Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

Dunia Islam Abad XX

Oleh
Wahyu
Megister Ahwalusy Syakhshiyyah
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrack
The background for the emergence of penetration and the enthusiasm of Muslims
for independence was because Islamic countries, when they were subject to the
rule and grip of European countries, experienced decline and setbacks in various
fields. Especially in the political, social, economic and educational and scientific
fields. This situation has resulted in Muslims becoming a marginal group and being
separated from the world political arena, which of course is also very difficult to be
able to appear again to take over world leadership. Nevertheless, because of the
strong encouragement of their religion, Muslims seem to have the obligation to
carefully calculate the morals of nations and feel obliged to lead all mankind to a
happy path towards the establishment of the State 'Baldatun Toyyibatun wa
Rabbun Gafur'. It is with this spirit of reform in the Muslim Ummah that they
make European "ignorance" an enemy that must be conquered. This kind of
enthusiasm has given rise to the awareness of Muslims. This awareness developed
into a movement to liberate itself from foreign rulers. The movement for self-
determination and independence reached its peak after World War II. The
movement and awareness of nationalism is not just fighting the invaders.
Nationalism is more the most important part for the rise of the modern Islamic
Keyword : Islamic renewal, Pan-Islamism, nationalism
Abstrak
Latar belakang sehingga munculnya penetrasi dan semangat umat Islam untuk
merdeka adalah, karena negara-negara Islam ketika takluk di bawah kekuasaan dan
cengkraman negara-negara Eropa, mengalami kemerosotan dan kemunduran dalam
berbagai bidang. Terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi serta bidang
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini mengakibatkan umat Islam menjadi
kelompok marginal dan lepas dari gelanggang perpolitikan dunia, yang tentunya
juga sangat sulit untuk bisa tampil kembali mengambil alih kepimpinan dunia.
Walaupun demikian, karena dorongan yang kuat dari agamanya, umat Islam seakan
memiliki kewajiban memperhitungkan dengan cermat akhlak bangsa-bangsa
merasa berkewajiban menuntun seluruh umat manusia ke jalan bahagia menuju
pembentukan Negara ‘Baldatun Toyyibatun wa Rabbun Gafur’. Dengan semangat
reformasi pada diri umat Islam inilah, mereka menjadikan ‘kejahilan’ Eropa
sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Semangat seperti ini telah melahirkan
kesadaran umat Islam. Kesadaran itu berkembang menjadi gerakan untuk
membebaskan diri dari penguasa asing. Gerakan penentuan nasib sendiri dan
kemerdekaan mencapai puncaknya sesudah perang dunia II. Gerakan dan kesadaran
nasionalisme bukan sekedar memerangi penjajah. Nasionalisme lebih merupakan
bagian terpenting bagi kebangkitan dunia Islam modern menjelma dalam bentuk
Negara-nagara nasional. Penjajahan dalam arti sempit hanya dalam masa kurang
dari setengan abad, lenyap di dunia Islam. Beberapa bagian wilayah dunia yang
amat strategis dan merupakan garis hidup (life-line) bagi Negara-negara industry
Barat kini ditempati oleh umat Islam yang merdeka dan berdaulat. Terlepas dari
uraian tersebut di atas, dunia Islam hingga masa kini masih tergolong terbelakang
terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun dibalik
keterbelakangannya, dunia Islam mempunyai potensi. Dengan jumlah penduduk
cukup signifikan, merupakan potensi besar untuk dapat bangkit kembali dan
memimpin peradaban dunia dalam berbagai bidang.
Kata Kunci: Pembaharuan islam, Pan-Islamisme, nasionalisme

PENDAHULUAN
Pasca dibumihanguskannya Baghdad pada tahun 1258 Moleh pasukan Mongol
dibawah pimpinan Khulagu Khan, kondisi politik umat Islammulai merosot. 1
Keadaan politik umat mulai pulih kembali setelah munculnya tigakerajaan besar;
Kerajaan Usmani di Turki (1258-1926 M.), Mughal di India(1206-1526 M.), dan
Shafawi di Persia (1501-1732 M.). Dari ketiga kerajaantersebut, yang paling besar
dan yang bertahan lama adalah Kerajaan Usmani dibanding dua yang lainnya

Namun secara garis besar kejayaan ketiga kerajaan Islamtersebut masihbelum bisa
disejajarkan dengan kejayaan Islam pada masa Khulafa’ Rasyidinhingga
Abbasiyah, yang menurut Badri Yatim adalah masa Kemajuan IslamI. Membahasa
hubungan Islam dan ke-modern-an, juga tidak lepas denganmembahas kondisi
Barat, yang mana pada saat Islam mengalami kemunduran, disaat itu pulalah
bangsa Barat mengalami kemajuan. Dan ini berbanding terbaliksaat Islam
mengalami kemajuannya, saat itu adalah masa kegelapan bagi Barat3.

Ira M. Lapidus 4 telah membagi pembabakan sejarah Islamdalamtigaperiode, yakni


pertama, periode awal peradaban Islam di Timur Tengah (AbadVII-XIII M.),
Kedua, periode penyebaran peradaban Islam Timur Tengahkewilayah lain atau
disebut juga era “Penyebaran global masyarakat Islam” (AbadXIII-XIX M.) dan
ketiga, periode perkembangan modern umat Islam(AbadXIX- XX M.). Dalam
pembahasan kali ini, penulis akan mencoba untuk memaparkanbagaimana
hubungan Islam dan ke-modern-an, serta kondisi Barat, serta harapandan ide
kebangkitan Islam hubungannya dengan semangat ke-modern-an.

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2010, hal 49, lihat jugaSiti Maryam (edt),
Sejarah Peradaban Islam; dari masa klasik hingga modern, Jogjakarta: LESFI, 2003 hal. 117
PEMBAHASAN
1. Perlawanan Islam terhadap Kolonialisme Barat
Pada awal abad ke-20, mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam
Islam. Gerakan pembaharuan itu, paling tidak muncul karena dua hal, yakni
Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan Ulama bahwa banyak ajaran-ajaran
‘asing’ yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran itu
bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat,
dan takhyul. Ajaran-ajaran inilah menurut mereka, yang membawa Islam
menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit untuk membersihkan Islam
dari ajaran atau faham seperti itu.
Gerakan ini dinamakan gerakan reformasi. Kedua, pada periode ini, Barat
mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat
tersebut, menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketertinggalan mereka. Karena
itu, mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah
politik dan peradaban untuk menciptakan balanceof power2 .
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya-yang
dikenal dengan nama pembaharuan sebagai mana yang telah diuraikan di atas,
didorong oleh dua faktor yang saling mendukung. Yaitu usaha pemurnian
kembali ajaran-ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai
penyebab kemunduran Islam, dan usaha menimba gagasan-gagasan
pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat.
Pertama ditandai dengan munculnya gerakan Wahabiyah yang dipelopori
oleh Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787 M) di Arabiah, Syah
Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara
yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi. Sedangkan yang kedua dimulai
dengan upaya pengiriman pelajar Muslim oleh penguasa Turki Usmani dan
Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba Ilmu pengetahuan. Disamping
itu, adanya upaya penterjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.
Gerakan-gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh umat Islam tersebut,
lambat laun merembet ke dalam dunia politik, hal ini disebabkan karena Islam
tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali
muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan Islam se-dunia) yang
didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sansusiyah. Akan tetapi gagasan
Pan-Islamisme ini baru terdengar lantang ketika disuarakan oleh seorang
2
W. Mongomeri Watt, Islam dan Peradaban Dunia; Pengaruh Islam atas Eropa AbadPertengahan, Hendro
Prasetyo (terj), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995) hal. 2
pemikir Islam terkenal, Jamaluddin al-Afgani (1839-1897 M)3.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora ini, mendorong Sultan Kerajaan
Turki Usmani Abdul Hamid II (1876-1909 M), untuk mengundang al-Afagani
ke Istambul. Gagasan ini mendapat sambutan hangat dari dunia Islam. Akan
tetapi, menjadi duri bagi kekuasaan Sultan, sehingga al-Afgani tidak diizinkan
berbuat banyak di Istimbul4. Bermula dari sinilah semangat Pan-Islamisme
meredup, kemudian berkembang semangat nasionalisme (rasa kesetiaan
terhadap bangsa dan Negara). Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu
masuk kedalam dunia Islam melalui persentuhan dunia Islam dengan Barat.
Dipercepat lagi dengan banyaknya pelajar-pelajar muslim yang menuntut ilmu
ke Eropa atau lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka.
Gagasan kebangsaan ini pada mulanya mendapat tantangan dari pemuka-
pemuka Islam karena dinilai tidak sejalan dengan semangat Ukhuwah
Islamiyah. Akan tetapi, ia berkembang dengan cepat karena meredupnya
gagasan Pan-Islamisme. Di Mesir benih-benih semangat nasionalisme tumbuh
sejak masa al- Tahtawi (1801-1873 M), dan Jamaluddin al-Afgani. Tokoh
pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini di Mesir adalah Ahmad
Uraby Pasha.
Dibagian negeri Arab, lahir gagasan nasionalisme Arab yang mendapat
sambutan hangat. Gagasan ini terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Semangat
persatuan Arab itu semakin kuat, apalagi setelah adanya usaha dari bangsa
Barat untuk mendirikan Negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab dan di
negeri yang mayoritas dihuni orang Arab. Cita-cita mendirikan Negara Arab
menghadapi tantangan yang sangat berat. Paling tidak, untuk mencapai cita-
cita itu, mereka harus melalui dua tahap yaitu; memerdekan wilayah masing-
masing dari kekuasaan penjajah, dan kedua berusaha mendirikan Negara
kesatuan Arab. Tanggal 12 Maret 1945 berhasil didirikan Liga Arab, tetapi
cita-cita utama berdirinya Negara Arab bersatu belum tercapai apalagi ketika
itu kekuasaan Barat masih tetap banyak di sana.
Di India, sebagaimana Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal
dengan gerakan khilafat juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali (1848- 1928
M) adalah salah seorang pelopornya. Namun gerakan ini segera pudar setelah
usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapus Mustafa Kemal (1924M)
di Turki tidak mungkin lagi.
3
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, Abu Laila & Mohammad Thohir (Bandung; Rosda, 1987) hal.
174-177
4
Ibid, hal 177
Kemudian populerlah gerakan nasionalisme yang diwakili oleh Partai
Kongres Nasional India. Tetapi gagasan nasionalisme ini segara di tinggalkan
oleh tokoh-tokoh Islam, karena di dalamnya kaum Muslimin yang minoritas
tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas . Karena sulit terwujudnya
persatuan antara keduanya, maka umat Islamdi anak benua ini menganut
Islamisme yang dikenal dengan komunalisme.
Gagasan komunalisme Islam ini sebenarnuya sudah mengemuka di masa
Ahmad Khan(1817-1898 M), sebelum Liga Muslimin berdiri, dan kemudian
mengkristal di masa Iqbal (1876-1938 M), dan Muhammad Ali Jinnah (1876-
1948) 27. Sedangkan di Indonesia, yang menentang penjajah adalah beberapa
partai politik besar, seperti; Sarekat Islam (SI), dibawah pimpinan HOS
Cokroaminoto, yang berdiri tahun 1912, Partai Nasional Indonesia, yang
didirikan oleh Soekarno tahun 1927, PNI-baru bentukan Mohammad Hatta,
tahun 1931, dan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai
politik tahun 1932, dibawah pimpinan Mukhtar Luthfi28.
Dari gagasan besar diatas kemudian terdapat usaha-usaha untuk
membebaskan diri dari penjajah yang kafir di negara-negara muslim lain,
sehingga pada 17 Agustus 1945, Indonesia memerdekakan dirinya dari
penjajah, yang kemudian disusul oleh Pakistan, yaitu pada tanggal 15 Agustus
1947, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan
Konstitusi (India- Pakistan). Dan di Timur Tengah, Mesir secara resmi
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1922 dari Inggris, tetapi dalam
pemerintahan raja Faruk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada masa
pemerintahan Jamal Abd al-Naser yang menggulingkan raja Faruk pada
tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Sama
dengan Mesir, Irak merdeka secara formal tahun 1932, tapi rakyatnya baru
merasakan benar-benar merdeka tahun 1958. Sebelum itu, Negara-ngara
disekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Jordania,
dan Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libiya merdeka tahun 1951, Sudan
dan Maroko tahun 1956, Al-Jazair tahun 1962. Semuanya membebaskan diri
dari Prancis.
Dalam waktu yang hamper bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan, dan
Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula 29 . Di Asia Tenggara,
Malaysia yang waktu itu termasuk Singapura, mendapat kemerdekaan dari
Inggris tahun 1957, dan Brunai Darussalam tahun 1984M. Demikianlah satu-
persatu negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan. Bahkan
beberapa diantaranya baru mendapatkan kemerdekaaan pada tahun-tahun
terakhir seperti negara-negara Islam yang dulunya bersatu dengan Uni Soviet.
Yaitu Uzbekistan, Turkmenistan, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan,
danAzerbaijan pada tahun 1992, dan Bosnia memerdekakan diri dari
Yoguslavia jugapada tahun 1992 30 .
Dari pemaparan yang telah diuraikan diatas, penulis menyimpulkan
bahwa, terlepas dari bentuk dan usaha perlawanan yang telah dilakukan oleh
umat Islamterhadap bangsa-bangsa penjajah, semangat rasa cinta dan kesetiaan
terhadapbangsa (nasionalisme), merupakan unsur penting yang menjadi motor
penggerakdalam jiwa kaum muslimin. Semangat nasionalisme inilah, yang
kemudianmemberikan motivasi untuk berjuang melakukan perlawanan
terhadap bangsa penjajah, sehingga kaum muslimin dapat memproklamirkan
kemerdekaannegaranya.
2. Pembaharuan di Indonesia
Menurut Musyrifah Sunanto, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia
dapat dilihat dari tiga periode yaitu; periode ketika kepemimpinan Ulama sangat
dominan di masyarakat muslim, periode ketika peran ulama digantikan oleh
pemimpin-pemimpin Islam yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian
dalam perpolitikan, dan periode kebangkitan kaum intelektual Muslim. 5 a. Periode
ketika kepemimpinan Ulama sangat dominan di masyarakat Muslim.
Periode ini berlangsung sejak datang dan berkembangnya Islam di
Indonesia (sekitar abad ke-VII M) hingga berlangsungnya masa penjajahan. Pada
periode ini, Ulama merupakan satu-satunya sumber rujukan bertindak dan
informasi mengenai wacana dan faham ke Islaman, mereka menjadi sumber
rujukan ketaatan baik dalam perilaku sosial maupun politik. Hingga penjajahan
Belanda makin merata, peran Ulama tidak tergoyahkan, bahkan menjadi simbol
perlawanan dalam perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya Fatahillah
mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang Diponegoro,
Imam Bonjol dalam perang Padri. Periode sekitar tahun 1900, ketika muncul
gerakan pembaharuan. b. Periode ketika peran Ulama digantikan oleh pemimpin-
pemimpin Islam yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam
perpolitikan.
Ini diawali oleh peran pemimpin organisasi sosial seperti Haji Abdul
Karim Amrullah, Zaenuddin Labai al-Yunusi, dan pemimpin-pemimpin orgnisasi
Sumatra Thawalib di Sumatra, Syeh Ahmad Surkati dari al-Irsyad, Haji Abdul

5
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 308
Halim dari persyarikatan Ulama Majalengka, KH. Ahmad Dahlan dari
Muhammadiah, Ahmad Hasan dari Persis, dan organisasi politik SI dengan tokoh-
tokohnya. Periode ini, para pemimpin organasasi keagamaan ataupun politik Islam
yang diadopsi dari Barat, bergerak melakukan perlawanan terhadap penjajah
dengan menggunakan wadah organisasi dan partai politik yang mereka pimpin.
Sementara dalam bidang pembaharuan, Muhammadiah memilki peran
penting dalam memperkenalkan modernitas terutama dalam bidang pendidikan.
Model pendidikan tradisional (pesantren) yang dulu digunakan diganti dengan
model pendidikan Barat (Belanda), yang memakai bangku, jadwal, kurikulum,
dll.6 Hal itu didorong oleh kesadaran beragama yang modernis, yakni menjadikan
modernitas sebagai kebenaran yang netral dan tidak identik dengan barat.
Modernitas Barat dianggap sebagai kelanjutan dari modernitas Islam periode
klasik.
Periode kebangkitan kaum intelektual Muslim. Periode ini dimulai tahun
1970, ditandai dengan munculnya beberapa literatur yang mencoba mencermati
secara sistematis perkembangan dunia intelektual Muslim Indonesia. Pada tahun
1980-an dan 1990-an marak penerbitan buku-buku yang bertema keagamaan serta
merebaknya buku-buku keIslaman “intelektual dan berbasis pemikiran” yang
berdampak pada perkembangan dunia intelektual Muslim. Namun pada masa
berikutnya, zaman kebangkitan intelektual ini mempunyai berbagai macam corak
pemikiran.7 Mereka itu adalah; Neo modernism, yaitu pemikiran ke-Islam-an
yang menggabungkan dua aliran modernisme, tokohnya adalah Nurcholis Majid,
Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib. Sosialisme demokrat, yaitu gerakan
Islam yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam.
Tokoh-tokohnya adalah Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo.
Universalisme, yaitu gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai
ajaran yang universal dengan obsesi Islam sebagai perangkat nilai alternative dari
kemerosotan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah Amin Rais, Jalaluddin
Rahmat dan AM. Saefuddin. Neo revivalis, sering diartikan sebagai Ikhwanul
Muslimin di Mesir. Di Indonesia variannya muncul dari beberapa organisasi
seperti, Hamas, Hizbut Tahrir, FPI, dan Majelis Mujahidin.

3. Kejayaan Islam, Mungkinkah?


6
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 311
7
Ibid., h. 312
Lalu pertanyaannya kemudian adalah, semangat modern seperti apa
yang sebenarnya harus menjadi jiwa kaum muslimin saat ini? Kalau
modern dari sisi teknologi mungkin kita sudah kalah, tapi itu harus direbut
kembali, mengingat Barat jaya seperti ini adalah bagian dari sumbangsih
intelektual muslim yang telah meletakkan dasar perkembangan keilmuan,
namun ilmu modern tidak lahir dari rahim kaum muslimin8.
Setidaknya saat ini kita perlu kembali mengkaji al-Qur'an sebagai
sumber ajaran utama Islam, yang mana dalam tafsir al-Jawahir yang ditulis
oleh SyaikhJauhari Thantawi, disebutkan bahwa dalam al-Qur’an
setidaknya ada 150 ayat fiqih dan 750 ayat kauniah, atau ayat tentang alam
semesta. Anehnya para ulamakita lebih banyak memfokuskan pada
masalah fiqih dan cendrung meninggalkan pembahasan serta pendalaman
ayat-ayat kauniah tersebut, bahkan kita cendrung esoteris dan
mengesampikan akal, padahal realitanya tidak kurang dari 43 kali al-
Qur’an berbicara tentang akal9 . Dan alhamdulillah kita telah memiliki,
Mohammed Arkoun, al-Jabiri, Hasan Hanafi, Fadzlur Rahman 10 , dan
masih banyak lagi. Yang mana mereka permikir muslim dengan akal
pikirannya konsen dalam mengembangkan Islam modern, yang telah
didasarkan oleh Jamaluddin al-Afghani, dengan pemikirannya kita sadar
bahwa Barat sangatlah berbahaya. Dan mungkin kita harus menafsir ulang
al-Qur'an dan merenungkan kembali pernyataan tokoh-tokoh pemikir
Islam tentang al-Qur'an seperti "Bacalahal- Qur’an, layaknya dia
diturunkan kepadamu” ungkap Iqbal, atau “Rasakanlah keagungan al-
Qur’an, sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu” menurut
Muhammad Abduh11 . Selain itu kita harus kembali belajar memaknai
Islam, dan membangun anggapan bahwa agama yang mempunyai
keistimewaan dibanding dengan agama lain. Rela berkorban jiwa dan harta
benda, serta kembali mendalami spritualitas ibadah, sehingga kita
menemukan deep meaning dari ibadah itu sendiri, seperti apa yang
dipahami oleh umat Islam di awal turunnya Islam kepada umatnya Jikalau
kita selalu mendengungkan kejayaan Islam jilid II, maka kita harus
merebut sains sebagai jawaban dari kegamangan dan kegelapan Islam saat

8
Amin Ma’ruf (ed), Integrasi Ilmu dan Agama (Jogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM) hal. 37
9
Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta; Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan, (Bandung; Mizan, 2009) hal. 24
10
Muhammad In’am Esha, Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang: UINMaliki Press,
2011) hal. 155
11
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalamKehidupan Masyarakat,
(Bandung; Mizan, 1995)
ini, karena kompetisi kita saat ini adalah teknologi yang hanya bisa didapat
dengan sains12. Seharusnya pula para pemimpin ilmuan dan ulama tidak
saling mengecam satu sama lain, kita harus bersatu bangkit dari
keruntuhan kolonialisme Barat36 , kebangkitan modern Islam adalah
kebangkitan pemikiran tanpa menafikan sentuhan peradaban Barat
modern, meskipun sebenarnya kebangkitan merekaberawal dari keilmuan
Islam.

Kesimpulan

12
Akbar S. Ahmed, Citra Muslim, Tinjaun Sejarah dan Sosiologi, Nunding Ram(terj) (Jakarta; Erlangga,
1992) hal .224
Pada awal abad ke-20, muncul gerakan pembaharuan dalam Islam yang
dipicu oleh dua faktor utama. Pertama, kesadaran di kalangan ulama bahwa
ajaran-ajaran asing yang bertentangan dengan ajaran Islam masuk dan diterima
dalam masyarakat Muslim. Mereka merasa bahwa ajaran-ajaran ini telah
menyebabkan kemunduran dalam agama Islam. Oleh karena itu, mereka berusaha
membersihkan agama Islam dari ajaran-ajaran yang dianggap sesat seperti bid'ah,
khurafat, dan takhayul. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi.
Kedua, pada periode ini, Barat mulai mendominasi dunia secara politik
dan peradaban. Kontak dengan peradaban Barat ini membuat tokoh-tokoh Islam
menyadari ketertinggalan umat Islam. Mereka mulai mencoba meniru Barat dalam
bidang politik dan peradaban untuk mencapai keseimbangan kekuatan.
Upaya memulihkan kekuatan Islam pada umumnya melibatkan dua aspek
yang saling mendukung. Pertama, membersihkan ajaran-ajaran Islam dari unsur-
unsur asing yang dianggap sebagai penyebab kemunduran. Kedua, menyerap
gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan-gerakan
pembaharuan ini dimulai dengan munculnya gerakan Wahabiyah yang dipimpin
oleh Muhammad ibn Abdul Wahab di Arab Saudi, Syah Waliullah di India, dan
gerakan Sanusiyah di Afrika Utara.
Selain itu, terjadi juga pengiriman pelajar Muslim ke negara-negara Eropa
untuk menimba ilmu pengetahuan. Terjemahan karya-karya Barat ke dalam
bahasa Arab juga dilakukan. Gerakan-gerakan pembaharuan ini lambat laun
mempengaruhi dunia politik, karena Islam tidak dapat dipisahkan dari politik.
Gagasan politik yang muncul pertama kali adalah Pan-Islamisme, yang
dipopulerkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiyah. Salah satu pemikir terkenal
yang mengembangkan gagasan ini adalah Jamaluddin al-Afghani.

Semangat Pan-Islamisme ini mendapatkan dukungan dari Sultan Abdul


Hamid II dari Kesultanan Utsmaniyah. Namun, gagasan ini menjadi kontroversial
bagi kekuasaan Sultan, dan akhirnya redup. Kemudian muncul semangat
nasionalisme, yang berasal dari Barat, melalui persentuhan Islam dengan Barat.
Banyak pelajar Muslim yang menuntut ilmu di Eropa atau lembaga pendidikan
Barat yang didirikan di negara-negara Muslim. Gagasan nasionalisme ini pada
awalnya ditentang oleh pemuka Islam karena dianggap tidak sejalan dengan
semangat persaudaraan Islam. Namun, gagasan ini berkembang pesat dengan
meredupnya Pan-Islamisme.
Di berbagai negara, seperti Mesir, Arab, India, dan Indonesia, muncul
gerakan nasionalisme yang mendapat dukungan luas. Gerakan ini berusaha
membebaskan diri dari penjajahan

Daftar Pustaka
Ahmed, S.Akbar, 1992, Citra Muslim, Tinjaun Sejarah dan Sosiologi,
NundingRam (terj), Jakarta; Erlangga
Amin, Ahmad, 1987, Islam dari Masa ke Masa, Abu Laila & Mohammad Thohir,
Bandung; Rosda
Bakri, Syamsul, S.Ag., M.Ag, Peta Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Fajar
Media Press, 2011
Esha, In’am, Muhammad, 2011, Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam,
Malang: UIN Maliki Press
Ma’ruf, Amin (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Jogyakarta: Badan
PenerbitanFilsafat UGM
Maryam, Siti (edt), 2003, Sejarah Peradaban Islam; dari masa klasik
hinggamodern, Jogjakarta: LESFI
Purwanto, Agus, 2009, Ayat-ayat Semesta; Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan,
Bandung; Mizan
Shihab, Quraish, M., 1995, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran
Wahyudalam Kehidupan Masyarakat, Bandung; Mizan
Supriyadi, Dedi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Watt Mongomeri, W. 1995, Islam dan Peradaban Dunia; Pengaruh Islamatas Eropa Abad
Pertengahan, Hendro Prasetyo (terj), Jakarta: GramediaPustaka Utama
Yatim, Badri, Dr., MA, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawali Press

You might also like