Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

TAFSIR SURAH AL-MAIDAH AYAT 5, TINJAUAN EPISTEMOLOGI

RAJA MARGANA SEMBIRING1, ARIFINSYAH2


Mahasiswa Magister IAT, UINSU Medan1
Dosen Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara 2
Email: 1rajamarganasembiring@gmail.com, 2 arifinsyah@uinsu.ac.id
Abstract
This journal aims to investigate the application of Islamic epistemology in
understanding the interpretation of Al-Maidah verse 5. Islamic epistemology is a
branch of philosophy that considers aspects of the truth of knowledge within the
framework of Islamic beliefs. Tafsir Al-Maidah verse 5 was chosen because it includes
instructions about halal and haram in food, which have important implications for the
lives of Muslims. The research method used is document analysis, with reference to the
text of the Koran, classical interpretations, and a contextual approach to understanding
the verse. In Islamic epistemology, Al-Quran is recognized as the main source of
knowledge revealed by Allah SWT. In the context of the interpretation of Al-Maidah
verse 5, this research will identify how this source of knowledge is used to understand
the provisions of halal and haram food. Understanding the verses of the Koran must
consider the classical Arabic language and the socio-historical context when the verse
was revealed. In this journal, we will explore how classical Arabic influenced the
interpretation of verses and how the context in which the verses were revealed provides
insight into the intended meaning. Islamic epistemology respects Islamic sciences such
as interpretation, fiqh, and hadith. In this research, we will integrate knowledge from
these various disciplines to gain a more comprehensive understanding of the
interpretation of Al-Maidah verse 5. Apart from the intellectual aspect, Islamic
epistemology also emphasizes the importance of morality (ethics) and spirituality in
understanding the Al-Quran. In this journal, we will highlight how understanding of
verses can be deepened through understanding the moral values and spiritual practices
described in Islam. The results of this study are expected to contribute to a deeper
understanding of Islamic epistemology and its application in understanding the Koran,
especially in the interpretation of Al-Maidah verse 5. This research is important for
increasing Muslim awareness and understanding of the principles of their religion and
for making an academic contribution in the fields of Islamic studies and philosophy.

Keywords: Marriage, different religions, Epistemology, Al-Qur'an.

Abstrak
Jurnal ini bertujuan untuk menyelidiki penerapan epistemologi Islam dalam memahami
tafsir Al-Maidah ayat 5. Epistemologi Islam merupakan cabang filsafat yang
mempertimbangkan aspek-aspek kebenaran pengetahuan dalam kerangka keyakinan
Islam. Tafsir Al-Maidah ayat 5 dipilih karena mencakup petunjuk tentang halal dan
haram dalam makanan, yang memiliki implikasi penting dalam kehidupan umat
Muslim. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen, dengan mengacu
pada teks Al-Quran, tafsir klasik, dan pendekatan kontekstual untuk memahami ayat
tersebut. Dalam epistemologi Islam, Al-Quran diakui sebagai sumber pengetahuan
utama yang diturunkan oleh Allah SWT. Dalam konteks tafsir Al-Maidah ayat 5,
penelitian ini akan mengidentifikasi bagaimana sumber pengetahuan tersebut
digunakan untuk memahami ketentuan makanan halal dan haram. Pemahaman ayat
Al-Quran harus mempertimbangkan bahasa Arab klasik dan konteks sosial-historis
ketika ayat tersebut diturunkan. Dalam jurnal ini, kami akan mengeksplorasi
bagaimana bahasa Arab klasik mempengaruhi interpretasi ayat dan bagaimana
konteks saat ayat diturunkan memberikan wawasan tentang makna yang dimaksud.
Epistemologi Islam menghargai ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, fiqh, dan hadis.
Dalam penelitian ini, kami akan mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai ilmu
tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang tafsir Al-
Maidah ayat 5. Selain aspek intelektual, epistemologi Islam juga menekankan
pentingnya akhlaq (etika) dan spiritualitas dalam memahami Al-Quran. Dalam jurnal
ini, kami akan menyoroti bagaimana pemahaman ayat dapat diperdalam melalui
pemahaman nilai-nilai moral dan praktik spiritual yang dijelaskan dalam Islam. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk pemahaman lebih
mendalam tentang epistemologi Islam dan aplikasinya dalam memahami Al-Quran,
khususnya pada tafsir Al-Maidah ayat 5. Penelitian ini penting untuk meningkatkan
kesadaran dan pemahaman umat Muslim tentang prinsip-prinsip agama mereka serta
memberikan sumbangan akademis dalam bidang studi Islam dan filsafat.

Kata kunci: Pernikahan, beda agama, Epistemologi, Al-Qur’an.

Pendahuluan
Al-Qur'an mencakup petunjuk dan larangan yang komprehensif yang
diperintahkan oleh Allah SWT, yang mencakup instruksi untuk memfasilitasi
penyatuan individu yang memiliki kemampuan fisik dan spiritual yang diperlukan.
Secara umum dapat diamati bahwa manusia cenderung mengalami ketidakpuasan
ketika dalam keadaan menyendiri. Sudah umum dipahami bahwa individu memiliki
kebutuhan mendasar akan persahabatan untuk mengekspresikan emosinya, terlibat
dalam percakapan, terlibat dalam humor, mengungkapkan kasih sayang, dan
menyalurkan hasrat seksualnya. Oleh karena itu, perkawinan berfungsi sebagai sarana
di mana individu dapat menegakkan kehormatan dan martabatnya, sebagaimana
dianugerahkan oleh entitas ilahi. Persatuan ini disetujui secara ilahi oleh Allah dan terus
ditegakkan dalam kerangka Islam..1

Menurut Islam, dikemukakan bahwa manusia diciptakan berpasangan oleh entitas


ilahi. Penetapan sebuah keluarga atau kemitraan antara seorang pria dan seorang wanita
bergantung pada persatuan pernikahan mereka. Institusi keluarga secara tradisional
dibentuk melalui penyatuan perkawinan, karena perkawinan merupakan landasan bagi
pembentukan suatu kesatuan keluarga. 2 Oleh karena itu, Allah menasihati mereka yang
mampu menikah untuk melakukannya. Kesalahan paling umum yang dilakukan pria
saat memilih calon istri adalah gagal mematuhi petunjuk dan pedoman agama. Ada
yang hanya menghargai kemakmuran dan keindahan, mengabaikan prinsip-prinsip
agama dan moral..3
Oleh karena itu, dalam memilih pasangan harus ada persamaan, baik dari segi
agama, falsafah hidup, cara pandang hidup, pemikiran, maupun status. Mengenai
persamaan pandangan dunia dan agama, tidak dianjurkan menikah dengan orang yang
berbeda agama. Pelarangan perkawinan beda agama ini dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk mewujudkan “sakinah” dalam keluarga, yang merupakan tujuan perkawinan.

1
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 2.
2
Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih (Jakarta: Pustaka Antara, 2000), h. 11.
3
Adil Fathi Abdullah, Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.17.
Pernikahan baru akan langgeng dan damai jika suami dan istri memiliki pandangan
hidup yang sama.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat Indonesia bersifat majemuk, khususnya
dalam hal suku dan agama. Akibatnya, masyarakat Indonesia menghadapi berbagai
perbedaan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari budaya, cara hidup, dan interaksi
antarpribadi. Pemerintah dan elemen bangsa lainnya prihatin dengan persoalan
hubungan antar umat beragama. Salah satu hambatan dalam hubungan antaragama
adalah masalah perkawinan Muslim dengan non-Muslim, yang akan kita sebut sebagai
“perkawinan beda agama” dalam teks berikut.
Pernikahan adalah komponen penting dari menjadi manusia. Akan sangat
menantang bagi seorang Muslim yang tinggal di negara majemuk seperti ini untuk
menghindari interaksi dengan individu dari agama lain. Dalam suasana seperti itu, baik
pria maupun wanita Muslim lebih mungkin tertarik dan menikah dengan orang yang
beragama lain. Artinya, setiap masyarakat majemuk pasti akan menghadapi tantangan
perkawinan beda agama.
Karena sifat negara yang majemuk, ada lebih banyak variasi kelompok sosial
yang bergabung di Indonesia. Akibatnya, telah terjadi pergeseran yang lebih dramatis
dalam cita-cita keagamaan daripada di masa lalu. Seorang Muslim hari ini lebih
cenderung mengambil risiko pada pasangan non-Muslim. Budaya kita yang mayoritas
Muslim melihat ini sebagai menyalahkan atau mengubah norma-norma Islam yang
sudah mapan. Ini menghasilkan respons pergolakan dan penuh semangat dari anggota
masyarakat kita. Ada dua kubu yang berbeda pendapat tentang bagaimana mendekati
masalah ini, dan pandangan mereka berakar dari pemahaman yang berbeda tentang
ajaran Islam tentang perkawinan campuran.
Menurut ajaran Islam, umat Islam diwajibkan untuk membangun lingkungan
rumah yang damai dan harmonis yang menumbuhkan rasa gembira, puas, dan persatuan
di antara anggota keluarga dan tamu sesuai yang diridhai Allah Swt.4

Metode Penelitian
Penelitian ini mengguanakan penelitian perpustakaan. Penelitian perpustakaan
memerlukan sumber referensi buku dan artikel tentang topik tersebut, baik dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa lain. Karena fokusnya adalah pada ayat-ayat Al-
Qur'an, Al-Qur'an adalah teks utama di sini. Penulis mengutip tulisan dan publikasi
Islam tentang pernikahan beda agama sebagai pendukung, sedangkan literatur sekunder
adalah buku tafsir.

Definisi Nikah dan Agama


Kata nikah dalam bahasa arab disebut nakaha-nikahan yang artinya mengawini,
menikah. 5 Dalam al-Qur’an dan Hadis, pernikahan disebut dengan al-nikah dan al-
ziwaj/ al-zawj/ atau al-zijah. Secara harfiah, al-nikah berarti al-wat’u, al-dammu dan
al-jam’u. Al-wat’u berasal dari kata wati’a - yata’u - wat’an artinya berjalan di atas,
melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli, dan bersetubuh atau
bersenggama.6 Al-dammu yang terambil dari akar kata damma – yadummu – damman,

4
Shayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Vol.6 (Bandung: PT Alma’arif, 1987), h.59.
5
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Cet. ke- 14;
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1461.
6
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab – Indonesia, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h.1671-1672.
secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,
menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan. Juga
berarti bersikap lunak dan ramah.7 Sedangkan al-Jam’u yang berasal dari kata jama’a –
yajma’u – jam’an berarti mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan,
menjumlahkan, dan menyusun.8
Laki-laki dan perempuan yang bukan mahram melakukan akad nikah untuk
melegitimasi interaksi sosial mereka, menetapkan batasan antara peran mereka masing-
masing, dan membatasi ruang lingkup potensi konflik.9 Laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram melakukan akad nikah untuk melegitimasi interaksi sosial mereka,
menetapkan batasan antara peran mereka masing-masing, dan membatasi ruang lingkup
potensi konflik.
Sayuti Thalib percaya bahwa pernikahan adalah kontrak suci antara seorang pria
dan seorang wanita yang memungkinkan mereka untuk memulai sebuah keluarga. 10
Mahmud Yunus, pada bagiannya, menyoroti bahwa pernikahan adalah kontrak antara
calon suami dan istri untuk memuaskan keinginan yang diatur oleh syariat. 11 Bahwa
Zahry Hamid menetapkan rukun dan syarat nikah yang sesuai dengan syara' melalui
akad (ijab qabul) antara wali calon istri dengan mempelai laki-laki dengan
menggunakan bahasa tertentu.12 Syekh Kamil Muhammad Uwaidah mengungkapkan
bahwa istilah “perkawinan” dapat merujuk pada persatuan, kontrak, atau hubungan
seksual dalam bahasa tersebut. Selain itu, ada banyak interpretasi yang melibatkan
pencampuran keduanya.13
Berdasarkan definisi sebelumnya, jelas bahwa editorial yang dimaksud tidak
identik dengan yang digunakan. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang
pria dan seorang wanita untuk melakukan hubungan seksual dengan cara yang diridhai
oleh Allah SWT, dengan tujuan untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang
damai dan penuh kasih sayang bagi anak-anaknya kelak.
Pernikahan Beda Agama dan Pandangan Ulama Terhadapnya
Berdasarkan definisi sebelumnya, jelas bahwa editorial yang dimaksud tidak
identik dengan yang digunakan. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang
pria dan seorang wanita untuk melakukan hubungan seksual dengan cara yang diridhai
oleh Allah SWT, dengan tujuan untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang
damai dan penuh kasih sayang bagi anak-anaknya kelak.14
Sedangkan menurut Romo Antunius Dwi Joko, Pr, perkawinan beda agama
terjadi apabila seorang yang sudah dibaptis Katolik menikah dengan orang yang bukan
Katolik (baik karena belum dibaptis maupun karena dibaptis beda agama). Hak untuk
menikah dan kebebasan untuk memilih jalan spiritual (agama) sendiri, menurutnya,
adalah dua hak asasi manusia yang paling mendasar, dan gereja memungkinkan orang
yang berbeda agama untuk menikah.15

7
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab – Indonesia, h.887
8
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab – Indonesia, h.225
9
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994), h.374
10
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia (Cet.V ; Jakarta : UI Press, 1986), h.47.
11
Mahmud Yunus, Hukum Pernikahan dalam Islam (Cet.XII ; Jakarta : PT Hidakarya Agung,
1990), h.1.
12
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang pernikahan di
Indonesia (Yogyakarta : Bina Cipta, 1978), h.1
13
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami’ Fi Fiqh an-Nisa’, terj. M. Abdul Ghofar ‚Fiqih
Wanita‛, (Jakarta; Pustaka al-kautsar, 2002), h.375.
14
Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT.Toko Gunung Jati, 1997), h. 4.
15
Yesaya.indocell.net/id1066.htm
Pernikahan antar agama yang dimaksud ini dapat terjadi antara :
1. Kedua belah pihak beragama liberal dan politeistis, tetapi mempelai wanita adalah
Muslim dan mempelai pria tidak.
2. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik ‚ahlul kitab
maupun musyrik.
Berbagai komentar dalam kanon Islam menekankan pentingnya pernikahan
bagi umat Islam.16 Dalam hal pernikahan, misalnya, para Nabi dan Rasul Islam menjadi
teladan untuk kita ikuti. Menurut QS al-Ra'd [13], Allah SWT berfirman: 38
ْْ‫ّللاْۗ ِّل ُك ِّل‬
ِّْٰ ْ‫ن‬ ْ َّ ‫يْ ِّب ٰا َيةْْا‬
ِّْ ‫ِّّلِّْْباِّذ‬ ُ ‫لْ ِّمنْْقَب ِّلكَْْ َو َج َعلنَاْ َل ُهمْْاَز َوا ًجاْ َّوذُ ِّريَّةًْْۗ َو َماْكَانَْْ ِّل َر‬
َْ ‫سولْْاَنْْيَّأ ِّت‬ ًْ ‫س‬
ُ ‫سلنَاْ ُر‬َ ‫َو َلقَدْْاَر‬
ْ‫اَ َجلْْ ِّكتَاب‬
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau
(Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Tidak ada
hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat) melainkan dengan izin
Allah. Untuk setiap masa ada Kitab (tertentu).”
Banyak orang masih memiliki pertanyaan tentang proses pernikahan. Karena
dia tidak mau memikul beban keuangan pernikahan dan tugas tambahan yang menyertai
pernikahan, dia tidak pernah mengikat ikatan. Inilah mengapa Islam datang: untuk
membawa perubahan mental. Allah menetapkan pernikahan sebagai sarana untuk
mencapai kebahagiaan dalam kehidupan ini dan selanjutnya. Kebahagiaan itu mungkin,
tetapi hanya melalui pernikahan yang diridhoi Allah; pasangan yang keyakinannya
tidak sesuai akan kesulitan menemukannya.
Perkawinan beda agama didefinisikan sebelumnya sebagai persatuan antara
orang-orang yang berbeda agama. Yang kami maksud dengan "non-Muslim" adalah
orang-orang yang tidak beriman. Kafir dibagi menjadi dua kategori dalam Al-Qur'an:
musyrik dan ahl al-Kitab. Akibat hukum menikah dengan seorang ahl al-Kitab tetap
berbeda tergantung pada jenis pernikahan yang Anda miliki.
Pernikahan beda agama dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pernikahan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
Menurut Ibnu Katsir, Tuhan melarang hambanya yang beriman untuk
menikahi wanita musyrik dan juga melarang hambanya untuk mempertahankan
pernikahan dengan wanita musyrik. Sebuah kisah yang diceritakan oleh az-Zuhri,
Urwah, al-Miswar, dan Marwan bin al-Hakam termasuk dalam Sahih Bukhari. Ini
menggambarkan bagaimana, setelah Rasulullah (saw) mencapai kesepakatan
dengan kaum kafir Quraisy di perjanjian Hudaibiyah, wanita beriman tiba-tiba
berbondong-bondong mendatanginya. Setelah itu, Allah menurunkan ayat tersebut.
10 untuk QS al-Mumtahanah/60 Hari itu juga, 'Umar bin Khattab resmi berpisah
dengan kedua istrinya. Baik Muawiyah bin Abu Sofyan dan Safwan bin Umayyah
menikah dengan salah satunya.17
Pernikahan antara pria Muslim dan wanita musyrik dilarang dalam
Islam. Dari akar kata asyrak-yusyriku-isyrak-musyrik, kita mendapatkan bentuk
kata benda dari nama pelaku, musyrik, dan perbuatan yang dilakukannya, syrik.
Ibnu Manzhur mendefinisikan syirk sebagai bagian dan asosiasi dalam konteks
bahasa. Sedangkan Al-Asfahani memandang kongsi dagang atau kerja sama
kegiatan tertentu sebagai contoh percampuran dua kepemilikan harta atau sesuatu
yang diterima untuk dua barang atau lebih, baik secara substansi maupun makna.
Kaum musyrik adalah pelanggar syirik, oleh karena itu ungkapan untuk mereka

16
Abu Ihsan dan Yunus, Ensiklopedi Fiqih Praktis, Jilid 3 (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2008), h.1-2.
17
Abu Ihsan dan Yunus, Ensiklopedi Fiqih Praktis, Jilid 3, h.102.
dalam bahasa tersebut menyiratkan "mereka yang membentuk koalisi atau partisi".
Membuat sesuatu yang disembah di sisi Allah disebut sebagai syirik. "Sesuatu"
yang dimaksud bisa apa saja, termasuk orang, hewan, tumbuhan, atau bahkan
patung. Artinya, bisa berupa matahari, bangunan, makhluk halus, jin, dan
sebagainya, serta apapun di antaranya. Jadi, kaum musyrik adalah mereka yang
menolak gagasan bahwa Tuhan ada dalam satu bentuk yang tidak berubah dalam
semua aspek wujud dan perbuatan-Nya. Jika Anda tidak percaya pada Tuhan
sebagai pencipta dan penguasa alam semesta, Anda harus mengingkari ketiga hal
ini.18
Wanita musyrik adalah mereka yang menyembah patung atau bentuk
lain dari citra agama, seperti kaum musyrik Arab kuno.19 Larangan ini bersumber
pada QS al-Baqarah/2:221. Ada ketidaksepakatan ilmiah tentang apa sebenarnya
arti musyrik. Ibnu Jarir al-Tabari menyatakan bahwa musyrikah dari bangsa Arab
tidak boleh menikah karena orang Arab pada masa turunnya Al-Qur'an tidak
mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Menurut interpretasi ini, seorang
Muslim bebas untuk menikahi seorang wanita musyrik dari negara selain dunia
Arab, bahkan jika dia dianggap memiliki kitab suci atau kitab suci serupa. Ini
termasuk wanita dari Cina, India, dan Jepang.20
Sebagian besar ulama setuju bahwa tidak ada dua orang musyrik, apakah
mereka Arab atau bukan, yang dapat menikah secara sah di luar kelompok ahl al-
Kitab. Ini termasuk orang Yahudi dan Kristen. Karena pemeluk agama selain
Islam, Kristen, dan Yahudi dianggap musyrik, maka pandangan ini menyatakan
bahwa wanita non-Muslim dan non-Yahudi atau Kristen tidak boleh menikah
dengan laki-laki Muslim.21
2. Pernikahan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim
Perkawinan antara seorang wanita Muslim dan seorang pria non-Muslim
dilarang dalam Islam, terlepas dari apakah calon suami mengikuti agama yang
diwahyukan seperti Kristen atau Yahudi, agama dengan kitab suci seperti Budha
atau Hindu, atau sistem kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci atau kitab yang
mirip dengan kitab suci. Agama-agama seperti Animisme, Ateisme, dan lainnya
termasuk dalam kategori ini. Perdebatan tersebut terdapat dalam QS al-
Baqarah/2:221.
3. Pernikahan dengan ahl al-Kitab
a) Pendapat yang mengharamkan
Menurut kutipan al-Tabarsi oleh Muhammad Galib M, ayat QS al-
Maidah/5:5 merujuk pada wanita ahl al-Kitab yang telah masuk Islam. Dari
sini ia menyimpulkan bahwa mengadakan akad nikah dengan ahl al-Kitab
selalu dilarang.
Demi mereka yang telah memeluk Islam, al-Tabarsi
mengklasifikasikan ahl al-Kitab sebagai musyrik. Pandangan ini sejalan
dengan pendapat Abdullah ibn 'Umar, seorang sahabat Nabi, yang melarang
pernikahan seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari ahl al-Kitab
dengan alasan bahwa mereka musyrik. Keyakinan seorang wanita yang
mengklaim bahwa Isa atau salah satu hamba Allah adalah Tuhannya, dalam

18
M. Quraish Shihab, Tim Penyusun Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata (Cet. 1; Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h..664-665.
19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, Jilid 6 (Bandung: al-Ma’arif, 1987), h.136.
20
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
h.8.
21
Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT. Toko Gunung Jati, 1997), h.5.
kata-katanya, adalah "musyrikan terbesar" yang pernah dia temui. Umat Islam
berpendapat bahwa mereka tidak boleh menikah dengan non-Muslim karena
apa yang Allah firmankan dalam QS al-Baqarah/2:221.
b) Pendapat yang membolehkan
Menurut al-Tabataba'i, larangan menikah dengan orang musyrik
yang terdapat dalam QS al-Baqarah/2:221 hanya berlaku bagi mereka yang
menyembah berhala dan tidak berlaku bagi ahl al-Kitab. Karena tidak ada
pantangan untuk menikahi wanita dari sekte Ahl al-Kitab. Namun, jika
dianggap tidak akan berbahaya, ini diasumsikan. Penting juga untuk mengatasi
masalah potensial yang mungkin timbul setelah pernikahan. Pasalnya, di masa
lalu, Salafu al Salih yang menikahi wanita ahl al-Kitab berhasil membuat istri-
istrinya masuk Islam dan membesarkan keturunan yang berpendidikan.22
Huruf Arab alif, ha, dan lam membentuk kata ahl, yang dapat
diterjemahkan sebagai "suka", "bersahabat", atau "bahagia". Mungkin saja ahl
mengacu pada penduduk setempat juga. Istilah ini juga menunjukkan
komunitas tertentu dalam Kamus dan Daftar Istilah Alquran.23
Menurut Ibnu Munzhir, tidak ada sahabat yang secara tegas
melarang seorang laki-laki muslim menikah dengan ahli kitab. Menurut
Qurtubi dan Nu'as, Usman, Talhal, Ibnu Abbas, Jabir, dan Hudzaifah adalah
beberapa sahabat yang menandatangani akad nikah. Sekelompok tabi'in,
antara lain Sa'id bin Musayyab, Sa'id bin Jabir, al-Hasan, dan lainnya,
mengesahkan pernikahan tersebut.24
Perkawinan antara Muslim dan ahl al-Kitab dipandang berbeda oleh
empat fuqaha Sunni.
1) Madzhab Hanafi
Laki-laki mukmin dilarang oleh ulama Hanafi untuk menikah
dengan wanita ahl al-Kitab yang berada di wilayah yang berperang
dengan Islam (dar al-harb) karena ahl al-Kitab tidak tunduk pada hukum
Islam dan pernikahan tersebut berpotensi menimbulkan pencemaran nama
baik. Dia juga cemas mengabulkan keinginan istrinya, yang mengalami
kesulitan menentukan keyakinan untuk bayi mereka. Sementara wanita
ahl al-Kitab yang dilindungi oleh pemerintah Islam (Dzimmi) tunduk pada
hukum Islam, hanya makruh untuk menikahi mereka.25
2) Madzhab Maliki
Ada dua aliran pemikiran di bawah tradisi Maliki. Perkawinan
antara anggota sekte Ahl al-Kitab dengan anggota sekte Dar al-Harb atau
Dzimmiyah dianggap terlarang oleh golongan pertama. Hanya saja di dar
al-harb, ketidaktaatan lebih berat. Wanita Ahli Kitab boleh minum khamr,
makan babi, dan ke gereja, maka menurut mazhab kedua, ini sama sekali
tidak makruh.26
3) Madzhab Hambali
Menurut QS al-Maidah/5:5, secara umum laki-laki muslim
tidak dilarang menikah dengan perempuan ahli kitab. Karena al-muhsanat

22
Abu Ihsan dan Yunus, Ensiklopedi Fiqih Praktis, Jilid 3, h.105.
23
Nasrul Umami dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama (Tangerang: Qultum
Media), h.101.
24
Suhadi, Kawin Lintas Agama (Yogyakarta: LKiS, 2006), h.39.
25
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Madzahibul Arba’ah, Juz 4(Lebanon: Darul Kutub
al-Alamiah), h.179
26
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Madzahibul Arba’ah, Juz 4, h.186.
yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah wanita merdeka, maka
jelaslah bahwa wanita Ahli Kitab bukanlah budak.27
4) Madzhab Syafi’i
Menikah dengan wanita Ahli Kitab yang bertempat tinggal di
dar al-Islam dilarang oleh mazhab Syafi'i dan sangat dilarang oleh mazhab
Maliki bagi mereka yang tinggal di dar al-harb. Dalam situasi berikut ini,
menurut ulama Syafi'i, kekejian dianggap::
a) Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki Muslim untuk mengajak
perempuan ahl al-Kitab tersebut masuk Islam.
b) Masih ada perempuan Muslimah yang saleh.
c) Apabila tidak menikahi perempuan ahl al-Kitab tersebut ia bisa
terperosok kedalam perbuatan zina.
Yusuf Qardawi membatasi setiap Muslim yang menikahi wanita ahl al-Kitab
dalam fatwanya. Kondisi yang diperlukan adalah:28
1) Wanita yang mengidentifikasi sebagai Ahl al-Kitab dianggap sebagai penganut
agama Yahudi dan Kristen yang taat. Dia memiliki iman yang umum kepada Allah,
kerasulan, dan kedatangan kedua. Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa
ateis, pembelot agama, dan penganut agama yang mati langit tidak termasuk.
2) Wanita itu adalah wanita yang menjaga martabatnya (muhsanat). Seorang Muslim
tidak boleh menikah dengan seorang wanita Ahli Kitab tanpa terlebih dahulu
mengetahui riwayat keluarganya.
3) Ini bukan anggota kelompok yang secara aktif berupaya mencelakakan umat Islam.
4) Suami yang ideal adalah yang mapan secara finansial, unggul secara intelektual,
sehat secara filosofis, dan taat beragama. Hal ini dilakukan agar seorang muslim
tidak terlalu nyaman dengan imannya dan meninggalkannya demi agama istrinya
ketika menghadapi godaan.
5) Menikah dengan komunitas ahl al-Kitab dapat menyebabkan lebih banyak masalah
daripada nilainya. Suatu perkawinan dapat dianggap haram jika akan menimbulkan
fitnah atau membentuk pola perilaku di kalangan umat Islam. Mempertimbangkan
perdebatan tentang pernikahan Muslim pria dan wanita, jelas itu
4. Pernikahan dengan selain pemeluk agama Yahudi dan Nasrani
a) Pendapat yang mengharamkan
Ulama Jumhur berpendapat bahwa wanita Majusi tidak boleh
menikah karena mereka tidak dianggap sebagai bagian dari kelompok ahl al-
Kitab. Satu-satunya pengecualian adalah dalam komunitas Yahudi dan
Kristen, di mana wanita non-Muslim diizinkan menikah dengan pria Muslim.
b) Pendapat yang membolehkan
Menanggapi pertanyaan dari Jawa (Indonesia) tentang legalitas
menikahi wanita musyrik seperti Cina, Muhammad Rashid Rida menyuarakan
pendapatnya dan menguraikan pemahamannya tentang Ahli Kitab. Wanita
musyrik yang dilarang Allah untuk dinikahinya, sebagaimana terdapat dalam
QS al-Baqarah/2: 221, adalah wanita musyrik Arab, pungkasnya setelah
dengan cermat merinci dan menilai riwayat yang disampaikan oleh para
sahabat Nabi dan para tabi'in, aturan kesopanan dan bahasa, serta
mendengarkan dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya. Ahli Kitab
(yang kitab-kitabnya memuat ajaran Tauhid sampai sekarang) antara lain
adalah orang Majus, Sabian, musyrik India, Cina, dan kaum sejenis seperti

27
Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Madzahibul Arba’ah, Juz 4, h.193.
28
Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Mutakhir (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), h.587-592.
Jepang. Ini adalah pilihan yang ditegaskan kembali oleh mufassir terkenal bin
Jarir al-Tabari.
Agar jelas, kebolehan Al-Qur'an untuk menikah dengan anggota
Ahl al-Kitab bukanlah anjuran yang kuat atau bahkan perintah yang eksplisit.
Muslim diperbolehkan kebijaksanaan tertentu dalam bagaimana mereka
memilih. Dan aspek yang paling krusial adalah terbentuknya keluarga sakinah,
yang merupakan tujuan utama pernikahan dalam syariat. Itulah mengapa
menikah dengan seseorang yang memiliki keyakinan yang sama dengan Anda
adalah pilihan terbaik dan teraman.29

Penafsiran Q.S Al-Maidah: 5 Menurut Epistemologi Tafsir Al-Qur’an


Menurut Al-Biqai, sebagaimana dikutip M.Quraish Shihab, tujuan utama surah
ini adalah mengajak untuk memenuhi petunjuk Ilahi yang terkandung dalam kitab suci
dan didukung oleh kesepakatan yang ditegaskan oleh akal, khususnya tentang Keesaan
Allah Pencipta dan tentang melimpahnya rahmat kepada makhluk, sebagai tanda
syukur atas nikmat-Nya dan permohonan untuk menolak murka-Nya. Bukti paling
meyakinkan untuk ini terlihat dalam kisah al-Maidah, yang menjadi inspirasi judul
surah ini. Pesan ceritanya jelas: jika seseorang cukup menyimpang sehingga dia tidak
merasa aman setelah penjelasan yang sempurna tiba, dia akan dihadapkan pada tuntutan
pertanggungjawaban dan ancaman penyiksaan. Poin utama dari deskripsi surah ini
dibuat sangat jelas dengan namanya, surah al-Uqud.30

Memiliki anak adalah alasan utama orang menikah. Setiap orang dewasa
memiliki dorongan bawaan untuk memulai sebuah keluarga, tetapi lebih kuat pada
pasangan yang sudah menikah. Seorang anak adalah keturunan dalam hal ini. Banyak
pasangan menikah berharap untuk memulai sebuah keluarga karena mereka tahu bahwa
memiliki anak membawa kebahagiaan yang tak tertandingi. Islam mengajarkan bahwa
pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ajarannya memiliki makna yang abadi. Ini
juga akan menjelaskan kedudukan hukum bayi yang baru lahir. Hal yang sama dapat
dikatakan tentang persatuan antara orang-orang yang berbeda agama.

Secara tradisional, Muslim dan non-Muslim tidak diperbolehkan mewarisi satu


sama lain. Menurut empat aliran pemikiran, non-Muslim tidak memiliki hak untuk
mewarisi Muslim karena posisi sosial yang lebih tinggi.31 Seorang Muslim juga tidak
dapat mewarisi non-Muslim. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak dapat mewarisi
dari istri yang kafir, begitu pula seorang Muslim tidak dapat mewarisi dari kerabat yang
kafir. Dalam kehidupan sehari-hari, anggota keluarga yang berbeda agama hanya bisa
bergaul dan berinteraksi secara akrab satu sama lain. Tidak ada hukum waris agama
yang bekerja dalam kemitraan ini. Sesuai dengan prinsip ijbari tentang pewarisan, maka
ruang lingkup undang-undang ini mencakup masalah-masalah agama, karena
pelaksanaannya bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah. Harta orang yang
meninggal diserahkan kepada ahli waris tanpa memperhatikan kehendak ahli waris atau
permintaan ahli waris, menurut prinsip ijbari. Hanya Allah yang bertanggung jawab
atas perubahan ini. Menurut prinsip ijbari, harta warisan harus dibagikan sesuai dengan
wasiat orang yang meninggal. Warisan dapat diperoleh melalui ikatan darah (ahli

29
Muhammad Galib M, Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya , Cet.I, h.176.
30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, pesan kesan dan keserasian al-Qur’an vol 3 (jakarta
: Lentera Hati, 2002), h.3.
31
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), h.542.
nasabiyah) atau melalui perkawinan (ahli waris sababiyah). Sedangkan anak ini
termasuk dalam kategori ahli waris nasabiyah.

Sulit untuk memiliki keluarga yang bahagia jika kedua orang yang akan
menikah tidak memiliki nilai inti dan pandangan dunia yang sama. Untuk membangun
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri terikat secara sah dalam hubungan lahir dan
batin berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.32

Kesimpulan
Pernikahan beda agama merupakan topik yang kompleks dan sensitif dalam
agama Islam. Al-Maidah ayat 5 menyatakan larangan bagi seorang Muslim untuk
menikahi wanita dari agama tertentu, yaitu wanita musyrik (orang-orang yang
menyembah berhala) kecuali setelah mereka masuk Islam. Ayat ini mengandung
implikasi hukum dan etika yang perlu dipahami dengan cermat.
Dalam menafsirkan Al-Maidah ayat 5 terkait pernikahan beda agama,
epistemologi Islam memainkan peran penting. Epistemologi Islam menegaskan bahwa
Al-Quran adalah sumber pengetahuan utama yang diturunkan oleh Allah SWT. Dalam
memahami larangan pernikahan beda agama dalam Al-Maidah ayat 5, penting untuk
mengacu pada teks Al-Quran dengan penuh keyakinan bahwa ayat tersebut adalah
petunjuk dari Allah.
Memahami bahasa Arab klasik dan konteks sosial-historis saat ayat diturunkan
merupakan bagian dari epistemologi Islam. Dalam konteks Al-Maidah ayat 5,
pemahaman tentang istilah "musyrik" dan "wanita yang beriman" perlu diperjelas untuk
menghindari kesalahan interpretasi dan mendapatkan pemahaman yang tepat tentang
makna ayat.
Epistemologi Islam mengajarkan nilai-nilai etika dan spiritualitas sebagai
bagian integral dari pemahaman tentang ajaran Islam. Dalam konteks pernikahan beda
agama, pemahaman akan etika pernikahan dan sikap toleransi antaragama menjadi
penting. Selain itu, nilai-nilai spiritualitas seperti keadilan dan kasih sayang juga harus
dipertimbangkan dalam konteks hubungan antaragama.
Dalam keseluruhan, penafsiran pernikahan beda agama dalam Al-Maidah ayat
5 haruslah dilakukan dengan memahami epistemologi Islam yang mencakup sumber
pengetahuan, bahasa dan pemahaman, ilmu-ilmu Islam, serta akhlak dan spiritualitas.
Pendekatan ini akan membantu umat Muslim memahami dan mengambil hikmah dari
larangan tersebut, serta menghadapi isu-isu kontemporer terkait pernikahan antaragama
dengan landasan agama yang kuat dan penuh pengertian.

Daftar Pustaka

Abu Ihsan dan Yunus, 2008. Ensiklopedi Fiqih Praktis, Jilid 3, Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i.
Adil Fathi Abdullah, 2005. Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah, Jakarta: Gema
Insani.
Ahmad Warson Munawwir, 1984. Al-Munawwir Kamus Bahasa Arab – Indonesia,
Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.

32
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan (Jakarta:
Ditjen Binpera Islam depag R.I, 2001), h.100.
Ahmad Warson Munawwir, 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Cet. ke- 14; Surabaya: Pustaka Progressif.
Ali Akbar, 2000. Merawat Cinta Kasih, Jakarta: Pustaka Antara.
H. Sulaiman Rasjid, 1994. Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algesindo.
M. Jawad Mughniyah, 2001. Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama.
M. Quraish Shihab, 2002. Tafsir Al Mishbah, pesan kesan dan keserasian al-Qur’an
vol 3, Jakarta : Lentera Hati.
M. Quraish Shihab, 2007. Tim Penyusun Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata,
Cet. 1; Jakarta: Lentera Hati.
Mahmud Yunus, 1990. Hukum Pernikahan dalam Islam (Cet.XII ; Jakarta : PT
Hidakarya Agung.
Masfuk Zuhdi, 1997. Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT.Toko Gunung Jati.
Nazar Bakry, 1994. Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Republik Indonesia, 2001. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan, Jakarta: Ditjen Binpera Islam depag R.I.
Sayuti Thalib, 1986. Hukum Keluarga Indonesia, Cet.V ; Jakarta : UI Press.
Shayyid Sabiq, 1987. Fiqih Sunnah. Vol.6, Bandung: PT Alma’arif.
Slamet Abidin dan H. 1999. Aminuddin, Fiqih Munakahat I, Bandung: Pustaka Setia.
Suhadi, 2006. Kawin Lintas Agama, Yogyakarta: LKiS.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, 2002. al-Jami’ Fi Fiqh an-Nisa’, terj. M. Abdul
Ghofar ‚Fiqih Wanita‛, Jakarta; Pustaka al-kautsar.
Yesaya.indocell.net/id1066.htm
Yusuf Qardawi, 2000. Fatwa-Fatwa Mutakhir, Bandung : Pustaka Hidayah.
Zahry Hamid, 1978. Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang
pernikahan di Indonesia, Yogyakarta : Bina Cipta.

You might also like