Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

MAKALAH

PRINSIP KOMUNIKASI KONSELING PADA KLIEN DENGAN


HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan HIV/ AIDS

Dosen pengampu: Ns. Nila Putri Purwandari, S.Kep., M.Kep.

DISUSUN OLEH :

NURUL FATIMAH

202101060

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CENDEKIA UTAMA KUDUS
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehinnga

penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pengaruh konseling pada klien dengan

hiv/ aids Dan penyalahgunaan napza, sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar profesi

ners. Sholawat dan salam selalu terucap kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para

keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan pertimbangan

perbaikan di masa mendatang

Dalam pembuwatan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan

saran berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan maupun tulisan. Pada kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada Bapak/Ibu:

1. Ns. Nila Putri Purwandari, S.Kep., M.Kep.selaku dosen pengampu mata kuliah

Keperawatan HIV/ AIDS Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cendekia Kudus

2. Orang tua dan keluarga tercinta yang telah banyak membantu dengan doa dan

memberkan bimbingan moral dan spiritual

3. Rekan sejawat seperjuwangan serta semua pihak yang telah membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan

dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua dan ilmu pengetahuan

keperawatan.Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT, Amin.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. 1

KATA PENGANTAR........................................................................................... 2

DAFTAR ISI......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4

A. Latar Belakang........................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Konseling................................................................................................... 8
1. Pengertian Konseling........................................................................... 8
2. Tujuan Konseling................................................................................ 10
3. Fungsi Konseling................................................................................. 12
4. Konseling HIV/AIDS.......................................................................... 13
B. HIV/AIDS.................................................................................................. 14
1. Pengertian HIV/AIDS......................................................................... 14
2. Penyebab HIV/AIDS........................................................................... 15
3. Gejala Klinis HIV/AIDS..................................................................... 16
4. Pengobatan HIV/AIDS........................................................................ 16
5. Pencegahan HIV/AIDs........................................................................ 17
C. NAPZA...................................................................................................... 18
1. Pengertian NAPZA.............................................................................. 18
2. Pengertian Korban NAPZA................................................................. 19
3. Jenis-jenis Narkoba yang Disalahgunakan.......................................... 19
4. Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba........................................ 22
5. Dampak penyalahgunaan Narkoba...................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS yang terjadi diibaratkan
seperti fenomena gunung es, sebab apa yang terlihat di atas itu hanya nampak kecil,
sementara kondisi dibawah yang lebih besar justru tidak terdeteksi. Karenanya, setiap
tahun jumlah penderita mengalami peningkatan dan tidak sedikit yang meninggal.
Program penanggulangan HIV/AIDS yang ada yaitu melalui pengamanan darah,
komunikasi-informasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik, namun program
pelayanan dan dukungan tersebut masih sangat terbatas, khususnya program
konseling dan tes sukarela atau biasa dikenal dengan Voluntary Counselling and
Testing (VCT). Di negara maju, VCT sudah menjadi komponen utama dalam
program penanggulangan HIV/AIDS, namun di negara berkembang seperti di
Indonesia, VCT belum merupakan strategi yang besar. (Rimawati dkk, 2011). Karena
strategi kesehatan hanya difokuskan untuk mengurangi angka kematian dari penyakit
menular yang dapat dicegah saja. Komunikasi merupakan hal yang fundamental bagi
kehidupan manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat menyampaikan gagasan
dan mentransferkan pesannya kepada khalayak luas dengan tujuan mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mengambil keputusan tertentu. Komunikasi kesehatan
seperti halnya komunikasi manusia pada umumnya, namun komunikasi ini memiliki
cakupan yang lebih sempit karena hanya berkaitan dengan pesan-pesan kesehatan
saja. Komunikasi ini sangat bermanfaat sebagai proses sosialisasi dan edukasi
terhadap masyarakat dalam memberikan pengetahuan mengenai informasi-informasi
kesehatan maupun meluruskan pemahaman-pemahaman yang selama ini salah terkait
informasi kesehatan tertentu. Aktivitas komunikasi kesehatan terjadi dalam suasana
interaktif antara konselor dengan klien kesehatan guna mempengaruhi individu
maupun kelompok masyarakat untuk merubah perilakunya dan mengambil keputusan
yang tepat demi mendapatkan keadaan yang sehat secara baik fisik, mental, dan
sosial. Interaksi yang melibatkan konselor dan klien kesehatan ini sebagai bagian dari
komunikasi kesehatan yang sifatnya antarpribadi, tatap muka (face to face) dan terjadi
secara langsung. Baiknya sebuah hubungan sangat tergantung pada konselor,
karenanya konselor harus dapat mengamati dan menilai respon klien mengenai

4
hubungan baik yang sedang terbangun. Kemampuan konselor dalam menjalin
hubungan dengan klien tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan, pengertian, serta
keterampilan. Konselor dalam memberikan proses bantuan kepada klien harus
memahami tentang keterampilan dasar dan prinsip konseling.
B. Masalah
Bagaimana prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS dan
penyalahgunaan NAPZA?
C. Tujuan
Untuk mengetahui prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS dan
penyalahgunaan NAPZA yang baik dan benar.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konseling Umum
Konselor adalah orang-orang yang dilatih untuk membantu orang lain
untuk memahami permasalahan yang mereka hadapi, mengidentifikasi dan
mengembangkan alternatif pemecahan masalah, dan mampu membuat mereka
mengambil keputusan atas permasalahan tersebut. Jadi, proses konseling bisa
digambarkan sebagai suatu dialog antara seseorang yang bermasalah (klien)
dengan orang yang menyediakan pelayanan konseling (konselor) dengan tujuan
untuk memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan
sanggup mengambil keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan konseling hampir sama dengan
yang dibutuhkan untuk mengajar, yaitu menciptakan suatu komunikasi yang
efektif. Konseling adalah keterampilan yang membutuhkan latihan efektif untuk
bisa berkembang. Siapapun bisa mendapatkan kemampuan itu asalkan mau
mempelajari tekniknya. Percakapan yang efektif, yaitu :
1. Mendengarkan dengan aktif.
2. Mencoba mengerti perasaan klien.
3. Menanyakan pertanyaan yang baik.
4. Menghargai klien maupun perasaan klien, dan tidak memaksanya berubah.
5. Tidak menyalahkan/menghakimi.
6. Menyediakan informasi  yang tepat.
7. Menyatakan bahwa klien tidak sendiri menghadapi masalah.

Ini sangat penting untuk klien yang merasa dirinya ditolak atau merasa
gagal. Kesalahan yang sering dibuat oleh konselor pada waktu mencoba
menolong klien adalah mencoba merubah perasaan klien. Hanya klien sendiri
yang mampu melakukan itu. Dengan meluangkan waktu dan mendengarkan,
secara tidak langsung konselor telah memberitahu bahwa perasaan klien adalah
normal dan bisa diterima. Dengan cara membiarkan klien menceritakan
perasaannya, konselor telah memberikan kesempatan untuk memahami dan
mengatasi perasaan negatifnya. Ini akan membantu mereka untuk mulai membuat
keputusan dan bertindak sesuai keputusannya. Perasaan kuat atau punya harapan,

6
atau mempunyai pilihan dan mampu untuk bertindak, adalah pengobatan yang
manjur untuk seseorang yang merasa tidak punya harapan dan tidak berguna.
Konselor sering tidak ingin klien merasa terluka dan kadang-kadang masalah
yang dialami klien juga menakutkan untuk konselor. Karena itu untuk
mengurangi ketakutan itu, konselor mencoba untuk menyangkal emosi mereka,
“Anda tidak perlu merasa seperti itu,” atau memberikan nasihat,” Yang harus
Anda lakukan adalah….. dan semuanya akan beres.” Pesan seperti itu tidak benar,
karena dapat berarti bahwa klien tidak pantas untuk dihormati, klien tidak mampu
untuk menyelesaikan masalahnya, konselor tidak tertarik dengan masalah klien,
dan konselor merasa tidak nyaman dengan perasaan yang dialami klien. Karena
konselor ingin klien merasa lebih baik, konselor meminta klien untuk merubah
perasaannya. Dengan melakukan itu, seolah-olah konselor menyatakan bahwa
perasaan yang dialami klien adalah tidak bisa diterima.

Prinsip-prinsip umum dalam konseling :

1. Mendengarkan, ini berarti konselor harus diam beberapa saat, dan


biarkan percakapan mengalir sehingga klien lebih banyak berbicara
dibanding konselor.
2. Menanyakan dengan pertanyaan yang baik. Ini merupakan suatu cara
agar klien bisa melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda dan
membantu konselor untuk memahami situasi. Dalam hal ini, konselor
harus mendengarkan setiap kata, perasaan yang ada di balik kata-kata
tersebut, dan bagaimana gambaran klien terhadap situasi yang
dihadapinya.
3. Memberikan informasi yang tepat. Dalam hal ini sebaiknya konselor 
mengakui dengan jujur apabila ada suatu hal yang belum dipahami dan
mencoba mencari informasi yang benar, daripada mengabaikan
pertanyaan itu atau memberikan informasi yang salah.
4. Menjaga kepercayaan klien. Konselor harus menjaga kerahasiaan
informasi tentang klien. Bila tidak, klien akan merasa dirinya tidak
dihargai/di- hormati, dan akan merasa membuat kesalahan karena
mencari perto- longan/berbagi rasa dengan konselor.
5. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang sulit dijawab.
Tidak selalu konselor dapat memberikan jawaban yang benar. Bila

7
dapat memastikan bahwa jawaban yang diberikan adalah benar, Anda
boleh menjawabnya, tetapi bila ragu-ragu, akan lebih baik bila Anda
melakukan konsultasi kepada yang lebih memahami. Anda boleh juga
mencoba mencari jawabannya sendiri tanpa merujuk klien.
6. Perasaan tidak nyaman dan ketakutan. Dalam beberapa situasi,
konselorpun kadang-kadang merasa membutuhkan pertolongan untuk
mengatasi perasaannya dalam menghadapi klien. Bila konselor
melakukan konseling pada klien, ia harus melihat reaksi pada dirinya
sendiri. Sebagai contoh :“Seorang konselor selama berbulan-bulan
tidak menyampaikan hasil tes klien yang positif, karena takut tidak
mampu menghadapi reaksi klien. Bila konselor merasa tidak sabar atau
marah, ini adalah tanda bahwa konselor mengalami masalah dalam
dirinya dan ini akan sangat tidak membantu klien. Konselor mungkin
berpikir, “Dia tampaknya tidak mau menghadapi kenyataan,”atau ,“Dia
tidak mau berbuat sesuatu untuk menolong dirinya sendiri”.Bila Anda
mengalami hal semacam ini, Anda harus mencari orang lain/konselor
lain untuk membantu Anda memahami kebutuhan dan ketakutan
klien.”
7. Memilih tempat konseling yang cocok. Di manapun konselor
memberikan konseling, hendaknya selalu memperhatikan hal-hal
seperti kenyamanan, aman dari gangguan fisik (bising, sempit, gelap),
bersifat pribadi, ada alat peraga, menyesuaikan keadaan ekonomi dan
nilai budaya.

Prinsip Komunikasi Terapeutik Yang Digunakan Untuk Konseling :

1. Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang


terapeutik. Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi
dan pertukaran perasaan dan pikiran.
2. Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti,
keberhasilan intervensi perawatan tergantung pada komunikasi karena
proses keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai
tingkat kesehatan yang optimal.
3. Komunikasi adalah berhubungan. Hubungan perawat dan pasien yang
terapeutik tidak mungkin dicapai tanpa adanya komunikasi.Dalam

8
membina hubungan terapeutik dengan pasien, perawat perlu
mengetahui proses komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam
membantu pasien memecahkan masalahnya, serta mengerti tentang
peran yang dimainkan oleh pasien dan orang lain dalam masalah yang
diindentifikasi.

B. Prinsip Komunikasi Konseling pada klien dengan HIV/AID


Salah satu program yang dilaksanakan Pemerintah untuk mencegah
penularan HIV/AIDS adalah Voluntary Counseling and Testing (VCT).
Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV merupakan entry point untuk
memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS
(ODHA).(Kompas, 2005). VCT dalam bahasa Indonesia disebut konseling dan
tes sukarela. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI,
2004). VCT yang berkualitas tinggi tidak saja membuat orang mempunyai akses
terhadap berbagai layanan, tetapi juga efektif bagi pencegahan terhadap HIV.
Layanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan
memberikan informasi tentang pencegahan HIV. (Modul Pelatihan Konseling dan
Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004). Voluntary Counseling and Testing (VCT)
atau Konseling dan Testing Sukarela merupakan salah satu strategi kesehatan
masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS
yang berkelanjutan.  Melalui tes HIV, seseorang dapat mengetahui status HIV-
nya setelah melalui proses konseling. Tes HIV yang umum adalah dengan
mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dalam
merespons infeksi HIV. Prinsip pelayanan VCT HIV adalah intinya tidak boleh
dipaksa, pembicaraan ini rahasia, privasi konselor dan klien sehingga konselor
tidak boleh cerita pada orang lain, dan sukarela. Tujuan dilakukannya konseling
dalam menanggulangi penularan HIV/AIDS untuk mengetahui status lebih dini
akan memudahkan perencanaan penanganan, meningkatkan kualitas hidup
sehingga mengurangi angka kesakitan dan kematian (walaupun tidak dapat
disembuhkan, penyakit dapat dikendalikan dengan baik), dan memutus mata
rantai penularan HIV yang meluas.
Prinsip  dasar pelayanan   Voluntary  Counseling  and  Testing  (VCT)  adalah:
1. Klien datang secara sukarela, diberikan layanan pre tes konseling, dan
secara sukarela bersedia dites HIV (atas kehendak sendiri tanpa

9
paksaan/manipulasi) ditandatangani oleh pasien dengan informed
consent.
2. Percakapan antara klien dan konselor VCT serta hasil tes HIV bersifat
rahasia, tidak boleh dibocorkan dalam bentuk dan cara apapun pada pihak
ketiga.
3. Berorientasi pada klien serta menerapkan prinsip Greater Involment of
People with AIDS (GIPA) (Komisi Penanggulangan AIDS, 2008).

Beberapa  prinsip  etik  yang perlu  dianut  para  konselor  adalah  :


1. Konselor  mampu  memastikan  bahwa  klien  tidak mengalami  tekanan 
fisik  dan  psikologis  selama  konseling
2. Konselor  bertanggung  jawab atas  keamanan  dirinya,  efektivitas  dan 
kompetensi  dan  tidak  berkompromi  dengan  profesi konselingnya
3. Konselor  perlu  memastikan  bahwa  dirinya  telah  menerima  pelatihan
keterampilan  dan  teknik  konseling  yang  cukup
4. Konselor  secara  teratur  memonitor keterampilan  konseling  dan 
memelihara  kompetensinya
5. Konselor mendorong klien untuk mengendalikan hidupnya, dan
menghargai kemampuan klien mengambil keputusan serta perubahan
sesuai keyakinan dan tata nilainya. (Modul  Pelatiha Konseling  dan  Tes
Sukarela  HIV,  Depkes  RI,  2004)

Pelaksanaan Konseling dibagi menjadi tiga, yakni :


a. Pelaksanaan Konseling Pre Tes Dalam konseling pre tes hal-hal yang
perlu dilakukan adalah memperkenalkan diri dan menanamkan rasa
nyaman, akrab, familiar kepada klien sehingga tercipta kepercayaan dari
klien bahwa apa yang dibicarakan merupakan rahasia dan hanya konselor
dan klien yang mengetahuinya. Hasil wawancara juga ditemukan dalam
konseling pre tes perlu ditekankan mengenai pemahaman klien tentang
VCT, HIV, detail penularan, pencegahan sampai bersedia untuk tes HIV,
maka tugas konselor adalah memberikan informasi, edukasi dan support
yang benar kepada klien tentang HIV AIDS.

10
Langkah-langkah dalam konseling pre tes adalah :
1) Membina hubungan yang baik dan saling percaya dengan klien.
Pada tahap ini konselor mengidentifikasi dan mengklarifikasi
perannya serta menekankan pada klien bahwa konfidensialitas
dan kerahasiaan klien akan tetap terjaga.
2) Identifikasi latar belakang dan alasan untuk melakukan tes
termasuk perilaku berisiko klien dan riwayat medis klien yang
dulu dan sekarang.
3) Mengidentifikasi pemahaman klien  tentang HIV AIDS dan tes
HIV.
4) Menyediakan informasi tentang safer sex practices dan healthy
lifesyle practices.
5) Memastikan apakah klien bersedia untuk melakukan tes
antibodi HIV. (Haruddin, Mubasysyir, 2007) Tahap konseling
pre tes konselor dituntut mampu menyiapkan diri klien untuk
pemeriksaan HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi
terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi
tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Dalam
konseling didiskusikan juga soal seksualitas, hubungan relasi,
perilaku seksual dan suntikan berisiko dan membantu klien
melindungi diri dari infeksi. Hasil penelitian ini juga ditemukan
bahwa konseling pre tes dilakukan sebelum klien melakukan tes
antibodi HIV.

Konseling Pre tes mempunyai 5 prinsip :


1) Motif pelaksanaan hasil tes
2) Interpretasi hasil tes yaitu mengenai penapisan, adanya gejala
atau tidak, pemahaman klien bahwa infeksi HIV dan dampak
nya tidak dapat sembuh namun ODHA dapat tetap produktif,
infeksi oportunistik dapat diobati
3) Estimasi hasil meliputi : kesiapan mental emosional penerimaan
hasil pemeriksaan, kajilah resiko bukan harapan akan hasil,
periode jendela (window period)
4) Membuat rencana jika didapatkan hasil

11
5) Membuat keputusan : melaksanakan tes atau tidak. (Modul
Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)

b. Pelaksanaan Tes HIV Tes HIV dilakukan setelah klien mendapat


konseling pre tes dan menandatangani informed consent. Klien yang
menolak untuk tes HIV maka konselor tidak boleh memaksakan
kehendaknya kepada klien. Tes HIV hanya boleh dilakukan setelah klien
menandatangai informed consent sebagai bukti bahwa klien bersedia dan
secara sukarela melakukan tes HIV.
Aspek penting didalam informed consent adalah :
1) Klien telah diberi penjelasan cukup tentang risiko dan dampak
sebagai akibat dari tindakannya dan klien menyetujuinya.
2) Klien mempunyai kemampuan menagkap pengertian dan
mampu menyatakan persetujuannya (secara intelektual dan
psikiatris).
3) Klien tidak dalam paksaan untuk memberikan persetujuan
meski konselor memahami bahwa mereka memang sangat
memerlukan pemeriksaan HIV.
4) Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan bagi
dirinya karena keterbatasan dalam memahami informasi maka
tugas konselor untuk berlaku jujur dan obyektif dalam
menyampaikan informasi sehingga klien memahami dengan
benar dan dapat menyatakan persetujuannya. (Modul Pelatihan
Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)

Strategi yang digunakan untuk pemeriksaan HIV adalah strategi II. Tes
yang digunakan untuk pemeriksaan HIV adalah rapid test dan ELISA.
Pelaporan hasil digunakan istilah reaktif dan non reaktif. Untuk
menjaga kerahasiaan, hasil pemeriksaan diserahkan kepada
dokter/konselor, pengiriman dalam amplop tertutup melalui klinik
VCT. Hal ini sesuai dengan strategi testing HIV yang
direkomendasikan oleh WHO. Strategi II adalah semua darah yang
diperiksa pertama kali harus menggunakan satu tes ELISA atau rapid
test. Semua serum yang ditemukan reaktif dengan tes yang pertama

12
harus diperiksa kedua kalinya dengan assay yang berbeda dari
pemeriksaan pertama. Serum yang reaktif pada kedua assay dinyatakan
terinfeksi HIV sementara serum yang non-reaktif pada kedua assay
dinyatakan negatif. Adanya hasil discordant harus diulang dengan
assay yang sama. Jika hasil tetap berbeda setelah pengulangan,
serumnya dinyatakan indeterminate. (Modul Pelatihan Konseling dan
Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004) Menurut UNAIDS, WHO dan
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) bahwa seluruh
hasil tes yang positif harus dikonfirmasi untuk tes ulang dengan
menggunakan metode tes yang berbeda. Standar minimum yang
direkomendasikan oleh WHO untuk sensitifitas 99 % dan untuk
spesifisitas 95 %. Pemeriksaan hitung sel T CD4 juga sangat penting
untuk menegakkan diagnosa HIV klien. Cepatnya perkembangan AIDS
dipengaruhi oleh muatan virus dalam plasma (viral load) dan hitung sel
T CD4. Makin tinggi viral load (jumlah virus dalam badan) makin
rendah hitung sel CD4 maka makin tinggi perubahan progresi ke AIDS
dan kematian. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV,
Depkes RI, 2004)

c. Pelaksanaan Konseling Post Tes Pelaksanaan konseling post tes dilakukan


setelah klien mendapatkan hasil pemeriksaan tes HIV. Sebelum
melakukan konseling post tes, konselor terlebih dahulu menanyakan
kesiapan klien, ekspresi wajah, dan keadaan psikologis klien. Tujuan dari
konseling post tes adalah membuat klien mampu menerima hasil
pemeriksaan status HIVnya dan menyesuaikan diri dengan
konsekuensinya dan risikonya, membuat perubahan perilaku menjadi
perilaku sehat, dilakukan oleh konselor yang memahami masalah
psikologis / psikiatrik dan pemeriksaan serta penilaian hasil pemeriksaan
laboratorium HIV, penyakit dan terapi. (Modul Pelatihan Konseling dan
Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004) Hasil tes yang reaktif, maka
konselor menjelaskan makna hasil tes reaktif dan konselor menanyakan
siapa yang boleh tahu tentang hasil tes. Konseling yang diberikan kepada
klien yang reaktif antara lain memberikan dukungan, perubahan perilaku
berisiko, kewajiban moral untuk tidak menularkan, dan kesiapan klien

13
dalam membuka statusnya serta kesiapan untuk ARV. Konselor juga
memberikan informasi tentang lembaga yang bisa diakses oleh klien
sebagai support group. Selain itu juga klien langsung dikonsultasikan
kepada dokter untuk penanganan medis termasuk pemeriksaan CD4.

Tindakan yang dilakukan konselor untuk hasil tes negatif adalah :


a. Mendiskusikan tantangan yang dihadapi untuk hasil tes negatif.
b. Reinforcement tindakan ABC.
c. Mendorong klien untuk bernegosiasi dengan pasangannya untuk
melakukan VCT.
d. Mendiskusikan keterampilan safer sex.
e. Mempromosikan female condom jika memungkinkan.
f. Menyarankan melakukan tes secara periodik. (Modul Pelatihan
Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)

Tindakan konselor dalam menyampaikan hasil tes positif :


a. Harus memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin dan
dapat mengatasi reaksi awal yang muncul.
b. Memberi cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan hasil
tes tersebut.
c. Memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti dan
memberikan dukungan emosional.
d. Merujuk klien ke lembaga dukungan masyarakat.
e. Mendiskusikan siapa yang mungkin ingin diberi tahu tentang hasil
tes itu.
f. Menjelaskan pada klien bagaimana menjaga kesehatannya.
g. Memberitahu klien kemana mencari perawatan dan pengobatan
jika dibutuhkan.
h. Mendiskusikan pencegahan penularan HIV termasuk memberikan
informasi tentang kondom dan hubungan seks yang lebih aman.
(Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI,
2004)

14
Pelayanan  bimbingan  dan  konseling  Islam  dalam meningkatkan 
kesehatan  mental  pasien  HIV/AIDS  ditekankan  pada penerimaan  diri. 
Pelayanan  yang  diberikan  dalam  rangka meningkatkan  kesehatan 
mental  pasien  HIV/AIDS  yaitu :
a) Membantu  pasien  menemukan  makna  dari  penyakit.
b) Menguatkan  harapan  yang  realistis  kepada  ODHA.
c) Memberikan  dukungan  emosional  dan  spiritual  yang  dapat
menumbuhkan  motivasi.
d) Memberikan  bimbingan  agar pasien  selalu  berpikir  positif.
e) Membantu  ODHA  dalam menanamkan  rasa  percaya  diri  dan 
membantu  meningkatkan kualialitas  hidup  ODHA

C. Prinsip Komunikasi Konseling pada klien dengan Penyalahgunaan NAPZA


Prinsip Komunikasi Terapeutik klien penyalahgunaan NAPZA    :
Prinsip konseling pada penyalahgunaan NAPZA dilakukan dengan tujuan
mencegah sebelum terjadi korban dan juga dilakukan sesudah telanjur menjadi
korban pengguna.
1. Menghormati pasien,  menghormati adalah memandang positif sebagai
sesame manusia. Konselor menghormati pasien dengan tidak bertindak
semena-mena dan saling bertoleransi satu dengan yang lain baik dalam
menjalankan program rehabilitasi maupun dalam kegiatan sehari-hari.
2. Menunjukkan kesungguhan penuh kepada pasien, kesungguhan untuk
membantu pasien lepas dari kecanduan narkoba. Kesungguhan untuk
membantu pasien ditunjukkan dengan bersikap sabar terhadap pasien,
termasuk ketika pasien melakukan pemberontakan pada saat menjalani
rehabilitasi.
3. Menumbuhkan rasa empati, empati kepada pasien adalah kasih sayang dan
kepedulian dari dalam hati. Konselor mampu merasakan kondisi, situasi
dan perasaan yang dirasakan oleh pasien.
4. Menciptakan kepercayaan, pasien memiliki kepercayaan dalam diri bahwa
konselor dapat membantu pasien keluar dari permasalahan yang dihadapi.
Untuk menumbuhkan kepercayaan, konselor melakukan pendekatan
individu melalui konseling dan memberikan motivasi terhadap pasien

15
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Prinsip Komunikasi Terapeutik Yang Digunakan Untuk Konseling :
Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang
terapeutik. Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi
dan pertukaran perasaan dan pikiran. Maksud komunikasi adalah
mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti, keberhasilan intervensi
perawatan tergantung pada komunikasi karena proses keperawatan
ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan
yang optimal. Dalam membina hubungan terapeutik dengan pasien,
perawat perlu mengetahui proses komunikasi dan keterampilan
berkomunikasi dalam membantu pasien memecahkan masalahnya,
serta mengerti tentang peran yang dimainkan oleh pasien dan orang
lain dalam masalah yang diindentifikasi.
2. Prinsip pelayanan VCT HIV adalah intinya tidak boleh dipaksa,
pembicaraan ini rahasia, privasi konselor dan klien sehingga konselor
tidak boleh cerita pada orang lain, dan sukarela. Tujuan dilakukannya
konseling dalam menanggulangi penularan HIV/AIDS untuk
mengetahui status lebih dini akan memudahkan perencanaan
penanganan, meningkatkan kualitas hidup sehingga mengurangi angka
kesakitan dan kematian (walaupun tidak dapat disembuhkan, penyakit
dapat dikendalikan dengan baik), dan memutus mata rantai penularan
HIV yang meluas. Prinsip konseling pada penyalahgunaan NAPZA
dilakukan dengan tujuan mencegah sebelum terjadi korban dan juga
dilakukan sesudah telanjur menjadi korban pengguna

B. Saran
Keberhasilan intervensi perawatan tergantung pada komunikasi karena proses
keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat
kesehatan yang optimal. Diharapkan perawat maupun konselor selalu
memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi terapeutik pada

16
saat pemberian konseling pada pasien dengan HIV/AIDS dan penyalahgunaan
NAPZA.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anyta, N. D. (2015). Komunikasi Antarpribadi Konselor Terhadap Odha Di Klinik


Vct Rsud Kabupaten Karanganyar. komuniti, 68-72.

ARISTIANA, N. F. (2015). Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Islam Dalam


Meningkatkan Kesehatan Mental Pasien Hiv/Aids Di Klinik Vct Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang . skripsi, 1-115.

Dayaningsih, D. (2016). Studi Fenomenologi Pelaksanaan Hiv Voluntary Counseling


And Testing (Vct) Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Kajian Komunikasi,
1-18.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2006


Departemen Kesehatan RI. (2014).

Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. Jakarta


Departemen  Kesehatan  RI.  (2015). 

Pedoman  Pengembangan  Jejaring  Layanan Dukungan, Perawatan dan Pengobatan


HIV dan AIDS. Jakarta. Hidayanti, E. (2016).

Dimensi Psiko-Spiritual Dalam Praktik Konseling Bagi Penderita Hiv/Aids Di Klinik


Voluntary Counselling Test (Vct) Rumah Sakit Panti Wiloso Citarum
Semarang . penelitian, 1-148.

I Komang Gunung, I. G. (2003). Buku Pegangan Konselor HIV / AIDS. Bali:


Macfarlane Burnet Institute for Medical Research and Public Health
Limited.

Kibtyah, M. (2015). Pendekatan Bimbingan Dan Konseling Bagi Korban Pengguna


Narkoba. Jurnal Ilmu Dakwah, 52-77.

Kusnarto, D. R. (2015). Komunikasi Terapeutik dalam Penyembuhan Pecandu


Narkoba. Studi Deskriptif Komunikasi Terapeutik dalam Penyembuhan
Pasien Pecandu Narkoba di Yayasan Panti Rehabilitasi ORBIT Surabaya, 1-
8.

18
Retnaningsih, D. A. (2016). Voluntary Counseling and Testing untuk Orang Berisiko
HIV/AIDS. Jurnal Dakwah dan Komunikasi , 115-128.

Windyaningrum, R. (2014). Komunikasi Terapeutik Konselor Adiksi Pada Korban


Penyalahgunaan Narkoba di Rumah Palma Therapeutic Community
Kabupaten Bandung Barat . Kajian Komunikasi, 173-185.

19

You might also like