Professional Documents
Culture Documents
(Tugas) Nutrisi Tanaman Lanjutan V2
(Tugas) Nutrisi Tanaman Lanjutan V2
Oleh:
Anggi M Marsusyi, S.P
A1L012156
1
I. KATA PENGANTAR
A. Latar Belakang
Diktat mengenai Perakitan Genetika Benih Penjenis Tanaman Padi Tahan Simpan
(BS90) disusun guna memenuhi prasyarat tugas pengganti mata kuliah Nutrisi Tanaman
Lanjutan Program Pasca Sarjana Bioteknologi Pertanian. Metode penyusunan mengacu
kepada Reference Research Techniques (RRT). Sitiran berdasarkan kaidah penulisan
yang tercantum dalam Culture of Scientific Writing Techniques (CSWT) University of
New South Wales, Sidney.
Pada Diktat ini memuat penjelasan dan keterangan sesuai dengan kriteria tugas
mata kuliah Nutrisi Tanaman Lanjutan pada jenjang Magister Jurusan Bioteknologi
Pertanian, meliputi definisi dan klasifikasi benih, penanganan benih padi, teknik
perakitan genetika benih penjenis tanaman padi (BS) tahan mutasi, stabil viabilitas, dan
tinggi kekebalan genetik.
B. Tujuan
Menyajikan tugas mata kuliah nutrisi tanaman lanjutan pada jenjang Magister
Jurusan Bioteknologi Pertanian, meliputi definisi dan klasifikasi benih, penanganan
benih padi, teknik perakitan genetika benih penjenis tanaman padi (BS) tahan mutasi,
stabil viabilitas, dan tinggi kekebalan genetik.
2
II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI BENIH
Menurut Griffin et. al. (2002) benih adalah tanaman atau bagianya yang
digunakan untuk memperbanyak dan atau untuk berkembang biak, baik berwujud biji
maupun bahan-bahan tanaman lain seperti stek, cangkokan, sambungan, semai, siungan,
rimpang, dan plantlet pada perbiakan mikro.
Menurut Hoftstein and Lunetta (2003) klasifikasi benih dalam sertifikasi benih
diantaranya Benih Penjenis, Benih Dasar, Benih Pokok, dan Benih Sebar.
a. Benih Penjenis (Breeders seed)
Menurut Clarke et. al. (2012) benih penjenis adalah benih yang di produksi dan
diawasi oleh peneliti dan laboran mahir tingkat nasional dan merupakan sumber untuk
perbanyakan benih dasar.
3
Menurut Lagowski (2002) benih Pokok adalah keturunan dari benih dasar yang di
produksi dan di pelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian
varietas memenuhui standar mutu yang di tetapkan serta telah di sertifikasi sebagai
benih pokok.
4
Menurut Griffin et. al. (2002) tanaman padi berkembang biak dengan benih
berupa biji. Uji ketahanan benih pada penangkaran benih internasional paling lama
hanya selama 60 (enam puluh) hari saja. Sejak tahun 1923, peneliti genetika terus
berupaya untuk menyematkan fragment khusus pada setiap varietas yang dibuat
bertujuan untuk memperpanjang masa simpan benih padi khususnya pada benih
penjenis.
Menurut Frenkel and Wallen (2011) peningkatan masa simpan benih penjenis
tanaman padi hingga mencapai 90 hari (BS90) dapat dilakukan dengan beberapa metode
dengan tujuan membuat benih penjenis yang tahan terhadap mutasi, stabil viabilitas, dan
memiliki tingkat kekebalan genetika yang tinggi selama masa simpan.
5
TAHAN MUTASI
Menurut Alvarez and Risko (2007) mutasi adalah perubahan yang terjadi pada
bahan genetik baik pada tingkat gen maupun tingkat kromosom. Mutasi tingkat gen
disebut mutasi titik, sedangkan mutasi pada tingkat kromosom disebut aberasi. Benih
penjenis tanaman padi yang melewati masa simpan toleransi dapat terjadi mutasi,
sehingga merusak kemurnian dan berpotensi menurunkan kualitas padi yang akan
ditanam.
Menurut Robinson (2005) ketahanan benih penjenis tanaman padi terhadap mutasi
dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik penggandaan ekspresi (Cloning
Expression). Teknik ini membahas tentang potongan DNA penyandi protein
ditransplantasikan pada suatu plasmid. Plasmid yang mengandung potongan DNA
tersebut disisipkan ke dalam sel bakteri atau virus. Penyisipan DNA ke dalam sel
bakteri disebut transformasi. Transformasi dilakukan dengan metode elektroforasi dan
mikroinjeksi, sebagai berikut:
a. Metode elektroforasi.
Elektroforasi merupakan metode penyisipan DNA menggunakan kejutan listrik
untuk memperbesar pori-pori membran sel sehingga meningkatkan permeabilitas
membran. Sel harus ditumbuhkan pada media hingga mencapai masa pertengahan fase
log, lalu sinyal elektrik menginduksi perbesaran pori-pori membran sehingga molekul
yang berukuran kecil seperti DNA dapat masuk. Metode elektroforasi memiliki tingkat
keberhasilan dan efisiensi lebih tinggi dibanding metode transformasi lainnya namun
memiliki risiko kematian sel bakteri lebih besar serta biayanya relatif mahal (Silberman,
2002). Elektroforasi Kit yang digunakan pada metode elektroforasi ditunjukan pada
Gambar 5.
6
Gambar 5. Elektroforasi kit (Frenkel and Wallen, 2011).
b. Metode mikroinjeksi.
Menurut Wendell et. al. (2007) mikroinjeksi merupakan teknik penyisipan DNA
yang digunakan pada proses penyisipan paksa (transgenesis). Teknik mikroinjeksi
dikembangakan dari teknik produksi organisme transgenik merupakan teknik yang
umum digunakan dalam introduksi gen pada tanaman. Gen yang akan diintroduksi
disuntikan ke sel mengunakan gelas pipet yang sangat kecil (diameter ujung jarum 0,05-
0,15 mm). Keunggulan metode ini adalah tingkat efisiensi lebih tinggi dibandingkan
dengan metode lainnya. Proses transgenesis DNA pada sel tanaman ditunjukan pada
Gambar 6.
7
promoter dan specific cell-signaling factor. Protein dalam jumlah besar tersebut
kemudian diekstrak pada sel bakteri (Elisabeth et. al., 2012).
V. TEKNIK PERAKITAN GENETIKA BENIH PENJENIS PADI
STABIL VIABILITAS
Menurut Pavelich and Abraham (1977), viabilitas adalah daya hidup benih yang
dapat menunjukkan proses pertumbuhan benih. Parameter viabilitas yang diamati dalam
penelitian adalah daya kecambah benih. Uji viabilitas menggunakan larutan tetrazolium.
Uji viabilitas selalu dilakukan oleh peneliti dan laboran mahir untuk mengetahui
stabilitas viabilitas suatu benih.
Menurut Hoftstein and Lunetta (2003) benih penjenis tanaman padi sangat penting
fungsi dan stabilitas viabilitasnya, karena merupakan benih turunan pertama sampai
menghasilkan benih sebar untuk didistribusikan. Masa simpan benih penjenis tanaman
padi umumnya hanya selama 45 hari saja. Setelah melewati masa simpan, terjadi
penurunan viabilitas benih penjenis tanaman padi dari semula 98% menjadi 54% saja.
Menurut Daly et. al. (2004), stabilitas viabilitas benih penjenis tanaman padi dapat
ditingkatkan dengan Teknik reaksi rantai polymerase (PCR), sehingga dapat
meningkatkan masa simpan benih tersebut.
Menurut Lumaret et. al. (1998) Polymerase chain reaction (PCR) merupakan
teknik yang sesuai untuk membuat salinan DNA. PCR memungkinkan sejumlah
sekuens DNA tertentu disalin (hingga jutaan kali) untuk diperbanyak sehingga dapat
dianalisis atau dimodifikasi. PCR dapat digunakan untuk menambahkan situs enzim
restriksi atau untuk mengubah basa tertentu pada DNA. PCR juga digunakan untuk
mendeteksi keberadaan sekuens DNA tertentu. Sehingga dapat meningkatan stabilitas
viabilitas benih. PCR Kit dalam laboratorium ditunjukan pada Gambar 7.
8
Gambar 7. PCR Kit analisis tanaman laboratorium pertanian (Tasker, 1992).
Menurut Millar (2004) PCR digunakan untuk memperbanyak DNA melibatkan
serangkaian siklus suhu yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga
tahapan yaitu:
a. Denaturasi, proses pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal,
cetakan DNA (DNA template) dipisah pada suhu 94-96°C.
b. Annealing, proses penempelan atau hibridisasi antara primer dengan utas
tunggal cetakan DNA. Penurunan suhu dilakukan hingga mencapai 45-60°C.
c. Ekstensi atau elongasi, pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh
enzim DNA polimerase. Satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan
DNA.
9
VI. TEKNIK PERAKITAN GENETIKA BENIH PENJENIS PADI
TINGGI KEKEBALAN GENETIK
Menurut Mei et. al. (2007) kekebalan genetik adalah kemampuan suatu benih
penjenis tanaman untuk mempertahankan ekspresi gen dari perubahan yang terjadi
secara fisika meliputi cahaya, suhu, dan kelembapan. Kekebalan genetik hanya
dipengaruhi oleh sifat fisika, dan bukan karena perubahan akibat mutasi. Hal tersebut
berkaitan dengan sel benih yang merupakan susunan DNA hasil perakitan.
Menurut Clarke et. al. (2012) masa simpan benih penjenis tanaman padi lebih dari
45 hari dapat menyebabkan kerusakan fisik benih akibat menurunnya kekebalan genetik
benih tersebut. Kerusakan tersebut merupakan kerusakan yang fatal karena merusak
(lisis) jaringan dan penampilan benih, serta sudah dipastikan benih tersebut tidak
memiliki kemampuan tumbuh meskipun pada media atau lingkungan yang sesuai.
Menurut Lagowski (2002) kekebalan genetik benih penjenis tanaman padi dapat
ditingkatkan dengan Teknik elektroforesis gel, sebagai berikut:
a. Proses elektroforesis gel.
Menurut Pavelich and Abraham (1977) elektroforesis gel merupakan salah satu
teknik dalam biologi molekuler. Prinsip dasar eletroforesis gel adalah DNA, RNA, atau
protein dapat dipisahkan oleh medan listrik. Molekul-molekul tersebut dipisahkan
berdasarkan laju perpindahan oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Laju
perpindahan bergantung pada ukuran molekul. Elektroforesis gel dilakukan untuk
10
tujuan analisis dan digunakan sebagai teknik preparatif untuk memurnikan molekul.
Elektroforesil Gel Kit dalam laboratorium ditunjukan pada Gambar 9.
11
Gambar 10. Prinsip kerja elektroforesis gel (Kalinowski, 2012).
b. Pasca elektroforesis gel.
Menurut Benjamin et. al. (2009) setelah proses elektroforesis selesai, dilakukan
proses pewarnaan (staining) agar molekul sampel yang terpisah dapat dilihat. Proses ini
menggunakan IAA (Indole Auxine Acid), Etidium bromida, perak, atau pewarna biru
Coomassie (Coomassie blue). Jika molekul sampel berpendar dalam sinar ultraviolet
setelah diwarnai kemudian gel difoto di bawah sinar ultraviolet.
Pita (band) pada lajur-lajur (lane) yang berbeda pada gel akan tampak setelah
proses pewarnaan. Pita-pita yang berjarak sama dari sumur gel pada akhir
elektroforesis, mengandung molekul-molekul yang bergerak dengan kecepatan yang
sama, berarti molekul-molekul tersebut berukuran sama. Marka atau penanda (marker)
merupakan campuran molekul dengan ukuran berbeda-beda dapat digunakan untuk
menentukan ukuran molekul dalam pita sampel. Pita lajur marka tersebut dibandingkan
dengan pita sampel untuk menentukan ukurannya (Hansen and Lovedahl, 2004). Proses
pembacaan hasil elektroforesis gel seperti pada Gambar 11.
12
Gambar 11. Pembacaan hasil elektroforesis gel (Chen et. al., 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, M.C& Risko, VJ., (2007). The Use Of Veee diagrams With Third Graders As
a Metacognitive for Learning scinece concept [online].
Benjamin, Aronson, Silveira, Linda A., (2009). From Genes to Proteins to Behavior: A
Laboratory Project That Enhances Student Understanding in Cell andMolecular Biologi.
[online]. CBE—Life Sciences Education Vol. 8, 291–308.
Carin, A., (1997). Teaching Science Through Discovery. Columbus Ohio : Merril
Publishing Company
13
Chen,Z.Schiffman,M.Herrero. (2011). Evolution and Taxonomic Classification of
Human
Cox-Paulson E, Grana T.M.,Harris M.A., Batzli, J.M. (2012). Studying Human Disease
Genes in Caenorhabditis elegans: AMolecular Genetiks Laboratory Project. CBE—Life
Sciences Education, (11), 165–179.
Daly, M., Hearn, K., Muratoğlu, H., and Nalçacioğlu, R. 2004 Cloning and expression
of chitinase A, B, and C (chiA, ChiB, ChiC) genes from Serratia marcescens originating
from Helicoverpa armigera and determining their activities, Turkish Journal of Biology,
39(1), pp. 78–87. doi: 10.3906/biy-1404-31.
Elisabeth, P., C., Grana, T. M., Michell, H., B., J.M., (2012). Studying Human Disease
Genes in Caenorhabditis elegans: AMolecular Genetiks Laboratory Project. [online].
CBE—Life Sciences Education Vol. 11, 165–179.
Frenkel, J.R & Wallen. (2011). How To Design and Evaluate Research in Education.
San Fransisco: Universitas San Fransisco
Griffin, V., McMiller, T., Jones, E., and Johnson, C. M. , (2002). Identifying Novel
Helix–Loop–Helix Genes in Caenorhabditis elegans through a Classroom
Demonstration of Functional Genomics. [online]. CBE—Life Sciences Education Vol.
2, 51–62.
Hansen, J.W. & Lovedahl, G. G., (2004). Developing Technology Teachers : Questio-
ning the Industrial Tool Use Model. Journal of Technology Education. 15 (2), 20 – 32
14
A. Karp, P.G.Isaac, and D.S. Ingram (Eds.). Molecular Tool for Screening Biodiversity.
Chapman and Hall, London.
Mei L., F., Kevin. Eliceiri. Stewart, James. John. White. (2007). WormClassroom.org:
An Inquiry-rich Educational Web Portal for Research 113
Millar, R. (2004). The Role of Practical Work in The Teaching and Learning of
Science: Paper Prepared for The Meeting-High School Science Laboratories. Role and
Vision Departement of Educational Studies University of York.
Novak and Gowin. (1985). Learning how to learn. Cambridge; Cambridge University
Press.
Pavelich, M.J. & Abraham, M.R. (1977). An Inquiry Laboratories for General
Chemistry Student. Journal of College Science Teaching. 7(1): 23-26.
Robinson, T. R., (2005). Genetiks For Dummies. Wiley Publishing Inc. Indiana: 385.
Silberman, Mel. (2002). Active Learning: 101 Strategies to Teach any Subject. Boston:
Allyn and Bacon.
Wendell, L., Douglas, Pickard, D. (2007). Teaching Human Genetiks with Mustard:
Rapid Cycling Brassica rapa (Fast Plants Type) as a Model for Human Genetiks in the
Classroom Laborator. [online]. CBE—Life Sciences Education Vol. 6, 179 –185.
15