Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 152

ANALISIS EKOLOGI, BIOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI

UNTUK DASAR KEBIJAKAN PENGELOLAAN


BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain)

EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Ekologi, Biologi dan
Sosial Ekonomi untuk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut
(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain) adalah
karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Edwin Leonardo Apolonio Ngangi


NIM C261030031
ABSTRACT

EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI. Analysis of Ecology, Biology and


Social Economic for Management Policy of Seaweed Cultivation (Case of
Seaweed Kappaphycus alvarezii Cultivation on Nain Island). Under direction of
AKHMAD FAUZI, ISMUDI MUCHSIN, ENANG HARRIS and RICHARDUS
KASWADJI.

The declining of seaweed production in the Nain Island migh be attributed


to the frequency use of seeds repeatedly for many years. In addition to the use
of seeds, the declining was also due to the construction of houses on the area of
cultivation. Nain Island is a semi enclosed waters so that waste can be trapped in
it. The study was conducted in several stages: seaweed growth test, water quality
observations, interviews, and measurement of potential contamination. The results
of observations show that Nain Island water is still below the threshold limit
values and quality of raw water pollution control and water quality standard for
marine biota. Distribution of domestic waste has not reached the area of seaweed
cultivation. The capacity of a viable operating area is 7 units per acre.
Total production of Kappaphycus alvarezii in the area of 1.075,2 hectares is
4,449 tons per harvest or 26.695,2 tons per year. Firms benefit if they start the
cycle in stage IV, and continued to increase. Net present value (NPV) is Rp.
102.074.976, benefit cost ratio (B/C ratio) is 1.27, and payback period for 1 year 3
months 8 days. If seaweed prices fell Rp. 10.000/kg then the NPV is Rp.
22.523.280 and B/C ratio is 1,106. If there is an increase of 25% of production
costs, the project is still feasible to be developed, where the NPV is still positive
(Rp. 16.988.526) with B/C ratio of 1,04. Relative efficiency values for seaweed
cultivation on the Nain Island is 100%. This shows that seaweed cultivation on
Nain Island has been efficient.

Keywords: Nain Island, Seaweed cultivation, Water quality, NPV, Efficiency.


RINGKASAN
EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI. Analisis Ekologi, Biologi dan
Sosial Ekonomi untuk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut
(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain). Dibimbing
oleh AKHMAD FAUZI, ISMUDI MUCHSIN, ENANG HARRIS, dan
RICHARDUS KASWADJI.

Produksi rumput laut di Pulau Nain terlihat dari data tahun 1996 sampai
tahun 2000 sebanyak 350 sampai 400 ton per bulan. Tetapi sejak akhir tahun 2000
produksi rumput laut di pulau ini mulai menurun (Gerung et al. 2008).
Menurunnya produksi rumput laut di Pulau Nain menurut para stakeholder
disebabkan oleh frekuensi pemakaian bibit yang sudah terjadi berulangkali sejak
budidaya rumput laut dimulai pada tahun 1989 atau sudah lebih dari 20 tahun.
Berbagai informasi menyatakan bahwa pemakaian bibit berulang dalam waktu
yang lama akan menurunkan kualitas bibit sehingga berpengaruh pada
pertumbuhan. Selain penggunaan bibit, merosotnya produksi rumput laut di Pulau
Nain diduga karena para pembudidaya mendirikan rumah di atas atau dekat areal
budidaya sehingga limbah rumah tangga, deterjen, dan tumpahan minyak sudah
mencemari perairan. Perairan Pulau Nain yang semi tertutup karena dikelilingi
oleh karang (fringing reef) lebih memperkuat dugaan bahwa menurunnya
produksi rumput laut disebabkan oleh beban limbah yang masuk ke perairan
terperangkap di dalamnya.
Tujuan penelitian untuk merumuskan pengelolaan budidaya rumput laut
berdasarkan potensi ekologi, biologi dan sosial ekonomi di Gugus Pulau Nain
Kabupaten Minahasa Utara. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dan pemerintah di
Wilayah Minahasa secara keseluruhan untuk pengelolaan budidaya rumput laut,
khususnya jenis Kappaphycus alvarezii.
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, tahapannya adalah: 1) Uji
pertumbuhan rumput laut, diikuti dengan pengamatan parameter kualitas air. Pada
tahap ini dilakukan juga wawancara dengan berpedoman pada kuisioner. Tahap
ini dilakukan mulai Januari 2007 sampai Juni 2008, 2) Monitoring dan evaluasi
lewat uji pertumbuhan serta pengamatan kualitas air yang dilakukan pada bulan
Mei–Agustus 2009 dan Juni–September 2010 3) Pengamatan distribusi potensi
bahan pencemar serta pengamatan parameter kualitas air di sekeliling Perairan
Gugus Pulau Nain. Pada tahap akhir ini dilakukan juga wawancara yang
berpedoman pada kuisioner. Tahap ini dilakukan pada bulan Mei 2011.
Hasil pengamatan kondisi perairan Gugus Pulau Nain menunjukkan bahwa
secara umum masih di bawah ambang batas nilai baku mutu kualitas air dan
pengendalian pencemaran air, serta baku mutu air untuk biota laut. Limbah
domestik dari permukiman penduduk Desa Nain yang berpotensi sebagai beban
pencemar secara keseluruhan masih dalam ambang batas dari nilai baku mutu
kualitas air. Areal budidaya rumput laut berjarak 100-150 meter dari garis pantai.
Jangkauan sebaran limbah domestik belum mencapai areal budidaya rumput laut.
Salah satu parameter yang perlu diberi perhatian adalah arus, dimana kecepatan
arus sangat lemah di seluruh perairan. Kondisi arus ini diduga salah satu penyebab
merosotnya produksi rumput laut di Pulau Nain. Kecepatan arus yang lemah dapat
diatasi dengan menghitung kapasitas areal.
Kapasitas areal budidaya rumput laut di perairan Pulau Nain dengan
ukuran unit budidaya 20 x 60 m2 yang layak beroperasi adalah 7 unit/hektar. Maka
kapasitas produksi dari pengembangan budidaya rumput laut berupa jumlah unit
budidaya dan jumlah produksi dalam satu siklus tanam merupakan bagian dari
daya dukung lingkungan. Lamanya waktu satu siklus tanam adalah 45 hari
pemeliharaan ditambah dengan masa persiapan dan masa panen selama 2 minggu,
maka dibutuhkan jangka waktu 2 bulan. Jadi untuk 1 tahun terdapat 6 siklus
tanam. Dengan demikian total produksi K. alvarezii untuk luas areal 1075,2 hektar
sebanyak 4.449,2 ton/panen atau 26.695,2 ton/ha/tahun.
Usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di perairan Gugus Pulau Nain
akan memberikan keuntungan mulai dari siklus tanam IV, dan terus meningkat
sampai akhir tahun kedua umur proyek. Proyek selanjutnya, tidak ada lagi
pinjaman. Hasil penerimaan ini dibandingkan dengan biaya maka nilai NPV
sebesar Rp. 102.074.976, B/C 1,27 dan PP 1 tahun 3 bulan 8 hari.
Analisis sensitivitas dilakukan terhadap pendapatan dan kenaikan biaya
produksi. Apabila pendapatan mengalami penurunan sedangkan biaya investasi
dan biaya operasional tetap maka hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada saat
nilai jual rumput laut kering turun pada tingkat harga Rp. 10,000/kg dengan suku
bunga 12% diperoleh NPV Rp. 22.523.280, dan Net B/C ratio 1.106, usaha masih
layak dilaksanakan. Apabila terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 25%, proyek
masih layak dikembangkan, dimana NPV masih positif yakni Rp. 16.988.526
dengan B/C ratio 1,04.
Analisis efisiensi usaha budidaya rumput laut di Pulau Nain dibandingkan
dengan 3 wilayah lain di Minahasa menunjukkan bahwa terdapat dua wilayah
budidaya rumput laut yang tidak mencapai tingkat efisien 100%, yaitu Perairan
Totok-Buyat dengan nilai efisiensi 0,89 (89%) dan Perairan Bentenan-Tumbak
dengan nilai efisiensi 0,59 (59%). Dengan kata lain, nilai efisiensi yang lebih
tinggi mencapai 100% yaitu di Pulau Nain dan Perairan Arakan. Ini menunjukkan
bahwa budidaya rumput laut di Pulau Nain dan Perairan Arakan telah efisien
dalam produksi dengan dibandingkan pada panjang tali, tenaga kerja, luasan areal,
dan benih. Atau dapat dikatakan bahwa budidaya rumput laut di Sulawesi Utara
yang memberi manfaat tinggi dalam hal produksi adalah areal di Pulau Nain
(Minahasa Utara) dan Perairan Arakan (Minahasa Selatan).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan pustaka
suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS EKOLOGI, BIOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI
UNTUK DASAR KEBIJAKAN PENGELOLAAN
BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain)

EDWIN LEONARDO APOLONIO NGANGI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji luar ujian tertutup :
1. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
2. Dr. Ir. Eddy Supriono, M.Sc.

Penguji luar ujian terbuka :


1. Prof. Dr. Ir. Rizal M. Rompas, M.Agr.
2. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si.
Judul Disertasi : Analisis Ekologi, Biologi dan Sosial Ekonomi untuk
Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut
(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
Di Pulau Nain)

Nama : Edwin Leonardo Apolonio Ngangi

NIM : C261030031

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin
Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 28 Januari 2012 Tanggal Lulus: 6 Februari 2012


PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Yang Mahakuasa atas segala
berkat dan karunia sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah
yang berjudul Analisis Ekologi, Biologi dan Sosial Ekonomi untuk Dasar
Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut (Kasus Budidaya Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain) ini berkaitan dengan keinginan penulis
untuk mengetahui pengelolaan budidaya rumput laut di Minahasa, khususnya di
Pulau Nain Kabupaten Minahasa Utara.
Terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai disampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, Prof. Dr. Ir.
Enang Harris, MS., dan Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. selaku komisi
pembimbing yang banyak mengarahkan, membimbing serta memberikan saran
kepada penulis sehingga disertasi ini dapat dirampungkan.
2. Orang-orang yang penulis cintai: Loura Pandelaki SE, MSi, isteri penulis;
Mama Meiske Senduk & Papa Joseph FN. Chep Ngangi (alm); Mama Vonny
Rumbayan & Papa Johny Pandelaki (alm); Kakak, adik, ponakan: Dr.Ir.
Charles Ngangi, MS & Ritha Lontoh, SH,MH, Steve & Richard; Debby &
Tonny, Wita, Fandy & Aldo; Ir. Verico Ngangi & Conny Mandagi, SPi, MSi,
Brigita & Goldio; Dra. Patricia A. Ngangi, T. Marciano Ngangi, SPi. & Linda
Walangitan, Renaldy & Sheryl; Harry Prof Ngangi; Linda Pandelaki, SE &
David Ruslam, S.Kom., Valen & Vio; Hendra Pandelaki & Ita, serta Anggi;
serta seluruh keluarga besar Ngangi-Senduk dan Pandelaki-Rumbayan yang
telah berkorban dan berjuang bersama-sama selama penulis menempuh
pendidikan doktoral di Bogor
3. Pihak-pihak yang membantu selama studi: Rektor Unsrat: Prof. Dr. Donald
Rumokoy, SH., MH., IFC-PENSA, Yayasan APTIK, Pemerintah Prov.
Sulawesi Utara, Pemerintah Kab. Minahasa Selatan, DitJend.Dikti melalui
Lembaga Penelitian dan P2M Unsrat, serta Yayasan Minahasa Raya.
4. Orang-orang yang membantu dalam penelitian: Bpk. Lato sekeluarga, Prof.
Dr. Ir. Grevo Gerung MSc., Ir. Joppy Mudeng MSi., Ir. Hermanto Manengkey
MSi, Ir. Lefrant Manoppo MSi, dan para mahasiswa BDP FPIK Unsrat.
5. Orang-orang yang selalu memotivasi dan memberi bantuan: Prof. Dr. John
Rantung MS., Dr. Ir. Gybert Mamuaya DAA., Prof. Dr. Ir. Rizal Rompas,
M.Agr., Ir. Laurentius Lalamentik MSc, Ir. Sammy Longdong MSi, Prof. Dr.
Ir. Herny Simbala MSi., Brigjen. Pol. Dr. Benny Mamoto SH MSi., Dr. Ir. A.
Nasir Biasane MSi, Dr. Clara Tiwow SH MSi, Ibu Dey Kelung, Bpk. Joseph
Karamoy, Dr. Nurul Khakim MSi, dan staf komisi pembimbing: Sofy & Yuli,
serta Dindin.
6. Teman-teman: Asrama Bogor Baru 2, S3 SPL Angkatan 8-2003, komunitas:
FN, PF-PPWI, SPOT Manado, Walekofi-ESA, FM, dan MPC.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih memerlukan masukan
yang konstruktif guna penyempurnaannya. Akhir kata, kiranya karya ilmiah ini
bermanfaat bagi kita, terutama dalam pengembangan ilmu pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan.

Bogor, Februari 2012

Edwin Leonardo Apolonio Ngangi


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 6 Agustus 1969 dari pasangan


Joseph FN Ngangi (Alm) dan Ibu Meiske B Senduk. Penulis adalah anak kelima
dari tujuh bersaudara. Pendidikan sarjana tahun 1987 – 1992 pada Program Studi
Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Unsrat. Studi program magister tahun 1998
– 2001 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan,
SPs Institut Pertanian Bogor. Tahun 2003, melanjutkan studi program doktor pada
tempat yang sama saat meraih gelar magister. Penulis selama studi S2 dan S3
mendapat beasiswa BPPS.
Selesai pendidikan magister, penulis sempat bekerja sebagai tenaga teknis
pada perusahaan budidaya laut di Minahasa Utara sejak tahun 2001–2003. Sejak
tahun 1993 lewat Tunjangan Ikatan Dinas (TID) penulis diangkat sebagai dosen
pada Program Studi Budidaya Perairan, FPIK Unsrat. Selama studi, penulis
mendapat kesempatan meneliti sebagai ketua atau anggota lewat skim penelitian
PDM, Hibah Bersaing, dan Hibah Strategis Nasional serta dana penelitian dari
IFC-PENSA dan Newmont Minahasa Raya. Beberapa artikel telah diterbitkan
dalam jurnal, dan yang akan terbit pada Jurnal Lassalian berjudul: Distribution of
waste to the area of seaweed cultivation on Nain Island, dan Jurnal Forum
Pascasarjana berjudul: Analisis efisiensi budidaya rumput laut menggunakan
metode data envelopment analysis.
Penulis menikah pada tanggal 6 April 2002 dengan Loura Veronika
Pandelaki, SE., MSi.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv


DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xix
1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................. 4
1.3.1 Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.3.2 Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
1.4 Kebaruan Penelitian .................................................................................. 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5
2.1 Potensi Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil .............................. 5
2.2 Status Budidaya Rumput Laut ................................................................... 10
2.3 Metode Budidaya Rumput Laut ................................................................ 16
2.4 Beban Pencemaran Lingkungan ................................................................ 20
2.5 Kesesuaian Areal Budidaya Rumput Laut ................................................ 23
2.6 Daya Dukung Lingkungan ........................................................................ 25
2.7 Kapasitas Perikanan Budidaya Laut .......................................................... 28
3 METODE PENELITIAN ................................................................................. 31
3.1 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 31
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 32
3.3 Pengumpulan Data .................................................................................... 33
3.3.1 Jenis data.......................................................................................... 33
3.3.2 Pengambilan data ............................................................................. 33
3.3.3 Analisi data ...................................................................................... 38
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................................ 47
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Minahasa Utara ......................................... 47
4.2 Keadaan Umum Gugus Pulau Nain........................................................... 49
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 55
5.1 Keadaaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain .......................................... 55
5.1.1 Kondisi perairan potensi budidaya rumput laut ............................... 55
5.1.2 Kondisi perairan sekitar permukiman penduduk ............................. 67
5.2 Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Nain ............................................ 74
5.2.1 Budidaya rumput laut Tahun 1996 – 2006 ....................................... 74
5.2.2 Budidaya rumput laut saat Ini ........................................................... 78
5.2.3 Pola tanam rumput laut ..................................................................... 83

xiii
xiv

5.2.4 Pertumbuhan dan produksi rumput laut........................................... 89


5.2.5 Kesesuaian dan daya dukung ........................................................... 97
5.3 Efisiensi Pengelolaan Budidaya Rumput Laut .......................................... 104
5.4 Rekomendasi Pengelolaan Budidaya Rumput Laut di Perairan Gugus
Pulau Nain ............................................................................................... 109
6 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 113
6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 113
6.2 Saran .......................................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 115
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penelitian-penelitian rumput laut yang pernah dilakukan ................................15


2 Persyaratan ekspor rumput laut Kappaphycus dan Gracilaria ........................20
3 Jenis data primer dan sekunder penelitian ........................................................33
4 Skoring areal budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii ...........................40
5 Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan.......................................................52
6 Parameter air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii .................55
7 Rata-rata kecepatan arus di Perairan Gugus Pulau Nain tahun .......................57
8 Total padatan tersuspensi ke arah laut di depan Desa Nain .............................71
9 Total padatan tersuspensi di depan permukiman di Pulau Nain ......................73
10 Persentase jenis usaha dan kepemilikan usaha rumput laut di P. Nain ............75
11 Produksi rumput laut di Pulau Nain (ton/bulan) ..............................................77
12 Presentase tingkat prevalensi penyakit ice-ice pada rumput laut .....................78
13 Presentase berat awal dan jarak bibit yang ditanam oleh pembudidaya ..........79
14 Kelembagaan di Desa Nain ..............................................................................82
15 Pola tanam berdasarkan perubahan kondisi ekologi dan biologi rumput
laut serta teknik penanggulangannya ...............................................................85
16 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di areal budidaya ..........................90
17 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di luar areal budidaya ...................93
18 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di dekat permukiman ....................94
19 Asumsi teknis dan parameter keuangan usaha rumput laut per hektar ............
101
20 Kebutuhan pinjaman kredit dan jumlah modal ................................................
102
21 Proyeksi pembayaran bunga dan pinjaman per panen .....................................
102
22 Perhitungan hasil dan penjualan rumput laut kering per panen .......................
103
23 Data input dan output untuk analisis efisiensi (DEA) ......................................
106
24 Koefisien korelasi antar variabel yang dianalisis .............................................
107
25 Skor DEA untuk unit non-moneter ..................................................................
107
26 Proyeksi peningkatan potensi manfaat non-moneter .......................................
109
27 Rekomendasi pengelolaan budidaya rumput laut di P. Nain…………… 110

xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Lokasi potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia ...................12
2 Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia .....................13
3 Efficiency frontier .............................................................................................30
4 Kerangka pemikiran penelitian ........................................................................31
5 Lokasi penelitian dan titik-titik pengamatan ....................................................32
6 Instalasi wadah uji pertumbuhan Kappaphycus alvarezii ................................34
7 Konstruksi wadah dan posisi tanam rumput laut .............................................35
8 Titik awal pengukuran kualitas air di sekitar permukiman penduduk .............36
9 Permukiman penduduk di Gugus Pulau Nain ..................................................37
10 Skema unit budidaya rumput laut.....................................................................41
11 Keadaan permukiman dan aktifitas penduduk Desa Nain ...............................50
12 Pembangunan rumah di atas air di Kampung Tatampi Kecil ...........................52
13 Arah arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada bulan Maret 2007 ...................56
14 Sebaran kedalaman di Perairan Gugus Pulau Nain ..........................................59
15 Sebaran keterlindungan di Perairan Gugus Pulau Nain ...................................60
16 Sebaran salinitas di Perairan Gugus Pulau Nain ..............................................61
17 Sebaran substrat dasar di Perairan Gugus Pulau Nain .....................................62
18 Sebaran suhu di Perairan Gugus Pulau Nain ....................................................63
19 Sebaran pH di Perairan Gugus Pulau Nain ......................................................65
20 Sebaran nitrat di Perairan Gugus Pulau Nain ...................................................66
21 Sebaran fosfat di Perairan Gugus Pulau Nain ..................................................67
22 Sebaran fosfat ke arah laut di depan Desa Nain ...............................................68
23 Kandungan nitrat di depan permukiman penduduk Pulau Nain ......................69
24 Sebaran nitrat ke arah laut di depan Desa Nain ...............................................70
25 Persentase pembudidaya memulai budidaya rumput laut di P. Nain ...............75
26 Keberadaan tenaga kerja pada budidaya rumput laut di Pulau Nain ................76
27 Komposisi kecenderungan kondisi lingkungan dan budidaya .........................87
28 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii di areal budidaya tahun 2007-2008 ............91
29 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii pada kedalaman berbeda di areal
budidaya tahun 2007-2008 ...............................................................................92

xvii
xviii

30 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii di luar areal tahun 2007-2008 ....................93


31 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii kedalaman berbeda di luar areal
budidaya tahun 2007-2008 ...............................................................................94
32 Pertumbuhan K. alvarezii kedalaman berbeda di dekat perairan
pemukiman penduduk tahun 2007-2008 ..........................................................94
33 Beberapa jenis epifit selama penelitian 2007 – 2008 .......................................96
34 Kesesuaian areal budidaya rumput laut di Pulau Nain .....................................98
35 Skor unit pengambil keputusan ........................................................................
108
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kualitas air dan pengendalian pencemaran air (PP No 82 tahun 2001) ..........
123
2 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
tentang baku mutu air laut untuk biota laut ......................................................
124
3 Hasil-hasil penelitian pertumbuhan rumput laut ..............................................
125
4 Sidik ragam pertumbuhan rumput laut du Gugus Pulau Nain pada tahun
2007 – 2008 ......................................................................................................
126
5 Perhitungan kesesuaian areal budidaya rumput laut di perairan gugus
Pulau Nain ........................................................................................................
127
6 Kebutuhan investasi dan modal kerja budidaya K. Alvarezii ...........................
128
7 Proyeksi rugi laba budidaya rumput laut K. Alvarezii per hektar ....................
129
8 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii per hektar per
tahun .................................................................................................................
130
9 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun
penurunan harga jual Rp. 10.000/ ....................................................................
131
10 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun
Kenaikan biaya produksi 25%..........................................................................
131
11 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun
pada tingkat suku bunga yang berbeda ............................................................
132

xix
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kontribusi pembangunan ekonomi dari perikanan budidaya laut sejalan


dengan visi pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu
pada tahun 2015, Indonesia akan menjadi negara penghasil produk perikanan
terbesar di dunia. Saat ini telah diupayakan usaha-usaha nyata dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Salah satu upaya adalah pengembangan
budidaya rumput laut. Hasilnya adalah produksi nasional rumput laut pada tahun
2010 mencapai 3,082 juta ton atau 60% dari total produksi perikanan budidaya.
Produksi rumput laut 2010 ini telah melampaui target KKP yakni sebesar 2,574
juta ton. Target pemerintah pada tahun 2015, Indonesia akan memproduksi
rumput laut sebesar 10 juta ton (Siregar & Muttaqin 2011).
Gugus Pulau Nain sebagai salah satu areal budidaya rumput laut di
Sulawesi Utara terdiri dari Pulau Nain sebagai pulau utama seluas 316,45 hektar.
Di sisi timur Pulau Nain terdapat Pulau Nain Kecil seluas 2,5 hektar yang tidak
berpenduduk, dan di sisi barat daya terdapat Pulau Mantehage seluas 738,1 hektar.
Wilayah ini termasuk dalam administrasi Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa
Utara. Menurut data desa, Gugus Pulau Nain mempunyai luas perairan 2.287
hektar yang terdapat gobah seluas 375,9 hektar. Penduduk di Pulau Nain
menempati dua desa, yakni: Desa Nain, juga disebut Kampung Negri, terdiri dari
Kampung Bajo dan Kampung Siau, serta Desa Tatampi yang terdiri dari Kampung
Tatampi, Tatampi Kecil dan Tarente.
Puncak tertinggi Pulau Nain adalah 135 meter dari permukaan laut,
kemiringan lereng 200–400, dan sebagai zona pendukung perairan Taman Nasional
Bunaken (TNB). Pulau Nain sebagai zona pendukung dapat dimanfaatkan untuk
perikanan laut tradisional oleh masyarakat setempat, baik untuk kebutuhan sendiri
maupun untuk tujuan ekonomis, sejauh tidak merusak lingkungan. Budidaya
rumput laut yang dimulai sejak tahun 1989 telah berkembang menjadi mata
pencaharian utama sejak tahun 1995 (Mondoringin 2005).
Jenis rumput laut yang dibudidayakan saat ini adalah Kappaphycus
alvarezii dengan nama dagang Cottonii, dan Eucheuma denticulatum dengan
2

nama dagang Spinosum. Metode budidaya yang digunakan pada awalnya adalah
metode rakit, kemudian mulai tahun 1992 digunakan metode tali panjang
permukaan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Utara (DKP
Minut) pada tahun 2010 di Pulau Nain terdapat 64 kelompok pembudidaya
rumput laut yang beranggotakan 7–10 orang. Kelompok-kelompok ini adalah hasil
binaan perusahaan rumput laut dan koperasi desa. Menurut Pandelaki (2011)
bahwa pembudidayaan rumput laut membutuhkan 2 – 3 tenaga kerja per hektar.
Pada bidang perikanan budidaya laut di Pulau Nain terdapat juga dua unit
karamba jaring apung yang memelihara ikan kuwe. Pada bidang perikanan
tangkap, umumnya nelayan menangkap ikan madidihang (tuna), roa (julung-
julung), dan antoni (ikan terbang). Nelayan lainnya menangkap ikan karang,
antara lain: goropa (kerapu), sunuh (sunuk), dan somasi (kakap). Penanganan ikan
hasil tangkapan selain untuk dikonsumsi sendiri, juga dijual segar atau diolah
menjadi ikan asin (’ikang garang’) dan diasap (’cakalang fufu’ dan ’roa gepe’).
Hasil panen rumput laut dari Pulau Nain dijual ke pengumpul di desa atau
langsung ke perusahaan di Kota Manado. Harga jual di pengumpul pada semester
akhir tahun 2011 adalah Rp. 12.000/kg, sedangkan di Kota Manado Rp.
12.500/kg. Selain menjual rumput laut kering, di antara pembudidaya terjadi jual
beli rumput laut segar yang akan dijadikan bibit. Harga bibit yang diseleksi senilai
Rp. 3.500 – Rp. 4.500/kg, sedangkan bibit tanpa seleksi Rp. 150.000 – Rp.
200.000/tali ris dengan panjang tali 60 – 80 meter yang diperkirakan beratnya 70 –
100 kg/tali ris.
Diketahui bahwa sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di Pulau
Nain mulai menurun. Padahal Pulau Nain dikenal sebagai sentra rumput laut dan
sumber bibit terbaik di Sulawesi Utara. Gerung et al. (2008) menyatakan bahwa
puncak produksi rumput laut di Pulau Nain terjadi pada kurun waktu tahun 1996–
2000 yang pernah mencapai 350–400 ton/bulan. Ini sesuai dengan informasi dari
seorang pengusaha rumput laut bahwa pada tahun 2010 lalu produksi rumput laut
di Pulau Nain tidak sampai 5 ton/bulan.
Kondisi di atas mengindikasikan bahwa akfititas budidaya rumput laut di
perairan Gugus Pulau Nain sudah terganggu seiring pertambahan waktu, baik
disebabkan oleh degradasi lingkungan, pemanfaatan sumberdaya tidak terkontrol,
3

dan atau pengaruh bertambahnya penduduk. Menurut stakeholders penyebab


kondisi di atas disebabkan oleh frekuensi pemakaian bibit yang sudah terjadi
berulangkali dan sudah lebih dari 20 tahun. Selain itu juga diduga disebabkan oleh
pembuatan rumah di atas atau dekat areal budidaya. Awalnya pembuatan rumah
hanya sebagai tempat istirahat saat pembersihan dan pengontrolan rumput laut
tetapi pada akhirnya menjadi tempat tinggal keluarga. Diduga bahwa limbah
rumah tangga, cucian, dan tumpahan minyak sudah mencemari perairan. Selain
itu, bertambahnya rumah di pinggir pantai bisa mengakibatkan beban pencemaran
semakin tinggi. Kondisi perairan Pulau Nain yang semi tertutup karena dikelilingi
oleh karang (fringing reef) lebih memperkuat dugaan bahwa menurunnya
produksi rumput laut disebabkan oleh beban limbah yang masuk ke perairan
terperangkap di dalamnya.
Pulau Nain sebagai penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Utara
diharapkan pengelolaannya lebih dioptimalkan. Apalagi Sulawesi Utara,
khususnya Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan sebagai salah satu dari 12
klaster rumput laut di Indonesia. Potensi budidaya rumput laut di perairan Gugus
Pulau Nain membuat pemerintah kabupaten menargetkan untuk mengembalikan
pamornya sebagai sentra budidaya rumput laut di kawasan timur Indonesia.
Pemerintah kabupaten akan mengembangkan areal budidaya rumput laut dengan
harapan akan menaikkan produksi dan penyerapan tenaga kerja. Tercapainya
target-target di atas tentunya dibutuhkan suatu kebijakan yang diarahkan untuk
pencapaian tujuan pembangunan yaitu pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir
dan laut di pulau-pulau kecil. Salah satu dampak tercapainya tujuan ini adalah
akan meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi.
Solusi pemecahan masalah-masalah di atas membutuhkan data dan
informasi tentang biologi, ekologi dan sosial ekonomi secara konfrehensif.
Kebutuhan data dan informasi diperoleh dengan dilakukannya penelitian ini.
4

1.2 Perumusan Masalah

Sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di Pulau Nain mulai
menurun. Permasalahan di atas merupakan gejala sebab akibat atau sebaliknya
yang akan berdampak terhadap ekologi, biologi, dan sosial ekonomi. Penelusuran
faktor-faktor penyebab terjadinya kondisi ini perlu dilakukan, maka untuk
mengetahui dan tidak hanya sekedar menduga-duga akan dampak dari pemakaian
bibit, seberapa besar degradasi lingkungan yang mempengaruhi produktivitas
rumput laut, serta bagaimana pengelolaannya yang baik maka penelitian ini akan
menganalisis hal-hal tersebut. Penelusuran lewat wawancara dilakukan agar lebih
akurat dalam deskripsinya. Upaya ini diharapkan dapat mempelajari kondisi di
masa lampau, kemudian membuat suatu perencanaan yang efektif sehingga dapat
memprediksi hasil yang efisien di masa mendatang.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian


Merumuskan pengelolaan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii
berdasarkan potensi ekologi, biologi dan sosial ekonomi di Gugus Pulau Nain
Kabupaten Minahasa Utara.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini sebagai bahan masukan bagi pemerintah


Kabupaten Minahasa Utara dan pemerintah di Wilayah Minahasa secara
keseluruhan serta pengusaha dan perbankan untuk pengelolaan budidaya rumput
laut, khususnya jenis Kappaphycus alvarezii.

1.4 Kebaruan penelitian


Ilmu pengetahuan tentang proses evaluasi secara menyeluruh aspek
ekologi, biologi dan sosial ekonomi budidaya rumput laut sebagai bahan saran
kebijakan pengembangan budidaya rumput laut di Pulau Nain.
5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil

Hal terpenting dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan peluang


investasi Pulau-pulau kecil (P2K) di Indonesia adalah pengetahuan akan keragaan
nilai ekonomi dari P2K itu sendiri. Ini berguna untuk menentukan langkah lanjut
pengelolaannya. Setiap pulau mempunyai keragaan ekonomi yang berbeda-beda,
bergantung pada kondisi sumberdaya yang ada serta kondisi bio-geo-fisiknya
(Fauzi dan Anna, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa P2K menghasilkan barang
(sumberdaya alam) yang dapat dikonsumsi, baik langsung maupun tidak langsung,
dan juga menghasilkan jasa-jasa yang manfaatnya sering lebih terasa dalam
jangka panjang. Sumberdaya alam yang ada di P2K, selain menghasilkan nilai
ekonomi yang dapat dimanfaatkan langsung, juga memilikki nilai non-ekonomi
yang memberikan manfaat terhadap keberlanjutan P2K tersebut. Manfaat-manfaat
ini disebut sebagai manfaat fungsi ekologis. Potensi pemanfaatan P2K dapat
dilihat dari berbagai sisi, antara lain ekonomi, sosial, ekologi, keamanan, dan
navigasi. Selama ini potensi pemanfaatan belum dikelola secara optimal,
mengingat ada berbagai kendala yang dihadapi. Kebijakan menyangkut
pemanfaatan P2K pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi karakteristik
biogeofisik serta sosial-ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi
kawasan tersebut sangat penting, baik bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun
kehidupan ekosistem di daratan. Selanjutnya dinyatakan bahwa jika saja P2K ini
berhasil dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, bukan
saja akan menjadi pertumbuhan baru yang signifikan, tetapi juga sekaligus
mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.
Wilayah pesisir P2K menyediakan sumberdaya alam yang produktif dari dua
sistem lingkungan, yakni: ekosistem alamiah: terumbu karang, mangrove, padang
lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah,
dan ekosistem buatan: kawasan pariwisata, rekreasi, konservasi, budidaya dan
permukiman.
Produktivitas primer yang tinggi di ekosistem pesisir P2K oleh biota air
dijadikan sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery
6

ground) dan sebagai tempat makanan bagi kebanyakan ikan (feeding ground).
Fauzi (2003) menyatakan bahwa pulau-pulau kecil merupakan aset sumberdaya
alam Indonesia yang jika dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberikan
manfaat ekonomi yang tinggi baik bagi penduduk pulau-pulau kecil maupun
kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Selain memiliki budaya yang unik,
pulau-pulau kecil juga kaya akan keanekaragaman hayati baik keanekaragaman
hayati kelautan maupun terestial. Keanekaragaman hayati tersebut selain
memberikan arus barang dan jasa yang bernilai tinggi, juga memberikan manfaat
non-konsumtif yang tak ternilai harganya.
Selanjutnya, Fauzi (2003) menyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai
suatu entitas memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
menghasilkan barang dan jasa baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak
langsung. Sumberdaya alam ekstraktif dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi baik subsistem maupun komersial. Demikian juga
sumberdaya energi bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan proses produksi
lainnya yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi pada mata rantai kegiatan
ekonomi berikutnya. Selain itu, sumberdaya pulau-pulau kecil juga dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan non-ekstraktif seperti wisata yang juga
memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Pemanfaatan sumberdaya P2K
mempunyai beberapa faktor kendala, yakni: 1) Faktor lingkungan, yaitu:
perubahan iklim, naiknya permukaan air, bencana alam, dan pencemaran, 2)
Faktor sosial masyarakat, antara lain: pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan,
kesehatan, dan budaya, 3) Faktor ekonomi masyarakat: ketergantungan dengan
daratan, tingkat pendapatan sangat rendah, terbatasnya diversifikasi usaha,
terisolasi, ketergantungan terhadap sumberdaya alam, dan kurangnya ketrampilan.
Fauzi (2003) menyatakan bahwa salah satu hal penting dalam pengelolaan
potensi sumberdaya pulau-pulau kecil adalah menyangkut penilaian terhadap nilai
ekonomi sumberdaya yang ada. Menurut Wantasen (2007), dengan semua
keterbatasan yang ada pada P2K maka sangat penting dalam pengelolaannya
dibuat berdasarkan penzonasian berbasis daya dukung. Dalam penzonasian ada
kriteria-kriteria yang harus diperhatikan yang saling terkait satu dan yang lainnya
sehingga pengelolaannya dapat terpadu. Tiga kriteria zonasi P2K adalah:
7

1) Kriteria ekologi meliputi: keanekaragaman hayati didasarkan pada keragaman


atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; Kealamian
didasarkan pada tingkat degradasi; Ketergantungan didasarkan pada tingkat
ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung
pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi; Keunikan didasarkan
pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; Integritas
didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari
entitas ekologis; Produktivitas didasarkan pada tingkat dimana proses-proses
produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi biota atau
manusia; Kerentanan didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi
oleh pengaruh alam maupun akibat aktivitas manusia.
2) Kriteria ekonomi, meliputi: spesies penting didasarkan pada tingkat dimana
spesies penting komersial tergantung pada lokasi; Kepentingan perikanan
didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil
perikanan; Bentuk ancaman didasarkan pada luasnya perubahan pola
pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; Manfaat
ekonomi didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan
berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; Pariwisata didasarkan
pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.
3) Kriteria sosial-budaya, meliputi: penerimaan sosial didasarkan pada tingkat
dukungan masyarakat; Kesehatan masyarakat didasarkan pada keberadaan
kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit
yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat; Budaya didasarkan pada nilai
sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi; Estetika didasarkan pada
nilai keindahan dari lokasi; Konflik kepentingan didasarkan dimana kawasan
konservasi dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; Keamanan
didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus
kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; Aksesibilitas didasarkan pada
tingkat kemudahan mencapai lokasi; Apresiasi masyarakat didasarkan pada
tingkat monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi
pada pengetahuan aspirasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.
8

Pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari terwujud apabila


memenuhi tiga persyaratan ekologis (Bengen 2002), yaitu: 1) Keharmonisan
spasial, 2) Kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan, 3) Pemanfaatan
potensi sesuai daya dukungnya. Fauzi (2005) menyatakan sumberdaya P2K dapat
dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas ekonomi, misalnya pariwisata, perikanan
tangkap, perikanan budidaya dan lain-lain, secara bersamaan atau bergantian,
sesuai kondisi alamnya. Selanjutnya Dahuri (1999) menyatakan pelaksanaan
pengelolaan dan pembangunan kawasan pulau-pulau kecil yang diarahkan pada
kesejahteraan masyarakat merupakan suatu proses yang akan membawa suatu
perubahan pada sumberdaya alam. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa
pengaruh pada lingkungan hidup. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan
pembangunan yang dilaksanakan semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan
sumberdaya dan perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan
pulau-pulau kecil tersebut. Oleh karena itu diperlukan strategi dan kebijakan
dalam pengelolaannya. Fauzi (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan P2K yang
multiple use selain memiliki nilai positif yang berkaitan dengan ketersediaan
variasi alternatif aktivitas yang dapat dilakukan masyarakat dan juga tujuan
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, pada dasarnya
juga menyimpan permasalahan yang cukup pelik dan menimbulkan konflik cukup
serius, mengingat keterbatasan P2K.
Selain fungsi ekologis, pulau-pulau kecil mempunyai manfaat ekonomi
bagi manusia, antara lain menyediakan jasa-jasa lingkungan (alam) berupa
pemanfaatan lingkungan alam yang indah dan nyaman dalam bentuk kegiatan
pariwisata laut, kegiatan budidaya (ikan, udang, rumput laut) yang dapat
bermanfaat bagi peningkatan pendapatan atau mata pencaharian penduduk
setempat, serta potensi sumberdaya hayati yang memiliki keanekaragaman yang
tinggi dan bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis ikan, udang, kerang yang
kesemuanya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat
(Dahuri 1998). Dahuri (1999) menyatakan bahwa kegiatan budidaya laut
(marikultur) adalah salah satu andalan dalam pengembangan pulau-pulau kecil.
Budidaya laut cukup memberikan hasil yang baik dan dapat diterapkan di sekitar
gugusan pulau. Program budidaya mempunyai manfaat ganda yaitu:
9

1) Mengurangi tekanan eksploitasi penangkapan di perairan pulau-pulau kecil, 2)


Menjaga kelestarian sumberdaya alam mangrove dan terumbu karang.
Pemanfaatan kawasan pesisir P2K sebagai areal budidaya rumput laut
harus mempertimbangkan keberlanjutan manfaat karena bersifat milik umum
(common property) dan open acces. Pertimbangan limited entry dalam
pemanfaatan kawasan pesisir P2K adalah salah satu konsep pemanfaatan yang
bertanggung jawab (responsible fisheries) agar konsep pengembangannya
terintegrasi secara rasional dan berkelanjutan. Undang Undang RI No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan mendefinisikan pembudidayaan ikan adalah kegiatan
untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen
hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkannya. Meade (1989) mendefinisikan aquaculture
adalah praktek memelihara, menumbuhkan, atau menghasilkan produk dalam air
atau dalam sistem air yang dikelola. Pisciculture awalnya adalah istilah di Inggris
untuk budidaya ikan. Fish farming adalah istilah yang sering digunakan oleh
produsen lele di Amerika. Mariculture adalah aquaculture di lingkungan laut.
Marikultur di perairan pulau-pulau kecil selain sebagai pemasok penting
bagi produksi perikanan, juga mempunyai peran yang strategis. Peran strategisnya
yakni pengendalian tangkap lebih, penggerak ekonomi pesisir pulau-pulau kecil,
mengalihkan penangkapan ikan yang destruktif, penyediaan lapangan usaha baru,
penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, serta dapat meningkatkan
devisa. Berbagai organisme laut sudah dapat dibudidaya, organisme yang
dibudidaya disebut kultivan. Kultivan yang telah berhasil dibudidayakan secara
massal dan dapat diusahakan secara komersial meningkat statusnya menjadi
komoditas (Nurdjana 2001). Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan
salah satu komoditas marikultur untuk mencapai target Indonesia sebagai
produsen perikanan terbesar di dunia adalah rumput laut.
10

2.2 Status Budidaya Rumput Laut

Indonesia sejak tahun 2007 menjadi produsen rumput laut jenis Eucheuma
cottonii terbesar di dunia yakni sekitar 110 ribu ton per tahun. Produk bahan baku
ini diserap industri pengolah luar negeri sekitar 80%, berbeda dengan produk
agar-agar dengan bahan baku Gracilaria sp., yang hampir 85% produk bahan
bakunya diserap industri dalam negeri dan sekitar 70% produk agar-agar diserap
pula di dalam negeri (Anggadiredja 2011). Proyeksi produksi rumput laut
Indonesia untuk tahun 2011 sampai dengan 2014, berturut-turut adalah: 3.504.200
ton, 5.100.000 ton, 7.500.000 ton, dan 10.000.000 ton (Ditjendkan Budidaya
2010). Luas areal yang telah dinyatakan sesuai untuk budi daya rumput laut
adalah 1.110.900 hektar, sehingga dengan asumsi setiap hektar lahan dapat
memproduksi rumput laut rata-rata 16 ton per tahun, maka produksi dapat
mencapai 17.774.400 ton per tahun (Hikmayani dan Purnomo 2006).
Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun
1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan
sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan. Usaha
budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat
digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai
(Ditjendkan Budidaya 2004).
Budidaya rumput laut sebagai salah satu teknik pemanfaatan kawasan
pesisir P2K berpeluang besar untuk dikembangkan bagi produksi perikanan yang
berlanjut. Keberhasilan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan
oleh penguasaan teknologi yang bersifat ekonomis, sistem pengelolaan, dan
keterpaduan pemanfaatan. Anggadiredja (2007) memaparkan sejarah perdagangan
dan industri rumput laut di Indonesia, sebagai berikut: 1) Perdagangan rumput laut
Indonesia dimulai dari akhir abad ke-19, kebanyakan agarofit dari panen alam
(Gelidium dan Gracilaria), 2) Industri rumput laut dimulai dengan industri ‘agar’
pada dekade 1920-an di Kudus, Jawa Tengah dan Garut, Jawa Barat, digunakan
teknologi/pengetahuan masyarakat setempat, 3) Dekade 1950-an dibangun
industri ‘agar’ dengan menggunakan teknologi tepat guna dan menghasilkan
kertas agar di Surabaya (Sinar Kencana), Awal dekade 1960-an, perdagangan alga
laut tidak hanya agarofit namun juga karaginofit (Eucheuma denticulatum) yang
11

dipanen dari alam, 4) Awal dekade 1970-an dibangun pabrik kemasan ‘agar’
(‘agar’ diimpor, formulasi dan kemasan), PT. Dunia Bintang Walet, 5) Tahun
1988, industri pertama karaginan setengah dimurnikan (semirefined
carrageenan/SRC) (dalam bentuk chips dan bubuk) didirikan di Bekasi (PT Galic
Artha Bahari), 6) Tahun 1989, industri ‘agar’ modern dibangun di Tangerang (PT
Agarindo Bogatama) dan awal dekade 1990-an di Pasuruan (PT. Sriti), 7) Saat ini,
terdapat lebih dari 10 industri agar dan karaginan. Industri karaginan di Indonesia
menghasilkan SRC-chips dan bubuk, dan beberapa di antaranya menghasilkan
produk-produk formulasi untuk beberapa aplikasi. Industri agar menghasilkan
bubuk dan produk-produk formulasi, 8) Industri hidrokoloid rumput laut yang lain
adalah industri alginat, namun perkembangan terakhir, industri tersebut tidak
berproduksi secara optimal karena terbatasnya bahan baku. Di Indonesia, alginat
diekstrak dari Sargassum yang dipanen dari alam.
Keunggulan rumput laut sebagai salah satu komoditas dari visi pemerintah
untuk mencapai target di tahun 2015, menurut Keppel (2008) dan Parenrengi et al.
(2008) adalah:
1. Potensial untuk pengembangan (keanekaragaman jenis dan budidaya pada
perairan pesisir yang luas).
2. Modal yang diperlukan relatif sedikit.
3. Teknologi budidaya relatif mudah dan dapat diadopsi oleh pembudidaya.
4. Periode pemeliharaan singkat.
5. Biaya operasional murah.
6. Pemberdayaan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil.
7. Penyerapan tenaga kerja tinggi, pertumbuhan ekonomi, serta kesejahteraan
masyarakat.
8. Dapat diterapkan pada usaha mikro, kecil, menengah, hingga industri besar.
9. Peluang pasar bagi bahan baku, produk setengah jadi, dan produk akhir.
10. Besarnya kebutuhan pasar ekspor dan domestik.
11. Memiliki fungsi produksi dan ekologis.
Rumput laut sebagai salah satu sumber hayati laut bila diproses akan
menghasilkan senyawa hidrokoloid yang merupakan produksi dasar (hasil dari
metabolisme primer). Senyawa ini merupakan bahan dasar lebih dari 500 jenis
12

produk komersial yang banyak digunakan di berbagai industri. Senyawa


hidrokoloid yang berasal dari rumput laut komersial di Indonesia antara lain ‘agar’
(dari jenis agarofit), karaginan (dihasilkan dari jenis-jenis karaginofit), dan alginat
(dari jenis-jenis alginofit) (Anggadiredja et al. 2006).
Penggunaan alga telah dilakukan oleh manusia secara luas dalam berbagai
bidang, yakni sebagai sumber makanan langsung, obat-obatan, pakan ternak,
pupuk, produk garam, fikokoloid, dan produksi kertas (Dawes 1981). Fungsi
utama polisakarida rumput laut di dalam formulasi produk pangan dan non-
pangan adalah sebagai emulsifier, pensuspensi, pengental, dan stabilisator.
Disamping itu, rumput laut juga sangat bermanfaat untuk kesehatan manusia
karena mengandung unsur zat bioaktif yang dapat digunakan sebagai campuran
obat (Ditjenkan Budidaya KKP RI 2005). Rumput laut merupakan sumber yang
sangat baik dari vitamin A, B1, B12, C, D dan E. Juga riboflavin, niasin, asam
folat serta mineral Ca, P, Na, dan K (Dhargalkar & Pereira 2005).
Perairan Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan budidaya rumput
laut tersebar di berbagai daerah antara lain, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian (Gambar 1).

Gambar 1 Lokasi potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia


(DKP 2005 in Keppel 2008).
13

Luas lokasi yang layak untuk budidaya rumput laut di Indonesia adalah 1,1 juta
ha. Produktivitas rata-rata sebesar 17,7 ton rumput laut kering/ha/tahun (Anonim
2006). Indonesia telah menguasai 50% produk rumput laut hasil budidaya di dunia
yaitu untuk jenis Eucheuma, Gracilaria, dan Kappaphycus. Produksi rumput laut
diproyeksikan rata-rata meningkat dari tahun 2010–2014 sebesar 32% atau
meningkat 392% dari tahun 2009 ke tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing
berturut-turut tahun 2012 sebesar 5,1 juta ton, 2013 sebesar 7,5 juta ton, dan tahun
2014 sebesar 10 juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa tahun 2010 produksi
rumput laut nasional mencapai 3,08 juta ton atau mengalami kenaikan rata-rata
sebesar 23% per tahun (Cocon, 2011).

180.000 140.000
126.178
160.000
120.000
Nilai ekspor (.000 US$_)

155.620

Volume ekspor (.000 kg)


140.000
99.949 94.003 100.000
120.000 95.588 94.073 110.153
100.000 80.000

80.000 69.264 87.773 60.000


60.000 49.586 57.522 40.000
35.555
40.000
20.000
20.000

0 0
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai ekspor Volume ekspor

Sumber: modifikasi dari Cocon (2011)


Gambar 2 Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia.

Selanjutnya dinyatakan bahwa peningkatan produksi rumput laut nasional


diiringi pula oleh peningkatan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia ke
berbagai negara tujuan utama ekspor antara lain: China, Philipina, Vietnam,
Hongkong, dang Korsel. Perkembangan volume dan nilai ekspor dalam kurun
waktu tahun 2005–2010 secara umum mengalami kenaikan (Gambar 2) (BPPT
2006 in Cocon 2011).
Sulawesi Utara menyimpan potensi sumberdaya rumput laut yang relatif
besar dimana terdapat jenis Euchema sp. yang dikembangkan dalam bentuk
budidaya laut. Jenis rumput laut penghasil karaginan tersebut telah dibudidayakan
14

pada beberapa lokasi seperti di Pulau Nain, Likupang, Wori, Tumpaan, Lembean
Timur, Belang, Bitung, dan Sangihe (Keppel 2002).
Gerung (2006) menyatakan bahwa alga ekonomis yang sudah
dibudidayakan ada 2 spesies yakni Eucheuma denticulatum dan Kappaphycus
alvarezii. Kedua spesies ini bukan asli perairan Teluk Manado. Benihnya 20 tahun
lalu didatangkan dari Pilipina, dan bertumbuh baik di perairan Pulau Nain.
Banyak pihak sangat terkonsentrasi dengan bibit rumput laut. Keberadaan
bibit dalam kuantitas maupun kualitas sangat diperhatikan. Banyak upaya untuk
mengkaji, diantaranya BBAP Situbondo telah membangun kawasan kebun bibit
untuk Cottonii di Pacitan, Blitar, Rembang, Tuban, Lamongan, Situbondo dan
Banyuwangi. Selain itu, kebun bibit juga dikembangkan oleh Balai Budidaya Laut
(BBL) Lombok. Proses-proses penelitian dilakukan mulai dari menemukan bibit
berkualitas melalui metode kultur jaringan sampai menentukan berapa kali bibit
tersebut bisa digunakan.
Penelitian rumput laut oleh perguruan tinggi di Sulawesi Utara lebih
cenderung tentang pemanfaatan bibit rumput laut yang telah tersedia dan berasal
dari pembudidaya, atau penelitian untuk mendapatkan bibit yang akan
dikembangkan. Jenis rumput laut yang diteliti berasal dari perairan lokasi
penelitian, dalam hal ini di perairan Pulau Nain. Banyaknya penelitian tentang
rumput laut di Sulawesi Utara sesuai dengan potensi pengembangannya. Menurut
Keppel (2008) bahwa luas areal budidaya rumput laut di Sulawesi Utara sebesar
5.800 hektar, luas tiap kabupaten adalah: Kab. Minahasa Utara: 1.700 hektar, Kab.
Minahasa: 850 hektar, Kab. Minahasa Selatan: 250 hektar, Kab. Minahasa
Tenggara: 350 hektar, Kab. Sangihe: 231 hektar, Kab. Talaud: 230 hektar, Kab.
Sitaro: 289 hektar, Kab. Bolaang Mongondow: 1.250 hektar, dan Kab. Bolaang
Mongondow Utara: 650 hektar. Penelitian-penelitian rumput laut yang sudah
dilakukan seperti pada Tabel 1.
15

Tabel 1 Penelitian-penelitian rumput laut yang pernah dilakukan


Tahun Peneliti Topik/Judul
1990 Glenn & Doty Growth of the K. alvarezii, K. striatum and E. denticulatum as
affected by environment in Hawaii.
1992 Hurtado & Ponce Cage culture of K. alvarezii (Gigartinales, Rhodophycae).
1992 Lasut et al. Studi pertumbuhan E. cotonii yang dibudidayakan.
2002 Eswaran et al. Experimental field cultivation of K. alvarezii at Mandapam
region.
. 2003 Paula & Pereira Factors affecting growth rates of K. alvarezii.
2004 Munoz et al. Mariculture of K. alvarezii in tropical waters of Yucatan, Mexico.
2005 Iksan Kajian pertumbuhan, produksi E. cotonii, dan kandungan
karaginan pada berbagai bobot bibit dan asal thallus di Perairan
Guruaping Oba.
2005 Mandagi & White A new technique for seaweed cultivation to minimise impacts on
tropical, coastal environments.
2005 Mondoringin Kajian ekologi-ekonomi usaha pembudidayaan rumput laut di
kawasan terumbu karang P. Nain Kabupaten Sulawesi Utara.
2006 Amarullah Pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten
Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut (Eucheuma
cottonii).
2006 Eklof et al. Effects of tropical open-water seaweed farming on seagrass
ecosystem structure and function.
2007 Amiluddin Kajian pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K.
alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di perairan Pulau Pari Kep.
Seribu.
2007 Blankenhorn Seaweed farming and artisanal fisheries in an Indonesian
seagrass bed – Complementary or competitive usages?
2008 Amin et al. The Assessment of E. cotonii) growing practice of different
systems and planting seasons in Bangkep Regency Central
Sulawesi.
2008 Kamlasi Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya E.
cottonii di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten.
2008 Makatupan Pertumbuhan alga laut pada rakit apung kedalaman berbeda.
2008 Ngantu Pertumbuhan berat maksimum dan waktu optimum pertumbuhan
beberapa jenis alga laut dalam wadah budidaya di perairan P.
Nain.
2008 Pong-Masak et al. Kesesuaian lahan untuk pengembangan rumput laut di Pulau Badi.
2009 Thirumaran & Daily growth rate of field farming seaweed K. alvarezii P. Silva.
Anantharaman
2009 Yulianto & Mira Budidaya makro alga K. Alvarezii secara vertikal dan gejala
penyakit “ice-ice” di perairan Pulau Pari.
2010 Mansyur A Pengelolaan perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk usaha
budidaya rumput laut.
2011 Winberg et al. Seaweed cultivation pilot trials – towards culture systems and
marketable products.
16

2.3 Metode Budidaya Rumput Laut

Pemilihan lokasi merupakan faktor penentu terhadap keberhasilan usaha


budidaya. Ada beberapa pertimbangan dalam menentukan lokasi budidaya yang
ideal, antara lain: 1) faktor resiko, mencakup pertimbangan keamanan,
keterlindungan, sosial (konflik pemanfaatan), 2) faktor kemudahan, mencakup
aksestabilitas dan ketersediaan bibit serta sumberdaya manusia, 3) faktor ekologis,
mencakup parameter fisika dan kimia lokasi budidaya.
Menurut Parenrengi et al. (2008) metode budidaya rumput laut yang telah
dikenal secara umum adalah:
1. Metode Lepas Dasar. Metode ini dilakukan di atas dasar perairan yang
berpasir atau pasir berlumpur dan terlindung dari hempasan gelombang yang
besar. Hal ini penting untuk memudahkan pemasangan patok/pancang.
Biasanya lokasi dikelilingi oleh karang pemecah gelombang (barrier reef).
Disamping itu lokasi untuk metode ini sebaiknya memiliki kedalaman air
sekitar 50 cm pada surut terendah dan 3 m pada saat pasang tertinggi. Metode
ini kurang berkembang dengan baik akibat lokasi yang digunakan relatif
spesifik.
2. Metode Rakit Apung. Metode rakit apung merupakan budidaya rumput laut
dengan cara mengikat rumput laut pada tali ris (seperti pada metode lepas
dasar) yang diikatkan pada rakit apung yang terbuat dari bambu. Satu unit
rakit apung berukuran 2,5x5 m dapat dirangkai menjadi satu dengan unit
lainnya. Satu rangkaian terdiri dari maksimal 5 unit. Kedua ujung rangkaian
diikat dengan tali yang ujungnya diberi pemberat atau jangkar agar rakit tidak
hanyut oleh arus dan gelombang. Jalur tata letak rangkain rakit apung harus
searah dengan arus. Jarak tanam dan berat awal rumput laut sama dengan
metode lepas dasar, namun yang perlu diperhatikan adalah tanaman harus
selalu berada sekitar 30-50 cm di bawah permukaan air laut.
3. Metode Tali Panjang. Metode ini dikenal dengan istilah longline karena
menggunakan tali panjang yang dibentangkan. Metode ini merupakan salah
satu metode permukaan yang paling banyak diminati pembudidaya karena
disamping lebih fleksibel dalam pemilihan lokasi, juga alat dan bahan yang
digunakan lebih tahan lama, relatif murah dan mudah untuk didapat. Bibit
17

yang telah diikat dengan tali rafia atau tali polietilen kecil diikatkan pada tali
ris dengan jarak 25 cm dengan panjang tali ris berkisar 50–75 m yang
direntangkan pada tali utama. Rumput laut diapungkan dengan pelampung
yang terbuat dari styrofoam, botol polietilen 0,5 liter atau pelampung khusus
pada tali ris. Pada satu bentangan tali utama, dapat diikatkan beberapa tali ris
dengan jarak antar tali ris 1 meter, untuk menghindari benturan antar tali
akibat gelombang atau arus kuat.
Metode Jalur. Metode jalur merupakan kombinasi antara metode rakit dan
tali panjang. Kerangka metode ini terbuat dari rakit (bambu) yang tersusun
sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu dibuhungkan dengan tali utama diameter 6
mm sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5x7 m2 per petak,
dimana satu unit terdiri dari 7–10 petak. Pada kedua ujung setiap unit diberi
jangkar. Penanaman dimulai dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang
telah dilengkapi dengan tali polietilen diameter 0,2 cm sebagai pengikat bibit
dengan jarak sekitar 25 cm.
Setelah pemilihan lokasi dan penentuan metode, maka tahap selanjutnya
adalah menyediakan dan menyiapkan benih rumput laut. Kriteria dan ciri-ciri bibit
rumput laut yang baik menurut Aslan (1993) dan Anggadiredja et al. (2006)
sebagai berikut: 1) Merupakan thallus muda yang bercabang banyak, rimbun dan
runcing, 2) Bibit bila dipegang terasa elastis, 3) Bibit terlihat segar dan berwarna
cerah, yakni cokelat cerah dan hijau cerah serta ujung bibit berwarna kuning
kemerah-merahan, 4) Thallus bibit terlihat tebal dan berat, 5) Bibit tidak terdapat
bercak, luka, atau terkelupas, 6) Bebas dari tanaman lain atau benda-benda asing,
7) Bibit harus seragam dan tidak tercampur dengan jenis lain, 8) berat awal
diupayakan seragam.
Selanjutnya, Parenrengi et al. (2008) menyatakan bahwa untuk menjamin
kebehasilan usaha budidaya rumput laut maka harus dilakukan usaha perawatan
selama masa pemeliharaan, bukan hanya terhadap tanaman itu sendiri tapi juga
fasilitas budidaya yang digunakan. Oleh karena itu peranan pengelola
(pembudidaya) rumput laut sangat diperlukan untuk memperkecil kemungkinan
adanya kerusakan khususnya kekuatan alam yang tak terduga.
18

Pemeliharaan rumput laut dari keempat metode budidaya adalah relatif


sama. Secara umum, kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan rumput laut
tersebut adalah meliputi: a) pembersihan lumpur, kotoran dan biofouling, b)
penyisipan tanaman dan pergantian sarana yang rusak, c) pemantauan
pertumbuhan. Pemeliharaan rumput laut di tambak relatif lebih mudah
dibandingkan dengan yang ditanam di laut. Hal ini karena kondisi tambak mudah
dikontrol dibandingkan dengan air laut yang dipengaruhi oleh arus dan gelombang
sehingga menyulitkan dalam pemeliharaan yang bahkan dalam kondisi ekstrim
akan merusak tanaman. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan
tersebut meliput: pergantian air, pengawasan kualitas air (kadar garam, suhu dan
kedalaman), pupuk susulan apabila diperlukan, pemerataan dan penyebaran
kepadatan rumput laut, serta pembersihan thallus dari tanaman pengganggu
misalnya lumut atau ganggang lainnya serta kotoran lain yang menempel pada
rumput laut. Pertumbuhan tanaman sebaiknya dipantau secara berkala untuk
mengetahui laju pertumbuhan hariannya. Pertumbuhan rumput laut sebaiknya
dipertahankan pada laju pertumbuhan tidak kurang dari 3%/hari.
Hama tanaman budidaya rumput laut umumnya merupakan organisme
pemangsa tanaman. Secara alami, organisme tersebut hidup dengan rumput laut
sebagai makanan utamanya atau sebagian masa hidupnya memakan rumput laut.
Hama dapat menimbulkan kerusakan fisik pada tanaman budidaya seperti
terkelupas, patah atau habis dimakan.
Hama rumput laut yang sering dijumpai adalah larva bulu babi
(Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp.). ikan beronang (Siganus sp.),
bintang laut (Protoneustes nodulus), bulu babi (Diadema dan Tripneustes sp.) dan
penyu hijau (Chelonia midas). Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hama
tersebut adalah dengan cara memperbaiki/memodifikasi teknik budidaya sehingga
tanaman budidaya berada pada posisi permukaan air yang diharapkan serangan
dapat dikurangi. Selain itu sebaiknya diterapkan pola tanam yang serentak pada
lokasi yang luas serta melindungi areal budidaya dengan memasang pagar dari
jaring. Penyakit yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah penyakit
bakterial, jamur dan ice-ice. Penyakit bakterial yang disebabkan oleh Macrocystis
pyrifera dan Micrococcus umumnya menyerang budidaya Laminaria sp.,
19

sedangkan penyakit jamur yang disebabkan oleh Hydra thalassiiae menyerang


bagian gelembung udara rumput laut Sargassum sp. Penyakit ice-ice (sebagian
orang menyebutnya sebagai white spot) merupakan kendala utama budidaya
rumput laut Kappaphycus/Eucheuma. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut
yang terserang penyakit tersebut adalah antara lain: pertumbuhan yang lambat,
terjadinya perubahan warna thallus menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan
sebagian atau seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk.
Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus,
suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan
unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya penyakit
tersebut. Beberapa faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab
munculnya penyakit ice-ice pada rumput laut di Filipina adalah kurangnya
densitas cahaya, kadar garam kurang dari 20 ppt, dan temperatur 33–35 oC.
Dibandingkan dengan Kappaphycus/Eucheuma sp., hama dan penyakit
yang menyerang Gracilaria sp. adalah relatif sedikit. Hama yang didapatkan
umumnya adalah serangan ikan dan predator lainnya serta tanaman pengganggu
atau penempel lainnya. Hama yang sering menyerang rumput laut di tambak
adalah ikan herbivor seperti beronang, serangan kerang yang menempel pada
thallus serta gulma atau lumut sebagai penyaing pemanfaatan unsur hara di air.
Gulma yang berupa lumut yang sering menyerang di tambak adalah terdiri dari
jenis Enteromorpha sp., Chaetomorpha sp., dan Ectocarpus. Jenis kerang sering
menempel pada thallus rumput laut di tambak adalah jenis Limnea glabra sp.
Gulma menyerang tanaman dengan cara melekat dan membelit rumput laut
sehingga selain penyaing unsur hara juga dapat mengganggu pertumbuhan rumput
laut. Pemberantasan hama tersebut selain dapat dilakukan dengan cara langsung
membuang lumut dari tambak, juga dapat dilakukan dengan cara biologis dengan
memasukkan ikan bandeng sebanyak 500–750 ekor/ha dengan berat sekitar 50–
100 gram per ekor.

Panen merupakan langkah akhir dalam suatu kegiatan budidaya rumput


laut sebelum dipasarkan. Panen dan penanganan hasil panen yang tidak sempurna
akan menurunkan kualitas produksi rumput laut yang dihasilkan khususnya
20

kandungan agar/alginat/karaginan, air dan kotoran yang harus memenuhi syarat


standar mutu ekspor komoditas rumput laut (Tabel 2).

Tabel 2 Persyaratan ekspor rumput laut Kappaphycus dan Gracilaria


Uraian Kappaphycus Gracilaria sp.
Kadar Air (%) 31-35 18-22
Maksimal Garam dan Kotoran Lainnya (%) 5 2
Rendemen (%) Minimal 25 14-20
Sumber: Parenrengi et al. (2008)

Waktu yang diperlukan oleh tanaman dalam mencapai tingkat kandungan


bahan utama maksimal merupakan patokan dalam menentukan waktu panen. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa rumput laut K. alvarezii memiliki kandungan
karaginan yang optimal setelah mencapai pemeliharaan 45 hari, sehingga
pemanenan rumput laut sebaiknya dilakukan setelah berumur 45 hari. Tetapi
panen rumput laut untuk digunakan sebagai bibit dilakukan pada umur tanaman
berkisar 25–35 hari.
Panen dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara selektif atau parsial
dan secara keseluruhan. Panen secara selektif dilakukan dengan cara memotong
tanaman secara langsung tanpa melepas ikatan dari tali ris. Keuntungan cara ini
adalah penghematan tali rafia pengingat rumput laut namun memerlukan waktu
kerja yang relatif lama. Berdasarkan informasi yang ada, panen selektif umumnya
hanya dapat dilakukan selama tiga kali dan setelah itu sebaiknya dilakukan panen
secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pangkal thallus rumput laut yang
tersisa semakin tua sehingga cenderung pertumbuhannya akan lambat. Cara panen
keseluruhan dilakukan dengan mengangkat seluruh tanaman sekaligus, sehingga
waktu kerja yang diperlukan relatif singkat dibanding cara panen sebelumnya.

2.4 Beban Pencemaran Lingkungan

Pembangunan di wilayah pesisir dan P2K salah satu akibat negatifnya


adalah pencemaran. Hynes (1974) menyatakan bahwa pencemaran perairan
diakibatkan oleh masuknya zat-zat beracun, bertambahnya padatan suspensi,
reduksi dan meningkatnya suhu. Dalam Pramudianto (1999) didefinisikan
pencemaran laut sebagai dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
21

kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut


tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan atau fungsinya. Kennish (2001)
mendefinisikan bahan pencemar sebagai introduction material atau ekstraksi
material dan energi oleh manusia kepada lingkungan, sehingga konsentrasi zat ini
menjadi lebih tinggi atau bahkan lebih rendah di bawah tingkat alami sehingga
kondisi lingkungan berubah. Perubahan terhadap lingkungan tersebut
membahayakan bagi kelangsungan hidup biota maupun manusia yang disebabkan
oleh limbah dari proses baik yang diakibatkan oleh alam maupun manusia.
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa lingkungan pesisir P2K
yang dimanfaatkan sebagai areal marikultur, kualitas perairannya akan menurun
disebabkan oleh buangan limbah budidaya selama operasional. Buangan limbah
yang mengandung konsentrasi tinggi bahan organik dan nutrien adalah
konsekuensi dari sisa pakan dan feses yang terlarut ke dalam perairan sebagai
masukan aquainput budidaya (Johnsen et al. 1993; Buschmann et al. 1996;
McDonald et al. 1996; Boyd 1999; Horowitz & Horowitz 2000; Montoya &
Velasco 2000; Goldberg et al. 2001).
Dampak buangan limbah yang terjadi dapat dirasakan langsung pada usaha
budidaya. Johnsen et al. (1993) menyatakan bahwa pengayaan bahan organik
dapat berakibat pada penurunan produktivitas budidaya dan peningkatan
mortalitas komunitas budidaya. Limbah budidaya berpengaruh pada kehidupan
makrofauna bentik yang dicirikan oleh rendahnya keragaman spesies dan
didominasi oleh spesies yang bersifat oportunistik.
Dalam penelitian ini, komoditas yang dikembangkan adalah rumput laut.
Budidaya rumput laut sangat kecil potensi menghasilkan limbah di lingkungan
perairan. Yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah limbah rumah
tangga dari penduduk yang berdampak pada budidaya rumput laut. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa pada suatu kurun waktu, pembudidaya rumput laut
di Pulau Nain telah membangun tempat tinggal di sekitar bahkan di atas areal
budidaya rumput laut. Selain itu, sebagian besar penduduk Desa Nain telah
membangun rumah tinggal di atas air sepanjang pinggir desa. Limbah yang
dihasilkan berupa limbah dapur, MCK, tumpahan minyak mesin motor laut, serta
limbah sisa pengolahan ikan asap dan ikan asin. Diketahui juga bahwa sumber air
22

tawar di Desa Nain berada di pinggir pantai berupa dua buah sumur yang
sepanjang hari oleh penduduk digunakan juga sebagai tempat mencuci dan mandi.
Menurut Duncan (1976) in Wantasen (2007), komposisi limbah yang
berasal dari kamar mandi dan wc dalam bentuk feces, jumlah per orang per hari
yakni 135–270 g (basah) dan 20–35 g (kering). Sedangkan untuk cairan tubuh
secara rata-rata tubuh orang dewasa akan kehilangan 1,5 liter cairan tubuh melalui
urin (Irawan, 2007). Jumlah air limbah (meliputi air dari kamar mandi, tempat
cuci, wc dan tempat masak) dari rumah tinggal pada umumnya 190–350
liter/orang/hari. Beban pencemar dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar
yang masuk ke dalam suatu lingkungan yang dihasilkan oleh manusia dalam
upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya pada suatu kurun waktu tertentu baik
secara langsung maupun tidak langsung (Sutisna 2007).
Kandungan unsur P yang utama adalah yang bersumber dari limbah dapur,
limbah pengolahan ikan dan feses. Tetapi menurut Kibria et al. (1996), pelepasan
P ke perairan tergantung juga oleh karakteristik fisika-kimia perairan seperti pH,
suhu, oksigen, turbulensi, dan mikroba. Input limbah masyarakat yang berupa
bahan organik dan nutrien, oleh Barg (1992) dan Buschmann et al. (1996), akan
menyebabkan pengayaan nutrien (hypernutrifikasi) dan bahan organik yang
diikuti oleh eutrofikasi dan perubahan ekolofi fitoplankton, peningkatan
sedimentasi, siltasi, hypoxia, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas
bentos. Silvert (1992) menyatakan dalam hubungan budidaya intensif, terdapat
empat jenis dampak lingkungan yang spesifik, yakni: hypernutrifikasi, pengayaan
bentik, meningkatkan BOD, dan perubahan bakterial.
UNEP (1993) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pencemar
(pollutants) dan limbah (waste). Pencemar merupakan bahan dan energi yang
dibuang ke lingkungan dan dapat merusak ataupun membunuh makhluk hidup
maupun makhluk tak hidup yang mendiami lingkungan tersebut. Limbah tersebut
memberikan dampak yang sangat merugikan. Kennish (2001) memberikan contoh
dampak antropogenik pada ekosistem perairan dan laut yang terbagi menjadi tiga
kategori: terjadinya pencemaran, hilangnya habitat dan terjadi perubahan
pemanfaatan sumber daya dan eksploitasi yang berlebihan. Suharsono (2005)
mendefinisikan pencemar sebagai sebagai jumlah total bahan pencemar yang
23

masuk ke lingkungan perairan baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun
waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia. Besarnya
beban masukan sangat tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan.
Besarnya beban pencemar sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang
berada di sekitar aliran air yang masuk ke daerah tersebut. Laju pergantian air oleh
arus dan pasang surut berperan di dalam proses pembuangan limbah dan memasok
oksigen (Barg 1992; Cornel and Whoriskey 1993 in Rachmansyah 2004). Pada
saat pasang, beban limbah yang masuk akan sangat kecil dikarenakan tertahan
oleh tingginya/terjadinya peningkatan oleh massa air yang berasal dari laut.
Sebaliknya pada saat surut beban limbah yang ke muara dan pantai akan besar
(Rafni 2004; Hadi 2005 in Mezuan 2007).
Soutwick (1976) membedakan sumber pencemaran perairan menjadi 3
golongan yakni: pencemar organik berupa pengkayaan hara, sehingga terbentuk
komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, zat-zat toksik yang dapat
melenyapkan organisme hidup karena terganggunya proses kehidupan, bahan
pencemar fisik berupa padatan tersuspensi dan zat koloidal.

2.5 Kesesuaian Areal Budidaya Rumput Laut

Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan


penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna
lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan
penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya.
Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian sistematik dari lahan dan
menggolong-golongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau
kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha atau
penggunaan tertentu (Hardjowigeno 2001). Proses penilaian kesesuaian lahan
budidaya rumput laut adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan
lahan pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut dengan kualitas lahan pesisir.
Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi
peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat penggunaan lahan tersebut
kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan tergantung
pada letak geografis.
24

Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan


untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan
untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin
ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat
berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau secara ekologis,
ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.
Langkah awal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput
laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi
ekologi. Akan tetapi menurut Aji & Murdjani (1986), sangat sulit untuk
menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan rumput laut yang optimal. Karena faktor-faktor ekologis ini sangat
bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang
dimaksud adalah sebagai berikut: terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus
air berperan dalam membawa nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
rumput laut dan membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel, perairan
terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras, airnya jernih dengan
kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan terhadap sinar
matahari untuk proses fotosintesis bagi pertumbuhan rumput laut, pada saat surut
terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 30-60 cm agar rumput laut tidak
mengalami kekeringan, dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang
namun tidak ada endapan dan kotoran, tidak terdapat hewan-hewan pemangsa,
(diantaranya: ikan-ikan herbivora, penyu, bulu babi), terdapat bentos, teripang,
dan kerang-kerangan), perubahan kadar garam tidak telalu besar, kaya akan
nutrien, pH antara netral sampai agak basa, dan bebas dari aliran bahan pencemar.
Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan
kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa
optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus
diperhatikan (Deptan DKI, 2001), adalah: lokasi tidak termasuk dalam wilayah
jalur pelayaran lalu lintas laut, lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan
kegunaan lain, tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut
merupakan usaha yang padat karya, mudah terjangkau dengan alat transportasi.
25

Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi
yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan
bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi
ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan
kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan,
tersedianya lembaga yang membantu petani rumput laut dalam hal permodalan,
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan informasi pasar, akan berdampak
terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang berkelanjutan.

2.6 Daya Dukung Lingkungan

Anna (2003) menyatakan beberapa akibat dari kondisi pencemaran yang


berpengaruh terhadap kegiatan perikanan adalah: 1) Terjadinya penurunan
kandungan oksigen dalam perairan akan menyebabkan terjadinya pembatasan
habitat ikan, khususnya ikan dasar dekat pantai, 2) Penyuburan perairan
(eutrofikasi) yang menyebabkan pertumbuhan alga tidak terkendali (blooming
algae), diantaranya pada peristiwa red tide yang menimbulkan keracunan pada
ikan, namun bila produktifitas primer meningkat, stok ikan akan meningkat, 3)
Kehadiran zat kimia beracun akan mematikan ikan-ikan yang ada di pesisir, 4)
Terakumulasinya limbah beracun Hg akan menyebabkan kematian ikan.
Kondisi-kondisi ini akan menyebabkan potensi sumberdaya perikanan
semakin menurun, sehingga rente ekonomi sumberdaya perikanan yang
dihasilkanpun akan menurun pula. Fauzi (2010) menjelaskan tentang rente
ekonomi pada dasarnya adalah surplus, yakni perbedaan antara harga yang
diperoleh dari pengunaan sumberdaya dengan biaya per unit input yang digunakan
untuk menjadikan sumberdaya tersebut menjadi suatu komoditas.
Perbedaan utama yang dapat dianalisis adalah karakteristik dari
lingkungan penerima limbah, kualitas dari limbah yang dibuang dan juga waktu
dari pembuangan limbah itu dilakukan. Limbah yang dapat dinetralkan dapat
dikategorikan sebagai gangguan biasa sedangkan yang merusak lingkungan
dikatakan sebagai pencemar. Kemampuan dalam menerima limbah tanpa merusak
ekosistem tersebut disebut sebagai kapasitas asimilasi. Nemerow (1991) in
Mezuan (2007) bahwa kapasitas asimilasi adalah kemampuan air atau sumber air
26

dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan


kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Jadi, kapasitas asimilasi
merupakan kemampuan dari suatu lingkungan ataupun ekosistem dalam menerima
limbah ataupun bahan pencemar tanpa menyebabkan gangguan ataupun kerusakan
bagi lingkungan ataupun ekosistem tersebut.
Fauzi (2003) menyatakan bahwa kapasitas penyerapan (absorptive
capacity) disebut juga kapasitas asimilasi (assimilative capacity) adalah
kemampuan sumberdaya alam dapat pulih (misalnya air, udara) untuk menyerap
limbah akibat aktivitas manusia. Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal
seperti cuaca dan intervensi manusia. Selanjutnya, Dahuri (2004) menyatakan
daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: kondisi biogeofisik wilayah dan
permintaan manusia, sumberdaya alam, dan jasa lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat
ditentukan/diperkirakan (assessed) dengan cara menganalisis : 1) Variabel kondisi
biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/
menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan; 2) Variabel sosial-ekonomi-
budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir
tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap
perubahan sumberdaya alam dan jasa lingkungan di wilayah tersebut.
Rajab (2005) menjelaskan untuk perhitungan kapasitas asimilasi sangat
tergantung pada lingkungan studi yang bersifat sangat spesifik, sehingga untuk
perhitungan antara suatu lingkungan dengan lingkungan yang lain akan berbeda.
Metode untuk menghitung kapasitas asimilasi adalah membandingkan antara
kualitas air dengan jumlah beban pencemar limbah. Kapasitas asimilasi ditentukan
dengan memplotkan pada grafik nilai-nilai kualitas perairan pada kurun waktu
tertentu dengan beban limbah, kemudian dibandingkan dengan baku mutu air
yang untuk masing-masing biota laut (komoditas). Nilai kapasitas asimilasi adalah
hasil perpotongan dari hasil perbandingan antara beban pencemar dengan baku
mutu air laut biota laut tersebut.
Daya dukung pulau kecil adalah kemampuan menyerap bahan, energi
maupun komponen lainnya yang dibangun dan dibuang di pulau dan perairan
sekitar pulau tersebut. Pengertian daya dukung pulau kecil dapat juga dipahami
27

sebagai kemampuan kawasan tersebut dalam menyediakan ruang untuk berbagai


kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung. Daya dukung
lingkungan P2K ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu: 1) Potensi lestari pulau
dalam menyediakan sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut, 2)
Ketersediaan ruang untuk kegiatan pembangunan dan kesesuaian lahan serta
perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan
dan pariwisata, 3) Kemampuan ekosistem pulau untuk menyerap limbah, sebagai
hasil samping kegiatan pembangunan, secara aman, 4) Dalam batas-batas tertentu,
daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi teknologi, seperti
pemupukan tanah dan desalinasi air laut (DKP 2005).
Daya dukung untuk bidang perikanan, menurut Kenchington dan Hudson
(1984) adalah sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu
badan air selama jangka waktu panjang. Selanjutnya, Turner (1988) menjelaskan
bahwa daya dukung lingkungan merupakan populasi organisme akuatik yang akan
ditunjang oleh suatu areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami
penurunan mutu. Rachmansyah (2004) mendefinisikan daya dukung adalah
batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat
didukung oleh suatu habitat.
Penelitian ini dilakukan di Pulau Nain. Sebagaimana diketahui Pulau Nain
merupakan bagian dari zonasi TNL Bunaken. Daya dukung lingkungan dalam
upaya pengembangan areal budidaya laut, khususnya komoditas rumput laut perlu
diuraikan suatu gambaran terhadap batasan yang dimiliki lingkungan perairan
Pulau Nain sebelum merumuskan usulan pengembangan budidaya rumput laut.
Hal ini untuk menghindari eksploitasi berlebihan dan pencemaran ekosistem
pesisir yang didasarkan pada daya dukung lingkungan perairan pesisir Pulau Nain.
Dalam penelitian ini daya dukung didefinisikan sebagai kapasitas suatu
lingkungan perairan untuk mendukung sejumlah biomassa rumput laut untuk
dapat bertumbuh secara optimal berkelanjutan dalam suatu lingkungan perairan
yang akan ditetapkan dengan memenuhi persyaratan bioteknis bagi kegiatan
budidaya rumput laut.
Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit, antara
lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus menjadi pucat
28

atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thallus pada beberapa cabang
menjadi putih dan membusuk. Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh
perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang
sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga
merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut.

2.7 Kapasitas Perikanan Budidaya Laut

Lee (1997) menyatakan bahwa untuk pengembangan budidaya, harus


didukung oleh lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan.
Pengembangan marikultur hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan yang
berarti. Kondisi ini karena dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan
mutu lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan sumber daya manusia (DKP
2003). Clark dan Beveridge (1989) in DKP (2003) menyatakan bahwa tantangan
pengembangan budidaya terletak pada kurangnya teknologi. Marikultur belum
berkembang dengan baik di Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan teknologi
budidaya masih lemah.
Di Kabupaten Minahasa Utara, khususnya di Bahoi dan Likupang, pada
tahun 2001 – 2003 pernah ada beberapa usaha perikanan marikultur tetapi
semuanya mengalami kegagalan. Pada awalnya adalah usaha budidaya rumput
laut, tetapi usaha tersebut mengalami penurunan produksi terus-menerus sampai
akhirnya terhenti/gagal. Kemudian beberapa instansi dan pengusaha melakukan
kegiatan budidaya ikan kerapu, juga gagal. Jadi sebenarnya potensi sumberdaya
yang dapat dikembangkan untuk perikanan marikultur cukup besar tetapi banyak
yang gagal dan pendapatan penduduk tetap rendah.
Kenyataan di atas menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan marikultur di
perairan tersebut telah efisien atau mungkin kelebihan kapasitas? Fauzi dan Anna,
(2002 & 2003) menyatakan bahwa seperti juga pada perikanan tangkap, maka
perikanan marikultur selain tergantung pada input sarana produksi seperti benih
atau bibit juga tergantung pada kondisi ekologis perairan, yang juga merupakan
fungsi dari eksternalitas berbagai kegiatan lain. Pengendalian input dari alam ini
sangat sulit sehingga konsep kapasitas perikanan marikultur dapat diterapkan
seperti juga yang telah diterapkan pada perikanan tangkap.
29

Analisis kapasitas pada prinsipnya adalah analisis efisiensi. Berbagai


metode telah tersedia untuk mengukur efisiensi ini (Fauzi & Anna 2002). Salah
satu metode penilaian kebijakan untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari unit
pengambil keputusan adalah data envelopment analysis (DEA). DEA merupakan
metode pengukuran efisiensi relatif yang bersifat bebas nilai (value free) karena
tidak mempertimbangkan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan
(Korhonen et al. in Rahardjo 2003). DEA bertujuan untuk mengukur kondisi
relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi multiple inputs dan
outputs. DEA memiliki kelebihan dalam hal kemampuan untuk mengestimasi
kapasitas di bawah kendala kebijakan tertentu. Juga dapat mengakomodasikan
multiple inputs dan outputs serta tingkat input dan ouput yang riil maupun non-
diskret. Selain itu, DEA dapat menentukan tingkat potensial maksimum dari upaya
atau variabel input secara umum dan laju utilitas optimalnya (Fauzi & Anna 2002).
Selanjutnya dinyatakan bahwa hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam
bentuk grafik melalui apa yang disebut Efficiency Frontier. Gambar 3
menggambarkan efficiency frontier dari enam unit yang menghasilkan dua jenis
output y1 dan y2 (Fauzi & Anna 2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa, dengan
DEA, titik-titik E1, E3, dan E$ menggambarkan unit yang efisien karena tepat
berada di efficiency frontier, sekaligus menjadi “amplop” (envelop) yang menutupi
seluruh set data yang ada. Unit E5 dan E6 berada dalam “amplop” tersebut
sehingga dikatakan tidak efisien. Amplop data ditutup ke horisontal aksis dengan
E4y’1 sementara ke vertikal aksis ditutup dengan E1y’2.

y2
E1
y2’ E5’
E5”
E2
E5
E3

E4
E6 E6’

y1’ y1

Gambar 3 Efficiency frontier (Fauzi & Anna 2005).


30

Gambar 3 dijelaskan oleh Fauzi dan Anna (2005) bahwa terlihat kelompok
terdekat (peer unit) untuk unit E5 adalah E1 dan E2, dan target efisien dari E5
adalah E5’. Target tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan output E5 secara
proporsional (pro rata) antara y1 dan y2. Peningkatan tersebut diperoleh dengan
pembobotan unti E1 dan E2. Namun, jika misalnya output y2 tidak dapat
ditingkatkan, pilihan target efisien berikutnya dari E5 adalah titik E5” yang
sepenuhnya mengandalkan peningkatan ouput y1. Sementara itu, untuk unit E6,
target efisien adalah titik E6’ dengan meningkatkan output secara pro rata antara
y1 dan y2. Namun, pada titik tersebut efisiensi telah didominasi oleh E4, sebab
dengan output y1 yang sama, E4 memiliki output y2 yang lebih banyak dari E6.
31

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran


Umumnya pemanfaatan sumberdaya di perairan Gugus Pulau Nain adalah
budidaya rumput laut. Pemanfaatan yang tidak terkendali telah mendorong
timbulnya penurunan produksi rumput laut. Kondisi ini menunjukkan bahwa
sumberdaya perairan tersebut belum dikelola secara berkelanjutan, apabila
dibiarkan akan terjadi penurunan produksi berulang kali yang nantinya
berpengaruh terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya itu sendiri. Ini juga
akan berdampak pada penurunan kesejahteraan pembudidaya rumput laut.
Dalam usaha budidaya rumput laut perlu diterapkan suatu pengelolaan
yang tepat dengan memperhatikan sumber dan jenis bibit, kesesuaian lahan,
mencegah penurunan kualitas perairan, dan dampak ekonominya sehingga akan
meningkatkan produktifitas usaha budidaya. Pada prinsipnya, penelitian ini untuk
mendapatkan suatu informasi pengelolaan usaha budidaya rumput laut
berdasarkan berbagai kriteria yang mencakup aspek biologi, ekologi dan sosial
ekonomi. Skema kerangka pemikiran penelitian seperti pada Gambar 4.

Pengelolaan Sumberdaya Perairan Gugus Pulau Nain Saran Kebijakan

Perikanan Tangkap Perikanan


Budidaya

Tidak diteliti KJA Rumput laut

1. Primer Jenis data Produksi turun


2. Sekunder
1. Uji tumbuh
2. Kualitas air Metode Penelitian
3. Sosek
1. Pertumbuhan
2. Kesesuaian Manfaat
3. Daya dukung Data & Info
4. CBA
5. DEA Pengalaman Untuk para pengambil
meneliti kebijakan dan pengusaha

Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian.


32

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap di Gugus Pulau Nain,
Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Gambar 5).
Tahap I : Uji pertumbuhan rumput laut, diikuti dengan pengamatan parameter
kualitas air. Pada tahap ini dilakukan juga wawancara dengan
berpedoman pada kuisioner. Tahap ini dilakukan mulai Januari 2007
–Juni 2008.
Tahap II : Monitoring dan evaluasi lewat uji pertumbuhan rumput laut serta
pengamatan kualitas air yang dilakukan pada bulan Mei – Agustus
2009 dan Juni – September 2010.
Tahap III : Pengamatan distribusi potensi bahan pencemar serta pengamatan
parameter kualitas air di sekeliling Perairan Gugus Pulau Nain. Pada
tahap akhir ini dilakukan juga wawancara yang berpedoman pada
kuisioner. Tahap ini dilakukan pada bulan Mei 2011.

10 9
11
8
3 7
1 2
1 6
2
6 5
3 4
4
5
10
7
9
8
Tahap I : Pertumbuhan rumput laut dan pengamatan kualitas air di areal
budidaya rumput laut (2007 – 2008).
Pertumbuhan rumput laut dan pengamatan kualitas air di luar areal
budidaya rumput laut (2007 – 2008).
Tahap II : Evaluasi dan monitoring 2009 dan 2010.
Tahap III : Pengamatan distribusi potensi bahan pencemar di perairan (2011).
Pengamatan kualitas air sekeliling pulau (2011).
Sumber: modifikasi dari Google maps 2011 (not to scale)
Gambar 5 Lokasi penelitian dan titik-titik pengamatan.
33

3.3 Pengumpulan Data

3.3.1 Jenis data


Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung pada lokasi penelitian melalui uji pertumbuhan rumput
laut, pengukuran parameter kualitas air, dan kuisioner. Data sekunder dilakukan
melalui penelusuran pustaka dari jurnal dan laporan penelitian, serta data dari
instansi terkait. Jenis data penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis data primer dan sekunder penelitian
No Jenis Data Parameter Alat/Metode
1 Biologi - Pertambahan berat (g) - Tali panjang
rumput laut - Biota pengganggu - Buku identifikasi
2 Data fisika - Kedalaman (m) - Batu duga/data sekunder
- Kecerahan (m) - Pinggan secchi
- Keterlindungan - Visual & wawancara
- Kec. arus (cm/detik) - Layang-layang(drift float)
- Substrat dasar perairan - Visual & wawancara
- Suhu (0C) - Termometer
- Salinitas (ppt) - Salinometer
3 Data kimia - TSS (mg/l) - Laboratorium Baristand
- Derajat keasaman/pH - pH meter
- Nitrat (mg/l) - Spektrofotometer (Lab.)
- Fosfat (mg/l) - Spektrofotometer (Lab.)
4 Budidaya - Wawancara - Kuisioner
rumput laut - Data sekunder - Instansi terkait
5 Sosial – - Wawancara - Kuisioner
ekonomi - Data sekunder - Instansi terkait

3.3.2 Pengambilan data


1) Pertumbuhan rumput laut
Penelitian ini untuk mendeskriptifkan keadaan yang aktual dan mengkaji
penyebab dari gejala tertentu dengan tujuan mendapatkan data pengembangan
usaha budidaya rumput laut. Kajian survei dan percobaan melalui analisis
ekologis dan biologis rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan sebagai
bibit di Perairan Gugus Pulau Nain.
a) Uji pertumbuhan rumput laut dimulai pada bulan Januari 2007 – April 2008,
dilakukan percobaan sebanyak 9 siklus penanaman (9 kali panen), masa
pemeliharaan membutuhkan waktu selama 45 hari (6 minggu).
34

b) Percobaan dilakukan pada 5 stasiun pengamatan di areal budidaya (rataan


karang) dan 5 stasiun di luar areal budidaya (lereng karang) dengan
menempatkan satu unit wadah budidaya di masing-masing stasiun (Gambar 6).
c) Rumput laut uji adalah Kappaphycus alvarezii yang sering disebut ’Cottonii’.
d) Uji pertumbuhan dengan beda kedalaman yaitu: di permukaan (0 cm), 50 cm
dan 100 cm di bawah permukaan air.
e) Percobaan lanjutan sebagai monitoring dan evaluasi dilakukan pada bulan Mei
–Agustus 2009 di areal budidaya di 5 stasiun pada titik percobaan yang sama
dengan percobaan pertama pada tahun 2007 – 2008. Pada bulan Juni –
September 2010 dilakukan di luar areal budidaya pada 5 stasiun yang sama
seperti tahap penelitian di tahun 2007 – 2008 (Gambar 6).
f) Keseluruhan uji pertumbuhan dimulai dengan persiapan wadah sebagai
kerangka untuk pengikatan bibit. Wadah berukuran 3 x 3 x 1,5 m3, pelampung
diameter 20 cm, pelampung Y-50, pelampung botol plastik, tali induk dan tali
jangkar PE 10 mm, tali bantalan 8 PE mm, tali ris PE 4 mm, tali rafiah,
pemberat dan jangkar beton ± 20 kg (Gambar 5).

Gambar 6 Instalasi wadah uji pertumbuhan Kappaphycus alvarezii.

g) Penentuan penggunaan bibit rumput laut uji ini didasarkan pada jenis yang
dibudidaya di Perairan Gugus Pulau Nain. Bibit rumput laut dipilih dari
35

tanaman yang masih segar, sehat, kenyal, muda, dan banyak cabang. Berat
awal bibit yang ditanam adalah 100 gram. Masing-masing bibit di tanam pada
kedalaman 0 cm, 50 cm, dan 150 cm (Gambar 7).
h) Pengamatan dan penimbangan perubahan bobot rumput laut dilakukan pada
awal pemeliharaan, kemudian setiap interval waktu 15 hari (2 minggu).

Gambar 7 Konstruksi wadah dan posisi tanam rumput laut (Mudeng 2007).

2) Pengukuran kualitas air di areal budidaya rumput laut


a) Pengamatan parameter air dilakukan di setiap stasiun.
b) Sampel air diambil pada permukaan air laut dan di kedalaman 1 meter.
c) Parameter air yang diamati langsung yaitu kecepatan arus, kecerahan,
kedalaman, dasar perairan, suhu, salinitas, dan pH.
d) Parameter nitrat dan fosfat terlarut dianalisis di Laboratorium Balai Pelatihan
Kesehatan (Bapelkes) Manado.
3) Pengukuran kualitas air di sekitar permukiman penduduk
a) Pengamatan parameter air pada 11 stasiun, terdiri dari 20 titik di sekeliling
pulau (sejajar garis pantai) ditentukan secara sengaja. Stasiun I di depan Desa
Nain dengan kepadatan pemukiman yang relatif sedikit, St. II di depan Desa
Nain dengan kepadatan pemukiman yang padat, dan St. III di depan sumur
‘Aer jere’ yang merupakan tempat aktivitas tinggi penggunaan air tawar. St.
IV dan V di bagian selatan pulau, St. VI di sisi selatan Kampung Tarente, St.
VII di depan Kampung Tarente, St. VIII di sisi utara Kampung Tarente, St. IX
36

di sisi Timur Desa Tatampi, St. X di depan Desa Tatampi, dan St. XI di sisi
barat Desa Tatampi (Gambar 5 & 8).
b) Pengamatan ke arah laut dilakukan pada Stasiun I, II dan III. Pada St. I ditarik
garis 450 ke arah selatan dari garis pantai, St. II tegak lurus garis pantai, dan
St. III 450 ke arah utara dari garis pantai (Gambar 8).
c) Titik awal (0) ditentukan pada ketinggian air 1 meter, ditandai dengan patok
kayu. Antar titik berikutnya berjarak 50 m (titik 1), 100 m (titik 2), dan 200 m
(titik 3) ke arah laut, kemudian ditandai dengan pelampung (Gambar 8).
Pengambilan sampel air dilakukan pada permukaan dan di tengah kolom air.
Pengambilan sampel air di tengah kolom air tergantung kedalaman perairan.
d) Parameter air yang diukur yaitu: nitrat, fosfat dan total padatan tersuspensi
(TSS) yang dianalisis di Laboratorium Balai Industri dan Standarisasi
(Baristand) Manado.

St.3

St.2

St.1

Sumber: Google maps (2011) dan foto koleksi pribadi.


Gambar 8 Titik awal pengukuran kualitas air di sekitar permukiman penduduk.
Pengamatan di titik awal dilakukan saat air bergerak surut, sedangkan pada
titik lainnya, dimulai berturut-turut dari titik 3, 2, dan 1 pada saat air akan
bergerak pasang. Clark (1986) menyatakan bahan-bahan pencemar yang ada di
kawasan pesisir akan mengikuti arus pasang surut. Bahan-bahan terperangkap
37

dalam suatu jarak tertentu (terakumulasi), sesuai dengan Pariwono et al. (1989)
yang menyatakan bahwa pasang surut akan menggerakan massa air secara
horisontal yang akan membawa bahan pencemar. Pasut selain membantu proses
pengenceran juga merupakan salah satu fenomena alam yang berperan dalam
penyebaran zat pencemar.
1) Data sosial, ekonomi, dan kelembagaan budidaya rumput laut
Data sosial ekonomi di Pulau Nain dikumpulkan secara langsung dengan
cara wawancara yang berpedoman pada kuisioner. Data jumlah penduduk, mata
pencaharian, dan tingkat pendidikan diperoleh dari Kantor Desa Nain, Kantor
Kecamatan Wori, dan Badan Pusat Statistik. Letak desa dan kampung di Pulau
Nain seperti pada Gambar 9.

Sumber: Google maps (2011) & Foto koleksi pribadi


Gambar 9 Permukiman penduduk di Gugus Pulau Nain.

Responden ditetapkan secara sengaja yaitu penduduk yang termasuk dalam


usia angkatan kerja 15 – 64 tahun yang berjumlah 1.671 orang (Pandelaki, 2011).
Menurut Mondiringin (2005) 90% penduduk Desa Nain beraktivitas di bidang
budidaya daya rumput laut, baik sebagai pembudidaya, pekerja, penampung dan
penjual. Jumlah angkatan kerja sebanyak 1.671, yang berusaha di bidang rumput
38

laut diperkirakan berjumlah 1.504 orang. Dalam penelitian ini jumlah responden
ditetapkan dengan menggunakan rumus Slovin (1960) in Hikmat (2002):
N
n
1  Ne 2 (1)
dimana : N = populasi
n = responden
e = nilai kesalahan yang ditentukan (10%).
Berdasarkan persamaan ini maka dari 1.504 orang dipilih sebanyak 94 responden
sebagai target wawancara.

3.3.3 Analisis data


1) Parameter pertumbuhan
Parameter yang diukur adalah pertambahan berat maka yang diukur
langsung adalah data berat (gram) rumput laut uji selama penelitian. Parameter
yang ditelaah adalah:
a) Laju pertumbuhan harian (Penniman et al. 1986) :
G (%) = [(Wt/W0)1/t – 1] x 100% (2)
dimana: G = laju pertumbuhan per hari (%)
Wt = berat pada saat pengukuran (gram)
Wo = berat awal (gram)
T = waktu penelitian (hari)
b) Pertumbuhan mutlak (Effendie 1997):
∆W = Wt – Wo (3)
dimana: ∆W = pertumbuhan mutlak dalam berat (gram)
Wt = berat pada saat pengukuran (gram)
Wo = berat awal (gram)
Pengamatan epifit dan hama pada rumput laut diamati selama penelitian.
Sampel yang belum diketahui identitasnya dimasukkan ke dalam wadah plastik
yang berisi silika gel sebagai pengawet, kemudian dibawa ke laboratorium untuk
diamati dengan menggunakan mikroskop.
39

2) Kesesuaian lahan
Pengamatan spasial dengan menggunakan pendekatan sistem informasi
geografis (SIG) adalah untuk mendapatkan bobot dan skor dalam menentukan
kelas kesesuaian lahan. Proses yang dilakukan melalui tahapan penyusunan basis
data spasial dan teknik tumpang susun serta menentukan daya dukung atau daya
tampung lahan dalam kawasan yang ditentukan.
Analisis ketersedian ruang ini didasarkan pada kesesuaian perairan yang
mendukung budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang perairan secara spasial
menggunakan parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang merupakan
prasyarat kelayakan budidaya rumput laut. Selanjutnya ditentukan tingkat
kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter yang terukur
berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari para pakar. Matriks skoring
dapat dilihat pada Tabel 4. Bobot terbesar sampai terkecil diberikan berdasarkan
besarnya pengaruh parameter terhadap kegiatan budidaya rumput laut.
Pengisian tabel skoring mengikuti langkah-langkah berikut:
a) Pengisian nilai pada kolom 3 untuk nilai teramati adalah hasil pengukuran
langsung dan analisis laboratorium.
b) Pengisian nilai pada kolom 6,7, dan 8 berdasarkan kolom 3:
- Skor 5 untuk kisaran nilai yang diinginkan
- Skor 2 untuk kisaran nilai yang dibolehkan
- Skor 0 untuk kisaran nilai di luar yang diinginkan dan dibolehkan
c) Pengisian nilai pada kolom 9 :
- Bobot 3 apabila paramater sangat berpengaruh pada kelangsungan usaha
budidaya rumput laut
- Bobot 2 apabila parameter cukup berpengaruh pada kelangsungan usaha
budidaya rumput laut
- Bobot 1 apabila parameter tidak terlalu berpengaruh pada kelangsungan
usaha budidaya rumput laut
d) Pengisian nilai pada kolom 10 berdasarkan nilai perkalian antara nilai skor
dengan nilai bobot untuk masing-masing parameter.
40

Tabel 4 Skoring areal budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii


Ter- Skor
Parameter Satuan Sangat sesuai Sesuai Bobot Nilai
amati 0 2 5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kec. arus cm/det 20 – 30 1 –19atau31–45 3
Kecerahan % 80 – 100 60 – 79 3
Keterlindungan - Terlindung Ckp terlindung 3
Kedalaman m 1 – 15 16 – 30 3
Salinitas ppt 32 – 34 28 – 31 2
Substrat - Pasir bkarang Pasir blumpur 3
0
Suhu C 29 – 31 25 – 28 2
pH - 6,5 – 8,5 6–9 2
Fosfat mg/l 0,9 – 3 0,1 – < 0,9 2
Nitrat mg/l 0,02 – 1 0,01 – < 0,02 2
atau 1 – 2
Sumber: modifikasi dari Kamlasi (2008), Pong-Masak et al. (2008), Masitasari (2009).

Total nilai dari hasil perkalian nilai skor dengan bobot dipakai untuk
menentukan klas kesesuaian lahan budidaya rumput laut berdasarkan karakteristik
kualitas perairan dengan perhitungan sebagai berikut:

(4)
dimana:
I = interval klas kesesuaian lahan
ai = faktor pembobot
Xn = nilai tingkat kesesuaian lahan
k = jumlah kelas kesesuaian lahan yang diinginkan
Berdasarkan rumus, diperoleh interval kelas dan nilai (skor) kesesuaian lahan
sebagai berikut:
78 – 99 = Sangat sesuai (S1)
57 – 77 = Sesuai (S2)
17 – 56 = Tidak Sesuai (N)
Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan/perairan dibedakan pada tiga
tingkatan yang didefinisikan oleh FAO 1976 in Hardjowigeno et al. (2001):
41

Sangat sesuai, yaitu perairan tidak mempunyai faktor pembatas yang berat atau
hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti (minor) dan secara
nyata tidak akan menurunkan produktivitas perairan ubudidaya rumput laut.
Sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang agak berat dan akan
mempengaruhi produktivitas perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut
dan ikan kerapu. Dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan
(input) teknologi dan tingkat perlakuan.
Tidak sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang sifatnya permanen,
sehingga tidak sesuai untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu.
3. Analisis daya dukung
Analisis daya dukung adalah untuk mengestimasi jumlah unit budidaya
yang dapat didukung pada potensi areal yang ditentukan sebelumnya. Analisis
daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di perairan Gugus Pulau Nain
dilakukan pendekatan dengan kapasitas luas areal budidaya yang sesuai, dan
metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam
penentuan daya dukung lahan tersebut menurut Rauf (2007) adalah:
a. Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai
Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil
analisis kesesuaian dengan menggunakan SIG.
b. Kapasitas perairan
Kapasitas perairan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus yang
secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak mengganggu
ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini
dianalisis dengan formula sebagai berikut:

p2
p1

l2 l1 L1 L2

Gambar 10 Skema unit budidaya rumput laut (modifikasi dari Rauf 2007).
42

(5)

dimana:
KA = Kapasitas areal
∆L = L2 – L1
L1 = Luas unit budidaya
L2 = Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya
l1 = lebar unit budidaya
l2 = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya
p1 = panjang unit budidaya
p2 = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya
Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai
dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas perairan yang sesuai kali 100%.
Luas unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya yang
ada di Perairan Gugus Pulau Nain, yaitu 12 m2. Luas yang sesuai untuk satu unit
budidaya (L2) ditentukan berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian areal. Daerah yang
berwarna biru merupakan jarak antara unit budidaya yang diasumsikan 2 m yaitu
duakali lebar maksimal badan perahu yang dipakai petani rumput laut dalam
melakukan aktivitasnya di Perairan Gugus Pulau Nain.
c. Luasan unit budidaya
Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu
unit budidaya rumput laut dengan setiap luasan unit budidaya berbeda-beda
tergantung dari metode budidaya yang diterapkan. Dalam kajian ini luasan satu
unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 20 x 60 m2 atau
0,12 ha.
d. Daya dukung perairan
Daya dukung perairan menunjukkan kemampuan maksimal lahan untuk
mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan
penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan
pendekatan tersebut di atas maka daya dukung perairan untuk budidaya rumput
laut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
43

DDARL = LAS x KA (6)


dimana:
DDARL = Daya dukung areal budidaya rumput laut (ha)
LAS = Luas areal yang sesuai (ha)
KA = Kapasitas areal (ha)
Jumlah unit wadah budidaya yang dapat didukung berdasarkan daya
dukung yang diperoleh menggunakan persamaan:
JUBRL = . (7)

dimana:
JUBRL = jumlah unit budidaya rumput laut (unit)
DDA = daya dukung areal perairan (ha)
LUB = luas unit budidaya (unit/ha)
4. Distribusi limbah
Pada bagian ini, analisis dilakukan secara deskriptif yaitu menggambarkan
secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara
tepat. Menurut Best (1982) in Hartoto (2009), penelitian deskriptif merupakan
metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek
sesuai dengan apa adanya. Selanjutnya Hartoto (2009) menyatakan penelitian
deskriptif sering disebut noneksperimen karena tidak dilakukan kontrol dan
manipulasi variabel penelitian. Penelitian ini juga memerlukan tindakan yang teliti
pada setiap komponennya agar dapat menggambarkan subjek atau objek yang
diteliti mendekati kebenarannya.
5. Cost benefit analysis (CBA)
CBA telah digunakan secara luas untuk menilai kelayakan suatu kegiatan
usaha (Fauzi & Anna 2003). Metode ini pada prinsipnya merupakan proses untuk
menilai tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan
menggunakan teori data dan model. Keunggulan metode ini adalah sangat praktis
digunakan sehingga menjadi alat analisis ekonomi yang sangat populer. Walaupun
demikian menurut Fauzi & Anna (2003) metode ini mempunyai kelemahan, yaitu
tidak cukup mampu menangkap aliran keuntungan dan biaya yang terkait dengan
aliran barang dan jasa dari sumberdaya alam serta cenderung mengurangi berbagai
informasi menjadi satuan tunggal dalam bentuk nilai uang.
44

a) Net Present Value (NPV). Metode NPV merupakan metode yang


memperhatikan nilai waktu dari uang. Metode ini menggunakan suku bunga
diskonto yang akan mempengaruhi arus dari uang. NPV dapat dihitung dari
selisih nilai proyek pada awal tahun dikurangi dengan tingkat bunga diskonto.
Secara matematik rumus menghitung NPV dapat dituliskan sebagai berikut:

(8)
dimana:
t = 1,2, …
i = interest rate (discount rate)

= the discount factor

Metode ini memperhatikan nilai waktu uang, maka arus kas masuk (cash
inflow) yang digunakan dalam menghitung NPV (nilai sekarang bersih) adalah
arus kas masuk yang didiskontokan atas dasar discount rate tertentu (biaya modal
dan tingkat bunga yang berlaku umum). Selisih antara PV penerimaan kas dengan
PV pengeluaran kas dinamakan NPV. Kriteria keputusan adalah:
Jika NPV bertanda positif (NPV > 0), maka rencana investasi diterima.
Jika NPV bertanda negatif (NPV < 0), maka rencana investasi ditolak.
b) Net Benefit Cost Ratio (NBC ratio). Benefit-cost ratio adalah cara evaluasi usaha
dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu
usaha dengan nilai sekarang seluruh biaya usaha. Rumus BCR dapat ditulis
sebagai berikut:

(9)
Apabila BCR lebih besar dari 0 (BCR>0) maka usaha tersebut
menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan, namun bila BCR sama
dengan 0 (BCR=0) maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal)
sehingga usaha tersebut dilanjutkan atau tidak terserah pengambil keputusan,
sedangkan bila BCR kurang dari 0 (BCR<0) maka usaha tersebut merugikan
sehingga tidak layak untuk dilaksanakan.
45

6) Data envelopment analysis (DEA)


DEA merupakan metode untuk mengukur efisiensi relatif yang
mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan metode-metode yang lain.
Menurut Fauzi & Anna (2005) pengukuran efisiensi dengan DEA tidak semata-
mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor
pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. DEA dapat mengukur
efisiensi relatif dengan berbagai kendala yang ada. Di dalam DEA, efisiensi
diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi maksimum dengan kendala
relatif efisiensi dari seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100%. Dengan
mengidentifikasi alokasi input dan output, dapat dianalisis lebih jauh penyebab
ketidakefisiensian. Secara matematis efisiensi relatif di dalam DEA merupakan
solusi dari persamaan :

w y i ijm
max Em  i

v x k kjm
k (10)

w y i ijm
dengan kendala : i
 1 untuk setiap unit ke j
v x
k
k kjm

wi dan vk masing-masing adalah bobot output ke i dan bobot input ke k.


Selanjutnya dinyatakan bahwa pemecahan masalah pemrograman
matematis di atas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum sekaligus nilai
bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi. Jadi, jika nilai = 1, unit ke-m tersebut
dikatakan efisien relatif terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil
dari 1, unit lain dikatakan lebih efisien, relatif terhadap unit m, meskipun
pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m. Melalui teknik linearisasi,
persamaan (10) dapat dirubah menjadi persamaan linier sehingga pemecahan
melalui pemrograman linear dapat dilakukan. Linearisasi persamaan di atas
menghasilkan persamaan:

(11)
46

dengan kendala:

wi, vk ≥ ɛ

Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi adalah dapat dilakukan


pemecahan pemrograman linear di atas dengan persamaan dual dari persamaan
(11). Primal dan dual variable dari persamaan (11) dapat ditulis kembali sebagai:
Model primal Variabel dual
max Em   wi yijm
i
dengan kendala:
0

= 1, 2…n

—vk ≤ —ɛ k = 1, 2…m
—wi ≤ —ɛ i = 1, 2…t

Dengan demikian dual dari persamaan (11) dapat ditulis sebagai:


min  Z m    Si    S k
i k

dengan kendala :
xkj Z m  S k   xkj  j ; k  1...m
j

S   yij  j  yijm ; i  1...t


i

 j , Si , S k  0
(12)
47

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan umum lokasi penelitian sebagian besar bersumber dari laporan:


Studi Pengembangan Infrastruktur Kawasan Minapolitan Provinsi Sulawesi Utara
di Gugus Pulau Nain (DPU Sulut 2009), dan ditunjang oleh sumber: Ulaen et al.
(2006), Minahasa Utara dalam Angka (2010), Kecamatan Wori dalam Angka
(2010), data kantor Desa Nain (2010), Dinas Kelautan dan Perikanan Minahasa
Utara (2010), dan beberapa laporan penelitian, serta pengamatan langsung.

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Minahasa Utara

Kabupaten Minahasa Utara yang beribukota Airmadidi memiliki luas


wilayah 955.32 km2, dan awalnya terdiri dari 8 kecamatan. Selanjutnya SK No. 03
DPRD Minut 2008 menetapkan Pembentukan Pemekaran Kecamatan Likupang
Selatan dari Likupang Timur. Dengan demikian wilayah Kabupaten Minahasa
Utara kini memiliki 10 kecamatan yang sebelumnya pemekaran Kecamatan
Likupang menjadi Kecamatan Likupang Timur dan Likupang Barat.
Pembentukan wilayah Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan lewat UU RI
No.33 Tahun 2003 yang memperjelas batas-batas Kabupaten Minahasa Utara:
a) Sebelah utara berbatasan dengan Laut Sulawesi;
b) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bitung Utara dan Kecamatan
Bitung Barat Kota Bitung dan Laut Maluku;
c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kombi dan Kecamatan
Tondano Utara Kabupaten Minahasa; dan
d) Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tombulu Minahasa; Kecamatan
Tikala, Kecamatan Mapanget, dan Kecamatan Bunaken Kota Manado.
Alam dan cuaca daerah ini cocok untuk areal tanaman pertanian. Hampir
di semua kecamatan berbagai tanaman pertanian tumbuh subur. Budidaya padi
sawah yang diterapkan di sini umumnya sawah dengan irigasi semi teknis dan
sederhana, di samping juga terdapat sawah tadah hujan. Penanaman dilakukan dua
kali musim tanam dan kadang kala digilir dengan tanaman palawija. Tanaman
pangan yang diusahakan oleh penduduk adalah padi, jagung, ubi-ubian dan
tanaman hortikultura lainnya. Tanaman perkebunan baik perkebunan rakyat
maupun perkebunan besar memegang peranan penting bagi perekonomian
48

Minahasa Utara. Komoditas perkebunan yang banyak diusahakan penduduk


adalah kelapa, cengkeh, vanilli, kakao dan pala. Pola penanaman masih sederhana
dan merupakan perkebunan rakyat yang dikelola secara turun-temurun. Tanaman
kelapa misalnya, diusahakan penduduk sejak lama dan tumbuh subur di hampir
semua kecamatan. Kelapa umumnya oleh penduduk dibuat kopra yang merupakan
komoditas unggulan kabupaten. Kopra di sini sebagian besar merupakan produk
industri rumahan, sementara pengolahan kelapa menjadi minyak dikerjakan oleh
pabrik dalam skala kecil. Selain itu kelapa juga diolah menjadi tepung kelapa,
nata de coco, arang tempurung, dan pemanfaatan batang kelapa. Pabrik-pabrik
pengolah kelapa tersebut terdapat di Kecamatan Airmadidi, Dimembe, Kauditan,
dan Kema. Semua komoditas ini sudah masuk ke pasar ekspor terutama ke Eropa
dan India. Cengkeh, pala, dan vanilli juga banyak ditanam. Tanaman cengkeh
terutama diusahakan di Kecamatan Airmadidi, Kauditan dan Kema. Terdapat
4.000 hektar areal potensial untuk tanaman ini.
Beberapa kecamatan di Minahasa Utara, seperti Wori, Likupang Barat,
Likupang Timur, Kema, dan Kauditan berbatasan dengan laut sehingga memiliki
potensi yang besar di bidang perikanan. Baik perikanan laut maupun darat, serta
budidaya rumput laut, mutiara dan biota laut banyak diusahakan oleh penduduk
setempat. Selain itu juga budidaya ikan air tawar yang pengembangannya
dilakukan dalam karamba ataupun jaring apung dan kolam. Produk komoditas
utama hasil laut di daerah ini adalah ikan tuna, ikan cakalang, kerang, rumput laut
dan mutiara. Hasil laut ini telah diekspor ke Eropa, Amerika, dan Asia.
Kondisi wilayah kabupaten ini merupakan area sentra dan titik simpul
pusat pengembangan dan pertumbuhan antara Kota Manado dan Kota Bitung serta
Kabupaten Minahasa. Kawasan ini juga termasuk dalam kawasan pengembangan
Kapet Manado-Bitung. Segala potensi, andalan, dan unggulan yang dimiliki
kabupaten ini, termasuk juga pengembangan kawasan industri di Kauditan, cukup
menunjang untuk menjadikan kawasan Minahasa Utara sebagai daerah industri.
Terlebih letak wilayahnya yang dekat sekitar 20 kilometer dari Pelabuhan Bitung
dan sekitar satu kilometer dari Bandara Sam Ratulangi, Manado.
49

4.2 Keadaan Umum Gugus Pulau Nain

a) Pulau dan permukiman


Wilayah perairan Nain terdapat dua pulau yaitu Pulau Nain dan Nain Kecil
serta beberapa pulau karang, juga batas tepi karangnya hanya berjarak 2 km
dengan Pulau Mantehage. Kawasan ini berada di antara 1º35’41’’ – 1º35’16’’ LU
dan 124º50’50’’ – 124º49’22” BT. Pulau Nain adalah pulau ke sembilan dari 10
pulau di kawasan yang dekat Pulau Sulawesi bagian utara. Pulau Nain merupakan
pulau terjauh dalam kawasan Taman Nasional Bunaken (TNB). Bisa ditempuh
selama 1 jam 10 menit dengan speedboad bermesin 3 x 40 PK, atau selama 2–2,5
jam dengan perahu angkutan penumpang.
Pulau Nain memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan pulau-pulau
di sekitarnya. Daratannya dikelilingi hamparan karang dan laguna. Jarak dari
pinggir pantai hingga pinggiran karang bervariasi antara 2 hingga 5 kilometer.
Keadaan topografi pulau berbukit, mulai dari batas air pasang, didominasi oleh
bebatuan. Satu-satunya dataran yang ada luasnya kurang dari 4 hektar
dimanfaatkan sebagai pemukiman. Selebihnya, rumah-rumah didirikan di lereng
bukit dan sebagian lagi merupakan rumah tiang yang didirikan berderet-deret di
atas air laut. Dari satu rumah ke rumah lainnya dihubungkan dengan jembatan
yang menggunakan bahan baku kayu, bambu atau papan. Pemukiman di atas air
adalah pemukiman bagi Suku Bajo, suku yang dikenal bermukim dan melakukan
berbagai aktivitas di atas air.
Berdasarkan survei di pemukiman Suku Bajo, diketahui bahwa aktivitas di
kawasan rumah–rumah tiang tersebut bukan hanya bermukim, tetapi juga
menambat perahu pada tiang–tiang rumah, menampung hasil perikanan,
membersihkan ikan untuk dijadikan ikan asin dan penjemuran hasil–hasil
perikanan (Gambar 11).
Ironisnya menurut informasi bahwa ada juga sebagian penduduk yang
mendirikan rumah di atas air yang sebenarnya memiliki rumah di darat. Alasannya
selain budaya dan aktivitas yang lebih banyak berhubungan dengan laut,
disebabkan juga oleh proses perkawinan dimana keluarga yang baru karena ingin
hidup mandiri maka mereka membangun rumah di atas air.
50

Sumber: foto koleksi pribadi


Gambar 11 Keadaan permukiman dan aktivitas penduduk Desa Nain.

b) Sosial budaya masyarakat


Mayoritas penduduk Desa Nain lebih memilih tinggal di rumah-rumah
gantung bertiang tancap di atas air yang disebut ‘tompal’. Selebihnya hanya
berupa perbukitan yang tentu saja rawan untuk dijadikan sebagai tempat
pemukiman. Jadi masyarakat yang tinggal di atasnya tidak sampai 250 KK. Tiang-
tiang yang digunakan untuk menopang rumah umumnya digunakan kayu bakau
dan kayu yang tahan terhadap air sehingga sering terlihat pemilik rumah rajin
memeriksa tiang-tiang rumah, juga lantai dan jalan penghubung antar rumah.
Di Desa Nain terdapat sumber air yang dinamai ‘Aer Jere’ yakni dua buah
sumur berair tawar yang letaknya berbatasan dengan garis pantai apabila air
pasang. Sumber air tawar ini tidak pernah kering sepanjang tahun, walau di musim
kemaraupun. Ini berbeda dengan beberapa pulau di sekitarnya. Aer jere harus
ditimba menggunakan timba dari daun woka (Palem Serdang, Livistona
rotundifolia). Mereka menyebut Aer Jere sebagai sumber air mujizat karena selain
tidak pernah kering, juga dipercaya dapat mengabulkan permohonan bagi orang
yang tidak dikaruniai keturunan.
Awalnya Pulau Nain bernama Pulau Bagu. Menurut salah satu tetua
Kampung Bajo, Lato (2007) mengisahkan nama Nain mulai dipakai saat
pemerintahan Belanda. Nain artinya pulau ke sembilan karena terletak di tengah
51

dari dua gugus pulau di kiri dan di kanan yang masing-masing gugus terdiri dari
empat pulau. Gugus pulau di sebelah kanan adalah P. Manado Tua, Bunaken,
Siladen, serta Mantehage, dan di kiri adalah P. Talise, Bangka, Gangga, dan
Lehaga. Ada juga yang menyebut P. Nain dengan nama Pulau Naen atau Naeng.
Penduduk di Pulau Nain mayoritas dari suku Bajo. Suku Bajo di Pulau
Nain, menurut kisah, berasal dari daerah Gowa Sulawesi Selatan. Mulanya
mereka menetap di pesisir kampung Kima Bajo dan Talawaan Bajo. Di pesisir
pantai Minahasa ini mereka mendirikan rumah yang disebut ‘daseng’. Setelah
sekitar seabad mendiami Kampung Kima Bajo, mereka berpindah ke Pulau Nain.
Struktur letak pemukiman Desa Nain terdiri atas pemukiman di daratan
datar, di lereng bukit dan di atas air. Pemukiman di Desa Tatampi (Tatampi Besar
dan Tatampi Kecil) serta di Kampung Tarente adalah pemukiman di daerah
daratan datar yang sempit di pinggir pantai. Tetapi berdasarkan survei Mei 2011
di Kampung Tatampi Kecil sudah ada pembangunan rumah tiang di atas air,
bahkan ada yang berkonstruksi permanen dengan menimbun laut (Gambar 12).
Berdasarkan data Kecamatan Wori dalam angka 2008, wilayah
administratif Desa Nain adalah 4,98 km2 atau 5,76% dari luas desa di Kecamatan
Wori. Nain merupakan pulau yang paling padat penduduk di Wori. Permukiman
Nain terdiri atas 6 jaga dengan jumlah penduduk 3.245 jiwa (Data desa 2010).
c) Mata pencaharian
Di Desa Nain terdapat 1.671 orang yang dikategorikan pada kelompok
usia kerja. Kelompok usia kerja terdiri dari nelayan, pengrajin cendramata dan
meubel, petani, nelayan, pedagang, tukang kayu, pembuat perahu, dan buruh.
Pengrajin cendramata dan pedagang didominasi oleh kaum wanita (ibu-ibu).
Berdasarkan survei, 95% dari penduduk Desa Nain merupakan nelayan
dengan dominasi pembudidaya rumput laut. Pada tahun 2010, terdapat 64
kelompok pembudidaya rumput laut. Selain itu terdapat 5 kelompok nelayan
tangkap. Jumlah anggota setiap kelompok nelayan berkisar 7–10 orang. Mata
pencaharian lainnya adalah usaha angkutan transportasi ke Manado. Selain itu
beberapa warga juga memiliki usaha berupa warung yang menjual kebutuhan
sehari – hari (DPU Sulut, 2009; DKP Minut, 2010; Pandelaki, 2011).
52

Sumber: foto koleksi pribadi


Gambar 12 Pembangunan rumah di atas air di Kampung Tatampi Kecil.

d) Pendidikan dan kesehatan


Di Desa Nain terdapat tiga buah Taman Kanak-kanak yang menampung 72
anak-anak yang diasuh 6 orang guru; tiga Sekolah Dasar dengan jumlah murid
368 orang diasuh 18 orang guru; dan Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah
siswa 95 orang yang diasuh 5 orang guru. Lembaga pendidikan yang ada memiliki
ruang belajar dan fasilitas ajar yang sangat terbatas. Survei yang dilakukan April
2010, terdapat juga fasilitas pendidikan lainnya yakni Madrasah Tsanawiyah
(MTs), dan sementara dibangun bangunan Madrasah Aliyah (MA). Tingkat
pendidikan penduduk dapat dilihat pada Tabel 5.
Pelayanan kesehatan di Desa Nain difasilitasi dengan adanya Puskesmas
Pembantu yang ditangani oleh seorang bidan, dan secara terjadwal dikunjungi
oleh dokter dengan fasilitas Puskesmas Terapung menggunakan sebuah
speedboat. Selain itu terdapat tiga dukun beranak terlatih dan 12 kader kesehatan.
Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan
No Pendidikan Jumlah (jiwa)
1 Sarjana/Diploma 20
2 SLTA/sederajat 220
3 SLTP/sederajat 530
4 SD/sederajat 1.100
5 Tidak tamat SD/tidak sekolah 702
Sumber: BPM-PD Kab. Minahasa Utara (2010)
53

e) Sarana-prasarana
Di Desa Nain sudah terdapat fasilitas penerangan yang diperoleh dari PLN
dengan jam operasi dari jam 6 sore hingga jam satu subuh. Dan setiap hari minggu
maupun hari-hari raya ada jam operasi ekstra dari jam 7 pagi hingga jam 1 siang.
Sejumlah ibu rumah-tangga memanfaatkan energi listrik ini untuk pembuatan es
dan air es sebatas kapasitas kulkas. Sebagian warga memanfaatkan energi ini
untuk tayangan televisi kabel.
Sumur Aer Jere dari awalnya berjumlah dua maka penduduk membagi
yang dapat digunakan untuk air minum dan untuk mencuci. Air sumur ini rasanya
tawar walaupun jaraknya hanya beberapa meter dari laut. Sumber air lainnya
adalah “Air Anjing” dan sebuah sumur buatan.
f) Transportasi
Di Pulau Nain terdapat fasilitas berupa dermaga beton masing-masing
sepanjang kurang lebih 30 dan 40 meter untuk perahu motor yang mengangkut
penumpang. Ada lima buah perahu motor yang berfungsi sebagai sarana angkutan
penumpang atau dikenal dengan sebutan taksi laut. Setiap hari setidaknya 2 buah
perahu secara rutin menjadi angkutan umum ke Manado dengan biaya Rp.
15.000/orang atau Rp. 25.000/orang pp jika menggunakan perahu yang sama. Taxi
laut berangkat pada pagi hari sekitar pukul 07.30 WITA ke Manado, dan dari
Manado kembali ke Nain disesuaikan dengan kondisi pasang surut air laut.
Perjalanan pagi diupayakan sebelum air laut surut agar perahu tidak terperangkap
di “nyare” atau daerah karang yang dangkal. Perjalanan sore kembali ke Pulau
Nain dilakukan agar saat perahu tiba di perairan Pulau Nain, air laut sudah cukup
dalam sehingga perahu dapat mencapai dermaga. Selain kedua dermaga yang
telah disebutkan sebelumnya terdapat pula puluhan tambatan perahu di area
pemukiman Suku Bajo. Di setiap tambatan perahu ini terdapat tempat
penimbangan ikan hasil tangkapan nelayan yang kemudian akan dibawa ke tempat
pelelangan ikan di Manado.
Dalam sehari, dua kali pemberangkatan perahu penampung ikan ke
Manado, yakni pada subuh dan sore hari. Saat ini telah ada juga satu dermaga
baru yang dibangun oleh dinas perikanan yang dilengkapi dengan gudang rumput
laut dan tempat jemur rumput laut dengan konstruksi permanen.
55

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

5.1.1 Kondisi perairan potensi budidaya rumput laut


Rumput laut secara ekologis dapat memberikan manfaat lingkungan yakni
dapat mengurangi atau mencegah berbagai aktivitas perikanan yang merusak
lingkungan, seperti penangkapan ikan yang destruktif. Secara biologis, rumput
laut merupakan produsen primer bahan organik dan oksigen di perairan.
Walaupun demikian, rumput laut juga membutuhkan media hidup yang sesuai. Air
laut merupakan medium rumput laut untuk hidup, tumbuh dan berkembang.
Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas air dan rumput laut
yang dibudidaya seperti pada Tabel 6.
Tabel 6 Parameter air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii
No. Parameter Sesuai untuk rumput laut Sumber
1 Arus (cm/detik) 20 – 40 Mubarak (1982)
Sunaryat (2004)
2 Kecerahan (m) 0,6 – >5 Bird & Benson (1987)
Atmadja et al. (1996)
Sulistijo (2002)
3 Kedalaman (m) 5 – 20 KKP (2004)
4 Substrat dasar Karang, pecahan karang, pasir Dawes (1998)
5 Salinitas (ppt) 28 – 37 Doty (1987)
Kadi & Atmadja (1988)
Sulistijo (2002)
Anggadiredja et al. (2006)
6 Suhu (0C) 24–35 0C Mairh et al. (1986)
Puslitbangkan (1991)

a. Arah dan kecepatan arus


Arah arus di lokasi penelitian pada bagian dalam sering berubah-ubah. Ini
diduga karena pada bagian dalam adalah daerah rataan karang yang keadaan
topografinya tidak seragam. Beberapa bagian di dasarnya berbentuk seperti parit.
Sebaliknya, arah arus pada bagian luar umumnya seragam. Arah arus di lokasi
penelitian pada bulan Maret 2007 seperti pada Gambar 13.
56

Gambar 13 Arah arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada bulan Maret 2007.

Kecepatan arus permukaan ada yang tetap (seragam) dan ada juga yang
sering berubah-ubah. Kecepatan arus yang terjadi pada perairan sekitar Gugus
Pulau Nain umumnya lebih cepat di daerah bagian luar karang tepi, sedangkan
pada bagian dalam karang (gobah) kecepatan arus umumnya lemah bahkan ada
yang tidak terjadi arus. Kecepatan arus permukaan yang lemah, salah satunya
disebabkan pada saat pengukuran baru selesai turun hujan dimana kecepatan angin
sangat lemah, karena kecepatan angin juga berpengaruh pada proses pergerakan
massa air permukaan. Kecepatan arus lokasi penelitian seperti pada Tabel 7.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa kecepatan arus permukaan tidak
selalu mengikuti pola pergerakan dari pasang surut yang terjadi, begitu juga
dengan arahnya tidak mengikuti proses pergerakan massa air sesuai dengan
adanya pasang-surut. Padahal umumnya arah arus yang terjadi di daerah pantai
akan bergerak sejajar dengan garis pantai. Hal yang terjadi karena di daerah studi
merupakan daerah pulau sehingga pola pergerakannya baik kecepatan maupun
arahnya tidak seragam dan itu dapat berubah-ubah setiap saat. Begitu juga dengan
keadaan massa air yang diam (stagnan) walaupun pada waktu tersebut sedang
terjadi proses air pasang. Hal ini mengartikan bahwa proses pergerakan massa air
di daerah studi, arus pantai/lokal (arus utama) juga sangat berpengaruh, dan
kejadian seperti ini mengartikan sedang terjadi tabrakan dua tekanan massa air
antara arus pasang dengan arus pantai.
57

Tabel 7 Rata-rata kecepatan arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada


tahun 2007 - 2008
Stasiun Posisi Geografis Kecepatan Arus (cm/detik)
1 01O46’33,2”LU 7,5
124O46’50,8”BT
2 01O46’28.0”LU 5,6
124O47’00,5”BT
3 01O46’28,2”LU 4,6
124O47’07,1”BT
4 01O46’20,8”LU 7,6
124O46’58,2”BT
5 01O46’13,0”LU 7
124O46’55,1”BT
6 01O45’42,1”LU 13,4
124O46’39,5”BT
7 01O45’42,9”LU 11
124O46’37,8”BT
8 01O45’44,6”LU 21,3
124O46’33,7”BT
9 01O45’52,6”LU 10,3
124O46’27,6”BT
10 01O45’23,2”LU 11,2
124O47’10,5”BT

Kecepatan dan arah arus dari hasil pengukuran memperlihatkan bahwa


umumnya kecepatan arus pada bagian dalam karang lebih lemah jika dibandingan
dengan kecepatan arus pada bagian luar karang. Hal ini disebabkan pada bagian
dalam karang, pengaruh topografi atau tahanan dasar sangat berpengaruh bila
dibandingkan dengan daerah luar karang. Di daerah luar karang, massa air lebih
bebas bergerak karena berada pada daerah yang terbuka. Kemudian untuk arah
arus secara umum bergerak keluar atau menjauhi bagian daratan/pulau, sehingga
sering arahnya berubah-ubah setiap saat.
Arus sangat mempengaruhi kesuburan rumput laut karena melalui
pergerakan air, nutrien-nutrien yang sangat dibutuhkan dapat tersuplai dan
terdistribusi, kemudian diserap melalui thallus. Kecepatan arus yang baik untuk
rumput laut antara 20–40 cm/detik. Kecepatan arus yang lebih dari 40 cm/detik
dapat merusak konstruksi budidaya dan mematahkan percabangan rumput laut
(Mubarak 1982; Sunaryat 2004).
Arus di lokasi penelitian walaupun lemah masih memberikan manfaat
karena arahnya berubah-ubah. Terjadinya pergerakan air yang berubah-ubah
memungkinkan rumput laut dapat tumbuh dengan baik karena nutrien-nutrien
58

yang terbawa arus dapat terdistribusi dengan baik, serta rumput laut dapat
dibersihkan dari kotoran. Walaupun demikian, penataan berdasarkan kapasitas
areal budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain harus dilakukan. Penataan
dimaksudkan agar kecepatan arus tidak tereduksi oleh padatnya wadah budidaya
dan pembangunan rumah tinggal di areal budidaya. Selain itu, penataan akan lebih
mengefektifkan pekerjaan pembudidaya baik untuk waktu dan biaya, juga tenaga.

b. Kecerahan dan kedalaman perairan


Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan
tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Effendi (2003)
menyatakan kecerahan air adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan
secara visual. Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput
laut agar penetrasi cahaya matahari dapat diterima oleh rumput laut.
Rumput laut Eucheuma dapat tumbuh dengan baik pada kecerahan air laut
yang lebih besar dari 5 meter (Bird & Benson 1987). Menurut Sulistijo (2002) dan
Atmadja et al. (1996) kecerahan yang baik untuk kegiatan budidaya rumput laut
berkisar 0,6–5 meter atau dapat lebih.
Dari hasil pengukuran, kecerahan di perairan Pulau Nain adalah 100%.
Dikatakan 100% karena di perairan yang lebih dangkal yaitu pada rataan terumbu
karang yang membatasi laut bagian luar, juga yang melingkar di sekeliling gobah,
sinar matahari dapat menembus sampai ke dasar perairan pada saat air pasang
tertinggi. Ini juga terjadi di dekat darat sekeliling Pulau Nain. Di bagian perairan
dalam dan gobah, sinar matahari menembus lebih dari 20 meter, dimana
kedalaman ini merupakan syarat pertumbuhan rumput laut. Kondisi kecerahan
yang mengikuti kedalaman perairan dapat dilihat pada Gambar 14.
Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat terhadap penetrasi
cahaya, stratifikasi suhu vertikal, densitas dan kandungan oksigen serta zat-zat
hara. Kedalaman perairan di lokasi penelitian berkisar 4,2–12,7 meter. Kedalaman
perairan di perairan Gugus Pulau Nain secara keseluruhan seperti Gambar 14.
Secara umum, perairan Gugus Pulau Nain memiliki kedalaman yang
sesuai untuk budidaya rumput laut dengan menggunakan metode tali panjang.
Menurut Ditjenkan Budidaya KKP RI (2004), bahwa kedalaman perairan yang
baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma spp adalah 5–20 m dengan
59

menggunakan metode tali panjang. Hal ini untuk menghindari rumput laut
mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Ebert et al.
(1973) menerangkan bahwa beberapa alga merah ditemukan pada perairan yang
dangkal, tetapi beberapa diantaranya tumbuh pada kedalaman yang lebih besar
daripada alga lain.

Gambar 14 Sebaran kedalaman di Perairan Gugus Pulau Nain.

c. Keterlindungan
Keterlindungan adalah salah satu faktor utama resiko budidaya rumput
laut, untuk itu dalam pemilihan lokasi, keterlindungan sangat dipertimbangkan.
Hal ini untuk menghindari kerusakan sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut
dari pengaruh angin dan gelombang yang besar.
Gugus Pulau Nain selain merupakan daerah semi terbuka dari pengaruh
gelombang dan arus, juga merupakan daerah terbuka bagi pengaruh angin
(Gambar 15). Di bagian barat dan utara sering terkena badai dan gelombang besar
pada musim angin barat (November – Februari). Pengaruhnya dapat dilihat pada
kondisi karang yang menurut Rachman (2010) bahwa persentase tutupan karang
hidup di sisi ini rendah. Tetapi dengan adanya karang penghalang untuk meredam
gelombang maka kondisi angin barat ini sangat disukai oleh pembudidaya rumput
laut di Pulau Nain karena akan memberikan pertumbuhan yang paling baik.
60

Gambar 15 Sebaran keterlindungan di Perairan Gugus Pulau Nain.

Gelombang akibat angin dari Laut Sulawesi diredam oleh karang yang
mengelilingi pulau, sehingga hanya terjadi arus yang berfungsi membawa zat hara
dan membersihkan rumput laut. Menurut Sulistijo (2002), lokasi budidaya harus
terlindung dari hempasan ombak yang keras dan angin yang kuat, biasanya di
bagian depan dari areal budidaya mempunyai karang penghalang yang dapat
meredam kekuatan gelombang. Di bagian selatan Gugus Pulau Nain relatif
terlindungi dari serangan ombak besar pada musim angin barat. Daerah ini
terlindung oleh Pulau Mantehage sebagai penghalang.

d. Salinitas
Salinitas sangat berperan dalam budidaya rumput laut. Kisaran salinitas
yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut
menjadi terganggu. Salinitas dapat menimbulkan tekanan osmotik pada biota air
laut. Salinitas yang mendukung pertumbuhan Eucheuma alvarezzi berkisar antara
29–34 ppt (Doty, 1987), sedangkan menurut Kadi & Atmadja (1988) bahwa
kisaran salinitas yang dikehendaki jenis Eucheuma berkisar antara 34–37 ppt.
Menurut Sulistijo (2002) bahwa batas nilai salinitas terendah yang masih dapat
ditolerir untuk kehidupan rumput laut jenis Eucheuma sp. pada salinitas 28 ppt.
Anggadiredja et al. (2006) menyatakan salinitas yang baik untuk pertumbuhan
Eucheuma berkisar 28 – 33 ppt.
61

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: pola


sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai. Kisaran salinitas di
perairan Pulau Nain adalah 30–34 ppt. Saat pengukuran, salinitas di lokasi
penelitian pada waktu yang hampir sama menunjukkan bahwa kisaran salinitas
seragam. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di Gugus Pulau Nain memiliki
sirkulasi air yang lambat dan dampak dari suhu sangat tinggi.
Eucheuma adalah alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan
terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Fluktuasi salinitas selama penelitian
masih pada taraf normal. Perbedaan salinitas pada saat pengukuran terjadi lebih
diakibatkan karena pada saat itu baru terjadi hujan. Menurut Wyrtki (1961) in
Bengen dan Retraubun (2006) fluktuasi nilai salinitas pada musim pancaroba
bervariasi dipengaruhi oleh tinggi rendah curah hujan yang terjadi.
Berdasarkan hal tersebut, maka salinitas perairan Gugus Pulau Nain dapat
dikatakan berada dalam batas yang layak untuk pertumbuhan rumput laut. Peta
sebaran salinitas di perairan Gugus Pulau Nain seperti pada Gambar 16.

Gambar 16 Sebaran salinitas di Perairan Gugus Pulau Nain.

e. Substrat dasar
Substrat dasar perairan berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat
dasar di lokasi penelitian terdiri dari pecahan karang dan pasir berkarang. Dasar
62

perairan yang sedikit berlumpur hanya di dekat permukiman dan sebagian kecil di
padang lamun (Gambar 17).

Gambar 17 Sebaran substrat dasar di Perairan Gugus Pulau Nain.

Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah
campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan
substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput
laut. Substrat dasar yang berlumpur di kedalaman yang rendah akan mudah
terangkat saat adanya arus yang kuat dan gelombang sehingga dapat menyebabkan
kekeruhan perairan (Gerung et al. 2008). Dawes (1998) menyatakan bahwa
pertumbuhan rumput laut akan baik apabila lokasi budidaya di perairan dangkal
bersubstrat karang, pecahan karang, pasir atau campuran ketiganya.
Budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain tidak akan terlalu dipengaruhi
oleh substrat dasar karena metode yang digunakan adalah tali panjang permukaan.
Substrat dasar hanya mengindikasikan bahwa banyak terjadi pertumbuhan alga di
lokasi tersebut yang tentunya layak juga untuk pertumbuhan rumput laut yang
dibudidaya. Lee et al. (1999) dan Rorrer & Cheney (2004) menyatakan bahwa
pertumbuhan dan penyebaran rumput laut selain sangat tergantung pada faktor-
faktor ekologis juga ditentukan oleh jenis substrat dasarnya. Rumput laut hidup di
alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda
63

keras lainnya. Karakteristik perairan pulau-pulau kecil, seperti di lokasi penelitian,


menyebabkan perairan ini sangat terhindar dari dasar perairan yang berlumpur
tetap. Selain tidak memiliki sungai, substrat lumpur hanya disebabkan oleh erosi
dan limbah rumah tangga lokal sehingga substrat ini akan hanyut mengikuti arus.

f. Suhu perairan
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses
metabolisme organisme di perairan. Suhu yang mendadak berubah atau terjadinya
perubahan suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme atau dapat
menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan
musim, letak lintang suatu wilayah, letak tempat terhadap garis edar matahari,
sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air, waktu pengukuran dan kedalaman air.

Gambar 18 Sebaran suhu di Perairan Gugus Pulau Nain.

Pada rumput laut kenaikan suhu yang tinggi akan mengakibatkan thallus
menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat. Selama penelitian kisaran suhu
di perairan Pulau Nain 29–31,5oC (Gambar 18). Eucheuma sp. dapat tumbuh
dengan baik pada suhu 24–35 0C dengan fluktuasi harian maksimum 4°C (Mairh
et al. 1986 dan Puslitbangkan 1991). Suhu perairan yang tinggi dapat
menyebabkan kematian pada rumput laut, serta kerusakan enzim dan membran sel
yang bersifat labil. Pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat
64

mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel, sehingga


mempengaruhi kehidupan rumput laut (Luning 1990).
Dawes (1998) menyatakan suhu mempunyai peranan yang sangat penting
bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh
terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi,
metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi. Kisaran suhu perairan di Gugus Pulau
Nain secara keseluruhan memiliki sebaran yang hampir sama. Fluktuasi harian
suhu hanya sekitar 1oC, dengan demikian kegiatan budidaya rumput laut dapat
berlangsung pada wilayah Gugus Pulau Nain.

g. Derajat keasaman (pH)


Setiap organisme perairan laut membutuhkan kondisi pH tertentu untuk
kelangsungan hidupnya, tidak terkecuali rumput laut. Nilai pH dipengaruhi oleh
beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan
ion-ion. Dari aktiviatas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan hasil
respirasi. Gas ini akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk menjaga
kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod 1973). Hasil pengukuran pH di
perairan Gugus Pulau Nain memperlihatkan bahwa nilai pH berada pada kisaran
8–8,3 atau nilai rata-rata 8,15 (Gambar 19). Menurut Bird & Benson (1987),
kisaran pH yang baik bagi pertumbuhan Eucheuma adalah 6–8.
Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk
mencegah perubahan pH. Perubahan sedikit saja pH alami akan memberikan
petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan
dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota
laut. Menurut Chapman (1962) in Amiluddin (2007) hampir semua alga dapat
hidup pada kisaran pH 6,8–9,6, sehingga pH tidak menjadi masalah bagi
pertumbuhannya. Nilai pH yang normal bagi suatu perairan payau adalah antara
7–9, sementara pH air laut antara 8,0–8,5. Di perairan payau pada umumnya
kapasitas buffernya cukup baik (nilai alkalinitas tinggi) sehingga jarang pH turun
hingga di bawah 6,5 ataupun naik melebihi 9.
65

Gambar 19 Sebaran pH di Perairan Gugus Pulau Nain.


h. Nitrat
Perairan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut harus mengandung
cukup nutrien, baik makro maupun mikro. Kandungan fosfat dan nitrat di perairan
sebaiknya berada pada rasio 1:3 agar rumput laut dapat bertumbuh dengan baik
(Wardoyo 1978). Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan
merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat dapat
digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan
oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0–0,1 mg/liter, perairan mesotrofik
memiliki kadar nitrat antara 0,1–0,5 mg/liter, dan perairan eutrofik memiliki kadar
nitrat yang berkisar antara 0,5–5 mg/liter (Effendi 2003). Kandungan nitrat di
lokasi penelitian berkisar antara 3,5–5,8 mg/liter (Gambar 20). Menurut Herlina et
al. (2009) pada konsentrasi nitrat 0,9 mg/l terjadi laju penyerapan tertinggi oleh
rumput laut.
Kandungan nitrat perairan Pulau Nain digolongkan antara perairan
mesotrofik dengan eutrofik (tingkat kesuburan sedang sampai tinggi). Kelarutan
unsur hara nitrat yang layak dalam perairan dapat menghindarkan munculnya
penyakit ice-ice pada rumput laut. Penyakit ice-ice merupakan kendala utama
budidaya rumput laut. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang
penyakit tersebut adalah antara lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya
perubahan warna thallus menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau
66

seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk, maka nitrat
merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan konsentrasi kadar karaginan
rumput laut (Iksan 2005).

Gambar 20 Sebaran nitrat di Perairan Gugus Pulau Nain


i. Fosfat
Kadar fosfat perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: perairan dengan
tingkat kesuburan rendah, yang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0 – 0,02
mg/liter; perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat total
0,021 – 0,05 mg/liter; dan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, yang
memiliki kadar fosfat total 0,051 – 0,1 mg/liter (Effendi 2003). Kandungan fosfat
di perairan Pulau Nain selama penelitian yang terdeteksi berkisar 0,02 – 0,72 mg/l
(Gambar 21). Fosfat di perairan Pulau Nain termasuk ke dalam perairan dengan
tingkat kesuburan sama dengan kandungan nitrat, yaitu antara tingkat kesuburan
sedang sampai tinggi. Kondisi di perairan Pulau Nain ini tergolong layak untuk
budi daya rumput laut.
67

Gambar 21 Sebaran fosfat di Perairan Gugus Pulau Nain.

5.1.2 Kondisi perairan sekitar permukiman penduduk


Permukiman penduduk seringkali dinyatakan sebagai penyumbang limbah
domestik tertinggi. Limbah permukiman mengandung limbah domestik berupa
sampah organik, anorganik, dan deterjen. Sampah organik adalah sampah yang
dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri. Menurut UNEP (1993) bahwa
limbah pada dasarnya dapat menjadi sumberdaya dan dapat juga menjadi
pencemar. Limbah yang mengandung nutrien esensial yang diperlukan oleh alam
dapat menjadi sumberdaya, limbah yang mempunyai efek netral terhadap alam
dapat diklasifikasikan sebagai gangguan biasa, sedangkan limbah yang merusak
lingkungan adalah pencemar.
Hasil pengamatan di lokasi penelitian, bahan-bahan limbah yang
berpotensi sebagai pencemar langsung masuk ke perairan P. Nain. Permasalahan
pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di Pulau Nain merupakan
isu yang penting untuk dipelajari. Hal ini mengingat besarnya ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya perairannya serta luasnya dampak yang akan
diakibatkan di kemudian hari. Salah satu cara adalah mengidentifikasi parameter-
parameter yang menjadi indikator tercemar atau tidaknya perairan laut Gugus
Pulau Nain. Nilai-nilai parameter kualitas air yang diukur akan dibandingkan
dengan nilai baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai
68

Peraturan Pemerintah RI No. 82/2001 (Lampiran 1) dan baku mutu air untuk biota
laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 51/2004 (Lampiran 2).

a. Fosfat
Fosfat di perairan dapat bersumber dari air limbah rumah tangga berupa
deterjen, residu pupuk, limbah industri, dan hancuran bahan organik. Fosfat juga
bisa ditentukan oleh kotoran manusia dan hewan serta deterjen (Percella 1985;
Chester 1990). Kandungan fosfat yang terdapat di perairan, umumnya tidak lebih
dari 0,1 mg/l. Perairan yang kadar fosfat cukup tinggi melebihi kebutuhan normal
organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Perkins 1974;
Kevern 1982).
Kandungan fosfat yang terdeteksi dalam penelitian ini rata-rata 0,001 mg/l
– 0,009 mg/l. Berdasarkan nilai baku mutu kualitas air dan pengendalian
pencemaran air pada kelas 1 yang mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 0,2
mg/l (PP. RI., No. 82 Tahun 2001) maka perairan dekat permukiman penduduk
Desa Nain tidak tercemar. Tingkat kesuburan yang ditetapkan oleh Effendi (2003)
menggolongkan kondisi perairan di dekat permukiman Desa Nain dalam tingkat
kesuburan rendah.
Gambar 22 menunjukkan kandungan fosfat pada titik awal sampel (di
bawah rumah penduduk) mengindikasikan bahwa sudah ada dampak dari kegiatan
manusia berupa limbah MCK dan penyiangan ikan. Terlihat juga, semakin ke arah
laut kandungan fosfat semakin menurun. Kandungan fosfat ini tidak akan
berpengaruh pada usaha budidaya rumput laut yang rata-rata jaraknya 100 – 150
m dari garis pantai.

0,012
0,01
0,009
0,008
Fosfat (mg/l)

0,006
0,004
0,002 0,002
0,001
-5E-18
0m 50 m 100 m 200 m
-0,002
Jarak titik pengamatan (m)

Gambar 22 Sebaran fosfat ke arah laut di depan Desa Nain.


69

Barbieri & Simona (2003) menyatakan bahwa perairan yang tercemar


limbah organik fosfat akan meningkatkan tegangan permukaan air dalam bentuk
lapisan tipis, sehingga dapat menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam
badan air. Dampak negatif lainnya adalah eutrofikasi yakni meningkatnya jumlah
alga yang mati dan tenggelam ke dasar perairan. Alga tersebut akan diuraikan oleh
bakteri, mereduksi kandungan oksigen di dasar perairan, dapat mencapai ke
tingkat yang sangat rendah untuk mendukung kehidupan organisme sehingga
menyebabkan kematian ikan.

b. Nitrat
Nitrat (NO3) merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan
alga. Kadar nitrat pada perairan alami tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Apabila
suatu perairan memiliki kadar nitrat sebesar 5 mg/l maka mengindikasikan bahwa
perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas
manusia dan kotoran hewan (Effendi 2003).
Hasil pengukuran kandungan nitrat di perairan dekat permukiman
penduduk di Pulau Nain ada beberapa titik sampel yang nihil bahkan tidak
terdeteksi, sedangkan yang tertinggi bernilai 0,08 mg/l (Gambar 23). Berdasarkan
baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air pada kelas 1 yang
mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 10 mg/l maka secara keseluruhan
kandungan nitrat di sekitar permukiman penduduk belum mencemari perairan.
Apabila dibandingkan dengan baku mutu untuk biota laut maka nitrat di Stasiun
III, nilainya sama dengan ambang batas. Seperti sudah dijelaskan bahwa Stasiun
III berada di permukiman yang tinggi aktivitas MCK dan pengolahan ikannya.

0,135

0,095
Nitrat (mg/l)

0,08
0,055

0,015 0,01
0,005
I II III
-0,025
Stasiun pengamatan

Gambar 23 Kandungan nitrat di depan permukiman penduduk Pulau Nain.


70

Menurut Lee et al. (1978) bahwa kisaran nitrat perairan berada antara
0,01 – 0,7 mg/1, sedangkan menurut Effendi (2003) bahwa kadar nitrat-nitrogen
pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Apabila kadar nitrat
>0,2 mg/1 akan mengakibatkan eutrofikasi yang selanjutnya menstimulir
pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat.
Gambar 24 menunjukkan sebaran kandungan nitrat ke arah laut. Terlihat
bahwa kandungan nitrat lebih menurun ke arah laut. Ini menunjukkan bahwa
limbah dari sekitar permukiman penduduk, seandainya melampaui ambang batas
baku mutu air, tidak akan tersebar sampai ke areal budidaya rumput laut.

0,050

0,040
0,032
Nitrat (mg/l)

0,030

0,020

0,010
0,008 0,003
0,005
0,000
0m 50 m 100 m 200 m
-0,010
Jarak titik pengamatan (m)

Gambar 24 Sebaran nitrat ke arah laut di depan Desa Nain.

c. Total padatan tersuspensi (total suspended solid, TSS)


TSS atau padatan tidak terlarut dalam air dijumpai dalam bentuk organik
dan anorganik maupun deterjen yang tidak dapat langsung mengendap sehingga
dapat menyebabkan kekeruhan air. Bahan organik berupa sisa-sisa tumbuhan dan
padatan biologi lainnya seperti sel alga, bakteri dan sebagainya. Sampah organik
dapat diurai atau dibusukkan oleh bakteri. Sampah organik yang dibuang ke laut
menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut, karena sebagian besar
digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Bahan anorganik antara lain
berupa tanah liat dan butiran pasir. Bahan anorganik akan menghalangi cahaya
matahari untuk proses fotosintesis. Deterjen merupakan limbah penduduk yang
paling potensial mencemari air karena sangat sukar diuraikan oleh bakteri (Peavy
et al. 1986; Blom et al. 1994; Helfinalis 2005).
Nilai TSS umumnya semakin rendah ke arah laut. Hal ini menunjukkan
bahwa padatan tersuspensi disuplai oleh daratan. Hasil penelitian di depan Desa
71

Nain yang terdapat Stasiun I, II dan III dimana masing-masing stasiun terdiri atas
4 titik ke arah laut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Total padatan tersuspensi ke arah laut di depan Desa Nain


Tengah
Titik Permukaan
Stasiun Kolom Air
Pengamatan Air (mg/l)
(mg/l)
I 0m 12 10
50 m 32 12
100 m 6 80
200 m 22 18
II 0m 6 12
50 m 8 10
100 m 12 6
200 m 6 4
III 0m 96 8
50 m 8 10
100 m 12 16
200 m 98 54

Data TSS pada Tabel 8 secara keseluruhan terlihat masih di bawah


ambang batas baku mutu air baik untuk kualitas air dan pengendalian pencemaran
maupun baku mutu air untuk biota laut, kecuali pada Stasiun I untuk jarak 100
meter di tengah kolom air, dan pada Stasiun III di permukaan awal serta pada
jarak 200 meter di permukaan yang telah melampaui baku mutu yang disyaratkan.
Baku mutu air untuk kualitas air dan pengendalian pencemaran pada kelas 1
disyaratkan maksimal 50 mg/l, dan baku mutu air untuk biota laut yakni TSS
maksimal disyaratkan pada ekosistem mangrove yakni 80 mg/l.
Pada titik sampel di Stasiun I dan III yang TSS-nya telah melewati ambang
batas, diduga disebabkan pada Stasiun I walaupun permukimannya relatif sedikit
tetapi terdapat ekosistem mangrove. Pada Stasiun III selain permukiman agak
padat, di wilayah ini penggunaan air tawar sangat tinggi karena terdapat sumur
‘aer jere’ yang merupakan satu-satunya sumber air tawar penduduk Desa Nain. Di
sekitar Stasiun III ini juga terlihat bahwa aktivitas pengolahan perikanan lebih
tinggi di bandingkan dengan di Stasiun II yang sebenarnya permukiman
penduduknya lebih padat. Selain itu untuk kontur tanah, di darat dekat Stasiun III
terdapat bukit yang berbatasan langsung dengan laut, dibandingkan dengan
72

Stasiun I dan II keberadaan bukit masih dipisahkan oleh rumah-rumah penduduk.


Hal ini diduga sebagai salah satu penyumbang tingginya TSS di Stasiun III akibat
masuknya air yang mengandung debu dari perbukitan.
Daya jangkau TSS menuju ke areal budidaya yakni sebaran secara
horisontal baik sebaran di permukaan air maupun di tengah kolom air. Hasil yang
didapat bahwa perlu diberi perhatian untuk kandungan TSS di Stasiun III pada
jarak 200 meter. Pada titik sampel ini, kandungan TSS di permukaan air telah
melewati ambang batas baku mutu air. Titik sampel dengan jarak 200 meter dari
titik awal di Stasiun III ini telah berada di areal budidaya rumput laut.
TSS di tengah kolom air pada Stasiun II terlihat bahwa semakin ke laut,
kandungan TSS semakin rendah, sedangkan di Stasiun III semakin ke laut,
kandungan TSS semakin tinggi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, di Stasiun II ke
arah laut yang menjauh dari pulau tidak terdapat penghalang dari karang yang
membatasi gobah, sehingga arah arus dengan leluasa masuk sehingga terjadi
pengenceran yang dapat menurunkan TSS. Ini terjadi di tengah kolom air karena
di permukaan air, sebaran TSS masih ada pengaruh dari angin atau gelombang.
Pada Stasiun III di tengah kolom air, dimana TSS semakin ke laut semakin tinggi,
disebabkan saat pengukuran dilakukan pada saat air bergerak naik, sehingga
padatan yang terperangkap di dasar rataan karang akan terangkat. Diketahui
bahwa Stasiun III berada di sekitar permukiman penduduk yang aktivitas buangan
limbah paling tinggi, sehingga di sekitar situ juga beban limbah tinggi.
Fardiaz (1992) menyatakan bahwa padatan tersuspensi yang tinggi akan
mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan
mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses
fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, yang lebih lanjut berarti
kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua,
secara langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti
mengganggu pernafasan biota karena tertutupnya insang oleh partikel-partikel
tersuspensi. Dampak lainnya dari TSS yang tinggi, terjadi sedimentasi yang
selanjutnya berakibat pendangkalan. Selain itu, tingginya TSS mengakibatkan
penumpukan bahan organik di dasar yang berakibat pada meningkatnya proses
73

dekomposisi yang akan mengurangi kandungan oksigen perairan dan


menghasilkan bahan-bahan toksik.
Kandungan TSS di Perairan Gugus Pulau Nain secara keseluruhan diukur
juga di depan Desa Tatampi dan Kampung Tarente. Hasil analisis TSS depan
permukiman di Pulau Nain dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Total padatan tersuspensi di depan permukiman di Pulau Nain


Kedalaman Stasiun
I II III VII X
Permukaan (mg/l) 12 6 96 80 10
Tengah (mg/l) 10 12 8 12 28

Pada Tabel 9, TSS secara keseluruhan terlihat masih di bawah ambang


batas baku mutu air baik untuk kualitas air dan pengendalian pencemaran maupun
baku mutu air untuk biota laut, kecuali di permukaan pada Stasiun III yang sudah
dijelaskan di atas. Pada Stasiun VII yang berada di depan Kampung Tarente,
kandungan TSS sama dengan baku mutu air untuk biota di ekosistem pesisir yakni
80 mg/l. Dapat dijelaskan bahwa Kampung Tarente berada di sisi timur Pulau
Nain yang perairannya berada di antara Pulau Nain kecil. Kandungan TSS di
stasiun ini diduga juga sangat dipengaruhi oleh hutan mangrove yang merupakan
ekosistem mangrove terbesar di Pulau Nain. Kandungan TSS yang rendah di
tengah kolom air, diduga dipengaruhi oleh arus dari selatan dan tenggara yang
perairannya lebih terbuka.
Pada Stasiun X di depan Desa Tatampi terlihat kandungan TSS bagian
permukaan lebih rendah dibandingkan dengan Stasiun III dan VII. Desa Tatampi
berada di bagian utara Pulau Nain yang menghadap ke Samudera Pasifik sehingga
sirkulasi dan pengenceran air lebih tinggi, walaupun demikian diduga masih ada
pengaruh dari perairan Desa Nain yang berada di barat Pulau Nain. Pengaruhnya
dapat dilihat pada kandungan TSS di bagian tengah kolom air yang lebih tinggi
dari TSS permukaan. Hal ini diduga bahwa di bagian tengah kolom air masih
dipengaruhi oleh arus keluar dari perairan barat pulau.
74

5.2 Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Nain

5.2.1 Budidaya rumput laut tahun 1996 – 2006


Budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain yang dimulai sejak tahun 1989
mencapai puncak produksi pada kurun tahun 1996–2000 yaitu bisa mencapai 350–
400 ton per bulan. Tetapi sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di pulau ini
mulai menurun dan tidak membaik sampai tahun 2007. Perlu ditelusuri faktor-
faktor penyebab terjadinya kondisi tersebut. Penelusuran lewat wawancara
dilakukan agar lebih akurat dalam mendeskripsinya. Upaya ini diharapkan dapat
mempelajari kondisi di masa lampau, kemudian membuat suatu perencanaan yang
efektif sehingga dapat memprediksi hasil yang efisien di masa mendatang.
Dari hasil kuisioner, responden yang aktif di bidang budidaya rumput laut,
baik sebagai pembudidaya maupun pekerja adalah yang berusia di bawah 50 tahun
yakni 74,72%, yang berusia 51–60 tahun yakni 25,27% adalah sebagai pedagang
pengumpul atau yang memanen rumput laut yang jatuh dan atau tumbuh di dasar
perairan. Sebanyak 41,7% menjawab bahwa mereka menanam rumput laut jenis
Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma denticulatum (K+E), 32,97%, menanam K.
alvarezii, dan 25,27% menanam E. denticulatum. Dari 41,76% pembudidaya
K+E, pada awalnya (tahun 1996–2000) didominasi oleh K. alvarezii. Tetapi sejak
tahun 2001–2006, 80% menanam E. denticulatum sedangkan K. alvarezii yang
ditanam hanya untuk stok yang dijual sebagai bibit.
Budidaya rumput laut di Pulau Nain telah dimulai sejak tahun 1989, maka
51,65% responden menjawab telah membudidaya rumput laut sebelum tahun
1996. Dari hasil wawancara didapat bahwa pembudidaya rumput laut setelah
tahun 1989 bertambah rata-rata 2,2% (2–3 pembudidaya), kemudian terjadi
peningkatan pada tahun 1996 sekitar 35,16%. Mulai tahun 1997–1999 masing-
masing naik 6,59% (Gambar 25). Peningkatan ini karena produksi yang sangat
tinggi dari jenis K. alvarezii yang diiringi dengan harga jual rumput laut kering
saat itu berkisar antara Rp. 6.000–7.200 per kg.
Sesudah tahun 1999–2004 tidak ada pembudidaya baru, alasannya adalah
areal budidaya telah terpakai secara keseluruhan dan tahun-tahun berikutnya
produksi K. alvarezii sudah menurun sehingga menurunkan gairah pembudidaya.
Kemudian pada 2005 ada pembudidaya yang baru yakni sebesar 2,2%, hal ini
75

dikarenakan sudah banyak lahan yang tidak dimanfaatkan lagi sehingga oleh
masyarakat lain mencoba memulai usaha budidaya rumput laut. Jenis rumput laut
yang dibudidaya adalah jenis E. denticulatum.

60
Jumlah responden (%)
51,65
50
40 35,16

30
20
10 6,59 6,59
2,20
0
< 1996 1996 1997 1999 2005
Tahun mulai usaha

Gambar 25 Persentase pembudidaya memulai budidaya rumput laut di P. Nain.

Usaha budidaya rumput laut di Desa Nain terdiri dari pembudidaya,


pedagang, eksportir, pekerja, dan beberapa aktivitas yang berhubungan dengan
budidaya rumput laut. Pada tahun 1996–2000 sebanyak 92,13% adalah
pembudidaya, dimana 86,52% adalah pemilik lahan. Tahun 2001–2006 terjadi
penurunan, baik pembudidaya maupun pemilik lahan (Tabel 10).

Tabel 10 Persentase jenis usaha dan kepemilikan usaha rumput laut di P. Nain
Usaha Tahun 1996 – 2000 Tahun 2001 – 2006
Jenis Usaha (%)
Pembudidaya 92,13 61,02
Pedagang 4,49 1,69
Eksportir 0 0
Lainnya 3,37 37,29
Kepemilikan usaha (%)
Pemilik 86,52 55,93
Sewa Lahan 0 0
Tenaga Kerja 7,87 38,98
Lainnya 5,62 5,08

Penurunan produksi rumput laut sangat berpengaruh pada pedagang


pengumpul, pada tahun 1996–2000 ada 4 pengumpul sedangkan tahun 2001–2006
tersisa 1 pengumpul. Pada Tabel 10, terlihat sebagian menjadi pekerja atau
memanen dari alam, baik rumput laut yang jatuh ke dasar perairan dari hasil
budidaya atau yang bertumbuh alami di dasar. Ini sangat jelas terlihat dari nilai
76

3,37% pada tahun 1996–2000 menjadi 37,29% pada tahun 2001–2005. Untuk
tahun 1996–2000 pekerja hanya 7,87% kemudian menjadi 38,98% pada tahun
2000–2006.
Pada tahun 1996–2000 jumlah tali ris yang dimiliki setiap pembudidaya
terkelompok pada jumlah 40–200 ujung yang umumnya menanam jenis K.
alvarezii, sedangkan tahun 2001–2006 tersebar mulai dari 10–200 ujung yang
umumnya menanam jenis E. denticulatum. Pada tahun 1996–2000 selain harga
jual yang tinggi juga masih adanya pemodal dari luar dengan sistem PIR.
Selain jumlah tali ris yang hampir seragam, juga masing-masing
pembudidaya memiliki panjang tali ris antara 30–200 meter. Di tahun 2001–2006,
dengan modal yang kecil pembudidaya memiliki panjang tali ris bervariasi antara
20–60 meter.
Keterkaitan lainnya terlihat pada Gambar 26, dimana 91,21% pembudidaya
pada tahun 1996–2000 memakai tenaga kerja, tenaga kerja dibutuhkan mulai dari
mengikat bibit sampai pasca panen. Pada tahun 2001–2006 hanya 34,07%
pembudidaya yang memakai tenaga kerja.

100 91,21
Jumlah responden (%)

75 65,93

50 34,07
25
8,79
0
Memakai Tenaga Kerja Tidak Memakai Tenaga Kerja
1996 - 2000 2001 - 2006
Penyerapan tenaga kerja
Gambar 26 Keberadaan tenaga kerja pada budidaya rumput laut di Pulau Nain.

Umumnya pembudidaya membutuhkan modal usaha sebesar 5–6 juta


rupiah, jumlah ini merupakan modal standar budidaya K. alvarezii untuk panjang
tali ris 40 meter dengan jumlah 100 ujung.
Produksi K. alvarezii per panen pada tahun 1996–2000 relatif hampir
sama, berkisar antara 1–4 ton per pembudidaya. Tahun 2001–2006 produksi
tertinggi hanya berkisar 1–2 ton per panen. Ada juga yang panen sekitar 6–7 ton,
ini disebabkan ada beberapa pembudidaya yang membudidaya secara besar-
besaran untuk memanfaatkan lahan yang telah ditinggalkan oleh pembudidaya
77

yang lain. Hasil kurang dari 1 ton umumnya diproduksi untuk suplai bibit,
sehingga jumlahnya hampir sama untuk kedua kurun waktu. Bibit disuplai bukan
hanya untuk budidaya rumput laut di Pulau Nain tetapi ke seluruh sentra budidaya
di Sulawesi Utara, bahkan sampai ke Gorontalo dan Maluku Utara.
Produksi tertinggi rumput laut di Pulau Nain tahun 1996–2000 terjadi pada
bulan September–Pebruari tahun berikutnya. Produksi yang dimaksud didominasi
oleh K. alvarezii. Responden yang menjawab produksi tertingginya pada bulan
Maret, umumnya yang membudidaya E. denticulatum dan sebagian kecil K.
alvarezii, sedangkan untuk Juni–Juli secara keseluruhan yang dibudidaya adalah
E. denticulatum. Untuk tahun 2001–2006 produksi terjadi sepanjang tahun, karena
yang dibudidaya umumnya adalah E. denticulatum. Produksi rumput laut bulanan
di Pulau Nain untuk kedua kurun waktu dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Produksi rumput laut di Pulau Nain (ton/bulan)


Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Rata-rata produksi tertinggi (ton)
1996 - 2000 3 3 1 0 0 2 3 0 8 11 7 9
2001 - 2006 3 2 4 1 5 5 3 7 10 7 5 7
Rata-rata produksi terendah (ton)
1996 - 2000 0 0 3 5 11 5 1 5 9 2 2 0
2001 - 2006 1 0 0 8 19 2 1 0 0 3 0 0

Datab Tabel 11 jika dihubungkan dengan hasil wawancara tentang musim


penghujan pada tahun 1996–2000 bahwa musim penghujan umumnya terjadi pada
bulan Januari–Maret dan September–Desember. Sedangkan kurun waktu tahun
2001–2006, musim penghujan lebih lama, dimana terjadi pada bulan Januari
sampa April dan Agustus–Desember. Dapat dijelaskan bahwa data di atas untuk
produksi rumput laut K. alvarezii yang sangat ditentukan oleh iklim. Pada musim
hujan dan gelombang (awal dan akhir tahun), K. alvarezii dapat tumbuh dengan
baik. Sedangkan pada pertengahan tahun (musim panas) produksi K. alvarezii
menurun. Untuk jenis E. denticulatum lebih tahan atau tidak terlalu terpengaruh
oleh iklim. Data E. denticulatum yang menunjukkan bahwa produksi rumput laut
di Pulau Nain terjadi sepanjang tahun.
Pada tahun 1996–2000 penyakit ‘ice-ice’ terjadi hampir sepanjang tahun
(Tabel 12), dengan kata lain tidak dipengaruhi oleh musim tetapi oleh aktivitas
budidaya rumput laut. Budidaya yang memanfaatkan keseluruhan areal dengan
78

cara terus-menerus mengakibatkan penyakit menyebar dan siklus hidupnya tidak


putus. Selain itu, pembudidaya telah membangun tempat tinggal di atas areal budi
daya. Limbah rumahtangga ini juga diduga sebagai penyebab tumbuh
kembangnya penyakit sepanjang tahun.
Tahun 2001–2006 diduga penyakit ‘ice-ice’ lebih dipengaruhi oleh iklim,
dimana pada musim panas, rumput laut lebih banyak diserang penyakit. Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa kondisi ini umumnya untuk jenis K. alvarezii
sedangkan jenis E. denticulatum lebih tahan terhadap serangan penyakit.

Tabel 12 Presentase tingkat prevalensi penyakit ice-ice pada rumput laut


Bulan
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1996 – 2000 10,9 1,8 1,8 3,6 38,1 23,6 9 1,8 1,8 - - 7,2
(%)
2001 – 2006 - - - 5 22 24 20 24 4 - - 2
(%)

Penyakit rumput laut tidak dipengaruhi oleh metode budidaya. Budidaya


rumput laut di Pulau Nain saat ini menggunakan metode tali panjang. Pada tahun
1996–2000, metode lepas dasar banyak digunakan sebagai alternatif pemanfaatan
lahan yang telah habis terpakai. Tahun 2001–2006, metode lepas dasar digunakan
untuk pencegahan penyakit, apabila rumput laut terindikasi terserang penyakit
maka beberapa pembudidaya menurunkan posisi tali ke dasar.

5.2.2 Budidaya rumput laut saat ini


Pembudidaya rumput laut di Pulau Nain, 62,5% mengenal usaha ini dari
orang tua, sedangkan 37,5% mengetahuinya dari penyuluh atau bimbingan dinas
terkait. Walaupun demikian hanya 6% pembudidaya yang masih bersama-sama
orang tua mereka, 94% sudah berusaha sendiri. 93% merupakan pekerjaan utama,
dan semuanya milik pribadi. Pembudidaya yang telah memiliki pengalaman lebih
dari 10 tahun sebanyak 62%, sedangkan yang berpengalaman 6–10 tahun dan di
bawah 6 tahun masing-masing 31% dan 7%. Jadi sebanyak 93% pembudidaya
rumput laut di Pulau Nain sudah sangat berpengalaman.
Sebanyak 94% pembudidaya menanam rumput laut jenis K. alvarezii dan
E. denticulatum, sedangkan hanya 6% yang menanam rumput laut jenis E.
denticulatum dengan jumlah dan panjang tali ris bervariasi. Untuk kepemilikan
79

jumlah tali ris, paling banyak yakni 63% memiliki tali ris 60 ujung, 31% memiliki
100 ujung, dan hanya 6% yang memiliki tali ris sebanyak 40 ujung. Dan untuk
panjang tali ris, saat ini 69% memelihara rumput laut di tali ris sepanjang 60
meter, dan 31% pada tali ris 100 meter.
Pembudidaya rumput laut mendapatkan bibit sebagian besar berasal dari
sisa budidaya yakni 38%, dan 31% bibit diambil dari alam, 25% beli dari
pembudidaya yang lain, serta sisanya 6% memiliki kebun bibit. Umumnya
pembudidaya mampu memilih bibit yang berkualitas baik. Untuk berat awal dan
jarak tanam bibit rumput laut dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Persentase berat awal dan jarak bibit yang ditanam oleh pembudidaya
Berat awal bibit yang ditanam
Berat bibit 100 g 200 – 250 g
% 85% 15%
Jarak bibit yang ditanam
Jarak tanam 20 cm 25 cm 30 cm
% 29% 57% 14%

Pembersihan rumput laut selama pemeliharaan, sebanyak 82% responden


melakukan pembersihan sekali sehari, bahkan 6% pembudidaya melakukan
pembersihan sebanyak dua kali sehari. Tetapi ada pembudidaya yang tidak
melakukan pembersihan (12%).
Kejadian pencurian rumput laut pernah dialami oleh 6% responden,
sedangkan gangguan oleh tumbuhan penempel (epifit) pada rumput laut dialami
oleh 94% pembudidaya. Rumput laut sebagian besar terserang oleh penyakit ice-
ice (47%), diikuti oleh mati layu (35%), dan penyakit lainnya 18%. Untuk
mencegah penyebaran penyakit, 59% pembudidaya memanen dan menjemur
rumput laut yang terkena penyakit, 29% pembudidaya memanen secara
keseluruhan rumput laut yang ditanam, dan 12% pembudidaya lebih giat
melakukan pembersihan.
Hama dan penyakit yang menyerang rumput laut, menurut 50% responden
terjadi pada musim pancaroba, 31% menjawab terjadi pada musim kemarau,
sedangkan 19% mengatakan terjadi pada musim hujan. 87% pembudidaya
melakukan penggantian teknik budidaya di saat peralihan musim. Menurut mereka
pada musim hujan bibit akan bertumbuh dengan baik dan kurangnya hama dan
80

penyakit. Pergantian teknik budidaya di saat musim kemarau atau pancaroba


dengan melakukan penjarangan tali ris dan jarak tanam bibit, serta menurunkan
rumput laut sekitar 25–30 cm dari permukaan air laut.
Panen dilakukan saat rumput laut berumur di atas 40 hari. Pembudidaya
yang melakukan panen rumput laut pada umur 40 – 45 sebanyak 41%, 40 – 60
hari dilakukan oleh 18% pembudidaya, dan panen di atas 60 hari dilakukan oleh
29% pembudidaya. Sedangkan 12% responden melakukan panen rumput laut saat
berumur 30 hari dengan maksud untuk bibit yang akan dipakai sendiri atau dijual.
Keseluruhan hasil di atas adalah data aspek budidaya rumput laut.
Umumnya pembudidaya rumput laut di Pulau Nain telah melakukan budidaya
rumput laut yang sesuai. Hanya ada beberapa aspek yang perlu diberi perhatian,
misalnya tentang adanya pembudidaya yang tidak melakukan pembersihan rumput
laut, padahal salah satu penyebab penyakit adalah tidak bersihnya rumput laut.
Rumput laut yang terserang penyakit dikhawatirkan akan cepat menyebar ke
rumput laut yang lain. Hal ini didukung data bahwa 94% pembudidaya pernah
mengalami rumput lautnya diserang penyakit. Aspek lain yang perlu diperhatikan
adalah umur panen, hampir 50% pembudidaya rumput laut di Pulau Nain
melakukan panen di atas 45 hari. Ini akan berpengaruh pada kandungan
karaginannya, yang tentunya akan berakibat pada daya jualnya yang rendah.
Selain aspek budidaya, aspek teknik penanganan budidaya rumput laut di
Pulau Nain perlu diketahui. Aspek teknik penanganan atau dikenal dengan good
handling practice (GHdP) antara lain adalah tenaga kerja, produktifitas, teknik
panen, pengetahuan mutu rumput laut baik bibit maupun produksi, pemanenan,
penggudangan, dan pemasaran.
Saat ini pembudidaya tidak lagi memakai tenaga kerja untuk persiapan
wadah dan penanaman rumput laut, pembersihan serta pengawasan. Mereka sudah
melakukan sendiri atau dibantu oleh anggota keluarga. Pemakaian tenaga kerja
89% pada saat panen, dan 63% pada saat sortir. Pada tahap panen, 17%
pembudidaya memakai satu orang pekerja, 61% memakai 2 pekerja, dan 11%
memakai 3 pekerja. Pada tahap sortir, rata-rata pembudidaya mengupah 2 pekerja.
Dari sisi gender, pembudidaya tidak ada yang khusus memakai tenaga kerja
81

wanita. Pekerja pria yang diupah sebanyak 26% serta pembudidaya yang memakai
tenaga kerja pria dan wanita sebanyak 74%.
Teknik pemanenan yang dilakukan pembudidaya rumput laut, 73%
pembudidaya memanen keseluruhan rumput laut, 27% melakukan pemetikan
dengan menyisakan pangkal rumput laut untuk dipelihara pada siklus berikutnya.
Hasil panen dijemur di atas rak (para-para) yang terbuat dari bambu. Para-para
ditancapkan dengan tiang bambu atau kayu di atas air. Pengeringan dilakukan
selama 3 hari atau lebih tergantung cuaca saat penjemuran. Agar rumput laut
kering merata maka setiap 3 – 4 jam rumput laut dibalik. Ada juga pembudidaya
yang membalik rumput laut kurang dari 3 jam, tetapi ada yang melakukannya
setiap 6 jam.
Pengetahuan pembudidaya dalam membedakan rumput laut kering antara
jenis K. alvarezii dan E. denticulatum masih tergantung dari pengalaman mereka
masing-masing. Sebanyak 86% pembudidaya bisa membedakannya tetapi
pembudidaya yang lain belum mampu membedakan antara jenis K. alvarezii dan
E. denticulatum yang sudah kering. Walaupun demikian, untuk mencegah
tercampurnya kedua jenis maka awal pengeringan sudah dilakukan pemisahan.
Semua responden mengatakan bahwa mereka sudah mengetahui mutu
rumput laut kering, sebagian mengetahuinya dari pengalaman pribadi dan
sebagian mengetahui dari penyuluhan instansi terkait. Lama penyimpanan, 50%
menyimpan rumput laut kering selama 1–3 bulan, 6% pembudidaya menyimpan
lebih dari 3 bulan, dan 44% menyimpan kurang dari 1 bulan atau langsung
menjualnya. Umumnya mereka menjual hasil rumput laut kering kepada pedagang
pengumpul yang berada di Desa Nain, kecuali jika mereka ke Manado bersamaan
dengan tersedianya rumput laut kering maka mereka menjual langsung ke
perusahaan. Itupun tidak dalam jumlah yang banyak karena yang mereka
perhitungkan adalah biaya transportasi. Harga rumput laut kering di Manado
biasanya lebih tinggi Rp. 250,- – Rp. 500,- per kilogram dibandingkan dengan
harga pada pengumpul di Desa Nain.
Aspek lain yang perlu diketahui adalah kelembagaan. Di desa pesisir
seperti di Pulau Nain terdapat lembaga pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi,
dan sosial budaya yang dapat dilihat pada Tabel 14. Menurut data DKP Minut,
82

saat ini terdapat 64 kelompok pembudidaya rumput laut di Desa Nain. Ironisnya,
65% responden menyatakan belum memiliki kelompok. Peranan kelompok, 86%
menyatakan membantu dalam pemasaran, dan 14% menyatakan membantu dalam
penyediaan bibit. Peranan lain dari kelompok adalah menjalin kerjasama dengan
pihak tertentu sebagai pembeli rumput laut.

Tabel 14 Kelembagaan di Desa Nain


No Lembaga Jumlah anggota
1. Lembaga Pemerintahan
Jumlah aparat pemerintah desa 22 orang
Jumlah pengurus BPD/dewan kelurahan 13 orang
2. Lembaga Kemasyarakatan
Jumlah pengurus PKK 7 orang
Jumlah pengurus Karang Taruna 4 orang
3. Kelembagaan Ekonomi
Jumlah koperasi 2 unit
4. Kelembagaan Sosial Budaya
Jumlah ormas keagamaan 1 unit
Jumlah organisasi seni-budaya 5 unit
Jumlah kader pemberdayaan masyarakat 11 orang
Jumlah fasilitator desa 3 orang
Sumber : BPM-PD Minut, 2010

Hanya sebanyak 34% responden, baik secara perorangan maupun lewat


kelompok menyatakan pernah berhubungan dengan pihak perbankan dalam hal
peminjaman modal. Untuk administrasi peminjaman hanya 37% yang menyatakan
prosesnya mudah atau lebih mudah dari lembaga kredit lain. Dalam hal pelunasan,
83% menyatakan lunas tepat waktu. Adapun alasan bagi yang pelunasannya tidak
tepat waktu adalah hasil usaha sedikit atau gagal, belum ada kelompok, atau hasil
usaha digunakan untuk kebutuhan lain.
Di Desa Nain terdapat 2 koperasi, sebanyak 69% responden merupakan
anggota koperasi. Peranan koperasi dalam pemasaran rumput laut, 85% responden
menyatakan berperan dalam menentukan harga, dan 15% responden menyatakan
koperasi membantu dalam memasarkan hasil. Secara pribadi atau lewat kelompok,
57% responden menyatakan belum pernah berhubungan dengan pihak koperasi
dalam hal peminjaman modal, dan 43% menyatakan pernah meminjam modal di
koperasi. Proses administrasi peminjaman dikatakan para responden: 17% rumit,
42% lebih rumit dari bank atau lembaga kredit lain, 25% mudah, dan 17% lebih
83

mudah dari lembaga kredit lain. 92% responden menyatakan melunasi pinjaman
modal dari koperasi tepat waktu. Ada 28% responden pernah berhubungan dengan
pihak tengkulak untuk modal. Proses adiministrasi peminjaman, sebagian
responden menyatakan mudah tetapi sebagian menyatakan rumit.
Partisipasi responden dalam kegiatan penyuluhan hanya 7% yang
menyatakan selalu mengikutinya, 60% kadang-kadang, dan 33% tidak pernah.
69% responden merasakan manfaat dalam mengikuti kegiatan penyuluhan.
Kegiatan pelatihan atau studi banding: 44% responden belum pernah mengikuti,
19% sering mengikuti, dan kadang-kadang 37%.
Untuk aspek keuangan, sebanyak 80% pembudidaya menyatakan pernah
menghitung ongkos produksi dan keuntungan dari budidaya rumput laut.
Perhitungan keuntungan: 80% responden mendapat info harga dari pembeli, dan
sisanya dari penyuluh. Walaupun demikian, pembelilah yang menentukan harga
rumput laut. Pertimbangan pembudidaya memilih pembeli adalah harga lebih
tinggi (73%), 7% mempunyai hubungan baik, 20% jarak ke tempat penjualan.

5.2.3 Pola Tanam Rumput Laut


Kegiatan budidaya rumput laut tidak banyak menuntut tingkat
keterampilan tinggi dan modal yang besar, sehingga dapat dilakukan oleh semua
anggota keluarga nelayan termasuk ibu rumah tangga dan anak-anak. Namun
demikian rumput laut yang dibudidayakan sering terkena penyakit seperti ice-ice
dan hama pemangsa lainnya. Salah satu penyebab kegagalan pada budidaya
rumput laut antara lain adalah penerapan sistem budidaya yang tidak tepat waktu
dan sistem tanam yang kurang sesuai (Puslitbangkan, 1991).
Penentuan pola tanam rumput laut dalam bentuk tabel dapat disesuaikan
dengan membandingkan antara pertumbuhan rumput laut dengan tingkat terserang
penyakit (prevalensi), penghujan, dan gelombang. Nilai pertumbuhan yang
digambarkan dalam analisis ini dihitung dari pertumbuhan rumput laut dimana
dari berat awal 100 gram sampai pada capaian nilai rata-rata total pertumbuhan
(gram) setiap siklus untuk 9 siklus tanam. Nilai penghujan, prevalensi, dan
gelombang adalah hasil analisis jawaban responden dalam bentuk persentase (%).
Jawaban responden berdasarkan pengalaman budidaya rumput laut dan daya ingat
untuk kurun waktu tahun 1996 – 2006.
84

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pertumbuhan rumput laut


pada bulan Januari mulai menurun sampai pada nilai terendah di bulan Maret.
Kemudian pertumbuhan mulai meningkat sampai nilai tertinggi bulan November.
Pola menurun pertumbuhan pada November berlanjut sampai Maret tahun
berikutnya.
Prevalensi pada rumput laut mulai dari bulan April–September, dimana
kondisi wabah banyak terjadi pada bulan Mei–Agustus. Kondisi ini
memperlihatkan trend pertumbuhan meningkat. Dapat dijelaskan bahwa, penyakit
yang terjadi adalah proses sebab-akibat dari bulan-bulan sebelumnya. Ini jelas
terlihat bahwa pada waktu bukan prevalensi, pertumbuhan semakin menurun,
diduga saat itulah rumput laut telah menurun kondisinya karena beberapa faktor
penyebab penyakit. Faktor-faktor penyebab penyakit dimungkinkan oleh: kondisi
parameter air yang menurun, serangan hama, dan epifit. Paling jelas terlihat
adalah akibat dari serangan hama, dimana thallus mengalami tanda terkelupas
atau beberapa bagian yang hilang. Penyebab lain dari semakin membaiknya
kondisi rumput laut yang terserang penyakit karena pada akhir dan awal tahun
telah memasuki musim penghujan dan gelombang pada batas-batas toleransi.
Kemudian terlihat juga musim hujan yang normal, rumput laut bertumbuh
dengan baik. Tetapi, apabila curah hujan tinggi seperti pada bulan Desember maka
akan mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. Salah satu akibat curah hujan
yang tinggi adalah dampak langsung tutupan awan yang tinggi dimana akan
mengurangi proses fotosintesa dari rumput laut.
Gelombang yang terjadi di Pulau Nain terlihat bahwa musim gelombang
yang besar di bulan Desember dapat mengakibatkan menurunnya pertumbuhan
rumput laut. Ini lebih berpengaruh kepada teknis budidaya, yakni mengurangi
aktivitas pemeliharaan dan rusaknya konstruksi budidaya, selain itu beberapa
thallus bisa patah. Walaupun demikian, hempasan gelombang atau arus yang
disebabkan oleh gelombang pada batas-batas toleransi dapat membersihkan
rumput laut dari debu atau sampah yang menempel. Arus juga akan membawa
lebih banyak nutrien untuk memenuhi kebutuhan tumbuh rumput laut.
Informasi dari pembudidaya tentang produksi rumput laut tertinggi mereka
sepanjang tahun dibandingkan dengan hasil pertumbuhan penelitian maka dibuat
85

Gambar 27. Informasi dari pembudidaya berasal dari pengalaman dan daya ingat
untuk kurun waktu 10 tahun yakni tahun 1996 – 2006, dan data penelitian didapat
dari tahun 2007 – 2008.
Pada hasil penelitian, bulan Maret pertumbuhan rumput laut menurun
drastis tetapi ada 2,13% responden menjawab bahwa bulan Maret pernah
mengalami puncak produksi. Bulan April dan Mei tidak ada responden yang
mengalami puncak produksi padahal hasil pertumbuhan dari penelitian bahwa
pada bulan April–Mei mulai meningkat, demikian juga untuk bulan Agustus.
Bulan-bulan lainnya, kecuali bulan desember, kedua informasi saling menunjang.
Pada bulan Desember dengan pertumbuhan yang menurun, ada 19,15% responden
menjawab bahwa bulan tersebut merupakan puncak produksi rumput laut. Diduga
yang mempengaruhi adalah kondisi lingkungan untuk tahun yang berbeda. Selain
itu tidak ada informasi lebih lanjut dari pembudidaya rumput laut di Pulau Nain
tentang jenis yang memberikan produksi tertinggi di bulan-bulan tertentu. Seperti
sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa K. alvarezii jika dapat beradaptasi
dengan perubahan lingkungan maka laju pertumbuhannya akan lebih baik. Secara
keseluruhan, budidaya rumput laut K. alvarezii (Cottonii) di Gugus Pulau Nain
dapat diusahakan sepanjang tahun. Teknik dan cara untuk mengantisipasi apabila
terjadi perubahan atau gangguan lingkungan dan biologi yang ekstrim pada
rumput laut maka dibuat suatu pola tanam dalam tabel, seperti pada Tabel 15.

Tabel 15 Pola tanam berdasarkan perubahan kondisi ekologi dan biologi rumput
laut serta teknik penanggulangannya.
Kondisi Bulan kalender
Penanggulangan
Lokasi 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
1 Penghujan &  Kemarau: kedalaman tali
Kemarau minimal 50cm
4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
 Penghujan: jmlh tali
dibatasi
2 Rumput laut  Bersihkan RL
terserang - - - - - - - - - - 2 3  Menggoyang tali
epifit  Batasi jmlh tali ris
3 Prevalensi  Memetik yg berpenyakit
pada rumput
4 5 6 7 8 9 - - 12 - - -  Mengganti yang
laut berpenyakit
 Memanen cepat
4 Pertumbuhan
- - - - - - - - - - - 3  Ganti bibit
lambat  Jarak tali diperlebar
5 Laut - 5 - - 8 9 10 11 12 1 2 3  Batasi jumlah tali
bergelombang
86

Tabel 15 dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Apabila terjadi penyakit, penanggulangannya dengan cara memetik rumput
laut dan mengganti rumput laut yang terkena penyakit agar penyakit tidak
menyebar ke rumput laut yang lain. Jika terlihat bahwa prevalensi sudah
mewabah sebaiknya dilakukan pemanenan secara keseluruhan.
2. Membatasi jumlah tali ris pada waktu penghujan, bermaksud untuk mengakali
jumlah nutrien yang konsentrasinya berubah yang disebabkan oleh jumlah air
tawar yang masuk. Nutrient yang tersedia diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan rumput laut yang ada. Pada waktu terserang epifit, pembatasan
jumlah tali agar rumput laut mudah dibersihkan karena jumlah rumput laut
yang akan dibersihkan tidak banyak. Pembatasan jumlah tali juga agar
pembudidaya leluasa bergerak saat bekerja. Pada saat gelombang, pembatasan
jumlah tali ris lebih memudahkan pembudidaya mengawasi dan memperbaiki
jika terjadi kerusakan konstruksi wadah budidaya.
3. Pada musim kemarau, tali ris diturunkan minimal 50 cm dari permukaan air
agar tidak terpengaruh oleh suhu permukaan air, dan rumput laut tidak
terjemur terlalu lama. Saat terserang epifit, rumput laut dibersihkan langsung
dengan cara diambil kemudian dibuang di darat. Kemudian, tali ris atau
rumput laut digoyang-goyang agar epifit yang tidak terambil akan terlepas dari
rumput laut atau tali ris. Apabila pertumbuhan rumput laut lambat, dapat
diganti dengan bibit baru yang sesuai kriteria pemilihan bibit yang baik.
Gambar 27 menunjukkan komposisi dari kondisi budidaya rumput laut di
perairan Gugus Pulau Nain. Dalam setahun waktu penghujan terjadi sebanyak 9
bulan, kemarau 3 bulan, prevalensi 7 bulan, terserang epifit 2 bulan, pertumbuhan
yang rendah 1 bulan, dan terjadinya gelombang laut sebanyak 9 bulan. Semua
kondisi ini cenderung dapat terjadi sepanjang setahun atau hanya beberapa kondisi
saja yang terjadi dalam setahun.
Waktu penghujan sangat bermanfaat bagi rumput laut walaupun belum ada
informasi spesifik tentang kisaran intensitas dan frekuensi curah hujan yang sesuai
kebutuhan pertumbuhan rumput laut, karena curah hujan yang tinggi dapat juga
mengakibatkan pelarutan nutrient, menurunkan salinitas, kebersihan areal,
87

kecepatan arus melemah, dan kekeruhan perairan. Menurut Boyd (1979) in Armita
(2011) bahwa kondisi kekeruhan yang baik untuk budidaya rumput laut yakni 10
< 40 NTU, selanjutnya WALHI (2006) in Armita (2011) kekeruhan standar untuk
lingkungan rumput laut adalah kurang dari 20 NTU.

Penghujan Kemarau Prevalensi


Epifit Pertumbuhan lambat Gelombang

Gambar 27 Komposisi kecenderungan kondisi lingkungan dan budidaya


rumput laut di Perairan Gugus Pulau Nain.

Hujan juga berakibat buruk pada waktu pasca panen yakni lama
pengeringan apabila memanfaatkan sinar matahari. Lain halnya dengan musim
kemarau yang dapat mempercepat waktu pengeringan. Kebutuhan cahaya
matahari dalam budidaya rumput laut menurut Djawad (1987) in Armita (2011)
dibutuhkan intensitas cahaya sekitar 5000 lux. Dalam Wikipedia, dijelaskan
bahwa musim hujan atau musim basah adalah musim dengan ciri meningkatnya
curah hujan di suatu wilayah dibandingkan biasanya dalam jangka waktu tertentu
secara tetap. Secara teknis meteorologi, musim hujan dianggap mulai terjadi
apabila curah hujan dalam tiga dasarian berturut-turut telah melebihi 100 mm per
meter persegi per dasarian dan berlanjut terus. Apabila hal ini belum terpenuhi
namun curah hujan telah tinggi kondisinya dianggap sebagai peralihan musim
(pancaroba). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk dapat disebut musim kemarau,
curah hujan per bulan harus di bawah 60 mm per bulan (atau 20 mm per dasarian)
selama tiga dasarian berturut-turut. LAPAN (2009) menyatakan bahwa Indonesia
mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya,
88

sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga


jenis iklim, yaitu:
1. Iklim musim (iklim muson) sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang
berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin
muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu angin musim
barat daya (muson barat) dan angin musim timur laut (muson timur). Angin
muson barat bertiup sekitar Oktober-April yang basah sehingga membawa
musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar April-Oktober
yang sifatnya kering mengakibatkan Indonesia mengalami musim kemarau.
2. Iklim tropis/tropika (iklim panas), wilayah yang berada di sekitar garis
khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan
hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Iklim
tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang
banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.
3. Iklim laut, Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki
banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang
lembab dan curah hujan yang tinggi.
Gelombang laut yang terjadi sebanyak 9 bulan bukan kendala dalam
budidaya rumput laut di Pulau Nain, seperti sudah dijelaskan pada bab
sebelumnya hanya waktu-waktu tertentu terjadi gelombang besar yang dapat
mengganggu budidaya rumput laut, selebihnya gelombang dibutuhkan. Apalagi
perairan Gugus Pulau Nain terdapat karang tepi yang mengelilinginya.
Pola tanam dan kondisi lingkungan budidaya rumput laut di atas akan
berbeda untuk setiap areal budidaya di Wilayah Minahasa, bahkan di wilayah lain,
tetapi alternatif penanggulangannya paling tidak seperti yang dijelaskan di atas.
Parenrengi et al. (2010) menyatakan bahwa pembudidaya rumput laut diharapkan
mampu mengevaluasi sendiri kondisi budidaya yang dilakukan dengan
pemantauan kondisi secara berkala, dimana inventarisasi dan identifikasi masalah
yang tepat merupakan langkah yang harus dilakukan dalam upaya pencarian
alternatif pemecahan masalah yang tepat.
89

5.2.4 Pertumbuhan dan produksi rumput laut

Pola pertumbuhan rumput laut adalah berbeda-beda tergantung spesies dan


keberadaan lingkungannya. Tingkat pertumbuhan rumput laut ini dipengaruhi oleh
faktor internal yakni kondisi thallus, dan faktor eksternal yakni faktor fisika,
faktor kimia serta faktor biologi. Dalam penelitian ini, uji pertumbuhan dilakukan
di areal budidaya (rataan karang) dan di luar areal budidaya (lereng karang).
Frekuensi uji sebanyak 9 siklus terus-menerus. Pada tahun berikutnya dilakukan
di perairan permukiman penduduk sebanyak 2 siklus penanaman.
Bibit pada awalnya berasal dari pembudidaya rumput laut di lokasi
penelitian, selanjutnya digunakan bibit dari tahap penanaman sebelumnya. Bibit
awal adalah rumput laut yang sudah digunakan oleh pembudidaya secara terus
menerus selama lebih dari 20 tahun. Namun demikian bibit dipilih dari bagian
ujung rumput laut yang percabangan banyak, kelihatan segar, dan elastis.
Faktor eksternal umumnya memenuhi syarat bagi pertumbuhan rumput
laut di lokasi penelitian. Walaupun demikian untuk nitrat dan fosfat pada waktu
tertentu telah melewati ambang batas baku mutu air untuk biota laut sesuai
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 51/2004 tetapi belum terindikasi
tercemar sesuai baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air oleh
Peraturan Pemerintah RI No. 82/2001.
Indikator pertumbuhan rumput laut dapat dilihat dari beberapa hasil
penelitian, di antaranya: pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian (LPH).
Beberapa hasil penelitian tentang pertumbuhan rumput laut yang sudah dilakukan
dari jenis E. denticulatum (E. spinosum) yakni 2,08–8%, sedangkan K. alvarezii
(E. cotonii) 4,4–8,9%, selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

a. Pertumbuhan rumput laut di areal budidaya


Uji statistik pertumbuhan untuk rata-rata keseluruhan maupun beda
kedalaman menunjukkan tidak beda nyata (Lampiran 4). Pola pertumbuhan
rumput laut Kappaphycus alvarezii di Perairan Gugus Pulau Nain secara umum
cenderung meningkat seiring dengan perubahan waktu, baik pada masing-masing
siklus tanam maupun secara keseluruhan dari 9 siklus yang dilakukan, hasil
analisis laju pertumbuhan harian (LPH) dapat dilihat pada Tabel 16.
90

Pada awal penelitian, pertumbuhan K. alvarezii cenderung lambat


kemudian meningkat sampai pada siklus tanam VIII dan melambat lagi pada akhir
penelitian di siklus tanam IX. Hal ini disebabkan awalnya ditemukan banyak
tumbuhan epifit dan telur biota laut yang menempel atau membungkus thallus
rumput laut uji. Jenis epifit yang ditemukan dari golongan alga merah
(Acanthopora spicifera, Hypnea, Polysiphonia, Coraline algae, alga coklat
(Dictyota dichotoma dan Padina santae), alga hijau (Chaetomorpha crassa).
Polysiphonia tingkat penetrasinya sangat kuat sampai ke tengah jaringan rumput
laut. Tumbuhan penempel ini bersifat kompetitor dalam menyerap nutrisi. Selain
itu, bersama telur ikan yang menempel, epifit dapat menjadi pengganggu karena
menutupi rumput laut dalam fotosistesis.

Tabel 16 Laju pertumbuhan harian (%) K. alvarezii di areal budidaya pada


tahun 2007 – 2008
Siklus tanam dan pertumbuhan
Kedalaman I II III IV V VI VII VIII IX
(cm) Feb- Apr- Mei- Jul- Ags- Okt- Nov- Jan- Feb-
Mar Mei Jun Ags Sep Nov Des Feb Mar
0 3,71 3,12 5,75 6,28 7,01 7,00 6,95 7,56 6,31
50 3,52 3,31 5,59 5,96 6,96 6,95 6,79 7,63 6,48
100 3,53 3,28 5,54 5,74 6,89 6,88 6,74 7,61 6,50

Laju pertumbuhan harian (LPH) seperti pada Tabel 16, terlihat berada di
atas 3%. Menurut Anggadiredja et al. (2006) bahwa faktor pertumbuhan rumput
laut jenis Eucheuma sp. dikatakan baik jika laju pertumbuhan hariannya tidak
kurang dari 3%. Kisaran LPH dalam penelitian ini, K. alvarezii nilai terendah
terdapat pada siklus II yakni 3,12%, dan yang tertinggi pada siklus VIII yakni
7,79% yang keduanya berada pada titik sampel permukaan (0 cm). Apabila
dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, LPH rumput laut di
Gugus Pulau Nain dapat dikatakan lebih baik. Bahkan ada yang hasil penelitian
sebelumnya LPH di bawah 3% walaupun ada beberapa yang LPH relatif sama
yaitu sekitar 5–7%. Gambar 28 memperlihatkan pertumbuhan mutlak yaitu selisih
antara berat akhir dan berat awal.
Pada Gambar 28 terlihat bahwa awalnya pertumbuhan relatif lambat.
Dalam penelitian pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008 terjadi angin dan
gelombang, sehingga upaya pembersihan rumput laut tidak maksimal. Seiring
91

tidak maksimalnya pembersihan dan pengontrolan, pengaruh gelombang membuat


perairan lebih keruh dan banyaknya sampah yang menempel. Dan seperti
dijelaskan di atas bahwa pada tahap ini, rumput laut terserang epifit.

Pertumbuhan mutlak (g/45 hari) 3000 2603


2500 1957 1952 1862
2000 1583
1297
1500 1080
1000 727
449
500
0

Okt-Nov
Feb-Mar

Apr-Mei

Nop-Des

Jan-Feb

Feb-Mar
Mei-Jun

Jul-Ags

Ags-Sep
I II III IV V VI VII VIII IX

Siklus tanam (bulan kalender)


Gambar 28 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii di areal budidaya tahun 2007-2008.

Saipul (2007) menyatakan bahwa rumput laut jenis E. denticulatum relatif


lebih tahan terhadap perubahan iklim yang lebih ekstrim. Hal ini yang membuat
pembudidaya di Nain menyebut E. denticulatum dengan nama ‘Grandong’.
Sebaliknya, apabila kondisi perairan membaik maka K. alvarezii akan bertumbuh
lebih baik. Hal ini sesuai dengan pengamatan langsung di lapangan dan
wawancara dengan pembudidaya rumput laut di P. Nain, jenis E. denticulatum
lebih tahan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan. K. alvarezii cenderung
lebih mudah terkena penyakit. Disamping itu, E. denticulatum merupakan spesies
asli perairan Pulau Nain, sedangkan K. alvarezii diintroduksi dari Filipina.
Nilai rata-rata pertumbuhan rumput laut dalam penelitian ini ditentukan
juga oleh faktor kedalaman. Upaya uji pertumbuhan di beberapa kedalaman
perairan bermaksud untuk mengantisipasi apabila terjadi perubahan kondisi
perairan yang ekstrim, misalnya terjadi intensitas hujan yang tinggi atau musim
kemarau yang lama maka sudah diketahui pada kedalaman berapa rumput laut
masih bisa tumbuh dengan baik. Hasil pertumbuhan mutlak K. alvarezii pada
kedalaman berbeda dapat dilihat pada Gambar 29.
92

1600

Pertumbuhan mutlak (g/45 hari)


1500 1545
1500

1458
1400

1300
0 cm 50 cm 100 cm
Kedalaman dari permukaan air (cm)
Gambar 29 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii pada kedalaman
berbeda di areal budidaya pada tahun 2007 - 2008.

Faktor kedalaman sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut,


dimana semakin jauh dari permukaan air pertumbuhannya akan menurun. Sama
seperti pertumbuhan mutlak, nilai rata-rata LPH rumput laut yang dibudidaya di
keseluruhan kedalaman air menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik yakni
>3%, walaupun mengalami penurunan pertumbuhan seiring makin bertambahnya
kedalaman. Kedalaman suatu perairan sangat erat hubungannya dengan intensitas
cahaya, semakin dalam perairan semakin kecil intensitas cahaya yang diterimanya
Dawes (1981) menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan alga secara
langsung dikontrol oleh cahaya. Gross (1993) menyatakan bahwa pada perairan
yang jernih 60% radiasi diserap pada 1 meter pertama, sekitar 80% pada
kedalaman 10 meter, dan hanya tersisa 1% pada kedalaman 140 meter. Proses
fotosintesis pada tumbuhan laut seperti alga dapat berlangsung bila intensitas
cahaya dapat sampai ke sel alga.

b. Pertumbuhan rumput laut di luar areal budidaya


Uji statistik untuk rata-rata pertumbuhan seluruh perlakuan maupun beda
kedalaman menunjukkan tidak beda nyata (Lampiran 4). Lokasi penelitian ini
mempunyai dasar perairan berkarang dengan kemiringan berbentuk lereng,
bahkan di sisi luar karang ada yang berbentuk drop off.
Dibandingkan dengan areal budidaya di dataran karang, kedalaman di
daerah ini bisa mencapai lebih dari 30 meter. Dari hasil penelitian seperti pada
Tabel 17, pola pertumbuhan rumput laut relatif sama dengan yang di areal
budidaya yakni pertumbuhan pada awal penelitian cenderung lambat kemudian
93

meningkat sampai pada akhir penelitian. Tetapi di sini bukan disebabkan oleh
tumbuhan atau hewan pengganggu, ini lebih disebabkan oleh bibit yang
beradaptasi dengan kondisi perairan yang baru karena jelas terlihat
pertumbuhannya lebih baik pada siklus-siklus berikutnya, bahkan melebihi laju
pertumbuhan di areal budidaya.
Jenis epifit yang menempel pada rumput laut ditemukan juga di daerah ini
tetapi hanya di beberapa bagian thallus saja. Jenis epifit yang ditemukan sama
dengan di areal budidaya. Rata-rata LPH di luar areal budidaya ini lebih tinggi
daripada di daerah areal budidaya, nilai terendah terdapat pada siklus I yakni
5,79% di kedalaman 100 cm, dan yang tertinggi pada siklus VIII yakni 7,95% di
permukaan air (0 cm).

Tabel 17 Laju pertumbuhan harian K. alvarezii di luar areal budidaya pada tahun
2007–2008
Siklus Tanam dan pertumbuhan (%)
Kedalaman I II III IV V VI VII VIII IX
(cm) Feb- Apr- Mei- Jul- Ags- Okt- Nov- Jan- Feb-
Mar Mei Jun Ags Sep Nov Des Feb Mar
0 5,85 5,66 5,87 7,14 7,75 7,77 7,89 7,95 7,67
50 5,90 5,82 5,94 7,21 7,75 7,63 7,86 7,86 7,53
100 5,79 5,98 6,18 7,34 6,03 7,78 7,84 7,93 7,48

Bila dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, LPH rumput


laut di Gugus Pulau Nain dapat dikatakan lebih baik. Pertumbuhan mutlak rumput
laut yaitu selisih berat akhir dan berat awal lebih jelas terlihat pada Gambar 30.

3500
Pertumbuhan mutlak (g/45 hari)

2913 2978
2748
3000 2556
2213 2281
2500
2000
1278
1177
1500
1000 544

500
0
Feb-Mar Apr-Mei Mei-Jun Jul-Ags Ags-Sep Okt-Nov Nop-Des Jan-Feb Feb-Mar
I II III IV V VI VII VIII IX
Siklus tanam (bulan kalender)

Gambar 30 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii di luar areal budidaya pada


tahun 2007 - 2008.
94

Pada Gambar 30, memang terlihat bahwa pertumbuhan awal rumput laut
K. alvarezii masih rendah karena seperti diketahui kondisi lingkungan yang tidak
bersahabat pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008. Untuk areal ini sangat
dipengaruhi oleh hempasan gelompang dan kecepatan arus. Sama seperti pada
rumput uji di areal budidaya, faktor kedalaman sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan rumput laut, hal ini jelas terlihat pada Gambar 31, dimana rumput
laut yang semakin jauh dari permukaan air pertumbuhannya semakin menurun.
Pertumbuhan mutlak (g/45 hari)

2200
2150
2100
2050 2131
2103
2000
1950
1996
1900
1850
1800
0 cm 50 cm 100 cm
Kedalaman dari permukaan air (cm)

Gambar 31 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii pada kedalaman berbeda


di luar areal budidaya pada tahun 2007–2008.

c. Pertumbuhan rumput laut di perairan sekitar permukiman penduduk


Uji statistik pertumbuhan untuk rata-rata keseluruhan maupun beda
kedalaman menunjukkan tidak beda nyata (Lampiran 4). Dari 3 lokasi budidaya
rumput laut, perairan sekitar permukiman penduduk ini terlihat pertumbuhannya
paling rendah, baik dilihat dari laju pertumbuhan harian maupun pertumbuhan
mutlak. Walaupun demikian, LPH masih baik yakni rata-rata di atas 3%, jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 18. Pada Tabel 18, LPH terendah terdapat pada Stasiun II
(2,86%) dan tertinggi pada Stasiun V (3,54%) yang keduanya berada pada
kedalaman 100 cm.

Tabel 18 Laju pertumbuhan harian K. alvarezii di perairan dekat permukiman


pada tahun 2009
Kedalaman (cm) Stasiun Rata-rata
I II III IV V
0 (%) 3,01 3,47 2,91 3,09 3,12 3,12
50 (%) 3,22 3,03 3,52 3,34 3,46 3,31
100 (%) 3,47 2,86 3,24 3,29 3,54 3,28
95

Jelas terlihat bahwa pertumbuhan rumput laut di perairan sekitar


permukiman tidak dipengaruhi oleh kedalaman. Hal ini disebabkan kedalaman di
daerah ini saat surut terendah sekitar 1,5 meter. Kondisi perairan ini diduga
mempunyai faktor lingkungan yang homogen. Diperkirakan pengaruh yang
mendominasi pertumbuhan rumput laut adalah kandungan nutrien yang ada.
Untuk jelasnya nilai pertumbuhan rumput laut pada kedalaman berbeda di daerah
ini dapat dilihat pada Gambar 32.

500
448 449 449
Pertumbuhan mutlak (g/45hari)

400

300

200

100
0 cm 50 cm 100 cm
Kedalaman dari permukaan air (cm)

Gambar 32 Rata-rata pertumbuhan mutlak K. alvarezii pada kedalaman


berbeda di perairan dekat pemukiman pada tahun 2010.

Pertumbuhan K. alvarezii di daerah ini dipengaruhi juga oleh ikan yang


memakan rumput laut. Diketahui bahwa di daerah ini merupakan padang lamun,
dimana lebih banyak terdapat ikan herbivora. Dari hasil pengamatan dan
informasi dari pembudidaya, ikan herbivora lebih suka memakan K. alvarezii.

d. Biota pengganggu rumput laut


Hama yang menyerang tanaman budidaya rumput laut berdasarkan ukuran
dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu hama mikro (micro grazer) dan hama
makro (macro grazer) (Doty, 1987). Hama yang teramati selama penelitian yakni:
ikan beronang (Siganus sp.), Surgeon fish (Acanthurus sp.), dan ikan kakatua
(Cetoscarus sp.). Jenis lain yang ditemukan adalah anak ikan kerapu dan ikan
napoleon yang sampai saat ini belum ada informasi kedua jenis ini adalah hama
bagi rumput laut. Juga ditemukan telur/larva ikan sotong yang menempel bahkan
membungkus thallus. Walaupun banyak yang menyebutkan bahwa hama bulu
96

babi, penyu, dan bintang laut paling banyak menyerang rumput laut, terutama
pada jenis Kappaphycus, tetapi selama penelitian tidak ditemukan.
Munculnya predator biasanya berhubungan dengan penempatan sarana
budidaya di ekosistem atau dekat ekosistem padang lamun, dimana biota
herbivora merupakan populasi yang bersifat endemi di situ. Dalam beberapa
kasus, ikan herbivora terangkut bersama bibit rumput laut dari daerah yang lain.
Atau keberadaan ikan-ikan ini di padang lamun untuk memijah, sehingga hanya
ditemukan pada musim tertentu (Neish, 2005). Serangan hama selain berdampak
langsung hilangnya rumput laut, juga mengakibatkan terbukanya bagian luar
thallus yang memudahkan masuknya bakteri yang dapat menyebabkan penyakit.
Jenis epifit yang ditemukan selama penelitian, terdiri dari: Acanthopora
spicifera, Hypnea, Polysiphonia, Dictyota dichotoma, Padina santae,
Chaetomorpha crassa, Polysiphonia, dan Coraline algae (Gambar 33). Menurut
Hurtado et al. (2005) dampak dari serangan epifit akan berpengaruh pada
kompetisi terhadap ruang, nutrien, dan gas-gas terlarut sehingga dapat
menghambat pertumbuhan, dan akhirnya kehilangan sebagian atau total biomassa.
Menurut Neish (2005), rumput laut akan sehat kembali bila dipindahkan ke
kondisi air yang lebih baik.

Polysiphonia Dictyota dichotoma

Chaetomorpha crassa Coraline algae

Gambar 33 Beberapa jenis epifit selama penelitian 2007 – 2008.


97

Penyakit yang menyerang rumput laut disebut ice-ice, rumput laut yang
terserang akan kehilangan pigmen pada jaringannya sehingga thallus akan
membusuk dan kemudian putus. Uyenco et al. (1981) in Neish (2005),
memperhatikan bahwa terdapat populasi bakteria yang tinggi pada jaringan yang
terserang ice-ice tetapi disimpulkan bahwa itu hanya masalah sekunder. Doty
(1987) menyatakan bahwa ice-ice merupakan keadaan musiman, dan berkaitan
dengan perubahan musim. Selanjutnya menurut Largo et al. (1995) in Neish
(2005) bahwa bakteri tertentu yang menyerang apabila bibit rumput laut sedang
stres, sehingga perlu diperhatikan beberapa faktor abiotik yang dapat menjadi
pemicu gejala ini. Selanjutnya, dinyatakan bahwa di Jepang Selatan, penyakit ice-
ice pada K. alvarezii disebabkan intensitas cahaya yang kurang, salinitas di bawah
dari 20 ppt, dan temperatur yang tinggi (>35 0C).

5.2.5 Kesesuaian dan daya dukung

a. Kesesuaian areal budidaya rumput laut


Kegiatan budidaya rumput laut di Perairan Gugus Pulau Nain ditentukan
oleh penilaian kesesuaian lahannya. Analisis kesesuaian lahan penelitian ini
didasarkan pada beberapa parameter yang disesuaikan dengan kondisi perairan
Pulau Nain, yaitu: kecepatan arus, kecerahan, keterlindungan, kedalaman,
salinitas, substrat dasar, suhu, pH, fosfat, dan nitrat. Proses penentuan kesesuaian
lahan dilakukan dengan membandingkan parameter-parameter prasyarat dengan
kondisi perairan yang diukur. Hasil analisis ini menghasilkan suatu kesesuaian
karakteristik dari kegiatan budidaya rumput laut di perairan Pulau Nain, sehingga
diharapkan dapat memberikan hasil produksi yang optimal dan berkelanjutan.
Selanjutnya hasil analisis ini akan menjadi bahan bagi analisis daya dukung
perairan Pulau Nain untuk budidaya rumput laut.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut
pada masing-masing kategori kesesuaian diperoleh lahan yang sesuai untuk
budidaya rumput laut di perairan Pulau Nain sebesar 2.560 Ha. Gambar 34
memperlihatkan hasil analisis kesesuaian lahan. Dasar perhitungan kesesuaian
areal budidaya rumput laut di perairan Gugus Pulau Nain dapat dilihat pada
Lampiran 5.
98

Luas kawasan yang sesuai secara ekologis untuk kegiatan budidaya


rumput laut perlu mempertimbangkan bagi pemanfaatan lain. Di perairan Pulau
Nain yang digunakan sebagai pemanfaatan lain hanya untuk jalur transportasi
yang telah terbentuk secara alamiah, yaitu di dasar perairan telah terbentuk jalur
berbentuk parit. Jalur ini memotong di tengah areal budidaya rumput laut. Di
bagian dekat daratan pemanfaatan perairan untuk tambatan perahu, sehingga hasil
perhitungan hanya 10,6% (272,2 hektar) dari luasan perairan yang sesuai untuk
budidaya rumput laut di Pulau Nain yang digunakan untuk peruntukan lain, dan
2.287,8 yang dapat digunakan. Budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain
didominasi oleh jenis K. alvarezii dan E. denticulatum. Jenis lain yang
dibudidayakan adalah strain ‘bola-bola’ dan ‘banci’ yang dalam perhitungan
memanfaatkan lahan sekitar 6%. Jadi, masing-masing jenis yang dominan layak
dibudidayakan pada areal seluas 1075,2 hektar. Khusus jenis K. alvareziii luasan
yang sesuai di areal budidaya sebesar 762,36 hektar, di luar areal budidaya 306,01
hektar, dan di dekat permukiman penduduk sebesar 6,86 hektar.

Gambar 34 Kesesuaian areal budidaya rumput laut di Pulau Nain.

b. Daya dukung areal budidaya rumput laut


Mempelajari kondisi usaha budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain
yang tidak menentu mulai tahun 2003 maka untuk mendapat sesuatu yang lebih
terarah maka dibutuhkan suatu pedoman pengembangan. Pedoman ini berupa
estimasi daya dukung yang sesuai dengan kondisi di wilayah tersebut. Analisis
99

daya dukung secara ekologis akan mempertimbangkan status pemanfaatan


dimensi-dimensi yang lain. Dalam analisa spasial perairan Pulau Nain ini dihitung
luasan dan kapasitas jumlah unit budidaya maksimum dengan mempertimbangkan
metode budidaya, jalur transportasi dan tempat tambatan perahu. Hasil analisa
daya dukung perairan ini akan sangat menentukan keberlanjutan kegiatan
budidaya rumput laut. Apabila kegiatan budidaya rumput laut ini melampaui daya
dukung perairan maka akan terjadi konflik dan degradasi kualitas perairan.
Kapasitas areal adalah jumlah unit budidaya dengan mempertimbangkan
ukuran luas per unit budidaya dan jarak antar unit maka jumlah unit dengan
ukuran 22 x 62 meter kapasitas arealnya adalah 0,136 hektar. Jumlah unit
budidaya K. alvarezii yang dapat dioperasikan dalam luas areal yang efektif atau
daya dukung perairan maksimal lahan untuk mendukung aktivitas budidaya secara
terus menerus tanpa menimbulkan penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik
maupun sosial adalah 7905,9 unit pada areal seluas 1075,2 hektar, sehingga dapat
dihitung jumlah unit budidaya berukuran 20 x 60 meter yang layak beroperasi
dalam luasan 1 hektar adalah 7 unit.
Kapasitas produksi dari pengembangan budidaya rumput laut berupa
jumlah unit budidaya dan jumlah produksi dalam satu siklus tanam merupakan
bagian dari daya dukung lingkungan. Lamanya waktu satu siklus tanam adalah 45
hari pemeliharaan ditambah dengan masa persiapan dan masa panen selama 2
minggu, maka dibutuhkan jangka waktu 2 bulan. Jadi untuk 1 tahun terdapat 6
siklus tanam. Dengan demikian total produksi (berat basah) K. alvarezii dari hasil
penelitian sebanyak 63.573 kg basah/ha/panen atau 6.357,3 kg kering/ha/panen =
6,3573 ton. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil budidaya Eucheuma di
Sulawesi Tenggara dengan produksi 6–8 ton/ha dan di Bali dengan produksi 5–6
ton/ha oleh Zatnika & Istini (1995). Sedangkan menurut Wartapedia (2010)
produksi rumput laut sekitar 2,8–5,6 ton/ha. Selanjutnya data Biroksdantb (2010)
bahwa tingkat produksi rumput laut rata-rata sebesar 6,58 ton kering/ha. Untuk
mengetahui sejauh mana kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan oleh
masyarakat ini menguntungkan sehingga layak diusahakan atau merugi secara
ekonomi, dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan kegiatan budidaya
rumput laut secara finansial.
100

c. Kelayakan usaha budidaya rumput laut


Mulai pertengahan tahun 2008 kegiatan budidaya rumput laut di Pulau
Nain kembali diusahakan secara besar-besaran oleh para pembudidaya. Dari hasil
pengamatan dan wawancara, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yakni:
1) Banyaknya bantuan modal berupa uang, bahan, dan alat budidaya yang
disalurkan oleh pihak perbankan, pengusaha, dan proyek-proyek pemerintah.
2) Makin tidak menentunya hasil tangkapan ikan, diikuti makin jauh daerah
penangkapan, cuaca yang tidak dapat diprediksi lagi, kenaikan BBM, dan
kekurangan modal untuk pengadaan atau perbaikan alat tangkap.
3) Test plot penelitian ini dianggap masyarakat dan pihak terkait sebagai kebun
percontohan yang selama setahun menunjukkan pertumbuhan yang baik.
4) Harga jual rumput laut semakin membaik, untuk K. alvarezii berkisar antara
Rp. 7.500–Rp. 12.500/kg. Dibandingkan dengan harga K. alvarezii di tahun
2007 berkisar Rp. 4.500–Rp. 6.000/kg.
Sejauh mana kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan oleh
masyarakat ini menguntungkan sehingga layak digiatkan secara ekonomi,
dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan kegiatan budidaya rumput
laut. Analisis kelayakan kegiatan budidaya rumput laut harus didukung oleh data-
data yang memadai seperti data pengeluaran untuk berbagai sarana produksi,
upah, biaya pemeliharaan dan ongkos yang lainnya dan data-data pemasukan.
Analisis yang digunakan meliputi analisis net present value (NPV) dan benefit
cost ratio (BC Ratio).
Asumsi dan parameter yang digunakan merupakan satuan dasar
perhitungan untuk menentukan investasi, biaya, kebutuhan dana dan analisis
kelayakan usaha, dimana nilai ekonomi dalam pembahasan ini seluruhnya adalah
nilai nominal. Berikut ini disajikan asumsi teknis dan keuangan:
 Proyek budidaya rumput laut 7 unit wadah (20 x 60 m2) setiap hektar. Tali ris
panjang 60 m diikat dengan jarak 1 meter, jadi terdapat 20 tali dengan masing-
masing panjang 60 m.
 Setiap titik pengikatan bibit berjarak 30 cm, sehingga terdapat 200 ikat per tali
ris, maka untuk 20 tali ris terdapat 4.000 ikat bibit per wadah.
 4.000 ikat bibit x 7 wadah = 28.000 ikat bibit/hektar.
101

 Berat awal bibit 100 g x 28.000 ikat bibit = 2.800 kg bibit/ha.


 Dari hasil uji pertumbuhan K. alvarezii didapat nilai rata-rata 1.589 g/bibit.
 1.589 g x 28.000 bibit = 44.492 kg basah/ha = 4.449,2 kg kering/ha
 Harga jual di tingkat petani Rp. 12.000/kg = Rp. 53.390.400/ha/panen.
 Skim kredit yang digunakan adalah kredit bank, dalam analisis ini
dipergunakan hitungan dengan tingkat bunga sebesar 12% per tahun.
Ratio rumput laut basah cottonii (10) : (1) rumput laut kering untuk kadar
air standar rumput laut kering 35 %. Satu kilogram kering dari rumput laut basah
banyak dipengaruhi oleh : a) umur panen rumput laut, b) cara panen rumput laut,
c) jenis rumput laut. Bila rumput laut di panen pada saat umur 45 hari kemudian
dijemur dengan cara digantung maka perbandingannya adalah 6–7 kg rumput laut
basah menjadi 1 kg kering (kadar air 35%). Namun jika rumput laut dengan umur
45 hari dijemur dengan cara dijemur di atas para-para, maka jumlah rumput laut
basah yang dibutuhkan adalah 8–10 kg untuk menjadi 1 kg rumput laut kering
(kadar air 35%). Jika rumput laut pada saat dijemur kena air hujan atau tersiram
air tawar maka membutuhkan jumlah rumput laut basah yang lebih banyak, bisa
mencapai 9–11 kg menjadi 1 kg kering (Tim Jasuda, 2010).
Asumsi-asumsi dan perhitungan pada Tabel 19. Asumsi ini disusun untuk
analisis selama satu tahun budidaya (6 kali panen). Harga dan jumlah unit barang
dianggap cukup mewakili keadaan yang lazim dan moderat.

Tabel 19 Asumsi teknis dan parameter keuangan usaha rumput laut per hektar
No Uraian Satuan Nilai per unit
1. Masa investasi tahun 2
2. Luas areal usaha hektar 1
3. Jumlah tali ris buah 140
4. Jarak antar tali ris meter 1
5. Jarak antar titik ikat bibit cm 30
6. Jumlah titik bibit titik/ha 28.000
7. Berat awal bibit gram 100
8. Kebutuhan bibit ton/hektar 2,8
9. Pemanenan kali panen 6
10. Rendeman ratio 10:1
11. Bunga kredit % 12
12. Harga jual oleh pembudidaya Rp,000/kg 12
13. Produksi BB/ha/panen kg 44.492
14. Produksi BK/ha/panen kg 4.449,2
15. Nilai jual/ha/panen Rp,000 53.390.400
16. Harga jual 6 kali panen/tahun Rp,000 320.342.400
102

Dana usaha yang dibutuhkan dalam budidaya rumput laut terbagi atas:
investasi infrastruktur, biaya operasional yang terdiri dari biaya tenaga kerja dan
bibit, serta cadangan kontingensi. Biaya bibit masing-masing jenis hanya untuk
siklus tanam pertama. Modal pinjaman adalah kredit modal kerja. Kreditor
dianggap telah memiliki modal senilai alat-alat perikanan dan perlengkapan lain
yang telah mereka miliki. Kebutuhan modal kerja dan investasi dapat dilihat pada
lampiran 6, atau pada Tabel 20. Dasar perhitungan adalah per 1 tahun usaha untuk
investasi 2 tahun.

Tabel 20 Kebutuhan pinjaman kredit dan jumlah modal


No Uraian Jumlah (Rp,000)
1. Kebutuhan dana (investasi+operasional) 57.240
2. Total kebutuhan investasi 19.170
3. Kredit investasi (70%) 13.419
4. Kebutuhan modal kerja 38.070
5. Kredit modal kerja (70%) 26.649
6. Total Pinjaman 40.068
7. Modal sendiri 17.172

Dari Lampiran 6 dapat diketahui bahwa kebutuhan dana yang diperlukan


untuk budidaya K. alvarezii sejumlah Rp. 57.240.000, dimana investasi Rp.
19.170.000, sedangkan untuk modal kerja dibutuhkan Rp. 38.070.000. Sesuai
dengan ketentuan perbankan hanya 70% kredit usaha pertanian yang dapat
dibiayai, untuk itu 30% dari total kebutuhan modal harus tersedia modal sendiri.
Dari kebutuhan dana sebesar Rp. 57.240.000 maka jumlah yang diajukan kepada
bank sebesar 70%. Jumlah kredit investasi yang diajukan adalah Rp. 13.419.000
(70% x kebutuhan investasi) direncanakan jangka waktu pemakaian 24 bulan, dan
kredit modal kerja sebesar Rp. 26.649.000 (70% x kebutuhan modal kerja).
Angsuran pinjaman direncanakan akan dilunasi selama 12 bulan (6 siklus tanam)
dengan angsuran Rp. 3.559.993 per bulan (Tabel 21).
Tabel 21 Proyeksi pembayaran bunga dan pinjaman per panen (Rupiah)
Bunga
Siklus Angsuran Pokok Pokok s.d. Sisa Pokok
12%/6 siklus
I 7.119.987 6.350.220 769.767 9.509.533 70.626.467
II 7.119.987 6.477.859 642.127 22.401.114 57.734.886
III 7.119.987 6.608.064 511.922 35.551.816 44.584.184
IV 7.119.987 6.740.886 379.100 48.966.846 31.169.154
V 7.119.987 6.876.378 243.609 62.651.519 17.484.481
VI 7.119.987 7.014.593 105.393 76.611.254 3.524.746
103

Hasil dan pendapatan penjualan rumput laut untuk 2 tahun yang masing-
masing 6 siklus tanam dengan nilai yang sama setiap siklus. Untuk tahun pertama
yang sama dengan tahun kedua seperti pada Tabel 22.
Perhitungan rugi-laba dimaksudkan untuk menentukan keuntungan bersih
usaha budidaya rumput laut. Dari jumlah ikatan sebanyak 40.000 dibutuhkan bibit
4 ton untuk areal 1 hektar. Hasil yang diperoleh adalah 4.449,2 kg/hektar rumput
laut kering. Harga jual Rp. 12.000/kg, sehingga diperoleh hasil penjualan sebesar
Rp. 53.390.400/ha/panen. Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa usaha budidaya
rumput laut K. alvarezii akan memberikan keuntungan mulai dari siklus tanam IV,
dan terus meningkat sampai akhir tahun kedua umur proyek. Proyek selanjutnya,
tidak ada lagi pinjaman, malahan keuntungan dapat digunakan untuk
pengembangan usaha. Hasil penerimaan ini dibandingkan dengan biaya maka nilai
NPV sebesar Rp. 102.074.976 dan B/C ratio 1,272 (Lampiran 8) dan payback
period adalah 1 tahun 3 bulan 8 hari dengan demikian usaha ini layak.

Tabel 22 Perhitungan hasil dan penjualan rumput laut kering per panen
Produksi Siklus tanam
I II III IV V VI
Jumlah ikatan (rumpun) 4.000 4.000 4.000 4.000 4.000 4.000
Berat per ikat (kg) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Jumlah wadah (buah) 7 7 7 7 7 7
Jumlah bibit (kg) 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800
Kelipatan panen 6 6 6 6 6 6
Hasil budidaya (kg) 44.492 44.492 44.492 44.492 44.492 44.492
Hasil produksi kering (kg) 4.449,2 4.449,2 4.449,2 4.449,2 4.449,2 4.449,2
Harga (Rp. x 1000) 12 12 12 12 12 12
Hasil penjualan (Rp. x 1000) 53.390,4 53.390,4 53.390,4 53.390,4 53.390,4 53.390,4

Analisis sensitivitas dimaksudkan untuk menilai bagaimana kinerja usaha


apabila terjadi keadaan sebagai berikut :
Skenario 1 : Terjadi penurunan pendapatan. Pendapatan mengalami penurunan,
sedangkan biaya investasi dan biaya operasional tetap. Penurunan pendapatan
dapat terjadi karena harga rumput laut kering mengalami penurunan. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa pada saat harga jual rumput laut kering turun
sebesar Rp. 10.000/kg dengan suku bunga 12% per tahun diperoleh NPV Rp.
22.523.280 dan Net B/C ratio 1,106 (Lampiran 9), usaha masih layak
dilaksanakan.
104

Skenario 2 : Terjadi kenaikan biaya produksi/operasional. Kenaikan biaya


produksi dapat terjadi apabila harga input meningkat. Biaya produksi hampir 90%
digunakan untuk pembelian bibit dan upah tenaga kerja. Walaupun pembelian
bibit hanya dilakukan pada awal budidaya tetapi naiknya biaya produksi lebih
sensitif ditentukan oleh naiknya harga bibit, sedangkan upah tenaga kerja masih
bisa diprediksi. Hasil perhitungan bahwa kenaikan 25% biaya produksi, proyek
masih layak dikembangkan, dimana NPV positif sebesar Rp. 16.988.526 dengan
B/C ratio 1,04 (Lampiran 10).
Skenario 3 : Terjadi kenaikan suku bunga. Apabila terjadi kenaikan dua kali dari
suku bunga sekarang yang 12% menjadi 24%, proyek masih layak dikembangkan,
dimana NPV positif sebesar Rp. 99.509.004 dengan B/C ratio 1,27 (Lampiran 11).
Bahkan apabila suku bunga naik 36%, proyek masih bisa berlanjut karena NPV
masih positif sebesar Rp. 83.577.348 dengan B/C ratio 1,258 (Lampiran 11).

5.3 Efisiensi Pengelolaan Budidaya Rumput Laut

Kajian budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Utara masih perlu


ditingkatkan serta secara berkelanjutan. Potensi pengembangannya cukup besar
dilihat dari keanekaragaman jenis dan wilayah perairan pesisir yang luas.
Berdasarkan data yang ada bahwa luas areal budidaya rumput laut di Sulawesi
Utara sebesar 5.800 hektar, khusus untuk Kabupaten Minahasa Utara sebesar
1.700 hektar. Walaupun demikian pemutakhiran data harus dilakukan, seperti
dalam penelitian ini didapat potensi areal budidaya rumput laut di Minahasa
Utara, khusus di Pulau Nain saja sudah seluas 1716,5 hektar.
Potensi budidaya rumput laut ditunjang oleh peluang pasar bagi bahan
baku, produk setengah jadi, dan produk akhir. Selain itu dapat memberdayakan
masyarakat pesisir karena dapat diterapkan pada usaha mikro, kecil, menengah
bahkan industri besar. Ini dapat membuka peluang kerja, pertumbuhan ekonomi,
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penelitian tentang rumput laut di Sulawesi Utara selain penelitian ini, di
Pulau Nain, sudah juga dilakukan di beberapa kabupaten di Sulawesi Utara.
Penelitian rumput laut di perairan Bentenan dan Tumbak oleh Ngangi (2001); di
105

Perairan Arakan oleh Gerung & Ngangi (2009), serta di Teluk Totok dan Buyat
oleh Manembu et al. (2009) dan Gerung et al. (2009).
Produksi rumput laut per hektar untuk masing-masing kabupaten
berdasarkan pertumbuhan rumput laut dari hasil penelitian menunjukkan nilai-
nilai yang berbeda, dimana untuk analisis ini digunakan hasil pertumbuhan
tertinggi. Perairan Gugus Pulau Nain sebesar 63.573 kg/ha, Perairan Bentenan dan
Tumbak sebesar 29.339 kg/ha, Perairan Arakan sebesar 29.797 kg/ha, serta di
Teluk Totok dan Buyat sebesar 21.920 kg/ha.
Dewasa ini, efisiensi menjadi hal utama dari berbagai kalangan baik
industri maupun non-industri. Efisiensi yang dimaksud adalah rasio antara input
dengan output. Menurut Permono (2000), suatu usaha dapat dikatakan efisien
apabila: 1) Mempergunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingkan
jumlah unit input yang digunakan oleh usaha lain dengan menghasilkan jumlah
output yang sama, 2) Menggunakan jumlah unit input yang sama, tetapi dapat
menghasilkan jumlah output yang lebih besar. Penelitian ini dengan metode
analisis DEA maka dapat diketahui wilayah mana yang efisien dalam penggunaan
input dan pengeluaran output untuk budidaya rumput laut di Sulawesi Utara. DEA
digunakan sebagai model pengukuran tingkat kinerja atau produktifitas dari
sekelompok unit organisasi. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan penggunaan input yang dapat dilakukan untuk
menghasilkan output yang optimal.
Variabel-variabel yang menyebabkan produksi (output) rumput laut yang
berbeda per hektar perlu diketahui, karena variabel luasan, tenaga kerja, dan
jumlah benih sebagai variabel input yang digunakan adalah sama. Analisis DEA
pada perilaku empat wilayah budidaya rumput laut diamati untuk melihat pola
efisiensi relatif dari keempat wilayah tersebut. Keempat wilayah di atas
merupakan unit pengambil keputusan (DMU = Decision Making Units). Keempat
DMU dipilih dengan alasan mewakili bagian utara, selatan, timur, dan barat dari
sebagian besar wilayah Sulawesi Utara. Analisis ini diharapkan dapat memberikan
arahan wilayah yang efisien untuk digunakan sebagai areal budidaya rumput laut,
serta wilayah mana yang perlu ada perbaikan agar dalam pengelolaannya efisien.
Suatu DMU dikatakan efisien secara relatif, bilamana nilai dualnya sama dengan 1
106

(nilai efisiensi = 100 %). Sebaliknya bila nilai dualnya kurang dari 1, maka DMU
bersangkutan dianggap tidak efisien secara relatif (Nugroho, 1995).
Salah satu keunggulan metode DEA di dalam menganalisis kapasitas atau
efisiensi adalah efisiensi relatif dapat dihitung menggunakan beberapa variabel
output dengan mempertimbangkan beberapa variabel input sebagai kendala. Pada
analisis ini variabel output yang dipertimbangkan hanya variabel produksi.
Variabel-variabel yang lain digunakan sebagai variabel input (kendala) (Lampiran
12). Analisis DEA dalam pembahasan ini menggunakan cara skoring berdasarkan
konsep efisiensi, dimana variabel tujuan mengarah pada maksimum manfaat
sedangkan variabel kendala mengarah pada minimum kerugian (berkonotasi
biaya). Dalam hal ini variabel bibit yang layak akan mendapat nilai skor rendah
karena sebagai suatu kendala (biaya) kelayakan ini yang berkonsekuensi biaya
yang rendah. Sebaliknya variabel tenaga kerja yang tidak layak akan mendapat
nilai skor tinggi karena berkonsekuensi memerlukan biaya tambahan yang tinggi
untuk memperbaikinya sehingga menjadi layak. Statistik data input dan output
untuk analisis DEA seperti pada Tabel 23.

Tabel 23 Data input dan output untuk analisis efisiensi (DEA)


Tali Tenaga Kerja Luas Benih Produksi
Maksimum 100 12 358,4 4000 63573
Minimum 15 12 19,2 4000 21920
Rata-rata 66,25 12 147,7375 4000 36157,42
SD 35,94701 0 127,0313 0 16134,24

Pada Tabel 23 dapat diketahui bahwa tali terpanjang yakni 100 m terdapat
pada Perairan Arakan dan Bentenan-Tumbak, tali terpendek yakni 15 m terdapat
di Pulau Nain. Luasan areal terbesar yakni 358,4 hektar yang berada di Pulau Nain
dan yang terkecil berada di Perairan Arakan. Sedangkan jumlah tenaga kerja per
hektar per tahun serta jumlah benih rumput laut per hektar yang ditanam adalah
sama untuk semua lokasi, dimana tenaga kerja 12 orang per hektar per tahun dan
bibit 4.000 kg per hektar per musim tanam.
Tabel 24 menunjukkan korelasi antar variabel dari keseluruhan variabel di
keempat wilayah budidaya rumput laut di Sulawesi Utara. Korelasi adalah nilai
yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier dua variabel atau indikator.
107

Tabel 24 Koefisien korelasi antar variabel yang dianalisis


Tali Tenaga Kerja Luas Benih Produksi
Tali 1 0 -0,90002 0 -0,85754
Tenaga Kerja 0 1 0 0 0
Luas -0,90002 0 1 0 0,920265
Benih 0 0 0 1 0
Produksi -0,85754 0 0,920265 0 1

Penafsiran korelasi statistik yakni 0,8 – 1 tingkat hubungan sangat kuat.


Dari Tabel 24 terlihat bahwa variabel input yakni panjang tali memiliki hubungan
linier negatif yang kuat dengan luas areal dan produksi rumput laut. Variabel luas
(input) memiliki hubungan linier positif yang kuat dengan variabel produksi
(output). Suatu diktum konvensi menyatakan bahwa korelasi tidak selalu berarti
sebab akibat. Korelasi yang ditunjukkan pada Tabel 24 jika dihubungkan dengan
pembahasan efisiensi menunjukkan bahwa panjang atau jumlah tali ris rumput laut
tidak selalu efisien dalam suatu luasan maupun untuk meningkatan produksi.
Pada Tabel 25 dan Gambar 34, perhitungan yang dilakukan dengan DEA
menunjukkan bahwa terdapat dua wilayah budidaya rumput laut yang tidak
mencapai tingkat efisien relatif 100%, yaitu Perairan Totok-Buyat dengan nilai
efisiensi relatif 0,89 (89%) dan Perairan Bentenan-Tumbak dengan nilai efisiensi
relatif 0,59 (59%). Dengan kata lain, nilai efisiensi relatif yang lebih tinggi
mencapai 100% yaitu di Pulau Nain dan Perairan Arakan.

Tabel 25 Skor DEA untuk unit non-moneter


No. DMU Score Rank Reference set (lambda)
1 Pulau Nain 1 1 1 1
2 Perairan Arakan 1 1 2 1
3 Totok-Buyat 0,889446 3 1 0,306031 2 0,454095
4 Bentenan-Tumbak 0,587036 4 1 0,22332 2 0,77668

Ini menunjukkan bahwa budidaya rumput laut di Pulau Nain dan Perairan
Arakan telah efisien dalam produksi dengan dibandingkan pada panjang tali,
tenaga kerja, luasan areal, dan benih. Atau dapat dikatakan bahwa budidaya
rumput laut di Sulawesi Utara yang memberi manfaat tinggi dalam hal produksi
adalah areal P. Nain dan Perairan Arakan.
108

Gambar 34 lebih menunjukkan posisi masing-masing DMU, dimana DMU


1 dan 2 (Perairan Gugus Pulau Nain dan Perairan Arakan) efisiensi relatifnya
adalah 1 (100%) dibandingkan dengan DMU 3 dan 4 (Teluk Totok-Buyat dan
Perairan Bentenan Buyat). Untuk lokasi yang belum efisien dapat dilakukan
dengan mengurangi indikator input. Referensi peningkatan efisiensi relatifnya
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 25.

3
DMU

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1


Efisiensi

Gambar 35 Skor unit pengambil keputusan.

Perairan Totok-Buyat direferensi pada Pulau Nain sebesar 0,306 (30,6 %)


dan pada Perairan Arakan sebesar 0,454 (45,5%). Untuk Perairan Bentenan-
Tumbak direferensi ke Pulau Nain sebesar 0,223 (22,3%) dan pada Perairan
Arakan sebesar 0,776 (77,6%). Selanjutnya berdasarkan skor DEA pada Tabel
26, DMU yang belum efisien harus mengurangi beberapa input.
Data dan proyeksi masing-masing DMU yang belum efisien dapat
dijelaskan bahwa jumlah tenaga kerja untuk budidaya rumput laut di Perairan
Totok-Buyat berdasarkan proyeksi 9,12 orang sehingga terdapat selisih 2,88
tenaga kerja dari 12 orang per hektar per tahun. Untuk jumlah benih diproyeksi
3.040,5 kg atau selisih 959,49 kg dari 4.000 kg per hektar per musim tanam.
Kedua input tersebut harus mengurangi sebanyak 23,99% dari keberadaan saat ini.
Perairan Bentenan-Tumbak, proyeksi panjang tali menjadi 81 meter, selisih 18,98
meter atau 18.98% dari panjang tali 100 meter.
109

Tabel 26 Proyeksi peningkatan potensi manfaat non-moneter


No. DMU I/O Score Data Projection Difference %
1 Pulau Nain 1
Tali 15 15 0 0,00%
Tenaga Kerja 12 12 0 0,00%
Luas 358,4 358,4 0 0,00%
Benih 4000 4000 0 0,00%
Produksi 63573 63573 0 0,00%
2 Perairan Arakan 1
Tali 100 100 0 0,00%
Tenaga Kerja 12 12 0 0,00%
Luas 19,2 19,2 0 0,00%
Benih 4000 4000 0 0,00%
Produksi 29797,33 29797,33 0 0,00%
3 Totok-Buyat 0,889446
Tali 50 50 0 0,00%
Tenaga Kerja 12 9,121512 -2,87849 -23,99%
Luas 118,4 118,4 0 0,00%
Benih 4000 3040,504 -959,496 -23,99%
Produksi 29339,36 32986,12 3646,756 12,43%
4 Bentenan-Tumbak 0,587036
Tali 100 81,01784 -18,9822 -18,98%
Tenaga Kerja 12 12 0 0,00%
Luas 94,95 94,95 0 0,00%
Benih 4000 4000 0 0,00%
Produksi 21920 37340,1 15420,1 70,35%

5.4 Rekomendasi Pengelolaan Budidaya Rumput Laut di Perairan


Gugus Pulau Nain
Kebijakan menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan,
organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud
sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.
Undang-undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007 mendefinisikan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
110

Undang-undang Republik Indonesia No. 31 tahun 2007 mendefinisikan


pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi
dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan
keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum
dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa secara umum kegiatan budidaya
rumput laut di perairan gugus Pulau Nain Kabupaten Minahasa Utara sudah baik
walaupun ada indikasi untuk pencapaian keberlanjutannya belum memadai.
Sebagai arahan pengambilan keputusan dalam kegiatan ini maka dibuat suatu
rangkuman dalam tabel berikut ini:
Tabel 27 Rekomendasi pengelolaan budidaya rumput laut di perairan Gugus
Pulau Nain berdasarkan aspek ekologi, biologi dan sosial ekonomi.
Aspek Kondisi aktual Rekomendasi Kebijakan
Ekologi 1. Kondisi arus lemah 1. Penataan areal budidaya dapat
mengoptimalkan fungsi arus terhadap
rumput laut yakni dengan cara
penggunaan 7 unit wadah ukuran 20 x
60 m2/ha.
2. Jarak areal budidaya dengan 2. Areal budidaya berjarak 200 m dari
permukiman penduduk belum diatur garis surut terendah
3. Informasi ektensifikasi dan 3. Budidaya rumput laut dapat dilakukan
intensifikasi usaha belum tersedia di areal sekitar batas karang, juga
secara vertikal sampai kedalaman 1
meter
Biologi 1. Pola tanam belum teratur 1. Penanggulangan seperti Tabel 15.
2. Prevalensi ice-ice 2. Dilakukan penghentian penanaman
setiap bulan Februari dan Maret agar
serangan penyakit bisa terhenti.
3. Budidaya dengan 2 jenis rumput laut 3. a. Diversifikasi jenis rumput laut yang
bermutu dan tahan penyakit.
b. Penanaman sebaiknya dimulai pada
bulan Agustus.
Sosial 1. Permukiman penduduk di atas air 1. Himbauan pembatasan pembangunan
Ekonomi rumah di atas air.
2. Ketersediaan dan penyerapan 2 & 3 Budidaya intensif ke arah usaha
tenaga kerja pada usaha budidaya agar tenaga kerja bisa diserap
rumput laut belum seimbang. sejalan peningkatan produksi.
3. Usaha meningkatkan produksi
dengan mempertahankan input
biaya.
111

Pada aspek ekologi untuk kondisi arus lemah, dimana hanya pada stasiun
VIII yang memenuhi syarat, dibutuhkan penataan areal agar arus dapat berjalan
dengan baik tanpa lebih dihambat oleh padatnya wadah budidaya. Penataan dapat
dilakukan dengan membatasi jumlah wadah sesuai kapasitas perairan, yakni 7
wadah berukuran 20 x 60 m2 per hektar. Jarak areal budidaya disarankan 200 m
dari garis surut terendah sebagai antisipasi apabila limbah domestik sudah
melewati ambang batas baku mutu air untuk pencemaran maupun syarat hidup
biota air laut, selain itu untuk menghindari konflik dengan peruntukkan lain dari
perairan Gugus Pulau Nain. Pengembangan usaha dapat dilakukan di bagian lain
perairan yang selama ini belum dimanfaatkan yakni di sekitar batas karang.
Pemanfaatan badan air yakni sampai kedalaman 1 meter untuk mengantisipasi
apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim.
Pada aspek biologi, pola tanam yang belum ada akan berpengaruhi pada
produksi, terutama terganggunya rumput laut oleh penyakit ice-ice, sehingga
disarankan dihentikan penanaman rumput laut pada bulan Maret. Penghentian
penanaman pada bulan Maret karena pada waktu itu pertumbuhan rendah.
Penghentian penanaman dilakukan dengan tujuan memutus secara biologis siklus
hidup epifit yang merupakan salah satu penyebab penyakit. Pengembangan jenis
rumput laut untuk mendapatkan jenis yang bermutu dan tahan penyakit agar dapat
meningkatkan produksi. Penanaman sebaiknya mulai bulan Agustus karena
pertumbuhan terbaik terjadi mulai bulan Agustus.
Pada aspek sosial, agar tidak terjadi konflik sosial terutama budaya
masyarakat maka yang dibutuhkan hanya himbauan tentang pembatasan
pembangunan rumah di atas air. Aspek ekonomi berhubungan dengan keuntungan
usaha maka rekomendasi yang diberikan adalah meningkatkan status usaha dari
tradisional ke semi intensif bahkan sampai ke usaha intensif. Usaha intensif yakni
berupa usaha profesional agar semua potensi dapat dimanfaatkan, dalam hal ini
potensi tenaga kerja. Peningkatanan usaha juga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat pesisir bahkan masyarakat pada umumnya.
113

6 KESIMPULAN DAN SARAN

Kebijakan pengelolaan perikanan budidaya rumput laut yang berkelanjutan


dapat diputuskan berdasarkan pemecahan masalah dari aspek ekologi, biologi dan
sosial ekonomi. Fakta penelitian dan saran kebijakan dari penelitian ini adalah:

6.1 Kesimpulan

Limbah domestik yang berasal dari permukiman penduduk di Pulau Nain


secara umum masih dalam ambang batas baku mutu air sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, serta Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51
Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut, dimana sebaran limbah
domestik inipun belum mencapai areal budidaya rumput laut di Perairan Gugus
Pulau Nain.
Berdasarkan kondisi lingkungan perairan Gugus Pulau Nain maka
diperkirakan daya dukung lingkungan budidaya rumput laut Kappaphycus
alvarezii yang akan mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan maupun masalah sosial sebaiknya
menggunakan ukuran wadah 20x60 m2 sebanyak 7 unit per hektar pada areal yang
sesuai seluas 1.075,2 hektar. Bibit yang digunakan berasal dari perairan Gugus
Pulau Nain karena masih memberikan pertumbuhan yang baik. Penentuan pola
tanam rumput laut berupa suatu siklus tanam membutuhkan data yang menyeluruh
minimal selama setahun.
Budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di Perairan Gugus Pulau
Nain secara ekonomi dan teknis memberikan manfaat positif pada tingkat harga
minimal Rp. 9.000/kg dengan tingkat bunga 12%. Hasil analisis efisiensi
relatifnya dengan menggunakan metode DEA antar lokasi budidaya rumput laut di
Wilayah Minahasa ternyata memperlihatkan bahwa pengelolaan budidaya rumput
laut pada Perairan Gugus Pulau Nain di Kabupaten Minahasa Utara relatif efisien
dibandingkan dengan kabupaten lain di Minahasa.
114

6.2 Saran

1. Produksi budidaya rumput laut dapat ditingkatkan efisiensinya dengan


menaikkan faktor input dimana faktor output tetap, atau faktor input tetap
sedangkan faktor input dinaikkan, atau secara bersamaan faktor output
dinaikkan seiring dengan faktor input diturunkan.
2. Budidaya rumput laut di Wilayah Minahasa perlu perbaikan secara ekologi,
biologi dan sosial ekonomi. Secara keseluruhan hasil penelitian ini perlu
dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan untuk pembudidayaan
rumput laut Kappaphycus alvarezii di perairan Pulau Nain Kabupaten
Minahasa Utara, dimana hasil penelitian ini dapat berfungsi dalam
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, serta pengendalian agar sumberdaya
pesisir Gugus Pulau Nain dapat dikelola secara berkelanjutan.
115

DAFTAR PUSTAKA

Aji N, Murdjani M. 1986. Budidaya rumput laut. Ditjen Perikanan Budidaya–


International Development Research Centre. Jakarta.
Amarullah. 2006. Pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Tamiang Kabupaten
Kotabaru untuk pengembangan budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii).
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Istitut Pertanian Bogor.
Amiluddin. 2007. Kajian pertumbuhan dan kandungan karagenan rumput
laut K.alvarezii yang terkena penyakit ice-ice di Perairan P.Pari Kepulauan
Seribu. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Istitut Pertanian Bogor.
Amin M et al. 2008. The Assessment of seaweed (Eucheuma cotonii) growing
practice of different systems and planting seasons in Bangkep Regency
Central Sulawesi. Indonesian Journal of Agriculture 1(2): 132-139.
Anggadiredja JT. 2007. Prospek pasar rumput laut Indonesia di pasar global.
Lokakarya Implementasi Program Berkelanjutan Sulawesi Selatan Menuju
Sentra Rumput Laut Dunia. Makasar, 7 Mei 2007.
Anggadiredja JT. 2011. Laporan forum rumput laut. Pusat Riset Pengolahan
Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anggadiredja, JT, Zatnika A, Purwanto H, Istini S. 2006. Rumput laut:
pembudidayaan, pengelolaan, dan pemasaran komoditas perikanan
potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Anna S. 2003. Model embedded dinamik ekonomi interaksi perikanan-
pencemaran [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Anonim. 2006. Crash program Provinsi Sulawesi Utara: Rencana pengembangan
budidaya rumput laut. http://www.sulut.go.id.
Armita D. 2011. Analisis perbandingan kualitas air di daerah budidaya rumput
laut dengan daerah tidak ada budidaya rumput laut, di Dusun Malelaya,
Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. [Skripsi].
Makasar: Universitas Hasanudin.
Aslan LM. 1993. Budidaya rumput laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Aslan LM. 2010. Mengembangkan potensi rumput laut di Wakatobi. FPIK
Unhalu. Lembar Informasi 2010-05: http://infosultra.com.
Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Satari R. 1996. Pengenalan jenis-jenis rumput laut
Indonesia. Puslitbang Oseonologi Lipi. Jakarta
Barbieri A, Simona M. 2003. Trophic evaluation of Lake Lugano related to
external load reduction: changes in phosphorus and nitrogen as well as
oxygen balance and biological parameters. Lakes & Reservoirs: Reseach
and Management 6 (1) : 37 – 47.
Barg UC. 1992. Guedelins for the Promotion of environmental management of
coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper. Rome.
116

Bengen DG. 2002. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, berkelanjutan dan
berbasis masyarakat. [Makalah]. Di dalam: Pelatihan Pengelolaan Wilayah
Pesisir Secara Terpadu. Makasar, 4 – 9 Maret 2002.
Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak realitas dan urgensi pengelolaan
berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Jakarta. Pusat Pembelajaran
dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
[BI] Bank Indonesia. Pola pembiayaan usaha kecil – Budidaya rumput laut
(Metode tali letak dasar). Direktorat Kredit, BPR dan UMKM.
Bird KT, Benson PH. 1987. Development in aquaculture and fisheries resources.
Elsevier. Amsterdam.
[BIROKSDANTB] Biro kerjasama dan sumberdaya alam NTB. 2010. Rumput
laut. Database perikanan, sektor perikanan dan kelautan.
http://biroksdantb. web.id/database_lengkap.php?id_co=123&id_cat=8.
[22 Januari 2012].
Blankenhorn SU. 2007. Seaweed farming and artisanal fisheries in an Indonesian
seagrass bed–Complementary or competitive usages? Vorgelegt im
Fachbereich 2 (Biologie/Chemie) der Universität Bremen als Dissertation
zur Erlangung des akademischen Grades eines Doktors der
Naturwissenschaften.
Blom G, Van Duin EHS, Lijklema L. 1994. Sediment resuspencion and light
condition in some shallow Dutch Lakes. Water Science and Technology.
Boyd CE. 1999. Management of shrimp ponds to reduce the eutrophication
potential of effluents. The Advocate, December 1999 : 12-13.
[BPM-PD] Badan pemberdayaan masyarakat – pemerintah Desa/Kabupaten
Minahasa Utara. 2010. Penyusunan Database Potensi Desa/Kelurahan
Pesisir. Desa Nain Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara.
[BPS] Badan pusat statistik Kabupaten Minahasa Utara. 2009. Minahasa Utara
dalam angka.
[BPS] Badan pusat statistik Provinsi Sulut. 2009. Sulawesi Utara dalam Angka.
Buschmann AH, Lopez AD, Medina A. 1996. A review of the environmental
effect and alternative production strategies of Marine Aquaculture in
Chile. Aquaculture Engineering Vol. 5 (6): 397 – 421.
Chester R. 1990. Marine geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London. Cole, G.A.
1988. Textbook of Limnology. 3th Ed. Waveland Press Inc. Illionis USA.
Clark RB. 1986. Marine pollution. Clarendon. Press. Oxford.
Cocon. 2011. Status rumput laut Indonesia, peluang dan tantangan. Indonesian
Aquaculture Society. www.aquaculture-mai.org/index.php?Option=com_
jdownloads&Itemid=87&task=finish&cid=85&catid=5&m=0.[3Jan 2012].
Crawford B. 2002. Seaweed farming: an alternative livelihood small-scale fishers?
Working paper. Coastal Resources Center, Unversity of Rhode
Island. http://www.google.com.
117

Dahuri R. 1998. Pendekatan ekonomi-ekologis pembangunan pulau-pulau kecil


berkelanjutan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal
Resources Management Project (CRMP) USAID.
Dahuri R. 1999. Analisis kebijakan dan program pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Makalah disampaikan pada Pelatihan manajemen
wilayah pesisir. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.
Dahuri R. 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara
terpadu. Edisi Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dawes CJ. 1981. Marine botany. John Wiley and Sons. Inc. New York.
Dawes CJ. 1998. Marine Botany 2nd ed. John Wiley and Sons. Inc. Canada. USA.
http://books.google.co.id/.
[DepTan] Departemen Pertanian. 2001. Cara budidaya dan pengolahannya.
Kanwil DKI Jakarta. Jakarta.
Dhargalkar VK, Pereira N. 2005. Seaweed: promising plant of the millennium.
Journal Science Culture, 71: 60-66.
Ditjend. Perikanan Budidaya KKP. 2004. Petunjuk teknis budidaya laut: rumput
laut Eucheuma cottonii. Jakarta.
Ditjend. Perikanan Budidaya KKP. 2005. Profil rumput laut Indonesia. Jakarta
Ditjend. Perikanan Budidaya KKP. 2010. Teknologi-budidaya-rumput-laut.
Jakarta. http://www.scribd.com/doc/ 55792855/.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pemberdayaan industri
perikanan nasional melalui pengembangan budidaya laut dan pantai.
Jakarta: Info Aktual Industri Perikanan. http://www.dkp.go.id/content.
php?c=1820.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi perikanan. Jakarta.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan perikanan dalam
angka. Jakarta.
[DKP Minut] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Utara. 2010.
Kelautan dan perikanan Kabupaten Minahasa Utara dalam Angka.
Doty MS. 1987. The Production and uses of Eucheuma. Case studies of seven
commercial seaweed resources. FAO Fish Techn. Paper 281. Rome.
[DPU Sulut] Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Utara. 2009. Studi pengembangan
infrastruktur kawasan minapolitan Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi Studi:
Desa Nain, Pulau Nain. Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Utara.
Ebert JD, Loewy AG, Miller RS, Schneiderman HA. 1973. Biology. Holt,
Rinehart and Winston, Inc. New York.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta.
118

Effendie MI. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.


Eklof JS, Henriksson R, Kautsky N. 2006. Effects of tropical open-water seaweed
farming on seagrass ecosystem structure and function. Marine ekology
progress series. Vol. 325: 73–84.
Eswaran K, Ghosh PK, Mairh OP. 2002. Experimental field cultivation of
Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex. P. Silva at Mandapam region.
Seaweed Research and Utilisation, 24(1): 67-72.
Fardiaz S. 1992. Polusi air dan udara. Kanisius. Yogyakarta.
Fauzi A. 2003. Penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil. Disampaikan
pada Seminar Promosi Investasi Pulau-Pulau Kecil. Denpasar, Bali 11
Sept. 2003.
Fauzi A. 2005. Kebijakan perikanan dan kelautan: isu, sintesis dan gagasan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Fauzi A. 2010. Ekonomi perikanan: teori, kebijakan, dan pengelolaan. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi A, Anna S. 2002. Data envelopment analysis (DEA) kapasitas sumberdaya
perikanan pesisir. Jurnal Pesisir dan Lautan 4 (3) : 43-55.
Fauzi A, Anna S. 2003. Assesment of sustainability of integrated coastal
management projects. A CBA-DEA Approach. Pesisir dan Lautan 2003.
Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan sumber daya perikanan dan kelautan.: untuk
analisis kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Gerung G. 2006. Seaweeds from Manado Bay Indonesia. Advances in Seaweed
Cultivation and Utilisation in USA. Phang, Critchley & Ang eds.
Proceedings of a workshop held in conjuction with the 7th Asian Fisheries
Forum, Penang, Malaysia, December 2004. University of Malaysia
Research Centre. p 35-40.
Gerung G, Ngangi E. 2009. Pengembangan rumput laut berdasarkan seleksi bibit
alam untuk peningkatan produksi. Laporan Penelitian. FPIK Unsrat.
Manado.
Gerung G, Ngangi E, Mudeng J, Manengkey H, Manoppo L. 2009. Uji
pertumbuhan dan pengembangan budidaya rumput laut Kappaphycus
alvarezii di Pantai Ratatotok Minahasa. Laporan Penelitian FPIK Unsrat
bekerjasama dengan PT Newmont Minahasa Raya.
Gerung G, Ohno. 1997, Growth rates of Eucheuma denticulatum (Burman)
Collins et Harvey and Kappaphycus striatum (Schmitz) Doty under
different conditions in warm waters of Southern Japan. Journal of Applied
Phycology. 9 : 413-415
Gerung G, Soeroto B, Ngangi E. 2008. Study on the environment and trials
Ccultivation of Kappaphycus and Eucheuma in Nain Island, Indonesia.
IFC PENSA.
119

Glenn EP, Doty MS. 1990. Growth of the seaweeds Kappaphycus alvarezii,
Kappaphycus striatum and Eucheuma denticulatum as affected by
environment in Hawaii. Aquaculture, 84: 245-255.
Goldberg P, Chen ZY, O’Connor W, Walters R, Ziock H. 2001. CO2 mineral
sequestration studies in US. Presented at the First National Conference on
Carbon Sequestration, Washington DC. May 14-17.
Gross MG. 1993. Oceanography. A view of earth. Sixth Edition. Prentice-Hall
Inc. New Jersey.
Hardjowigeno S, Widiatmaka AS, Yogaswara. 2001. Kesesuaian lahan dan
Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Hartoto. 2009. Penelitian deskriptif. LPM Penalaran Univ. Negeri Makasar.
http://www.penalaran-unm.org.
Helfinalis. 2005. Kandungan total suspended solid dan sedimen dasar di Perairan
Panimbang. Makara Sainsm Vol 9(2).
Herlinah, Rachmansyah, Asaad AIJ. 2009. Tingkat penyerapan nitrat oleh rumput
laut Kappaphycus alvarezii Mdy. Agency for Marine and Fisheries
Research & Development Digital Library – Pdii Lipi.
http://www.sidik.litbang.kkp. go.id/index.php/searchkatalog/byId/418. [7
Januari 2012)
Hikmat H. 2002. Strategi pemberdayaan masyarakat. Humaniora Utama Press.
Bandung.
Hikmayani Y, Purnomo AH. 2006. Analisis pemasaran dan kelembagaan rumput
laut di Indonesia. Makalah disampaikan pada Temu Bisnis Rumput Laut di
Makassar 1 September 2006, 21 pp.
Horowitz A, Horowitz S, 2000. Microorganisms and feed management in
aquaculture. Global Aquaculture Alliance, The Advocate, Vol. 3, Issue 2,
April 2000, p:33-34.
Hurtado AQ, Ponce. 1992. Cage culture of Kappaphycus alvarezii var. Tambalang
(Gigartinales, Rhodophycae). J. Applied Science, Kluwer Academic
Publisher. Belgium, 4:311-313.
Hurtado AQ, Critchley AT, Trespoey A, Lhonneur GB. 2005. Occurrence of
polysiphinia epiphytes in Kappaphycus farms at Calaguas Island,
Camarines Norte. Philippines.
Hynes HBW. 1974. The Ecology running water. University of Toronto Press
Iksan 2005. Kajian pertumbuhan, produksi rumput laut (Eucheuma cotonii), dan
kandungan karaginan pada berbagai bobot bibit dan asal thallus di Perairan
Desa Guruaping Oba Maluku Utara. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Istitut Pertanian Bogor.
Irawan MA. 2007. Cairan tubuh, elektrolit dan minael. Sports science brief. polton
sports scinece and performance lab. Vol. 01 (2007) No. 01.
www.pssplab.com.
120

Johnsen RI, Nielsen OG, Lunestad BT. 1993. Environmental distribution of


organik waste from a marine fish farm. Aquaculture 118:29–224.
Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput laut jenis algae: reproduksi, produksi,
budidaya dan pasca panen. Proyek studi potensi sumberdaya alam
Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kamlasi. 2008. Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya
rumput laut K.alvarezii di kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang
NTT. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Istitut Pertanian Bogor.
Kenchington RA, Hudson ET. 1984. Coral reef management handbook.
UNESCO, Paris.
Kennish MJ. 2001. Practical hand book of marine science. Third edition. Institute
of Marine & Coastal Sciences Rutgers Univ. New Brunswick, New Jersey.
Keppel CR. 2002. Prospek pengembangan sumberdaya rumput laut di Sulawesi
Utara. J.Perikanan Universitas Sam Ratulangi Vol 4. Manado. Hal 38–42.
Keppel CR. 2008. Prospek pengembangan sumberdaya rumput laut di Sulawesi
Utara. Makalah dalam Temu usaha rumput laut. Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Sulawesi Utara. Manado.
Kevern NR. 1982. A Manual of limnological methods. Departement of Fisheries
and Wildlife Michigan State University. Michigan.
Kibria G, Nugegoda D, Lam P, Fairclough R. 1996. Aspects of phosphorus
pollution from aquaculture. Naga The ICLARM Quarterly,July1996,20-24.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2009. Perubahan iklim
di Indonesia. http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?option=com_
content &view=article&id=85&Itemid=78. 9 Januari 2012.
Lasut MT, Mamuaja GE, Watung VNR. 1992. Studi pertumbuhan rumput laut
Eucheuma cotonii yang dibudidayakan. Jurnal Fakultas Perikanan Unsrat
No. II(1). Hal 5 – 10.
Lato. 2007. Koresponden pribadi. Sejarah dan budaya Desa Nain.
Lee CS. 1997. Constraints and government intervention for the development of
aquaculture in developing countries. Aquaculture economics and
managements, 1(1): 65 – 71.
Lee TM, Chang YC, Lin YH. 1999. Differences in physiological responses
between Winter and Summer (Gracilaria) teneuistipitaa to Varying
Temperatur. Botany Bulletin Academy Singapore. 49: 93 – 100.
Lee CD, Wang SB, Huo CL. 1978. Benthic and fish as biological indicator of
water quality with references of water pollution in developing countries.
Modern Biology Series. Bangkok.
Lunning K. 1990. Seaweed the environment, biogeography, and ecophysiology.
John Wiley and sons, Inc. New York
121

Mairh OPU, Soe-Htun, Ohn M, 1986. Culture of Eucheuma striatum


(Rhodophyta, Solieriance) in sub tropical water of Shikoku. Japan. Botany
Marine, 29: 185-191.
Makatupan J. 2008. Pertumbuhan beberapa jenis alga laut pada rakit apung
dengan kedalaman berbeda di perairan Pulau Nain Kabupaten Minahasa
Utara Provinsi Sulawesi Utara. [Tesis]. Manado: Program Pascasarjana
Unsrat.
Mandagi V, White I. 2005. A new technique for seaweed cultivation to minimise
impacts on tropical, coastal environments. Centre for Resource and
Environmental Studies Australian National University, Canberra ACT
0200 Australia
Manembu IS, Ngangi ELA, Mudeng J. 2009. Efektivitas reef ball dalam
pembentukan sistem ekologi terumbu karang bagi pengembangan
ekowisata dan perikanan marikultur. Laporan Penelitian. FPIK Unsrat.
Manado
Masitasari. 2009. Analisis ruang ekologis permanfaatan sumberdaya pulau-pulau
kecil untuk budidaya rumput laut (Studi kasus Gugus Pulau Salabangka,
Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah). [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Istitut Pertanian Bogor.
McDonald ME, Tikkanen CA, Axler RP, Larsen CP, Host G. 1996. Fish
simulation culture-model (FISH-C): a bioenergetis based model for
aquaculture waste load apllication. Aquaculture engieneering, 15(4):243-
256.
Meade JW. 1989. Aquaculture management. Chapman & Hall – Thompson
Publishing. New York.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku mutu air laut. Keputusan Meneg.
KLH No 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004, Jakarta : 32 hal.
Mezuan. 2007. Kajian kapasitas asimilasi Perairan Marina Teluk Jakarta. [Tesis].
Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mondoringin LLJJ. 2005. Kajian ekologi-ekonomi usaha pembudidayaan rumput
laut di kawasan terumbu karang P. Nain Kabupaten Sulawesi Utara.
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Istitut Pertanian Bogor.
Montoya R, Velasco M. 2000. Role of bacteria on nutritional and management
strategies in aquaculture systems. Global Aquaculture Alliance, The
Advocate, Vol. 3, Issue 2, April 2000, p:35-38.
Mubarak. 1978. Kemungkinan-kemungkinan budidaya rumput laut di Kepulauan
Aru, Maluku. Simposium modernisasi perikanan rakyat. Jakarta. Lembaga
Penelitian Perikanan Laut. Badan Litbang Pertanian Departen Pertanian.
Mubarak H. 1982. Tehik budidaya rumput laut. Balai Pen.Perikanan Laut. Jakarta.
Mudeng JD. 2007. Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma denticulatum dan K.
alvarezii yang dibudidaya pada kedalaman berbeda. Jurnal Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Unsrat Vol. III:(2).
122

Neish IC. 2005. Agronomy, biology and cultivation system. Handbook Vol. 1. The
Eucheuma Seaplant: Predators, Diseases, Weeds and other Issues.
Technical Monograph No. 0505-10A. IFC-PENSA, Makassar. Translated
by Matulessi.
Ngangi ELA. 2001. Kajian intensifikasi dan analisis finansial usaha budidaya
rumput laut Kapaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak Kecamatan
Belang Provinsi Sulawesi Utara. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Ngantu R. 2008. Pertumbuhan berat maksimum dan waktu optimum pertumbuhan
beberapa jenis alga laut dalam wadah budidaya di perairan Pulau Nain
Sulawesi Utara. [Tesis]. Manado: Program Pascasarjana Unsrat.
Ngurah Rai Sedana IG, Detaq JS, Pontjoprawiro S, Aji N. 2006. Ujicoba
budidaya rumput laut di pilot farm. http://www.fao.org.
Novonty V, Olem H. 1994. Water quality, prevention, identification and
management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold. New York.
Nugroho SS. 1995. Analisis DEA dan pengukuran efisiensi merk, Jurnal Kelola
Gadjah Mada Business News No.8:IV
Nurdjana ML. 2001. Prospek sea farming di Indonesia. Pros. Seminar Nasional
Pengembangan Budi Daya Laut Menuju Terciptanya Sea Farming yang
Berkelanjutan. Jakarta, 7-8 Maret 2001. Hal. 1 – 9.
Pandelaki LV. 2011. Analisis potensi pengembangan budidaya rumput laut di
Pulau Nain Kecamtan Wori Kabupaten Minahasa Utara. [Tesis]. Manado:
Program Pasca Sarjana, Universitas Sam Ratulangi.
Parenrengi A, Syah R, Suryati E. 2008. Budidaya rumput laut berkelanjutan
dengan dukungan teknologi penyediaan benih secara in vitro. Makalah
pada Gelar Teknologi Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Manado.
Parenrengi A, Syah R, Suryati E. 2010. Budidaya rumput laut penghasil karaginan
(karaginofit). BRPB Air Payau. Balitbang Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Pariwono JI, Sanusi HS, Rahardjo S, Chaerudin A, Affandi R, Muchsin I. 1989.
Pengaruh pasang surut terhadap penyebaran limbah dalam sistem sungai di
DKI Jakarta. Buletin Penelitian IPB. Lembaga Penelitian IPB, Bogor.
Paula EJ, Pereira RTL. 2003. Factors affecting growth rates of Kappaphycus
alvarezii (Doty) Doty ex P. Silva (Rhodophyta: Solieracae) in sub tropical
waters of Sao Paulo State, Brazil. Proceeding on International Seaweed
Symposium, 17: 381-388.
Peavy HS, Rowe DR, Tchobanoglous G. 1986. Environmental engineering.
McGrow-Hill Book Company. Singapore.
Penniman CA, Mathieson AC, Penniman CE. 1986. Reproduktive phenology and
growth of Gracilaria tikvahiae McLachlan (Gigartinales, Rhodophyta) in
the Great Bay Estuary, New Hamsphire. Botany Marine. 29: 147-154.
123

Pemerintah Republik Indonesia (2001) PP No. 82 Tahun 2001 tentang


pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, Jakarta.
Percella MB. 1985. Investigation of rational effluent and stream standards for
trofical countries. AIT. Bangkok.
Perkins EJ. 1974. The biology of estuaries and coastal water. Academi Press Co.
New York.
Permono I. 2000. Analisis efisiensi industri perbankan di Indonesia (Studi Kasus
Bank-bank Devisa di Indonesia tahun 1991-1996), Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Indonesia Vo1.15, No.1, 1-3
Pescod MB. 1973. Invfestigation of national efluent and stream standar for
tropical countries. AIT. Bangkok.
Pong-Masak PR, Asaad AIJ, Hasnawi, Makmur. 2008. Analisis kesesuaian lahan
untuk pengembangan budidaya rumput laut di Gusung Batua, Pulau Badi
Kabupaten Pangkep. Laporan kegiatan responsive research. Konsorsium
program mitra bahari Sulawesi Selatan.
Pramudianto B. 1999. Sosialisasi PP No.19/1999 tentang pengendalian
pencemaran dan atau perusakan laut. Prosiding seminar sehari teknologi
dan pengelolaan kualitas lingkungan pesisir dan laut, Bandung: Jurusan
Teknologi Lingkungan ITB.
Puslitbangkan. 1991. Budidaya rumput laut (Eucheuma sp.) dengan rakit dan
lepas dasar. Puslitbang Perikanan, Balitbang Pertanian. Jakarta. 9 hal.
Rachman IA. 2010. Sosial kependudukan masyarakat di pulau-pulau kawasan TN
Bunaken. file:///D:/PULAU%20NAIN/Pulau_Naen.html.
Rachmansyah. 2004. Analisis daya dukung lingkungan perairan Teluk Awarange,
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi pengembangan budidaya bandeng
dalam keramba jaring apung. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Istitut Pertanian Bogor.
Rafni R. 2004. Kapasitas asimilasi beban pencemar di Perairan Teluk Jobokuto
Kabupaten Jepara Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Istitut Pertanian Bogor.
Rahardjo M. 2003. Analisis kebijakan pengelolaan perikanan budi daya laut di
Kepulauan Seribu (Kasus Kelurahan Pulau Kelapa) [Disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rajab LOA. 2005. Analisis beban pencemar dan kapasitas asimilasi serta
penyususnan strategi pengelolaan perairan Teluk Kendari. [tesis]. Bogor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rauf A. 2007. Pengembangan terpadu pemanfaatan ruang Kepulauan Tanakeke
berbasis daya dukung. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor
124

Retraubun AWS. 2009. Negara kepulauan, mengidentifikasi pulau. Urgensi


ecosystem approach dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil di
Indonesia. Buku pengembangan wilayah pesisir sebagai solusi kehidupan
Bangsa Indonesia ke depan. Round table discussion majelis guru besar -
ITB, 24-25 Juli 2009. http://www.sith.itb.ac.id.
Rorrer GL and DP Cheney. 2004. Bioprocess engineering of cell and tissue
cultures for Marine seaweeds. Aquaculture engineering 32: 11 – 41.
Saipul. 2007. Musim yang kurang bersahabat. Jasuda. http://www.jasuda.net.
Schaduw JNW, Yulianda F, Bengen DG, Setyobudiandi I. 2011. Pengelolaan
ekosistem mangrove berbasis mitigasi (Kasus pulau-pulau kecil Taman
Nasional Bunaken). Bahan seminar Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Silvert W. 1992. Assessingenvironmental impacts of finfish aquaculture in marine
waters. Aquaculture 107: 67-79.
Simbala CMS. 1991. Pengaruh asal bibit terhadap laju pertumbuhan dan
kandungan karaginan Euchema spinosum yang dikultur pada rakit apung.
[Skripsi]. Manado: Fakultas Perikanan Unsrat.
Siregar S, Muttaqin Z. 2011. Produksi rumput laut nasional di atas target.
Indonesia finance today, Fisheries & Farming. http://www.indonesia-
financetoday. com.
Soutwick CH. 1976. Ecology and quality of our environmental. 2nd Edition, D.
Van Nostrand Company. New York.
Suharsono. 2005. Status pencemaran di Teluk Jakarta dan saran pengelolaannya.
Interaksi daratan dan lautan. Jakarta. LIPI press.
Sulistijo. 2002. Penelitian budidaya rumput laut (Alga makro/Seaweed) di
Indonesia. Pidato pengukuhan APU Bidang Akuakultur Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Jakarta.
Sunaryat. 2004. Pemilihan lokasi dan budidaya rumput laut. Makalah pelatihan
INBUDKAD Budidaya Kerapu Tanggal 24 – 29 Mei 2004 di BBL
Lampung. DKP, Dirjen Budidaya, BBL. Lampung.
Sutisna. 2007. Analisis beban pencemaran dan kapasitas asimilasi kawasan
perairan pelabuhan sunda kelapa Jakarta. [Tesis]. Program Studi Ilmu
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. IPB. Bogor
Thirumaran G, Anantharaman P. 2009. Project update seaweed culture. Marine
biology, Annamalai University. Parangipettai-608 502, Tamil Nadu, India.
World Journal of Fish and Marine Sciences 1 (3): 144-153.
Tim Jasuda. 2010. Situs jaringan sumberdaya informasi dan teknologi rumput laut
Indonesia: Menu tanya jawab. www.JaSuDa.Net. Makassar.
Tjaronge M, Pong-Masak PR. 2006. Performansi biologis rumput laut
Kappaphycus alvarezii pada lingkungan perairan berbeda. Kajian keragaan
dan pemanfaatan lingkungan perairan budidaya. Pusat riset perikanan
budidaya. hal. 121-127.
125

Tony S. 2008. Struktur komunitas dan populasi serta kajian kolonisasi dan
rekolonisasi makroalga di perairan Pulau Nain Sulawesi Utara. [Tesis].
Manado: Program Pascasarjana Unsrat.
Turner GE. 1988. Codes of Practice and manual of procedures for consideration
on introduction and transfer of marine and freshwater organisms, EIFAC/
CECPI, Occasional Paper No. 23.
Ulaen AJ, Nagatsu K, Ohno R. 2006. Survei tentang komunitas maritim di Pulau
Nain. http://sulawesi.cseas.kyoto-u.ac.jp
UNEP. 1993. Training Manual of the quantity and type of land-based pollutant
discharges into the marine and coastal environment. RCU/EAS Technical
Report Series 1. Bangkok, p 65.
Wantasen A. 2007. Kajian pemanfaatan pulau kecil berbasis daya dukung
lingkungan (Studi kasus Pulau Talise di Minahasa, Sulawesi Utara)
[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Istitut Pertanian Bogor.
Wardoyo STH. 1978. Kriteria kualitas air untuk keperluan pertanian dan
perikanan. Prosiding seminar pengendalian pencemaran air, hal 293-300.
Wartapedia. 2010. Panduan usaha kebun bibit rumput laut. http://wartapedia.
com/edukasi/panduan/448-panduan-usaha-kebun-bibit-rumput-laut.html.
[22 Januari 2012].
Widjaja F. 1994. Komposisi jenis, kelimpahan dan penyebaran plankton laut di
Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Fakultas Perikanan IPB.
Winberg P, Skropeta D, Ullrich A. 2011. Seaweed cultivation pilot trials –
towards culture systems and marketable products. Rural Industries
Research and Development Corporation Level 2, 15 National Circuit
Barton Act 2600.
Yulianto K, Mira S. 2009. Budidaya makro alga Kappaphycus alvarezii (Doty)
secara vertikal dan gejala penyakit “ice-ice” di perairan Pulau Pari.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35(3):323-332.
Zahra (tanpa tahun). Laju pertumbuhan rumput laut Indonesia. E-book:
www.Jasuda.net.
Zatnika A, Istini S. 1995. Produksi rumput laut dan pemasarannya di Indonesia.
FAO Corporate Document Repository. http://www.fao.org/docrep/field
/003/AB882E/AB882E15.htm. [22 Januari 2012]
Lampiran 1 Kualitas air dan pengendalian pencemaran air (PP No 82 tahun 2001)
Parameter Satuan Kelas
I II III IV
Fisika
0
Suhu C Dev 3 Dev 3 Dev 3 Dev 5
Residu terlarut mg/l 1000 1000 1000 2000
Residu tersuspensi mg/l 50 50 400 400
Kimia
pH mg/l 6-9 6-9 6-9 6-9
BOD mg/l 2 3 6 12
COD mg/l 10 25 50 100
DO mg/l 6 4 3 0
PO4-P mg/l 0.2 0.2 2 5
NO3-N mg/l 10 10 20 20
NH3-N mg/l 0.5 (-) (-) (-)
Cadmium mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01
Krom (VI) mg/l 0,05 0,05 0,05 1
Tembaga mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2
Besi mg/l 0,3 (-) (-) (-)
Timbal mg/l 0,03 0,03 0,03 1
Mangan mg/l 0,1 (-) (-) (-)
Seng mg/l 0,05 0,05 0,05 2
Klorida mg/l 600 (-) (-) (-)
Nitrit mg/l 0,06 0,06 0,06 (-)
Mikrobiologi
Fecal coliform Jml/100ml 100 1000 2000 2000
Total coliform Jml/100ml 1000 5000 10000 100000
Lampiran 2 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut
No Parameter Satuan Baku Mutu
Fisika
1 Kecerahana M Coral : >5
Mangrove : -
Lamun : >3
2 Kebauan - Alami3
3 Kekeruhana NTU <5
4 Padatan tersuspensi totalb Mg/l Coral : 20
Mangrove : 80
Lamun : 20
5 Sampah - Nihil1(4)
6 Suhuc 0
C Alami
7 Lapisan minyak5 - Nihil 1(5)
Kimia
1 pHd - 7 – 8.5 (d)
2 Salinitase %o Alami3(e)
Coral : 33-34(e)
Mangrove : s/d 34 (e)
Lamun : 33-34(e)
3 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4 BOD5 mg/l 20
5 Amonia total (NH3-N) mg/l 0.3
6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.015
7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0.008
8 Sianida (CN-) mg/l 0.5
9 Sulfida (H2S) mg/l 0.01
10 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0.003
11 Senyawa fenol total mg/l 0.002
12 PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0.01
13 Surfaktan (detergen) mg/l MBAS 1
14 Minyak & lemak mg/l 1
15 Pestisidaf µg/l 0.01
16 TBT (tributil tin)7 µg/l 0.01
Logam terlarut
17 Raksa (Hg) mg/l 0.001
18 Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0.005
19 Arsen mg/l 0.012
20 Kadmium (Cd) mg/l 0.001
21 Tembaga (Cu) mg/l 0.008
22 Timbal (Pb) mg/l 0.008
23 Seng (Zn) mg/l 0.05
24 Nikel (Ni) mg/l 0.05
Biologi
1 Coliform (toltal)g MPN/100 ml 1000(g)
2 Patogen Sel/100 ml Nihil1
3 Plankton Sel/100 ml Tidak bloom6
Radio Nuklida
1 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
Lampiran 3 Hasil-hasil penelitian pertumbuhan rumput laut
No Tahun Author Jenis LPH (%) Keterangan
1 1978 Mubarak E. spinosum 2,38 P. Aru
2 1978 Sulistijo et al. E. spinosum 2,08–3,71 in Zahra (tt); P. Aru
3 1981 Atmadja E. spinosum 4,34 in Zahra (tt); Bali
4 1984 Sulistijo E. spinosum 5,4–8 in Zahra (tt); Batu Nampar
5 1990 Glenn & Doty K. alvarezii 5,06 Hawaii
6 1991 Simbala E. spinosum 3,2 – 3,8 P. Nain
7 1992 Hurtado & Ponce K. alvarezii 3,72 – 7,17 Kurung apung
8 1992 Lasut et al. E. cotonii 7 Selat Lembeh
9 1997 Gerung & Ohno E. denticulatum 2,7 Strain coklat
10 1997 Gerung & Ohno K. alvarezii 4,5 Strain hijau
11 1998 Prisdiminggo et al. - 2,97-3,99 in Mondoringin (2005);
Agustus – Desember;
12 1998 Prisdiminggo et al. - 2,35-3,89 in Mondoringin (2005);
Mei- Oktober; Teluk Ekas
13 2001 Ngangi K. alvarezii 3,1 – 4,1 Bentenan-Tumbak,
Minahasa
14 2002 Eswaran et al. K. alvarezii 5,43
15 2003 Paula & Pereira K. alvarezii 3,6–8,9 Strain coklat; Brasil
16 2003 Paula & Pereira K. alvarezii 5,5 Strain coklat,hijau; Filipina
17 2006 Ngurah et al. 4–6 Tambolong, NTT
18 2006 Tjaronge & Pong- K. alvarezii 2,62 varitas coklat; Kab.
Masak Pinrang
19 2006 Tjaronge & Pong- K. alvarezii 2,76 varietas hijau; Kab.
Masak Pinrang
20 2008 Amin et al. E. cottonii 4,4–4,7 Sulawesi Tengah
21 2009 Thirumaran & - 6,11 India
Anantharaman
Lampiran 4. Sidik ragam pertumbuhan rumput laut di Gugus Pulau Nain pada
tahun 2007 – 2008

a. Di areal budidaya
Sumber Keragaman
(Laju Pertumbuhan Harian) JK db KT Fhit Ftab
Perlakuan 3,980112 2 1,990056 0,348743 3,354131
Galat 154,072 27 5,706369
Total 158,0521 29
(Pertumbuhan Total pada
Kedalaman Berbeda)
Perlakuan 110017,3 2 55008,64 0,178944 3,354131
Galat 8300008 27 307407,7
Total 8410026 29

b. Di luar areal budidaya


Sumber Keragaman
(Laju Pertumbuhan Harian) JK db KT Fhit Ftab
Perlakuan 0,113786 2 0,056893 0,074074 3,354131
Galat 20,73747 27 0,768054
Total 20,85125 29
(Pertumbuhan Total pada
Kedalaman Berbeda)
Perlakuan 101944,3 2 50972,14 0,070136 3,354131
Galat 19622535 27 726760,5
Total 19724479 29

c. Di dekat permukiman penduduk


Sumber Keragaman
(Laju Pertumbuhan Harian) JK db KT Fhit Ftab
Perlakuan 0,128784 2 0,064392 1,56972 3,68232
Galat 0,61532 15 0,041021
Total 0,744104 17
(Pertumbuhan Total pada
Kedalaman Berbeda)
Perlakuan 8,32 2 4,16 0,007034 3,68232
Galat 8870,8 15 591,3867
Total 8879,12 17
Lampiran 5 Perhitungan kesesuaian areal budidaya rumput laut di perairan Gugus
Pulau Nain
Lampiran 6 Kebutuhan investasi dan modal kerja budidaya K. alvarezii
Satuan Jumlah Harga/unit Jumlah
No. Uraian
Unit Unit (Rp.000) (Rp.000)
1. Biaya Investasi Infrastruktur
1.1 Kebutuhan bahan
a) Tali PE 10 mm Roll 1 350 350
b) Tali PE 8 mm Roll 3 300 900
c) Tali PE 4 mm Roll 33 125 4.125
d) Pelampung fibre Ø 30 cm Buah 9 35 315
e) Pelampung styrofoam Y-50 Buah 100 4 400
f) Pelampung botol plastik Buah 6.600 0,35 2.310
g) Jangkar Buah 6 100 600
h) Pemberat Buah 12 10 120
Biaya investasi bahan infrastruktur 9.120
1.2 Biaya/upah pemasangan
Org/hari 4 50 200
infrastruktur, 2 org x 2 hari
Biaya investasi infrastruktur 9.320
1.3 Biaya pembuatan gudang Unit 1 2.500 2.500
Biaya pembuatan para-para Unit 1 1.000 1.000
Biaya investasi infrastruktur 12.820
1.4 Sarana penunjang
a) Perahu motor Unit 1 5.000 5.000
b) Perahu kerja Buah 1 1.000 1.000
c) Terpal plastik Buah 1 250 250
d) Alat-alat kerja Set 1 100 100
Biaya Sarana Penunjang 6.350
JUMLAH KEBUTUHAN INVESTASI 19.170
2 KEBUTUHAN OPERASIONAL
2.1 Biaya Tenaga Kerja 6 siklus
a) Melilit t. rafia, 2 org x 2 hari Org/hari 24 50 1.200
b) Mengikat bibit,5 org x 1 Org/hari 30 50
hari 1.500
c) Pasang t. ris, 2 org x 2 hari Org/hari 24 50 1.200
d) Pmeliharaan, 1 org x 45 Org/hari 270 50
hari 13.500
e) Panen, 2 org x 2 hari Org/hari 24 50 1.200
f) Pasca panen, 1 org x 3 hari Org/hari 18 50 900
Biaya tenaga kerja 19.500
2.2 Bibit
a) Harga bibit Ton .2,8 4,5 12.600
b) Kebutuhan tali rafia Roll 12 120 1.440
Kebutuhan bibit dan pengikatnya 14.040
2.3 Lain-lain
a) Karung Buah 500 3 1.500
b) Biaya makan pekerja Org/hari 120 5 600
c) BBM Liter 405 6 2.430
Biaya lain-lain 4.530
JUMLAH KEBUTUHAN OPERASIONAL PER SIKLUS TANAM 38.070
3 KEBUTUHAN DANA (INVESTASI INFRASTRUKTUR+ 57.240
BIAYA OPERASIONAL
Lampiran 7 Proyeksi rugi laba budidaya rumput laut K. Alvarezii per hektar
Tahun I Tahun II
Variabel Siklus tanam Siklus tanam
I II III IV V VI I II III IV V VI
1. Penjualan 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400 53.390.400
2. Biaya operasional 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000 38.070.000
3. Laba sebelum bunga 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400
4. Bunga 12%/6 siklus 769.767 642.127 511.922 379.100 243.609 105.393 0 0 0 0 0 0
5. Laba sebelum pajak 15% 14.550.633 14.678.273 14.808.478 14.941.300 15.076.791 15.215.007 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400 15.320.400
6. Laba bersih setelah pajak 12.368.038 12.476.532 12.587.206 12.700.105 12.815.272 12.932.756 13.022.340 13.022.340 13.022.340 13.022.340 13.022.340 13.022.340
15%
Lampiran 8 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii per hektar per tahun
Tahun Cost Benefit DF PVC Project PVB Project Net PVB NPV 12% B/C Ratio
12% Project
0 19.170.000 0 1 19.170.000 0 -19.170.000 -19.170.000 0
1 247.590.000 320.342.400 0.82 203.023.800 262.680.768 72.752.400 59.656.968 1.293842
2 228.420.000 320.342.400 0,67 153.041.400 214.629.408 91.922.400 61.588.008 1.402427
Jumlah 495.180.000 640.684.800 375.235.200 477.310.176 145.504.800 102.074.976
B/C 1.272029
Lampiran 9 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun penurunan harga jual Rp. 10.000/kg
Tahun Cost Benefit DF PVC Project PVB Project Net PVB NPV 12% B/C Ratio
12% Project
0 19.170.000 0 1 19.170.000 0 -19.170.000 -19.170.000 0
1 247.590.000 266.952.000 0.82 203.023.800 218.900.640 19.362.000 15.876.840 1.078201
2 228.420.000 266.952.000 0,67 153.041.400 178.857.840 38.532.000 25.816.440 1.168689
Jumlah 495.180.000 533.904.000 375.235.200 397.758.480 38.724.000 22.523.280
B/C 1.060024
Lampiran 10 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun kenaikan biaya produksi 25%
Tahun Cost Benefit DF PVC Project PVB Project Net PVB NPV 12% B/C Ratio
12% Project
0 19.170.000 0 1 19.170.000 0 -19.170.000 -19.170.000 0
1 304.695.000 320.342.400 0.82 249.849.900 262.680.768 15.647.400 12.830.868 1.051354
2 285.525.000 320.342.400 0,67 191.301.750 214.629.408 34.817.400 23.327.658 1.121941
Jumlah 609.390.000 640.684.800 460.321.650 477.310.176 31.294.800 16.988.526
B/C 1.036905
Lampiran 11 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun pada tingkat bunga yang berbeda
Tahun Cost Benefit DF PVC Project PVB Project Net PVB NPV 24% B/C Ratio
24% Project
0 19.170.000 0 1 19.170.000 0 -19.170.000 -19.170.000 0
1 247.590.000 320.342.400 0.81 200.547.900 259.477.344 72.752.400 58.929.444 1.293842
2 228.420.000 320.342.400 0.65 148.473.000 208.222.560 91.922.400 59.749.560 1.402427
Jumlah 495.180.000 640.684.800 368.190.900 467.699.904 145.504.800 99.509.004
B/C 1.270265
Tahun Cost Benefit DF PVC Project PVB Project Net PVB NPV 36% B/C Ratio
36% Project
0 19.170.000 0 1 19.170.000 0 -19.170.000 -19.170.000 0
1 247.590.000 320.342.400 0.73 180.740.700 233.849.952 72.752.400 53.109.252 1.293842
2 228.420.000 320.342.400 0.54 123.346.800 172.984.896 91.922.400 49.638.096 1.402427
Jumlah 495.180.000 640.684.800 323.257.500 406.834.848 145.504.800 83.577.348
B/C 1.258547

You might also like