Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

KEARIFAN LOKAL/LOCAL WISDOM MASYARAKAT DESA WISATA PALGADING

DALAM PENGELOLAAN RUANG DAN LINGKUNGAN

Rinaldi Mirsa
rinaldiaceh@gmail.com
Dosen Universitas Malikussaleh

Abstract

According to Lefebvre (1991) space is never empty, but there is a certain quality of content
as well as having. Utilization of space in the Village Tourism Palgading diversity utilization, as a space
for everyday life as well as tourist areas. Potential environmental Palgading village used as a tourist
destination area. Diversity of the objects managed by the villagers managed Palgading social and
cultural life patterns associated with positive behavior management space community in action and
adaptation to the surrounding environment. Patterns of social and cultural life of the Village Tourism
Palgading derived from the value of cultural, religious and local customs which then form the values
of indigenous/local wisdom, one of which is indigenous/local wisdom in the management of space
and environment. This study discusses the application of indigenous/local wisdom in the
management of the environment in space and Tourism Village Palgading in order to preserve and
maintain the sustainability of the Village Palgading as a tourist village. The analytical method used is
descriptive exploratory analysis. The results showed that there are values of indigenous/local
wisdom in the context of the provisions of the management of space in Village Tourism Palgading,
namely the concept of space by forming tourist areas, land tenure systems. Local knowledge/local
wisdom in the context of environmental management set about nature, farming, and management
of water resources, as well as the maintenance of traditions in other environments contained in
Palgading Tourism Village. Given values excavation indigenous/local wisdom is still relevant patterns
are interpreted in social and cultural life of the community support the efforts of the management
and preservation of the environment of space and tourist areas in Palgading village.

Keywords: indigenous/local wisdom, space and environmental management, and the Tourism
Village.

I. PENDAHULUAN

Pengertian Kearifan Lokal/local wisdom dilihat dari kamus Inggris Hornby; 1995, terdiri dari
2 (Dua) kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama
dengan kebijaksanaan, dapat juga dikatakan local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. serta sumber kearifan berasal
dari sang maha pencipta yang telah menyediakan ketersediaan sarana dan prasana bagi kehidupan
manusia.
Adapun ciri-ciri kearifan lokal/local wisdom menurut Ayatrohaedi (1986) adalah sebagai
berikut:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan,
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal/local wisdom adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di
dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Gobyah (2003) menjelaskan kearifan lokal/local wisdom
didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Sehingga
kearifan lokal/local wisdom pada suatu masyarakat dapat dipahami sebagai nilai yang dianggap baik
dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Desa Palgading tergolong sebuah desa yang unik di jalan Kaliurang Km. 10 wilayah Kalurahan
Sinduharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Desa dengan 187 KK atau populasi penduduknya
sekitar 635 orang berbeda dengan desa lainnya diwilayah kalurahan tersebut, karena desa ini
memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan sebagai penumbuh ekonomi masyarakat seperti
tampak pada Gambar 1 berikut. Paling tidak terdapat 4 potensi pokok yang terdiri dari potensi
wisata budaya, educative (Pendidikan) agro (pertanian), home industry (industri rumah tangga) dan
adventure (petualangan).

Situs candi Palgading


Pertanian padi Mocopatan
Pemancingan ikan
Uyon-uyon
Pembibitan ikan Budaya
Pengolah pupuk organic
IPAL Terpadu
Kerajinan tas serat alam

Home Kerajinan kulit


Agro
Industri Kerajinan kayu
Kerajinan kuda lumping
Jasa (Pagar besi, Salon
Outbond
kecantikan/manten, Praktek dokter,
Kompetisi burung dara Adventure
Penjahit)
Hiking persawahan &
Kuliner (Nasi wiwit & wedang
Sungai
sumilak)
Bumiperkemahan

Gambar 1. Potensi wisata desa Palgading


Sumber: Survei, 2013
Situs purbakala candi Palgading berlokasi di dalam desa Palgading tersebut mulai digali pada
tahun 2007. Di desa ini masyarakatnya juga berkegiatan budaya seperti Mocopatan, Uyon-uyon dan
Nyadran. Selain budaya, ada 7 kelompok home industry kerajinan yang menggunakan bahan baku
serat alam, kayu dan kulit, industry berbahan baku besi lonjoran, batik, dan penjahit garmen.
Home industry ini selain menumbuhkan ekonomi masyarakat Desa Palgading juga menyerap
tenaga kerja di wilayah tersebut. Sebagai desa yang dilingkupi lahan pertanian, masyarakat desa
Palgading mayoritas bekerja sebagai petani, pengusaha pemancingan, kolam pembibitan dan pupuk
organik yang memanfaatkan sisa hasil pertanian, praktek dokter dan salon kecantikan/perias
manten, hanya sebagian kecil warganya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil/PNS.
Adapun kondisi pola desa dan sebaran perletakkan obyek wisata dapat dilihat pada peta di
bawah ini.

Gambar 2. Peta Desa Wisata


Sumber: Survei, 2013

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif
eksploratif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui observasi dan
wawancara (interview) serta melakukan survei instansional berupa pengumpulan data sekunder
yang terkait dengan wilayah studi. Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan
teknik sampling non random yakni teknik sampling bertujuan (purposive sampling). Teknik ini
digunakan karena anggota sampel yang dipilih secara khusus didasarkan pada tujuan penelitian.
Untuk sampel bangunan tempat tinggal dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu kriteria
kawasan wisata yang akan dipilih. Penentuan kriteria kawasan wisata yang akan dijadikan sebagai
sampel pada wilayah studi adalah: 1. Bangunan/kawasan difungsikan untuk kegiatan wisata; 2.
Bangunan/kawasan wisata yang dikelola dengan baik, dan 3. Diupayakan dapat mewakili kriteria-
kriteria bangunan/kawasan wisata yang merunut kepada kearifan lokal/local wisdom di Desa Wisata
Palgading.
Sampel masyarakat terdiri dari narasumber kunci/key person (pemerintah desa, pemuka adat,
tokoh masyarakat), serta narasumber-narasumber terkait yang merupakan rekomendasi dari
narasumber kunci/key person yang telah ditentukan terlebih dahulu.
III. ANALISIS DAN TEMUAN
Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu
komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar
atau salah. Secara filosofis, kearifan lokal/local wisdom dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan
masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis.
Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi
di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai
hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily
problem solving).
Untuk memahami bagaimana kearifan lokal/local wisdom berkembang dan tetap bertahan,
maka perlu pemahaman dasar mengenai proses-proses kejiwaan yang membangun dan
mempertahankannya. Proses-proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective attention), penilaian
(appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept formation and categorization), atribusi-
atribusi (attributions), emotion, dan memory

1. Tumpang Tindih Kepentingan


Didalam pengelolaan pariwisata sering terjadi tumpang tindih kepentingan baik masyarakat,
pelaku wisata, pemerintah maupun wisatawan, seperti konflik sosial budaya tak terhindarkan antara
industri pariwisata dan penduduk lokal di kota-kota bersejarah menantang proses pengembangan
pariwisata. Tingkat keterkaitan antara pemerintah, warga dan pengunjung asing sangat penting
dalam beberapa keadaan, terutama karena instrumen yang tersedia perencanaan wilayah berkaitan
dengan kebijakan pariwisata, masyarakat setempat, manfaat khusus dari segi sosial dan ekonomi,
rasa hormat terhadap sumber daya alam dan budaya otentik tempat (Haija; 2011). Sedangkan
menurut Robinson dan Boniface (1999: 7), "Konflik itu sendiri menghasilkan gambar dramatis dari
pertempuran bersenjata dan perjuangan, namun, berkaitan dengan pariwisata jarang menghasilkan
kekerasan atau bahkan perilaku agresif. Tapi konflik budaya memang terjadi secara teratur pada
tingkat yang berbeda dan antara berbagai kelompok kepentingan dalam pariwisata. Hal lain yang
menjadi berebutnya kepentingan menurut Po-Hsin Lai, Yi-Chung Hsu & Sanjay K. Nepal; 2013 adalah
representasi sosial diterapkan untuk mengeksplorasi persaingan klaim untuk versi yang sah terhadap
kawasan pengelolaan, penggusuran komunitas lokal, dan pengucilan warga setempat dari berbagi
manfaat pariwisata, kekuasaan tidak seimbang dan kurangnya nilai-nilai bersama antara
stakeholder.
Di Desa Wisata Palgading masih terdapat tumpang tindih beberapa kepentingan,
diantaranya adalah pembatasan pengelolaan kawasan antara kegiatan wisata dengan kegiatan
kehidupan sehari hari. Adapun beberapa pembagian kegiatan di dalam Desa Wisata Palgading
adalah:
Kepariwisataan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.
A. Agro (terdapat beberapa kegiatan yang sehari-hari untuk memenuhi kehidupan yang yang
sekalian dikaitkan dengan kegiatan kepariwisataan)
• Pertanian padi: selain untuk memenuhi ketahanan pangan warga Desa Palgading
kegiatan persawahan ini juga sebagai kegiatan pariwisata yaitu Lahan pertanian yang
membentang di Desa Wisata Palgading merupakan objek yang menarik.
• Pemancingan ikan: kolam ikan dan pemancingan yang ada selain sebagai mata
pencaharian juga bagi wisatawan yang memiliki hobi memancing, Desa Wisata
Palgading memiliki area memancing yang cukup luas.
• Pengolah pupuk organic: pupuk organik yang dihasilkan oleh masyarakat diutamakan
untuk kebutuhan bercocok taman padi, akan tetapi sisanya dapat dijula kepada petani-
petani desa tetangga serta sekaligus dapat dijadikan wisata edukasi.
• IPAL Terpadu: instalasi pengolahan air limbah yang ada di Desa Wisata Palgading ini
yang utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan sanitasi warga, akan tetapi dapat juga
dijadikan sebagai wisata edukasi.
B. Budaya (untuk kebutuhan desa seiring waktu berjalan juga dijadikan sebagai komuditas
wisata)
• Kegiatan merti bumi: kegiatan ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu yang tujuannya
adalah untuk melakukan ruat bumi. Di dalam kegiatan merti bumi ini banyak kegiatan-
kegiatan kebudayaan, yang akhirnya juga diagendakan ke dalam kegiatan wisata.
• Kompetisi burung dara: kegiatan ini dilakukan sebagai agenda tahunan dengan
memanfaatkan sawah-sawah dan tanah lapang sebagai arena pertandingan. Kegiatan
ini juga diagendakan sebagai kegiatan wisata.
C. Home industri
Kegiatan home industry ini pada awalnya adalah kegiatan kecil-kecilan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluaraga, akan tetapi seiring waktu berjalan kegiatan home industry ini
berkembang pesat diantaranya adalah:
• Kerajinan tas serat alam: awal dari home industry serat alam ini adalah untuk
memenuhi pasar di luar desa.
• Kerajinan kulit: begitu juga dengan kerajinan kulit ini, dimana kegiatan awal adalah
untuk dipasok kepada showroom-showroom yang ada di pusat kota.
• Kerajinan kayu: kegiatan kerajiann kayu ini juga berkembang pesat, kegiatannya adalah
membuat kerajinan- kerajinan topeng dan lain-lain.
• Kuliner (Nasi wiwit & wedang sumilak): pembuatan nasi dan minuman ini dilakukan
pada saat adanya kegiatan-kegiatan budaya desa dan event-event kepariwisataan,
misalnya pada saat kegiatan budaya merti bumi, dan lain-lain.
Kegiatan kepariwisataan yang hanya dilakukan untuk atraksi wisata.
A. Budaya
• Situs candi Palgading: kondisi situs budaya Candi Palgading yang ada saat ini masih
dalam keadaan tidak berdiri layaknya bangunan candi.
• Mocopatan: kegiatan mocopatan ini hanya dilakukan apabila ada event atau kegiatan
tertentu.
• Uyon-uyon: adalah sebuah kegiatan budaya yang dilakukan untuk kepentingan dengan
kebudayaan ataupun dilakukan saat event-event budaya dan wisata saja.
B. Adventure
• Hiking persawahan & Sungai: dilakukan pada kegiatan kepariwisataan secara
rombongan, kegiatan ini dipandu oleh warga di dalam melakukannya.
• Bumi perkemahan:lokasi bumi perkemahan ini adalah dengna memanfaatkan tanah kas
desa (Tanah bengkok), yang berada dekat dengan lokasi mata air Sendang Adi.
C. Home industri
• Kerajinan kuda lumping: untuk pembuatan kuda lumping ini hanya dilakukan sebagai
kegiatan wisata saja.
2. Tata Nilai dan kearifan lokal.
Kearifan lokal/local wisdom secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-
hari. Oleh karena itu, kearifan lokal/local wisdom merupakan entitas yang sangat menentukan
harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 1992). Jenis kearifan lokal/local wisdom
meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan
ruang (tanah ulayat).
Bentuk kearifan lokal/local wisdom dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan
lokal/local wisdom yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
a. Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible).
Bentuk kearifan lokal/local wisdom yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek
diantaranya adalah sebagai berikut: Tekstual Beberapa jenis kearifan lokal/local wisdom seperti
sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti
yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran
daun lontar). Sebagai contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan
gambar (gambar ilustrasi) (Suryana, 2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf Bali,
gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar
khusus, yaitu sejenis pisau. Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari
fungsi awalnya, yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi benda koleksi
semata. Bangunan/Arsitektural Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan
dari bentuk kearifan lokal/local wisdom, seperti bangunan rumah rakyat, bangunan rumah rakyat ini
merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh sebagian besar masyarakat
dengan mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular ini mempunyai keunikan karena
proses pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya
(Triyadi dkk., 2010).
Pada desa wisata palgading ini juga dapat kita lihat sebagai peninggalan kearifan lokal/local
wisdom dari para leluhur adalah Candi-candi yang proses pembuatannya membutuhkan curahan
pemikiran dan pengorbanan dari pada masyarakat pada masa itu.

Gambar 3. Candi Palgading.


Sumber: Survei, 2013

b. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible).


Selain bentuk kearifan lokal/local wisdom yang berwujud, ada juga bentuk kearifan
lokal/local wisdom yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun
temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional.
Melalui petuah 9 atau bentuk kearifan lokal/local wisdom yang tidak berwujud lainnya, nilai
sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi. Kearifan lokal/local wisdom yang
tak berwujud ini juga bisa dilihat dari peraturan-peraturan tidak tertulis seperti yang diungkapkan
oleh Sukari, et al. (2004:63), sikap hidup Suku Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak
banyak resiko), ojo jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain). Dalam pengelolaan desa
Wisata Palgading juga memiliki aturan-aturan tidak tertulis seperti menjaga lingkungan dengan
tidak membuang sampah sembarangan, serta membersihkan lingkungan pada waktu-waktu yang
telah disepakati bersama untuk menjaga kerukunan antar warga misalnya seperti kegiatan Besik
(melakukan bersih-bersih di kawasan makam, jalanan, rumah dan lingkungan), kegiatan ini
dilakukan setiap seminggu sekali. Untuk kegiatan besik ini dibagi menjadi dua kelompok dan hari
yang berbeda. untuk ibu-ibu, anak-anak dan remaja melakukan besik ini setiap hari kamis sore
atau malam jumat.

Gambar 4. Kegiatan Besik ibu-ibu, anak-anak dan remaja


Sumber: Survei, 2013
Sedangkan bapak-bapak diutamakan pada hari minggu, karena dengan anggapan hari lain adalah
hari untuk mencari nafkah untuk keluarga.

Gambar 5. Kegiatan Besik Bapak-bapak.


Sumber: Survei, 2013
3. Tata Kelola wisata dan Kelembagaan.
Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat merupakan salah satu bentuk kearifan
lokal/local wisdom, berperan sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur struktur hirarki sosial
dan kelompok masyarakat. Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat tertentu dapat berupa
organisasi adat yang terdiri dari beberapa kelompok untuk mengatur kepentingan dari kelompok-
kelompok kegiatan yang ada, namun demikian kegiatan antara satu kelompok dengna kelompok
yang yang masih memiliki keterikatan yang erat sehingga dapat saling mengisi dan bekerjasama.
Adapun beberapa kelembagaan yang ada di Desa Wisata palgading adalah:

a. Kelembagaan Desa Wisata Palgading.


Pengelolaan Desa Wisata Palgading memiliki kelembagaan tersendiri, organisasi tim
pelaksana terdiri dari unsur pemerintah dusun (Kepala Dukuh Palgading), pengurus desa wisata
Palgading dan unsur masyarakat dusun Palgading. Semua pengembangan dan pembangunan potensi
wisata dan infrastrukturnya untuk saat ini dan yang akan datang harus mengacu pada master plan
tata ruang Desa Wisata Palgading “ASRI” yang berwawasan budaya jawa dan harmoni dengan
lingkungan alam sekitarnya.

b. Karang Taruna Palgading.


Kelembagaan Karang Taruna di Desa Wisata Palgading ini lebih kepada memberdayakan
para pemuda, kegiatan yang sering dilakukan lebih kepada mendukung kegiatan-kegiatan utama
yang akan dilakukan di Desa Palgading, misalnya seperti mendukung kegiatan 17 agustus (dalam
rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia), pemandu bagi kegiatan desa wisata
dan lain-lain.

Gambar 6. Kegiatan Wisata Desa Palgading.


Sumber: Survei, 2013
c. Lembaga IPAL Komunal Gading Sehat.
Lembaga IPAL Komunal Gading Sehat ini lebih kepada Instalasi Pengelolaan Air Limbah
secara berkelompok, hal ini juga dapat dijadikan sebagai wisata edukasi dimana mereka bisa
belajar mengelola air limbah secara terpadu dan terencana.

Gambar 7. Kegiatan Wisata Desa Palgading.


Sumber: Survei, 2013
4. Tata Kelola Kepemilikan Ruang Desa dan Ruang Wisata.
Desa Wisata Palgading adalah merupakan desa alami asli yogyakarta, yang terletak di jalan
Kaliurang Km. 10 Padukuhan Palgading desa Sinduharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wisata Palgading memiliki beragam potensi wisata yang menarik
untuk dikunjungi oleh wisatawan. Desa wisata yang berada cukup dekat dengan Gunung Merapi ini,
menghadirkan panorama alam yang sangat indah untuk dinikmati sehingga dapat memberikan
kesegaran dan ketentraman hati, panorama alam pesawahan dan pepohonan yang rindang serta
kejernihan airnya, juga rumah-rumah adat seperti joglo, limasan, simon, dengan halaman yang luas,
bisa dipakai media bermain sambil menikmati sejuknya udara serta suasana desa alami.
Dalam pemanfaatan, konsepsi dan pengelolaan ruang di Desa Palgading masih
memanfaatkan kearifan lokal/local wisdom yang dapat kita lihat dalam pembagian ruang, serta
sistem penguasaan dan kepemilikan tanah

a. Konsepsi Ruang.
Konsepsi ruang yang terdapat di wilayah Desa Wisata Palgading tergolong unik, seperti
misalnya batasan wilayah yang dapat dilihat secara administratif memiliki dua penanda. Penanda
pertama adalah secara fisik dan penanda yang ke dua secara non fisik. Batas wilayah administrasi
berdasarkan penanda fisik dapat dinyatakan secara jelas, misalnya jalan dan sungai. Penanda non
fisik pada batas wilayah adat dapat diamati dari setting perilaku (behaviour setting) masyarakatnya,
misalnya masih mengikuti hukum dn kesepakatan. Hal ini dapat dilihat beberapa bagian dari Desa
Wisata Palgading yang berbatasan langsung dengan desa Mino Martani, dimana batas tersebut
sebagian kecil saja yang masih dapat ditandai secara fisik: misalnya batasan yang masih nyata yaitu
makam yang dibagi dua akan tetapi batasan selanjutnya hanaya ditandai dengan batasan aktivitas
dan kesepakatan secara bersama saja.

Gambar 8. Kuburan sebagai Batas Antara Desa Palgading dengan Desa Mino Martani.
Sumber: Survei, 2013.

b. Sistem Penguasaan dan Kepemilikan Tanah.


Tanah yang dimiliki oleh masyarakat Desa Wisata Palgading ini umumnya diperoleh dari hasil
warisan orang tua mereka. Sedangkan sistem pembagian tanah warisan juga masih berlaku sesuai
dengan kearifan lokal/local wisdom yang masih dipertahankan sejak saat ini, yaitu dengan ketentuan
pembagian yang di “Cung” (ditetapkan) oleh kedua orang tua. Hal ini tidak berpengaruh besaran
tanah yang diberikan antara laki-laki ataupun perempuan, akan tetapi lebih kepada tanah yang
“dicungne”. Aturan adat dalam pembagian tanah warisan ini tentunya kesepakatan antara kedua
orang tua akan menetapkan anaknya akan mendapat bagian yang mana dan besar seberapa, akan
tetapi pembagian tersebut tidak terkait anak tersebut laki-laki ataupun anak perempuan. Serta juga
tidak mengikuti ketentuan dalam Agama Islam yaitu pembagian tanah warisan untuk anak laki-laki
dua bagian dari pada anak perempuan.

c. Ruang Wisata.
Terbentuknya Dusun Paldgading menjadi Sebuah desa wisata tentu akan sangat berimplikasi
kepada pemanfaatan ruang dan kepemilikan ruang di dalam desa tersebut. Dengan adanya
pembentukan kelembagaan yang mengelola desa wisata maka aktivitas desa wisata tersebut dapat
dijaga bersama-sama dengna memanfaatkan kearifan lokal/local wisdom yang ada, seperti halnya
menjadikan ruang komunal sebagai ruang wisata juga sebagai contoh sumber air Sendang Adi yang
dijadikan sebagai river tracking yang dapat dijaga dan dikelola oleh seluruh masyarakat Desa Wisata
Palgading. Untuk tempat Camping Ground and Outbound memanfaatkan Tanah Plungguh/bengkok
Desa Palgading. Untuk tempat-tempat lainnya yang sebagian melibatkan kepemilikan masyarakat
maka kegiatan wisata tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat teresbut sebagai pemandu
kegiatan, misalnya seperti kegiatan wisata pertanian, tracking sawah, dan kompetisi burung dara.
Begitu juga dengan wisata-wisata budaya seperti uyon-uyon, mocopat, dan karawitan juga
melibatkan masyarakat pelaku seni tersebut sekaligus memanfaatkan lokasi tempat tinggal mereka
sebagai kawasan atraksi kegitan.
Beda halnya dengan situs purbakala Candi Palgading, yang perawatan dan kepemilikannya
sampai saat ini masih diambil alih oleh Dinas Purbakala Yogyakarta, sedangkan pengelolaan
kepariwisataan di candi tersebut masih dilakukan oleh Lembaga wisata Desa Palgading. Untuk
beberapa benda purbakala lainnya seperti arca-arca sampai saat ini masih disimpan di Dinas
Purbakala Yogyakarta untuk dirawat dan dijaga sampai candi Palgading tersebut selesai
direkonstruksikan bentuknya serta kesiapan masyarakat untuk menjaga dan mengelola candi
tersebut.
d. Hubungan wisatawan dengan obyek wisata.
Terdapat sejumlah definisi mengenai wisatawan. Burkart dan Medlik (dalam Ross, Glenn F,
1998;.30) menyebutkan bahwa wisatawan memiliki empat ciri utama, yaitu:
a. orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di berbagai tempat tujuan wisata;
b. tempat tujuan wisata berbeda dengan tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari;
c. bermaksud untuk pulang kembali dalam beberapa hari atau bulan karena perjalanan wisata
bersifat sementara, dalam jangka waktu pendek;
d. perjalanan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk menetap atau bekerja untuk mencari
nafkah.
Kontak sosial merupakan model interaksi yang terjadi antara wisatawan dengan penduduk
lokal yang menunjukkan sejauh mina wisatawan memiliki keinginan untuk dapat mengalami,
mengerti, dan beradaptasi dengan budaya yang berbeda (Cohen, 1972). Kontak sosial dapat dilihat
dari seberapa jauh keterlibatan wisatawan untuk menjalin hubungan pertemanan dengan
penduduk lokal, mempelajari bahasa hingga keinginan untuk berbagi dan terlibat dalam kehidupan
penduduk lokal (contohnya keinginan untuk berbagi tempat bernaung), "mengadopsi" kebudayaan
lokal hingga menjadi bagian dari penduduk lokal.
Gambar 9. Hubungan antara Wisata dan Wisatawan.
Sumber: Analisis, 2014.
Jumlah kunjungan ke desa wisata sudah menunjukkan angka yang relatif tinggi terutama di
Kabupaten Sleman yang memiliki jumlah desa wisata yang cukup tinggi di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, yaitu terdapat 33 desa wisata dengan jumlah kunjungan pada tahun 2013 sebanyak
137.281 orang, yang terbagi menjadi 106.194 orang wisatawan nusantara dan 31.087 orang
wisatawan mancanegara. Sedangkan di Desa Palgading sendiri wisatawan yang berkunjung ke sana
sebanyak 1815 orang selama tahun 2012, (BPS Sleman, 2012).

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Wisata Palgading dapat disimpulkan
beberapa hal, dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Sistem nilai dan kearifan lokal/local wisdom masih sangat melekat dan masih diterapkan
sebagai pedoman dalam kehidupan baik kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible),
maupun kearifan lokal/local wisdom yang tidak berwujud (intangible).
2. Terjadinya tumpang tindih kepentingan dapat di atasi dengan menempa kesuksesan dalam
berkolaborasi kegiatan baik antar pemangku kepentingan maupun masyarakatnya.
3. Masih perlu meningkatkan sistem tata kelola kelembagaan yaitu denngan memanfaatkan
kearifan lokal/local wisdom dalam menjalankannya.
4. Adanya pembagian konsepsi ruang berdasarkan wilayah administrasi, batas wilayah
berdasarkan batasan fisik maupun batasan berdasarkan aktivitas, sistem penguasaan dan
kepemilikan tanah, serta dapat mengintegrasikan kegiatan wisata kedalam aktivitas kehidupan
sehari-hari masyarakat Desa Palgading.
5. Perlu adanya penyeimbang hubungan kekuasaan, serta lebih meningkatkan nilai kebersamaan
antara stakeholder.
6. Optimalisasi sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan
pariwisata, serta mempertahankan proses ekologi penting dan membantu untuk melestarikan
alam warisan dan keanekaragaman hayati.
7. Menghormati keunikan sosial-budaya masyarakat lokal, melestarikan dan membangun
warisan budaya dan nilai-nilai tradisional, dan berkontribusi untuk antar-budaya.
Dengan adanya penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan yang
diinterpretasikan dalam pola kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut diharapkan dapat
mendukung upaya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan Desa Wisata Palgading.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. (1986), Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka Jayaha.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2012.
Cohen, E. (1972). Toward a sociology of international tourism, Social Research 39:164—82.
Ernawi. (2009) Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang, makalah utama pada Seminar
Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan.
Malang: Arsitektur Unmer.
Dianing Primanita Ayuninggar, et al. (2011) Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam
Pemanfaatan Ruang dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Haija, Ahmed Abu Al (2011), Jordan: Tourism and conflict with local communities, Habitat
International vol 35 (2011) 93e100.
Hornby, A. S., (1995) Oxford Advanced Learner’s Dictionary.
Keraf, S. A., (2002), Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Lai, Po-Hsin; Hsu, Yi-Chung & Nepal; Sanjay K. (2013). Representing the Landscape of Yushan
National Park. Annals of Tourism Research, Vol. 43, pp. 37–57, 2013.
Lefebvre, Henri, 1991. The Production of Space. Translated by Donald Nicholson-Smith, Oxford:
Blackwell.
Robinson, M, & Boniface, P. (Eds.). (1999). Tourism and cultural conflict. New York: Cabi Pubblishing.
Ross, Glenn F. (1998). Psikologi Pariwisata, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sukari, et al. (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur.
Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Suryana, J. (2010) ‘Prasi, Kearifan Lokal Masyarakat Bali’, April 2010. Pada:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/08/prasi-kearifan-lokal-masyarakat-bali/.
[23 April 2010].
Triyadi, S., Sudradjat, I. & Harapan, A. (2010), ‘Kearifan Lokal Pada Bangunan Rumah Vernakular di
Bengkulu Dalam Merespon Gempa, Studi Kasus: Rumah Vernakular di desa Duku
Ulu, Vol. II, No. 1, Hal. 1-7, Januari 2010. Pada: http://localwisdom.ucoz.com/_ld/0/7
_2nd-1-jolw-suge.pdf. [23 April 2010]

You might also like