Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Perkembangan Motif Sineas Film Indie

Dalam Menghadapi Industri Film Mainstream

Yoppy Ardiyono
(yoppyardiyono123@gmail.com)
(Alumni Ilmu Komunikasi FTIK USM)

Abstract
The research aims to review to review determine the effect and its impact raised by
motive - a motive the ada in the hearts period travel time history of film short against
cinematographer-filmmaker as principal especially filmmakers left path (indie). The
used platform theory research hearts singer adopts from theory commodification media
vincent mosco. Singer helped shift theory understanding the motive filmmakers working
hearts differences fundamental basis of political pressure economic happens under with
demands regime. The method used is descriptive qualitative research methods. Data
collection techniques through observation of the environment of an independent film
live and in-depth interviews with speakers including mr. Yang prayer orangutan direct
contact 'with realm of research. Coupled with study to review the literature references
adding insight research. And that was concluded change appears motif among indie
film cinematographer it is true the situation is closely linked to the mainstream industry,
konstilasi politics, and the orientation of capitalism. Necessary their one thing is clear
and systematic regulation from the government to the future movement of currents
sidestream (indie) more with good operates professionally arranged, the air so that the
contribution of indie cinema film land for progress can feels good to yourself indie
filmmakers as well as those of its main industries.

Kata Kunci: Film, Industri, Indie, Film Pendek

Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan untuk lebih banyak memproduksi film-
perfilman mainstream di Indonesia, film film dengan genre “khusus” dan bisa
- film indonesia mengalami banyak dikatakan tidak mencerminkan budaya
kemajuan yang sangat pesat. Saat ini bangsa Indonesia sesungguhnya. Mulai
perfilman tanah air sudah mampu dari runtuhnya idealisme sineasnya
menunjukkan keberhasilannya untuk dalam berkarya, sampai faktor ekonomi
menampilkan film yang lebih dekat yang mengharuskan para sineas tersebut
dengan budaya bangsa Indonesia. Hal mau tidak mau di tuntut untuk
tersebut di buktikan dengan munculnya mengikuti pasar jika tetap ingin berada
film-film berkualitas paska tidurnya dalam lingkaran industri perfilman yang
kreatifitas industri film Indonesia di diakui (mainstream). Sekedar menilik
tahun 1990an akibat adanya krisis kebelakang, sejarah produksi perfilman
identitas bangsa dalam pengangkatan Indonesia mengalami beberapa periode
tema - tema film yang di produksi pada pasang surut dalam perkembangan
kurun waktu tersebut. Banyak faktor dinamika keindustrian. Pada tahun 1987
yang mendasari kenapa ketika itu misalnya, produksi judul film Indonesia
industri-industri di Indonesia memilih mencapai 124 judul produksi, jumlah ini

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 9


menurun menjadi 106 judul film pada namun minim publikasi tersebut.
1989. Pada tahun 1990 terdapat Sehingga kerja sama yang nantinya
kenaikan produksi sebanyak 115 judul, diciptakan dapat menguntungkan kedua
namun tahun 1999 hanya diproduksi 4 belah pihak, baik untuk kehidupan
judul film (Pandjaitan dan Aryanti, produksi film itu sendiri maupun untuk
2001). Terjadi krisis kepercayaan multi nasib para sineas jalur kiri yang bisa
dimensional industri film terhadap para menjadi jalan membuka peluang untuk
sineas ketika itu mengakibatkan lebih ekspresif dalam mengembangkan
menurunnya produksi film yang tidak tema-tema film yang ada saat ini.
hanya terjadi dalam segi kuantitas saja, Karena film-film jalur kiri terkenal akan
akan tetapi juga secara kualitas film. kekayaan temanya dan lebih berani
Hal tersebut memicu para pembuat film dalam mengembangkan ide-ide kreatif,
untuk akhirnya satu persatu mulai tentu saja hal tersebut akan sangat
menanggalkan idealismenya dalam berkontribusi sekali dalam
membuat film dan menuruti permintaan pembentukan karakter film Indonesia
pasar atau pemilik modal. Tentu yang yang sudah lama mengalami kejenuhan
melatar belakangi tidak lain adalah dalam penyugguhan tema-temanya
persoalan ekonomi. Pilihan tersebut kepada penonton.diberikan ruang untuk
diambil untuk dapat bertahan hidup di melawan ketidakadilan tersebut. Karena
dalam industri film itu sendiri karena sebab yang demikian, maka makin berat
sebagian besar para sineas film hidup perjuangan sineas film jalur kiri/indie
dan bergantung di dalamnya. Meskipun (sidestream) untuk bersaing atau
demikian, tidak sedikit pula yang pada sekedar mempertahankan diri agar
akhirnya memilih untuk berhenti dan selalu berhaluan dalam berkarya dan
tidak menggadaikan idealismenya demi tetap pada prinsipnya. Kesulitan yang
memenuhi tuntutan pasar. Walau mendera dan bertubi – tubi mulai dari
konsekuensi yang harus diterima adalah masalah perijinan, proses produksi,
kehilangan banyak kesempatan untuk pendanaan sampai pengapresiasian yang
memproduksi film dan tidak dilirik oleh minim membuat sineas film jalur
komponen produksi/pemilik modal. kiri/indie (sidestream) pada akhirnya
berpindah haluan dan mengikuti selera
Idealnya sebuah industri pasar, meskipun sering kali itu tidak
seharusnya memberikan ruang yang sesuai dengan apa yang menjadi
seluas mungkin kepada sineas, baik itu idealismenya sendiri. Demi untuk
sineas industri pada umumnya mempertahankan eksistensi dan pangan,
(mainstream) atau para sineas jalur maka inilah jalan yang diambil.
kiri/indie (sidestream) yang sering kali Sehingga tidak heran ketika terjadi
terabaikan oleh industri besar perfilm banyak penurunan kualitas perfilman
tanah air. Padahal sineas lokal dan tanah air bermula dari keputus asaan
daerah memiliki potensi yang sangat para sineasnya dalam mempertahankan
besar untuk ikut mengembangkan idealisme yang sudah susah payah di
perfilman di negeri ini. Mengingat tumbuhkan selama berada di industri
begitu banyak potensi yang bisa jalur kiri (sidestream) karena tidak ada
dikembangkan dalam industri perfilman kesempatan untuk berkembang apalagi
di Indonesia, sudah seharusnya industri menciptakan industri sendiri.
juga mendukung pergerakan sineas- Dan sudah barang tentu pemerintah
sineas jalur kiri yang serius menggarap haruslah memberikan perhatian lebih
film sebagai konten kearifan lokal kepada industri jalur kiri (sidestrean)

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 10


untuk tumbuh. Karena dari sinilah bakat dalam berkarya. Faktor pendorong
– bakat serta bibit – bibit kreatif tumbuh utamanya tentu karena anggapan bahwa
dan berkembang dengan sangat baik film (karya) sudah terjebak sebagai
dan dinamis, yang nantinya akan sebuah komoditas yang memiliki nilai
beregenerasi baik secara individu tukar (komodifikasi) tertentu sehingga
maupun ide kreatifnya. Sehingga mengabaikan prinsip nilai yang
industri perfilman di Indonesia akan terkandung didalamnya. Secara singkat,
jauh lebih baik di masa depan dan tidak komodifikasi merupakan upaya
terpuruk seperti sekarang yang hampir mengubah apapun menjadi komoditas
tidak memiliki nilai pendidikan apalagi atau barang dagangan sebagai alat
pesan moral dalam tiap tontonannya. mendapatkan keuntungan.
Komodifikasi berhubungan dengan
bagaimana proses transformasi barang
Tinjauan Pustaka dan jasa beserta nilai gunanya menjadi
Teori Politikal Ekonomi Media suatu komoditas yang mempunyai nilai
Komodifikasi Mosco tukar pasar. Secara umum, produk
Dalam penjelasannya, Berawal media (film) umumnya bersifat
dengan menjelaskan ekonomi politik informatif dan hiburan. Tiga hal yang
klasik dari Adam Smith, David Ricardo terkait dalam hal ini adalah isi media,
dan lain-lain. Mosco menawarkan konsumen (penonton)/khalayak, dan
beberapa definisi ekonomi politik, yang iklan. Isi dalam media adalah komoditas
boleh dibilang yang paling berguna yang dapat menaikkan jumlah
adalah “studi tentang hubungan sosial, konsumen (penonton) atau khalayak dan
khususnya hubungan kekuasaan, yang jumlah tersebut dapat dijual pada
saling berkaitan dari proses produksi, pengiklan. Dan pendapatan yang masuk
distribusi sampai konsumsi sumber daya merupakan keuntungan dan dapat
media”. Hal tersebut merupakan konsep digunakan untuk ekspansi media
awal menelaah ekonomi politik seperti (Mosco, 1996:141).
juga yang di gagas oleh Gamham: “In Dari ekspansi media besar-besaran
order to understand the structure of our itulah yang pada akhirnya
culture, it’s production. Consumption memunculkan sebuah industri. Industri
and reproduction and of the role of the yang mencul tersebut membawa bentuk
mass media in that process, we need to dan pola baru secara sistematis dan
confront some of the central questions terstruktur sehingga membuat satu
of political economy in general tatanan baru dalam dunia industri
(Graham, 1979: 120). perfilman yang wajib di ikuti untuk
Hal ini apabila di asumsikan melangsungkan roda kehidupan yang
dengan kondisi ideologi sineas ada didalamnya. Tidak peduli apakah
perfilman sekarang, utamanya jalur hal tersebut pada nantinya ada nilai-
industrinya, maka akan ditemukkan satu nilai atau batasan-batasan yang di
titik temu penting bahwa tingkat langgar, selama menguntungkan dan
pergeseran orientasi sineas dalam keuntungan tersebut dapat dibagi
berkarya sangat dipengaruhi oleh motif dengan pemilik kekuasaan
ekonomi yang ada serta faktor tekanan (pemerintahan) maka hal tersebut akan
politik industri yang memaksa para tetap berjalan. Sekali pun ada bentuk
sineas ini untuk mau tidak mau bekerja protes atau sanksi-sanksi yang di
sebatas memenuhi tuntutan pasar berikan kepada satu film tertentu karena
semata tanpa memperdulikan idealisme

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 11


mengabaikan nilai-nilai, hal tersebut apabila mereka menurutinya dan
hanyalah sebatas lips service semata. menjadikan konsumen/penonton
sebagai pasar utamanya untuk
Karena faktanya tetap terus
mengambil keuntungan yang sebesar –
bermunculan film – film dengan bentuk
besarnya bagi perluasan industri itu
yang sama meskipun dengan kemasan
sendiri dengan cara mengangkat nama
yang berbeda. Semua itu bisa terjadi
sineas dalam judul karya tertentu serta
karena tentu ada profit oriented yang
mempromosikan judul – judul yang
menjadi nilai tukarnya. Selama hal
„menjual‟ dengan konten sesuai selera
tersebut sama-sama menguntungkan,
pasar yang sebelumnya telah dibentuk
maka akan selalu ada toleransi bagi
oleh industri itu sendiri, sehingga
industri tersebut untuk dapat
konsumen/penonton tertarik dengan
memproduksi film-film dengan label
judul – judul film yang di suguhkan dan
industri. Dengan begitu, ketika sebuah
itu merupakan kesempatan bagi industri
industri sudah terbentuk dan memiliki
untuk mengambil suatu keuntungan
kekuatan penuh untuk mengatur jenis
yang tujuannya tentu saja makin
film tertentu sebagai komoditasnya,
mengkokohkan posisi mereka untuk
industri tersebut akan sangat memiliki
dapat mempengaruhi sineas-sineas baru
kendali secara penuh untuk mengatur
agar mau berpaling dari industri
para sineas yang ingin berkarya dan
idealisme nya menuju ke industri „yang
mengubah serta idealisme yang ada
sesungguhnya‟ (Vincent Mosco, 1996:
pada diri sineas tersebut dengan power
157).
yang industri tersebut miliki tanpa
Yang perlu dicermati dalam
memperdulikan lagi proses
komodifikasi adalah dampak besarnya
pembentukan idealisme seorang sineas
terhadap pertumbuhan tiga segmen
yang telah lama berlangsung demi
penting dalam industri perfilman;
mengejar permintaan pasar.
industri/prosuden, sineas film, dan
Industri memanfaatkan media, penonton/konsumen. Dimana ketiganya
dalam hal ini adalah film, untuk merupakan sebuah rantai kehidupan
dijadikan komoditas barang dagangan yang menentukan berjalannya sebuah
mereka dan termasuk „penjerumusan‟ mekanisme dan cara pandang yang bisa
idealisme sebagian sineas agar mempengaruhi pola berfikir ketiganya
mengubah orientasi mereka untuk tidak dalam memandang sebuah industri.
lagi perlu memikirkan hal – hal yang
bersifat ideal demi memuaskan
pasar/konsumen yang dimana di
posisikan sebagai poros „pemasukan‟
Teori Rekomodifikasi Clause Offe
yang sebenarnya juga tidak luput dari fenomena pergeseran sebuah alur
bidikan pembentukan konsumeritas industri perfilman, khususnya perfilman
gaya baru dengan mendidik mereka Indonesia dari masa ke masa dengan
(konsumen) untuk tidak lagi dapat melakukan telaah lebih dalam terkait
berfikir kritis dan hanya sekedar perbandingan antara dua industri yang
menjadi penikmat atas konten yang di berbeda dan pergeseran perilaku pelaku
sajikan tanpa protes. Sederhananya, industri itu sendiri di dalamnya dari
industri film melalui medianya yaitu masing – masing industri yang telah di
film, memanfaatkan sineas untuk masukinya. Dampak utama atas
memenuhi tuntutan mereka dengan komodifikasi yang diterapkan saat ini
menjanjikan keuntungan yang besar adalah hilangnya esensialisme di dalam

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 12


film, baik dari segi produksi, sampai demi sebuah keuntungan yang nantinya
konsumsi film. Bahwa tindakan atas isi akan berimbas pada kemampuan
media bisa saja dilakukan, namun mereka untuk melakukan ekspansi
seharusnya idealisme pembuatan serta industri besar – besaran sehingga akan
konsumsi isi film haruslah tetap semakin mengkokohkan posisi mereka
menjadi otonomi tak terbatas yang dalam memegang „aturan main‟
dimiliki oleh sebuah produk film, sineas khususnya dalam industri film yang ada
film itu sendiri sebagai pembuatnya dan saat ini. Hal tersebut sangat di fahami
penonton/konsumen sebagai pengakses oleh penggiat film jalur kiri/indie
sekaligus penikmat film – film tersebut. (sidestream) sehingga menurutnya
Istilah „rekomodifikasi administratif‟ dengan cara melakukan „pendidikan
adalah di dalam budaya konsumsi pasar‟ (penonton), industri jalur kiri
seperti era postmodernisme, mekanisme (sidestream) berusaha melakukan
pasar dianggap telah gagal untuk perlawanan terhadap „aturan main‟ yang
„melawan‟ kuasa penonton/konsumen ada dengan memahamkan penonton
(Claus Offe, Contradictions of the tentang esensialisme sebuah tontonan
welfare state, 1984). Inilah sikap yang (dekomodifikasi). Dekomodifikasi ini
seharusnya di ambil oleh sineas film kemudian disusun secara sistematis
jalur kiri/indie (sidestream) untuk dapat dengan melibatkan program – program
melawan arus kuat dari gerakan kegiatan serta pemetaan regulasi yang
komodifikasi yang coba di terapkan ada dengan tujuan untuk mematahkan
oleh industri utama (mainstream) dalam kepentingan produsen industri utama
usaha melakukan penggiringan orientasi (mainstream) yang terlalu banyak
industri jalur kiri agar beralih menjadi keinginannya. Hal tersebut dapat
sebuah penyatuan pasar besar yang difahami oleh industri jalur kiri
dikendalikan penuh oleh industri utama (sidestream) untuk menerapkan „strategi
(mainstream) sebagai pemegang ranah privat‟ sebagai senjata ampuh
regulasi tertinggi. Hal ini tentu saja untuk melakukan perlawanan dan
menjadi daya pikat bagi pelaku di dalam perubahan terhadap gerakan kapitalisme
industri jalur kiri untuk melakukan yang terus dibentuk oleh industri utama
„toleransi‟ dan pengambilan jalan (mainstream) sebagai orientasi satu –
tengah yang bertujuan untuk satunya dalam berkarya. Salah satu
mempertahankan posisi pasar industri bentuk perlawanan terhadap cara
jalur kiri itu sendiri agar tidak berfikir kapitalisme ala industri utama
seluruhnya hilang idealisme karena (mainstream) tersebut yaitu dengan
termakan komodifikasi terapan yang „mendidik pasar‟. Sineas - sineas jalur
dilakukan oleh industri utama kiri/indie (sidestream) dalam usahanya,
(mainstream) secara masif. Sebetulnya terus bergerak membuat pasar sendiri
fokus yang dilakukan oleh sineas atau melalui berbagai kegiatan baik yang
penggiat film jalur kiri/indie bersifat edukatif sampai acara – acara
(sidestream) adalah melakukan penganugrahan karya sineas secara
pendidikan terhadap penonton dalam mandiri. Hal ini tentu sangat baik untuk
rangka melakukan perlawanan terhadap menumbuhkan moral sineas di
komodifikasi industri utama dalamnya maupun penikmat film – film
(mainstream) yang dalam hal ini jalur kiri/indie (sidestream) yang saat
industri tersebut menempatkan ini boleh dikatakan masih segmented.
penonton/konsumen sebagai poros pasar Kekonsistensian mereka dalam
yang harus di turuti permintaannya melakukan pergerakan tersebut dapat

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 13


menumbuhkan lingkungan berkarya itu bagaimana kuatnya pengaruh kekuatan
sendiri menjadi sebuah ruang lingkup politik birokrat di Era Orde Baru. Motif
berkarya yang besar tanpa harus yang peneliti dapati dari sejarah
kehilangan idealisme dalam tiap perjalanan pada era ini adalah
penyuguhan karyanya. Sehingga bagaimana para sineas film berkarya di
menjaga sineas yang ada didalamnya bawah tekanan demi eksistensi
tetap dalam orientasi berfikir layaknya keryanya. Beberapa sineas dengan
jalur kiri/indie (sidestream). karakter berbeda mengambil jalannya
Kapitalisme selalu membawa ketidak masing-masing sebagai respon terhadap
stabilan dalam identitas, termasuk kondisi yang harus di hadapi kala itu,
narsisme identitas personal. Hal tersebut yakni ada yang merasa perlu untuk
berkaitan erat dengan otonomi personal melakukan perlawanan seperti Gotot
yang tidak dapat dipengaruhi oleh Prakoso dan kawan-kawan, dan ada
tindakan eksternal secara mudah (Stuart yang memilih mengikuti regulasi yang
Hall, 1997: 166). berjalan serta mengabaikan pergerakan
sidestream. Keduanya bukanlah hal
yang salah untuk dipilih karena tidak
ada opsi yang paling tepat jika sedang
Pembahasan
membicarakan idealisme berkarya.
Motif Politik
Ketika sudah membicarakan konstilasi
Pada penelitian fenomena
politik suatu negara maka secara
perkembangan motif sineas dalam
otomatis hal tersebut akan berkaitan
kurun waktu perjalanan berkarya dan
dengan pemecahan masalah-masalah
perbedaan jenis industri film sebagai
yang berkisar pada produksi, distribusi
wadah klasifikasi karya atau media ini,
alokasi, mobilisasi konsumsi barang dan
penulis memulai pendekatan dari teori
jasa serta untung rugi dari hasil sebuah
politikal ekonomi media milik Mosco
proses produksi dalam suatu ranah yang
(The Political Economy
disebut dengan industri arus besar
Communication, 1996) dalam mencari
(mainstream). Menurut Mosco,
dan menganalisa seputar motif politik
“Komodifikasi berhubungan
eknomi dalam lingkup para sineas
tentang orientasi berkaya dan sifat dengan bagaimana proses
transformasi barang dan jasa
industri (media) itu sendiri sebagai
beserta nilai gunanya menjadi suatu
wadah apresiasi dari karya tersebut,
komoditas yang mempunyai nilai
serta yang paling memberi pengaruh
tukar di pasar. Memang terasa aneh,
terhadap perubahan motif ekonomi
karena produk media umumnya
politik di tubuh insan perfilman secara
adalah berupa informasi dan
khusus. Bahwa ekonomi politik
hiburan. Sementara kedua jenis
komunikasi adalah sebuah pengkajian
produk tersebut tidak dapat diukur
yang secara umum digunakan untuk
seperti halnya barang bergerak
memadukan kerangka teoritik
dalam ukuran-ukuran ekonomi
komunikasi dengan kerangka teoritik
konvensional. Aspek tangibility-
politik dan ekonomi. Ketertarikan pada
nya akan relatif berbeda dengan
kajian ekonomi dan politik menjadikan
barang dan jasa lain” (Moscow,
dunia perfilman pendek sebagai ranah
1996: 126).
yang rentan terhadap pengaruh
keduanya.
Hal inilah yang pada akhirnya
Jika kita melihat perjalanan film
mempersulit pilihan yang ada bagi
pendek negeri ini, maka akan kita dapati

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 14


sineas film pendek untuk mengarahkan motif ekonomi selalu membarengi.
karyanya pada sasaran yang tepat guna Pandangan kapitalisme telah banyak
mendapatkan effect society seperti yang mengubah tatanan masyarakat, tidak
diharapkan. Peneliti mendapati bahwa terkecuali dalam dunia perfilman
selain daripada media hiburan, film sidestream, namun hal tersebut
merupakan media penyebar pemikiran dipandang kritis oleh Stuart Hall. Hall
atau propaganda yang di gunakan untuk berpendapat,
mengumpulkan kekuatan dengan tujuan “Kapitalisme selalu membawa
melakukan perlawanan atas sebuah ketidakstabilan dalam identitas,
rezim dan juga komoditas jualan bagi termasuk narsisme identitas
rumah-rumah produksi yang personal. Hal tersebut berkaitan erat
memanfaatkan situasi sulit perfilman dengan otonomi personal yang
dengan maksud memperoleh tidak dapat dipengaruhi oleh
keuntungan dari pendistribusian karya. tindakan eksternal secara mudah”
(Stuart Hall, 1997: 166).
Motif Ekonomi Sineas tidak lagi berkutat pada
Walaupun perfilman sidestream masalah tentang bagaimana mencari
tidak banyak memberikan keuntungan jalan „bertutur‟ dalam berkarya, akan
secara finansial karena harus berjibaku tetapi soal distribusi karya yang ternyata
menghidupi karyanya sendiri dengan tidak membawa perubahan yang
mandiri, akan tetapi ternyata tidak sebanding dengan kebebasan
menghalangi semangat pertumbuhannya menentukan tema cerita. Para penggiat
sekalipun ketika itu peraturan dan sikap sidestream kali ini harus berhadapan
pemerintah sangat tidak mendukung. dengan sistem kapitalisme besar yang
Kekonsistensian mereka dalam seakan-akan mengotak-kotakan sineas
melakukan pergerakan tersebut dapat film kedalam dua kutub berhadapan,
menumbuhkan lingkungan berkarya itu yakni mainstream dengan sidestream.
sendiri menjadi sebuah ruang lingkup Mereka membandingkan keduanya
berkarya yang besar tanpa harus berdasarkan peta pemasaran dan
kehilangan idealisme dalam tiap segmentasi penonton, serta daya „jual‟
penyuguhan karyanya. Ditambah yang didapatkan dari keduanya.
perlawanan mereka terhadap penokohan Kemudian munculah semacam jurang
pimpinan rezim ketika itu membuat pemisah antara sudut pandang industri
jalur sidestream memiliki tantangan mainstream dengan film-film
tersendiri untuk dipertahankan. sidestream. Hal tersebut dilihat dari
Sekalipun ketika itu industri bagaimana sebuah karya mampu atau
mainstream memberikan banyak
tidak menghasilkan banyak penonton
keuntungan baik dari segi karir maupun untuk datang menonton dan membayar
finansial, akan tetapi pilihan untuk tiket sebagai bentuk pengapresiasian
menjadi apa adanya masih banyak karya.
diminati dan dipilih sebagai jalur
alternatif berkarya. Sehingga, sedikit Banyak dari sineas sidestream
banyak hal tersebut menjaga sineas (indie) pada akhirnya memandang
yang ada didalamnya tetap dalam bahwa jalur sidestream adalah batu
orientasi berfikir layaknya jalur loncatan untuk menuju arus besar
kiri/indie (sidestream) sekalipun (mainstream) yang menjadi tolak ukur
memang tidak dinafikkan bahwa kesuksesan dalam berkarir dan
kebutuhan keberlansungan hidup atau berkarya. Tidak sedikit juga yang

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 15


akhirnya memutuskan untuk memilih sepatutnya sebuah karya seni yang
menjadi mainstream karena tuntutan menggugah dan kreatif layak mendapat
ekonomi dan faktor eksistensi. Karena apresiasi apapun bentuknya. Hanya
jika ingin bicara tentang masa depan memang permasalahan distrubis serta
dan hidup di dunia film, maka industri regulasi yang mengaturnya sudah
mainstream adalah jawaban atas hal sepatutnya juga menjadi bahan
tersebut. Sebagaimana pandangan pertimbangan pemerintah supaya
Moscow, terkesan ada perhatian lebih bagi
industri kreatif – terlepas itu
“Memanfaatkan sineas untuk
mainstream atau sidestream – agar
memenuhi tuntutan mereka dengan
nantinya kedua arus tersebut bisa di
menjanjikan keuntungan yang besar
tangani secara profesional sebagaimana
apabila mereka menurutinya dan
yang telah dilakukan di negara-negara
menjadikan konsumen/penonton
yang memiliki sistem pengelolaan film
sebagai pasar utamanya untuk
yang sudah maju. Sehingga dengan
mengambil keuntungan yang
begitu tujuan tercapainya keselarasan
sebesar – besarnya bagi perluasan
dan keharmonisan antara dua kutub
industri itu sendiri dengan cara
yang berbeda pandangan tersebut tidak
mengangkat nama sineas dalam
saling bersinggungan dan dapat berjalan
judul karya tertentu serta
beriringan membangun perfilman tanah
mempromosikan judul – judul yang
air yang semakin hari semakin
„menjual‟ dengan konten sesuai
menampakkan kedewasaannya dalam
selera pasar yang sebelumnya telah
berkarya. Menurut Kristanto,
dibentuk oleh industri itu sendiri,
sehingga konsumen/penonton “Sejak awal perfilman nasional
tertarik dengan judul – judul film dibangun, bapak film Indonesia,
yang di suguhkan dan itu Usmar Ismail berjuang agar film
merupakan kesempatan bagi dimasukkan dan dipandang sebagai
industri untuk mengambil suatu sebuah karya seni. Film memang
keuntungan yang tujuannya tentu sebuah karya seni, namun sebagai
saja makin mengkokohkan posisi bentuk kesenian, film mencakup
mereka untuk dapat mempengaruhi dua media utam yaitu pandang dan
sineas-sineas baru agar mau dengar yang kompleks memadukan
berpaling dari industri idealisme berbagai bentuk kesenian yang
nya menuju ke industri „yang disublimasikan menjadi satu bentuk
sesungguhnya‟” (Vincent Mosco, produk kesenian dimana musik,
1996: 157). lukis, teater, grafis, taxi, animasi,
fotografi, puisi, dan masih banyak
Motif Karya Seni lagi bentuk kesenian lain yang
Meskipun dalam temuan penelitian dapat dikandungnya” (Kristanto
dilapangan terdapat sebagian atau tidak dalam widagdo, 2011: 82).
sedikit juga sineas yang tidak begitu Kesimpulan
mempermasalahkan hal tersebut. Bagi
Pada penelitian ini, peneliti
sineas yang berpola pandang seperti ini,
menemukan dalam mempelajari
mereka memilih untuk tidak terlalu
perkembangan motif yang terjadi di
berpusing diri apakah itu mainstream
kalangan sineas sidestream terhadap
atau sidestream, bagi mereka film
industri mainstream sampai saat ini,
adalah sebuah karya seni dan sudah
tidak bisa dipisahkan dari rentetan

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 16


sejarah panjang semenjak awal mula tersebut tidak mengganggu kualitas
terbentuknya jalur sidestream sampai berkarya meskipun tidak harus berada
mengalami perjalanan berliku yang dalam jalur arus besar (mainstream).
tidak banyak dibicarakan dalam sejarah Keduanya dapat saling membangun dan
perkembangannya. Jangan sampai mendukung dengan sudut pandang
karena tidak mengetahui akar perjalanan masing-masing sehingga tidak
perfilman sidestream membuat sineas- menjadikannya sebuah masalah besar
sineas yang ada didalamnya menjadi untuk dikhawatirkan. Dan juga
kehilangan daya juang dalam berkarya penyandaran atau ketergantungan
kemudian ditangkap dengan rasa yang terhadap regulasi dari pemerintah selaku
sama dan cenderung setengah hati juga pengelola kebijakan sebaiknya jangan
oleh pihak-pihak diluar sineas terlalu diharapkan. Karena harusnya
sidestream (baik investor, founding, berkarya dan mengembangkan kualitas
penonton, atau festival film), sehingga dengan atau tanpa regulasi harusnya
film-film sidestream kehilangan „ruh‟ tetap berjalan. Dengan optimis mampu
untuk mempengaruhi pihak-pihak diluar akan dapat membangun sistem sendiri
tadi dalam memberikan antusiasme dan sebagaimana yang telah terjadi di
malah hanya berhenti pada lingkaran negara-negara dengan arus film
penggiatnya saja. Tentu kondisi sidestream yang sudah maju.
semacam ini sangat disayangkan, jika
melihat geliat pergerakan film-film
sidestream sekarang jauh lebih masiv Daftar Pustaka
dengan jumlah produksi film yang
tentunya jauh lebih banyak dari masa- Budi Indra Irwanto. 1999. Film,
masa sebelumnya. Juga yang menarik Ideologi dan Militer: Hegemoni
adalah secara „diam-diam‟ film-film Militer Dalam Sinema Indonesia .
sidestream (indie) tersebut sudah Yogyakarta: Media Pressindo.
banyak yang sampai menembus
festival-festival internasional. Motif Burhan Bungins H.M. 2007. Penelitian
sineas perfilman sidestream sejatinya Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi,
tumbuh beragam tergantung dari Kebijakan Publik, dan Ilmu
kondisi latar belakang sosial dimana ia sosial, Jakarta : Kencana Prenama
tumbuh. Penggiat film sidestream di era Media Group.
liberalisasi modern yang memandang
sebuah motif sebagai salah satu bagian Filosa Gita Sukmono. 2013. Ekonomi
yang tak terpisahkan dari sineas baik Politik Media. Yogyakarta:
apapun bentuk motif tersebut. Hal Lingkar Media.
tersebut adalah simbol ekspresi diri
yang coba ditunjukkan oleh masing- Gotot Prakosa. 1997. Film Pinggiran.
masing sineas. Menurutnya antara Jakarta: FFTV-IKJ & YLP.
mainstream dan sidestream harusnya ___________. 2001. Ketika Film
dapat saling mengisi dan memberi Pendek Bersosialisasi. Jakarta:
kesempatan agar terjalin keharmonisan, Yayasan Layar Putih
sehingga sineas tidak terus menerus
terjebak dalam kondisi pengotak- Giddens, Anthony. 1971. Capitalism
kotakan diri akibat hal yang di and Modern Social Theory.
timbulkan oleh hegemoni kapitalisasi Cambridge: Polity Press.
industri. Dan sudah sepatutnya hal

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 17


Hall, Stuart (Ed). 1997. Representation:
Cultural Representations and
Signifying Practices. London:
SAGE Publication Ltd.

JB. Kristanto. 2004. Nonton Film,


Nonton Indonesia. Jakarta:
Kompas Media Nusantara.

Johan HM. Tjasmadi. 2008. 100 Tahun


Bioskop Di Indonesia (1900 –
2000). Bandung: Megindo
Tunggal Sejahtera.

M. Bayu Widagdo. 2011. Peran


Pemerintah Dalam Pembuatan
Kebijakan Perfilman Indonesia
Pada Masa Orde baru Dan
Reformasi. Semarang: Universitas
Diponegoro.

McQuail, Danis. 2005. McQuail’s Mass


Communication Theory. London:
SAGE Publication Ltd.

Mosco, Vincent. 1998. The Political


Economy Of Communication:
Rethinking and Renewal. London:
SAGE Publication Ltd.

Offe, Claus. 1984. Contradictions of the


welfare state. Germany: The MIT
Press.

The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015 18

You might also like