Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

Referat

Acute Kidney Injury

Disusun oleh:
Siti Jamalia
221011101087

Dokter Pembimbing:
dr. Achmad Syaiful Ludfi, Sp. PD

LAB/KSM ILMU PENYAKIT DALAM


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2023
Referat

Acute Kidney Injury

Disusun oleh:
Siti Jamalia
222011101087

Dokter Pembimbing:
dr. Achmad Syaiful Ludfi, Sp. PD

LAB/KSM ILMU PENYAKIT DALAM


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2023
BAB 1. PENDAHULUAN
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang
sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan
dari tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah. Dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif.
Apabila kedua ginjal ini karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi
kematian (Sylvia,2012;Verdiansyah, 2016).
Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan sebagai
penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini
biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia
(peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal
terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan
adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin. Acute kidney injury (AKI),
yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA) atau acute renal failure
(ARF) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun
terakhir menunjukkan peningkatan insidensi (KDIGO, 2012).
Diagnosis dini, modifikasi pola hidup dan pengobatan penyakit yang
mendasari sangatlah penting pada pasien dengan AKI. AKI merupakan penyakit life
threatening disease, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga
dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu
memperbaiki kualitas hidup penderita (KDIGO, 2012).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi ginjal
Setiap manusia mempunyai dua ginjal yang terletak retroperitoneal dalam
ronAKI abdomen dan berat masing-masing ± 150 gram. Ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dekstra yang besar. Setiap ginjal
terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa. Korteks renalis terdapat di
bagian luar yang berwarna cokelat gelap dan medula renalis di bagian dalam
berwarna cokelat lebih terang. Bagian medula berbentuk kerucut disebut pelvis
renalis, yang akan terhubung dengan ureter sehingga urin yang terbentuk dapat lewat
menuju vesika urinaria. Terdapat kurang lebih satu juta nefron yang merupakan unit
fungsional ginjal dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari glomerulus, tubulus
kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distalis dan tubulus
kolektivus. Glomerulus merupakan unit kapiler yang disusun dari tubulus membentuk
kapsula Bowman. Setiap glomerulus mempunyai pembuluh darah arteriola afferen
yang membawa darah masuk glomerulus dan pembuluh darah arteriola efferen yang
membawa darah keluar glomerulus. Pembuluh darah arteriola efferen bercabang
menjadi kapiler peritubulus yang mengalir pada tubulus. Di sekeliling tubulus ginjal
tersebut terdapat pembuluh kapiler, yaitu arteriola yang membawa darah dari dan
menuju glomerulus, serta kapiler peritubulus yang mengalir pada jaringan ginjal
(Sylvia,2012;Verdiansyah, 2016).

2.2 Fisiologi ginjal


Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh
dengan cara membuang sisa metabolisme dan menahan zat – zat yang diperlukan oleh
tubuh. Fungsi ini amat penting bagi tubuh untuk menjaga hemeostatis. Homeostatis
amat penting dijaga karena sel – sel tubuh hanya bisa berfungsi pada keadaan cairan
tertentu. Walaupun begitu, ginjal tidak selalu bisa mengatur keadaan cairan tubuh
dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal, ginjal mengeluarkan minimal 0,5 liter
air per hari untuk kebutuhan pembuangan racun. Hal ini tetap harus dilakukan
walaupun tubuh berada dalam kondisi dehidrasi berat (Sylvia,2012).
Secara singkat, kerja ginjal bisa diuraikan menjadi :
Mempertahankan keseimbangan kadar air (H2O) tubuh
Mempertahankan keseimbangan osmolaritas cairan tubuh
Mengatur jumlah dan konsentrasi dari kebanyakan ion di cairan ekstraseluler. Ion –
ion ini mencakup Na+, Cl-, K+, Mg2+, SO4 +, H+, HCO3 -, Ca2+, dan PO4 2-. Kesemua
ion ini amat penting dijaga konsentrasinya dalam kelangsungan hidup organisme.
Mengatur volume plasma
Membantu mempertahankan kadar asam – basa cairan tubuh dengan mengatur
ekskresi H+ dan HCO3-
Membuang sisa metabolisme yang beracun bagi tubuh, terutama bagi otak
Membuang berbagai komponen asing seperti obat, bahan aditif makanan, pestisida,
dan bahan lain yang masuk ke tubuh
Memproduksi erythropoietin
Memproduksi renin untuk menahan garam
Mengubah vitamin D ke bentuk aktifnya.

2.3 Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti
kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive
(ADQI) pada tahun 2002 sepakat menAKInti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian
istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat
awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal (KDIGO, 2012).
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus
mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal, 2)
penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat
pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk
mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal.
Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal,
dan penyebab pasca-renal (USRDS, 2015).
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal
yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas
dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan
urine output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa
perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera ginjal, tetapi
juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau penurunan aliran
darah ginjal (KDIGO, 2012).
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi :
 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu 48
jam atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui
atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut ADQI mengeluarkan
sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria
UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori
yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal seperti terlihat dalam berikut

Kriteria untuk diagnosis dan klasifikasi AKI sesuai rekomendasi Acute


Dialysis Quantitative Initiative (ADQI) yang pada tahun 2002 memperkenalkan
istilah 'acute kidney injury' serta memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhi perjalanan penyakit AKI, dan untuk pertama kalinya dipresentasikan
pada International Conference on Continuous Renal Replacement Therapies di San
Diego pada tahun 2003.
Tabel 2.l Kriteria RIFLE Menurut ADQI

Kriteria LFG Kriteria Urine Output (UO)


Risk
Kenaikan SCr 1,5 × UO < 0,5 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 25% (selama 6 jam)
Injury
Kenaikan SCr 2 × UO < 0,5 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 50% (selama 12 jam)
Failure
Kenaikan SCr 3 × UO < 0,3 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 75% (selama 24 jam)
atau SCr ≥ 4 mg/dL atau anuria dalam 12 jam

Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4 minggu)
ESRD End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan
*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN) menggunakan istilah
AKI untuk menggambarkan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu proses yang
menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikan sebagai
peningkatan kreatinin serum (≥ 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau penurunan
produksi urin (keadaan oliguria < 0,5 ml/kg/jam lebih dari 6 jam). Kriteria AKI
menurut AKIN dibagi atas beberapa tahapan seperti pada Tabel 2.2 dibawah ini
(USRDS, 2015).

Tabel 2.2 Kriteria AKI Menurut AKIN

Tahap Kriteria Klinis Kriteria Jumlah Urine


1 (RIFLE – R) Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL atau < 0,5 ml/kg/jam selama
peningkatan kreatinin serum 1,5 sampai 2 kali 6 jam
dari keadaan normal

2 (RIFLE – I) Peningkatan kreatinin serum 2 sampai 3 kali < 0,5 ml/kg/jam


dari keadaan normal selama 12 jam
3 (RIFLE – F) Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari < 0,3 mL/kg/jam selama
normal atau 24 jam atau
kreatinin serum > 4 mg/dL dengan peningkatan anuria selama 12 jam
akut > 0,5 mg/dL

Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria RIFLE.
Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l, 2 dan 3. Pada
kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena dianggap sebagai
prognosis, bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan pada kriteria laju filtrasi
glomerulus (LFG) dilakukan berdasarkan penelitian terbaru bahwa kenaikan serum
kreatinin sebesar 0,3 mg/dl sudah meningkatkan angka kematian 4 kali lebih banyak,
serta sulitnya penggunaan LFG sebagai parameter penurunan fungsi ginjal, terutama
jika pasien berada dalam keadaan kritis atau dirawat di ruang intensif (USRDS,
2015).

2.4 Epidemiologi

Data epidemiologi mengenai AKI sulit ditemukan, antara lain dikarenakan


tidak adanya keseragaman mengenai definisi dan variasi gejala klinik yang luas
sehingga sulit untuk membuat review kepusatakaan atau meta analisis. Dengan
digunakannya kriteria RIFLE sebagai dasar diagnosis, ternyata ditemukan angka
kejadiannya jauh meningkat. Angka kejadian AKI dapat dikelompokkan menjadi
yang terjadi di populasi umum (community based) dan yang terjadi di rumah sakit
(hospital based).
Tergantung kepada definisi yang digunakan, AKI merupakan komplikasi yang
terjadi pada 5-7% pasien yang masuk ke rumah sakit serta 30% pasien yang dirawat
di ICU. Dari seluruh kasus AKI, AKI pre renal mencakup sekitar 55%, AKI intrinsik
sekitar 40%, sedangkan AKI post renal mencakup 5% kasus.
Pada sebuah penelitian di Inggris, dengan kriteria RIFLE dilaporkan angka
kejadian AKI di populasi umum yang cukup tinggi, yaitu 1.811 kasus/juta penduduk
dan acute on CKD sebesar 336 kasus/juta penduduk. Angka kejadian AKI yang
terjadi di rumah sakit juga dilaporkan mencapai 180 kasus dari 1000 pasien yang
dirawat.
2.5 Etiologi
Etiolog i AKI dibagi berdasarkan lokasi terjadinya kelainan dan gambaran
AKI yang ditimbulkan, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal seperti terlihat pada
Tabel 3. Angka kejadian etiologi prerenal mencapai 70% dari seluruh AKI yang
terjadi di luar rumah sakit dan 40% yang terjadi di dalam rumah sakit. Etiologi AKI
prerenal yang terjadi di luar rumah sakit biasanya disebabkan oleh diare, muntah-
muntah, demam, dan kekurangan cairan (cth: perdarahan). Pada AKI prerenal yang
terjadi di dalam rumah sakit paling sering disebabkan oleh sepsis dan gagal jantung.
Etiologi intra renal dapat disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi intra
renal, yaitu di tubulus, parenkim, glomerulus, dan di pembuluh darah renal. Etiologi
intra renal dapat terjadi pada penderita di dalam rumah sakit atau merupakan
kelanjutan proses AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit dikarenakan
keterlambatan mendapatkan terapi sehingga berlanjut menjadi tubular nekrosis akut
(ATN). Penyebab tersering ATN adalah sepsis (50%), nefrotoksik (35%) dan keadaan
iskemia (15%) (Roesli, 2008).
Etiologi post renal dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran kemih
yang terjadi di ureter, pelvis renal, uretra, dan vesika urinaria. Pada keadaan obstruksi
terjadi peningkatan tekanan dalam kapsula bowman dan penurunan tekanan
hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Kejadian AKI post renal lebih sering
terjadi pada laki-laki dengan usia lanjut, dengan adanya pembesaran prostat, atau
dengan riwayat batu saluran kemih. Pada wanita, obstruksi sering terjadi karena
adanya keganasan yang menimbulkan obstruksi pada saluran kemih (Roesli, 2008).
AKI Pre Renal :
1. Hipovolemia
a. Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
b. Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
c. Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM),
hipoadrenalisme.
d. Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
2. Penurunan cadiac output:
a. Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
b. Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
3. Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
a. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
b. Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, tacrolimus,
amfoterisin
c. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
4. Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase inhibitor,
ACE inhibitor
5. Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia
AKI Intrinsik :
1. Obstruksi vaskular renal (bilateral atau unilateral)
a. Obstruksi arteri renal: plak arteriosklerotik, trombosis, emboli, aneurisma, vaskulitis
b. Obstruksi vena renal: trombosis, kompresi
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular renal
a. Glomerulonefritis dan vaskulitis
b. Sindrom hemolitik uremik, TTP, DlC, kehamilan toksik, hipertensi, nefritis radiasi,
SLE dan skleroderma
3. Nekrosis tubular akut
a. lskemik akibat AKI pre renal (hipovolemik, penurunan cardiac output, vasokonstriksi
renal, vasodilatasi sistemik), komplikasi obstetri (ruptur plasenta, perdarahan post
partum)
b. Toksin
❖ Eksogen: kontras, siklosporin, antibiotik (misalnya aminoglikosida), kemoterapi
(misalnya cisplatin), bahan organik (misalnya etilen glikol), asetaminofen.
❖ Endogen: rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, diskrasia sel plasma
(misalnya mieloma)
4. Nefritis interstitial
1. Alergi antibiotik (misalnya β laktam, sulfonamida, trimetoprim, rifampisin), anti
inflamasi non steroid, diuretik, kaptopril
2. lnfeksi bakteri (misalnya pielonefritis akut, leptospirosis), cytomegalovirus, jamur
kandida
3. lnfiltrasi: limfoma, leukemia, sarkoidosis
4. ldiopatik
5. Obstruksi tubulus: protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamid
6. Renal allograft rejection
AKI Post Renal :
1. Ureter : Kalkuli, bekuan darah, sumbatan pada papilla, keganasan, kompresi ekstemal
(misalnya fibrosis retroperitoneal)
2. Bladder neck : neurogenic bladder, hipertropi prostat, kalkuli, keganasan, bekuan darah
3. Uretra : striktur, katup kongenital, fimosis

AKI adalah suatu proses multifaktor yang meliputi gangguan pada sistem
hemodinamik renal, obstruksi tubulus renalis, gangguan sel, dan metabolik.
Patofisiologi terjadinya AKI terdiri dari kumpulan kejadian yang sangat kompleks
dan bervariasi tergantung pada etiologi penyebab AKI. Patofisiologi AKI memiliki
gambaran yang berbeda pada setiap klasifikasi penyebab AKI, yaitu prerenal, intra
renal, dan post renal.

2.5 Patofisiologi AKI


2.5.1 Patofisiologi AKI Prerenal
Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi ginjal
terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan pada struktur ginjal.
Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih terpelihara dengan adanya
mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya perfusi ginjal akan menyebabkan
perangsangan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) yang
mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar angiotensin II
menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal. Angiotensin II juga
berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan meningkatkan
hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya kontraregulasi.
Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk mempertahankan tekanan kapiler
intra glomerulus serta LFG agar tetap normal (Sudoyo, 2006).
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan Penurunan
Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG

Gangguan hemodinamik juga merangsang sistem saraf simpatis sehingga


terjadi perangsangan sekresi dari hormon-hormon aldosteron dan vasopressin yang
berakibat pada peningkatan reabsorbsi natrium, urea, dan air pada segmen distal
nefron sehingga terjadi retensi urine dan natrium. Mekanisme autoregulasi ini dapat
terganggu atau tidak dapat dipertahankan apabila gangguan hipoperfusi ginjal
menjadi lebih berat atau berlangsung lama.

2.5.2 Patofisiologi AKI Intrarenal


Penyebab utama AKI intra renal adalah terjadinya ATN akibat proses iskemia
atau toksik. Nekrosis tubular akut sering diakibatkan oleh etiologi multifaktorial dan
biasa terjadi pada penyakit akut yang disertai sepsis, hipotensi, atau penggunaan obat-
obatan yang bersifat nefrotoksik. Sepsis merupakan penyebab utama ATN pada
pasien-pasien yang dirawat di ICU (35-50%) dan setelah tindakan operasi (20-25%).
Berbeda dengan AKI prerenal, pada AKI intra renal telah terjadi gangguan pada
struktural ginjal Proses kerusakan diawali dengan keadaan oliguria yang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama setelah terjadi gangguan (injury). Fase oliguria dapat
berlangsung selama l-2 minggu diikuti oleh fase diuresis yang menandakan terjadinya
perbaikan fungsi.
Proses penyebab AKI intra renal dapat merupakan kelanjutan AKI prerenal
(azotemia prerenal) akibat hipoperfusi yang bertambah berat atau berlanjut sehingga
terjadi gangguan pada sel-sel tubulus ginjal disertai gangguan pada fungsi ginjal.
Apoptosis merupakan mekanisme utama penyebab kematian sel-sel tubulus setelah
iskemia yang berhubungan dengan berkurangnya ukuran sel secara progresif dan
keutuhan fungsi maupun struktur plasma membran. Berkurangnya ukuran sel ini
menyebabkan hilangnya volume sitosol dan berkurangnya ukuran nukleus sel.
Gambaran spesifik pada apoptosis adalah terjadinya kondensasi kromatin inti dan
fragmentasi DNA intranukleus. Pada nekrosis terjadi pembengkakan dan pembesaran
sel sehingga terjadi gangguan pada mitokondria. Integritas plasma sel akan
menghilang diikuti dengan hilangnya komponen sitosol termasuk lisosom protease
yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada jaringan sekitar. Kematian sel
terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis sel-sel epitel.
Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan stress
oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan penurunan
prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS). Kerusakan vaskular
secara langsung dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi intra renal.
Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor utama penyebab gangguan hemodinamik
renal pada AKI. Kelainan pada vaskular dapat juga terjadi akibat peningkatan
ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-I dan p-selectin dari sel endotel sehingga
terjadi perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil yang menyebabkan peningkatan
radikal bebas oksigen.
Kerusakan tubulus merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan
sitoskeleton karena peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A2, dan kerusakan
actin karena peningkatan Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini menyebabkan gangguan
pada basolateral Na+K+ ATP-ase sehingga terjadi penurunan reabsorbsi natrium di
tubulus proksimal. Obstruksi tubulus akibat sumbatan mikrovili yang terlepas
bersama sel-sel debris juga akan diikuti pembentukan silinder cast dari matriks
ekstraseluler. Kerusakan pada sel tubulus berakibat terjadinya kebocoran kembali
(backleak) cairan intra tubular ke dalam sirkulasi peritubular. Keseluruhan
mekanisme di atas secara keseluruhan akan menyebabkan penurunan LFG dan
terjadinya oliguria (Roesli, 2008).

Gambar 4 Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia 14

2.5.3 Patofisiologi AKI Postrenal


Penyebab terjadinya AKI post renal dapat terjadi akibat sumbatan dari sistem
traktus urogenital seperti ureter, pelvis renal, vesika urinaria, dan uretra. Penyebab
sumbatan dapat bermacam-macam seperti adanya striktur, pembesaran prostat, dan
keganasan. Gagal ginjal post-renal, AKI post-renal merupakan 10% dari keseluruhan AKI. AKI
post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena
deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi
ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan
ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu,
tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). AKI post-renal terjadi bila obstruksi
akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana
salah satu ginjal tidak berfungsi.

2.6 Manifestasi Klinis

Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI,


dan penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai sedang
tidak menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan pemeriksaan
laboratorium. Pasien dengan severe AKImungkin dapat menunjukan gejala, berupa
lesu, rasa bingung, fatique, anoreksia, mual, muntah, penambahan berat badan, atau
edema. Selain itu oliguria (urine output kurang dari 400 ml per hari), anuria (urin
output kurang dari 100 ml per hari), atau dengan urin output normal (non-oligouric
AKI) juga dapat ditemukan pada pasien severe AKI (Mahboob et al, 2012).

Tabel 2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik AKI berdasarkan Etiologi

Tipe AKI Hasil Anamnesis Hasil Pemeriksaan Fisik


Pre-Renal Riwayat kehilangan cairan (cth: Penurunan BB, hipotensi
riwayat muntah, diare, penggunaan ortostatik, dan takikardi
diuretik berlebih, perdarahan, luka
bakar)
Rasa haus dan penurunan intake cairan Turgor kulit buruk
Kelainan Jantung S3 jantung, edema perifer, dll
Kelainan Hepar Asites, caput medusae, spider
nevi
Renalis

Glomerurlar Lupus, sistemik sklerosis, ruam, Edema peri-orbital, sacral,


artritis, uveitis, penurunan BB, fatigue, dan ekstremita bawah; ruam;
HIV, hematuria, batuk, sinusitis ulkus di daerah oral/nasal
Interstisial Riwayat penggunaan obat-obatan (cth: Demam, ruam akibat
antibiotik, PPI), ruam, arthralgia, penggunaan obat-obatan
demam, penyakit infeksi

Vascular Sindroma Nefrotik, riwayat trauma, Pemeriksaan funduskopi


flank pain, riwayat oprasi vaskular (ditemukan hipertensi
maligna), abdominal bruits

Post- Renal Urgency atau Hesistancy, gross Distensi vesica urinaria,


Hematuria, poliuri, batu, riwayat obat- pembesaran prostat
obatan, kanker

2.7 Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan AKI pre-renal,
renal, dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut perlu
dilakukan pemeriksaan (Markum, 2006) :

1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab AKI
seperti misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, ISK), riwayat bengkak, riwayat kencing batu
2. Membedakan AKI dan CKD, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan CKD
3. Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis AKI, yaitu kadar ureum,
kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiksa
asupan dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan untuk memperkirakan
adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada AKI yang berat dengan
berkurangnya fungsi ginjal, ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat
menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema
paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik
dengan kompensasi pernapasan kussmaul. Umumnya manifestasi AKI lebih di
dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien AKI:
a. Kadar kreatinin Serum. Pada AKI faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot), distribusi
dalam cairan tubuh dan eksresi oleh ginjal.
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum
cystatin C dapat menjadi indikator AKI tahap awal yang cukup dapat
dipercaya
c. Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang
spesifik untuk AKI, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia
darah. Walaupun demikian, volume urin pada AKI bisa bermacam-macam.
AKI pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400 ml/hari),
walaupun kadang-kadang tidak dijumpai oliguria. AKI post renal dan AKI
renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
o Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan dengan
perubahan pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang lebih 50-60% dari
seluruh etiologi AKI adalah non-oligourik. Namun, mengidentifikasi
anuria, oliguria, ataupun non-oliguria mungkin dapat berguna untuk
mengetahui diferensial diagnosis dari AKI, seperti: i
 Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly
progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical necrosis
 Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
 Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis akut,
Partial Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced AKI.
d. Kelainan analisis urin
o Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk
membedakan pre-renal dengan AKI renal yang menyebabkan AKI. FENa
dapat dijelaskan dengan hasil sebagai berikut: Nilai kurang dari 1 persen
menunjukkan AKI akibat pre-renal, dimana FNEa > 2% menunjukkan
AKI akibat gangguan renal. Pada pasien yang menjalani terapi diuretik,
FNEa> 1% dapat disebabkan oleh proses natriuresis yang disebabkan oleh
diuretik, sehingga kurang dapat diandalakn sebagai AKI akibat pre-renal.
Di beberapa kasus, fractional excretion of urea (FE urea) dapat membantu,
dengan hasil kurang dari 35% yang menunjukkan AKI akibat pre-renal.
FENa kurang dari 1 persen tidak spesifik untuk AKI pre-renal karena hasil
tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lainnya, seperti contrast
nephropathy, rhabdomyolisis, acute glomerulonephritis, dan infeksi
saluran kemih.
e. Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis AKI adalah mampu
dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik
pemeriksanya. Biomarkers diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis AKI.
Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari pertanda utnuk membuat
diagnosis seawal mungin. Beberapa biomarkers mungkin bisa dikembangkan.
Biomarkers ini merupakan zat-zat yang dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang
rusak, seperti IL-18, enzim tubular, dll.
2.8 Terapi

Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini,
tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau
nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan
hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari gejala tambahan, dan
pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari
AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari (Devarajan, 2006).
1. AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai
sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan
kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya
hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat meningkatnya
kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin lebih
tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran
volume dan isotonik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa
harus dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen
yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat
antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan
hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi
pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
2. AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau
vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan atau plasmapheresis,
tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada
beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik
adalah penting penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas
nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah lainnya.
Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan dengan
inhibitor ACE.
3. AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist,
urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya
dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung
kemih, yang memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi
diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula, obstruksi ureter dapat
diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang
menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla)
atau dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien
mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar
5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin
memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya.
Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia,
terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan
harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal
perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti,
sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan
pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum.

2.9 Prognosis
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi
yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk
prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama
saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan
dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan AKI yang
menjalani dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%, karena itu pencegahan,
diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan (KDIGO, 2012).
BAB 3. KESIMPULAN

Acute Kidney Injury (AKI) merupakan spektrum kerusakan ginjal secara akut,
yaitu proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan
didefinisikans ebagai peningkatan kreatinin serum >= 0,3 mg/dl atau peningkatan
50%) atau penurunan produksi urin berdasarkan kriteria AKIN. Penyebab dari AKI
dapat dikelompokkan menjadi pre-renal, renalis, dan post-renal, dimana untuk
membedakannya diperlukan langkah diagnosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin : Bandung,


Indonesia. CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.
M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. 6th
edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889.
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice
Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012.
Vol.2. 19-36
United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 : Acute
Kidney Injury. 2015. Vol. 1. 57-66
Markum, H. M. S. Gangguan Ginjal Akut. In : Sudoyo AW et al (ed). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: InternaPublishing; 2009.p1041
Hoste E, Clermont G, Kersten A, et al.: RIFLE criteria for acute kidney injury are
associated with hospital mortality in critically ill patients: A cohort analysis.
Critical Care 2006; 10:R73.
Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of the RIFLE
Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot Care Med
2006;34:1913-1917
Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta:
Puspa Swara.
Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The
Vicenza Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
R Mahboob, S Fariha, CS Michael. Acute Kidney Injury: A Guide to Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):631-639.

You might also like