Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 5

Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa


kerusuhan yang terjadi pada 12 September Peristiwa Tanjung Priok
1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia
yang mengakibatkan sejumlah korban tewas
dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak
terbakar. Sekelompok massa melakukan
defile sambil merusak sejumlah gedung dan
akhirnya bentrok dengan aparat yang
kemudian menembaki mereka.[1][2]
Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam
kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh
tindakan aparat.[3]

Tanggal 13 September 1984


Latar Belakang
Lokasi Tanjung Priok, Jakarta Utara,
Indonesia
Pada tanggal 19 September 1984, Sersan
Hermanu,[4] seorang anggota Bintara Metode Penembakan
Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Hasil lihat Akibat
Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan
Pihak terlibat
mengatakan kepada pengurusnya, Amir Biki,
untuk menghapus brosur dan spanduk yang Tentara Nasional Warga muslim Tanjung
mengkritik pemerintah.[5] Biki menolak Indonesia Priok
permintaan ini, lantas Hermanu
Tokoh utama
memindahkannya sendiri; Saat
melakukannya, dia dilaporkan memasuki Try Sutrisno Amir Biki
area sholat masjid tanpa melepas sepatunya Leonardus Benyamin
(sebuah pelanggaran serius terhadap etiket Moerdani
masjid).[5][6]
Jumlah
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang Tidak diketahui >1,000
dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin
Jumlah korban
Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar
sepeda motornya dan menyerang Hermanu Tidak ada 24 tewas dan 54
saat dia sedang berbicara dengan petugas terluka (resmi)
lain.[5][6] Keduanya kemudian menangkap >100 tewas atau
Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain, terluka (estimasi)
Achmad Sahi, dan seorang pria
pengangguran bernama Muhamad Noor.[5]
[6][7]

Insiden
Dua hari pasca penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan sebuah
khotbah menentang asas tunggal Pancasila di masjid As Saadah.[6] Setelah itu, Biki
memimpin sebuah demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana keempat tahanan
tersebut ditahan.[8][6] Seiring waktu, massa kelompok tersebut meningkat, dengan
perkiraan berkisar antara 1.500 sampai beberapa ribu orang.[8][6]

Protes dan kerusuhan tidak berhasil menuntut pembebasan tahanan tersebut.[8] Sekitar
pukul 11 malam waktu setempat, para pemrotes mengepung komando militer.[6] Personel
militer dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para pemrotes.[8][9]
Sekitar tengah malam, saksi mata melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan
Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani yang mengawasi pemindahan korban; mayat-
mayat itu dimasukkan ke dalam truk militer dan dikuburkan di kuburan yang tidak
bertanda, sementara yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot Soebroto.[8]

Akibat
Setelah kerusuhan tersebut, militer melaporkan bahwa mereka dipicu oleh seorang pria
berpakaian militer palsu yang membagikan selebaran anti-pemerintah bersama dengan 12
komplotannya; dilaporkan dari orang yang ditahan.[10] Jenderal Hartono Rekso Dharsono
ditangkap karena diduga menghasut kerusuhan tersebut.[11] Setelah menjalani persidangan
empat bulan, dia divonis bersalah; dia akhirnya dibebaskan pada bulan September 1990,
setelah menjalani hukuman penjara lima tahun.[11]

Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah dan
beberapa dilaporkan disiksa.[12] Para pemimpin ditangkap dan diadili karena tuduhan
subversif, kemudian diberi hukuman panjang.[6] Yang lainnya, termasuk Amir Biki,
termasuk di antara mereka yang terbunuh.[8]

Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas.[10] Catatan resmi saat ini memberikan total 24
korban tewas dan 54 terluka (termasuk militer), sementara korban selamat melaporkan
lebih dari seratus orang tewas.[13] Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400
orang terbunuh atau hilang, sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700 korban.
[8][9]

Investigasi
Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998, beberapa
kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12 September
1984, Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga Besar untuk
Korban Insiden Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra Beni).[8]
Kelompok-kelompok ini mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM untuk
menyelidiki lebih lanjut tragedi tersebut; di DPR, perwakilan A.M. Fatwa dan Abdul Qodir
Jaelani, yang pernah ditangkap setelah tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih
lanjut.[8] Pada tahun 1999, Komnas HAM sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut,
membentuk Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok
(KP3T).[8]

KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan jaksa
agung Djoko Sugianto.[8] Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000,
menemukan bahwa tidak ada pembantaian sistematis dalam insiden tersebut.[8] Ini tidak
diterima dengan baik oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300
anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM saat mengenakan
pakaian Islami dan syal hijau.[14] Mereka memecahkan jendela dengan batu dan batang
rotan, melebihi jumlah dan banyak pasukan keamanan.[14] FPI marah atas laporan tersebut
dan beranggapan telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan alasan bahwa tindakan
tersebut diabaikan oleh militer; dan bersikeras agar Komnas HAM dihapuskan.[14]
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis
bahwa Komnas HAM telah menerapkan standar ganda saat menyelidiki masalah tersebut;
dia mengatakan bahwa mereka tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung
Priok dan lebih memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999.[8] Pemimpin Partai
Bulan Bintang Ahmad Sumargono menyebut keputusan tersebut mengecewakan kaum
Muslim di mana-mana. [8]

Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan
bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan
mereka; Ia meminta pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.[8]
Presiden Abdurrahman Wahid juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan
yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan (islah) dengan
keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban menerima
kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.[8] Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang
diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada
tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.[8] Hasil islah tersebut, beberapa korban
atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A. Rachman bahwa tuntutan harus
dijatuhkan.[8] Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.[15]

Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-
undang hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan
atas kejahatan terhadap kemanusiaan;[13][16] persidangan dimulai pada bulan September
tahun itu.[15] Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno Mascung,
pemimpin Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya.[16]
Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan
Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan
Presiden Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh.[16][17] Penuntutan
dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa bertugas sebagai saksi
penuntutan.[12][18] Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan
Pranowo dibebaskan.[6] Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas
pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.[13] Keputusan tersebut kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.[6]

Referensi
Catatan kaki

1. David Bourchier; Vedi R. Hadiz (2003). Indonesian Politics and Society: A Reader.
RoutledgeCurzon. hlm. 140. ISBN 978-0-415-23750-5.
2. Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia,
±1942-1998. PT Balai Pustaka. 2008. hlm. 642. ISBN 978-979-407-412-1.
3. Linton, S (2006), "Accounting for Atrocities in Indonesia" (PDF), The Singapore Year
Book of International Law (dalam bahasa Inggris), 10: 199–231, diakses tanggal
12 September 2011
4. Kompas, PT Kompas Media Nusantara,. "Sudah Saling Memaafkan". Diakses tanggal
2017-09-12.
5. Junge 2008, hlm. 17.
6. Haryanto 2010, Death Toll From 1984 Massacre.
7. The Jakarta Post 2009, Victims 'may not.
8. Junge 2008.
9. The Jakarta Post 2009, Victims report to UN.
10. The New York Times 1984, Around the World;.
11. Erlanger 1990, Jakarta Journal; Echoes.
12. Taufiqurrahman 2004, I was tortured.
13. Khalik 2008, Govt slammed for human.
14. The Jakarta Post 2000, FPI members attacks.
15. KontraS, Massacre of Tanjung Priok.
16. Saraswati 2003, Tanjung Priok rights.
17. The Jakarta Post 2003, Soeharto blamed.
18. The Jakarta Post 2003, Court urged to pursue.

Bibliografi

▪ Junge, J. Fabian (2008). Kesempatan yang Hilang, Janji yang tak Terpenuhi. Pengadilan
HAM Ad Hoc untuk Kejahatan di Tanjung Priok 1984 (dalam bahasa Indonesian).
Jakarta: KontraS / Watch Indonesia!.
▪ Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia
Pustaka. ISBN 979-799-052-4.

Referensi daring

▪ "Around the World; Calm Is Urged in Jakarta After Outbreak of Riots". The New York
Times. 17 September 1984. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses
tanggal 4 January 2012.
▪ "Court urged to pursue Priok case". The Jakarta Post. 10 July 2003. Diarsipkan dari
versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.
▪ Erlanger, Steven (13 December 1990). "Jakarta Journal; Echoes From Past Rattle
Suharto's 'New Order' ". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal
2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.
▪ "FPI members attacks [sic] rights commission headquarters". The Jakarta Post. 24 June
2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.
▪ Haryanto, Ulma (15 April 2010). "Death Toll From 1984 Massacre at Tanjung Priok Still
Uncertain". Jakarta Globe. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses
tanggal 4 January 2012.
▪ Khalik, Abdul (12 September 2008). "Govt slammed for human rights abuses". The
Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January
2012.
▪ "Massacre of Tanjung Priok in 1984" (PDF). KontraS. Diarsipkan dari versi asli (PDF)
tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.
▪ Saraswati, Muninggar Sri (16 January 2003). "Tanjung Priok rights trial to go ahead".
The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal
4 January 2012.
▪ "Soeharto blamed for Priok atrocity". The Jakarta Post. 16 January 2003. Diarsipkan dari
versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.
▪ Taufiqurrahman, M. (28 January 2004). "I was tortured: Fatwa". The Jakarta Post.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.
▪ "Victims 'may not get compensation' ". The Jakarta Post. 14 September 2009. Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.
▪ "Victims report to UN special rapporteur". The Jakarta Post. 11 September 2009.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-04. Diakses tanggal 4 January 2012.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Peristiwa_Tanjung_Priok&oldid=23625157"

You might also like