Professional Documents
Culture Documents
A Journal Kearifan Lokal 2
A Journal Kearifan Lokal 2
Rinaldi Mirsa
rinaldiaceh@gmail.com
Dosen Universitas Malikussaleh
Abstract
According to Lefebvre (1991) space is never empty, but there is a certain quality of content
as well as having. Utilization of space in the Village Tourism Palgading diversity utilization, as a space
for everyday life as well as tourist areas. Potential environmental Palgading village used as a tourist
destination area. Diversity of the objects managed by the villagers managed Palgading social and
cultural life patterns associated with positive behavior management space community in action and
adaptation to the surrounding environment. Patterns of social and cultural life of the Village Tourism
Palgading derived from the value of cultural, religious and local customs which then form the values
of indigenous/local wisdom, one of which is indigenous/local wisdom in the management of space
and environment. This study discusses the application of indigenous/local wisdom in the
management of the environment in space and Tourism Village Palgading in order to preserve and
maintain the sustainability of the Village Palgading as a tourist village. The analytical method used is
descriptive exploratory analysis. The results showed that there are values of indigenous/local
wisdom in the context of the provisions of the management of space in Village Tourism Palgading,
namely the concept of space by forming tourist areas, land tenure systems. Local knowledge/local
wisdom in the context of environmental management set about nature, farming, and management
of water resources, as well as the maintenance of traditions in other environments contained in
Palgading Tourism Village. Given values excavation indigenous/local wisdom is still relevant patterns
are interpreted in social and cultural life of the community support the efforts of the management
and preservation of the environment of space and tourist areas in Palgading village.
Keywords: indigenous/local wisdom, space and environmental management, and the Tourism
Village.
I. PENDAHULUAN
Pengertian Kearifan Lokal/local wisdom dilihat dari kamus Inggris Hornby; 1995, terdiri dari
2 (Dua) kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama
dengan kebijaksanaan, dapat juga dikatakan local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. serta sumber kearifan berasal
dari sang maha pencipta yang telah menyediakan ketersediaan sarana dan prasana bagi kehidupan
manusia.
Adapun ciri-ciri kearifan lokal/local wisdom menurut Ayatrohaedi (1986) adalah sebagai
berikut:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan,
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal/local wisdom adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Gobyah (2003) menjelaskan kearifan lokal/local wisdom
didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Sehingga
kearifan lokal/local wisdom pada suatu masyarakat dapat dipahami sebagai nilai yang dianggap baik
dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Desa Palgading tergolong sebuah desa yang unik di jalan Kaliurang Km. 10 wilayah Kalurahan
Sinduharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Desa dengan 187 KK atau populasi penduduknya
sekitar 635 orang berbeda dengan desa lainnya diwilayah kalurahan tersebut, karena desa ini
memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan sebagai penumbuh ekonomi masyarakat seperti
tampak pada Gambar 1 berikut. Paling tidak terdapat 4 potensi pokok yang terdiri dari potensi
wisata budaya, educative (Pendidikan) agro (pertanian), home industry (industri rumah tangga) dan
adventure (petualangan).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif
eksploratif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui observasi dan
wawancara (interview) serta melakukan survei instansional berupa pengumpulan data sekunder
yang terkait dengan wilayah studi. Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan
teknik sampling non random yakni teknik sampling bertujuan (purposive sampling). Teknik ini
digunakan karena anggota sampel yang dipilih secara khusus didasarkan pada tujuan penelitian.
Untuk sampel bangunan tempat tinggal dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu kriteria
kawasan wisata yang akan dipilih. Penentuan kriteria kawasan wisata yang akan dijadikan sebagai
sampel pada wilayah studi adalah: 1. Bangunan/kawasan difungsikan untuk kegiatan wisata; 2.
Bangunan/kawasan wisata yang dikelola dengan baik, dan 3. Diupayakan dapat mewakili kriteria-
kriteria bangunan/kawasan wisata yang merunut kepada kearifan lokal/local wisdom di Desa Wisata
Palgading.
Sampel masyarakat terdiri dari narasumber kunci/key person (pemerintah desa, pemuka adat,
tokoh masyarakat), serta narasumber-narasumber terkait yang merupakan rekomendasi dari
narasumber kunci/key person yang telah ditentukan terlebih dahulu.
III. ANALISIS DAN TEMUAN
Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu
komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar
atau salah. Secara filosofis, kearifan lokal/local wisdom dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan
masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis.
Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi
di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai
hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily
problem solving).
Untuk memahami bagaimana kearifan lokal/local wisdom berkembang dan tetap bertahan,
maka perlu pemahaman dasar mengenai proses-proses kejiwaan yang membangun dan
mempertahankannya. Proses-proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective attention), penilaian
(appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept formation and categorization), atribusi-
atribusi (attributions), emotion, dan memory
a. Konsepsi Ruang.
Konsepsi ruang yang terdapat di wilayah Desa Wisata Palgading tergolong unik, seperti
misalnya batasan wilayah yang dapat dilihat secara administratif memiliki dua penanda. Penanda
pertama adalah secara fisik dan penanda yang ke dua secara non fisik. Batas wilayah administrasi
berdasarkan penanda fisik dapat dinyatakan secara jelas, misalnya jalan dan sungai. Penanda non
fisik pada batas wilayah adat dapat diamati dari setting perilaku (behaviour setting) masyarakatnya,
misalnya masih mengikuti hukum dn kesepakatan. Hal ini dapat dilihat beberapa bagian dari Desa
Wisata Palgading yang berbatasan langsung dengan desa Mino Martani, dimana batas tersebut
sebagian kecil saja yang masih dapat ditandai secara fisik: misalnya batasan yang masih nyata yaitu
makam yang dibagi dua akan tetapi batasan selanjutnya hanaya ditandai dengan batasan aktivitas
dan kesepakatan secara bersama saja.
Gambar 8. Kuburan sebagai Batas Antara Desa Palgading dengan Desa Mino Martani.
Sumber: Survei, 2013.
c. Ruang Wisata.
Terbentuknya Dusun Paldgading menjadi Sebuah desa wisata tentu akan sangat berimplikasi
kepada pemanfaatan ruang dan kepemilikan ruang di dalam desa tersebut. Dengan adanya
pembentukan kelembagaan yang mengelola desa wisata maka aktivitas desa wisata tersebut dapat
dijaga bersama-sama dengna memanfaatkan kearifan lokal/local wisdom yang ada, seperti halnya
menjadikan ruang komunal sebagai ruang wisata juga sebagai contoh sumber air Sendang Adi yang
dijadikan sebagai river tracking yang dapat dijaga dan dikelola oleh seluruh masyarakat Desa Wisata
Palgading. Untuk tempat Camping Ground and Outbound memanfaatkan Tanah Plungguh/bengkok
Desa Palgading. Untuk tempat-tempat lainnya yang sebagian melibatkan kepemilikan masyarakat
maka kegiatan wisata tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat teresbut sebagai pemandu
kegiatan, misalnya seperti kegiatan wisata pertanian, tracking sawah, dan kompetisi burung dara.
Begitu juga dengan wisata-wisata budaya seperti uyon-uyon, mocopat, dan karawitan juga
melibatkan masyarakat pelaku seni tersebut sekaligus memanfaatkan lokasi tempat tinggal mereka
sebagai kawasan atraksi kegitan.
Beda halnya dengan situs purbakala Candi Palgading, yang perawatan dan kepemilikannya
sampai saat ini masih diambil alih oleh Dinas Purbakala Yogyakarta, sedangkan pengelolaan
kepariwisataan di candi tersebut masih dilakukan oleh Lembaga wisata Desa Palgading. Untuk
beberapa benda purbakala lainnya seperti arca-arca sampai saat ini masih disimpan di Dinas
Purbakala Yogyakarta untuk dirawat dan dijaga sampai candi Palgading tersebut selesai
direkonstruksikan bentuknya serta kesiapan masyarakat untuk menjaga dan mengelola candi
tersebut.
d. Hubungan wisatawan dengan obyek wisata.
Terdapat sejumlah definisi mengenai wisatawan. Burkart dan Medlik (dalam Ross, Glenn F,
1998;.30) menyebutkan bahwa wisatawan memiliki empat ciri utama, yaitu:
a. orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di berbagai tempat tujuan wisata;
b. tempat tujuan wisata berbeda dengan tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari;
c. bermaksud untuk pulang kembali dalam beberapa hari atau bulan karena perjalanan wisata
bersifat sementara, dalam jangka waktu pendek;
d. perjalanan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk menetap atau bekerja untuk mencari
nafkah.
Kontak sosial merupakan model interaksi yang terjadi antara wisatawan dengan penduduk
lokal yang menunjukkan sejauh mina wisatawan memiliki keinginan untuk dapat mengalami,
mengerti, dan beradaptasi dengan budaya yang berbeda (Cohen, 1972). Kontak sosial dapat dilihat
dari seberapa jauh keterlibatan wisatawan untuk menjalin hubungan pertemanan dengan
penduduk lokal, mempelajari bahasa hingga keinginan untuk berbagi dan terlibat dalam kehidupan
penduduk lokal (contohnya keinginan untuk berbagi tempat bernaung), "mengadopsi" kebudayaan
lokal hingga menjadi bagian dari penduduk lokal.
Gambar 9. Hubungan antara Wisata dan Wisatawan.
Sumber: Analisis, 2014.
Jumlah kunjungan ke desa wisata sudah menunjukkan angka yang relatif tinggi terutama di
Kabupaten Sleman yang memiliki jumlah desa wisata yang cukup tinggi di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, yaitu terdapat 33 desa wisata dengan jumlah kunjungan pada tahun 2013 sebanyak
137.281 orang, yang terbagi menjadi 106.194 orang wisatawan nusantara dan 31.087 orang
wisatawan mancanegara. Sedangkan di Desa Palgading sendiri wisatawan yang berkunjung ke sana
sebanyak 1815 orang selama tahun 2012, (BPS Sleman, 2012).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Wisata Palgading dapat disimpulkan
beberapa hal, dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Sistem nilai dan kearifan lokal/local wisdom masih sangat melekat dan masih diterapkan
sebagai pedoman dalam kehidupan baik kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible),
maupun kearifan lokal/local wisdom yang tidak berwujud (intangible).
2. Terjadinya tumpang tindih kepentingan dapat di atasi dengan menempa kesuksesan dalam
berkolaborasi kegiatan baik antar pemangku kepentingan maupun masyarakatnya.
3. Masih perlu meningkatkan sistem tata kelola kelembagaan yaitu denngan memanfaatkan
kearifan lokal/local wisdom dalam menjalankannya.
4. Adanya pembagian konsepsi ruang berdasarkan wilayah administrasi, batas wilayah
berdasarkan batasan fisik maupun batasan berdasarkan aktivitas, sistem penguasaan dan
kepemilikan tanah, serta dapat mengintegrasikan kegiatan wisata kedalam aktivitas kehidupan
sehari-hari masyarakat Desa Palgading.
5. Perlu adanya penyeimbang hubungan kekuasaan, serta lebih meningkatkan nilai kebersamaan
antara stakeholder.
6. Optimalisasi sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan
pariwisata, serta mempertahankan proses ekologi penting dan membantu untuk melestarikan
alam warisan dan keanekaragaman hayati.
7. Menghormati keunikan sosial-budaya masyarakat lokal, melestarikan dan membangun
warisan budaya dan nilai-nilai tradisional, dan berkontribusi untuk antar-budaya.
Dengan adanya penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan yang
diinterpretasikan dalam pola kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut diharapkan dapat
mendukung upaya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan Desa Wisata Palgading.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. (1986), Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka Jayaha.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2012.
Cohen, E. (1972). Toward a sociology of international tourism, Social Research 39:164—82.
Ernawi. (2009) Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang, makalah utama pada Seminar
Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan.
Malang: Arsitektur Unmer.
Dianing Primanita Ayuninggar, et al. (2011) Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam
Pemanfaatan Ruang dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Haija, Ahmed Abu Al (2011), Jordan: Tourism and conflict with local communities, Habitat
International vol 35 (2011) 93e100.
Hornby, A. S., (1995) Oxford Advanced Learner’s Dictionary.
Keraf, S. A., (2002), Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Lai, Po-Hsin; Hsu, Yi-Chung & Nepal; Sanjay K. (2013). Representing the Landscape of Yushan
National Park. Annals of Tourism Research, Vol. 43, pp. 37–57, 2013.
Lefebvre, Henri, 1991. The Production of Space. Translated by Donald Nicholson-Smith, Oxford:
Blackwell.
Robinson, M, & Boniface, P. (Eds.). (1999). Tourism and cultural conflict. New York: Cabi Pubblishing.
Ross, Glenn F. (1998). Psikologi Pariwisata, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sukari, et al. (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur.
Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Suryana, J. (2010) ‘Prasi, Kearifan Lokal Masyarakat Bali’, April 2010. Pada:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/08/prasi-kearifan-lokal-masyarakat-bali/.
[23 April 2010].
Triyadi, S., Sudradjat, I. & Harapan, A. (2010), ‘Kearifan Lokal Pada Bangunan Rumah Vernakular di
Bengkulu Dalam Merespon Gempa, Studi Kasus: Rumah Vernakular di desa Duku
Ulu, Vol. II, No. 1, Hal. 1-7, Januari 2010. Pada: http://localwisdom.ucoz.com/_ld/0/7
_2nd-1-jolw-suge.pdf. [23 April 2010]