Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 22

PROPOSAL PENELITIAN

POTENSI BAKTERIOFAGE UNTUK PENGENDALIAN


PENYAKIT AKIBAT INFEKSI Vibrio parahaemolyticus PADA
UDANG VANAME

BAGUS ANSANI TAKWIN

ILMU AKUAKULTUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2023
PERNYATAAN MENGENAI PROPOSAL DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa proposal penelitian dengan judul “potensi
bakteriofage untuk pengendalian penyakit akibat infeksi Vibrio
parahaemolyticus pada udang vaname” adalah karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir proposal ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 2 Mei 2023

Bagus Ansani Takwin


C1501221017
ii

PROPOSAL PENELITIAN

POTENSI BAKTERIOFAGE UNTUK PENGENDALIAN


PENYAKIT AKIBAT INFEKSI Vibrio parahaemolyticus PADA
UDANG VANAME

BAGUS ANSANI TAKWIN

Proposal Tesis
sebagai salah satu syarat melaksanakan penelitian magister
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

ILMU AKUAKULTUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2023
iii

Judul Proposal : Potensi Bakteriofage untuk Pengendalian Penyakit


Akibat Infeksi Vibrio parahaemolyticus pada Udang
Vaname
Nama : Bagus Ansani Takwin
NIM : C1501221017

Disetujui oleh
Pembimbing 1 :
Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si., M.Si.

Pembimbing 2 :
Prof. Dr. Ir. Widanarni, M.Si.

Diketahui oleh
Ketua Program Studi:
Prof. Dr. Ir. Widanarni, M.Si
NIP 19670927 199403 2 001
an Dekan
Wakil Dekan Akademik dan Kemahasiswaan:
Sekolah Pascasarjana:
Prof. Dr. Ir. Agus Buono, M.Si. M.Kom
NIP 196607021993021001

Tanggal Kolokium : Tanggal Pengesahan :


iv

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 9
1.3 Tujuan 9
1.4 Manfaat 9
1.5 Hipotesis 9
II. METODE 10
2.1 Waktu dan Tempat 10
2.2 Materi uji 11
2.3.1 Rancangan Percobaan Secara In-vitro 11
2.3.2. Rancangan Percobaan Secara In vivo 12
2.4 Prosedur Kerja 13
2.4.1 Persiapan Wadah dan Hewan uji 13
2.4.2 Persiapan Udang 13
2.4.3 Persiapan Bakteri uji 13
2.4.4 Isolasi Bakteriofage 13
2.4.5 Uji Plak 14
2.4.6 Purifikasi dan Penyimpanan Bacteriofage 14
2.4.7 Penentuan Nilai LC 50 (Lethal Concentration 50) 15
2.5 Parameter Pengamatan 15
2.5.1 Uji In vitro 15
2.5.2 Uji In vivo 16
2.6 Analisis Data 19

DAFTAR TABEL
v

Tabel 1. Rancangan percobaan yang digunakan uji in vitro 4


Tabel 2. Rancangan percobaan yang digunakan uji in vivo 5
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Udang vaname merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan
budidaya Indonesia. Hal ini disampaikan oleh KKP (2022) budidaya udang
menjadi komoditas andalan perikanan budidaya dan prioritas pengembangan
akuakultur di Indonesia pada perekonomian nasional. Berdasarkan data KKP
tahun 2021 Indonesia memproduksi udang sebanyak 1,2 juta ton dan jumlah ini
naik 9,2% dari tahun sebelumnya yang hanya memproduksi sekitar 1,11 juta ton.
Pada tahun 2024 KKP menargetkan produksi udang vaname sebanyak 2 juta ton.
Perkembangan industri udang yang begitu cepat dan budidaya dengan metode
intensif menimbulkan masalah baru yaitu munculnya penyakit, yang ditimbulkan
sebagai akibat dari interaksi yang kompleks antara inang, patogen dan
lingkungan (Flegel 2019). Sehingga budidaya udang terjadi kerugian ekonomi
yang signifikan di seluruh dunia akibat dari virus dan bakteri (Yin et al. 2014)
Bakteri V. parahaemolyticus adalah mikroflora alami yang ditemukan di
perairan laut dan payau dan merupakan penyebab kematian udang ditambak
(Alagappan et al. 2010). V. parahaemolyticus merupakan agen penyebab
penyakit accute hepatopancreas necrosis disease (AHPND) yang menyebabkan
kematian massal pada budidaya udang di seluruh dunia (Nguyen et al. 2021).
Penyakit ini terjadi lebih awal (umur 35-45 hari) setelah dilakukan penebaran
post larva (PL) udang di tambak (Lightner et al. 2012). Serangan V.
parahaemolyticus pada udang ditandai dengan nekrosis (Soto-Rodriguez et al.
2015), anoreksia, pertumbuhan lambat, lesu dan berenang tidak beraturan,
hepatopankreas terlihat pucat hingga berwarna putih dan tidak berkembang,
saluran pencernaan kosong, karapas lunak, dan memiliki bintik-bintik hitam
(melanisasi) (Valente & Wan, 2021, Schofield et al. 2021, Tran et al. 2013, Soto-
Rodriguez et al. 2015). Selain itu udang yang terserang bakteri V.
parahaemolyticus sistem imunnya menurun (Ahmed et al., 2021, Kumar et al.,
2021).
Pengobatan yang dilakukan akhir-akhir ini adalah menggunakan bahan
kimia berupa antibiotik dalam mengobati penyakit. Akan tetapi menimbulkan
masalah serius terutama bagi lingkungan, inang dan manusia (Yin et al. 2014).
Penggunaan antibiotik secara terus menerus di lingkungan akuakultur dapat
menyebabkan bahaya pada organisme akuatik dan manusia yang mengkonsumsi
ikan atau udang karena menghasilkan residu antibiotik dan efek toksik. Hal ini
dilaporkan oleh Elmahdi et al. (2016), Adesiyan et al. (2022), Gxalo et al.
(2021) spesies vibrio resisten terhadap tetracyclin, cephalosporins quinolones,
aminoglicosida, erythromicin, sulphamethoxazole, rifampicin, doxycyclin,
tetracyclin, dan amoxicillin.
Penggunaan bakteriofage (fage) dapat menjadi solusi untuk menggantikan
antibiotik. Bakteriofage adalah pembunuh patogen yang spesifik dan diketahui
efektif untuk mengendalikan infeksi bakteri dalam akuakultur (Nakai and Park
2002, Rong et al. 2014). Keuntungan menggunakan fage litik sebagai
antimikroba dianggap alami dan organik, mudah diisolasi dan diperbanyak
karena dapat bereplikasi sendiri, fage mudah diaplikasikan dengan semprotan
atau pencampuran langsung dengan air, sinergis dalam koktail (sediaan fage
2

multi komponen dari fage), dapat diterapkan untuk tujuan terapeutik atau
biosanitasi, fage ada di mana-mana, dianggap aman sebagai efek yang tidak
diinginkan dan relatif murah (Madhusudana Rao dan Lalitha 2015). Hasil
penelitian Alagappan et al. (2010) bahwa fage hanya mampu menginfeksi
bakteri secara spesifik. Oleh karena itu, fage hanya dapat membunuh bakteri
target tanpa mempengaruhi mikroflora normal lingkungan.
Penelitian fage pada bidang akuakultur telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa udang windu yang
terinfeksi V. parahaemolyticus yang diberi makan dengan koktail fage
meningkatkan kelangsungan hidup 70% dibandingkan kontrol (Alagappan et al.,
2016). Kelangsungan hidup meningkat 80% pada larva udang windu yang diberi
fage dan diinfeksi V. harveyi dibandingkan kontrol (Vinod et al. 2006).
Penerapan bakteriofage pada udang vaname yang terinfeksi V. parahaemolyticus
mampu mengurangi kematian dan menghambat perkembangan infeksi (Lomelí-
Ortega dan Martínez-Díaz 2014), fage dapat mengurangi populasi V.
parahaemolyticus pada tiram yang terinfeksi (Rong et al. 2014). Pada perlakuan
abalon yang diberi fage mengalami peningkatan kelangsungan hidup 70%
dibandingkan kontrol positif yang terinfeksi V harveyi 0%. Penggunaan fage
dapat mengendalikan penyakit furunculosis disebabkan oleh Aeromonas
salmonicida dalam akuakultur (Duarte et al. 2018). Selain itu fage dapat
mencegah perkembangan biofilm V. parahaemolyticus (Yin et al. 2019).
Selain mengurangi jumlah bakteri, bakteriofage juga dapat dijadikan
sebagai immunostimulan. Hasil penelitian Yun et al., (2019) menunjukkan
bahwa fage mampu menginduksi respons imun yang kuat dibandingkan
penggunaan vaksin pada ikan mas yang terinfeksi A. hydrophila dan Hasil
penelitian Schulz et al., (2019) menunjukkan fage dapat menstimulasi parameter
imunitas seluler dan humoral dan mengurangi kematian belut Eropa setelah di uji
tantang.
Oleh karena itu, penelitian terkait pengendalian bakteri V.
parahaemolyticus dan respon imun udang vaname menggunakan fage belum
pernah dilakukan, sehingga perlu dianalisis secara langsung baik secara in vitro
maupun in vivo skala laboratorium.

1.2 Rumusan Masalah


Penyakit merupakan sumber utama yang mempengaruhi produktivitas pada
kegiatan akuakultur. Salah satu penyakit yang sering menyerang udang vaname
adalah penyakit AHPND. Penyakit ini ancaman serius bagi pembudidaya karena
menyebabkan udang vaname mengalami kematian massal dalam waktu yang
singkat ditandai dengan nekrosis parah, melanisasi dan bahkan hepatopankreas
rusak dan menurunnya sistem imun. Pengendalian penyakit selama ini biasanya
menggunakan antibiotik. Pemberian antibiotik secara terus menerus yang
diakibatkan dari dosis yang tidak sesuai dan meninggalkan residu yang dapat
mengancam kelangsungan hidup udang, justru dengan pemberian antibiotik
menimbulkan masalah baru bagi budidaya udang karena menyebabkan bakteri
Vibrio sp resisten. Solusi yang dapat dilakukan untuk pengendalian dan
menginduksi sistem imun udang vaname terhadap serangan bakteri Vibrio
parahaemolyticus adalah dengan menggunakan bakteriofage karena mudah
3

diisolasi dan diperbanyak karena dapat bereplikasi sendiri, fage mudah dan aman
diaplikasikan, dan relatif tidak mahal.

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi potensi bakteriofage untuk
pengendalian penyakit akibat infeksi Vibrio parahaemolyticus pada udang
vaname.

1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dijadikan sebagai referensi dalam budidaya
udang vaname dalam mengendalikan bakteri Vibrio parahaemolyticus pada
budidaya udang vaname.

1.5 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa fage akan menghambat atau
menurunkan pertumbuhan bakteri Vibrio parahaemolyticus dan menginduksi
respons imun udang vaname.
4

II. METODE

2.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini akan dilaksanakan selama tiga bulan yang terdiri dari dua
tahap pengujian, yaitu in vitro dan in vivo. Pengujian in vitro dan in vivo
dilakukan di Laboratorium Kesehatan Organisme Akuatik, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

2.2 Materi uji


Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah udang vaname ukuran
4-5 cm yang diperoleh dari Tambak Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang,
Provinsi Banten. Bakteri uji yang digunakan adalah V. parahaemolyticus yang
diperoleh dari koleksi Laboratorium Kesehatan Organisme Akuatik Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Bakteriofage diperoleh dari perairan tambak budidaya udang.

2.3 Rancangan Percobaan


Pada penelitian ini menggunakan uji secara in vitro dan in vivo. Penelitian
ini menggunakan penelitian eksperimental dengan metode rancangan acak
lengkap (RAL).

Persiapan bakteri uji

Isolasi fage

Purifikasi dan penyimpanan fage

Uji hambat bakteri secara in vitro

Uji hambat bakteri secara in vivo

Gambar 1. Kerangka prosedur penelitian

2.3.1 Rancangan Percobaan Secara In-vitro


Rancangan penelitian uji bakteriofage dalam menghambat pertumbuhan V.
parahaemolyticus secara in vitro menggunakan 6 perlakuan dengan 3 ulangan.
Racangan percobaan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan uji in vitro
Perlakuan Keterangan
KN (-) Larutan saline magnesium (SM) buffer 300 µL
5

KP (+) Isolat bakteri V. parahaemolyticus 200 µL CFU mL-1 +


larutan SM buffer 100 µL
KA Isolat bakteri V. parahaemolyticus 200 µL CFU mL-1 +
antibiotik tetracycline 1% 100 µL
F102 Isolat bakteri V. parahaemolyticus 200 µL CFU mL-1 + isolat
bakteriofage 100 µL dengan kepadatan 102 PFU mL-1
F103 Isolat bakteri V. parahaemolyticus 200 µL CFU mL-1 + isolat
bakteriofage 100 µL dengan kepadatan 103 PFU mL-1
F104 Isolat bakteri V. parahaemolyticus 200 µL CFU mL-1 + isolat
bakteriofage 100 µL dengan kepadatan 104 PFU mL-1

2.3.2. Rancangan Percobaan Secara In vivo


Uji secara in vivo dilakukan dengan metode perendaman yang mengacu
pada Alagappan et al., (2016). Pada penelitian ini menggunakan 7 perlakuan dan
3 ulangan, dilakukan juga inokulasi bakteri V. parahaemolyticus pada media
percobaan (akuarium). Dimana perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah fage 102, 103, dan 104 PFU/ml dalam buffer SM masing-masing
konsentrasi 1 ml. Perlakuan ini dilakukan perendaman dengan V.
parahaemolyticus sebanyak 1 ml dengan kepadatan sesuai hasil LC-50, setelah
dilakukan perendaman selama 30 menit, selanjutnya dilakukan penambahan fage
sesuai konsentrasi perlakuan. Selain itu ada juga perlakuan kontrol positif,
kontrol negatif, kontrol fage dan kontrol antibiotik. Setelah pencampuran strain
bakteri dan fage, sampel air diambil dari semua akuarium pada interval waktu
yang berbeda (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 14 hari) dengan tujuan mengevaluasi jumlah
bakteri dan jumlah fage. Tingkat kelangsungan hidup dari masing-masing
perlakuan dan dianalisis jumlah bakteri usus dan fagenya. Rancangan perlakuan
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Rancangan percobaan yang digunakan uji in vivo
Perlakuan Keterangan
KP (+) Perendaman dengan V. parahaemolyticus tanpa fage
KN (-) Perendaman tanpa fage dan V. parahaemolyticus tapi direndam
dengan buffer SM
KF Perendaman dengan fage dan tanpa V. parahaemolyticus
KA Perendaman dengan antibiotik tetracycline dan V.
parahaemolyticus
F102 Perendaman dengan bakteriofage 102 PFU mL-1 dan V.
parahaemolyticus
F103 Perendaman dengan bakteriofage 103 PFU/ml dan V.
parahaemolyticus
F104 Perendaman dengan bakteriofage 104 PFU/ml dan V.
parahaemolyticus

2.4 Prosedur Kerja


2.4.1 Persiapan Wadah dan Hewan uji
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium. Akuarium
dibersihkan dengan dicuci sampai bersih kemudian ditiriskan dan dijemur.
6

Hewan uji yang digunakan adalah bibit unggul yang dinyatakan terbebas dari
vibriosis. Air yang digunakan adalah air laut yang terlebih dahulu dikaporit
sehingga terbebas dari berbagai mikroorganisme atau air steril. Masing-masing
akuarium diisi 10 liter air laut.
2.4.2 Persiapan Udang
900 ekor udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang digunakan harus
dinyatakan bebas vibriosis dan diaklimatisasi di laboratorium selama 7 hari
sebelum memulai percobaan. Selama masa aklimatisasi, udang diberi pakan dua
kali sehari dengan pakan pelet komersial. Sebelum dilakukan penginfeksian
melalui perendaman, semua udang percobaan diperiksa secara morfologis untuk
tanda-tanda infeksi (kemerahan udang, busuk antena, dan bintik-bintik di
karapas, pewarnaan insang, luka dan cangkang lepas) dan udang yang sehat
dipilih untuk percobaan. Selama percobaan, suhu air, pH, dan salinitas
dipertahankan masing-masing sekitar 26°–28 °C, 7,8–8,0 pH, dan 22–24 ppt.
Masing-masing akuarium diisi dengan 20 ekor udang.
2.4.3 Persiapan Bakteri Uji
Bakteri V. parahaemolyticus didapatkan dari media selektif thiosulfat
citrate bile sucrose (TCBS) dan diinkubasi 28 oC selama 24 jam. Hasil tersebut
dilakukan isolasi beberapa kali agar menghasilkan isolat murni. Isolat murni
diidentifikasi menggunakan kit API 20 E dan dikultur sebagai stok pada media
sea water complete (SWC) broth dan nutrient broth (NB) (Ngo et al. 2020).
2.4.4 Isolasi Bakteriofage
Isolasi bakteriofage mengacu pada Wang et al. (2017) dan Hoang et al.
(2019) dengan modifikasi. Untuk mengisolasi bakteriofage, 50 mL sampel air
dan 1-2 mL air dimasukkan kedalam microtube, kemudian disentrifugasi pada
10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4 oC dan supernatan disaring
menggunakan filter 0,45 µm. Filtrat yang disaring dimasukkan kedalam tabung
eppendorf dan didapatkan filtrat bakteriofage. Filtrat bakteriofage diambil
sebanyak 10 ml dan dimasukkan pada media labu erlenmeyer yang sebelumnya
sudah diisi dengan 40 ml SWC broth dan 1 ml isolat cair V. parahaemolyticus
dan dishaker selama 24 jam dengan kecepatan 160 rpm (Stalin dan Srinivasan
2016). Hasil tersebut dimasukkan kedalam microtube 1,5 ml dan disentrifugasi
dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4 oC. Setelah selesai
supernatan dari hasil sentrifugasi diambil dan disaring kembali menggunakan
syringe filter 0.22 μm. Filtrasi ini untuk memisahkan bakteri dengan
bakteriofage.
2.4.5 Uji Plak
Sampel filtrat bakteriofage diencerkan hingga pengenceran 10-4.
Pengeceran menggunakan larutan SM buffer. 100 μL dari tiap pengeceran
ditambahkan 200 μL isolat bakteri V. parahaemolyticus dengan kepadatan 107
CFU/ml yang telah dikultur pada media SWC broth selama 12 jam. Campuran
filtrat bakteriofage dan bakteri V. parahaemolyticus ditambahkan 3 mL top agar
steril (SWC broth + 0.7% agarosa), selanjutnya dituangkan ke atas media agar
padat SWC (sebagai bottom agar). Media tersebut digoyangkan dengan
membentuk angka delapan secara perlahan dengan tujuan agar top agar merata.
7

Media yang telah padat diinkubasi dengan suhu 37 oC pada inkubator dengan
posisi wadah terbalik selama 48 jam, selanjutnya dilakukan pengamatan
pembentukan plak bakteriofage. Terbentuknya bakteriofage dapat diamati setiap
24 jam sekali. Jumlah plak (zona lisis) terhadap bakteri V. parahaemolyticus
dianalisis dengan metode double layer agar (Vieira et al. 2012).
Plak yang terbentuk pada media dihitung menggunakan rumus (Damayanti
et al. 2016). Jumlah yang terbentuk dinyatakan dengan satuan plaque forming
units (PFU/ml).
Jumlah plak(PFU )
Bakteriofage (P FU mL−1)=
pengenceran x volume inokulum

2.4.6 Purifikasi dan Penyimpanan Bakteriofage


Metode purifikasi mengikuti Jeong et al. (2021) dan Mateus et al. (2014),
hasil plak yang terbentuk diambil menggunakan pipet steril dan disentrifugasi
pada 5.000 rpm selama 10 menit kemudian disaring dengan filter 0,22 µm, dan
partikel fage dalam filtrat diendapkan dengan polietilen glikol 6000. Selanjutnya
endapan disuspensikan kembali dalam buffer natrium klorida-magnesium sulfat
(SM) (100 mM NaCl, 10 mM MgSO4⋅7H2O, dan 50 mM Tris-HCl, pH 7,5) dan
dipisahkan dengan ultrasentrifugasi gradien densitas CsCl (78.500×g selama 2
jam pada 4 ◦C). Fraksi yang mengandung fage dikumpulkan dan didialisis dalam
1 L buffer dialisis (10 mM NaCl, 10 mM MgSO4⋅7H2O, dan 50 mM Tris-HCl,
pH 8.0) dua kali. Fage yang telah dimurnikan dipindahkan ke eppendorf,
selanjutnya selanjutnya ditambahkan kloroform sebanyak 2-3 tetes dan disimpan
pada suhu 4 oC sampai digunakan.
2.4.7 Penentuan Nilai LC 50 (Lethal Concentration 50)
Penentuan LC50 mengacu pada Wahjuningrum et al. (2013). Lethal
konsentrasi 50 untuk menentukan dosis mematikan sebanyak 50%. Terlebih
dahulu V. parahaemolyticus diencerkan dengan larutan phosphate buffer saline
(PBS) dari 104-107 CFU mL-1, selanjutnya suspensi bakteri dimasukkan pada
media uji dengan metode perendaman. 10 ekor udang digunakan untuk setiap
konsentrasi. Selanjutnya dilakukan pengamatan selama 7 hari pasca infeksi dan
dihitung tingkat kelangsungan hidup. Selain itu, diamati juga status infeksinya
berdasarkan beberapa tanda klinis. Percobaan ini diulangi sebanyak 3 kali.
Konsentrasi bakteri yang diperoleh pada uji LC 50 akan digunakan untuk uji
tantang.

2.5 Parameter Pengamatan


2.5.1 Uji In vitro
2.5.1.1 Karakterisasi Plak Bakteriofage
Uji karakterisasi plak bakteriofage dilakukan dengan mengamati plak yang
terbentuk pada permukaan media dengan mengukur diameter plak menggunakan
penggaris. Diamati juga bentuk (bulat, irregular memanjang dan titik-titik atau
bercak kecil), jenis tepian (rata, berlekuk atau bergelombang) dan tingkat jernih
plak (bening, keruh atau halozone) (Deshanda et al. 2018).
8

2.5.1.2 Uji Densitas Fage


Uji densitas fage dianalisis menggunakan metode dilusi menurut Prescott
(2002) dan Jatmiko et al. (2018) dengan sedikit modifikasi. Isolat bakteriofage
sebanyak 0,1 ml dan isolate bakteri V.parahaemolyticus sebanyak 0,2 ml,
ditambahkan SM buffer sebanyak 0,9 ml (100-106). Setelah diencerkan, masing-
masing hasil pengenceran dimasukkan sebanyak 0,2 ml ke dalam 4 ml TSA dan
dihomogenkan. Suspensi tersebut dituang pada cawan petri dengan menyebar
sampai rata, selanjutnya diikubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Hasil plak
yang terbentuk diamati dan dihitung menggunakan rumus satuan satuan PFU/mL
(Plaque Forming Unit/mL), syarat plak (kisaran 25-250 plaque).
Jumlah plak
Total plak ( PFU mL−1)=
faktor pengenceran
2.5.1.3 Uji Hambat Bakteri
Uji hambat bakteri bertujuan untuk mengetahui keefektifan bakteriofage
dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Uji efektivitas mengacu pada
Bicalho et al. (2010) dan Choliq et al. (2020) dengan modifikasi. Dalam
pengujian digunakan 6 perlakuan sesuai tabel 1. Perlakuan kontrol positif
dimasukkan 0,2 ml kedalam media TSB. Perlakuan lainnya seperti KA, F102,
F103, F104 dimasukkan bakteri V. parahaemolyticus 1 x 105 CFU/mL kedalam
media TSB sebanyak 0,2 ml (kecuali kontrol negatif tidak dilakukan
penambahan bakteri) dan ditambahkan fage sebanyak 0,1 ml. Uji hambat bakteri
diamati menggunakan spectrophotometer dengan mengukur nilai optical density
(OD) dengan panjang gelombang 600 nm setiap 2 jam.
2.5.2 Uji In vivo
2.5.2.1 Survival Rate (SR)
Survival rate dihitung berdasarkan rumus dari (AftabUddin et al. 2017)
sebagai berikut :
Jumlah udang yang mati
SR ( % ) = x 100
Jumlah udang yang dipelihara
2.5.2.2 Uji Hambat Bakteri
Uji hambat bakteri dilakukan dengan menghitung jumlah bakteri pada air
selama pengobatan, diambil sampel air masing-masing perlakuan dan dilakukan
pengamatan menggunakan media TCBS. Selain itu, dilakukan perhitungan total
vibrio count (TVC) yang berada di usus udang. Kelimpahan bakteri dihitung
menggunakan metode cawan sebar. Sampel usus udang yang telah diambil
ditimbang sebanyak 0.1 g dan dihomogenkan menggunakan larutan PBS steril
sebanyak 0,9 ml didalami tube. Kemudian sampel tersebut dilakukan
pengenceran secara serial dan disebar pada media sebanyak 50 μL. Jumlah
bakteri dinyatakan dalam satuan CFU/ml (colony-forming unit/ml) (Fuandila et
al. 2019) dan jumlah bakteri tersebut dihitung berdasarkan (Madigan et al.,
2003) :
1 1
Total bakteri ( CFU g−1 ) = jumlah koloni x
faktor pengencer sampel (mL)
9

2.5.2.3 Total Haemocyte Count (THC)


Total hemosit diamati dengan mengambil haemolim udang sebanyak 0,2
ml dari pangkal kaki jalan kelima dengan menggunakan syringe yang berisi 0,2
ml antikoagulan (30 Mm trisodium citrate, 0,34 M sodium chloride, 10 Mm
EDTA, 0,12 M glucose, pH 7.55). Campuran hemolim dan antikoagulan tersebut
dihomogenkan selama 5 menit. Kemudian diteteskan ke haemocytometer dan
ditutup dengan coverglass. Total hemosit udang dihitung menggunakan
haemocytometer dengan bantuan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100
kali. THC dihitung berdasarkan rumus (Wang & Chen, 2006).
∑ sel teramati 1
THC= x 25 x x faktor pengencer
∑kotak teramati vol .hemositometer
2.5.2.4 Differential Haemocyte Count (DHC)
Pengamatan DHC dengan membuat preparat ulasan antikoagulan dan
hemolim udang. Campuran tersebut diteteskan pada kaca objek pertama dan
kaca objek kedua digunakan untuk meratakan tetesan tersebut dengan
kemiringan 45 oC dan dikering anginkan, kemudian difiksasi dengan metanol
selama 15 menit. Setelah itu dikeringkan lagi dan diwarnai dengan cara
direndam larutan giemsa 10% selama 15 menit dan dicuci dengan akuades dan
dikeringkan. Preparat diamati menggunakan perbesaran 400 kali dan dibedakan
menurut jenisnya yaitu sel hialin dan semigranular/granular (Ekawati et al.
2012). Persentase tiap sel hemosit dihitung dengan rumus
Jumlah tiap selhemosit
Persentase jenis sel hemosit= x 100 %
Total hemosit
2.5.2.5 Aktifitas Fagositosis (AF)
AF dihitung berdasarkan metode Anderson dan Siwicki (1993). AF diukur
dengan menggunakan hemolim sebanyak 100 AF μl dan ditambahkan 50 μL
suspensi bakteri Staphylococcus aureus (107 CFU mL-1), kemudian diinkubasi
selama 20 menit. Selanjutnya dibuat preaparat ulas dengan mengambil campuran
tersebut sebanyak 10 μl. Preparat ulas difiksasi dengan metanol selama lima
menit dan dikeringkan, selanjutnya direndam dalam larutan giemsa selama 15
menit dan dicuci dan kemudian dikeringkan kembali. Pengamatan dilakukan
menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Aktivitas fagositosis
dihitung berdasarkan persentase sel-sel fagosit yang menunjukkan aktivitas
fagositosis. Aktifitas fagositosis dapat dihitung dengan rumus:
Jumlah sel yang melakukan fagositosis
AF= X 100 %
Jumlah sel fagosit
2.5.2.6 Aktivitas Respiratory Burst
Aktivitas respiratory burst menggunakan metode Hampton et al. (2020).,
Sampel darah udang diambil sebanyak 50 uL dan dimasukkan ke dalam
mikroplate dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37℃. Mikroplate tersebut
dibuang dan dibilas dengan PBS pH 7,4. Selanjutnya dilakukan penambahan 100
μL larutan NBT 0,2% dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37℃. Buang
larutan NBT dan tambahkan 100 μL metanol absolut dan inkubasi kembali
selama 10 menit. Metanol dibuang dan dibilas menggunakan metanol 30% yang
telah dilarutkan dalam PBS pH 7,4. Tambahkan 60 μL KOH (1M) dan 70 μL
10

DMSO (dimethylsulfoxide). Aktivitas respiratory burst diukur dengan melihat


densitas optikal menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 630
nm. Respiratory burst dinyatakan sebagai pengurangan NBT dalam 10 mL
hemolimf
2.5.2.7 Aktivitas Phenoloxidase
Aktivitas phenoloxidase dilakukan mengikuti Ekasari et al. (2014) dengan
menambahkan 200 mL hemolif yang telah diencerkan ke dalam 1 ml larutan
antikoagulan, selanjutnya disentrifugasi pada 700 x g selama 20 menit pada suhu
4 oC. Hasilnya supernatan dibuang dan pelet suspensikan kembali dalam larutan
buffer cacodylate-citrate (0,01 M natrium cacodylate, 0,45 M natrium klorida,
0,10 M trisodium sitrat, ph 7,0) dan disentrifugasi lagi. Pelet diresuspensi dalam
200 mL buffer cacodylate (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride,
0,26 M magnesium chloride, pH 7.0), dan 100 mL aliquot diinkubasi dengan 50
mL tripsin (1 mg mL 1) sebagai aktivator selama 10 menit pada 25 C, diikuti
dengan penambahan 50 mL L-dihidroksifenilalanin (L-DOPA) dan 800 mL
buffer cacodylate 5 menit kemudian. Pengukuran kontrol tanpa aktivasi
disiapkan pada saat yang sama terdiri dari 100 mL suspensi sel dalam buffer
cacodylate, 850 mL buffer cacodylate, dan 50 mL L-DOPA. Densitas optis
aktivitas fenoloksidase udang dinyatakan sebagai pembentukan dopakrom dalam
100 mL hemolimf pada 490 nm,
2.5.2.8 Histopatologi
Pemerikasaan histopatologi bertujuan untuk mengamati tingkat kerusakan
jaringan akibat infeksi isolat. Pemeriksaan mengikut prosedur (Khimmakthong
dan Sukkarun 2017) jaringan udang difiksasi dengan NBT 10% dan dipindahkan
ke etanol 70%. Setelah pemrosesan dan dehidrasi jaringan, kemudian di clearing
menggunakan xylene dan diembeding menggunakan parafin. Selanjutnya sampel
dipotong dengan ketebalan 5 μm dengan mikrotom dan diwarnai menggunakan
haematoxylin dan eosin (H&E).
2.5.2.9 Gejala Klinis
Pengamatan mengenai gejala klinis dilakukan pada saat udang di uji
tantang. Gejala klinis diamati selama 10 hari setelah uji tantang selesai
dilakukan. Menurut (Jannah et al. 2018) bahwa setelah uji tantang dilakukan,
satu hari kemudian timbul gejala klinis infeksi V. parahaemolyticus pertama
berupa jaringan otot mati (nekrosis) hampir di seluruh tubuh udang (ditandai
dengan berubahnya warna tubuh menjadi kemerahan) serta terdapat bercak hitam
di bagian kaki renang.

2.6 Analisis Data


Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data hasil
penelitian ditabulasi menggunakan Microsoft Excel. Selanjutnya data dianalisis
menggunakan software SPSS 20, jika hasil uji ANOVA yang diperoleh berbeda
nyata (P<0.05) dilanjutan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Data tingkat kelangsungan hidup, total bakteri parameter system imun meliputi
total hemost count, differential hemosit count, aktivitas fagositik, aktivitas
11

respiratory burst dan aktivitas pheloxidase dianalisis secara kuantitatif.


Sementara data gejala klinis dan histopatologi dianalisis secara kualitatif.
12

DAFTAR PUSTAKA

Adesiyan IM, Bisi-Johnson MA, Okoh AI. 2022. Incidence of antibiotic


resistance genotypes of Vibrio species recovered from selected freshwaters
in Southwest Nigeria. Sci Rep. 12(1):1–11. doi:10.1038/s41598-022-23479-
0.
AftabUddin S, Siddique MAM, Romkey SS, Shelton WL. 2017. Antibacterial
function of herbal extracts on growth, survival and immunoprotection in the
black tiger shrimp Penaeus monodon. Fish Shellfish Immunol. 65:52–58.
doi:10.1016/j.fsi.2017.03.050.
Ahmed J, Khan MH, Unnikrishnan S, Ramalingam K. 2021. Acute
Hepatopancreases Necrosis Diseases (AHPND) as Challenging Threat in
Shrimp. Biointerface Res Appl Chem. 12(1):978–991.
doi:10.33263/briac121.978991.
Alagappan K, Karuppiah V, Deivasigamani B. 2016. Protective effect of phages
on experimental V. parahaemolyticus infection and immune response in
shrimp (Fabricius, 1798). Aquaculture. 453:86–92.
doi:10.1016/j.aquaculture.2015.11.037.
Alagappan KM, Deivasigamani B, Somasundaram ST, Kumaran S. 2010.
Occurrence of Vibrio parahaemolyticus and its specific phages from shrimp
ponds in east coast of India. Curr Microbiol. 61(4):235–240.
doi:10.1007/s00284-010-9599-0.
Bicalho RC, Santos TMA, Gilbert RO, Caixeta LS, Teixeira LM, Bicalho MLS,
Machado VS. 2010. Susceptibility of Escherichia coli isolated from uteri of
postpartum dairy cows to antibiotic and environmental bacteriophages. Part
I: Isolation and lytic activity estimation of bacteriophages. J Dairy Sci.
93(1):93–104. doi:10.3168/jds.2009-2298.
Choliq FA, Martosudiro M, Istiqomah, Nijami MF. 2020. Isolasi dan uji
kemampuan bakteriofag sebagai agens pengendali penyakit layu bakteri
(Ralstonia solanacearum) Pada Tanaman Tomat. VIABEL J Ilm Ilmu-Ilmu
Pertan. 14(1):8–20. doi:10.35457/viabel.v14i1.996.
Damayanti R, Jannah SN, Wijanarka, Rahaju SH. 2016. Kata kunci : Sistem air
minum isi ulang, biofilm, Salmonella spp, bakteriofag. J Biol. 5(2):1–11.
Deshanda RP, Lingga R, Hidayati NA, Sari E, Hertati R. 2018. Fag Salmonella
asal limbah pasar ikan dan air sungai di sekitar kampus universitas bangka
belitung. EKOTONIA J Penelit Biol Bot Zool dan Mikrobiol. 3(2):45–49.
doi:10.33019/ekotonia.v3i2.758.
Duarte J, Pereira C, Moreirinha C, Salvio R, Lopes A, Wang D, Almeida A.
2018. New insights on phage efficacy to control Aeromonas salmonicida in
aquaculture systems: An in vitro preliminary study. Aquaculture. 495
May:970–982. doi:10.1016/j.aquaculture.2018.07.002.
Ekasari J, Hanif Azhar M, Surawidjaja EH, Nuryati S, De Schryver P, Bossier P.
2014. Immune Response and Disease Resistance of Shrimp Fed Biofloc
Grown on Different Carbon Sources. Fish Shellfish Immunol. 41(2):332–
339. doi:10.1016/j.fsi.2014.09.004.
Ekawati AW, Nursyam H, Widjayanto E, Marsoedi M. 2012. Diatomae
Chaetoceros ceratosporum dalam formula pakan meningkatkan respon
13

imun seluler udang windu (Penaeus monodon Fab.). J Exp Life Sci.
2(1):20–28. doi:10.21776/ub.jels.2012.002.01.04.
Elmahdi S, DaSilva L V., Parveen S. 2016. Antibiotic resistance of Vibrio
parahaemolyticus and Vibrio vulnificus in various countries: A review. Food
Microbiol. 57:128–134. doi:10.1016/j.fm.2016.02.008.
Ermantianingrum A., Sari R, Prayitno S. 2013. The potency of Chlorella sp. as
immunostimulant to prevent white spot syndrome virus on black tiger
shrimp (Penaeus monodon). J Aquac Manag Technol. 1(1):206–221.
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jfpik.
Flegel TW. 2019. A future vision for disease control in shrimp aquaculture. J
World Aquac Soc. 50(2):249–266. doi:https://doi.org/10.1111/jwas.12589.
Fuandila NN, Widanarni W, Yuhana M. 2019. Growth performance and immune
response of prebiotic honey fed pacific white shrimp litopenaeus vannamei
to Vibrio parahaemolyticus infection. J Appl Aquac., siap terbit.
Gxalo O, Digban TO, Igere BE, Olapade OA, Okoh AI, Nwodo UU. 2021.
Virulence and antibiotic resistance characteristics of vibrio isolates from
rustic environmental freshwaters. Front Cell Infect Microbiol. 11 August:1–
12. doi:10.3389/fcimb.2021.732001.
Hampton LMT, Jeffries MKS, Venables BJ. 2020. A practical guide for assessing
respiratory burst and phagocytic cell activity in the fathead minnow, an
emerging model for immunotoxicity. MethodsX. 7 April:100992.
doi:10.1016/j.mex.2020.100992.
Hoang HA, Xuan TTT, Nga LP, Oanh DTH. 2019. Selection of phages to control
Aeromonas hydrophila-an infectious agent in striped catfish. Biocontrol Sci.
24(1):23–28. doi:10.4265/bio.24.23.
Jannah M, Junaidi M, Setyowati DN, Azhar F. 2018. Pengaruh pemberian
Lactobacillus sp. dengan dosis yang berbeda terhadap sistem imun udang
vaname (Litopenaeus vannamei) yang diinfeksi bakteri Vibrio
parahaemolyticus. J Kelaut Indones J Mar Sci Technol. 11(2):140.
doi:10.21107/jk.v11i2.3980.
Jatmiko YD, Purwanto AP, Ardyati T. 2018. Uji aktivitas bakteriofage litik dari
limbah rumah tangga terhadap Salmonella Typhi. J Biodjati. 3(2):36–49.
doi:10.15575/biodjati.v3i2.3471.
Jeong H, Hyen J, Oh M, Young S, Kim D, Noh J, Kim M, Sik B. 2021. Tackling
Vibrio parahaemolyticus in ready-to-eat raw fish flesh slices using lytic
phage VPT02 isolated from market oyster. Food Res Int. 150 PA:110779.
doi:10.1016/j.foodres.2021.110779.
Khimmakthong U, Sukkarun P. 2017. The spread of Vibrio parahaemolyticus in
tissues of the pacific white shrimp Litopenaeus vannamei analyzed by PCR
and histopathology. Microb Pathog. 113:107–112.
doi:10.1016/j.micpath.2017.10.028.
KKP. 2022. Produksi budi daya udang di indonesia.
Kortright KE, Chan BK, Koff JL, Turner P. 2019. Phage therapy: A renewed
approach to combat antibiotic-resistant bacteria. Cell Host Microbe.
25(2):219–232. doi:10.1016/j.chom.2019.01.014.
Kumar V, Roy S, Behera BK, Bossier P, Das BK. 2021. Acute hepatopancreatic
necrosis disease (AHPND): Virulence, pathogenesis and mitigation
strategies in Shrimp aquaculture. Toxins (Basel). 13(8):1–28.
14

doi:10.3390/toxins13080524.
Letchumanan V, Chan KG, Pusparajah P, Saokaew S, Duangjai A, Goh BH, Ab
Mutalib NS, Lee LH. 2016. Insights into bacteriophage application in
controlling vibrio species. Front Microbiol. 7 JUL.
doi:10.3389/fmicb.2016.01114.
Lightner D V., Redman RM, Pantoja CR, Tang KFJ, Noble BL, Schofield P,
Mohney LL, Nunan LM, Navarro SA. 2012. Historic emergence, impact
and current status of shrimp pathogens in the Americas. J Invertebr Pathol.
110(2):174–183. doi:10.1016/j.jip.2012.03.006.
Lomelí-Ortega CO, Martínez-Díaz SF. 2014. Phage therapy against Vibrio
parahaemolyticus infection in the whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei)
larvae. Aquaculture. 434:208–211. doi:10.1016/j.aquaculture.2014.08.018.
Madhusudana Rao B, Lalitha K V. 2015. Bacteriophages for aquaculture: Are
they beneficial or inimical. Aquaculture. 437(2015):146–154.
doi:10.1016/j.aquaculture.2014.11.039.
Mateus L, Costa L, Silva YJ, Pereira C, Cunha A, Almeida A. 2014. Efficiency
of phage cocktails in the inactivation of Vibrio in aquaculture. Aquaculture.
424–425:167–173. doi:10.1016/j.aquaculture.2014.01.001.
Nakai T, Park SC. 2002. Bacteriophage therapy of infectious diseases in
aquaculture. Res Microbiol. 153(1):13–18. doi:10.1016/S0923-
2508(01)01280-3.
Ngo HVT, Huang HT, Lee PT, Liao ZH, Chen HY, Nan FH. 2020. Effects of
Phyllanthus amarus extract on nonspecific immune responses, growth, and
resistance to Vibrio alginolyticus in white shrimp Litopenaeus vannamei.
Fish Shellfish Immunol. 107:1–8. doi:10.1016/j.fsi.2020.09.016.
Nguyen T V., Alfaro A, Arroyo BB, Leon JAR, Sonnenholzner S. 2021.
Metabolic responses of penaeid shrimp to acute hepatopancreatic necrosis
disease caused by Vibrio parahaemolyticus. Aquaculture. 533 October
2020:736174. doi:10.1016/j.aquaculture.2020.736174.
Okeke ES, Chukwudozie KI, Nyaruaba R, Ita RE, Oladipo A, Ejeromedoghene
O, Atakpa EO, Agu CV, Okoye CO. 2022. Antibiotic resistance in
aquaculture and aquatic organisms: a review of current nanotechnology
applications for sustainable management. Environ Sci Pollut Res.
29:69241–69274. doi:10.1007/s11356-022-22319-y
Payne RJH, Jansen VAA. 2000. Phage therapy: The peculiar kinetics of self-
replicating pharmaceuticals. Clin Pharmacol Ther. 68(3):225–230.
doi:10.1067/mcp.2000.109520.
Prescott H. 2002. Laboratory Exercises in Microbiology (Exercise 48: Isolation
of Escherichia coli Bacteriophages from Sewage and Determining
Bacteriophage Titers). Fifth Edit. USA: The McGrawHill Companies.
Quiroz-Guzmán E, Peña-Rodriguez A, Vázquez-Juárez R, Barajas-Sandoval DR,
Balcázar JL, Martínez-Díaz SF. 2018. Bacteriophage cocktails as an
environmentally-friendly approach to prevent Vibrio parahaemolyticus and
Vibrio harveyi infections in brine shrimp (Artemia franciscana) production.
Aquaculture. 492 November 2017:273–279.
doi:10.1016/j.aquaculture.2018.04.025.
Ramos-Vivas J, Superio J, Galindo-Villegas J, Acosta F. 2021. Phage therapy as
a focused management strategy in aquaculture. Int J Mol Sci. 22(19).
15

doi:10.3390/ijms221910436.
Romano N, Koh CB, Ng WK. 2015. Dietary microencapsulated organic acids
blend enhances growth, phosphorus utilization, immune response,
hepatopancreatic integrity and resistance against Vibrio harveyi in white
shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture. 435:228–236.
doi:10.1016/j.aquaculture.2014.09.037.
Rong R, Lin H, Wang J, Khan MN, Li M. 2014. Reductions of Vibrio
parahaemolyticus in oysters after bacteriophage application during
depuration. Aquaculture. 418–419:171–176.
doi:10.1016/j.aquaculture.2013.09.028.
Schofield PJ, Noble BL, Caro LFA, Mai HN, Padilla TJ, Millabas J, Dhar AK.
2021. Pathogenicity of Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND)
on the freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii, and Pacific White
Shrimp, Penaeus vannamei, at various salinities. Aquac Res. 52(4):1480–
1489. doi:10.1111/are.15001.
Schulz P, Robak S, Dastych J, Siwicki AK. 2019. Influence of bacteriophages
cocktail on European eel (Anguilla anguilla) immunity and survival after
experimental challenge. Fish Shellfish Immunol. 84 July 2018:28–37.
doi:10.1016/j.fsi.2018.09.056.
Soto-Rodriguez SA, Gomez-Gil B, Lozano-Olvera R, Betancourt-Lozano M,
Morales-Covarrubias MS. 2015. Field and experimental evidence of Vibrio
parahaemolyticus as the causative agent of acute hepatopancreatic necrosis
disease of cultured shrimp (Litopenaeus vannamei) in northwestern Mexico.
Appl Environ Microbiol. 81(5):1689–1699. doi:10.1128/AEM.03610-14.
Stalin N, Srinivasan P. 2016. Characterization of Vibrio parahaemolyticus and its
specific phage from shrimp pond in Palk Strait, South East coast of India.
Biologicals. 44(6):526–533. doi:10.1016/j.biologicals.2016.08.003.
Subramanian K, Balaraman D, Balachandran D., Thirunavukarasu R, Gopal S,
Renuka P., Kumarappan A. 2014. Immune response of shrimp (Penaeus
monodon) against V. furnissii pathogen. J Coast Life Med. 2(4):281–286.
doi:10.12980/jclm.2.201414j14.
Tran L, Nunan L, Redman RM, Mohney LL, Pantoja CR, Fitzsimmons K,
Lightner D V. 2013. Determination of the infectious nature of the agent of
acute hepatopancreatic necrosis syndrome affecting penaeid shrimp. Dis
Aquat Organ. 105(1):45–55. doi:10.3354/dao02621.
Valente C, Wan AHL. 2021. Vibrio and Major Commercially Important Vibriosis
Diseases in Decapod Crustaceans. J Invertebr Pathol. 181 May
2020:107527. doi:10.1016/j.jip.2020.107527.
Vieira A, Silva YJ, Cunha Â, Gomes NCM, Ackermann HW, Almeida A. 2012.
Phage therapy to control multidrug-resistant Pseudomonas aeruginosa skin
infections: In vitro and ex vivo experiments. Eur J Clin Microbiol Infect
Dis. 31(11):3241–3249. doi:10.1007/s10096-012-1691-x.
Vinod MG, Shivu MM, Umesha KR, Rajeeva BC, Krohne G, Karunasagar
Indrani, Karunasagar Iddya. 2006. Isolation of Vibrio harveyi bacteriophage
with a potential for biocontrol of luminous vibriosis in hatchery
environments. Aquaculture. 255(1–4):117–124.
doi:10.1016/j.aquaculture.2005.12.003.
Wahjuningrum D, Astrini R, Setiawati M. 2013. Pencegahan Aeromonas
16

hydrophila pada benih ikan lele menggunakan bawang putih dan meniran. J
Akuakultur Indones. 12(1):86–94.
Wang FI, Chen JC. 2006. Effect of salinity on the immune response of tiger
shrimp Penaeus monodon and its susceptibility to Photobacterium
damselae subsp. damselae. Fish Shellfish Immunol. 20(5):671–681.
doi:10.1016/j.fsi.2005.08.003.
Wang Y, Barton M, Elliott L, Li X, Abraham S, Dea MO, Munro J. 2017.
Bacteriophage therapy for the control of Vibrio harveyi in greenlip abalone
( Haliotis laevigata ). Aquaculture. 473:251–258.
doi:10.1016/j.aquaculture.2017.01.003.
Yin XL, Li ZJ, Yang K, Lin HZ, Guo ZX. 2014. Effect of guava leaves on
growth and the non-specific immune response of Penaeus monodon. Fish
Shellfish Immunol. 40(1):190–196. doi:10.1016/j.fsi.2014.07.001.
Yin Y, Ni P, Liu D, Yang S, Almeida A, Guo Q, Zhang Z, Deng L, Wang D.
2019. Bacteriophage potential against Vibrio parahaemolyticus biofilms.
Food Control. 98 November 2018:156–163.
doi:10.1016/j.foodcont.2018.11.034.
Yun S, Jun JW, Giri SS, Kim HJ, Chi C, Kim SG, Kim SW, Kang JW, Han SJ,
Kwon J, et al. 2019. Immunostimulation of Cyprinus carpio using phage
lysate of Aeromonas hydrophila. Fish Shellfish Immunol. 86 December
2018:680–687. doi:10.1016/j.fsi.2018.11.076.

You might also like