Professional Documents
Culture Documents
TUGAS IIM HIV AIDS Ok
TUGAS IIM HIV AIDS Ok
DISUSUN OLEH :
NURUL FATIMAH
202101060
1
KATA PENGANTAR
Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehinnga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pengaruh konseling pada klien dengan
hiv/ aids Dan penyalahgunaan napza, sebagai salah satu syarat utuk memperoleh gelar profesi
ners. Sholawat dan salam selalu terucap kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan pertimbangan
Dalam pembuwatan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan
saran berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan maupun tulisan. Pada kesempatan ini
1. Ns. Nila Putri Purwandari, S.Kep., M.Kep.selaku dosen pengampu mata kuliah
2. Orang tua dan keluarga tercinta yang telah banyak membantu dengan doa dan
3. Rekan sejawat seperjuwangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan
dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua dan ilmu pengetahuan
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR........................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 4
A. Latar Belakang........................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 26
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS yang terjadi diibaratkan
seperti fenomena gunung es, sebab apa yang terlihat di atas itu hanya nampak kecil,
sementara kondisi dibawah yang lebih besar justru tidak terdeteksi. Karenanya, setiap
tahun jumlah penderita mengalami peningkatan dan tidak sedikit yang meninggal.
Program penanggulangan HIV/AIDS yang ada yaitu melalui pengamanan darah,
komunikasi-informasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik, namun program
pelayanan dan dukungan tersebut masih sangat terbatas, khususnya program
konseling dan tes sukarela atau biasa dikenal dengan Voluntary Counselling and
Testing (VCT). Di negara maju, VCT sudah menjadi komponen utama dalam
program penanggulangan HIV/AIDS, namun di negara berkembang seperti di
Indonesia, VCT belum merupakan strategi yang besar. (Rimawati dkk, 2011). Karena
strategi kesehatan hanya difokuskan untuk mengurangi angka kematian dari penyakit
menular yang dapat dicegah saja. Komunikasi merupakan hal yang fundamental bagi
kehidupan manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat menyampaikan gagasan
dan mentransferkan pesannya kepada khalayak luas dengan tujuan mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mengambil keputusan tertentu. Komunikasi kesehatan
seperti halnya komunikasi manusia pada umumnya, namun komunikasi ini memiliki
cakupan yang lebih sempit karena hanya berkaitan dengan pesan-pesan kesehatan
saja. Komunikasi ini sangat bermanfaat sebagai proses sosialisasi dan edukasi
terhadap masyarakat dalam memberikan pengetahuan mengenai informasi-informasi
kesehatan maupun meluruskan pemahaman-pemahaman yang selama ini salah terkait
informasi kesehatan tertentu. Aktivitas komunikasi kesehatan terjadi dalam suasana
interaktif antara konselor dengan klien kesehatan guna mempengaruhi individu
maupun kelompok masyarakat untuk merubah perilakunya dan mengambil keputusan
yang tepat demi mendapatkan keadaan yang sehat secara baik fisik, mental, dan
sosial. Interaksi yang melibatkan konselor dan klien kesehatan ini sebagai bagian dari
komunikasi kesehatan yang sifatnya antarpribadi, tatap muka (face to face) dan terjadi
secara langsung. Baiknya sebuah hubungan sangat tergantung pada konselor,
karenanya konselor harus dapat mengamati dan menilai respon klien mengenai
4
hubungan baik yang sedang terbangun. Kemampuan konselor dalam menjalin
hubungan dengan klien tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan, pengertian, serta
keterampilan. Konselor dalam memberikan proses bantuan kepada klien harus
memahami tentang keterampilan dasar dan prinsip konseling.
B. Masalah
Bagaimana prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS dan
penyalahgunaan NAPZA?
C. Tujuan
Untuk mengetahui prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS dan
penyalahgunaan NAPZA yang baik dan benar.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konseling Umum
Konselor adalah orang-orang yang dilatih untuk membantu orang lain
untuk memahami permasalahan yang mereka hadapi, mengidentifikasi dan
mengembangkan alternatif pemecahan masalah, dan mampu membuat mereka
mengambil keputusan atas permasalahan tersebut. Jadi, proses konseling bisa
digambarkan sebagai suatu dialog antara seseorang yang bermasalah (klien)
dengan orang yang menyediakan pelayanan konseling (konselor) dengan tujuan
untuk memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan
sanggup mengambil keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan konseling hampir sama dengan
yang dibutuhkan untuk mengajar, yaitu menciptakan suatu komunikasi yang
efektif. Konseling adalah keterampilan yang membutuhkan latihan efektif untuk
bisa berkembang. Siapapun bisa mendapatkan kemampuan itu asalkan mau
mempelajari tekniknya. Percakapan yang efektif, yaitu :
1. Mendengarkan dengan aktif.
2. Mencoba mengerti perasaan klien.
3. Menanyakan pertanyaan yang baik.
4. Menghargai klien maupun perasaan klien, dan tidak memaksanya berubah.
5. Tidak menyalahkan/menghakimi.
6. Menyediakan informasi yang tepat.
7. Menyatakan bahwa klien tidak sendiri menghadapi masalah.
Ini sangat penting untuk klien yang merasa dirinya ditolak atau merasa
gagal. Kesalahan yang sering dibuat oleh konselor pada waktu mencoba
menolong klien adalah mencoba merubah perasaan klien. Hanya klien sendiri
yang mampu melakukan itu. Dengan meluangkan waktu dan mendengarkan,
secara tidak langsung konselor telah memberitahu bahwa perasaan klien adalah
normal dan bisa diterima. Dengan cara membiarkan klien menceritakan
perasaannya, konselor telah memberikan kesempatan untuk memahami dan
mengatasi perasaan negatifnya. Ini akan membantu mereka untuk mulai membuat
keputusan dan bertindak sesuai keputusannya. Perasaan kuat atau punya harapan,
6
atau mempunyai pilihan dan mampu untuk bertindak, adalah pengobatan yang
manjur untuk seseorang yang merasa tidak punya harapan dan tidak berguna.
Konselor sering tidak ingin klien merasa terluka dan kadang-kadang masalah
yang dialami klien juga menakutkan untuk konselor. Karena itu untuk
mengurangi ketakutan itu, konselor mencoba untuk menyangkal emosi mereka,
“Anda tidak perlu merasa seperti itu,” atau memberikan nasihat,” Yang harus
Anda lakukan adalah….. dan semuanya akan beres.” Pesan seperti itu tidak benar,
karena dapat berarti bahwa klien tidak pantas untuk dihormati, klien tidak mampu
untuk menyelesaikan masalahnya, konselor tidak tertarik dengan masalah klien,
dan konselor merasa tidak nyaman dengan perasaan yang dialami klien. Karena
konselor ingin klien merasa lebih baik, konselor meminta klien untuk merubah
perasaannya. Dengan melakukan itu, seolah-olah konselor menyatakan bahwa
perasaan yang dialami klien adalah tidak bisa diterima.
7
dapat memastikan bahwa jawaban yang diberikan adalah benar, Anda
boleh menjawabnya, tetapi bila ragu-ragu, akan lebih baik bila Anda
melakukan konsultasi kepada yang lebih memahami. Anda boleh juga
mencoba mencari jawabannya sendiri tanpa merujuk klien.
6. Perasaan tidak nyaman dan ketakutan. Dalam beberapa situasi,
konselorpun kadang-kadang merasa membutuhkan pertolongan untuk
mengatasi perasaannya dalam menghadapi klien. Bila konselor
melakukan konseling pada klien, ia harus melihat reaksi pada dirinya
sendiri. Sebagai contoh :“Seorang konselor selama berbulan-bulan
tidak menyampaikan hasil tes klien yang positif, karena takut tidak
mampu menghadapi reaksi klien. Bila konselor merasa tidak sabar atau
marah, ini adalah tanda bahwa konselor mengalami masalah dalam
dirinya dan ini akan sangat tidak membantu klien. Konselor mungkin
berpikir, “Dia tampaknya tidak mau menghadapi kenyataan,”atau ,“Dia
tidak mau berbuat sesuatu untuk menolong dirinya sendiri”.Bila Anda
mengalami hal semacam ini, Anda harus mencari orang lain/konselor
lain untuk membantu Anda memahami kebutuhan dan ketakutan
klien.”
7. Memilih tempat konseling yang cocok. Di manapun konselor
memberikan konseling, hendaknya selalu memperhatikan hal-hal
seperti kenyamanan, aman dari gangguan fisik (bising, sempit, gelap),
bersifat pribadi, ada alat peraga, menyesuaikan keadaan ekonomi dan
nilai budaya.
8
membina hubungan terapeutik dengan pasien, perawat perlu
mengetahui proses komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam
membantu pasien memecahkan masalahnya, serta mengerti tentang
peran yang dimainkan oleh pasien dan orang lain dalam masalah yang
diindentifikasi.
9
paksaan/manipulasi) ditandatangani oleh pasien dengan informed
consent.
2. Percakapan antara klien dan konselor VCT serta hasil tes HIV bersifat
rahasia, tidak boleh dibocorkan dalam bentuk dan cara apapun pada pihak
ketiga.
3. Berorientasi pada klien serta menerapkan prinsip Greater Involment of
People with AIDS (GIPA) (Komisi Penanggulangan AIDS, 2008).
10
Langkah-langkah dalam konseling pre tes adalah :
1) Membina hubungan yang baik dan saling percaya dengan klien.
Pada tahap ini konselor mengidentifikasi dan mengklarifikasi
perannya serta menekankan pada klien bahwa konfidensialitas
dan kerahasiaan klien akan tetap terjaga.
2) Identifikasi latar belakang dan alasan untuk melakukan tes
termasuk perilaku berisiko klien dan riwayat medis klien yang
dulu dan sekarang.
3) Mengidentifikasi pemahaman klien tentang HIV AIDS dan tes
HIV.
4) Menyediakan informasi tentang safer sex practices dan healthy
lifesyle practices.
5) Memastikan apakah klien bersedia untuk melakukan tes
antibodi HIV. (Haruddin, Mubasysyir, 2007) Tahap konseling
pre tes konselor dituntut mampu menyiapkan diri klien untuk
pemeriksaan HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi
terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi
tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Dalam
konseling didiskusikan juga soal seksualitas, hubungan relasi,
perilaku seksual dan suntikan berisiko dan membantu klien
melindungi diri dari infeksi. Hasil penelitian ini juga ditemukan
bahwa konseling pre tes dilakukan sebelum klien melakukan tes
antibodi HIV.
11
5) Membuat keputusan : melaksanakan tes atau tidak. (Modul
Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004)
Strategi yang digunakan untuk pemeriksaan HIV adalah strategi II. Tes
yang digunakan untuk pemeriksaan HIV adalah rapid test dan ELISA.
Pelaporan hasil digunakan istilah reaktif dan non reaktif. Untuk
menjaga kerahasiaan, hasil pemeriksaan diserahkan kepada
dokter/konselor, pengiriman dalam amplop tertutup melalui klinik
VCT. Hal ini sesuai dengan strategi testing HIV yang
direkomendasikan oleh WHO. Strategi II adalah semua darah yang
diperiksa pertama kali harus menggunakan satu tes ELISA atau rapid
test. Semua serum yang ditemukan reaktif dengan tes yang pertama
12
harus diperiksa kedua kalinya dengan assay yang berbeda dari
pemeriksaan pertama. Serum yang reaktif pada kedua assay dinyatakan
terinfeksi HIV sementara serum yang non-reaktif pada kedua assay
dinyatakan negatif. Adanya hasil discordant harus diulang dengan
assay yang sama. Jika hasil tetap berbeda setelah pengulangan,
serumnya dinyatakan indeterminate. (Modul Pelatihan Konseling dan
Tes Sukarela HIV, Depkes RI, 2004) Menurut UNAIDS, WHO dan
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) bahwa seluruh
hasil tes yang positif harus dikonfirmasi untuk tes ulang dengan
menggunakan metode tes yang berbeda. Standar minimum yang
direkomendasikan oleh WHO untuk sensitifitas 99 % dan untuk
spesifisitas 95 %. Pemeriksaan hitung sel T CD4 juga sangat penting
untuk menegakkan diagnosa HIV klien. Cepatnya perkembangan AIDS
dipengaruhi oleh muatan virus dalam plasma (viral load) dan hitung sel
T CD4. Makin tinggi viral load (jumlah virus dalam badan) makin
rendah hitung sel CD4 maka makin tinggi perubahan progresi ke AIDS
dan kematian. (Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV,
Depkes RI, 2004)
13
dalam membuka statusnya serta kesiapan untuk ARV. Konselor juga
memberikan informasi tentang lembaga yang bisa diakses oleh klien
sebagai support group. Selain itu juga klien langsung dikonsultasikan
kepada dokter untuk penanganan medis termasuk pemeriksaan CD4.
14
Pelayanan bimbingan dan konseling Islam dalam meningkatkan
kesehatan mental pasien HIV/AIDS ditekankan pada penerimaan diri.
Pelayanan yang diberikan dalam rangka meningkatkan kesehatan
mental pasien HIV/AIDS yaitu :
a) Membantu pasien menemukan makna dari penyakit.
b) Menguatkan harapan yang realistis kepada ODHA.
c) Memberikan dukungan emosional dan spiritual yang dapat
menumbuhkan motivasi.
d) Memberikan bimbingan agar pasien selalu berpikir positif.
e) Membantu ODHA dalam menanamkan rasa percaya diri dan
membantu meningkatkan kualialitas hidup ODHA
15
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prinsip Komunikasi Terapeutik Yang Digunakan Untuk Konseling :
Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang
terapeutik. Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi
dan pertukaran perasaan dan pikiran. Maksud komunikasi adalah
mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti, keberhasilan intervensi
perawatan tergantung pada komunikasi karena proses keperawatan
ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan
yang optimal. Dalam membina hubungan terapeutik dengan pasien,
perawat perlu mengetahui proses komunikasi dan keterampilan
berkomunikasi dalam membantu pasien memecahkan masalahnya,
serta mengerti tentang peran yang dimainkan oleh pasien dan orang
lain dalam masalah yang diindentifikasi.
2. Prinsip pelayanan VCT HIV adalah intinya tidak boleh dipaksa,
pembicaraan ini rahasia, privasi konselor dan klien sehingga konselor
tidak boleh cerita pada orang lain, dan sukarela. Tujuan dilakukannya
konseling dalam menanggulangi penularan HIV/AIDS untuk
mengetahui status lebih dini akan memudahkan perencanaan
penanganan, meningkatkan kualitas hidup sehingga mengurangi angka
kesakitan dan kematian (walaupun tidak dapat disembuhkan, penyakit
dapat dikendalikan dengan baik), dan memutus mata rantai penularan
HIV yang meluas. Prinsip konseling pada penyalahgunaan NAPZA
dilakukan dengan tujuan mencegah sebelum terjadi korban dan juga
dilakukan sesudah telanjur menjadi korban pengguna
B. Saran
Keberhasilan intervensi perawatan tergantung pada komunikasi karena proses
keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku dalam mencapai tingkat
kesehatan yang optimal. Diharapkan perawat maupun konselor selalu
memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi terapeutik pada
16
saat pemberian konseling pada pasien dengan HIV/AIDS dan penyalahgunaan
NAPZA.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
Retnaningsih, D. A. (2016). Voluntary Counseling and Testing untuk Orang Berisiko
HIV/AIDS. Jurnal Dakwah dan Komunikasi , 115-128.
19