontraktor dalam memenuhi kewajibannya
berdasarkan Perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada,
ketentuan2 Perjanjian ini, Spesifikasi Pembuatan, informasi
komposisi Produk Selesai, proses-proses bisnis, daftar pelanggan,
pemasok, pengangkut dan harga, di antara butir2 lainnya, dengan
kekecualian:…”
• Apa komentar anda?

211
11. KEPASTIAN HUKUM DAN
KETERBATASANNYA

“Hukum yang ditujukan untuk mencapai keadilan


itu pada akhirnya adalah hasil perumusan
manusia, jadi bisa saja salah, sehingga tidak
mungkinlah kita mengharapkan keadilan
sempurna di dunia ini.
Barang siapa bersikeras menghendaki keadilan
yang sempurna, dia harus mencarinya di alam
yang lain.”
(Bernd Rüthers: Rechstheorie, 2005: 2-3.)

212
→ Penutup

1. Sekian mengenai Perbandingan Hukum Kontrak.


2. Terimakasih untuk perhatian.
3. Sorry for all inconveniencies.
4. Nothing was personal.
5. Meskipun ilmu-pengetahuan tidak mengenal ‘maaf’,
6. Dalam profesi tidak ada kemarahan.
7. Semoga anda semua sukses.

Sampai jumpa di lain kesempatan (dunia ini ‘kecil’),


Jakarta, 2019-11-30
Budiono Kusumohamidjojo

213

You might also like