Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

MAKALAH

HUKUM ACARA PERDATA PADA PENGADILAN AGAMA

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bantuan Hukum

Dosen Pengampu : Herning Hambarrukmi, M.HI.

Oleh :

1. Zita Maulida Salsabila (1120042)

2. M. Nasik Nadiul Kaffi (1120044)

3. Fariz Arief Wibowo (1120054)

4. M. Arief Ubaidillah (1120058)

5. Uswatun Khasanah (1120072)

Kelas: HKI B

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UIN KH ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

2023
DAFTAR ISI

JUDUL ·························································································· 1
DAFTAR ISI ··················································································· I
KATA PENGANTAR ········································································ II
BAB I ···························································································· 1
PENDAHULUAN ············································································· 1
A. Latar Belakang ········································································· 1
B. Rumusan Masalah ····································································· 1
C. Tujuan ··················································································· 2
BAB II ··························································································· 3
PEMBAHASAN ··············································································· 3
A. Asas-Asas Hukum Perdata Dalam Pengadilan Agama ···························· 3
B. Kewenangan Mutlak Kompetensi Peradilan Agama ······························· 4
C. Prosedur dan Mekanisme Berperkara di Pengadilan Agama ····················· 9
BAB III ························································································ 18
PENUTUP ···················································································· 18
A. Kesimpulan ·········································································· 18
DAFTAR PUSTAKA ······································································· 19

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat taufik
serta inayah-Nya, sehingga makalah Hukum Acara Perdata Pada Pengadilan
Agamaini dapat terselesaikan dengan baik, guna memenuhi tugas mata kuliah
Bantuan Hukum.Terima kasih kepada Ibu Dosen Herning Hambarrukmi, M.HIyang
telah membantu kami akan pembuatan makalah ini.

Makalah ini merupakan kumpulan materi yang bersumber dari buku dan
internet (jurnal), Dengan harapan semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman
kepada mahasiswa tentang hukum acara perdata pada pengadilan agama. Kami
menyadari betul, bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan,
sehingga kami membutuhkan saran dan kritik yang membangun untuk penyajian dan
isinya agar kedepannya kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.

Pekalongan, 12 April 2023

Penyusun

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum acara perdata dalam pengertian lebih luas adalah sekumpulan
peraturan yang membuat bagaimana caranya orang harus bertindak di hadapan
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, untuk
melaksanakan berjalannya peraturan hukum materiil sekaligus untuk
memelihara ketertiban hukum perdata. Sedangkan Hukum acara yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
Konkritnya hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskannyadan
pelaksanaannya daripada putusannya. Karena itu sesuai dengan pasal 54 UU
No. 7 tahun 1989 Jo UU Nomor 3 tahun 2006 dinyatakan bahwa “hukum
acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah hukum acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-
undang ini”.Adapun perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum
acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya.
Hukum acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, pemanggilan,
pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan..
Pengadilan Agama dalam sistem hukum di Negara Republik Indonesia
memiliki kewenangan untuk menangani berbagai persoalan kemasyarakatan
khusus bagi yang memeluk agama Islam. Tugas utama dari Pengadilan Agama
adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan ke Pengadailan Agama. Dalam prosesnya itu terdapat
prosedur serta mekanisme yang harus dilalui dalam berperkara di pengadilan
agama.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah


sebagai berikut:
1) Bagaimana asas-asas hukum perdata dalam peradilan agama?

1
2) Bagaimana kewenangan mutlak kompetensi peradilan agama?
3) Bagaimana prosedur dan mekanisme berperkara di pengadilan agama?
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini memiliki tujuan


sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui asas-asas hukum perdata dalam peradilan agama.


2) Untuk mengetahui kewenangan mutlak kompetensi peradilan agama.
3) Untuk mengetahui prosedur dan mekanisme berperkara di pengadilan
agama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas-Asas Hukum Perdata Dalam Pengadilan Agama

Asas hukum acara perdata merupakan suatu pedoman atau dasar yang harus
dilaksanakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara perdata. Adapun asas-asas
hukum acara perdata dalam peradilan agama antara lain:1

1. Hakim bersifat menunggu

Diselenggarakannya proses acara perdata (peradilan perdata)tergantung pada


mereka yang berkepentingan. Inisiatif datang darimasyarakat, khususnya yang
berkepentingan. Dengan demikian, proses peradilan perdata terjadi bila ada
permintaan dari seseorangatau sekelompok orang yang menuntut haknya. Jadi hakim
menunggudatangnya permintaan atau tuntutan atau gugatan dari masyarakat.

2. Hakim bersifat pasif

Hakim, dalam memeriksa perkara perdata, bersifat pasif. Artinyabahwa luas


pokok sengketa yang diajukan kepada hakim pada asasnyaditentukan oleh para pihak
yang berperkara, bukan oleh hakim. Hakimhanya membantu para pencari keadilan
dan berusaha mengatasi segalahambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan
(Pasal 5 UU No.14/1970). Bila yang bersengketa mencabut gugatannya karena
telahtercapai penyelesaian melalui perdamaian, hakim tidak akanmenghalangi (Pasal
130 HIR, 154Rbg). Hakim hanya dibenarkanuntuk memutuskan apa yang diminta
oleh para pihak (Pasal 178 ayat (2) dan 3 HIR, 189 ayat (2) dan (3) Rbg).
3. Persidangan bersifat terbuka
Pada asasnya, proses peradilan dalam persidangan terbuka untukumum, setiap
orang boleh menghadiri persidangan asal tidakmengganggu jalannya persidangan dan
selalu menjaga ketertiban.Asas ini bertujuan untuk agar persidangan berjalan secara
fair,objektif, dan hak-hak asasi manusia pun terlindungi. Persidangandimungkinkan
untuk dilaksanakan dalam keadaan tertutup apabila ada alasan-alasan yang penting
atau karena ketentuan undang-undangbahwa sidang dapat dilaksanakan tertutup.

1
Bambang Sugeng AS, Sujayadi, 2013, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi
Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana) hlm. 25-27.

3
4. Mendengar kedua belah pihak
Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak yang bersengketa
harus didengar, diperhatikan, dan diperlakukan sama (Pasal 5 (1) UU
No. 14/1970). Proses peradilan dalam acara perdata wajibmemberikan kesempatan
yang sama kepada para pihak yangbersengketa. Hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satupihak sebagai keterangan yang benar, sebelum pihak lain
memberikanpendapatnya.
5. Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yangmenjadi dasar
untuk mengadili. Alasan-alasan tersebutdimaksudkan sebagai pertanggungjawaban
hakim atas putusannyaterhadap masyarakat, sehingga oleh karenanya mempunyai
nilai-nilaiobjektif. Karena adanya alasan-alasan itulah putusan mempunyaiwibawa
dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkan.
6. Beracara dikenakan biaya
Berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 4 (2), UU No.14/1970). Biaya
perkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan untuk
para pihak serta biaya materai.Mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara
dapatmengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo).
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri padaorang lain,
sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secaralangsung terhadap para pihak yang
berkepentingan. Denganmemeriksa secara langsung terhadap para pihak hakim
dapatmengetahui lebih jelas pokok persoalannya. Tetapi para pihak dapatdibantu atau
diwakili oleh kuasanya bila dikehendakinya (Pasal 123
HIR, Pasal 147 Rbg).
B. Kewenangan Mutlak Kompetensi Peradilan Agama
Mengacu pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan serta
menegakkan hukum dan keadilan tersebut, maka diperlukan kepastian hukum, dalam
hal ini tentang kompetensi (kewenangan) peradilan agama, baik yang berkaitan
dengan Subjek hukum maupun objek hukumnya. Adapun kompetensi dalam Peradilan

4
Agama, yaitu: Absolute Competensi (Kewenangan Mutlak) dan Relative Competensi
(kewenangan relatif).
Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi), yaitu kewenangan yang
menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara
tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain
disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Contoh perkara perceraian bagi orang-orang yang
beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam menjadi kewenangan
mutlak Pengadilan Agama.
Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan peradilan,
dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam
kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Untuk lingkungan Peradilan Agama, menurut Bab I Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 UU
No. 7 Tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang: (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat,
dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam; (e) wakaf dan sedekah. Dengan
demikian, kewenangan Peradilan Agama tersebut, sekaligus dikaitkan dengan asas
personalitas keislaman, yaitu yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan lingkungan
Peradilan Agama, hanya mereka yang beragama Islam.
Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak
(kompetensi absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti
tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dan berdasar atas asas
personalitas keislaman. Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari Hukum
Perdata yang menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama adalah bidang Hukum
Keluarga dari orang- orang yang beragama Islam. Oleh karena itu, menurut Prof.
Busthanul Arifin, Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi
orang-orang yang beragama Islam, seperti yang terdapat di beberapa negara lain
(family court). Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu: peradilan yang menangani
perkara-perkara di bidang Hukum Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda
dengan Peradilan Umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh
hakim, panitera, para dan sekretaris harus disesuaikan dengan tugas-tugas yang
diemban Peradilan Agama.
Selanjutnya ditegaskan bahwa Peradilan Agama sebagai peradilan keluarga
haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya, hanya melaksanakan
kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam menyelesaikan sengketa

5
keluarga yang diajukan kepadanya. Namun, Peradilan Agama haruslah menempuh
cara-cara menimbulkan kerusakan rohani dan sosial bagi para keluarga yang yang
tidak menjadi pencari keadilan. Di samping itu, Peradilan Agama harus pula
diarahkan sebagai lembaga preventif bagi kemungkinan-kemungkinan timbulnya
keretakan keluarga yang akan menjurus kepada sengketa- sengketa keluarga.
Demikian pula pada saat pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga
suasananya benar-benar manusiawi dan kekeluargaan. 2

Berikut ini akan diuraikan kompetensi atau kewenangan absolut Peradilan


Agama, baik sebelum maupun pasca diamandemennya Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 3

1) Kompetensi Absolut Peradilan Agama Sebelum Amandemen Undang-undang


Nomor 7 Tahun 1989

Adapun kompetensi (kewenangan) absolut Peradilan Agama dapat dijumpai


dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, Wakaf dan shadaqah.

Ayat (2) menyebutkan bahwa perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam


ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku. Sementara ayat (3) menyebutkan bahwa bidang
kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan
bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai

2
Sulaikin Lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2005), hlm. 103-104.
3
Sabri Fataruba. Kompetensi Absolut Pengadilan Agama dan Kekhususan Beracaranya Pasca
Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Jurnal Sasi, 2015, Vol.21 No.2 hlm. 63-65.

6
obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum.

Dengan ditunjuknya Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 oleh Pasal


50 UU No. 7 Tahun 1989, kaitan sengketa hak milik atau keperdataan lain dengan
kewenangan Peradilan Umum untuk mengadilinya, tidak lagi hanya terbatas terhadap
perkara warisan, tetapi meliputi seluruh perkara apa saja yang diperiksa Pengadilan
Agama, termasuk perkara harta bersama, hibah, wakaf dan shadaqah dan dalam
perkara-perkara itu tersangkut sengketa hak milik atau keperdataan lain, maka
sepanjang yang menyangkut sengketa milik menjadi kewenangan mutlak Pengadilan
Negeri untuk mengadilinya. Kewenangan itu dapat disimpulkan dari perkataan harus
yang tercantum dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989, yaitu
“...harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

Demikian jangkauan sengketa milik menurut Undang-Undang No. 7 Tahun


1989 yang dijelaskan di dalam ketentuan Pasal 50., tidak semata-mata hanya terbatas
dalam perkara warisan tetapi meliputi semua jenis perkara dalam semua bidang
hukum yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Selama dalam suatu
perkara yang diperiksa lingkungan Peradilan Agama terkait dengan sengketa milik
atau sengketa keperdataan lain, maka selama itu pula kewenangan Pengadilan Agama
menjadi pasif. Kewenangannya baru aktif kembali untuk memeriksa dan memutus
perkara, apabila sengketa milik atau keperdataan lain telah tuntas selesai dalam
lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, kedudukan Peradilan Agama
hanyalah merupakan sub ordinat dari Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) yang
tidak dapat memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara secara mandiri yang
menjadi kewenangannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, sepanjang perkara tersebut tersangkut hak milik yang mejadi
kewenangan Peradilan Umum.

2) Kompetensi Absolut Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-undang Nomor


7 Tahun 1989

Perubahan-perubahan penting pasca amandemen Undang-undang Nomor 7


Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dapat dilihat dalam ketentuan mengenai
kekuasaan absolut Pengadilan Agama. yang bersifat umum yang menetapkan bahwa
Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari

7
keadilan yang beragama Islam mengenai “perkara perdata tertentu”. Sementara dalam
Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 ditetapkan bahwa Peradilan Agama adalah
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai “perkara tertentu”. Perubahan klausul dari “perkara perdata tertentu”
menjadi “perkara tertentu” menunjukkan bahwa Peradilan Agama memiliki potensi
untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata yang lebih luas.

Kewenangan Pengadilan Agama pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 3


Tahun 2006 di dalam menyelesaikan perkara dalam bidang perkawinan hampir sama
dengan kewenangan yang terdapat Undang-undang 7 Tahun 1989, hanya saja
ditambah lagi satu kewenangan, yaitu penetapan status anak berdasarkan hukum
Islam. kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah serta ekonomi syariah menurut
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.

Dalam bidang kewarisan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah


memberikan kekuasaan dan wewenang penuh kepada Peradilan Agama untuk
menyelesaikan sengketa waris bagi umat Islam. Hal ini terlihat dengan dihapusnya
pilihan hukum penyelesaian perkara waris baik di Peradilan Agama atau di Peradilan
Umum, sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 3
tahun 2006 paragraf kedua. Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini
pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan”, telah dihapus. Selanjutnya pernyataan tersebut ditegaskan lebih
lanjut dalam Pasal 50 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Dengan demikian, penyelesaian sengketa waris menjadi kewenangan


Peradilan Agama jika pewaris beragama Islam. Tetapi jika pewaris beragama selain
Islam, maka menjadi kewenangan Peradilan Umum, sebab hukum waris yang berlaku
adalah berdasarkan agama pewaris. Jadi bukan berdasarkan agamanya para ahli waris.
Apabila pewaris beragama Islam, maka hukum waris yang berlaku adalah hukum

8
waris Islam. Demikian pula halnya, apabila pewarisnya beragama selain agama Islam,
maka hukum waris yang berlaku menurut agama pewaris tersebut. 4

Kompetensi (kewenangan) absolut Peradilan Agama mengenai perkara


ekonomi syari’ah yang di dalamnya termasuk juga perbankan syari’ah, sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 mempertegas bahwa ketika
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah terjadi
sengketa, maka muara penyelesaian sengketa dimaksud secara litigasi adalah menjadi
kompetensi Peradilan Agama. Adapun penyelesaian melalui non-litigasi dapat
dilakukan melalui lembaga arbitrase dalam hal ini BASYARNAS (Badan Arbitrase
Syariah Nasional) dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan
ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip
syari’ah.

Sedangkan Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu mengatur


pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa tergantung pada
tempat tinggalnya tergugat. Kekuasaan Relatif (distributie van rechtsmacht) asasnya
adalah yang berwenang pada pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
Misalnya antara pengadilan agama pekalongan dengan Pengadilan Agama Kajen atau
Pengadilan Agama lainnya.

C. Prosedur dan Mekanisme Berperkara di Pengadilan Agama

Perkara yang sudah didaftar di Pengadilan Agama oleh Penggugat/Pemohon


selanjutnya tinggal menunggu panggilan sidang dari Juru Sita/Juru Sita Pengganti.
Pemanggilan oleh Juru Sita/Juru Sita Pengganti kepada pihak Penggugat/Pemohon
dan Tergugat/Termohon dilakukan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang sudah
sampai kepada yang bersangkutan, dan langsung disampaikan kealamat
Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon seperti yang tersebut dalam surat
gugatan/permohonan. Jika pada saat dipanggil para pihak tidak ditemukan di
alamatnya, maka panggilan disampaikan melalui Kepala Desa/Lurah dimana para
pihak bertempat tinggal.

4
Abdul Ghafur al-Anshari, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 tahun 2006 (Yogyakarta:
UII Press, 2007), hlm. 55.

9
Jika para pihak sudah dipanggil dan datang ke Pengadilan Agama segera
mendaftarkan diri di piket Meja Informasi yang tersedia, dan tinggal menunggu
antrian sidang. Para pihak yang sedang, menunggu giliran sidang diruangan khusus
yang tersedia sambil menonton televisi.

Mekanisme pemeriksaan perkara perdata peradilan agama yang dilakukan di


depan sidang pengadilan secara sistemik harus melalui beberapa tahap berikut yakni:
pertama,melakukan perdamaian antar kedua belah pihak yang beperkara; kedua,
pembacaan surat gugatan/ permohonan; ketiga, jawaban tegugat/temohon; keempat,
Replik (tangkisan atas jawaban) dari penggugat/Pemohon; kelima, Duplik dari
tergugat/termohon (tangkisan atas replik); keenam,tahap pembuktian; ketujuh,tahap
kesimpulan, dan kedelapan, tahap putusan atau penetapan dari majelis hakim.
Pemeriksaan perkara di muka persidangan Pengadilan Agama, diantaranya adalah
sebagai berikut5 :

a. Sidang Pertama
Pada sidang pertama yang telah ditetapkan dan para pihak telah
dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir dalam persidangan pengadilan,
dalam hal ini dapat ditemukan beberapa kemungkinan, yaitu :
1) Penggugat/Pemohon tidak hadir, sedang Tergugat/Termohon hadir,
maka hakim dapat bertindak sebagai berikut :
a) Menyatakan gugatan/permohonan gugur atau menunda
persidangan sekali lagi untuk memanggil penggugat/pemohon.
Gugatan dinyatakan gugur apabila:
 Penggugat telah dipangil dengan patut dan resmi.
 Penggugat tidak hadir dalam sidang dan tidak menyuruh
orang lain untuk hadir sebagai wakilnya serta terbukti
bahwa ketidakhadirannya itu karena alasan yang sah.
 Tergugat hadir dalam sidang dan mohon putusan.
Dalam hal ini, penggugat/ pemohon baru dengan

5
Suharto, Pengkajian Praktek Tugas Wewenang dan Prosedur Sidang di Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri (Berdasar Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009), Jurnal Hukum dan
Pendidikan, vol. 1, no. 2, September 2015, hlm. 114-253.

10
membayar lagi panjar biaya perkara, atau mengajukan
banding.
2) Tergugat/Termohon tidak hadir, sedang Penggugat/Pemohon hadir.
maka hakim dapat bertindak sebagai berikut :
a) Menunda persidangan untuk memanggil tergugat/termohon
sekali lagi, atau menjatuhkan putusan verstek, karena
tergugat/termohon dinilai ghoib. Putusan verstek dapat
dijatuhkan apabila :
 Tergugat/termohon telah dipanggil dengan patut dan
resmi.
 Tergugat/termohon tidak hadir dalam sidang dan tidak
menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya serta
tidak terbukti bahwa ketidakhadirannya itu disebabkan
oleh sesuatu halangan atau alasan yang sah.
 Penggugat/pemohon hadir dalam persidangan dan
mohon putusan. Dalam hal ini hakim menasehati agar
penggugat/pemohon mencabut kembali gugatannya.
Jika tidak berhasil maka gugatannya dibacakan. Jika
penggugat/ pemohon tetap mempertahankan dan mohon
dijatuhkan putusan, maka hakim akan
mempertimbangkan gugatannya tersebut dan kemudian
menjatuhkan putusannya di luar hadirnya tergugat
(verstek).
3) Tergugat/Ternohon tidak hadir tetapi mengirim surat jawaban.
Maka surat itu tidak perlu diperhatikan dan dianggap tidak
pernah ada, kecuali jika surat itu berisi perlawanan (eksepsi) bahwa
Pengadilan Agama yang bersangkutan tidak berwenang untuk
mengadilinya. Dalam hal ini, eksepsi harus diperiksa oleh hakim dan
diputus setelah mendengar dari penggugat/ pemohon.
Jika eksepsi diterima maka hakim menyatakan bahwa gugatan
tidak diterima dengan alasan Pengadilan Agama tidak berwenang
mengadili. Dan jika eksepsi ditolak, karena dinilai tidak benar, maka
hakim memutus dengan verstek biasa. Apabila tergugat kemudian

11
mengajukan verzet dan di dalam verzet itu mengajukan eksepsi lagi,
maka eksepsinya tidak diterima kecuali eksepsi mengenai kewenangan
absolut. Jika ternyata perkara tersebut bukan wewenang Pengadilan
Agama, maka eksepsi harus diterima dan hakim harus menyatakan diri
tidak berwenang.
4) Penggugat/Pemohon dan Tergugat/ Termohon sama-sama tidak hadir
dalam persidangan, maka sidang harus ditunda dan para
pihakdipanggil lagi sampai dapat dijatuhkan putusan gugur atau
verstek atau perkara dapat diperiksa.
5) Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon sama-sama hadir dalam
persidangan, maka hakim sebelum memulai wajib berusaha
mendamaikan para pihak.
b. Upaya Perdamaian
Hakim berkewajiban untuk berusaha mendamaikan para pihak yang
bersengketa. Menurut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun
2008, hakim wajib memberi kesempatan kepada para pihak untuk menempuh
proses mediasi melalui mediator yang ada di pengadilan atau mediator hakim
yang memenuhi syarat. Dan kemudian hakim (mediator) wajib melaporkan
hasil dari mediasinya. Karena pada prinsipnya upaya hakim untuk
mendamaikan bersifat imperatif. Hal ini dapat di lihat dalam Pasal 131 ayat
(1) HIR, yang mengatakan: jika hakim tidak dapat mendamaikan para pihak,
maka hal itu harus disebutkan dalam berita acara persidangan. Jadi menurut
pasal ini, jika hakim tidak berhasil mendamaikan, ketidakberhasilan tersebut
harus ditegaskan dalam berita acara persidangan. Kelalaian menyebutkan hal
itu dalam berita acara persidangan mengakibatkan pemeriksaan perkara:
mengandung cacat formil dan beraibat pemeriksaan batal demi hukum. 6
c. Penundaan Hari Sidang
Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan pada hari sidang
pertama, maka pemeriksaan dapat diundur pada hari-hari berikutnya.
Pengunduran hari sidang harus diumumkan dan dikonfirmasikan kepada kedua
belah pihak di hadapan persidangan hari itu, sekaligus pengumuman tersebut
merupakan panggilan resmi untuk hadir pada persidangan berikutnya.

6
M. Yahya Harahap, Hukum Aacra Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan
Putusan Pengadilan), Jakarta: Sinar Grafika, Cet. X, 2010, hlm. 239.

12
Bagi pihak yang tidak hadir dalam persidangan itu, maka ketua majelis
hakim memerintahkan Jurusita/Jurusita Pengganti untuk memberitahukan
penundaan sidang kepada pihak yang tidak hadir. Perintah trsebut dicatat
dalam Berita Acara Persidangan (BAP). Untuk setiap kali penundaan
persidangan harus dicatat dalam buku register induk perkara yang
bersangkutan baik mengenai hari, tanggal dan jam penundaan maupun alasan
penundaannya.
d. Hak Ingkar (wraking) Terhadap Hakim
Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang
mengadili perkaranya. Maksudnya hak untuk mengajukan keberatan yang
disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Dalam pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekusaan Kehakiman dijelaskan bahwa, seorang hakim wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai.
Hal ini agar peradilan dapat dilakukan secara objektif dan tidak memihak.
Apabila diketahui hakim yang akan menyidangkan terkait
hubunganhubungan sebagai mana tersebut di atas dengan pihakpihak yang
berperkara dan tidak mengundurkan diri, maka Ketua Pengadilan Agama
harus memerintahkan Hakim tersebut untuk mundur. Apabila hakim tersebut
adalah Ketua Pengadilan sendiri, maka perintah pengunduran dilakukan oleh
Ketua Pengadilan Tingkat Banding, apabila hakim yang seharusnya
mengundurkan diri masih tetap melakukan pemeriksaan dan sampai pada
putusan, maka perkara harus segera diperiksa dan diputus ulang dengan
susunan majelis yang berbeda, dan putusan yang telah terlanjur diucapkan
menjadi batal demi hukum.
e. Perubahan dan Pencabutan Gugatan
Perubahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, asal diajukan
pada hari sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal tersebut harus
disampaikan pada pihak lawan guna pembelaan kepentingannya.
Perubahan dan/atau penambahan surat gugatan sifatnya adalah
menyempurnakan, menegaskan ataupun menjelaskan. Dalam perubahannya
tidak boleh sedemikian rupa, sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari

13
materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Kecuali
jika diijinkan oleh Tergugat.
Apabila terjadi perubahan para pihak dan perubahan petitum, harus
dicatat dalam BAP dan dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan.
Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika
perkara telah diperiksa dan tergugat telah memberi jawaban, maka pencabutan
perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat.
f. Jawaban Tergugat
Jika mengacu pada HIR tidak ada ketentuan bagi Tergugat untuk
menjawab gugatan, hanya saja ada ketentuan bahwa Tergugat dapat menjawab
gugatan Penggugat baik secara lisan maupun tertulis. Adapun jawaban
Tergugat ini dapat berupa pengakuan, akan tetapi dapat berupa pengakuan
7
(vorweer). Apabila Tergugat tidak mengakui dan tidak membantah,
melainkan hanya menyerahkan saja kepada kebijaksanaan hakim, maka
jawaban demikian tidak boleh disamakan dengan pengakuan, sehingga
gugatannya Penggugat dikabulkan, Tergugat masih berhak mengajukan
bantahan didalam tingkat banding.8
g. Replik Penggugat
Tahapan berikutnya setelah tergugat menyampaikan jawabannya
adalah menjadi hak pada pihak penggugat untuk memberikan tanggapan
(replik) atas jawaban tergugat sesuai pendapatnya. Kemungkinan dalam tahap
ini penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan
yang dianggap perlu untuk memperjelaskan dalil-dalilnya, atau kemungkinan
juga penggugat mengubah sikap dengan membenarkan jawaban atau
membantah jawaban tergugat. Pada persidangan (praktik) replik dapat
diajukan secara lisan maupun secara tertulis.
h. Duplik Tergugat
Duplik adalah tanggapan dari tergugat atas replik yang diajukan oleh
penggugat. Yang isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat.
Seperti halnya replik, duplik inipun dapat dibuat oleh tergugat in person
maupun atas kuasa hukumnya. Duplik juga dapat diajukan secara lisan

7
Wahju muljono, Teori & Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012,
hlm. 64.
8
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Cet. XIV,
2000, hlm. 48.

14
maupun tertulis. Untuk acara jawab menjawab (replik-duplik) ini dapat
diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara penggugat dan
tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap pembuktian.
i. Pembuktian
Dasar hukum pembuktian dalam hukum positif tercantum pada pasal
163 HIR, pasal 283 RBg, dan pasal 1865 BW (KUHPerdata). Bunyi dari
ketiga pasal tersebut pada hakikatnya adalah sama yakni: “Barang siapa
menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”
Dalam pembuktiannya seseorang harus mempu mengajukan buktibukti
yang autentik. Menurut R. Soepomo, pembuktian mempunyai dua arti, yaitu
arti luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah: membenarkan hubungan
hukum, yaitu misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat.
Pengabulan ini mengandung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa
apa yang dikemukakan oleh Penggugat sebagai hubungan hukum antara
Penggugat dan Tergugat adalah benar. Jadi dalam arti luas adalah memperkuat
kesimpulan hakim dengan syarat- syarat bukti yang sah. Sedangkan dalam arti
terbatas pembuktian hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh
penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah tidak perlu
dibuktikan.
Membuktikan secara yuridis dalam hukum acara pidana tidaklah sama
dengan hukum acara perdata terdapat ciri-ciri khusus sebagai berikut :9
Dalam hukum acara perdata yang dicari adalah kebenaran formal, yaitu
kebenaran berdasarkan anggapan dari pada pihak yang berperkara. Dan juga
hakim bersifat pasif, yaitu hakim memutuskan perkara sematamata
berdasarkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara
berdasarkan bukti-bukti yang ada.
j. Kesimpulan (Konklusi) Para Pihak
Dalam tahapan ini baik penggugat/pemohon maupun
tergugat/termohon diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir yang

9
Teguh Samodera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta: Alumni, 1992, hlm. 32-33.

15
merupakan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut pandangan
masing-masing.
k. Musyawarah Majelis Hakim
Musyawarah majelis hakim dilakukan secara rahasia dan tertutup
untuk umum. Ini dijelaskan dalam pasal 19 ayat (3, 4 dan 5) UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekusaan Kehakiman. Semua pihak maupun hadirin
diperintahkan meninggalkan ruang persidangan. Dikatakan rahasia artinya,
baik di saat musyawarah maupun sesudahnya, kapan dan dimana saja, hasil
musyawarah majelis tersebut tidak boleh dibocorkan sampai ia diucapkan
dalam keputusan yang terbuka untuk umum.
Kode untuk memerintahkan para pihak dan para hadirin dari ruang
sidang, dapat diketahui dari ucapan ketua majelis hakim Yang menyatakan
“sidang di schors untuk musyawarah hakim dan dinyatakan tertutup untuk
umum. Para hadirin diminta untuk meninggalkan ruangan”,lalu palu diketuk
satu kali. 10
Hasil (keputusan) musyawarah majelis hakim ditandatangani oleh
semua hakim tanpa panitera sidang dan ini merupakan lampiran dari Berita
Acara Persidangan dan inilah yang nantinya akan dituangkan dalam diktum
keputusan. Jika musyawarah majelis hakim tersebut sekaligus merupakan
tutup sidang untuk kali itu maka kalimat yang diucapkan oleh ketua majelis
hakim adalah “ sidang di schors untuk musyawarah majelis hakim, yang
dinyatakan tertutup untuk umum dan sesudah musyawarah, sidang kali ini
akan dinyatakan ditutup dengan bersama-sama membaca hamdalah”, lalu palu
diketuk tiga kali.
l. Putusan atau Penetapan Hakim
Tahapan yang terakhir yakni putusan/penetapan hakim. Putusan ialah
pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (kontensius).Sedangkan untuk pengertian dari penetapan
hampir sama dengan putusan namun untuk penetapan hakim merupakan hasil
dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Putusan akhir digolongkan

10
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers), 1991, hlm. 133.

16
menjadi tiga yaitu11, pertama yang bersifat penghukuman atau kondemnatoir,
yang kedua bersifat menciptakan atau meniadakan sesuatu atau konstitutif dan
ketiga bersifat menerangkan atau menjelaskan atau disebut juga dengan
deklaratoir.

11
Hensyah Syahlani, Pembuktian Dalam Beracara Perdata & Tahnis Penyusunan Putusan Pengadilan
Tingkat Pertama, Jakarta: Grafgab Lestari, 2007, hlm. 81.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Asas hukum acara perdata merupakan suatu pedoman atau dasar yang harus
dilaksanakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara perdata. Adapun asas-asas
hukum acara perdata dalam peradilan agama antara lain:

a) Hakim bersifat menunggu


b) Hakim bersifat pasif
c) Persidangan bersifat terbuka

d) Mendengar kedua belah pihak


e) Putusan harus disertai alasan-alasan
f) Beracara dikenakan biaya
g) Tidak ada keharusan mewakilkan
Mengacu pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Adapun kompetensi dalam Peradilan Agama,
yaitu: Absolute Competensi (Kewenangan Mutlak) dan Relative Competensi
(kewenangan relatif).Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi), yaitu kewenangan
yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara
tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Sedangkan
Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu mengatur pembagian kekuasaan
mengadili antara pengadilan yang serupa tergantung pada tempat tinggalnya tergugat.
Mekanisme pemeriksaan perkara perdata peradilan agama yang dilakukan di
depan sidang pengadilan secara sistemik harus melalui beberapa tahap berikut yakni:
pertama,melakukan perdamaian antar kedua belah pihak yang beperkara; kedua,
pembacaan surat gugatan/ permohonan; ketiga, jawaban tegugat/temohon; keempat,
Replik (tangkisan atas jawaban) dari penggugat/Pemohon; kelima, Duplik dari
tergugat/termohon (tangkisan atas replik); keenam,tahap pembuktian; ketujuh,tahap
kesimpulan, dan kedelapan, tahap putusan atau penetapan dari majelis hakim.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Anshari, Abdul Ghafur. (2007). Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3


tahun 2006. Yogyakarta: UII Press.

AS, Bambang Sugeng & Sujayadi. (2013). Pengantar Hukum Acara Perdata &
Contoh Dokumen Litigasi Perkara Perdata. Jakarta: Kencana.

Fataruba, Sabri. (2015). Kompetensi Absolut Pengadilan Agama dan Kekhususan


Beracaranya Pasca Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Jurnal Sasi. 21(2).

Harahap, M. Yahya. (2010). Hukum Acra Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika.
Lubis, Sulaikin, dkk.( 2005). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media.

Muljono, Wahju. (2012). Teori & Praktik Peradilan Perdata di


Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Roihan A. Rasyid. (1991). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
R. Soepomo. (2000). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, Cet. XIV.
Samodera,Teguh. (1992). Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata.Jakarta: Alumni.
Syahlani, Hensya. (2007). Pembuktian Dalam Beracara Perdata & Tahnis
Penyusunan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama Jakarta: Grafgab Lestari
Suharto. (2015). Pengkajian Praktek Tugas Wewenang dan Prosedur Sidang di
Pengadilan Agama Kabupaten Kediri (Berdasar Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009. Jurnal Hukum dan Pendidikan. 1(2).

19

You might also like