Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

Wed, June 23, 2010 12:49:34 AM

Re: [sulut-bosami] Fwd: Perjumpaan Kekristenan dan MinahasaFrom: Rudy C Tarumingkeng


<tou@tumoutou.net>

To: sulut-bosami@yahoogroups.com

T'kasih, rupanya sudah ada bahan dari Josias, ttg Satal, kita baru lihat.

Terima kasih, Josias.

om rudy

----- Original Message -----

From: Josias Tatontos

To: sulut-bosami@ yahoogroups. com

Sent: Wednesday, June 23, 2010 11:28 AM

Subject: Re: [sulut-bosami] Fwd: Perjumpaan Kekristenan dan Minahasa

Sepertinya perjumpaan Sangihe Talaud dengan Kekristenan hampir sama dengan perjumpaan
Kekristenan dengan Minahasa Antonio Pigafetta salah satu anggota Expedisi Magelhaens juga mencatat
ada raja-raja di Satal, Bahkan Raja-Raja di Sangir pada abad ke 16 dan 17 sudah menggunakan Nama
Eropa yang merupakan indikasi bahwa mereka sudah dibaptis, bahkan ada yang bersekolah di Manila
(Philipina)

Berikut saya Co-pas Artikel Pekabaran Injil dan Gereja-gereja di daerah Sulawesi Utara (di Luar
Minahasa)
Pekabaran Injil dan Gereja-gereja di Daerah Sulawesi Utara (di Luar Minahasa)

Bibliografi << | >>

Artikel ini diambil dari :

End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 2. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 143-150.

Keadaan Umum

Sama seperti Minahasa, begitu juga bagian-bagian Sulawesi Utara lainnya sudah didatangi orang Eropa,
termasuk pekabar-pekabar Injil, sejak abad ke-16 (§ 11). Meskipun demikian, daerah-daerah lain itu
kurang mendapat minat penguasa Eropa ketimbang daerah Minahasa. Seluruh wilayah Sulut sudah
termasuk lingkungan pengaruh Belanda sejak zaman VOC, namun kekuasaan Belanda barulah
dimantapkan pada tahun 1882 di Sangir-Talaud, 1889 di Gorontalo, 1900 di Bolaang Mongondow. Dalam
abad ke-19, di wilayah ini sebagian besar penduduk sudah tidak lagi menganut agama nenek moyang:
agama Isalam dan agama Kristen telah masuk pada abad ke-16, dan dalam abad ke-19 pengaruh kedua
agama tersebut semakin meluas.

Sangir-Talaud

Gugusan pulau Sangir-Talaud terbentang sepanjang 600 km. di pinggir lautan Pasifik. Di antara pulau-
pulau itu, yang jumlahya 70, terdapat beberapa yang agak besar, a.l. pulau Siau dan pulau Sangir Besar
(Sangir Besar kira-kira seluas wilayah kota Jakarta Raya). Jumlah penduduk pada abad ke-19 berkisar
sekitar 70.000 jiwa. Mereka ini memakai dua bahasa, yaitu bahasa Sangir dan bahasa Talaud, yang
berbeda-beda logatnya menurut daerah. Nafkahnya diperolehnya dari perikanan dan dari perkebunan
kelapa dan pala. Di Sangir Besar, sebagian penduduk sejak abad ke-16 sedah masuk Islam, sedangkan
sebagian lain pada zaman itu telah masuk Kristen. Tetapi sampai akhir abad ke-19 mayoritas orang
Sangir dan Talaud masih beragama suku. Selama masa penjajahan Belanda terdapat dua faktor yang, di
samping perhubungan yang sulit, secara khusus mempersulit karya pI, yaitu kehadiran sejumlah besar
pedagang yang a.l. memasukkan minuman keras, dan sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh
sebagian pejabat pemerintah (Controleur) Belanda, yang ditempatkan di daerah itu sejak tahun 1882.
Keadaan jemaat sekitar tahun 1850

Sekitar tahun 1850, di kepulauan Talaud sudah tidak ada lagi orang Kristen. Di pulau-pulau Sangir tetap
ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan gedung gereja dan sekolahnya. Jemaat-jemaat ini tetap
memelihara kerangka kehidupan Kristen. Di dalam gedung gereja yang terawat dengan baik terdapat
bangku-bangku khusus untuk para pemuka kampung. Setiap hari Ahad jemaat berkumpul mengikuti
kebaktian yang polanya masih seperti pada zaman Kompeni (§ 10). Pengumpulan dana pun tidak
terlupakan. Pada hari Kamis malam diadakan kelompok doa. Tidak diadakan ketekisasi, tetapi di sekolah
anak-anak menghafal beberapa Mazmur serta doa berikut bahan-bahan dari katekismus. Penduduk itu
pun memiliki kesadaran Kristen yang tinggi: apabila seorang pendeta datang berkunjung (yang jarang
terjadi), maka mereka berdesak-desakan meminta agar dibaptis, sehingga pada kesempatan itu ada
sampai 5.000 lebih orang dibaptis. Namun agama Kristen tidak berhasil meresap dalam kehidupan
sehari-hari; agama itu merupakan "agama upacara". Soalnya, para penghantar jemaat tidak
berpendidikan khusus; kebaktian dijalankan dalam bahasa asing, yakni bahasa Melayu; tidak ada majelis
gereja; tidak ada pelayanan Perjamuan Kudus, karena tidak ada anggota sidi; buku Kitab Suci (yang tentu
dalam bahasa Melayu, yang kuno lagi) sudah amat langka, pengajaran agama yang sedikit diperoleh di
sekolah pun hanya dinikmati oleh segelintir anak-anak. Pendeknya, jenis kekristenan seperti yang
terdapat di jemaat-jemaat VOC yang terlantar itu sangat bertentangan dengan cita-cita yang dikandung
oleh para pekabar Injil yang dalam tahun 1850-an datang ke Sangir-Talaud (bnd. § 26).

Para zendeling pertama

Para pendeta dan pekabar Injil yang dari Minahasa melakukan kunjungan ke Sangir-Talaud mendesak
NZG (§ 29) agar menangani karya pI di pulau-pulau itu. Tetapi NZG, selain memiliki lapangan kerja di
Maluku, Timor, dan Minahasa, baru saja mulai mengutus tenaga ke Jawa Timur pula (§ 24), sehingga
merasa tidak mampu. Maka Panitia Zendeling-tukang (§ 19, 30) merasa terpanggil untuk mengisi
lowongan itu. Dalam tahun 1857, sesudah dua tahun dalam perjalanan, empat zendeling-tukang
mendarat di pulau-pulau Sangir, dua tahun kemudian empat orang lagi tiba di Talaud. Sesuai dengan
asas yang dianut oleh Panitia tersebut, mereka tidak mendapat gaji yang tetap. Namun, pemerintah
mengakui jemaat-jemaat di Sangir sebagai jemaat-jemaat VOC, sehingga bersedia menyediakan
anggaran untuk para pekerja baru itu. Mereka ini kebanyakan orang Jerman dari kelompok Gossner (§
30, 36). Yang menjadi tokoh yang terkenal di antara mereka ialah E. T. Steller, yang selama masa 1857-
1897 bekerja di Manganitu, Sangir Besar.

Pendekatan para zendeling


Steller bersama rekan-rekannya segera menjalankan upaya untuk membenahi jemaat. Mereka ingin
supaya semua anggota memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup. Secara negatif, mereka
memberantas kepercayaan takhyul, kebiasaan minum minuman keras dan perkawinan poligami yang
banyak terdapat di kalangan orang Kristen. Secara positif, mereka secepat mungkin mulai menggunakan
bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu. Beberapa bagian Alkitab mereka terjemahkan ke dalam
bahasa daerah (1883, PB dalam logat Siau; 1942, PB dalam bahasa Sangir), begitu pula Katekismus
Heidelberg (1871), Perjalanan seorang Musafir karangan J. Bunyan, dan lain-lain. Jumlah kebaktian
diperbanyak: pada hari Minggu petang bahan yang telah dikhotbahkan dalam kebaktian pagi dibahas
lagi, disusul oleh katekisasi dan Sekolah Minggu. Tiap-tiap hari diadakan kebaktian pagi dan malam, yang
juga digunakan untuk maksud pengajaran agama. Tiap bulan ada kumpulan pekabaran Injil di
Manganitu. Di sana diberikan keterangan mengenai karya pI di seluruh dunia, lalu diadakan doa syafaat
serta pengumpulan dana untuk karya itu. Di samping itu, Steller banyak berkunjung ke rumah anggota
jemaat, khususnya yang sakit atau yang jatuh ke dalam dosa, dan rumah Zendeling itu pun terbuka bagi
orang Sangir. Bertentangan dengan para pendeta yang telah datang berkunjung sebelum tahun 1857,
Steller dan mayoritas teman-temannya enggan membaptis orang dewasa kalau tidak ada persiapan yang
matang.Lamanya persipan itu harus minimal satu tahun, tetapi kalau zendeling meragukan mutu
kepercayaan sang calon, baptisan itu pun ditunda sampai tiga empat tahun. Lebih baik jemaat-jemaat
yang kecil dan setia daripada yang besar namun suam-suam kuku, demikian pandangan mereka.

Perkebunan Gunung

Tunjangan yang diperolehnya dari pemerintah tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga
zendeling sendiri, apalagi keluarga besar yang terdiri dari anak-anak asuh dan lain-lain. Oleh Panitia
Zendeling tukang mereka telah disuruh mencari rejeki melalui kecakapan masing-masing selaku tukang.
Tetapi bagaimana seorang pembuat kereta dapat mencari nafkah di negeri yang tidak ada jalan-jalan,
atau seorang tukang sepatu di tempat tidak memakai sepatu? Khususnya dalam tahun-tahun pertama
para pekabaar Injil itu sungguh melarat, apalagi di Talaud. Di situ para zendeling terpaksa hidup sesuai
dengan pola penduduk setempat, termasuk jenis makanan, serta mengawini putri daerah. Maka Steller
mencari jalan keluar dengan membuka hutan di pegunungan di atas Manganitu. Dengan demikian
lahirlah perkebunan "Gunung", yang bisa berhasil karena zendeling sendiri dengan tidak mengenal lelah
membabat pohon-pohon dan mengerjakan kebun itu. Tetapi yang dihasilkan "Gunung" itu bukan hanya
pendapatan tambahan bagi kas pribadi Steller ataupun bagi kas zending. Perkebunan itu dijadikan
sebagai dasar seluruh karya pI, karena merupakan persemaian tenaga pemimpin dalam gereja dan juga
dalam masyarakat luas. Sesuai dengan cita-cita pietis, Steller ingin merombak seluruh pola kehidupan
masyarakat Sangir. Ia ingin membina orang yang, di samping menjadi pribadi yang saleh, juga biasa
dengan kehidupan yang teratur, yang menghargai pekerjaan keras dan, meskipun termasuk golongan
bangsawan, tidaklah menghina pekerjaan tangan. Anak-anak yang menawarkan diri untuk menjadi anak
asuh di "Gunung" mendapat pendidikan sekolah pada malam hari; pada siang hari mereka bekerja di
kebun, dan pagi serta malam mereka diikutsertakan dalam ibadah doa, sehingga di situ dijalankan
kehidupan yang subur dalam kerangka liturgis yang kokoh. Jumlahnya bisa sampai 90 orang sekaligus,
dan mereka tinggal di sana lima sampai sepuluh tahun atau lebih. Di antara para tamatan "Gunung",
banyak yang menjadi guru/penghantar jemaat ataupun kepala kampung, atau merantau ke daerah lain
menjadi mantri kesehatan dan lain-lain. Salah satu hasil sampingan usahanya ialah bahwa pada masa
kelaparan Steller dapat menyediakan bahan makanan untuk orang banyak.

Tanggapan orang Sangir

Mula-mula penduduk Kristen bersikap agak negatif terhadap upaya para zendeling. ´Kan mereka sudah
dibaptis, maka kenapa pula status mereka selaku orang Kristen perlu diragukan? Kalau mereka sudah
mengikuti katekisasi, kenapa mereka diharuskan belajar lagi? Mereka enggan menerima disiplin
gerejawi terhadap kebisaan mereka, seperti poligami dan sebagainya. Namun, dalam waktu relatif
singkat kehidupan jemaat berhasil dirombak Jumlah anggota sidi, yang pada waktu sebelum kedatangan
para zendeling masih praktis nol, meningkat menjadi ribuan, meskipun diadakan penyaringan yang
ketat. Poligami hilang, pengaruh agama suku mundur. Jemaat-jemaat memiliki penatua-penatua dan
diaken-diaken. Jemaat belajar membiayai sendiri pembangunan dan pemeliharaan gedung gereja serta
sekolah; mereka memberi sumbangan untuk gaji penghantar jemaat dan untuk biaya pekabaran Injil di
daerah lain ataupun untuk menolong korban bencana alam. Jemaat Manganitu sejak tahun 1865
membiayai tenaga penginjil orang Sangir di kepulauan Talaud. Di kampung-kampung Kristen,
masyarakat kampung merupakan semacam teokrasi, sebab gereja dan sekolah, perayaan hari Minggu,
dan kehidupan sehari-hari semua ditandai oleh agama. Jumlah anggota gereja pun meningkaat dengan
cepat, dari ± 20.000 (35% seluruh penduduk) pada tahun 1855 menjadi 121.000 (75%) pada tahun 1936,
belum terhitung puluhan ribu orang Sangir dalam perantauan. Pada tahun 1891 dibuka sekolah
pendidikan guru di Siau(1908 pindah ke Kaluwatu, 1933 ditutup).

Perombakan organisasi

Sejak tahun 1858, Panitia Zendeling-tukang tidak begitu aktif lagi, dan dengan kematian Heldring pada
tahun 1876 kegiatan Panitia itu sama sekali berhenti. Dengan demikian, para utusannya tidak lagi
memiliki pangkalan di tanah air, sedangkan tidak juga ada badan yang bisa mengutus tenaga tambahan.
Maka pada tahun 1887 di Negeri Belanda didirikan Panitia Sangir-Talaud (§ 30). Atas desakan Panitia itu,
para pekerja di Sangir-Talaud yang selama itu bekerja sendiri-sendiri dengan mengikuti selera masing-
masing dalam hal metode, digabungkan menjadi Konferensi para Zendeling, yang berkumpul setahun
sekali. Di samping itu, dibentuk pula Konferensi para pengerja pribumi, yang berkumpul dua tahun sekali
bersamaan waktu dan tempat dengan Konferensi para Zendeling.

Menuju pembentukan GMIST

Meskipun tingkat kehidupan jemaat sudah berhasil dinaikkan, para zendeling menganggap jemaat
belum "matang", sehingga belum bisa berdiri sendiri. Masih terlampau banyak orang Kristen secara
nama saja, masih terlampau banyak "sisa-sisa kekafiran" yang bertahan dalam jiwa anggota jemaat,
masih kurang tenaga Indonesia yang mampu menggantikan para zendeling bangsa Eropa. Akan tetapi,
dalam tahun-tahun 1920-an pola berpikir yang berlaku di kalangan para zendeling itu mulai berubah (§
29). Tidak mungkin jemaat belajar untuk berdiri sendiri, baik secara rohani maupun secara material,
selama jemaat itu berada di bawah perwalian zending terus-menerus. Maka pada tahun 1921 sudah
ditahbiskan enam belas pendeta pribumi (inlands leaars), yang berhak melayankan sakramen-sakramen
sehingga berwenang sama dengan para utusan Injil dari Eropa. Salah seorang di antara mereka ialah
Yahya Salawati (± 1890-1964), yang dikemudian hari menjadi ketua sinode yang pertama. Dia bersama
orang lain memainkan peranan penting sebagai penasihat para zendeling. Akan tetapi, para zendeling
kemudian menjadi sadar bahwa para pendeta pribumi sebaiknya tidak dipandang sebagai pengganti
mereka, dengan akibat struktur hierarki yang berlaku dalam zending boleh jadi diteruskan dalam gereja
yang berdiri sendiri kelak. Maka mulai tahun 1930 diadakan pembicaraan dengan maksud
mempersiapkan peraturan gereja berpola presbiterial. Prosesnya berkepanjangan, sehingga belum
selesai waktu Perang Dunia II meletus. Pada tahun 1926 dua kelompok malah telah memisahkan diri dari
jemaat zending, karena tidak lagi menerima perwalian zending itu. Tetapi zaman Jepang yang penuh
kesusahan itu (sejumlah pemuka masyarakat Sangir tewas terbunuh oleh Jepang) untuk sementara
waktu menghentikan proses peralihan pimpinan; lagi pula pada masa itu para zendeling lagi ditawan
oleh Jepang. Namun, pada taun 1974 (tanggal 25 Mei) berdirilah Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud.

Sesudah tahun 1947

Selama tahun-tahun pertama, sebagian besar jemaat-jemaat di kepulauan Talaud tidak masuk menjadi
bagian gereja yang baru berdiri sendiri itu. Barulah pada tahun 1955, ketika ketua Sinode yang pertama
Y. Salawati, diganti oleh seorang talaud, jemaat-jemaat itu bergabung dengan GMIST. Di masa
kemudian, hubungan antara kedua wilayah GMIST itu bukan tidak menimbulkan persoalan. Pun
hubungan dengan klasis Indonesia Barat, yang mencakup jemaat-jemaat orang Sangir dalam perantauan
di Jawa dan Sumatera, mengalami kesulitan karena jarak yang jauh. Terdapat pula sejumlah besar orang
Sangir yang dari dulu sudah menetap di Filipina Selatan. Pada tahun 1943, bakal GMIST sudah
merencanakan usaha pekabaran Injil di tengah kelompok tersebut, tetapi pelaksanaannya dicegah oleh
campur tangan pihak Jepang. Pada tahun 1965, GMIST meminjamkan seorang pendetanya kepada DGI,
yang mengutusnya ke Filipina Selaatan untuk bekerja di situ di bawah naungan Dewan Gereja-Gereja
Filipina, bersama beberapa guru Sangir.

Organisasi gereja

Dalam hal organisasi gereja, GMIST dengan susah payah mencari pola yang cocok dengan keadaan di
gugusan pulau yang terbentang luas dan yang sebagian besar miskin itu. Pada sidang sinode tahun 1961
diambil keputusan untuk mengupayakan desentralisasi (bnd. § 34). Dibentuklah "jemaat-jemaat
otonom", yang diberi wewenang seperti yang sesungguhnya dinikmati oleh klasis-klasis. Akan tetapi,
ternyata sistem ini tidak memenuhi harapan, sehingga sinode tahun 1970 menempuh jalan yang justru
lain: baik jemaat-jemaat otonom maupun klasis-klasis dihapuskan dan diganti tiga resort besar. Dengan
demikian jemaat-jemaat langsung berurusan dengan sinode. Tujuannya a.l. supaya dengan adanya
organisasi baru itu keadaan kas sinode membaik (bnd. § 35). Ternyata keadaan tidak menjadi lebih baik,
maka pada tahun 1978 klasis-klasis dipulihkan. Dalam pada itu, timbul kesadaran bahwa lebih dulu
GMIST perlu memikirkan secara mendalam dasar dan tujuan kehidupannya sebagai gereja. Maka
dengan maksud itulah sejak tahun 1983 GMIST mulai meninjau kembali secara sungguh-sungguh tata
gereja yangg pada tahun 1947 diwariskan kepadanya oleh zending, dan yang selama itu belum banyak
mengalami perubahan. Jumlah anggotaa gereja kini (1997) 220.000 lebih (1972: 183.344), yang
merupakan 90% lebih dari seluruh penduduk kepulauan Sangir-Talaud. Gereja-gereja terbesar lainnya di
Sangir-Talaud. Gereja-gereja terbesar lainnya di Sangir-Talaud ialah Gereja Katolok Roma dan
Pentakosta.

Bolaang Mongondow

Dalam abad ke-18 sudah terdapat ratusan orang Kristen di daerah pesisir Bolaang Mongondow. Tetapi
daerah ini pun tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak VOC. Dalam abad ke-19, Islam masuk
dan raja pun memeluk agama Islam. Tenaga NZG di Minahasa mengunjungi kelompok-kelompok
perantau dari Minahasa yang terdapat di situ. Tetapi ketika NZG hendak mengutus seorang tenaga
tetap, pemerintah Belanda melarangnya, dengan alasan tidak bisa menjamin keselamatan utusan itu.
Pada tahun 1904 raja Cornelis Manoppo, seorang Islam, yang telah berbuat banyak untuk membangun
kehidupan rakyat, meminta zending agar membuka sekolah-sekolah didaerahnya. NZG mengutus
beberapa orang, yang a.l. membuka sekolah HIS di Kotamobagu. Di samping memperhatikan
pendidikan, zending menekankan pemeliharaan terhadap orang Minahasa dan Sangir yang telah
merantau ke daerah itu. Pekerjaan di kalangan orang asli yang beragama Islam tidak dilakukan secara
langsung dan intensif. Pun para guru dan penghantar jemaat kebanyakan berasal dari Minahasa. Di
antara mereka terdapat guru J. Pandegirot (guru sejak 1906, 1930 ditahbiskan menjadi pendeta pribumi)
yang menjadi tokoh pemimpin waktu Perang Dunia. Namun, ada pula sebagian orang asli Bolaang
Mongondow yang masuk Kristen. Pada tahun 1970 mereka ini merupakan 20% dari jumlah anggota
gereja yang pada waktu itu meliputi 30.000 jiwa lebih (15-20% penduduk). Kini (1997) anggota GMIBM
berjumlah 85.000.

Gereja berdiri sendiri

Kemandirian gereja barulah mendapat perhatian pada tahun 1938 dengan kedatangan seorang
zendeling dari Sangir, yang secara khusus didatangkan untuk itu (J. Langeveld). Ia mengadakan rapat
para penghantar jemaat (permulaan 1939), kemudian kumpulan wakil-wakil jemaat (Desember 1939).
Dalam rapat itu ditetapkan organisasi gereja yang bersifat sementara. Peresmian gereja mandiri (secara
formal) berlangsung sesudah perang, yaitu pada tahun 1950. Sama seperti gereja-gereja lainnya di
wilayah Sulutteng, Gereja Masehi Injili Bolaang Momgondow ini banyak menderita akibat pergolakan
PERMESTA.

Gorontalo Buol Toli-toli

Mulai tahun 1889, seorang asisten-residen Belanda menetap di Gorontalo. Oleh karena itu, di sana
terdapat sejumlah orang Kristen Indonesia, khususnya orang Minahasa. penduduk asli sebagian besar
menganut agama Islam. Pada tahun 1891-1898 seorang tenaga utusan NZG menetap di situ, tetapi tidak
ada hasil yang nyata. Namun, Gorontalo termasuk resort pendeta GPI yang bertempat di Manado, dan
jumlah orang Kristen bertambah terus karena datangnya perantau dari Minahasa. Pada tahun 1936,
GMIM yang baru berdiri sendiri itu (§ 34) menerima Gorontalo bersama Donggala menjadi daerah
pekabaran Injil-nya. pada tahun 1965 berdirilah gereja Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG), yang
anggotanya 14.000 lebih. Dengan cara yang sama berdiri pula Gereja Protestan indonesia Buol Toli-toli
(GPIBT) pada tahun 1965, yang anggotanya berjumlah 14.500 lebih (1997).
Pada tanggal 23/06/10, petu mangadil <petu.mangadil@ gmail.com> menulis:

Pada waktu itu tempo doeloe musim ombak besar, maka itu Penginjil nyanda bisa langsung ke Sangihe
Talaud.

Dorang hanya baronda di Minahasa. Kiriman saya ini berbau sejarah dan sejarah perlu diketahui oleh
anak anak kita.

Selamat membaca bagi yg belum tahu.

Salam BOSAMI

sau mesombang!

PM

Perjumpaan Kekristenan dan Minahasa

Oleh Rikson Karundeng

Spanyol menginjakkan kaki di Minahasa

Catatan historis mengungkapkan kalau orang-orang Spanyol lebih dulu datang ke Minahasa dari pada
Portugis, yakni pada tahun 1525. Tapi orang-orang Sapnyol baru mulai menetap setelah tahun 1580.

H van Kol berdasarkan informasi yang ia peroleh dari berbagai sumber menerangkan bahwa sekitar
bulan Oktober 1521 serombongan orang Spanyol; yang tergabung dalam armada musafir samudra
Ferdinand Magelhaens tiba di Tidore. Sebagian anggota armada Spanyol ini memisahkan diri dari
induknya dan kemudian berlabuh di salah satu tempat di pantai Minahasa.

Menurut penjelasan A.J. Aerensbergen S.J., dalam De Katholieke Kerk en here missie in Minahasa ,
sesuai dengan kebiasaannya dapat disimpulkan bahwa di antara mereka terdapatlah sejumlah
misionaris yang langsung berinisiatif mengadakan pekabaran Injil. Jadi, diperkirakan sejak tahun 1520-an
sudah ada pastor-pastor yang menyebarkan Injil di Tanah Minahasa. Dengan kata lain, kristianitas
Katolik mulai dimasukkan di Minahasa sejak saat itu yang bagi J. van. Paassen, bentuk penginjilan ketika
itu masih bersifat insidentil.

J.G.F. Riedel menyebutkan bahwa armada Spanyol pertama itu telah belabuh di Kima. Besar
kemungkinan bahwa tempat itu sama dengan sebuah nama kelurahan yang kini menjadi bagian dari
kecamata Molas, Manado. Kehadiran orang-orang Spanyol ini ternyata disambut dengan sikap acuh tak
acuh oleh penduduk khususnya dari taranak Tombulu. Sehingga, sebagian besar anggota armada itu
berlayar terus menyusur pantai ke arah selatan dan berlabuh di Uwuren/Amurang. Dari Uwuren, orang
Spanyol mulai bergerak masuk ke pedalaman dan tiba di Cali atau Kali, sebuah desa dekat danau
bernama Wasian Uwuren atau Tonsawang, yang waktu itu merupakan salah satu pusat penghasil padi
terbesar di tanah Minahasa.

Selanjutnya dalam satu ekspedisi lain, mereka mengarungi sungai Rano I Apo atau Ranoyapo dan tiba di
Pontak. Di sana mereka mendirikan gudang penampungan beras karena di sana juga terdapat hasil
padi/beras yang berlimpah. N. Graafland, seorang penginjil Protestan pada abad 19, dalam De
Minahasanya mengatakan bahwa ia sempat diberitahu oleh penduduk bahwa mereka masih
menyaksikan lesung-lesung batu untuk menumbuk padi peninggalan orang Spanyol.

Satu ekspedisi lagi mereka lakukan ke arah utara. Pertama-tama sampai ke daerah yang menurut Riedel
adalah Rinumeran Ne Touw Um Wasian Katare-tare atau Tombasian, lalu melanjutkan perjalanannya
masuk Wanua Wangko atau Kawangkoan terus ke daerah orang Tombulu: Katinggolan (Woloan Tua),
Tomohon, turun ke Kali (Wilayah Pineleng kini) dan tiba kembali di dataran Wenang. Sepanjang
perjalanan lintas Minahasa itu terjadi perang-perang melawan penduduk malasung sehingga banyak
anggota ekspedisi yang kuburannya tidak diketahui. (Red. Hingga sekarang masih ada senjata perang
termasuk topi orang-orang Spanyol yang kini dipergunakan sebagai antribut pemain Cakalele, mis.
Cakalele yang ada di Paselaten Tomohon. Usianya diperkirakan sudah 4 sampai 5 abad).

Masuknya Bangsa Portugis


Antonio Galvano menjadi Gubernur Potugis di Maluku dari tahun 1535 sampai 1540. Ia mempunyai
peranan besar terhadap pengembangan karya-karya Injil yang tidak terbatas hanya di kepulauan
Maluku, tetapi diperkirakan bahwa pengaruhya telah turut bergema di Minahasa. Diduga ketika
misionaris Spanyol mulai menjamah penduduk Malesung di pesisir barat pantai Minahasa, maka dari
Ternate sekali-kali misionaris Portugis telah sampai pula ke pesisir timur.

Dari sejarah umum kita ketahui bahwa tahun 1562 Spanyol digusur oleh Portugis dari perairan Maluku
dan Sulawesi terutama berdasarkan perjanjian Saragosa antara kedua bangsa itu atas anjuran Paus. Jadi,
kehadiran Spanyol periode pertama di Minahasa berlangsung sejak tahun 1520 hingga 1562. Tahun
1563, Sultan Ternate merencanakan suatu ekspedisi ekspansif ke Sulawesi Utara dibawah pimpinan
putera mahkota bernama Baab atau Baa’ullah. Maksud ekspedisi itu untuk menguasai dan menyatukan
seluruh wilayah ini termasuk (Minahasa) ke dalam lingkungan kekuasaan kesultanan Ternate. Di pihak
lain pimpinan Ordo Katolik di sana mengirim misionarisnya ke wilyah Sulawesi Utara kini, karena
memang dari sini konon ada beberapa Ukung menyampaikan permohonan untuk itu.

A.J. van Aenrensbergen mengutip surat P.Joan de Beira dari ternate tahun 1552 menjelaskan bahaw atas
bantuan Gubernur Portugis di Ternate, Enrique de Sa, bulan Mei 1563 serombongan orang Portugis
terdiri dari tentara dan pedagang dengan menggunakan kapal khusus bertolak menuju Manado dan tiba
setelah berlayar empat hari. Di antara rombongan itu terdapat pastor Diego de Magelhaens. Dalam
suratnya pada 28 Juli 1563, Magelhaens menjelaskan kalau ia telah tinggal di Manado selama 25 hari
dan selama itu telah mempermandikan pemimpin setempat beserta pengikutnya - Ini dikenal dengan
masa kristenisasi Katolik resmi di Sindulang.

Seorang pastor bernama Pedro Mascarenhas dikatakan tiba juga di Manado 1 November 1569 dan
mengambil alih tugas Magelhaens. Namun, hingga saat itu dia juga belum berhasil melayani orang-orang
Minahasa yang ada di Gunung.

Lorenzo Garralda 1644

Kedatangan Kembali Bangsa Spanyol


Masa Portugis di Maluku berakhir tahun 1580. Ini bermulanya masa Spanyol yang ke dua. Sebab situasi
politik di Eropa kembali berubah (Spanyol dan Portugis dipersatukan dibawah bendera Spanyol).
Komandan Spanyol di Ternate Juan de Esquivel bulan Agustus tahun itu juga membuka hubungan
dengan para penguasa di Sulawesi Utara. Menurut data Yan Paasen MSC, mengutip surat laporan dari
Manado 8 Juni 1617 bahwa bangsa dan serdadu-serdadu Spanyol itu mulai menetap lagi di Manado
sejak tahun 1617. Namun kehadiran mereka masih diacuhkan oleh orang Minahasa di Gunung. Mereka
tidak bersahabat. Terbukti, ketika pastor Blas Palomino tiba pada bulan Maret 1619, mereka tidak
dipedulikan oleh masyarakat. Bahkan rapat para Ukung di wanua dekat danau Tondano dengan tegas
menyatakan penolakan terhadap kehadiran misionaris di tengah rakyat mereka.

Tahun 1639 Pastor Juan Yranzo dan bruder Francisco de Alcala tiba di Manado. Berbagai rintangan
mereka hadapi hingga bisa masuk ke daerah pedalaman Minahasa. Setelah melewati perundingan
selama dua minggu, mereka bisa diterima dengan syarat, mereka tidak akan memaksa para ukung dan
rakyat dengan intervensi serdadu untuk menjadi Kristen, tidak akan membasmi ritus moyang mereka
terutama foso serta tarian penghormatan terhadap opo-oponya.

Pastor Juan Yranzo menjadikan Tomohon pusat kegiatannya. Tahun 1640, bruder Francisco de Alcala
jatuh sakit dan harus dipulangkan ke Ternate akhir tahun. Ia berangkat bersama 14 orang gunung
berpengaruh ke Ternate. Di sana mereka mempelajari agama, dibina dan dibimbing dalam prilaku
kristiani. Setelah dibabtis di gereja St. Antonius mereka pulang ke Manado bersama pastor Lorenzo
Gerralda.

Di masa itu, para mesticos (warga keturunan campuran) sering memeras untuk tuan-tuannya sementara
para serdadu Spanyol sering merampas dan memperkosa penduduk. Pastor Yranzo dan pastor Gerralda
tampil untuk membela. Sikap para pastor ini kemudian menimbulkan simpati sehingga banyak orang
memberi diri untuk dibabtis. Sesuai data Pastor Yranzo, mereka yang member diri untuk dibabtis sekitar
740 orang.

Riedel & Cchwarz


Zaman VOC di Minahasa

Pada tahun 1602 di Belanda telah membentuk suatu badan perhimpunan dagang yang dinamai
“Veregnigde Oost Indische Compagnie” dan dipendekkan “VOC” sebutan hari-hari Kompeni Belanda.
Pada tahun 1605 VOC sudah berada diperairan Maluku. Dari sana mereka menaklukkan orang Portugis
dan Spanyol. Tahun 1655 mereka mulai menetap di Minahasa, dengan mendirikan benteng Wenang
yang kemudian dinamakan benteng Manado. Ada undang-undang di Belanda yang berbunyi bahwa
pemerintah diwajibkan memelihara gereja yang kudus dan melawan serta memberantas segala agama
palsu dan penyembah berhala dan semua antikris, sambil memberitakan Kerajaan Yesus Kristus.
Demikian VOC harus melaksanakan ketentuan ini dan membawa panji Protestan melalui pekabaran Injil
dimana saja mereka berada.

Semenjak kedatangan perdananya, para petinggi VOC atau Kompeni telah menyertakan penginjil-
penginjil Protestan. Pada waktu Ds J Montanus mengunjungi Manado tahun 1675, ia menemui suatu
komunitas umat yang terdiri dari orang-orang Eropa dan sebagian telah memperistri penduduk
Minahasa. Terdapat sebuah gereja dan sebuah sekolah. Ketika Ds. G. Pregrinus mengunjungi Minahaa 5-
15 Agustus 1677, ia melaporkan bahwa di Manado terdapat 499 orang Kristen. Tahun 1730 seorang
pejabat keuangan Kompeni di Manado bernama Pieter Real melaporkan bahwa di seluruh wilayah
Manado waktu itu terdapat 48 tenaga guru dan petugas gerejawi yang ditunjang pemerintah. Mereka
itu adalah tenaga-tenaga Gereja Reformasi atau Gereja Protestan. Sayang sekali, hingga akhir masa
keemasan VOC tahun 1799, gereja Reformasi tidak berkembang sebab peran para pendeta ternyata
hanya pada pelayanan terhadap orang-orang Belanda di kota Mnado dan pelabuahan lainnya. Ketika
C.G.C. Reinwardt mengunjungi Minahasa medio tahun 1821, menurutnya ia menemui budaya alifuru
yang kental dan penduduk Minahasa umumnya belum mengenal bahasa melayu.

Sesuai data-data, pendeta-pendeta Protestan nanti datang ke Minahasa pada abad ke-17 (1663)
bersam-sama dengan VOC. Pendeta-pendeta VOC tersebut antara lain Ds Jacobus Montanus.

Pada tahun 1675 Ds. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah,
karena tidak ada pelayanan, sehingga banyak cara-cara hidup yang bertentangan dengan ajaran agama
Kristen.

Pada tahun 1695 sudah tercatat 2.192 murid sekolah. Di Likupang pada tahun 1771 dikunjungi oleh De
Wiltenaar, dan kedapatan disana sudah ada jemaat baru dengan orang dewasa 102 orang dan anak-
anak 105 orang.
Demikianlah usaha dan tekad dari VOC menginjil di Indonesia sampai ke daerah-daerah termasuk
Minahasa, walaupun banyak juga kelemahan dan kekurangan. Pada 31 Desember 1789 VOC dibubarkan,
maka sejak bubarnya VOC sampai pada tahun 1817 tidak ada lagi pemeliharaan rohani pada jemaat
walaupun pada waktu itu sudah diserahkan pada pemerintah Belanda.

Zaman Nederlandsch Zendeling Genootchap (NZG)

Pada tahun 1797 Th Van der Kemp sudah mendirikan satu badan pekabaran Injil yang dinamai
“Nederlandsch Zendeling Genoostchap” (NZG). Setelah Inggris mengembalikan Nusantara kepada
Belanda tahun 1817, pemerintah meyerahkan urusan rohani kepada NZG. Di masa antara tahun 1817 –
1826, masuklah para penginjil NZG ke Minahasa.

Ds. Josep Kam adalah seorang pendeta dari tahun 1770-1853 di Maluku yang kemudian digelar rasul
Maluku, mengunjungi Minahasa pada tahun 1817 lalu disusul lagi oleh Ds. Lenting dari Semarang yang
membuat perjalanan dinas di daerah ini tahun 1819. Mereka mendapati orang-orang Kristen yang sekian
banyak tidak ada pelayanan lagi. Atas usaha dan pembelaan dari kedua Pendeta ini maka mereka
menyampaikan permohonan kepada NZG di Belanda; oleh permohonan ini pada tahun 1822 yaitu
Zendeling L. Lamores ditempatkan di Kema dan Zendeling W. Muller di tempatkan di Manado.

Dalam pelayanan mereka mendapat kesulitan-kesulitan yang didapati mereka teristimewa dari
keturunan Eropa sendiri. Zendeling L. Lamores meninggal dunia pada tahun 1824 di Kema dan W. Muller
meninggal pada tahun 1827 di Manado. Kemudian diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn yang ditempatkan di
Manado pada tahun 1827. Ia mempunyai keyakinan bahwa Minahasa perlu ada penginjilan, sehingga 4
tahun kemudian dikirimlah dua Zendeling yang tiba di Manado pada 12 Juni 1831 yaitu : Penginjil J. F.
Riedel dan J. G. Schwars. Penginjil J. F. Riedel ditempatkan di Tondano dan J. G. Schwars ditempatkan di
Kakas lalu dipindahkan ke Langowan. Sejak tahun 1831 N.Z.G. melaksanakan penginjilan di Minahasa
secara intensif dan sudah membagi Minahasa ini menjadi 10 resot penginjilan, yakni resot Tomohon,
Tondano, Langowan, Amurang, Kumelembuai, Tanawangko, Kema, Talawaan, Sonder, Ratahan. Semua
resot ini telah ditempati Zendeling-zendeling yang rata-rata telah bekerja keras menjangkau wilayah-
wilayah yang belum Kristen. Sebagian besar Zendeling-zendeling ini meninggal di daerah ini.

Kubur Riedel di Tondano


Kubur Schwarz di Langowan

Selain Zendeling-zendeling yang sudah disebut di atas ada Zendeling-zendeling lain yaitu

Karel Trougth Herman dari Jerman, ditempatkan di Amurang pada tahun 1836, dan meninggal tahun
1851, A. T. Mattern tempat di Tomohon pada tahun 1838 dan meninggal di Manado pada tahun 1842, F.
Hartig di Kema dan Likupang 1849 meninggal di Kema pada tahun 1854, N. Ph. Wilken di Tomohon 1842
– 1873, F. H. Linneman di Manado 1846 – 1882, R. Bossert di Tanawangko 1848 – 1854, H. Nooy di
Tondano 1850 – 1853, N. Graffland di Sonder 1850 – 1883, S. de Volden Capelen di Rumoong Lansot
1851 – 1856, H. Bocker di Tondano 1854 – 1903, H. J. Tondeloo di Airmadidi 1857 – 1862, A. O.
Schaafsma di Langowan 1860 – 1870, J. A. Schwarz di Sonder 1860 – 1903, C. J. v. d. Liefde di Amurang
1851 – 1861, J. N. Wiersma di Ratahan 1863 – 1884

M. o. d. Wal di Talawaan 1864 – 1867, H. Bettihk di Tanawangko 1867 – 1878, J. Louwerier di Tomohon
1867 – 1909, M. Brouwer di Langowan 1870 – 1913, A. de Lange di Tanawangko 1878 – 1880, H. M.
Svhippers di Tanawangko 1880 – 1889, J. Boide di Tenga / Kumelembuai 1881 – 1887, J. cem Hore di
Maumbi – Tanawangko 1881 – 1889, N. Permeey di 1885 – 1894, H. D. Kruyt di Kuranga 1864 – 1890, E.
Tr. G. Graafland di Amurang 1888 – 1932, J. S. de Vales di Ratahan 1888 – 1895, J. H. Hibink Roeker di
Kuranga 1890 – 1926, H. J. Moens di Ratahan, Tomohon 1895 – 1876

S. Auisingh di Ratahan 1896.

Kuburnya Penginjil Rooker dan Istrinya (Anak dari Riedel) di Tondano

Pandangan Para Misionaris Terhadap Masyarakat Minahasa

P. Blekeer, dalam tulisannya Reis door de Minahasa en den Molukschen Archipel, menjelaskan bahawa
dahulu sebelum daerah Minahasa dijamah oleh agama Kristen, penduduk di pedalaman lebih dikenal
dengan nama Bergbewoners atau Bergbevolking atau Alfoeren dalam istilah setempat disebut “Orang
Gunung”. Nama ini berhubungan dengan tempat yg telah mengisolasi mereka dari penduduk pesisir.
Dalam Bestuursvormen en Bestuurstelsel in de Minahasa, Marten Brouwer menjelaskan bahwa seluruh
penduduk Minahasa adalah penganut religi pribumi sebelum disentuh penginjilan Schwarz. Dan data
Tjahaja Siang terbitan tahun 1870-1875 sebagaimana ditulis Graafland, menyebutkan bahwa tahun
1870, 75% penduduk Minahasa telah beragama Kristen.

Seperti yang telah dibahas oleh P.N. Wilken, N. Adriani dan J.A.T.Schwarz, kemudian dibahas lebih rinci
oleh K. Tauchmann, di Minahasa di Zaman dahulu penduduknya memang percaya bahwa mereka telah
mempunyai religi yang bersumber dari mereka sendiri. Para pengikutnya sangat patuh menjalankan
ketentuan religinya atau tunduk pada apa yang telah digariskan oleh para leluhur.

Setelah meneliti sociokultur Minahasa pada tahun 1842, A.F. van Spreeuwenburg menyipulkan bahwa
pada dasarnya orang Minahsa mempunya watak keras/pemberang, kritis, hati-hati, tidak cepat
terpengaruh, kadang-kadang terkesan acuh. Tetapi begitu mereka menetukan sikap, maka mereka
konsekwen dengan itu. Itu sebabnya para misionaris dalam kerjanya mengahadapi tantangan yang luar
biasa hingga bisa “menaklukkan” Tou Minahasa. Hal ini juga dipengaruhi program Residen J. Wenzel
sejak 1827 yang melakuakan perombakan radikal selama kurang lebih 20 tahun. Kebudayaan baru
kemudian lahir, nilai-nilai kultural Tou Minahasa mulai tergusur dan generasi baru dengan sikap dan
prilaku yang berbeda kini muncul. Di masa ini masyarakat Minahasa tiba-tiba menjadi terbuka. Ini tentu
perubahan yang cukup radikal. Menurut H.B.Palar, dimasa inilah beberapa mutiara budaya Minahasa
hilang. Walaupun demikin, menurut Palar, di masa itu masih cukup banyak Tou Minahasa yang tetap
setia dengan tradisi budaya leluhur mereka. Kemudian muncul alasan yang rada dibuat-buat, yaitu
kekhawatiran akan timbul suasana pertentangan antara penduduk yang belum tahu apa-apa melawan
mereka yang terdidik ala Kristen. Tetapai kekhawatiran itu pupus dengan kenyataan yang ada. Mereka
menyaksikan kerukunan hidup yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan yang akrab dan penuh
tenggang rasa. Malahan cara hidup demikian mengundang kecemburuan spiritual dari pihak misionaris
itu sendiri. Menyaksikan kenyataan itu, N. Graafland berujar bahwa semestinya kristianitas tidak dapat
disejajarkan dengan kekafiran atau dengan alifurunitas. Lebih meyakitkan lagi bagipara misionaris,
ternyata perbedaan itu tidak kemudian menghalangi mereka untuk kawin campur.

J.M. Saruan menjelaskan kalau cara pandang para penginjil pada parohan ke-2 abad ke-19 hingga
permulaan abab ke-20 sangat dipengaruhi oleh berpikir evolusionistis. Antara lain, mengukur dan
membanding-bandingk an agama-agama dengan intelektualisasi dan rasionalisasi, seperti ada yang lebih
rendah, ada yang lebih tinggi, yang tidak beradab dan yang beradab, yang primitif dan modern.
Kemudian membagankan agama-agama secara kaku dalam evolusi dan agama Kristen yang dipandang
sebagai mahkota agama-agama dan puncak perkembangan agama-agama lain, seperti pandangan
Teologi Konvensional Barthian (pengikut Kerl Barth) dan juga Teologi Pietisme. Dengar cara pandang
sepreti itulah sehingga mereka membangun semangat pekabaran Injil, tujuannya untuk mencari jiwa-
jiwa penduduk Minahasa dan membebaskan mereka dari agama suku.

Cat. Tulisan ini adalah salah satu dari sekian banyak tulisan di Majalah Waleta Minahasa Edisi Pertama
yang mengulas topik utama "Mendamaikan Injil dan Kebudayaan Minahasa"

__._,_.___

Reply to sender | Reply to group | Reply via web post | Start a New Topic

Messages in this topic (4)

Recent Activity: New Members 2

Visit Your Group

SILAHKAN LIHAT: www.bunakenkuskusresort.com

MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.

Get real-time World Cup coverage on the Yahoo! Toolbar. Download now to win a signed team jersey!

Switch to: Text-Only, Daily Digest • Unsubscribe • Terms of Use


.

__,_._,___

You might also like