Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 5

III

“Jika keseragaman yang kau inginkan dari ku, maka aku adalah apa yang tak pernah kau
harapkan ada”
___________________________________________________________________________
Apa kabar, nona?

Aku merindukan jalanan, tapi tak seburuk keinginanku untuk merindukan segala perasaan dan
debaran yang kita punya lepas tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Aku pernah tidur di
bawah bulan separuh, di trotoar depan toko pakaian yang lantai nya sedikit retak menjamah
tubuhku yang di bius alkohol. Tapi tidak ada kau di sana, nona. Karenanya kadangkala aku
heran: barangkali ada bilik tersembunyi dalam otak kita yang tumpang tindih hingga kita
memutar adegan-adegan manis untuk kita dalam prosa hanya remeh-temeh di hadapan kuah
bakso atau butir nasi goreng yang tersisa di piringmu. Tapi aku masih ingat betul wangi tubuh
yang cerdik menghardik dari sela-sela lehermu malam itu. Magis purnama dan aku lengah; tapi
aku bahagia. Sumir reka pikiran kita akan rangkai yang kita punya malam itu, tapi ceruk yang
direnggut dari degup jantungku tidak. Aku menginginimu, nona; seburuk kulum purnama yang
serakah aku lipat dan rebah di bawah selimutku tiap habis waktu. Aku ingat wangi tubuhmu.
Juga puisi yang merekah di antara tubuhku dan tubuhmu. Sedang kau, seperti ujung laut hari-
hari ini—begitu jauh dan angkuh dan rinduku begitu rentan hari-hari ini. Aku benci mengeja
jarak ketika puisi dan doa tak lagi belajar mengobati apa-apa.
Laki-lakimu bisa datang dan pergi; tapi hatimu tidak. Aku lebih suka menyayangi dengan lumat
yang sama dengan kepercayaan bahwa manusia dalam tiap hubungan romantiknya tak perlu
berlangsung berlarut-larut: seperti jalanan yang tekun merentang kepergian dan pertemuan,
lalu merangkumnya dalam intensitas waktu nan sumir. Kusayangi kau hari ini, tapi matahari,
esok pagi, sebentar akan pergi.
Aku sepakat bahwa pikiran akan lebih cermat dan tangkas bekerja begitu seseorang jatuh cinta.
Pertanyaan dan duga memberinya satu seremoni personil yang luhur. Tapi aku juga sepakat,
bahwa setiap hubungan yang melaju dengan segala ikatan, kewajiban, dan kepastian lebih
banyak menumpulkan kerja pikiran –membuat manusia lumpuh dan rapuh; atau malah kadang
dungu.
Satu pelajaran klasik yang perlu kau ingat, nona. Adalah kau tak perlu menyimpan cinta
berlama-lama dan berlarut-larut.

“Namun ada satu yang kurang darimu, dan itu dimiliki oleh dia” –

“Apa itu?” – Aku bertanya kembali


“Kau terlalu cuek untuk segala hal, sedang dia tanpa diminta pun, dengan begitu aku merasa di
anggap kehadiran ku” – Kau bergumam

Sudahkah lima ratus empat ribu menit yang terus menghitung maju mengajarimu waktu yang
lanus; seperti waktu yang pernah percayai bergerak tak hanya dalam garisnya yang lurus?

Benar yang dikatakan oleh mu bahwa aku seperti yang kau katakan. Tapi aku akan membacai
kembali arsip-arsip catatan kita dalam kurun kurang lebih lima ratus empat ribu menit yang
lalu: kenangan kita akan selalu berada dalam keabadiannya yang mulia dalam diriku.
Otoritasnya terhadap kepalaku akan semena-mena, dan aku paham itu. Usia kita sama
duapuluhdua dan pendewasaan mengajariku satu hal: masa lalu tak terjadi untuk disesali.
Karenanya ingatanku kuyakini bekerja dengan caranya yang lain: kubiarkan setiap ingatan
menuliskan sendiri adegan yang ingin kukenangkan bertahun-tahun kemudian. Hingga ketika
masa-masa itu tiba, seperti lima ratus empat ribu menit atau lebih, setiap sistem syaraf dalam
bongkah kepalaku berhasil menetapkan otoritasnya untuk memilah-milah kenangan yang
hendak kuturuti sebagai ingatan yang patut dipercayai. Aku tetap percaya bahwa selamanya
aku akan tetap berjalan dengan langkah ku yang kikuk; memanut diri dengan tak patuh dan
ragu terhadap semesta yang selera humornya dapat begitu menyedihkan suatu waktu. Aku akan
tetap mengingat nama, mengingat adegan, mengingat alur, dan mengingat rasa – dan
menjamunya dengan bekal catatan akan ingatan yang telah kupilah. Aku seperti menetas
berulang kali pada tiap jeda waktu tertentu sepanjang tahun; menanggalkan beban kenangan
dan memulai kehidupan dengan perkenalan-perkenalan akan peradaban yang sama sekali
berlainan. Aku tak ingin mengikat peristiwa. Aku hanya ingin hidup dengan nafas yang
membebaskan setiap pertemuan.
Kurasa tak ada yang lebih tepat alasannya untuk menjawab pertanyaan mu tadi daripada kau
dalam merangkum setiap rasa damai yang dipertemukan oleh jalanan yang memeluk kita yang
lebih suka kehilangan dirinya secara teratur. Dan ku jawab pertanyaan mu yang tadi;
Emosi hanya ritual-ritual yang memberatkan sebuah hubungan yang seharusnya berlangsung
tetap jernih…. Cara yang paling mungkin dilakukannya untuk itu, adalah membuat jarak
menjauh dan menatap nya, seperti ia sedang menatap matanya sendiri dari luar tubuhnya.
Setiap orang yang pernah membuat pertemuan dengan ku, memiliki hubungan tersendiri
dengan ku. Aku seperti menghadirkan sesuatu yang akan pergi dan yang akan datang berulang-
ulang. Tetapi aku itu sendiri tidak pernah pergi dan tidak pernah datang ke mana pun. Aku
seperti sebuah mata besar yang setia menunggu sambil menjaga batas antara yang datang dan
pergi. Mata besar yang mengikatmu dalam setiap perjalanan yang tak perlu kau tengok ke
belakang, mata besar yang setia menunggu sambil menjaga batas antara yang datang dan pergi,
mata besar yang taat membebaskan setiap peristiwa, mencintai tokoh-tokoh, dan membiarkan
mereka melesatkan dirinya dalam garis hidup yang tak lekang oleh perjanjian hubungan-
hubungan. mata besar yang merenggut nyali untuk mencintaimu, sebab aku akan
menanggalkan kesetiaan hanya pada masa lalu. Aku ingin mencintaimu dengan sungguh-
sungguh; namun cinta terlalu angkuh untuk menerima setiap kelembutan yang direnggut oleh
lema yang rakus: meruntuhkan dan merebut dengan paksa, sementara aku -mata besar yang
setia- tak hendak dimiliki oleh satu manusia. Aku ingin mencintaimu dengan sungguh-
sungguh; namun cinta yang beranjak dewasa mengajariku melangkah mundur dan mengingat
tak hanya diriku sendiri. Kau tahu, seperti jalanan, aku akan memelukmu lekat-lekat dan nyaris
berbahaya jika tiba bulan penuh; menanggalkan ingatanmu tentang kesempatan untuk
kasmaran, untuk sementara waktu. Tak ada yang perlu kita catat sebagai bahagia yang kekal,
sementara kau harus kembali pada tiap ikatan, juga perasaan, yang tak perlu kubawa serta ke
penghabisan. Aku mencintaimu, namun itu tak perlu lagi. Karena satu hal yang perlu kau tahu,
nona. Kita bisa saja bahagia dan menakjubkan, tapi kita juga harus belajar mengakhirinya sebab
kehidupan bukan bergerak dari waktu ke waktu, melainkan dari suasana ke suasana.
Hidup adalah keberanian menjadi kita: Karena Tidak Semua Orang Bisa Bersetia, Negativitas
punya rupa pesonanya sendiri, nona. Seperti juga langit, dunia bersepakat, surga bukan tempat
yang indah bagiku. Di sana terlalu banyak perempuan untuk satu lelaki, atau terlalu banyak
lelaki untuk satu perempuan. Sementara dunia, beserta segala yang fana ini memberimu rupa
lain hidup yang perih. Mencintai dengan berbagi tubuh. Kecemburuan juga harga diri yang
terlampau tinggi membuat kita lupa. Cinta adalah perihal menerima. Sementara kesetiaan, ya
kesetiaan, membutuhkan kesepakatan dengan ikatan-ikatan yang jelas.
Cinta yang demikian adalah cinta yang palsu, nona. Kamu tahu itu.
Masihkah kita perlu juga kembali mengingat bagaimana aku menemuimu? Rindang-rindang
daun dan ranggas frasa terbang menjauh dan menjemputmu dari perjalanan. Barangkali jenuh
dan tak menggairahkan; atau barangkali kita hanya sepasang anak-anak yang merayakan usia
dengan keterkejutan yang telah kita kemas di balik pakaian. Aku menemuimu dari balik gelap
kaca-kaca jendela kamar yang menyembunyikan pertemuan: dekap dan pelarian, pagut dan
penolakan. Mengapa enggan juga kita mengeja setiap manusia yang begitu takut tertaklukkan?
(sebab subuh menerus meninggi dan melipati setiap deru nafas yang kita kumpulkan di
sepanjang pertemuan, berulangan dan tak kunjung mengenyangkan; dan kita menyerah juga,
bukan, pada kerinduan?)
Dan kukatakan juga saat ini: kala tak lagi kutemui kau dari satu jejal selimut dan kamar tidur
yang satu ke selimut dan kamar tidur yang lain, sebab telah kutemui kau dari jeja-jejak social
media ke akun seseorang yang lain. Kutemui kau dari persembunyian ke persembunyian,
hingga pepat dan dapat kau dekap sunyi puisi yang ditulisi kanak-kanak mimpi kita sendiri.
Kukatakan juga saat ini, nona. sewaktu terakhir kau membunyikan sahutnya dari ujung liku
jalan ramai, sorot pula kedua bola mata ini di ujung genggaman tangan orang lain. Ingin kutulisi
padamu, aku menyayangimu, tapi pasar malam tak lagi begitu menggembirakan untuk
dirayakan dengan kelap-kelip neon yang hanya mampu berulang dan tak menggenapi kebas
kecil kunang-kunang, mungkin juga kupu, dari rongga dada kita masing-masing. Namun tak
ada yang lebih bijak dari sepenggal akhir pekan dalam mengajarkan kita tentang sebuah
dahaga. Maka, kudekap pula sisa malam dengan puisi yang kembali enggan kita tahbiskan;
sedang kusaksikan separuh bulan di sepanjang perjalanan nampak seperti buku sakumu: terlipat
pada ujung halaman yang mencatat tentang sepasang kanak-kanak yang terus memutar sebuah
kecupan di bawah purnama di sebuah akhir pekan. Tidakkah dingin menyerbu juga kamar
tidurmu malam ini hingga nyata dahaga di tubuhmu juga? Tidakkah perjalanan mengajarimu
memilah dan melipati pakaian cermat-cermat; juga mengajarimu saat yang tepat untuk
meninggalkannya, serta menanggalkannya? Manakah yang lebih menakutkan: terjaga dari
tidur dengan seorang lelaki yang tak kau kenali sekali waktu atau terjaga dari tidur dengan
seorang lelaki yang kau kenali namun kau sadari keliru dan harus menjalaninya sesisa
hidupmu? Ya, aku tahu, aku akan pergi besok, jadi hapuslah air mata hitam itu. Dunia tidak
akan runtuh hanya karena seorang perempuan tidur bersama laki-laki tak dikenal dalam
hubungan mesra yang tak tahan lama.
Semoga kau dapat mengerti setiap dosa den ego yang ku miliki.
🌻

Nona, Di usia ku yang hampir dua puluh tiga, baru aku tahu alasannya ketakutan di setiap
kerumunan.Waktu itu, sebelum aku belajar mengerti mengapa kita perlu belajar mengerti
dengan segala kesadaran sebagai manusia di alam semesta.

Pukul 14.00 kita pergi dari rumah menuju pusat kota.


Pukul 15.00, di bundaran titik nol – jauh berkilo-kilo dari rumah, macet yang tak berkesudahan:
baru saja terjadi keramaian, ketika sekerumunan orang menjegat mobil-mobil yang mencoba
bergerak. Kerumunan orang yang berteriak dan beringas, menghampiri mobil di belakang,
samping, depan, juga mikrolet yang kita tumpangi. Seorang gemuk, pria seperempat abad yang
menyetir mikrolet birunya. Waktu itu, Juni 2021.

“ para demonstran itu, teriak sekenceng-kencengnya,”, tentang mobil di depan kita yang
memberi recehan, kau membalas dengan senyuman manis sebagai ungkapan terimakasih,
Kerumunan waktu itu menjegat juga mobil-mobil lainnya – yang salib dan segala atribut
identitasnya dari dashboard dan spion.
Seseorang dari kendaraan beroda dua menyebar uang receh kertasnya, mengalihkan perhatian
kerumunan orang-orang itu, sekedar untuk dapat mencoba melaju.

Nona, perempuan cerdas yang bagi ku sikap apolitisnya begitu menyebalkan. Kau selalu
menjaga jaraknya dari percakapan-percakapan tentang sosial dan politik. Selalu marah pada
setiap kegiatan yang ku lakukan – apalagi yang berdekatan dengan lingkup-lingkup yang
hampir bersinggungan dengan politik (bahkan yang bukan praktis). Dulu, sebelum aku
mendengar suaranya yang bergetar.
Ada dua kesempatan aku dengar suara mu bergetar: pertama, setiap kali bicara tentang ayah,
dan yang kedua baru saja: ketika bicara tentang ingatannya berada di tengah kerumunan yang
jaraknya hanya setipis kaca mobil dari segala kemungkinan penghancuran di tengah-tengah
mereka yang mungkin juga tak tahu apa guna melakukan tindakan demikian, dengan
perawakannya dari gender yang kau bawa dari lahir; dari anak perempuan yang ingin
mengobati luka ibunya yang lebih kuat dari segala keabaian yang pernah ia sangkakan, juga
untuk ayah yang mungkin menyimpan luka diam-diam (terutama yang berlipat-lipat lukanya
dengan menjadi korban, bukan hanya menyaksikan), sambil berharap sejarah penghancuran
tidak akan pernah berulang. Kau Berupaya ingin melakukan sesuatu dengan keilmuan yang
dimiliki mu. Berlaku, meski sedikit.
❖ Ia perempuan yang membenci ayahnya namun menjelma menjadi ayahnya sendiri. Ia
begitu ingin meninggalkan rumah namun tetap menyayangi ibunya. Ia pergi mabuk di
sebuah malam, merokok di malam berikutnya. Ia mendustai arti pulang pada lubang
yang telah melahirkannya ke dunia. Ia pulang pada sebuah cita-cita. Yang ia takutkan
sendiri. Ia perempuan yang menakuti janji. Karenanya ia paham mengapa akhirnya ia
hidup sendiri. Ia tak ingin berdampingan. Ia tak punya kawan. Ia tak punya pegangan
dan pelukan. Didustainya gerejanya. Didustainya janji baptisnya. Didustainya
sakramen-sakramen yang telah diterimanya. Juga didustainya pemikiran-pemikiran
besar yang membentuk dirinya. Didustainya ibunya. Didustainya kekasihnya.
Didustainya selingkuhannya. Didustainya dirinya sendiri. Ia perempuan yang
membenci ayahnya namun menjelma menjadi ayahnya sendiri. Ia tak ingin dimiliki.
Karenanya ia tak pernah begitu ingin memiliki. Segalanya adalah hal-hal yang tak
ingin ia ikat dalam nadi. Ia hadir untuk hari ini. Ia senang mimpi-mimpi, hanya engga
mengikatnya lekat-lekat dalam diri. Dikecewakannya ibunya sendiri. Dikecewakannya
kawan-kawannya sendiri. Dikecewakannya guru-gurunya. Dikecewakannya diri
sendiri. Ia begitu ingin pergi berlari. Sendiri. Tak mengingini. Tak memiliki. Tak
dimiliki. Ia kehilangan dirinya sendiri.
Yang kutulis sebelum aku menolak pulang takut ibu mengamuk sebab aku mabuk.
Namun kekasihku adalah pagi; yang setia menungguiku kembali. Lagi. Aku tak ingin pergi
lagi. Bahkan jika nanti aku memutuskan pergi mabuk lagi.

To be continued.....

You might also like