Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Lisan Al-Hal doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx.

xx-xx

Lisan Al-Hal : Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan


Volume xx, Issue x, June 2022
e-ISSN : 2502-3667, p-ISSN : 1693-3230
https://journal.ibrahimy.ac.id/index.php/lisanalhal

INTERNALISASI NILAI-NILAI SOSIAL DAN KEAGAMAAN DALAM PELAKSANAAN


TRADISI PERANG TIMBUNG DI DESA PEJANGGIK KECAMATAN PRAYA TENGAH,
KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Denisa1*, Mastika Anggun Solihan2


1Universitas
Islam Negeri (UIN) Mataram
2Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram

e-mail: 200105111.mhs@uinmataram.ac.id, 200105110.mhs@uinmataram.ac.id


Abstract:
Lombok in particular has a diversity of traditions, customs, culture, which is carried out continuously as a
public belief, especially in parts of central Lombok, to be precise in Pejanggik Village, which has a tradition
of timbung war by some of the people. This tradition has philosophical values and various ritual
processions contained therein. Specifically, the timbung war tradition is a tradition that is carried out in
Pejanggik Village, Praya Tengah sub-district, Central Lombok Regency. Where this tradition is carried out
once a year on Friday in the fourth month of the Sasak calendar. timbung war is a ritual that aims to avoid
disaster. The meaning of the implementation of the Timbung War was an event to reject balaq and at the
same time expect blessings from God Almighty, as well as establishing friendship and harmony between
the Raja's family and the people of Pejanggik without any differences. The purpose of this research is to
find out the social and religious values in the tradition of timbung war. This study uses the method of
literature review. By explaining the description of the qualities of a symptom being researched based on
the current literature, this paper is a descriptive conceptual investigation. According to the research's
findings, the timbung war tradition is a Sasak tradition that is still practiced by the community and
contains both social and religious aspects. furthermore that, the timbung war is a place to increase social
solidarity in the community and develop religious values, especially in the traditional procession of
carrying out the timbung war tradition.

Keywords: Internalization of social and religious values, timbung war tradition.

Copyright (c) 2022 Denisa1, Mastika Anggun Solihan2.


* Corresponding author : Denisa, Mastika Anggun Solihan
Email Address : 200105110.mhs@uinmataram.ac.id, 200105111.mhs@uinmataram.ac.id
Received : April 6, 2023; Revised : Mei 26, 2023; Accepted : Month Date, Year; Published : Month Date,
Year

PENDAHULUAN
Kehidupan manusia pada dasarnya tidak pernah terpikirkan untuk hidup
bermasyarakat atau hidup sendiri. Manusia tidak bisa hidup selamanya dalam
keterpencilan. Untuk bertahan hidup, manusia bergantung pada satu sama lain. Karena
saling ketergantungan tersebut, hal ini menghasilkan kerjasama tertentu yang bersifat
objek dan menghasilkan bentuk masyarakat dengan segala jenis organisasinya. Oleh
sebab itu benar apa yang telah dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah
Makhluk Sosial, yakni manusia tidak bisa hidup terus-menerus di luar sebuah kelompok
masyarakat.1 Lombok khususnya mempunyai hal keunikan yang terdapat didalamnya,
Telaah lebih adalah Lombok mempunyai ciri khas tradisi budaya yaitu salah satunya ada

1
Julien Biringan, Jurnal Civic Education: Media Kajian Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 4 No. 2 Tahun 2020
| 34 – 42, http://ejournal.unima.ac.id/index.php/jce

Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022 | 1
Internalisasi Nilai-Nilai Sosial Dan Keagamaan…..
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
perang topat yang teradapat di Lingsar, mataram, kemudian Desa Pejanggik. Desa
Pejanggik menjadi fokus penelitian ini karena merupakan tempat di mana tradisi perang
timbung dapat ditemukan.

Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Azhar, Lombok memiliki


konotasi filosofis yang mendalam terkait dengan adat dan budaya masyarakat Sasak.
Sasak artinya Rakit Bambu yang sudah disatukan dan kuat,
sedangkan Lombok artinya Lurus dan Teratur. Masyarakat suku Sasak Lombok
menerapkan budaya dilingkungan sosial masyarakat kemudian memproduksi nilai-nilai
Islami melalui pengamalan tradisi yang dibungkus dengan agama. Keseharian
masyarakat Sasak juga diresapi warisan budaya non benda melalui berbagai ritual,
antara lain perang Topat, Bau Nyale, Presean, dan perang Timbung. Tradisi Perang
Timbang dianggap oleh masyarakat sebagai salah satu adat istiadat dan kepercayaan
yang telah dilestarikan secara turun-temurun dari nenek moyang terdahulu dengan
seiring berjalannya waktu.2

Pemuka agama, penduduk setempat, bahkan anak-anak muda terus mendorong


masyarakat untuk berpartisipasi dalam perayaan tradisi perang timbung. Proses
pelaksanaa tradisi tersebut tentu saja dibarengi dengan sejumlah unsur ritual, yakni
mulai dari ritual di Makam Serewe hingga kumpul-kumpul masyarakat
sebelum pelaksanakan tradisi tersebut. Rute perjalanan dalam pelaksanaan perang
timbung dimulai dari Keraton (Bale Beleq) atau yang disebut sebagai tempat kerajaan
pejanggik dulu, selanjutnya ke kantor desa pejanggik, lalu ke kelebuh hingga sampai
pada Makam Serewe. Selain itu, di lingkungan saat ini, keragaman
yang semakin meningkat tidak lepas dari suku-suku adat yang melakukan ritual melalui
perayaan dan memperkuat kepercayaan melalui doa di depan Makam. Perang timbung
khususnya yang berkembang di Desa pejanggik menjadi topik yang tidak pernah usai
dikaji oleh beberapa peneliti akademik, karena dalam perspektif masyarakat bahwa
tradisi perang timbung mempunyai hal-hal mitos, hingga ada nilai-nilai penting yang
termuat dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Dalam kajian akademik, tradisi perang
timbung sudah sangat wajar menjadi sasaran objek bagi para peneliti untuk menggali
dengan berbagai sudut pendekatan yang dilakukan karena Jika ditelaah secara teoritik,
perang timbung secara garis besar mengandung arti pelaksanaan yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menolak balak, dan mempunyai nilai-nilai dan mitos yang terdapat di
dalamnya, terlebih pada aspek sosial, budaya, pendidikan dan lain sebagainya.
Berdasarkan kajian di atas, dalam Perang Timbung terdapat beragam nilai-nilai
sosial dan keagamaan terutama pada bagian proses, ritual, dan nilai filosofis, sehingga
kemudian dikemas melalui artikel yang sekiranya menarik untuk di jadikan sebagai
objek dalam penelitian. Perang timbung menjadi suatu kepercayaan masyarakat sasak
khususnya di Desa pejanggik karena tradisi Perang Timbung memiliki keunikan
tersendiri. Penjelasan lebih jauh, keunikan Perang Timbung terletak pada proses
pelaksanaan yang mampu membentuk solidaritas sosial, mempererat persaudaraan,
tidak menimbulkan pertengkaran antar sesama, dan dalam nilai agama mampu
membentuk rasa syukur dan nilai berbagi antar sesama bukan hanya pada manusia

2
Dozan, Wely, and Laily Fitriani. "Membangun Karakter Anak Usia Dini Melalui Nilai-Nilai Islam Dalam
Tradisi Perang Timbung." Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 1.1 (2020): 1-15.

2 | Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022
Denisa1, Mastika Anggun Solihan2
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
melainkan mahluk hidup lainnya. Selain itu juga, nilai-nilai keagamaan dalam perang
timbung sebagi eksistensi yaitu menghadirkan tokoh-tokoh agama seperti kiyai dan
pemangku adat, dengan menghadirkan bacaan yang sakral seperti dzikir, barzanji, dan
do’a untuk para orang terdahulu yang telah dimakamkan di Makam tersebut.
Pelaksanaan Tradisi Perang Timbung mempunyai problem menarik, karena tradisi
perang timbung mempunyai internalisasi nilai-nilai sosial dan kegamaan yang secara
khusus problem tersebut menjadi objek yang dirumuskan pada sub pembahasan
berikutnya.
Oleh karena itu, Internalisasi Nilai-nilai Sosial dan Keagamaan merupakan tujuan
penelitian ini. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji bagaimana internalisasi nilai-nilai
sosial dan kegamaan yang terdapat pada pelaksanaan tradisi perang timbung khususnya
di Masyarakat pejanggik Lombok Tengah. Internalisasi sebagaimana di kemukakan
menurut Reber, mengartikan bahwa internalisasi nilai sebagai menyatunya nilai dalam
diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai,
sikap, praktik dan aturan-aturan baku pada diri seseorang. Pengertian ini
mengisyaratkan bahwa pemahaman nilai yang diperoleh harus dapat dipraktikkan dan
berimplikasi pada sikap. Dengan demikian, internalisasi dalam kontek tradisi perang
timbung merupakan pemahaman masyarakat, interaksi, dan menggali nilai-nilai sosial
dan keagamaan yang termuat dalam pelaksanaan tradisi tersebut.3

Jadi, perilaku sosial-keagamaan adalah hubungan antara individu atau perilaku


individu antara individu dan lingkungannya, baik secara vertikal (hablumminallah yaitu
hubungan dengan ALLAH) maupun horizontal (hablumminannas yaitu hubungan
manusia dengan manusia).4 Dalam pelaksanaan perang timbung, semua masyarakat
pejanggik ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dari awal sampai
kepada kegiatan inti yaitu berkumpulnya masyarakat di bale belek untuk berd’oa
terlebih dahulu dengan dipimpin oleh pemuda adat serta pemuda yang ikut serta
mewaikili acara tersebut. Kemudian Baik itu pemuda, anak-anak, dan pemangku adat
yang ikut melaksanakan kegiatan Perang Timbung akan berbaris beriringan sebelum
kegiatan karnaval, kemudian mereka akan berjalan dari kerajaan pejanggik(kedaton)
menuju makam serewa tempat kegiatan perang timbung dilaksanakan. semua itu
merupakan interaksi yang dilakukan masyarakat baik sesama individu, individu dengan
kelompok dan kelompok dengan kelompok mereka semua saling merangkul agar
kegiatan tersebut bisa berjalan dengan baik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dimana teknik pengumpulan
data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai
laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kemudian penulisan ini
bersifat deskriptif kajian konseptual dengan memberikan penjelasan mengenai
gambaran tentang ciri-ciri suatu gejala yang di kaji berdasarkan literature yang ada.
Untuk memperoleh data-data yang akurat tentang sang tokoh terutama pemikirannya
maka harus dicari karya-karya yang ditinggalkan terutama buku-buku yang ditulis dan

3
Ibid, 35. “Jurnal Civic Education: Media Kajian Pancasila dan Kewarganegaraan.”
4
Mohammad Fahrur Rozi and Achmad Resa Fachrizi, “INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT DESA PONTEH PASCA PILKADA
PAMEKASAN 2018,” Aspirasi: Jurnal Ilmiah Administrasi Negara 4, no. 2 (2019): 1–8.

Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022 | 3
Internalisasi Nilai-Nilai Sosial Dan Keagamaan…..
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
harus dipegang keontetikannya baik dari sisi bahasa, pembuatannya, bentuknya
maupun sumbernya.5

HASIL DAN PEMBAHASAN


SEJARAH TRADISI PERANG TIMBUNG
Di Desa Pejanggik Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah telah
dilaksanakan adat perang timbung secara turun temurun. Pada hari Jumat bulan
keempat penanggalan Sasak, tradisi Perang Timbung akan dilaksanakan setahun sekali
tepatnya di makam Serewe tempat dimakam kan raja-raja pejanggik, antara lain Deneq
Mas Komala Sari, Deneq Mas Unda Putih, dan Deneq Mas Bekem Buta Intan Komala
Sari, terletak di makam Serewe. Makam-makam ini masih berdiri sampai sekarang.
Sebuah ritual yang disebut perang timbung bertujuan untuk mencegah bencana.
Dinamakan Perang Timbung karena pada saat pelaksanaan tradisi tersebut melibatkan
jajan yang dinamakan Timbung. Timbung merupakan sebuah jajanan yang terbuat
dari beras ketan dan santan kemudian ditempatkan di bambu sebelum dibakar.
Ritual selanjutnya adalah pengambilan air suci dari tujuh sumur di Dusun Lingkok Mas
(Dusun Toro) yang diambil pada malam Jumat. Sore hari setelah sholat jum’at, air suci
dari tujuh sumur suci tersebut ditarik oleh pejabat kerajaan sesuai tradisi. Raja
menghimbau warga dan pejabat kerajaan untuk berdoa, bertapa, membaca berzanji, dan
serakalan sebelum melaksanakan tradisi Perang Timbung. Acara kemudian ditutup
dengan doa-doa penutup yang dibacakan sebelum acara Perang Timbung dimulai.6

Kerajaan Selaparang, yang pada dasarnya merupakan bagian dari kerajaan


pejanggik. Di Pulau Lombok, mulai dari Desa Belongas hingga Tanjung Ringgik
merupakan merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Pejanggik, sebuah kerajaan yang
letaknya di pedalaman. Kerajaan Pejanggik didirikan oleh Deneq Mas Dewa Komala
Sempopo pada tahun 1458 M. Deneq Mas Dewa Komala Sempopo memerintah dari
tahun 1458-1518 M, digantikan oleh Deneq Mas Komala Sari yang memerintah dari
tahun 1518-1586 M, kemudian digantikan lagi oleh Deneq Mas Unda Putih pada tahun
1586-1649 M, kemudian digantikan lagi oleh Deneq Mas Bekem Buta Intan Komala Sari,
dan raja terakhir adalah Mas Panji Meraja Sakti pada tahun 1667-1696 M. Dengan
asumsi bahwa kerajaan Pejanggik berdiri pada tahun 1458 M oleh raja Deneq Mas Dewa
Komala Sempopo dan berakhir pada tahun 1696 M di bawah pemerintahan raja Mas
Panji Meraja Sakti, maka diperkirakan berlangsung selama kurang lebih 238 tahun. Pada
masa pemerintahan Deneq Mas Komala Sari, Islam masuk ke Pejanggik pada tahun
1506 Masehi. Akibatnya, nenek moyang mereka meninggalkan berbagai macam budaya
dan tradisi, mulai dari artefak dan adat istiadat. Perang timbung atau perang lemang
merupakan salah satu adat yang masih lestari di Desa Pejanggik. Seperti yang sudah
kita ketahui, tembung atau lemang adalah masakan yang terbuat dari beras ketan dan
santan yang kemudian dibungkus dengan daun pisang dan diletakkan di dalam
bambu sebelum dibakar.

Zaenudin mengklaim bahwa kerajaan Datu Mas Pemban Aji Meraja Kusuma
(Datu Mas Pemban Ali) adalah tempat dimulainya peristiwa Perang Timbung saat ini.
Sejak saat itu Raja Datu Mas Pemban Ali Meraja Kusuma mengalami mimpi yang

5
Koentjaraningrat 1983, “ Metode- metode Penelitian Mayarakat” PT.Gramedia :Jakarta.
6
Dozan, Wely, and Laily Fitriani. "Membangun Karakter Anak Usia Dini Melalui Nilai-Nilai Islam Dalam
Tradisi Perang Timbung." Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 1.1 (2020): 1-15.

4 | Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022
Denisa1, Mastika Anggun Solihan2
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
ditafsirkan oleh para petinggi kerajaan sebagai ramalan adanya Invasi atau Konflik
internal yang dibawa oleh kalangan atas kerajaan pejanggik. Oleh karena itu, Penafsir
mimpi menyarankan untuk berkorban agar hal itu tidak terjadi. Raja terkejut
mendengarnya karena sebelumnya dia percaya bahwa pengorbanan membutuhkan
hilangnya nyawa manusia. Peristiwa berskala besar, protes terhaap aborsi, atau bahkan
mengorbankan perang timbung dianggap sebagai apa yang dimaksud dengan pengorban
ini, Menurut Penafsir mimpi yang membantahnya. Berdasarkan pembicaraan Raja
dengan Pemang (Penggawa), Pendeta (Tabib), dan Pejabat Kerajaan, diputuskan bahwa
untuk mempersiapkan bencana, seseorang harus membuat jajan timbung atau jajan
lemang untuk berperang. Untuk mrngantisipasi bencana yang akan datang, warga desa
Pejanggik harus harus melakukan ritual ini, yang sekaligus sebagai persembahan kepada
sang Pencipta.

Menurut Zaenudin, ritual Perang Timbung dilakukan pada hari Jumat bulan
keempat. Sasak terletak di kuburan Serewe di Desa Pejanggik. Masyarakat Desa
Pejanggik melakukan berbagai macam ritual sebelum ritual tersebut dilaksanakan.
Pertama, mereka membuat tembung yang mengharuskan pembuatnya bersih atau telah
berwudhu. Selanjutnya, mereka mengambil air suci dari tujuh sumur keramat di
Dusun Lingkok Mas (Toro). Yang disemayamkan pada Jumat malam, air diarak oleh para
pejabat kerajaan dan masyarakat dari keraton Pejanggik menuju makam Serewe pada
sore hari setelah selesai sholat Jum'at. Raja mengimbau warga dan pejabat kerajaan
untuk berdo’a, bertapa, membaca berzanji, dan serakalan sebelum acara dimulai
dan kemudian dia tiba di makam ( makam serewa ). Acara kemudian ditutup dengan
doa. Doa terakhir dibacakan sebelum kontes lempar-melempar dengan makanan
timbung dimulai.7

MAKNA PELAKSANAAN PERANG TIMBUNG


Pelaksanaan Perang Timbung menandakan penolakan balaq sekaligus
mengharapkan ridho Tuhan Yang Maha Esa, serta menjalin silaturrahmi dan kerukunan
antara keluarga Raja dan rakyat Pejanggik tanpa ada perbedaan. Dalam proses
pelaksanaan Ritual Perang Timbung melalui tahapan-tahapan yaitu pertama tahap
persiapan yang terdiri dari: Musyawarah, menyiapkan perlengkapan, Kedua, tahap
pelaksanaan yang terdiri dari pengambilan air suci (air sereat), pembacaan
duntal/babat Lombok, meminta izin (pembuka upacara), pembacaan berzanzi sekaligus
serakalan, dan pembacaan doa dan zikiran. Ketiga, tahap penutup terdiri dari, pembasuh
muka dan pemberian tanda di kening (seraop dan sembek), acara saling lempar
melempar dengan menggunakan jajan timbung. Dalam berjalannya tahapan
pelaksanaan itu disaat pemuka adat dan kiai melakukan musyawarah, para remaja dan
remaji yang ada di makam melakukan duduk melingkar mengelilingi makam yang ada di
makam, remaja di sebelah utara dan remaji di sebelah selatan sebelum kegiatan lempar-
melempar dilakukan mereka masih bisa slaing hadap menghadap namun ketika
kegiatan lempar melempar tersebut di lakukan para remaja dan remajinya saling
membelakangi. Dan ketika melakukan tahapan kedua kegiatan itu dilakukan oleh
pemangku adat sehari sebelum acaranya berlansung. kemudian tahapan terakhir yaitu
tahap ke tiga sebelum tahapan ini dilakukan setelah pelaksanaan do’a.

7
Ibid.4-5. “MURHUM : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini”

Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022 | 5
Internalisasi Nilai-Nilai Sosial Dan Keagamaan…..
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx

gambar 1.2 proses pelaksanaan perang timbung di makam serewa.


Setiap tahapan di atas tidak dapat dipisahkan, karena setiap tahapan proses
pelaksanaan ritual perang timbung saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Ritual Perang Timbung sebagai salah satu wujud budaya yang dimiliki masyarakat suku
sasak juga sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila seperti, Nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan nilai Keadilan. Jadi kita bisa temukan nilai-
nilai sosial dan keagamaan yang terdapat didalam pelaksanaan tradisi perang timbung
ini melalui pandangan kita dari nilai yang terdapat didalam nilai Pancasila yang
sekaligus menerapkan nilai sosial dan keagamaan didalamnya.
Maka dapat kita katakan bahwa keterkaitan Interaksi manusia jenis ini dikenal
dengan hubungan horizontal antara sesama manusia (habluminannas), dan dicirikan
oleh suasana saling menghargai, dan saling membantu. Hubungan yang positif dan
efektif adalah hubungan yang meningkatkan perasaan gembira, damai, dan tenang serta
banyak manfaat lainnya.8 Dilihat dari sejarah di atas maka interaksi sosial dan
keagamaan dalam acaranya sangat erat sekali kaitannya, dilihat dari kegiatan sosialnya
bahwa interaksi masyarakat dalam kegaiatan karnaval tersebut saling rangkul, gotong
royong dan saling menghargai satu sam lain agar acaranya berjalan dengan damai, aman
dan lancar. makna kegiatan jika dilihat dari pandangan nilai agama kegiatan tersebut
tidak bisa terlepas karena acara perang timbung merupakan ungkapan rasa syukur
kepada sang pencipta yang telah memberikan rizki lebih lewat pertanian sehingga
masyarakat desa pejanggik melakukan perayaan kegiatan perang timbung ini, tidak bisa
di pisahkan pula dengan acara do’a, berzanji dan membaca ayat-ayat islami lainnya
untuk melengkapi rasa perasaan bahagia dan syukur masyarakat desa pejanggik.

NILAI-NILAI SOSIAL DAN KEAGAMAAN DALAM TRADISI PERANG TIMBUNG


Nilai adalah keyakinan yang ada dimana suatu sistem kepercayaan dijadikan dasar
bagi segala perbuatan baik, baik yang pantas maupun yang tidak patut. Anda tidak
membutuhkan bukti empiris, melainkan pengakuan terhadap nilai-nilai, untuk dapat
merujuk pada kebenaran keyakinan yang kredibel. Ketika dihadapkan pada sesuatu
dalam masyarakat atau dalam kehidupan komunal, kita membutuhkan seperangkat nilai
yang menjadi acuan ketika berhadapan dengan orang lain, yang disebut nilai-nilai sosial.
Menurut Suscianti, nilai sosial adalah ukuran dan evaluasi yang menjadi acuan bagi
kehidupan masyarakat. Nilai ini merupakan ukuran derajat hubungan individu dengan

8
Badrus Zaman, “INTERNALISASI NILAI-NILAI SOSIAL KEAGAMAAN PADA JAMA’AH TAREKAT AS-SYADZILIYAH DI
SUKOHARJO,” INSPIRASI (Jurnal Kajian Dan Penelitian Pendidikan Islam) 3, no. 2 (2020): 104–27.

6 | Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022
Denisa1, Mastika Anggun Solihan2
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
individu lain dalam masyarakat. Nilai-nilai sosial yang dipermasalahkan antara lain
gotong royong, perhatian, kepatuhan, dan kesetiaan.9

Keanekaragaman membuat interaksi sosial menjadi tidak mungkin, Hal ini terlepas
dari keragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan agama yang telah dijelaskan di atas.
Keragaman negara dapat memperkuat atau bahkan menghancurkan kohesi sosial.
Institusi pendidikan sebagai komunitas sosial karenanya memainkan peran penting
dalam mengkomunikasikan nilai-nilai yang beragam ini. Dengan demikian, kita dapat
meminimalisir permasalahan yang sering muncul dalam komunitas sosial, seperti
rusaknya koeksistensi, subordinasi terhadap minoritas, kejujuran, dan perilaku
intoleran terhadap kelompok lain.10

Oleh karena itu, baik atau buruknya perilaku manusia sangat tergantung pada
kualitas dan kuantitas nilai-nilai agama yang diresapi/dihayati dalam diri manusia.
Semakin tinggi kualitas nilai-nilai agama yang terinternalisasi dalam diri seseorang,
maka semakin banyak individualitas dan sikap religius yang secara alami muncul dan
membentuk kepribadian tersebut. Dan begitu sikap religius/keagamaan secara nyata
dibentuk menjadi karakter, maka nilai-nilai religius menjadi inti nilai, atau pedoman
terpenting dalam menyikapi segala hal dalam kehidupan.11
Adapun nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam Ritual Perang Timbung
berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Pejanggik Kecamatan Praya
Tengah Kabupaten Lombok Tengah, yaitu:
1) Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Wujud nilai-nilai yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu
beribadah sesuai agama masing-masing: dan sikap toleransi dengan cara
menghormati, bekerjasama, saling membantu, dan bersikap adil kepada semua tanpa
membedakan golongan, agama, suku, bangsa12. Nilai ketuhanan dalam Ritual Perang
Timbung Nampak dalam proses pelaksanaan berikut ini:
a. Pengambilan air suci (aiq sereat) : dilakukan oleh Bapak Zainudin selaku ketua
adat sebagai alat untuk memercikkan disekitar makam serewa sebagai tanda
permohonan izin melaksanakan ritual.
b. Pembacaan duntal/babat Lombok : dilakukan oleh Bapak Zainudin selaku ketua
adat untuk mengkaji nilai-nilai kehidupan pada malam hari sebelum Ritual
Perang Timbung dilaksanakan.
c. Meminta izin (pembuka upacara) : dilakukan oleh Bapak Satrinade (juru kunci
makam) dengan tujuan agar Ritual Perang Timbung terlaksana dengan lancer dan
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan ketika upacara ritual berlangsung.
d. Pembacaan Berzanji : dilakukan oleh Amaq Mahnep sebagai perwujudan sikap
religious untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan acara yang dilakukan
berjalan lancar serta diberkahi oleh Allah AWT.

9
Ahmad Sanusi and Buana Sari, “Internalisasi nili-nilai sosial melalui tradisi begawe untuk meningkatkan
keterampilan sosial anak usia dini disuku sasak,” PAUDIA, Volume 9, No. 1, juli 2020, hal. 1-16.
10
Mifahur Rohman dan Mukhibat, “Internalisasi Nilai-Nilai Sosio-Kulturl
Berbasis Etno-Religi Di Man Yogyakrta Iii” , Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
11
Muhammad Salman Alfarizi, Farid Arrasid, dan Imam Syafi’I, “Strategi Internalisasi Nilai Keagamaan pada
Siswa Sekolah Menengah Pertama di Masa Covid-19”, Belajea : jurnal pendiddikan islam Volume 6, Number 2,
2021 | page: 107-120
12
Khaelan. 2010. Pendidikan Pancasila, Paradigma : Yogyakarta.

Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022 | 7
Internalisasi Nilai-Nilai Sosial Dan Keagamaan…..
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
e. Pembacaan do’a dan zikiran: dilakukan oleh Hj. Mastur agar terhindar dari mara
bahaya, penyakit dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT agar acara
tersebut dapat dilakukan dengan lancar, baik, dan dilindungi oleh Allah SWT.13
Dilihat dari nilai Pancasila yang terkandung didalam nilai ketuhanan bahwa dalam
tahapan-tahapan yang dilakukan di ritual perang timbung mengandung unsur
keagamaan yang tidak dapat dipisahkan dimana disaat pelaksanaan pengambilan air
suci ( air sereat ) para pemangku atau pemuka adat yang ditunjuk untuk pengambilan
air tersbut melakukan sembahyang terlebih dahulu dalam waktu semalam dan
kemudian diberikan do’a. Dan pemuka upaca meminta izin terlebih dahulu dalam
pengambilan air suci yang dilakukan di pada hari jum’at waktu pelaksanaan upacara
tersbut dengan tujuan agar menghindari musibah atau balaq di kemudian harinya.
dengan pembacaan berzanji dan serakalan merupakan salah satu upaya masyarakat
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. agar acara yang dilakukan selalu diberkah.

2) Nilai Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab


Wujud nilai-nilai yang terkandung dalam sila Nilai Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab yaitu sikap menaati aturan dalam masyarakat, mengikuti persamaan derajat,
persamaan hak dan kewajiban hak asasi setiap manusia dalam segala bidang tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, kedudukan sosial dan
sebagainya. Nilai Kemanusiaan yang Nampak dalam Ritual Perang Timbung yaitu:14
Acara pembasuh muka dan pemberian tanda dikening (seraup dan sembeq) : semua
masyarakat pejanggik tanpa terkecuali dapat membasuh muka dan mendapatkan tanda
dikening tanpa membedakan golongan dan jenis kelamin.
3) Nilai Persatuan Indonesia
Nilai Persatuan Indonesia yang Nampak dalam Ritual Perang Timbung yaitu:
a. Gotong royong: masyarakat pejanggik melakukan gotong royong dalam
membersihkan arena makam serewa agar Ritual Perang Timbung berjalan
dengan lancar.
b. Membuat jajan timbung secara bersama-sama: maksudnya untuk mempererat
tali silaturrahmi antara masyarakat Pejanggik.
4) Nilai Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Adapun nilai musyawarah yang Nampak dalam acara Ritual Perang Timbung
yaitu: Musyawarah adalah satu bulan sebelum acara Ritual Perang Timbung
dilaksanakan para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan panitia lainnya
berkumpul untuk bermusywarah untuk membahas acara dalam rangka Ritual Perang
Timbung.15 oleh karena itu dalam setiap kegiatan yang akan diselenggarakan harus
terlebih dahulu di runding melalui musyawarah yang diwakili dengan mementuk panitia
yang menyangkup dari tokoh adat, agama, pemuda dan mayarakat yang tujuannya agar
interaksi sosial yang dilakukan oleh panitia dapat di beritahukan kepada masyarakat.
5) Nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

13
Riamin, Mursini, dan Mabrur, Skripsi Nilai-Nilai Pancasila Yang Terkandung Dalam Ritual Perang Timbung Di
Desa Pejanggik Kec.Praya Tengah Kab. Lombok Tengah : Unriversitas Mataram.
14
Darmodiharjo.Darji.Dkk. 1991 . Santiaji Pancasila : Usaha Nasional : Surabaya
15
Riamin, Mursini, dan Mabrur, Skripsi Nilai-Nilai Pancasila Yang Terkandung Dalam Ritual Perang Timbung Di
Desa Pejanggik Kec.Praya Tengah Kab. Lombok Tengah : Unriversitas Mataram.

8 | Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022
Denisa1, Mastika Anggun Solihan2
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
Nilai keadilaan memiliki sikap moral yang mencerminkan sikap adil terhadap
sesame, baik secara materil, spiritual dan menghormati hak orang lain. Nilai Keadilan
Sosial yang Nampak dalam Ritual Perang Timbung sebagai berikut.16 Acara pembasuh
muka dan pemberian tanda di kening: maksudnya setiap masyarakat berhak meraskaan
dan ikut serta dalam pemberian (sembeq) dan seraup itu masyarakat tidak pernah
membedakan usia baik di kalanagan anak-anak, pemuda dewasa dan lansia mereka
semua dipersilahkan. Dengan tujuan disaat melakukan tahapan tersebut masyarakat
meyakini bahwa disana mereka berdo’a dana pa yang di hajatkan semoga kedepannya
bisa berjalan lebih baik lagi atau meniatkan yang terbaik dalam hidup mereka.
Jadi dapat kita lihat dari penelitian Wijayanti yang telah dilakukan, tentang Pola
Komunikasi Keluarga dalam membangun Akhalakul Karimah, dikatakan bahwa keluarga
sebagai lembaga sosial yang khas karena dalam keluarga anggotanya terdiri dari
individu-individu yang mempunyai hubungan darah sangat erat, tetapi juga merupakan
bagian dari masyarakat yang lebih besar. Di samping itu, keluarga berkembang dalam
semua lapisan masyarakat, masyarakat dapat memperoleh dukungan yang diperlukan
dari anggota keluarga, sebaliknya keluarga hanya dapat bertahan kalau didukung oleh
masyarakat yang lebih luas (Wijayanti: 2015)17.Sangat penting untuk dipahami bahwa
kelima prinsip ini terintegrasi dan saling terkait. Pancasila ibarat sebuah pedoman yang
dapat menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Pelaksanaan Pancasila yang baik akan menciptakan keharmonisan dalam kepribadian
Pancasila dan terwujudnya masyarakat yang berkemajuan. Kehidupan berbangsa dan
bernegara didasarkan pada nilai-nilai pancasila. Fakta ini seharusnya membantu
mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Prinsip nilai Sila merupakan perekat
yang mempersatukan keragaman agama.18 Oleh karena itu Kaitannya dengan
pelaksanaan perang timbung yang bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi baik
itu di lingkungan keluarga, maupun masyarakat yang ada di lingkungan desa pejanggik
atau di luar desa dapat merasaknnya dengan cara saling memberi jajan timbung itu atau
ikut serta dalam pembuatannya yang dilakukan semalaman sehingga terjalin hubungan
dan interaksi untuk mempererat kekeluargaan.
1. Interaksi antar individu
Sebelum menjalani interaksi yang lebih luas dalam masyarakat, perlu
dibangun terlebih dahulu bagaimana berinteraksi antar individu. Interaksi ini
adalah awal dari upaya untuk meningkatkan interaksi yang lebih jauh. Dalam
aspek ini Allah SWT berfirman:
Artinya: “jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri
dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.” (Q.S Al-
Isra’: 7)
Imam al-Hafidz Ibnu Kasir menafsirkan ayat ini bahwasannya setiap sesuatu
yang telah manusia lakukan baik dalam hal kebaikan atapun kemasalahatan
kepada orang lain, maka baginya berhak atas kebaikan dan kemaslahatan yang
serupa dengan apa yang telah ia lakukan. Begitupun sebaliknya.
2. Interaksi antar keluarga

16
Khaelan . 2010 . Pendidikan Pancasila , Paradigma : Yogyakarta.
17
Ditha Prasanti and Kismiyati El Karimah, “Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan Dalam Membentuk Komunikasi
Keluarga Islami Di Era Digital,” INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 12, no. 1 (2018): 195–212.
18
Pakpahan, Gernaida Krisna, et al. "Internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya mencegah radikalisme."
(2021): 435-445.

Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022 | 9
Internalisasi Nilai-Nilai Sosial Dan Keagamaan…..
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
Bagian yang kedua dari interaksi masyarakat adalah interaksi yang tejadi dalam
lingkup keluarga. Diamana interaksi in sebagai jalan untuk menumbuhkan
hubungan interaksi yang lebih jauh. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu)
Harun, saudaraku.” Dalam ayat ini ‘Ali ash-Shabuni menjelaskan bahwasannya
Nabi Musa meminta kepada Allah SWT untuk menjadiakannya harun sebagai
saudara guna untuk berinteraksi dan menolongnya dalam menjalankan misi
Allah yaitu berdakwah kepada kaumnya. Dan Nabi Musa meminta kepada Allah
dari kalangan orang terdekat, yaitu dari keluarganya.
3. Interaksi antar masyarakat
Berikutnya interaksi sosial adalah interaksi terhadap masyarakat, disinilah
puncak interaksi sosial yang sebenarnya, karena sebagai manusia sosial harus
berinteraksi secara jauh dan menyeluruh, baik sesama muslim ataupun non
muslim, sesama budaya ataupun beda budaya, maupun adat. Karena disinilah
manusia akan menemukan berbagai pemikiran dan tindakan-indakan yang
berbeda, bisa saja saling bertentangan satu sama lain. Imam ibnu Katsir juga
tidak mengkhususkan bagi setiap manusia yang muslim agar berinteraksi dengan
sesama muslim, akan tetapi ayat tersebut berbiacara tentang interaksi yang
bersifat universal (menyeluruh) baik interaksi sesama muslim atau berinteraksi
dengan selain muslim. Hanya saja Allah telah menjanjikan bagi setiap individu
maupun kelompok yang berinteraksi dengan baik yang di landasi dengan
keimanan, maka Allah akan memberinya imbalan di akhirat kelak berupa surga.19
PROSES PELAKSANAAN RITUAL PERANG TIMBUNG
Dalam proses pelaksanaan Ritual Perang Timbung akan melakukan beberapa
tahapan-tahapan yaitu sebagai berikut: Tahapan pertama persiapan yang terdiri dari:
Musyawarah Menyiapkan perlengkapan,Tahapan Kedua pelaksanaan yang terdiri
dari:Pengambilan air suci (air seret), Pembacaan duntal/babat Lombok ,Meminta izin
(pembuka upacara), Pembacaan berzanji sekaligus serakalan,Pembacaan do’a dan
zikiran. Tahapan Ketiga penutup terdiri dari : Pembasuh muka dan pemberian tanda
dikening (seraop dan sembek) ,acara saling lempar-melempar dengan menggunakan
jajan Timbung yang merupakan alat perang pada acara perang timbung berlangsung.

gambar 3.4 pembutan jajan timbung.

19
Al, Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an. "KONSEP INTERAKSI SOSIAL DALAM AL-QUR’AN."

10 | Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022
Denisa1, Mastika Anggun Solihan2
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
Adapun proses pembuatan dari jajan timbung itu pertama tama kita siapkan
bahan-bahannya seperti beras ketan,santan,daun pisang, garam ,dan bambu. setelah
bahan telah siap maka kita bersihkan lubang bambu dengan pelapah pisang dan
dilanjutkan dengan memasukkan daun pisang dengan mengikuti lubang bambu
tersebut. Setelah itu kita mencuci beras ketan dan dilanjutkan dengan menyiapkan
santan yang telah dicampur oleh garam secukupnya. kemudian masukkan beras ketan
kelubang bambu yang sudah dimasukkan daun pisang, kemudian bambu tersebut
ditaruh dan disejajarkan dikayu yang dibuat berbentuk persegi panjang, kemudian
setelah itu tuangkan santan yang telah dicampur garam ke lubang bambu hingga penuh
lalu ditutup dan seterusnya lalu nyalakan api dan tunggu sampai matang. Uniknya dari
pembuatan Timbung ini dimasak tidak menggunakan panic atau dandang seperti
biasanya orang masak. Proses ini dapat dilakukan bermalam-malam, sampai selesai.
Bahkan hingga begadang pun dilakukan untuk proses pemasakan Timbung ini. Timbung
ini merupakan sebuah jajan khas Desa Pejanggik Kabupaten Lombok Tengah yang hanya
ada satu tahun sekali. Namun masyarakat Desa Pejanggik sangat antusias dalam
pembuatannya meskipun lumayan rumit prosesnya. Tapi hebatnya juga adalah Timbung
yang dibuat ini dijadikan sebagai alat perang dalam upacara Tradisi Perang Timbung.
Sebelum dilakukannya perang tersebut, warga juga menggelar prosesi adat, warga
masyarakat desa pejanggik memulai acara Perang Timbung ini dengan mengarak air
seret yang disemayamkan selama satu malam di Bale Beleq untuk diarak menuju
Makam Serewa. Berbagai rangkaian acara diluar acara utama, sudah dipersiapkan oleh
panitia yang sudah dibentuk sebelumnya oleh pihak Pemerintah Desa (Pemdes).
Diantara kegiatannya antara lain, pepaosan dan zikir zaman yang akan digelar malam
sebelum hari pelaksanaan Perang Timbung tersebut.Selain itu akan digelar juga
Karnaval Budaya yang akan diikuti oleh perwakilan masing-masing dusun yang ada di
Desa pejanggik Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah. Karnaval
dilaksanakan pada hari jumat, tepatnya setelah selesai solat jum’at dihari H pelaksanaan
Perang Timbung. Rutenya itu dari Pejanggik ke bale Beleq kemudian ke makam Serewa.
Karnaval ini dilakukan sebagai ajang perlombaan.

Kemudian Setelah itu, barulah rangkaian acara utama dimulai, yang dimana pada
acara utama itu ada permusyawarahan dan menyiapkan segala bentuk perlengkapan,
kemudian setelah itu ada pembacaan berzanji dan juga pembacaan sholawat bersama
hingga menuju ke puncak acara yakni perang Timbung pada sore harinya.kemudian
stelah itu barulah dilaksanakan acara pembasuh muka dan pemberian tanda di kening
(seraop dan sembeq) pada masyarakat Desa Pejanggik Kecamatan Praya Tengan
Kabupaten Lombok Tengah di Makam Serewa. Pada rangkaian acara utama ini, terdiri
dari beberapa rangkaian sambutan dari pejabat yang hadir pada acara
tersebut.kemudian barulah acara Perang Timbung dimulai, saat Perang Timbung dimuali
terune dan dedare duduk bersama dan si cowok melempar cewek dengan timbung.

Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022 | 11
Internalisasi Nilai-Nilai Sosial Dan Keagamaan…..
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx

gambar 5.6 proses pelaksanaan perang timbung.

Berbicara tentang eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, tidak terlepas dari sebuah
pegangan yang menarik kesimpulan bahwasanya manusia adalah bagian dari
kebudayaan dan perkumpulan dengan makhluk lainnya dengan berbagai macam
interaksi yang terjadi. Jika kita menilik sedikit tentang antropologi, sangat erat dengan
sosial, karena selalu bersubstansi dengan manusia itu sendiri, dimana antropologi
membahas tentang manusia dan tindakan-tindakannya. Kemudian di dalam antropologi
disematkan cabang-cabangnya seperti etnologi yang merupakan cabang antropologi
dengan membahas tentang kehidupan manusia dari segi suku-suku, pola tindakan,
sistem sosial, politik maupun adat istiadat secara umumnya, karena etnologi selalu
membahas tentang dinamika kebudayaan yang berlangsung didalam lintas
masyarakat.20 Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa internalisasi masyarakat dalam
kegiatan tradisi perang timbung di atas sangat terlihat sekali baik itu dari pandangan
sejarah sampai perubahan dinamika yang dilalui masyarakat dari waktu ke waktu tapi
interaksinya tetap berjalan sampai sekarang.

20
Rohimi S. (2020). GENEALOGI DAN RITUALISME TRADISI PERAYAAN PERANG TIMBUNG. Sosioglobal:
Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, 4(2), 117-129.

12 | Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022
Denisa1, Mastika Anggun Solihan2
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
KESIMPULAN

Berdasarkan kajian analisis di atas bahwa, tradisi perang timbung mempunyai


nilai-nilai sosial terutama mampu membentuk kepribadian masyarakat seperi,
menguatkan nilai silaturrahim, mempererat solidaritas sosial masyarakat,
meningkatkan kepedulian antar sesama dan tidak menimbulkan sikap ekstrim dan
perpecahan. Di satu sisi, niai kegamaan tidak pernah terlepas dari berbagai praktik
ritual keagamaan, yang dilakukan tokoh agama, para kiyai, pemangku adat yang
dilakukan sebelum perang timbung dimulai. Ritual keagamaan pembacaan dzikir, do’a
al-barzanji, pembacaan khusus dari pemangku adat perang timbung yang tentu
mempunyai nilai-nilai filosofis salah satunya adalah untuk mempersatukan keyakinan
masyarakat desa pejanggik. Perang timbung ditinjau dalam nilai-nilai secara teoritik
mengandung ada hubungan dan korelasi antara nilai sosial dan keagamaan. Dalam
bentuk praktik, implementasi dari tradisi perang timbung secara garis besar mampu
meningkatkan kehidupan bersosial, dengan berimplikasi upaya tersebut menjadi
interaksi dan tranformasi seiring dinamika zaman yang terus berkembang. Bisa dilihat
dari seiring berjalannya waktu bahwa pelaksanaan acara perang timbung masih tetap
sama, interaksi masyarakat masih bisa selalu di pertahankan baik antara yang satu
dengan yang lain atau yang dikenal dengan interaksi antar individu dan kelompok.

Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022 | 13
Internalisasi Nilai-Nilai Sosial Dan Keagamaan…..
doi: 10.35316/lisanalhal. vxix.xx-xx
DAFTAR PUSTAKA
Julien Biringan, Jurnal Civic Education: Media Kajian Pancasila dan Kewarganegaraan
Vol. 4 No. 2 Tahun 2020 | 34 – 42, http://ejournal.unima.ac.id/index.php/jce
Dozan, Wely, and Laily Fitriani. "Membangun Karakter Anak Usia Dini Melalui Nilai-Nilai
Islam Dalam Tradisi Perang Timbung." Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini 1.1 (2020): 1-15.
Mohammad Fahrur Rozi and Achmad Resa Fachrizi, “INTERNALISASI NILAI-NILAI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU SOSIAL
KEAGAMAAN MASYARAKAT DESA PONTEH PASCA PILKADA PAMEKASAN
2018,” Aspirasi: Jurnal Ilmiah Administrasi Negara 4, no. 2 (2019): 1–8.
Koentjaraningrat 1983, “ Metode- metode Penelitian Mayarakat” PT.Gramedia :Jakarta.
Badrus Zaman, “INTERNALISASI NILAI-NILAI SOSIAL KEAGAMAAN PADA JAMA’AH
TAREKAT AS-SYADZILIYAH DI SUKOHARJO,” INSPIRASI (Jurnal Kajian Dan
Penelitian Pendidikan Islam) 3, no. 2 (2020): 104–27.
Ahmad Sanusi and Buana Sari, “Internalisasi nili-nilai sosial melalui tradisi begawe
untuk meningkatkan keterampilan sosial anak usia dini disuku sasak,” PAUDIA,
Volume 9, No. 1, juli 2020, hal. 1-16.
Mifahur Rohman dan Mukhibat, “Internalisasi Nilai-Nilai Sosio-Kulturl
Berbasis Etno-Religi Di Man Yogyakrta Iii” , Edukasia: Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam
Muhammad Salman Alfarizi, Farid Arrasid, dan Imam Syafi’I, “Strategi Internalisasi Nilai
Keagamaan pada Siswa Sekolah Menengah Pertama di Masa Covid-19”, Belajea :
jurnal pendiddikan islam Volume 6, Number 2, 2021 | page: 107-120
Khaelan. 2010. Pendidikan Pancasila, Paradigma : Yogyakarta.
Riamin, Mursini, dan Mabrur, Skripsi Nilai-Nilai Pancasila Yang Terkandung Dalam Ritual
Perang Timbung Di Desa Pejanggik Kec.Praya Tengah Kab. Lombok Tengah :
Unriversitas Mataram.
Darmodiharjo.Darji.Dkk. 1991 . Santiaji Pancasila : Usaha Nasional : Surabaya
Ditha Prasanti and Kismiyati El Karimah, “Internalisasi Nilai-Nilai Keagamaan Dalam
Membentuk Komunikasi Keluarga Islami Di Era Digital,” INFERENSI: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan 12, no. 1 (2018): 195–212.
Pakpahan, Gernaida Krisna, et al. "Internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya
mencegah radikalisme." (2021): 435-445.
Al, Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an. "KONSEP INTERAKSI SOSIAL DALAM AL-QUR’AN."
Rohimi S. (2020). GENEALOGI DAN RITUALISME TRADISI PERAYAAN PERANG
TIMBUNG. Sosioglobal: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, 4(2), 117-129.

14 | Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, x(x), xx-xx, Juni 2022

You might also like