Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

Jurnal Hukum & Pembangunan

Volume 48 Number 1 Article 2

3-31-2018

PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI


HUKUMNYA TERHADAP NEGARA DISEKITAR KAWASAN
TERSEBUT
Muhammad Rafi Darajati
Tanjungpura University, Indonesia, rafidarajati@gmail.com

Huala Adolf
Faculty of Law Universitas Padjajaran, huala.adolf@gmail.com

Idris -
Faculty of Law Universitas Padjajaran, idris_idris@yahoo.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp

Part of the Comparative and Foreign Law Commons, International Law Commons, and the Natural
Resources Law Commons

Recommended Citation
Darajati, Muhammad Rafi; Adolf, Huala; and -, Idris (2018) "PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN
SERTA IMPLIKASI HUKUMNYA TERHADAP NEGARA DISEKITAR KAWASAN TERSEBUT," Jurnal Hukum &
Pembangunan: Vol. 48: No. 1, Article 2.
DOI: 10.21143/jhp.vol.48.no.1.1594
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol48/iss1/2

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Jurnal Hukum & Pembangunan by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 22-43
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN SERTA IMPLIKASI


HUKUMNYA TERHADAP NEGARA DISEKITAR KAWASAN
TERSEBUT

Muhammad Rafi Darajati*, Huala Adolf**, Idris**

*Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran,


Korespondensi: rafidarajati@gmail.com
**Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Korespondensi: huala.adolf@gmail.com, idris_idris@yahoo.com
Naskah dikirim: 14 Maret 2017
Naskah diterima untuk diterbitkan: 14 Januari 2018

Abstract
One of interesting developments about the global security is the issue of
territorial disputes in the South China Sea between Philippines and China.
Philippines has brought the dispute to the Permanent Court of Arbitration. The
ruling from Permanent Court of Arbitration said that China’s claim about a
nine-dash line does not have a legal basis. However, China rejects the ruling
and remains aggressive which might cause instability in South China Sea region.
This research aims to look at the implications of the ruling of the Permanent
Court of Arbitration for State Parties and states around the South China Sea
region. Authors use juridical normative research method with literature studies.
This research shows that States Parties have to implement and respect the ruling
because it has already become the source of international law. For the states
that located around the region, the ruling also has an effect to facing China’s
aggressiveness and rules handling maritime claims in the South China Sea
region.
Keywords: Arbitration, Legal implication, South China Sea Dispute

Abstrak
Salah satu perkembangan yang menarik mengenai keamanan global saat ini
adalah isu sengketa Laut China Selatan antara Filipina dengan Tiongkok.
Filipina telah membawa sengketa tersebut ke Permanent Court of Arbitration.
Putusan dari Permanent Court of Arbitration mengatakan bahwa klaim
Tiongkok mengenai nine dash line terbantahkan dan tidak memiliki dasar
hukum. Akan tetapi Tiongkok menolak putusan tersebut dan tetap agresif di Laut
China Selatan sehingga berpotensi menimbulkan instabilitas kawasan Laut
China Selatan. Artikel ini bertujuan untuk melihat implikasi putusan Permanent
Court of Arbitration bagi negara pihak dan negara sekitar kawasan Laut China
Selatan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara pihak yang
bersengketa harus melaksanakan dan menghormati putsan Permanent Court of
Arbitration tersebut karena sudah menjadi sumber hukum internasional. Bagi

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1594
23 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

negara di sekitar kawasan, putusan tersebut juga memiliki pengaruh di dalam


menghadapi agresivitas Tiongkok dan pengaturan mengenai klaim maritim di
kawasan Laut China Selatan.
Kata Kunci: Arbitrase, Implikasi Hukum, Sengketa Laut China Selatan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laut dapat digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi
penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan kemanan, serta
berbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut tersebut telah dirasakan oleh
umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap penguasaan dan
pemanfaatan laut oleh masing-masing negara yang didasarkan atas suatu
konsepsi hukum.1
Untuk dapat mengamankan dan menguasai lautnya, serta mencegah
negara lain untuk memanfaatkan atau merusaknya, negara tersebut dapat
menggunakan sea power. Konsep sea power diperkenalkan oleh Mahan, dimana
Mahan menyatakan perlunya enam elemen dasar untuk membangun suatu
kekuatan laut yang besar yaitu geographical territory, physical conformation,
extent of territory, character of the people, number of population, dan character
of government.2 Suatu negara melakukan pengamanan dan penguasaan laut
dikarenakan siapa yang menguasai laut maka ia akan menguasai dunia.
Mengingat pentingnya peran laut baik dari sudut pandang keamanan,
ekonomi, maupun politik, maka dibutuhkan sebuah landasan yang kuat terhadap
penentuan batas maritim antar negara. Adapun landasan hukum yang digunakan
dalam hal batas maritim ini ini adalah United Nations Convention on the Law of
the Sea 1982 (Konvensi Hukum Laut 1982). Konvensi Hukum Laut 1982
merupakan perjanjian internasional yang berisi 320 pasal dan 9 lampiran yang
mengatur mengenai hampir semua aktivitas dan persoalan tentang kelautan
termasuk di antaranya adalah pengaturan zona-zona maritim dengan status
hukum yang berbeda-beda, penetapan rezim negara kepulauan, pemanfaatan
dasar laut, pengaturan mengenai hak lintas bagi kapal, perlindungan lingkungan
laut, pelaksanaan riset ilmiah kelautan, pengelolaan perikanan, serta
penyelesaian sengketa.
Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut, Konvensi Hukum
Laut 1982 ini juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha
masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang
progresif dalam hukum internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut
berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, terutama untuk negara yang

1
Dikdik Mohamad Sodik, “Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia”, Bandung: Refika Aditama, 2014, hal. 1.
2
A.T. Mahan, “The Influence Of Sea Power Upon History 1660-1783”, Boston: Little,
Brown And Company, 1890, hal. 29.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 24

mendapatkan tambahan wilayah laut. Hal ini dapat terjadi karena potensi sumber
kekayaan laut yang ada tersebut dapat dimanfaatkan dari sisi ekonomi oleh
negara yang bersangkutan.
Salah satu perkembangan yang menarik dalam percaturan politik dan
keamanan global saat ini adalah menyangkut perkembangan kawasan Asia
Pasifik. Kawasan Asia Pasifik tidak terlepas dari perkembangan yang
menyangkut masalah keamanan dan politik internasional yang ada di antara
negara kawasan itu sendiri yang berasal dari sejarah, sengketa perbatasan
maupun teritorial. Saat ini, Laut China Selatan (LCS) menjadi flash point di
kawasan Asia Pasifik. Sengketa di LCS tidak hanya melibatkan enam negara
yaitu, Tiongkok3, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia saja,
melainkan juga menyangkut kepentingan kekuatan besar lainnya seperti
Amerika Serikat.
Eskalasi ketegangan di LCS meningkat drastis pada awal Mei 2014 lalu
ketika kilang minyak Tiongkok His Yang Shi You 981 (HYSY 981) memulai
operasi pengeboran minyak yang masih masuk wilayah Zona Ekonomi Ekslusif
dan landas kontinen Vietnam. Sebelumnya, di Mei 2009 Tiongkok
mengeluarkan pernyataan mengenai nine dash line berarti bahwa kedaulatan
yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau di LCS dan perairan yang berdekatan,
dan memiliki hak-hak berdaulat dan hukum yurisdiksi atas perairan tersebut
beserta laut dan tanah di bawahnya. Selanjutnya di tahun 2012, setelah
bersitegang dengan Filipina akhirnya Tiongkok mendirikan bangunan permanen
di Karang Dangkal Scarborough dimana posisi karang tersebut berpotensi besar
untuk mengancam keamanan Filipina karena terletak hanya 220kmdari pantai
Filipina.4 Adapun nine dash line juga dapat berfungsi sebagai batas-batas
maritim antara China dengan negara-negara di sekitar kawasan LCS.5
LCS diperebutkan karena bahwa LCS bukan hanya jalur strategis yang
menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, namun juga
sebuah pintu masuk yang vital bagi perdagangan di Asia Timur. 85% impor
energi Tiongkok dan suplai minyak untuk Jepang dan Korea melewati perairan
ini. 55% hasil produk India yang diperdagangkan dengan Asia Pasifik melewati
LCS menuju Tiongkok, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat. Selain itu, LCS
juga merupakan ekosistem laut yang luas dengan ekosistem keanekaragaman
hayati tertinggi di dunia dan menghasilkan ikan konsumsi terbesar di dunia untuk
keperluan ekspor dan rumah tangga. Daerah LCS menurut mereka disebut

3
Penyebutan istilah Tiongkok berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014
tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967.
Dalam penelitian ini penyebutan istilah Tiongkok hanya merujuk kepada penyebutan negara
saja. Sedangkan penyebutan terhadap istilah Laut China Selatan tidak diubah menjadi Laut
Tiongkok Selatan karena Keputusan Presiden tersebut hanya menetapkan pengubahan terhadap
istilah orang dan atau komunitas, dan penyebutan negara.
4
Mary Fides A. Quintos, “Artificial Islands in the South Tiongkok Sea and their Impact
on Regional Insecurity”,Center For International Relations & Strategic Studies, Vol. II No. 2
(Maret 2015), hal. 7.
5
Zhiguo Gao dan Bing Bing Jia, “The Nine-Dash Line In The South China Sea: History,
Status, And Implications”, American Journal of International Law, 107 Am. J. Int'l L. 98
(Januari 2013), hal. 8.
25 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

sebagai Second Persian Gulf karena jika perhitungan mereka betul bahwa di
LCS mengandung 130 miliar barel minyak sehingga LCS ini mengandung lebih
banyak minyak daripada wilayah di dunia kecuali di Arab Saudi, selain itu juga
di LCS dikatakan memiliki kandungan lebih dari 20 triliyun kubik gas alam di
dalam isi perut buminya.6
Salah satu negara yang gencar melakukan protes terhadap klaim
Tiongkok atas hampir seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah Filipina.
Pada bulan Januari 2013, Filipina membawa sengketa LCS ke Permanet Court
of Arbitration (PCA). Pada tanggal 12 Juli 2016, PCA, mengeularkan putusan
atas gugatan Filipina melawan Tiongkok mengenai masalah LCS, sesuai
permohonan Filipina, putusan PCA menafsirkan mengklarifikasi persoalan yang
selama ini dianggap rancu dalam pusaran konflik LCS bahwa:7
“The Tribunal concludes that, as between the Philippines and
China, China’s claims to historic rights, or other sovereign rights or
jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China
Sea encompassed by the relevant part of the ‘nine-dash line’ are
contrary to the Convention and without lawful effect to the extent
that they exceed the geographic and substantive limits of China’s
maritime entitlements under the Convention. The Tribunal concludes
that the Convention superseded any historic rights or other
sovereign rights or jurisdiction in excess of the limits imposed
therein”.
Pada intinya PCA mengklarifikasi klaim Tiongkok mengenai historic
rights sehubungan dengan wilayah maritim di LCS yang diklaim dengan
menggunakan nine-dash line merupakan hal yang bertentangan dengan
Konvensi Hukum Laut 1982. Akan tetapi pihak Tiongkok mengatakan bahwa
mereka tidak menerima dan tidak akan mengakui putusan dari PCA tersebut.
Pihak Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan bahwa putusan itu tak
memiliki kekuatan yang mengikat sehingga Tiongkok tidak akan menerima atau
mengakui putusan tersebut.8 Adapun pernyataan yang dikeluarkan oleh
Tiongkok terkait putusan PCA tersebut adalah: 9
“The ruling is null and void with no binding force. It will in no way
affect China's territorial sovereignty and maritime rights and
interests in the South China Sea. We oppose and refuse to accept any
proposal or action based on the ruling. China will continue to

6
Why the South China Sea is so crucial,http://www.businessinsider.co.id/why-the-
south-china-sea-is-so-crucial-2015-2/?r=US&IR=T#vDHPAcip2MDEl5Sj.97, diakses pada
tanggal 15 November 2016.
7
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 278.
8
Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut Tiongkok
Selatan,http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17193561/beijing.tolak.keputusan.m
ahkamah.arbitrasi.terkait.sengketa.laut.china.selatan, diakses pada tanggal 19 November 2016.
9
Foreign Ministry Spokesperson Lu Kang's Remarks on Statement by Spokesperson of
US State Department on South China Sea Arbitration
Ruling,http://www.fmprc.gov.cn/nanhai/eng/fyrbt_1/t1380409.htm, diakses pada tanggal 19
November 2016.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 26

safeguard territorial sovereignty and maritime rights and interests,


maintain peace and stability in the South China Sea, and endeavor
to peacefully resolve relevant disputes in the South China Sea with
parties directly concerned through negotiation and consultation on
the basis of respecting historical facts and in accordance with
international law”.
Klaim berbagai negara yang berbatasan dengan LCS yang dilancarkan
telah memunculkan kekhawatiran negara pengklaim dan non pengklaim di
sekitarnya serta negara luar kawasan atas masa depan kontrol, stabilitas, dan
keamanan wilayah perairan di sana. Kekhawatiran yang meningkat kemudian
telah memicu eskalasi ketegangan akibat muncul kegiatan-kegiatan militer dan
saling unjuk kekuatan angkatan bersenjata serta upaya provokasi di daerah LCS.
Selanjutnya diperlihatkan pula perilaku agresif dan beberapa upaya provokasi
yang dilakukan angkatan laut Tiongkok di wilayah LCS terhadap angkatan laut
dan nelayan asal Filipina dan Vietnam, atau sebaliknya. Aksi saling cegah dan
usir dari kawasan perairan yang dipersengketakan itu terus meningkat dan
cenderung mengarah pada terciptanya konflik berskala rendah. Konflik
bersenjata terbuka secara luas dengan intensitas tinggi tetap saja terbuka jika
resolusi konflik permanen gagal ditemukan mengingat besarnya dan banyaknya
kepentingan baik dari negara yang mengklaim, negara non pengklaim, serta
negara luar kawasan.10
Walaupun telah terdapat putusan hukum yang mengatakan bahwa nine-
dash line tidak dibenarkan berdasarkan hukum laut internasional, akan tetapi
keengganan Tiongkok untuk mematuhi putusan tersebut juga harus menjadi
kewaspadaan. Keengganan Tiongkok untuk mematuhi putusan dari PCA dan
tetap melakukan agresivitas di kawasan LCS dapat memperparah hubungan
dengan negara-negara sekitar kawasan LCS. Oleh karena itu, di dalam penulisan
ini akan bermaksud untuk melihat implikasi putusan PCA dalam kasus LCS
terhadap negara pihak maupun negara yang berkepentingan di sekitar kawasan
LCS.

B. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Yuridis


normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan
penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti.11 Penelitian ini memiliki sifat deskriptif
analitis. Deskriptif analitis mempunyai arti bersifat menggambarkan
sebagaimana adanya untuk kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut
berdasarkan kaidah-kaidah yang relevan.12 Suatu penelitian deskriptif analitis

10
Poltak Partogi Nainggolan, “Konflik Laut Tiongkok Selatan Dan Implikasinya
Terhadap Kawasan”, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, 2013, hal. x.
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat”, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2006, hal. 13.
12
Ibid, hal. 50.
27 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas dan menyeluruh


mengenai ketentuan-ketentuan hukum internasional terkait pematuhan suatu
negara terhadap hukum internasional yang akan dikaitkan analisisnya dengan
ketidakpatuhan Tiongkok terhadap putusan PCAdalam sengketa LCS yang
melibatkan Tiongkok dan Filipina serta menganalisis mengenai implikasi hukum
putusan tersebut terhadap negara di sekitar kawasan LCS.

II. PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Arbitrase

Suatu sengketa merupakan suatu hal yang wajar dalam setiap hubungan
baik dari ruang lingkup antar individu sampai dengan antar negara. Namun yang
menjadi penting untuk diperhatikan adalah ketika telah terjadi sengketa, para
pihak harus berkomitmen untuk menyelesaikan sengekta tersebut secara damai.
Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan
individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin
dengan baik, pergesekan kepentingan, perbedaan pemahaman mengenai suatu
hal dan berbagai faktor lainnya merupakan hal yang biasa terjadi. Sengketa yang
muncul lebih banyak dalam tataran hubungan internasional adalah mengenai
sengketa teritorial. Hal ini dapat dipahami karena isu teritorial berkaitan dengan
bentuk penjelmaan kedaulatan tertinggi yang dimiliki oleh setiap negara yang
berdaulat. Seperti yang disampaikan oleh Masako Ikegami bahwa “Territorial
disputes as a normative issue derive from the basic understanding that territory
is a basic source of identity both for state and for the people who live
there”.13Apabila sengketa telah terjadi maka hukum internasional memainkan
peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.
Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa
internasional adalah dengan memberikan cara bagaimana para pihak yang
bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam
perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian
yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang. Adapun yang dimaksud dari
sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai
pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-
kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Suatu sengketa bukanlah suatu
sengketa menurut hukum internasional apabila penyelesaiannya tidak
mempunyai akibat pada hubungan kedua belah pihak.14
Di dalam penelitian ini akan memfokuskan mengenai penyelesaian
sengketa internasional secara damai. Kewajiban negara-negara untuk
menyelesaikan sengketa secara damai terlihat di dalam pasal 2 ayat (3) Piagam
PBB yang berbunyi: “All Members shall settle their international disputes by

13
Davina Oktivana, “Sengketa Kepemilikan Pulau Dokdo/Takeshima dalam Perspektif
Hukum Internasional”, dalam Idris (ed), Peran Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia
Kenyataan, Harapan, dan Tantangan,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013, hal. 388.
14
Huala Adolf, “Hukum Penyeleseaian Sengketa Internasional”, Jakarta: Sinar Grafika
2014, hal. 3.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 28

peaceful means in such a manner that international peace and security, and
justice, are not endangered”.15 Kewajiban yang tercantum di dalam pasal ini
tidak dipandang sebagai suatu kewajiban yang pasif. Kewajiban tersebut
terpenuhi jika negara yang bersangkutan menahan dirinya untuk tidak
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal ini mensyaratkan
negara-negara untuk secara aktif dan dengan itikad baik menyelesaikan
sengketanya secara damai sedemikan rupa sehingga perdamaian dan keamanan
internasional serta keadilan tidak terancam.16 Pengaturan lebih lanjut mengenai
kewajiban untuk menyelesaikan sengketa internasional secara damai terlihat di
dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB yang berbunyi:
“The parties to any dispute, the continuance of which is likely to
endanger the maintenance of international peace and security, shall,
first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional
agencies or arrangements, or other peaceful means of their own
choice”.
Di dalam hukum internasional terdapat prinsip-prinsip yang berlaku
secara universal mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Prinsip tersebut
terlihat di dalam Declaration on Principles of International Law concerning
Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the
Charter of the United Nations. Prinsip-prinsip tersebut yakni:17
1. The principle that States shall refrain in their international
relations from the threat or use of force against the territorial
integrity or political independence of any State, or in any other
manner inconsistent with the purposes of the United Nations
2. The principle that States shall settle their international disputes
by peaceful means in such a manner that international peace and
security and justice are not endangered
3. The duty not to intervene in matters within the domestic
jurisdiction of any State, in accordance with the Charter
4. The duty of States to co-operate with one another in accordance
with the Charter
5. The principle of equal rights and self-determination of peoples
6. The principle of sovereign equality of States
7. The principle that States shall fulfil in good faith the obligations
assumed by them in accordance with the Charter.
Dari ketentuan pasal 33 ayat (1) Piagam PBB tersebut terlihat bahwa
arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa internasional telah diakui
eksistensinya oleh masyarakat internasional. Bahkan apabila ditarik sejarahnya,

15
Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
16
Op.cit., hal. 13.
17
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and
Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations.
29 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

arbitrase merupakan mekanisme yang pertama dan merupakan suatu cikal bakal
dari timbulnya mekanisme pengadilan yang permanen.18
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage
(Belanda/Perancis), arbitration (Inggris), dan schiedspruch (Jerman), yang
berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau
perdamaian melalui arbiter atau wasit.19
Peran arbitrase di dalam menyelesaikan sengketa nasional maupun
internasional dewasa ini menjadi semakin meningkat. Peran arbitrase di sini
tidak lagi semata-mata dibatasi oleh para pihak, yaitu pedagang, tetapi juga
menyelesaikan sengketa antar negara, individu, dan perusahaan. 20 Arbitrase
merupakan suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa
atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau
lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan
memperoleh satu keputusan final dan mengikat.21
Arbitrase memiliki definisi sebagai salah satu mekanisme alternatif
penyelesaian sengketa yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh
undang-undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya
dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang arbiter atau lebih ahli yang
profesional, yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan
menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara
hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut
terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat.22 Salah satu
kelebihan arbitrase terletak pada sifat putusannya dimana putusan arbitrase
adalah bersifat final dan mengikat (final and binding). Dengan demikian, proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diselesaikan dengan lebih cepat
dibandingkan dengan proses peradilan umum yang berlangsung lebih lama
karena dapat dilakukan upaya hukum atas putusan peradilan dan bertingkat-
tingkat.23
Berdasarkan pengertian di atas pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur arbitrase sebagai berikut yaitu:24
a. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan
b. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
c. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang
sudah terjadi

18
J.G. Merrills, “International Dispute Settlement”, Cambridge: Cambridge
University Press, 2011, hal. 83.
19
Susanti Adi Nugroho, “Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan
Hukumnya”, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hal. 78.
20
Huala Adolf, “Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase”, Bandung: Keni
Media, 2014, hal. 1.
21
Priyatna Abdurrasyid, “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Suatu Pengantar”, Jakarta: Fikahati Aneska, 2011, hal. 61.
22
Ibid, hal. 49.
23
Frans Hendra Winarta, “Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional”, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 60.
24
op.cit., hal. 80.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 30

d. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang


berwenang mengambil keputusan
e. Sifat putusannya final dan mengikat.
Menurut Gary B. Born, terdapat empat karakteristik yang dimiliki oleh
arbitrase. Karakteristik tersebut adalah:25
“First, arbitration is consensual, the parties must agree to arbitrate
their differences. Second, arbitrations are resolved bynon
governmental decision makers, arbitrators do not act as government
agents, but are private persons selected by parties. Third, arbitration
produces a definitive and binding award, which is capable of
enforcement through national courts. Finally arbitration is
comparatively flexible, as contrasted to most court procedures”.
Arbitrase adalah mekanisme atau cara penyelesaian sengketa yang
diputus oleh pihak ketiga yang disebut arbitrator. Di dalam memutus sengketa,
arbitrator berperan penting di dalam upayanya mencari penyelesaian yang win-
win solution. Dalam upaya untuk mencari upaya penyelesaian yang win-win
solution inilah tercermin maksud atau tujuan mulia dari arbitrase yaitu mencari
upaya perdamaian di antara pihak. Dengan terciptanya perdamaian, maka akan
terhindar dari rasa permusuhan terhadap para pihak. Penekanan pada perdamaian
ini menghasilkan teori hukum perdamaian. Jika arbitrase yang digunakan adalah
arbitrase internasional maka teori hukum ini dapat disebut dengan teori hukum
perdamaian dunia. Teori perdamaian tercermin dari adanya kehendak dari sang
pencipta yang terdapat di dalam setiap kitab suci agama-agama, yaitu terciptanya
perdamaian di dunia.26
Arbitrase internasional memiliki definisi sempit dan definisi yang luas.
Arbitrase internasional dalam arti sempit adalah arbitrase sebagai suatu lembaga
penyelesaian sengketa yang khusus menangani dan menyelesaikan sengketa-
sengketa di bidang perdagangan. Arbitrase dalam arti ini adalah arbitrase yang
pengaturannya tunduk pada pengaturan di bawah United Nations
commissionInternational Trade Law (UNCITRAL). Sedangkan arbitrase
internasional dalam arti luas adalah arbitrase sebagai lembaga penyelesaian
sengketa untuk menyelesaikan segala sengketa seperti yang tercantum di dalam
pasal 33 ayat (1) Piagam PBB.27
Adapun pembahasan dalam penulisan ini berfokus pada kategori
arbitrase internasional dalam arti luas. Badan arbitrase internasional publik ini
adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan
arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela untuk
memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan
mengikat. Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara
yaitu penyelesaian oleh seorang arbitrator secara terlembaga (institutionalized)
atau kepada suatu badan arbitrase ad hoc (sementara). Badan arbitrase
25
Gary B. Born, “International Commercial Arbitration Commentary and
Material”, The Hague: Kluwer Law International, 2001, hal. 1.
26
Op.cit., hal. 73.
27
Ibid, hal. 6.
31 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah bediri sebelumnya dan memiliki
hukum acaranya. Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat
oleh para pihak untuk sementara waktu. Badan arbitrase sementara ini berakhir
tugasnya setelah putusan atas suatu sengketa tertentu dikeluarkan.28
Salah satu bentuk badan arbitrase internasional publik ini adalah
Permanent Court of Arbitration (PCA). PCA didirikan berdasarkan Konferensi
Perdamaian DenHaag I tahun 1899 dan Konferensi Den Haag II tahun 1907.
Kedua Konferensi tersebut menghasilkan dua konvensi yaitu: the 1899
Convention for the Pacific Settlement of International Disputes dan the 1907
Convention for the Pacific Settlement of International Disputes. Adapun
pelaksanaan konferensi tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang
mendapat manfaat perdamaian yang nyata dan abadi serta bertujuan untuk
membatasi perkembangan dari penggunaan persenjataan.29 Didirikannya PCA
memiliki tujuan sebagaimana tercantum di dalam pasal 41 the 1907 Convention
for the Pacific Settlement of International Disputes, yaitu:30
“With the object of facilitating an immediate recourse to arbitration
for international differences, which it has not been possible to settle
by diplomacy, the Contracting Powers undertake to maintain the
Permanent Court of Arbitration, as established by the First Peace
Conference, accessible at all times, and operating, unless otherwise
stipulated by the parties, in accordance with the rules of procedure
inserted in the present Convention”.
PCA berkedudukan di Gedung Peace Palace, Den Haag, Belanda.
Didirikannya badan arbitrase ini merupakan prestasi masyarakat internasional
yang luar biasa. Badan arbitrase permanen ini, pada saat itu merupakan badan
peradilan arbitrase pertama yang menyelesaikan sengketa antar negara. 31 Dasar
dari kewenangan yang dimiliki oleh PCA terdapat di dalam pasal 42 the 1907
Convention for the Pacific Settlement of International Disputes yang berbunyi:
“the Permanent Court is competent for all arbitration cases, unless the parties
agree to institute a special Tribunal”.32 Pasal tersebut menyebutkan bahwa
sengketa yang diselesaikan oleh PCA adalah segala sengketa. Frasa for all
arbitration cases menunjukkan bahwa PCA masuk dalam kategori arbitrase
pengertian secara luas.
Oleh karena isu penelitian ini adalah sengketa mengenai kelautan, maka
akan dilihat juga ketentuan mengenai arbitrase di dalam Konvensi Hukum Laut
1982. Arbitrase telah lama dikenal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di
bidang laut internasional. Praktik negara dalam menyelesaikan sengketa
mengenai atau terkait dengan laut menunjukkan bahwa arbitrase telah lama
dikenal dan dimanfaatkan negara-negara untuk menyelesaikan sengketa di

28
Op.cit., hal. 40.
29
Introduction to the PCA, https://pca-cpa.org/en/about/introduction/history/,
diakses pada tanggal 21 Februari 2017.
30
Pasal 41 the 1907 Convention for the Pacific Settlement of International Disputes.
31
Op.cit., hal. 46.
32
Pasal 42 the 1907 Convention for the Pacific Settlement of International Disputes.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 32

bidang ini.33 Dimungkinkannya penyelesaian sengketa kelautan dilakukan


melalui mekanisme arbitrase terlihat di dalam pasal 279 Konvensi Hukum Laut
1982 yang berbunyi:34
“States Parties shall settle any dispute between them concerning the
interpretation or application of this Convention by peaceful means
in accordance with Article 2, paragraph 3, of the Charter of the
United Nations and, to this end, shall seek a solution by the means
indicated in Article 33, paragraph 1, of the Charter”.
Pasal tersebut secara jelas merujuk pada pasal 33 ayat (1) Piagam PBB
di dalam setiap penyelesaian sengketa antara negara pihak Konvensi Hukum
Laut 1982 dimana arbitrase merupakan salah satu pilihannya. Ketentuan
selanjutnya yang memungkinkan keterlibatan mekanisme arbitrase di dalam
menangani sengketa kelautan adalah pasal 287 ayat (1) Konvensi Hukum Laut
1982 yang menyebutkan bahwa:35
“When signing, ratifying or acceding to this Convention or at any
time thereafter, a State shall be free to choose, by means of a written
declaration, one or more of the following means for the settlement
of disputes concerning the interpretation or application of this
Convention:
a. the International Tribunal for the Law of the Sea established in
accordance with Annex VI;
b. the International Court of Justice;
c. an arbitral tribunal constituted in accordance with Annex VII;
d. a special arbitral tribunal constituted in accordance with Annex
VIII for one or more of the categories of disputes specified
therein”.
Pasal di atas dapat dijadikan pintu masuk bagi negara pihak dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 untuk memanfaatkan mekanisme arbitrase, dalam
hal ini adalah PCA, sebagai penyelesaian sengketa mengenai interpretasi atau
penerapan Konvensi Hukum Laut 1982.

B. Yurisdiksi dalam Arbitrase Internasional

Menurut Robert Cryer yurisdiksi adalah “the power of the state to


regulate affairs pursuant to its laws. Exercising jurisdiction involves asserting a
form of sovereignty”.36Selanjutnya Oppenheim mendefinisikan yurisdiksi
sebagai: “Jurisdiction is the term that describes the limits of legal competence
of a State or other regulatory authority (such as the European Community) to
make, apply and enforce rules of conduct upon persons. It concerns essentially

33
Op.cit., hal. 8.
34
Pasal 279 Konvensi Hukum Laut 1982.
35
Pasal 287 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982.
36
Robert Cryer (et.al.), “An Introduction to International Criminal Law and
Procedure”, Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hal. 43.
33 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

the extent of each State’s right to regulate conduct or the consequences of


events”.37 Sedangkan menurut Malcolm N. Shaw, yurisdiksi berarti:38
“Jurisdiction concerns the power of the state to affect people,
property and circumstances and reflects the basic principles of state
sovereignty, equality of states and non-interference in domestic
affairs. Jurisdiction is a vital and indeed central feature of state
sovereignty, for it is an exercise of authority which may alter or
create or terminate legal relationships and obligations”.
Yurisdiksi merupakan isu penting di dalam arbitrase. Dengan adanya
yurisdiksi, suatu badan arbitrase tidak dapat melaksanakan tugasnya melebihi
dari yurisdiksi yang dimilikinya. Apabila suatu badan arbitrase tidak memiliki
yurisdiksi dan tetap melanjutkan pemeriksaan sengketa dan membuat
putusannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan unutuk
melawan putusan arbitrase tersebut. Perlawanan putusan arbitrase tersebut dapat
mengakibatkan batal demi hukum. Konsekuensi hukumnya putusan itu dianggap
sejak semula tidak ada. Untuk putusan arbitrase internasional, ketidakadaan
yurisdiksi dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya putusan. Atau
suatu negara dapat menolak atau mengesampingkan putusan arbitrase
internasional.39
Yurisdiksi suatu badan arbitrase lahir dari instrumen hukum yang
melandasi lahirnya badan arbitrase itu atau instrumen hukum yang memberi
dasar hukum mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan hukumnya
untuk memutus sengketa; atau kesepakatan para pihak. Instrumen hukum baik
internasional atau nasional merupakan prasyarat utama untuk lahirnya
kewenangan hukum atau yurisdiksi arbitrase.40 Sedangkan kesepakatan para
pihak juga merupakan akar yang menentukan yurisdiksi badan arbitrase. Tujuan
dan masalah yang harus diselesaikan badan arbitrase juga ditentukan oleh para
pihak. Faktor kesukarelaan dan kesadaran bersama merupakan landasan
keabsahan ikatan perjanjian arbitrase.41
Dalam kasus sengketa LCS ini, PCA memiliki yurisdiksi untuk memutus
permohonan yang diajukan oleh Filipina. Hal tersebut dipertegas dalam putusan
kasus sengketa LCS pada paragraf 4 bahwa:42
“The basis for this arbitration is the 1982 United Nations
Convention on the Law of the Sea (the “Convention” or
“UNCLOS”).Both the Philippines and China are parties to the
Convention, the Philippines having ratified it on 8 May 1984, and
China on 7 June 1996. The Convention was adopted as a

37
Oppenheim, “International Law Volume 1: Peace Edited by Sir Robert Jennings and
Sir Arthur Watts”, Harlow: Longman, 1992, hal. 456.
38
Malcolm N. Shaw, “International Law Fifth Edition”, Cambridge: Cambridge
University Press, 2003, hal. 572.
39
Op.cit., hal. 140.
40
Ibid, hal. 142.
41
Op.cit., hal. 37.
42
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 4 .
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 34

“constitution for the oceans,” in order to “settle all issues relating


to the law of the sea,” and has been ratified by 168 parties. The
Convention addresses a wide range of issues and includes as an
integral part a system for the peaceful settlement of disputes. This
system is set out in Part XV of the Convention, which provides for a
variety of dispute settlement procedures, including compulsory
arbitration in accordance with a procedure contained in Annex VII
to the Convention. It was pursuant to Part XV of, and Annex VII to,
the Convention that the Philippines commenced this arbitration
against China on 22 January 2013.”

C. Gambaran Sengketa Laut China Selatan antara Filipina dengan


Tiongkok di PCA

Secara geografis kawasan LCS dikelilingi sepuluh negara pantai


(Tiongkok dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura,
Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos,
dan dependent territory yaitu Macau. Luas perairan LCS mencakup Teluk Siam
yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin
yang dibatasi Vietnam dan RRC. Kawasan LCS merupakan perairan yang
memanjang dari barat daya ke arah timur laut. Sebelah selatan berbatasan dengan
3 derajat lintang selatan antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, tepatnya
Selat Karimata, dan disebelah utara berbatasan dengan Selat Taiwan. Letak
geografis yang tidak menentu inilah yang menyebabkan beberapa negara merasa
ikut memiliki hak atas perairan dan kepulauan tersebut. Serta ditambah lagi
dengan pedoman aturan ZEE 200 mil, dimana semua negara yang berbatasan
dengan LCS memiliki batas berdasarkan ZEE yang saling tumpang tindih
sehingga menimbulkan masalah penentuan batas dan klaim wilayah.43
LCS termasuk kategori semi-enclosed sea. Menurut pasal 122 Konvensi
Hukum Laut 1982, yan dimaksud dengan semi-enclosed sea adalah:
“enclosed or semi-enclosed sea means a gulf, basin or sea
surrounded by two or more States and connected to another sea or
the ocean by a narrow outlet or consisting entirely or primarily of
the territorial seas and exclusive economic zones of two or more
coastal States”.44
Terhadap dinamika yang terjadi di LCS ada dua isu yang harus dipahami.
Isu yang pertama adalah mengenai sengketa kepemilikan pulau dimana di LCS
itu banyak karang dan pulau-pulau kecil, yang berkepentingan terhadap isu
kepemilikan pulau ini adalah Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Vietnam, dan Brunei
Darussalam. Sedangkan isu yang kedua adalah isu mengenai delimitasi batas
martim, dimana dalam isu ini yang menjadi persoalan adalah bukan pulau-

43
S.M. Noor, “Sengketa Laut Cina & Kepulauan Kuril”, Makassar: Pustaka Pena Press,
2015, hal. 201.
44
Pasal 122 Konvensi Hukum Laut 1982.
35 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

pulaunya, melainkan soal batas-batasnya.45 Di antara negara-negara yang


bersengketa, hanya Filipina yang membawa sengketa LCS ke ranah hukum.
Pada tanggal 22 Januari 2013, Filipina membawa sengketa LCS ke PCA. Ada
tiga dasar materi gugatan yang diajukan oleh Filipina, yakni:46
(1) declares that the Parties’ respective rights and obligations in
regard to the waters, seabed and maritime features of the South
China Sea are governed by UNCLOS, and that China’s claims
based on its “nine dash line” are inconsistent with the
Convention and therefore invalid
(2) determines whether, under Article 121 of UNCLOS, certain of
the maritime features claimed by both China and the Philippines
are islands, low tide elevations or submerged banks, and
whether they are capable of generating entitlement to maritime
zones greater than 12 M;
(3) enables the Philippines to exercise and enjoy the rights within
and beyond its exclusive economic zone and continental shelf
that are established in the Convention.
Dari tiga dasar materi gugatan di atas, pada 12 Juli 2016 PCA
mengeluarkan putusan terkait sengketa antara Filipina dengan Tiongkok di LCS,
di antaranya adalah:
a. Tiongkok tidak memiliki hak histois di perarian LCS dan berdasarkan
Konvensi Hukum Laut 1982 konsep nine dash line dinyatakan tidak
memiliki landasan hukum
“the Tribunal concludes that, as between the Philippines and China,
China’s claims to historic rights, or other sovereign rights or
jurisdiction, with respect to the maritime areas of the South China
Sea encompassed by the relevant part of the ‘nine-dash line’ are
contrary to the Convention and without lawful effect to the extent
that they exceed the geographic and substantive limits of China’s
maritime entitlements under the Convention. The Tribunal
concludes that the Convention superseded any historic rights or
other sovereign rights or jurisdiction in excess of the limits imposed
therein”.47
b. Tidak ada apa pun di Kepulauan Spratly yang memberikan China hak Zona
Ekonomi Ekslusif
“The Tribunal also concludes that none of the high-tide features in
the Spratly Islands are capable of sustaining human habitation or an
economic life of their own within the meaning of those terms in
Article 121(3) of the Convention. All of the high-tide features in the

45
Indonesia dan China di Pusaran Laut China Selatan, http://www.cnnindonesia.com/
nasional/20160624092606-75-140606/indonesia-dan-china-di-pusaran-laut-china-selatan/,
diakses pada tanggal 1 Maret 2017.
46
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 28.
47
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 278.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 36

Spratly Islands are therefore legally rocks for purposes of Article


121(3) and do not generate entitlements to an exclusive economic
zone or continental shelf. There is, accordingly, no possible
entitlement by China to any maritime zone in the area of either
Mischief Reef or Second Thomas Shoal”.48
c. Tiongkok telah mencampuri hak tradisional warga Filipina untuk
menangkap ikan, terutama di Scarborough Shoal
“the Tribunal finds that China has, through the operation of its
official vessels at Scarborough Shoal from May 2012 onwards,
unlawfully prevented Filipino fishermen from engaging in
traditional fishing at Scarborough Shoal. The Tribunal records that
this decision is entirely without prejudice to the question of
sovereignty over Scarborough Shoal”.49
d. Eksplorasi minyak Tiongkok di dekat Reed Bank melanggar kedaulatan
Filipina
“the Tribunal finds that China has, through the operation of its
marine surveillance vessels with respect to M/V Veritas Voyager on
1 to 2 March 2011 breached Article 77 of the Convention with
respect to the Philippines’ sovereign rights over the non-living
resources of its continental shelf in the area of Reed Bank”.50
e. Tiongkok merusak ekosistem di Kepulauan Spratly dengan aktivitas seperti
penangkapan ikan berlebihan dan menciptakan pulau buatan
“the Tribunal finds that China has, through its toleration and
protection of, and failure to prevent Chinese fishing vessels
engaging in harmful harvesting activities of endangered species at
Scarborough Shoal, Second Thomas Shoal and other features in the
Spratly Islands, breached Articles 192 and 194(5) of the
Convention”.51
f. Tindakan Tiongkok telah memperburuk konflik dengan Filipina
“the Tribunal finds that China has in the course of these proceedings
aggravated and extended the disputes between the Parties through
its dredging, artificial island-building, and construction activities.
In particular, while these proceedings were ongoing:
• China has aggravated the Parties’ dispute concerning their
respective rights and entitlements in the area of Mischief Reef by
building a large artificial island on a low-tide elevation located
in the exclusive economic zone of the Philippines.

48
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 646.
49
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 814.
50
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 716.
51
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 992.
37 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

• China has aggravated the Parties’ dispute concerning the


protection and preservation of the marine environment at
Mischief Reef by inflicting permanent, irreparable harm to the
coral reef habitat of that feature.
• China has extended the Parties’ dispute concerning the
protection and preservation of the marine environment by
commencing large-scale island-building and construction works
at Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef (North),
Johnson Reef, Hughes Reef, and Subi Reef.
• China has aggravated the Parties’ dispute concerning the status
of maritime features in the Spratly Islands and their capacity to
generate entitlements to maritime zones by permanently
destroying evidence of the natural condition of Mischief Reef,
Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef (North), Johnson
Reef, Hughes Reef, and Subi Reef”.52

D. Implikasi Hukum Putusan PCA dalam Sengketa LCS terhadap Para


Pihak maupun Negara yang Berkepentingan terhadap Kawasan
LCS

Dalam hukum internasional dikenal beberapa sumber hukum yang dapat


dirujuk yakni yang ada di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, hukum internasional sebagai pedoman global dalam mengatur
tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional
dan sejensinya, secara tegas menyandarkan dirinya pada sumber hukum
internasional. Sumber hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-
bahan aktual yang digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan
suatu hukum yang berlaku pada peristiwa atau kejadian tertentu.53
Adapun sumber hukum internasional yang dimaksud di dalam pasal 38
ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut:54
“The Court, whose function is to decide in accordance with
international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. International conventions, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted
as law;
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the
teachings of the most highly qualified publicists of the various
nations, as subsidiary means for the determination of rules of
law.

52
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 1181.
J.G. Starke, “Introduction to International Law”, London: Butterworth & Co., 1989,
53

hal. 292.
54
Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1).
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 38

Salah satu sumber hukum yang erat dengan artikel ini adalah putusan
badan peradilan. Putusan badan peradilan dapat dikemukakan untuk
membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan
yang didasarkan atas perjanjian internasional, hukum kebiasaan, dan prinsip
hukum umum.55 Putusan badan-badan peradilan mencakup seluruh putusan
badan peradilan. Jadi tidak hanya terbatas pada putusan-putusan badan peradilan
internasional saja seperti putusan Mahkamah Internasional, putusan badan-
badan arbitrase internasional maupun putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia
dan putusan badan-badan peradilan internasional yang lainya, melainkan
termasuk pula di dalamnya, putusan badan-badan peradilan nasional negara-
negara, badan arbitrase nasional maupun badan-badan peradilan nasional
lainnya yang mungkin ada di dalam suatu negara.56
Terhadap putusan badan peradilan internasional, ditegaskan di dalam
pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional bahwa: “The decision of the Court has
no binding force except between the parties and in respect of that particular
case”.57 Meskipun putusan badan-badan peradilan itu hanya berlaku dan
mengikat bagi para pihak yang berperkara, namun seringkali nilai hukum yang
dikandung di dalamnya dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku umum.
Putusan badan peradilan internasional juga ada yang merupakan pengukuhan
atas norma hukum internasional baru. Isi, jiwa, dan semangat yang terkadung di
dalam putusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktik dan ada
pula yang diundangkan di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Sehingga putusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku bagi
para pihak yang berperkara saja, seiring dengan perkembangan zaman menjadi
norma hukum internasional yang berlaku umum.58
Oleh karena putusan badan arbitrase internasional termasuk ke dalam
golongan sumber hukum ini, maka putusan dari PCA juga merupakan suatu
sumber hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional khususnya
bagi negara yang berperkara. Khusus dalam sengketa LCS ini, PCA
menggunakan Konvensi Hukum Laut 1982 di dalam menangani sengketa ini.
Terkait dengan implikasi hukum maka dapat melihat pasal 11 Lampiran VII
Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi: “The award shall be final and
without appeal, unless the parties to the dispute have agreed in advance to an
appellate procedure. It shall be complied with by the parties to the dispute”.59
Di dalam pasal tersebut terdapat frasa final and without appeal yang berarti
bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan
kembali. Hal ini berarti tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan arbitrase
yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase. Selanjutnya dari pasal tersebut
juga dapat dikatakan bahwa kedua pihak baik Filipina maupun Tiongkok wajib
untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan mematuhi Konvensi Hukum

55
T. May Rudy, “Hukum Internasional 1”, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 6.
56
I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, Bandung: Mandar Maju,
2003, hlm. 286.
57
Statuta Mahkamah Internasional Pasal 59.
58
op.cit., hal. 287.
59
Pasal 11 Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982.
39 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Laut 1982 dan putusan dari PCA dalam sengketa LCS dengan itikad baik.
Terlebih kedua negara baik Filipina maupun Tiongkok merupakan negara pihak
dari Konvensi Hukum Laut 1982.
Prinsip itikad baik berarti bahwa para pihak harus melaksanakan
ketentuan perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud, dan tujuan perjanjian itu
sendiri, menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-masing
pihak maupun pihak ketiga yang mungkin diberikan hak dan atau kewajiban dan
tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat usaha-usaha
mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, baik sebelum berlaku atau
ketika para pihak dalam proses penantian akan multi berlakunya perjanjian atau
juga setelah perjanjian berlaku.60
Khusus bagi Tiongkok yang secara konsisten menolak untuk mengakui
putusan PCA tersebut maka hal tersebut dapat dibantah dengan pasal 9 Lampiran
VII Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa:61
“If one of the parties to the dispute does not appear before the
arbitral tribunal or fails to defend its case, the other party may
request the tribunal to continue the proceedings and to make its
award. Absence of a party or failure of a party to defend its case
shall not constitute a bar to the proceedings. Before making its
award, the arbitral tribunal must satisfy itself not only that it has
jurisdiction over the dispute but also that the claim is well founded
in fact and law”.
Dari pasal di atas telah jelas bahwa ketidakhadiran salah satu pihak tidak
menghalangi proses dari arbitrase tersebut asalkan arbitrase yang bersangkutan
memiliki yurisdiksi untuk memeriksa sengketa. Dalam hal ini, PCA memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa sengketa LCS.
Suatu negara baik yang sedang bersengketa ataukah tidak memiliki
kewajiban untuk taat kepada hukum internasional. Untuk menumbuhkan
ketaatan negara pada hukum internasional, terdapat dua alternatif yang diberikan
oleh Chayes. Pertama melalui enforcement mechanism yang menerapkan banyak
sanksi seperti sanksi ekonomi, sanksi keanggotaan sampai ke sanksi unilateral.
Terhadap mekanisme pertama ini Chayes berhasil menyimpulkan bahwa
penerapan mekanisme ini tidak efektif, membutuhkan biaya tinggi, dapat
menimbulkan masalah legitimasi dan justru banyak menemui kegagalan.
Alternatif kedua yang ditawarkan Chayes adalah management model, dimana
ketaatan tidak dipacu olehberbagai kekerasan atau sanksi tetapi melalui model
kerjasama dalam ketaatan, yaitu melalui proses interaksi dalam justification,
discourse and persuasion. Kedaulatan tidak lagi bisa ditafsirkan bebas dari
intervensi eksternal, akan tetapi menjadi sebuah kebebasan untuk melakukant
hubungan internasional sebagai masyarakat internasional. Dengan demikian
kedaulatan yang baru ini tidak hanya terdiri dari kontrol wilayah atau otonomi
pemerintah tetapi juga pengakuan status sebagai anggota masyarakat bangsa-

60
Sefriani (1), Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional
Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016, hlm. 84.
61
Pasal 9 Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 40

bangsa. Ketaatan pada hukum internaisonal tidak lagi semata karena takut akan
sanksi tetapi lebih pada kekhawatiran pengurangan status melalui hilangnya
reputasi sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa yang baik.62
Pelanggaran suatu negara terhadap hukum internasional ini merupakan
suatu kelalaian suatu negara yang sangat serius. Perbuatan tersebut mengurangi
kepercayaan negara-negara terhadap negara tersebut, terutama dalam hal
mengadakan perjanjian dengannya di kemudian hari. Pelanggaran seperti ini
dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt
servanda dalam hukum internasional.63
Oleh karena itu terkait putusan PCA dalam sengketa LCS, maka
Tiongkok harus menghormati putusan tersebut karena sudah menjadi sumber
hukum internasional. Apabila suatu negara menaati hukum internasional maka
masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan
kedamaian. Sebaliknya apabila Tiongkok tetap konsisten untuk menolak
mematuhi putusan PCA dan terus melakukan agresivitas di kawasan LCS maka
akan terjadi instabilitas kawasan yang bisa saja berujung pada konflik terbuka.
Pematuhan terkait dengan penyelesaian sengketa juga menjadi salah satu
poin putusan yang dikemukakan pihak PCA, bahwa:64
“The Tribunal considers it beyond dispute that both Parties are
obliged to comply with the Convention, including its provisions
regarding the resolution of disputes, and to respect the rights and
freedoms of other States under the Convention. Neither Party
contests this, and the Tribunal is therefore not persuaded that it is
necessary or appropriate for it to make any further declaration”.
Putusan PCA memang bersifat final and binding, akan tetapi di dalam
Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982 tidak ada ketentuan mengenai
pelaksanaan putusan, dalam kata lain PCA tidak memiliki kekuatan untuk
melakukan pemaksaan sehingga akhirnya kembali lagi ke itikad baik para pihak
untuk melaksanakan putusan tersebut. Oleh karena itu terkait dengan penegakan
hukum maka banyak bergantung pada Filipina, apa sekarang siap untuk tegas
terhadap Tiongkok didasarkan pada tanggapan Tiongkok yang menolak hasil
putusan PCA.
Terhadap implikasinya dengan negara-negara yang berkepentingan di
sekitar kawasan LCS, putusan PCA terkait sengketa LCS merupakan klarifikasi
atau interpretasi PCA terhadap Konvensi Hukum Laut 1982 sehingga dapat
menjadi sumber hukum yang berlaku umum atau mengikat semua negara.
Intrepetasi ini sebenarnya dapat memudahkan para pihak yang bersengketa di
LCS untuk merundingkan klaim mereka masing-masing.65
62
Sefriani (2), “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional
dalam Perspekti Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18(Juli 2011), hal. 417.
63
Huala Adolf , “Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional”, Bandung: Keni
Media, 2011, hal. 219.
64
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 1201.
65
Damos Dumoli Agusman, “Mengingat Putusan Tribunal atas Laut China
Selatan”,http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817165644-21-152034/mengingat-
putusan-tribunal-atas-laut-china-selatan/, diakses pada tanggal 1 Maret 2017.
41 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Interpretasi PCA mengenai nine dash line yang tidak memiliki dasar dan
bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut 1982 bisa digunakan oleh negara-
negara di sekitar kawasan LCS apabila Tiongkok kembali melanggar kedaulatan
negara lain. Putusan PCA tersebut dapat dijadikan sarana untuk memperlemah
argumen Tiongkok.
PCA juga menemukan fakta bahwa tidak ada fitur laut yang diklaim oleh
Tiongkok yang mampu menghasilkan apa yang disebut ZEE yang memberikan
negara hak berdaulat untuk sumber daya, seperti perikanan, minyak, dan gas
dalam 200 mil laut. Dampaknya, negara-negara di kawasan LCS dapat
mengetahui seberapa besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut. Putusan
ini juga akan berguna dan dirujuk oleh negara-negara dalam praktiknya maupun
oleh putusan lembaga ajudikasi di masa mendatang.
Negara-negara di sekitar kawasan LCS harus bisa secara konsisten
mendukung pentingnya penegakan hukum dan penggunaan cara damai, bukan
kekerasan, dalam mencari penyelesaian perselisihan maritim. Karena sifat
putusan yang final dan mengikat, masyarakat interansional dapat mendorong
Filipina dan Tiongkok untuk mematuhi putusan PCA itu.

III. PENUTUP

Suatu putusan pengadilan internasional merupakan salah satu sumber


hukum internasional yang tentunya harus dipatuhi dan dihormati oleh
masyarakat internasional khususnya negara sebagai subjek hukum internasional.
Penghormatan dan pematuhan terhadap hukum internasional akan meweujudkan
ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian internasional. Hal tersebut
tidak terkecuali di dalam sengketa Laut China Selatan (LCS) antara Filipina
dengan Tiongkok. Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai lembaga yang
menangani sengketa telah mengeluarkan putusan. Sifat putusan yang bersifat
final and binding tentunya harus dihormati dan dipatuhi para pihak yang
bersengketa. Putusan terkait sengketa LCS ini juga berdampak bagi negara-
negara di sekitar kawasan dikarenakan PCA menginterpretasikan ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1982 yang diajukan oleh Filipina. Dampak yang
dirasakan adalah dapat memperlemah argumen Tiongkok mengenai nine dash
line dan dapat digunakan negara sekitar kawasan LCS untuk mengatur ulang
mengenai klaim maritimnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Born, Gary B. International Commercial Arbitration Commentary and Material,
The Hague: Kluwer Law International, 2001.
Cryer, Robert (et.al.). An Introduction To International Criminal Law And
Procedure, Cambridge: Cambridge University Press, 2010.
Putusan Sengketa Laut China Selatan, Muhammad Rafi D, Huala Adolf, Idris 42

Davina Oktivana, “Sengketa Kepemilikan Pulau Dokdo/Takeshima dalam


Perspektif Hukum Internasional”, dalam Idris (ed), Peran Hukum Dalam
Pembangunan Di Indonesia Kenyataan, Harapan, dan
Tantangan,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2014.
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional,Bandung: Keni
Media, 2011.
------------------, Dasar-Dasar, Prinsip & Filosofi Arbitrase, Bandung: Keni
Media, 2014.
------------------, Hukum Penyeleseaian Sengketa Internasional,Jakarta: Sinar
Grafika 2014.
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional,Bandung: Mandar Maju,
2003.
Mahan, A.T., The Influence Of Sea Power Upon History 1660-1783,Boston:
Little, Brown And Company, 1890.
Merrills, J.G. International Dispute Settlement, Cambridge: Cambridge
University Press, 2011.
Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut Tiongkok Selatan Dan Implikasinya
Terhadap Kawasan, Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi, 2013.
Oppenheim, International Law Volume 1: Peace Edited by Sir Robert Jennings
and Sir ArthurWatts,Harlow: Longman, 1992.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Suatu Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska, 2011.
Sefriani, Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional
Kontemporer,Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.
Shaw, Malcolm N. International Law Fifth Edition, Cambridge: Cambridge
University Press, 2003.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2006.
Starke, J.G., Introduction to International Law, London: Butterworth & Co.,
1989.
Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan
Hukumnya,Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
S.M. Noor, Sengketa Laut Cina & Kepulauan Kuril, Makassar: Pustaka Pena
Press, 2015.
T. May Rudy, Hukum Internasional 1,Bandung: Refika Aditama, 2010.
Jurnal/Artikel/Makalah
Gao, Zhiguo dan Bing Bing Jia, “The Nine-Dash Line In The South China Sea:
History, Status, And Implications”, American Journal of International
Law, 107 Am. J. Int'l L. 98, Januari 2013.
43 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1Januari-Maret 2018

Quintos, Mary Fides A., “Artificial Islands in the South Tiongkok Sea and their
Impact on Regional Insecurity”, Center For International Relations &
Strategic Studies, Vol. II No. 2, Maret, 2015.
Sefriani, “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional
dalam Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18, Juli,
2011.
Instrumen Hukum Internasional
Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (Charter of the United Nations).
Statuta Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice).
the 1907 Convention for the Pacific Settlement of International Disputes.
Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea).
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations
and Cooperation among States in accordance with the Charter of the
United Nations.
Putusan Badan Peradilan
The South China Sea Arbitration Award.
Website/Internet
Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut Tiongkok
Selatan, http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17193561/
beijing.tolak.keputusan.mahkamah.arbitrasi.terkait.sengketa.laut.china.s
elatan, diakses pada tanggal 19 November 2016.
Damos Dumoli Agusman, “Mengingat Putusan Tribunal atas Laut China
Selatan”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817165644-21-
152034/mengingat-putusan-tribunal-atas-laut-china-selatan/, diakses
pada tanggal 1 Maret 2017.
Foreign Ministry Spokesperson Lu Kang's Remarks on Statement by
Spokesperson of US State Department on South China Sea Arbitration
Ruling, http://www.fmprc.gov.cn/nanhai/eng/fyrbt_1/t1380409.htm,
diakses pada tanggal 19 November 2016.
Indonesia dan China di Pusaran Laut China Selatan,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160624092606-75-140606/
indonesia-dan-china-di-pusaran-laut-china-selatan/, diakses pada
tanggal 1 Maret 2017.
Introduction to the PCA, https://pca-cpa.org/en/about/introduction/history/,
diakses pada tanggal 21 Februari 2017
Why the South China Sea is so crucial, http://www.businessinsider.co.id/why-
the-south-china-sea-is-so-crucial-2015-2/?r=US&IR=T#vDHPAcip2
MDEl5Sj.97, diakses pada tanggal 15 November 2016.

You might also like