LP CKD

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DI RUANG TERATAI 3


RSUD KARANGANYAR

Disusun Oleh:
ANGELIA KUSUMAWATI
2020060144

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


INSTITUTE TEKNOLOGI DAN SAUNS ITS PKU
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
A. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah penyakit ginjal yang progresif dan
tidak dapat kembali sembuh secara total seperti sediakala (ireversibel) dengan laju
filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih, sehingga
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia. (Suwitra, 2014).
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya unutk mempertahankan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Gagal
ginjal biasanya dibagi menjadi 2 kategori, yaitu akut dan kronik. CKD atau gagal
ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat
(biasanya berlangsung bertahun-tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam
beberapa hari atau minggu (price & Wilson, 2006)

B. Etiologi
1. Hipertensi
Tekanan darah tinggi membuat pembuluh darah bekerja terlalu keras karena
aliran darah yang terlalu kuat. Kondisi ini dapat menyebabkan pembuluh darah
rusak termasuk pembuluh darah yang ada pada bagian ginjal. Arteri besar dan
pembuluh darah kecil menuju ginjal dapat rusak. Kemudian secara perlahan
ginjal mengalami penurunan fungsi dan menyebabkan banyak cairan limbah yang
menumpuk pada ginjal. (Harianto, 2015).
2. Diabetus Militus (DM)
Ketika tubuh memiliki kadar gula yang terlalu tinggi atau lebih sering disebut
dengan kondisi diabetus militus (DM), maka akan menyebabkan ginjal bekerja
terlalu keras. Ginjal akan menyerap darah dalam jumlah yang lebih tinggi
sehingga menyebabkan pembuluh darah yang bertugas menyaring darah bisa
bekerja terlalu banyak. Kemudian setelah beberapa lama ginjal tidak mampu
menyaring semua bagian limbah dari darah dan menyebabkan kebocoran.
Akibatnya maka urin mengandung protein yang seharusnya tinggal dalam tubuh.
Ginjal akan kehilangan fungsinya dengan ditandai penemuan protein tinggi dalam
urin. (Sletzer, 2007).

3. Serangan Jantung
Ketika penderita mengalami serangan jantung maka aliran darah yang menuju
jantung akan mengalami masalah atau bahkan ginjal tidak menerima darah dari
jantung. Jika kondisi ini terus terjadi maka ginjal tidak dapat berfungsi dan terjadi
penumpukan aliran limbah pada jantung (Pagunsan, 2013)
4. Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik dapat menyebabkan kerusakan kemampuan ginjal
karena banyaknya zat racun yang harus disaring oleh ginjal. Penyakit ini secara
perlahan akan menyebabkan ginjal tidak berfungsi sehingga pada tahap akhir
dapat menyebabkan gagal ginjal. Penyakit ini sering ditemukan pada usia lanjut
sekitar umur 55 tahun. Menurut Price, 2006. Penyakit ginjal polikistik ditandai
dengan kista-kista multiple, bilateral dan berekspansi yang lambat laun
mengganggu dan menghancurkan parekrin ginjal normal sehingga ginjal akan
menjadi rusak.
5. Glomerulonefritis
Penyakit ini menyebabkan peradangan pada bagian penyaringan di ginjal yang
menyerang bagian nfron. Peradangan ini menyebabkan banyak kotoran dari sisa
metabolisme yang seharusnya keluar tapi hanya menumpuk di bagian ginjal.
Penyakit ini bisa menjadi faktor penyebab gagal ginjal dalam waktu yang sangat
cepat.
6. Pielonefritis
Piolonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal. Pielonefritis dapat
berakibat akut atau kronik. Pielonefritis ini bisa juga terjadi melalui infeksi
hematogen. Bila infeksi sudah terjadi berulang-ulang maka akan terjadi kerusakan
pada ginjal yang mengakibatkan GGK. Penyakit ini biasanya terjadi oleh karena
adanya batu pada ginjal, obstruksi atau refluks vesiko ureter. (Sibue, 2005).
7. Obat-obatan
Kebiasaan mengkomsumsi berbagai jenis obat-obatan yang mengandung
bahan lithium dan siklosporin dapat memicu terjadinya gagal ginjal. Hal ini
desebabkan karena ginjal bekerja terlalu keras untuk menyaring semua limbah
yang dihasilkan dari sisa-sisa obat dalam tubuh (Hidayat, 2008).
8. Pola hidup Berbagai penelitian mengemukakan bahwa merokok, minuman
beralkohol, sering mengkonsumsi daging merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya gagal ginjal kronik. Dimana berbagai bahan kimia yang terdapat dalam
rokok dan diserap tubuh dapat menyebabkan penurunan laju GFR.(Hidayat,
2008).

C. Klasifikasi
Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG). Melihat nilai laju filtrasi glomerulus ( LFG ) baik secara
langsung atau melalui perhitungan berdasarkan nilai pengukuran kreatinin, jenis
kelamin dan umur seseorang. Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan secara langsung,
tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda
filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik klinis adalah
kreatinin serum. Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes
(CKD KDIGO) proposed classification, dapat dibagi menjadi :

Berdasarkan albumin didalam urin (albuminuia), penyakit ginjal kronis dibagi


menjadi:

berhubungan dengan remaja dan dewasa Termasuk nephrotic syndrom, dimana


biasanya ekskresi albumin > 2200mg/ 24 jam.

D. Manifestasi Klinis
Pada penderita CKD setiap sistem tubuh sudah dipengaruhi oleh kondisi
ureum, sehingga penderita akan menunjukan bermacam-macam tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan
kondisi lain yang mendasar. Manefestasi yang terjadi pada CKD antara lain yaitu
pada sistem cardiovaskuler, gastrointestinal, neurologis, integumen, pulmoner,
muskuloskletal dan psikologis (Rachmadi, 2010) yaitu:
1. Kardiovaskuler:
a. Hypertensi, diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktifitas sistem
renin angiotension aldosteron
b. Gagal jantung kongestif
c. Edema pulmoner, akibat dari carian yang berlebihan
2. Gastrointestinal: Anoreksia, mual dan muntah, perdarahan GI, ulserase,
perdarahan mulut, nafas bau ammonia
3. Neurologis: Perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi, kedutan
otot sampai kejang
4. Integumen: Pruritis atau penumpukan urea pada lapisan kulit, perubahan warna
kulit seperti keabu-abuan, kulit kering dan berisik, kuku tipis dan rapuh
5. Pulmoner: Adanya sputum kental dan liat, pernafasan dangkal, kusmaul sampai
terjadinya edema pulmonal
6. Muskuloskletal: Dapat tejadi fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsiferon, kram
otot, dan kehilangan kekuatan otot
7. Psikologis: Penurunan tingkat kepercayaan diri sampai pada harga dirirendah
(HDR), ansietas pada penyakit dan merasa ingin mati.

E. Patofisiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan karena adanya penyakit yang terdapat pada
ginjal, sehingga mengakibatkan kegagalan ginjal. Maka lama kelamaan jumlah nefron
yang mengalami kerusakan bertambah (Stuart, 2007). Dengan adanya peran dan
fungsi ginjal, maka hasil metabolisme protein berkumpul didalam tubuh (Harianto).
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan pembuangan hasil sisa metabolisme
terhambat, dimana dimulai pada pertukaran di dalam pembuluh darahtidak adekuat,
karena ketidakmampuan ginjal sebagai penyaring. Akibatnya ginjal tidak dapat
melakukan fungsiny, sehingga menyebabkan peningkatan kadar serum dan kadar
nitrogen ureum, kreatinin, asam urat, fosfor meningkat dalam tubuh dan
mengakibatkan terganggunya fungsi dan organ-organ tubuh lain. ( Wilson, 2006).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolisme protein tertimbun dalam
darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan mempengaruhi seluruh sitem
tubuh (Nursalam, 2008)
Secara umum mekanisme terjadinya CKD yaitu: glomerulosklerosis, parut
pada tubulo interstisial dan sclerosis vaskuler (Rahmadi et al (2010).
1. Glomerulosklerosis
Proses intrinsik glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intraglomerular
dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi pada sel
glomerulus intrinsik seperti endotel, sel mesangium, sel epitel, maupun sel ekstrinsik
seperti trombosit, limfosit, monosit/makrofag.
2. Parut Tubulo-intestisial
Yang berlebih.Derajat keparahan tubulu-intestisial fibrosis (TIF) lebih
berkorelasi dengan fungsi ginjal dibandingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini
termasuk inflamasi, proliferasi dan deposisi ECM
3. Sklerosis vascular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab
(DM, Hypertensi, Glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya
ekstraserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan
sel tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktifitas
kolagenolitik. Kapiiler peritubular yang rusak akan menurunkan produksi
proangiogenic vascularetiangiogenic sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan
endothelialgrowth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami parut akan
mengekspresikan thrombospondin yang bersifat antiangiogenic sehingga terjadi delesi
mikrovaskular dan iskemik

F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita CKD, yaitu:
1. pemeriksaan laboratoriun:
a. Darah:
Hematologi: 1). Hb, HT, Eritrosit, Leucosit. Trombosit. 2). Renal Fungsi
Test (RFT): Ureum dan kreatinin. 3). Liver Fungsi Test (LFT). 4). Elektrolit:
klorida, kalium, kalsium. 5). Koagulasi studi: PPT, PTTK. 6) BGA.
2. Urine:
a. Urine rutin.
b. Urine khusus: benda keton, analisa kristal batu b.
3. Pemeriksaan Kardiovaskuler: a). ECG. b). ECO
4. pemeriksaan Radiognostik: 1). USG abdominal. 2). CT Scan abdominal 3).
BNO/IVP, FPA. 4). Renogram. 5). Retio pielografi.

H. Penatalaksanaan
Pencegahan PGK Bila ditemukan Tanda dan Gejala Dilakukan pada populasi
sehat dengan perilaku “ CERDIK ” yaitu
C : Cek kesehatan secara berkala,
E : Enyahkan asap rokok,
R : Rajin aktifitas fisik,
D : Diet sehat dengan kalori seimbang,
I : Istirahat yang cukup dan
K : Kelola stress.
Menurut Kowalak, Welsh, & Mayer (2017) penatalaksanaan medis pada gagal ginjal
kronik adalah:
1. Diit
2. Pemberian obat
3. Transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia
4. Dialisis
5. Transplantasi ginjal
6. Perikardiosentesis darurat atau pembedahan darurat untuk penanganan kor
tamponade.
Penatalaksaan gagal ginjal kronik menurut (Sudoyo, 2015). yaitu:
1. Konservatif
a. Pemeriksaan laboratorium: darah dan urin
b. Observasi balance cairan
c. Observasi adanya odema
d. Batasi cairan yang masuk
2. Dialisysis
a. Peritoneal dialysis, biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergency
b. Hemodialisis, dilakukan melalui tindakan infasif
3. Opesari
a. Pengambilan batu
b. Transplantasi ginjal
4. Obat-obat: Anti hipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen.

I. Perencanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan menurut Effendy
(Dermawan, 2012).
a. Identitas Diri Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, status
perkawinan, suku / bangsa, agama, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, nomor rekam medis, diagnosis medis dan alamat.
b. Keluhan Utama Biasanya badan terasa lemah, mual, muntah, dan terdapat
edema. Hal yang perlu dikaji pada penderita gagal ginjal kronis adalah
tanda atau gejala seperti pucat, hiperpigmentasi, hipertensi, kardiomegali,
edema, nefropati perifer, mengantuk, bau nafas uremik. Dilihat dari
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) tanda dan gejala yang timbul
yaitu laju filtrasi glomerulus 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan, namun sudah terjadi peningkatan 68 kadar ureum dan kreatinin.
Kemudian pada LFG sebesar 30%, pasien mulai mengalami nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan
(Suwirta,2009).
c. Riwayat Kesehatan Sekarang Keluhan lain yang menyerta biasanya :
gangguan pernapasan, anemia, hiperkalemia, anoreksia, turgor pada kulit
jelek, gatal-gatal pada kulit, asidosis metabolik.
d. Riwayat kesehatan Dahulu Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut,
infeksi saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik,
dan prostattektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih,
infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes militus, dan
penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi
penyebab. Penting untuk mengkaji mengenai riwayat pemakaian obat-
obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga Kaji didalam keluarga adanya riwayat
penyakit vascular hipertensif, penyakit metabolik, riwayat keluarga
mempunyai penyakit gagal ginjal kronis, penyakit menular seperi TBC,
HIV, infeks
f. Aktivitas Sehari-hari
Biasanya pada pasien gagal ginjal kronis terjadi kelelahan ekstrim,
kelemahan, malaise. Kaji adanya kelemahan otot, kehilangan tonus, dan
biasanya terjadi penurunan rentang gerak.
g. Pola Nutrisi Kaji adakah pantangan dalam makan, kaji peningkatan berat
badan (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), kaji adakah rasa
mual, muntah, anoreksia, nyeri ulu hati.
h. Pola Eleminasi Kaji ada penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria,
abdomen kembung. Kaji adanya konstipasi atau diare. Kaji adakah
perubahan warna urine atau tidak.
i. Pola Aktivitas Biasanya pada pasien gagal ginjal kronis terjadi kelelahan
ekstrim, kelemahan, malaise. Kaji adanya kelemahan otot, kehilangan
tonus, dan biasanya terjadi penurunan rentang gerak.
j. Pola Istirahat Tidur Biasanya pada pasien gagal ginjal kronis mengalami
gangguan pola tidur (insomnia / gelisah / somnolen), gelisah karena
adanya nyeri panggul, sakit kepala dan kram otot kaki.
k. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Apakah pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya
hematoma atau riwayat operasi.
2) Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus
optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus
III), gangguan dalam memutar bola mata (nervus IV) dan gangguan
dalam menggerakkan boal mata kalateral (nervus VI).
3) Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karna terganggu pada
nervus olfatorius (nervus I).
4) Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah) akibat kerusakan nervus
vagus adanya kesulitan dalam menelan.
5) Dada
Inspeksi kesimetrisan bentuk, dan kembang kempis dada,
palpasi ada tidaknya nyeri tekan dan massa, perkusi mendengar bunyi
hasil perkusi, auskultasi untuk mengetahui suara nafas, cepat dan
dalam.
6) Abdomen
Inspeksi bentuk, ada tidaknya pembesaran, auskultasi bising
usus, perkusi dengar bunyi hasil perkusi, palpasi ada tidaknya nyeri
tekan pasca operasi.
7) Ekstermitas
a) Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali.
b) Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan
pada sendi.
c) Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan
gravitasi.
d) Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat
melawan tekanan pemeriksaan.
e) Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan tetapi
kekuatanya berkurang.
f) Nilai 5: bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan
kekuatan penuh.
J. Diagnosa Keperawatan
a. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan (D.0022).
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan (D.0019).
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (D.0056).
d. Risiko infeksi ditandai dengan penyakit kronis (D.0142).

K. Perencanaan keperawatan
a. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan. (D.0022)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan
pasien meningkat (L.03020).
Kriteria Hasil :
1) Haluaran urin meningkat
2) Kelembapan membrane mukosa meningkat
3) Asupan makanan meningkat
4) Edema menurun
5) Asites / penumpukan cairan dirongga perut menurun
6) Konfusi / penurunan berfikir sehingga bingung disorientasi menurun
7) Tekanan darah membaik
8) Denyut nadi radial membaik
9) Tekanan arteri rata – rata membaik
10) Berat badan membaik.

Intervensi :
Manajemen Hipervolemia (I.03114).
1) Periksa tanda dan gejala hypervolemia (Mis.edema, dyspnea, suara napas
tambahan).
2) Identifikasi penyebab hypervolemia.
3) Monitor status hemodinamik (Mis. Frekuensi jantung, tekanan darah).
4) Monitor intake dan output cairan
5) Monitor tanda hemokonsentrasi (Mis. Blood Urea Nitrogen, kadar natrium,
berat jenis urin)
6) Monitor tanda peningkatan onkotik plasma (mis.kadar protein dan albumin
meningkat )
7) Monitor kecepatan infus secara ketat
8) Monitor efek samping diuretik (mis. hipotensi ortorstatik, hipovolemia,
hypokalemia, hiponatremia).
9) Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
10) Batasi asupan cairan dan garam
11) Tinggikan kepala tempat tidur 30 – 40 derajat
12) Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
13) Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan
14) Ajarkan cara membatasi cairan
15) Kolaborasi pemberian diuretik
16) Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic.
17) Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy (CRRT), bila
perlu.

b. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan. (D.0019)


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan status nutrisi pasien meningkat
(L.03030).
Kriteria hasil :
1) Porsi makanan yang di habiskan meningkat
2) Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi meningkat
3) Pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat meningkat
4) Pengetahuan tentang pilihan minuman yang sehat meningkat
5) Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat
6) Sikap terhadap makanan / minuman sesuai dengan tujuan kesehatan
7) Berat badan membaik
8) Indeks massa tubuh membaik
9) Frekuensi makan membaik
10) Nafsu makan membaik
11) Bising usus membaik.

Intervensi : Manajemen nutrisi (I.03119).


1) Identifikasi status nutrisi (apakah ada penurunan BB > 10% serta IMT dibawah
normal)
2) Identifikasi intoleransi/ alergi makanan
3) Identifikasi makanan yang disukai
4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi
5) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
6) Monitor asupan makanan
7) Monitor berat badan
8) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium ( Tes darah : urea & kreatinin, Tes
urine : protein & uremia)
9) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
10) Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.piramida makanan)
11) Sajikan makanan secara menarik dan suhu sesuai
12) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
13) Ajarkan diet yang diprogramkan, yang boleh dan tidak
14) Berikan suplemen makanan, jika perlu Hentikan pemberian makan melalui
selang nasogastric jika asupan oral dapat ditoleransi
15) Anjurkan posisi duduk, jika perlu
16) Ajarkan diet yang diprogramkan ( rendah protein, rendah garam)
17) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.antimetik), jika perlu
18) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan. (D.0056)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan toleransi aktivitas meningkat.
Kriteria hasil :
1) Frekuensi nadi meningkat
2) Saturasi oksigen meningkat
3) Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari – hari meningkat
4) Kecepatan berjalan meningkat
5) Jarak berjalan meningkat
6) Kekuatan tubuh bagian bawah meningkat
7) Toleransi dalam menaiki tangga meningkat
8) Keluhan lelah menurun
9) Dispnea saat aktivitas menurun
10) Dyspnea setelah aktivitas menurun
11) Perasaan lemah menurun
12) Aritmia saat aktivitas menurun
13) Sianosis menurun
14) Warna kulit membaik
15) Tekanan darah membaik
16) Frekuensi napas membaik
17) EKG iskemia membaik.

Intervensi :
Manajemen energi (I.05178).
1) Identifiksi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelehan (mis.
Penurunan O2)
2) Monitor kelelahan fisik dan emosional (observasi kemampuan pasien melakukan
aktivitas dan respon pasien dalam mengdahapi penyakitnya)
3) Monitor pola tidur dan jam tidur ( apakah < 8 jam/harinya)
4) Monitor lokasi dan ketidak nyamanan selama melakukan aktivitas
5) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (Mis. Cahaya, suara,
kunjungan)
6) Lakukan latihan rentang gerak pasif atau aktif ( pasif : untuk pasien yang belum
bisa mandiri, aktif : perawat hanya membimbing)
7) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
8) Anjurkan aktivitas secara bertahap
9) Kolaborasi dengan ahli gizi diet yang tepat untuk pasien

d. Risiko infeksi ditandai dengan penyakit kronis (D.0142)


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat infeksi pasien menurun
(L.14137).
Kriteria hasil :
1) Kebersihan tangan meningkat
2) Kebersihan badan meningkat
3) Nafsu makan meningkat
4) Demam menurun
5) Nyeri menurun
6) Periode malaise / lemas menurun
7) Periode menggigil menurun
8) Letargi / lelah menurun
9) Kadar sel darah putih membaik.

Intervensi : Pencegahan infeksi (I.14539).


1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik (adanya kemerahan,
nyeri/gatal)
2) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
3) Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
4) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
5) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
6) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA

Dila, R. R., & Panma, Y. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gagal Ginjal
Kronik Rsud Kota Bekasi. Retrieved From Akper-Pasarrebo.E-Journal: Https://Akper-
Pasarrebo.E-Journal.Id/Nurs/Article/Download/60/35/.

Indonesia, K. K. (2017, Mei 15). Diagnosis, Klasifikasi, Pencegahan, Terapi Penyakit Ginjal
Kronis. Retrieved From P2ptm.Kemkes: Http://P2ptm.Kemkes.Go.Id/Tag/Diagnosis-
Klasifikasi-Pencegahan-Terapi-Penyakit-Ginjal-Kronis.

Kalengkongan, D. J., Makahaghi, Y. B., & Tinungki, Y. L. (2018). Faktor-Faktor Risiko


Yang Berhubungan Dengan Chronik Kidney Disease (Ckd) Penderita Yang Dirawat Di
Rumah Sakit Daerah Liunkendage Tahuna. Jurnal Ilmiah Sesebanua, 101-106.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuanperawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

You might also like