Professional Documents
Culture Documents
Analisis Ekologi, Biologi Dan Sosial Ekonomi Utk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya RL
Analisis Ekologi, Biologi Dan Sosial Ekonomi Utk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya RL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Ekologi, Biologi dan
Sosial Ekonomi untuk Dasar Kebijakan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut
(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain) adalah
karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Produksi rumput laut di Pulau Nain terlihat dari data tahun 1996 sampai
tahun 2000 sebanyak 350 sampai 400 ton per bulan. Tetapi sejak akhir tahun 2000
produksi rumput laut di pulau ini mulai menurun (Gerung et al. 2008).
Menurunnya produksi rumput laut di Pulau Nain menurut para stakeholder
disebabkan oleh frekuensi pemakaian bibit yang sudah terjadi berulangkali sejak
budidaya rumput laut dimulai pada tahun 1989 atau sudah lebih dari 20 tahun.
Berbagai informasi menyatakan bahwa pemakaian bibit berulang dalam waktu
yang lama akan menurunkan kualitas bibit sehingga berpengaruh pada
pertumbuhan. Selain penggunaan bibit, merosotnya produksi rumput laut di Pulau
Nain diduga karena para pembudidaya mendirikan rumah di atas atau dekat areal
budidaya sehingga limbah rumah tangga, deterjen, dan tumpahan minyak sudah
mencemari perairan. Perairan Pulau Nain yang semi tertutup karena dikelilingi
oleh karang (fringing reef) lebih memperkuat dugaan bahwa menurunnya
produksi rumput laut disebabkan oleh beban limbah yang masuk ke perairan
terperangkap di dalamnya.
Tujuan penelitian untuk merumuskan pengelolaan budidaya rumput laut
berdasarkan potensi ekologi, biologi dan sosial ekonomi di Gugus Pulau Nain
Kabupaten Minahasa Utara. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dan pemerintah di
Wilayah Minahasa secara keseluruhan untuk pengelolaan budidaya rumput laut,
khususnya jenis Kappaphycus alvarezii.
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, tahapannya adalah: 1) Uji
pertumbuhan rumput laut, diikuti dengan pengamatan parameter kualitas air. Pada
tahap ini dilakukan juga wawancara dengan berpedoman pada kuisioner. Tahap
ini dilakukan mulai Januari 2007 sampai Juni 2008, 2) Monitoring dan evaluasi
lewat uji pertumbuhan serta pengamatan kualitas air yang dilakukan pada bulan
Mei–Agustus 2009 dan Juni–September 2010 3) Pengamatan distribusi potensi
bahan pencemar serta pengamatan parameter kualitas air di sekeliling Perairan
Gugus Pulau Nain. Pada tahap akhir ini dilakukan juga wawancara yang
berpedoman pada kuisioner. Tahap ini dilakukan pada bulan Mei 2011.
Hasil pengamatan kondisi perairan Gugus Pulau Nain menunjukkan bahwa
secara umum masih di bawah ambang batas nilai baku mutu kualitas air dan
pengendalian pencemaran air, serta baku mutu air untuk biota laut. Limbah
domestik dari permukiman penduduk Desa Nain yang berpotensi sebagai beban
pencemar secara keseluruhan masih dalam ambang batas dari nilai baku mutu
kualitas air. Areal budidaya rumput laut berjarak 100-150 meter dari garis pantai.
Jangkauan sebaran limbah domestik belum mencapai areal budidaya rumput laut.
Salah satu parameter yang perlu diberi perhatian adalah arus, dimana kecepatan
arus sangat lemah di seluruh perairan. Kondisi arus ini diduga salah satu penyebab
merosotnya produksi rumput laut di Pulau Nain. Kecepatan arus yang lemah dapat
diatasi dengan menghitung kapasitas areal.
Kapasitas areal budidaya rumput laut di perairan Pulau Nain dengan
ukuran unit budidaya 20 x 60 m2 yang layak beroperasi adalah 7 unit/hektar. Maka
kapasitas produksi dari pengembangan budidaya rumput laut berupa jumlah unit
budidaya dan jumlah produksi dalam satu siklus tanam merupakan bagian dari
daya dukung lingkungan. Lamanya waktu satu siklus tanam adalah 45 hari
pemeliharaan ditambah dengan masa persiapan dan masa panen selama 2 minggu,
maka dibutuhkan jangka waktu 2 bulan. Jadi untuk 1 tahun terdapat 6 siklus
tanam. Dengan demikian total produksi K. alvarezii untuk luas areal 1075,2 hektar
sebanyak 4.449,2 ton/panen atau 26.695,2 ton/ha/tahun.
Usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di perairan Gugus Pulau Nain
akan memberikan keuntungan mulai dari siklus tanam IV, dan terus meningkat
sampai akhir tahun kedua umur proyek. Proyek selanjutnya, tidak ada lagi
pinjaman. Hasil penerimaan ini dibandingkan dengan biaya maka nilai NPV
sebesar Rp. 102.074.976, B/C 1,27 dan PP 1 tahun 3 bulan 8 hari.
Analisis sensitivitas dilakukan terhadap pendapatan dan kenaikan biaya
produksi. Apabila pendapatan mengalami penurunan sedangkan biaya investasi
dan biaya operasional tetap maka hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada saat
nilai jual rumput laut kering turun pada tingkat harga Rp. 10,000/kg dengan suku
bunga 12% diperoleh NPV Rp. 22.523.280, dan Net B/C ratio 1.106, usaha masih
layak dilaksanakan. Apabila terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 25%, proyek
masih layak dikembangkan, dimana NPV masih positif yakni Rp. 16.988.526
dengan B/C ratio 1,04.
Analisis efisiensi usaha budidaya rumput laut di Pulau Nain dibandingkan
dengan 3 wilayah lain di Minahasa menunjukkan bahwa terdapat dua wilayah
budidaya rumput laut yang tidak mencapai tingkat efisien 100%, yaitu Perairan
Totok-Buyat dengan nilai efisiensi 0,89 (89%) dan Perairan Bentenan-Tumbak
dengan nilai efisiensi 0,59 (59%). Dengan kata lain, nilai efisiensi yang lebih
tinggi mencapai 100% yaitu di Pulau Nain dan Perairan Arakan. Ini menunjukkan
bahwa budidaya rumput laut di Pulau Nain dan Perairan Arakan telah efisien
dalam produksi dengan dibandingkan pada panjang tali, tenaga kerja, luasan areal,
dan benih. Atau dapat dikatakan bahwa budidaya rumput laut di Sulawesi Utara
yang memberi manfaat tinggi dalam hal produksi adalah areal di Pulau Nain
(Minahasa Utara) dan Perairan Arakan (Minahasa Selatan).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan pustaka
suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS EKOLOGI, BIOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI
UNTUK DASAR KEBIJAKAN PENGELOLAAN
BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Kasus Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Pulau Nain)
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji luar ujian tertutup :
1. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
2. Dr. Ir. Eddy Supriono, M.Sc.
NIM : C261030031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
xiii
xiv
Halaman
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Lokasi potensial untuk pengembangan rumput laut di Indonesia ...................12
2 Perkembangan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia .....................13
3 Efficiency frontier .............................................................................................30
4 Kerangka pemikiran penelitian ........................................................................31
5 Lokasi penelitian dan titik-titik pengamatan ....................................................32
6 Instalasi wadah uji pertumbuhan Kappaphycus alvarezii ................................34
7 Konstruksi wadah dan posisi tanam rumput laut .............................................35
8 Titik awal pengukuran kualitas air di sekitar permukiman penduduk .............36
9 Permukiman penduduk di Gugus Pulau Nain ..................................................37
10 Skema unit budidaya rumput laut.....................................................................41
11 Keadaan permukiman dan aktifitas penduduk Desa Nain ...............................50
12 Pembangunan rumah di atas air di Kampung Tatampi Kecil ...........................52
13 Arah arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada bulan Maret 2007 ...................56
14 Sebaran kedalaman di Perairan Gugus Pulau Nain ..........................................59
15 Sebaran keterlindungan di Perairan Gugus Pulau Nain ...................................60
16 Sebaran salinitas di Perairan Gugus Pulau Nain ..............................................61
17 Sebaran substrat dasar di Perairan Gugus Pulau Nain .....................................62
18 Sebaran suhu di Perairan Gugus Pulau Nain ....................................................63
19 Sebaran pH di Perairan Gugus Pulau Nain ......................................................65
20 Sebaran nitrat di Perairan Gugus Pulau Nain ...................................................66
21 Sebaran fosfat di Perairan Gugus Pulau Nain ..................................................67
22 Sebaran fosfat ke arah laut di depan Desa Nain ...............................................68
23 Kandungan nitrat di depan permukiman penduduk Pulau Nain ......................69
24 Sebaran nitrat ke arah laut di depan Desa Nain ...............................................70
25 Persentase pembudidaya memulai budidaya rumput laut di P. Nain ...............75
26 Keberadaan tenaga kerja pada budidaya rumput laut di Pulau Nain ................76
27 Komposisi kecenderungan kondisi lingkungan dan budidaya .........................87
28 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii di areal budidaya tahun 2007-2008 ............91
29 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii pada kedalaman berbeda di areal
budidaya tahun 2007-2008 ...............................................................................92
xvii
xviii
Halaman
1 Kualitas air dan pengendalian pencemaran air (PP No 82 tahun 2001) ..........
123
2 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
tentang baku mutu air laut untuk biota laut ......................................................
124
3 Hasil-hasil penelitian pertumbuhan rumput laut ..............................................
125
4 Sidik ragam pertumbuhan rumput laut du Gugus Pulau Nain pada tahun
2007 – 2008 ......................................................................................................
126
5 Perhitungan kesesuaian areal budidaya rumput laut di perairan gugus
Pulau Nain ........................................................................................................
127
6 Kebutuhan investasi dan modal kerja budidaya K. Alvarezii ...........................
128
7 Proyeksi rugi laba budidaya rumput laut K. Alvarezii per hektar ....................
129
8 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii per hektar per
tahun .................................................................................................................
130
9 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun
penurunan harga jual Rp. 10.000/ ....................................................................
131
10 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun
Kenaikan biaya produksi 25%..........................................................................
131
11 NPV dan net B/C ratio budidaya rumput laut K. alvarezii/hektar/tahun
pada tingkat suku bunga yang berbeda ............................................................
132
xix
1
1 PENDAHULUAN
nama dagang Spinosum. Metode budidaya yang digunakan pada awalnya adalah
metode rakit, kemudian mulai tahun 1992 digunakan metode tali panjang
permukaan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Utara (DKP
Minut) pada tahun 2010 di Pulau Nain terdapat 64 kelompok pembudidaya
rumput laut yang beranggotakan 7–10 orang. Kelompok-kelompok ini adalah hasil
binaan perusahaan rumput laut dan koperasi desa. Menurut Pandelaki (2011)
bahwa pembudidayaan rumput laut membutuhkan 2 – 3 tenaga kerja per hektar.
Pada bidang perikanan budidaya laut di Pulau Nain terdapat juga dua unit
karamba jaring apung yang memelihara ikan kuwe. Pada bidang perikanan
tangkap, umumnya nelayan menangkap ikan madidihang (tuna), roa (julung-
julung), dan antoni (ikan terbang). Nelayan lainnya menangkap ikan karang,
antara lain: goropa (kerapu), sunuh (sunuk), dan somasi (kakap). Penanganan ikan
hasil tangkapan selain untuk dikonsumsi sendiri, juga dijual segar atau diolah
menjadi ikan asin (’ikang garang’) dan diasap (’cakalang fufu’ dan ’roa gepe’).
Hasil panen rumput laut dari Pulau Nain dijual ke pengumpul di desa atau
langsung ke perusahaan di Kota Manado. Harga jual di pengumpul pada semester
akhir tahun 2011 adalah Rp. 12.000/kg, sedangkan di Kota Manado Rp.
12.500/kg. Selain menjual rumput laut kering, di antara pembudidaya terjadi jual
beli rumput laut segar yang akan dijadikan bibit. Harga bibit yang diseleksi senilai
Rp. 3.500 – Rp. 4.500/kg, sedangkan bibit tanpa seleksi Rp. 150.000 – Rp.
200.000/tali ris dengan panjang tali 60 – 80 meter yang diperkirakan beratnya 70 –
100 kg/tali ris.
Diketahui bahwa sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di Pulau
Nain mulai menurun. Padahal Pulau Nain dikenal sebagai sentra rumput laut dan
sumber bibit terbaik di Sulawesi Utara. Gerung et al. (2008) menyatakan bahwa
puncak produksi rumput laut di Pulau Nain terjadi pada kurun waktu tahun 1996–
2000 yang pernah mencapai 350–400 ton/bulan. Ini sesuai dengan informasi dari
seorang pengusaha rumput laut bahwa pada tahun 2010 lalu produksi rumput laut
di Pulau Nain tidak sampai 5 ton/bulan.
Kondisi di atas mengindikasikan bahwa akfititas budidaya rumput laut di
perairan Gugus Pulau Nain sudah terganggu seiring pertambahan waktu, baik
disebabkan oleh degradasi lingkungan, pemanfaatan sumberdaya tidak terkontrol,
3
Sejak akhir tahun 2000 produksi rumput laut di Pulau Nain mulai
menurun. Permasalahan di atas merupakan gejala sebab akibat atau sebaliknya
yang akan berdampak terhadap ekologi, biologi, dan sosial ekonomi. Penelusuran
faktor-faktor penyebab terjadinya kondisi ini perlu dilakukan, maka untuk
mengetahui dan tidak hanya sekedar menduga-duga akan dampak dari pemakaian
bibit, seberapa besar degradasi lingkungan yang mempengaruhi produktivitas
rumput laut, serta bagaimana pengelolaannya yang baik maka penelitian ini akan
menganalisis hal-hal tersebut. Penelusuran lewat wawancara dilakukan agar lebih
akurat dalam deskripsinya. Upaya ini diharapkan dapat mempelajari kondisi di
masa lampau, kemudian membuat suatu perencanaan yang efektif sehingga dapat
memprediksi hasil yang efisien di masa mendatang.
2 TINJAUAN PUSTAKA
ground) dan sebagai tempat makanan bagi kebanyakan ikan (feeding ground).
Fauzi (2003) menyatakan bahwa pulau-pulau kecil merupakan aset sumberdaya
alam Indonesia yang jika dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberikan
manfaat ekonomi yang tinggi baik bagi penduduk pulau-pulau kecil maupun
kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Selain memiliki budaya yang unik,
pulau-pulau kecil juga kaya akan keanekaragaman hayati baik keanekaragaman
hayati kelautan maupun terestial. Keanekaragaman hayati tersebut selain
memberikan arus barang dan jasa yang bernilai tinggi, juga memberikan manfaat
non-konsumtif yang tak ternilai harganya.
Selanjutnya, Fauzi (2003) menyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai
suatu entitas memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
menghasilkan barang dan jasa baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak
langsung. Sumberdaya alam ekstraktif dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi baik subsistem maupun komersial. Demikian juga
sumberdaya energi bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan proses produksi
lainnya yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi pada mata rantai kegiatan
ekonomi berikutnya. Selain itu, sumberdaya pulau-pulau kecil juga dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan non-ekstraktif seperti wisata yang juga
memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Pemanfaatan sumberdaya P2K
mempunyai beberapa faktor kendala, yakni: 1) Faktor lingkungan, yaitu:
perubahan iklim, naiknya permukaan air, bencana alam, dan pencemaran, 2)
Faktor sosial masyarakat, antara lain: pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan,
kesehatan, dan budaya, 3) Faktor ekonomi masyarakat: ketergantungan dengan
daratan, tingkat pendapatan sangat rendah, terbatasnya diversifikasi usaha,
terisolasi, ketergantungan terhadap sumberdaya alam, dan kurangnya ketrampilan.
Fauzi (2003) menyatakan bahwa salah satu hal penting dalam pengelolaan
potensi sumberdaya pulau-pulau kecil adalah menyangkut penilaian terhadap nilai
ekonomi sumberdaya yang ada. Menurut Wantasen (2007), dengan semua
keterbatasan yang ada pada P2K maka sangat penting dalam pengelolaannya
dibuat berdasarkan penzonasian berbasis daya dukung. Dalam penzonasian ada
kriteria-kriteria yang harus diperhatikan yang saling terkait satu dan yang lainnya
sehingga pengelolaannya dapat terpadu. Tiga kriteria zonasi P2K adalah:
7
Indonesia sejak tahun 2007 menjadi produsen rumput laut jenis Eucheuma
cottonii terbesar di dunia yakni sekitar 110 ribu ton per tahun. Produk bahan baku
ini diserap industri pengolah luar negeri sekitar 80%, berbeda dengan produk
agar-agar dengan bahan baku Gracilaria sp., yang hampir 85% produk bahan
bakunya diserap industri dalam negeri dan sekitar 70% produk agar-agar diserap
pula di dalam negeri (Anggadiredja 2011). Proyeksi produksi rumput laut
Indonesia untuk tahun 2011 sampai dengan 2014, berturut-turut adalah: 3.504.200
ton, 5.100.000 ton, 7.500.000 ton, dan 10.000.000 ton (Ditjendkan Budidaya
2010). Luas areal yang telah dinyatakan sesuai untuk budi daya rumput laut
adalah 1.110.900 hektar, sehingga dengan asumsi setiap hektar lahan dapat
memproduksi rumput laut rata-rata 16 ton per tahun, maka produksi dapat
mencapai 17.774.400 ton per tahun (Hikmayani dan Purnomo 2006).
Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun
1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan
sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan. Usaha
budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat
digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai
(Ditjendkan Budidaya 2004).
Budidaya rumput laut sebagai salah satu teknik pemanfaatan kawasan
pesisir P2K berpeluang besar untuk dikembangkan bagi produksi perikanan yang
berlanjut. Keberhasilan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan
oleh penguasaan teknologi yang bersifat ekonomis, sistem pengelolaan, dan
keterpaduan pemanfaatan. Anggadiredja (2007) memaparkan sejarah perdagangan
dan industri rumput laut di Indonesia, sebagai berikut: 1) Perdagangan rumput laut
Indonesia dimulai dari akhir abad ke-19, kebanyakan agarofit dari panen alam
(Gelidium dan Gracilaria), 2) Industri rumput laut dimulai dengan industri ‘agar’
pada dekade 1920-an di Kudus, Jawa Tengah dan Garut, Jawa Barat, digunakan
teknologi/pengetahuan masyarakat setempat, 3) Dekade 1950-an dibangun
industri ‘agar’ dengan menggunakan teknologi tepat guna dan menghasilkan
kertas agar di Surabaya (Sinar Kencana), Awal dekade 1960-an, perdagangan alga
laut tidak hanya agarofit namun juga karaginofit (Eucheuma denticulatum) yang
11
dipanen dari alam, 4) Awal dekade 1970-an dibangun pabrik kemasan ‘agar’
(‘agar’ diimpor, formulasi dan kemasan), PT. Dunia Bintang Walet, 5) Tahun
1988, industri pertama karaginan setengah dimurnikan (semirefined
carrageenan/SRC) (dalam bentuk chips dan bubuk) didirikan di Bekasi (PT Galic
Artha Bahari), 6) Tahun 1989, industri ‘agar’ modern dibangun di Tangerang (PT
Agarindo Bogatama) dan awal dekade 1990-an di Pasuruan (PT. Sriti), 7) Saat ini,
terdapat lebih dari 10 industri agar dan karaginan. Industri karaginan di Indonesia
menghasilkan SRC-chips dan bubuk, dan beberapa di antaranya menghasilkan
produk-produk formulasi untuk beberapa aplikasi. Industri agar menghasilkan
bubuk dan produk-produk formulasi, 8) Industri hidrokoloid rumput laut yang lain
adalah industri alginat, namun perkembangan terakhir, industri tersebut tidak
berproduksi secara optimal karena terbatasnya bahan baku. Di Indonesia, alginat
diekstrak dari Sargassum yang dipanen dari alam.
Keunggulan rumput laut sebagai salah satu komoditas dari visi pemerintah
untuk mencapai target di tahun 2015, menurut Keppel (2008) dan Parenrengi et al.
(2008) adalah:
1. Potensial untuk pengembangan (keanekaragaman jenis dan budidaya pada
perairan pesisir yang luas).
2. Modal yang diperlukan relatif sedikit.
3. Teknologi budidaya relatif mudah dan dapat diadopsi oleh pembudidaya.
4. Periode pemeliharaan singkat.
5. Biaya operasional murah.
6. Pemberdayaan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil.
7. Penyerapan tenaga kerja tinggi, pertumbuhan ekonomi, serta kesejahteraan
masyarakat.
8. Dapat diterapkan pada usaha mikro, kecil, menengah, hingga industri besar.
9. Peluang pasar bagi bahan baku, produk setengah jadi, dan produk akhir.
10. Besarnya kebutuhan pasar ekspor dan domestik.
11. Memiliki fungsi produksi dan ekologis.
Rumput laut sebagai salah satu sumber hayati laut bila diproses akan
menghasilkan senyawa hidrokoloid yang merupakan produksi dasar (hasil dari
metabolisme primer). Senyawa ini merupakan bahan dasar lebih dari 500 jenis
12
Luas lokasi yang layak untuk budidaya rumput laut di Indonesia adalah 1,1 juta
ha. Produktivitas rata-rata sebesar 17,7 ton rumput laut kering/ha/tahun (Anonim
2006). Indonesia telah menguasai 50% produk rumput laut hasil budidaya di dunia
yaitu untuk jenis Eucheuma, Gracilaria, dan Kappaphycus. Produksi rumput laut
diproyeksikan rata-rata meningkat dari tahun 2010–2014 sebesar 32% atau
meningkat 392% dari tahun 2009 ke tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing
berturut-turut tahun 2012 sebesar 5,1 juta ton, 2013 sebesar 7,5 juta ton, dan tahun
2014 sebesar 10 juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa tahun 2010 produksi
rumput laut nasional mencapai 3,08 juta ton atau mengalami kenaikan rata-rata
sebesar 23% per tahun (Cocon, 2011).
180.000 140.000
126.178
160.000
120.000
Nilai ekspor (.000 US$_)
155.620
0 0
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai ekspor Volume ekspor
pada beberapa lokasi seperti di Pulau Nain, Likupang, Wori, Tumpaan, Lembean
Timur, Belang, Bitung, dan Sangihe (Keppel 2002).
Gerung (2006) menyatakan bahwa alga ekonomis yang sudah
dibudidayakan ada 2 spesies yakni Eucheuma denticulatum dan Kappaphycus
alvarezii. Kedua spesies ini bukan asli perairan Teluk Manado. Benihnya 20 tahun
lalu didatangkan dari Pilipina, dan bertumbuh baik di perairan Pulau Nain.
Banyak pihak sangat terkonsentrasi dengan bibit rumput laut. Keberadaan
bibit dalam kuantitas maupun kualitas sangat diperhatikan. Banyak upaya untuk
mengkaji, diantaranya BBAP Situbondo telah membangun kawasan kebun bibit
untuk Cottonii di Pacitan, Blitar, Rembang, Tuban, Lamongan, Situbondo dan
Banyuwangi. Selain itu, kebun bibit juga dikembangkan oleh Balai Budidaya Laut
(BBL) Lombok. Proses-proses penelitian dilakukan mulai dari menemukan bibit
berkualitas melalui metode kultur jaringan sampai menentukan berapa kali bibit
tersebut bisa digunakan.
Penelitian rumput laut oleh perguruan tinggi di Sulawesi Utara lebih
cenderung tentang pemanfaatan bibit rumput laut yang telah tersedia dan berasal
dari pembudidaya, atau penelitian untuk mendapatkan bibit yang akan
dikembangkan. Jenis rumput laut yang diteliti berasal dari perairan lokasi
penelitian, dalam hal ini di perairan Pulau Nain. Banyaknya penelitian tentang
rumput laut di Sulawesi Utara sesuai dengan potensi pengembangannya. Menurut
Keppel (2008) bahwa luas areal budidaya rumput laut di Sulawesi Utara sebesar
5.800 hektar, luas tiap kabupaten adalah: Kab. Minahasa Utara: 1.700 hektar, Kab.
Minahasa: 850 hektar, Kab. Minahasa Selatan: 250 hektar, Kab. Minahasa
Tenggara: 350 hektar, Kab. Sangihe: 231 hektar, Kab. Talaud: 230 hektar, Kab.
Sitaro: 289 hektar, Kab. Bolaang Mongondow: 1.250 hektar, dan Kab. Bolaang
Mongondow Utara: 650 hektar. Penelitian-penelitian rumput laut yang sudah
dilakukan seperti pada Tabel 1.
15
yang telah diikat dengan tali rafia atau tali polietilen kecil diikatkan pada tali
ris dengan jarak 25 cm dengan panjang tali ris berkisar 50–75 m yang
direntangkan pada tali utama. Rumput laut diapungkan dengan pelampung
yang terbuat dari styrofoam, botol polietilen 0,5 liter atau pelampung khusus
pada tali ris. Pada satu bentangan tali utama, dapat diikatkan beberapa tali ris
dengan jarak antar tali ris 1 meter, untuk menghindari benturan antar tali
akibat gelombang atau arus kuat.
Metode Jalur. Metode jalur merupakan kombinasi antara metode rakit dan
tali panjang. Kerangka metode ini terbuat dari rakit (bambu) yang tersusun
sejajar. Pada kedua ujung setiap bambu dibuhungkan dengan tali utama diameter 6
mm sehingga membentuk persegi panjang dengan ukuran 5x7 m2 per petak,
dimana satu unit terdiri dari 7–10 petak. Pada kedua ujung setiap unit diberi
jangkar. Penanaman dimulai dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang
telah dilengkapi dengan tali polietilen diameter 0,2 cm sebagai pengikat bibit
dengan jarak sekitar 25 cm.
Setelah pemilihan lokasi dan penentuan metode, maka tahap selanjutnya
adalah menyediakan dan menyiapkan benih rumput laut. Kriteria dan ciri-ciri bibit
rumput laut yang baik menurut Aslan (1993) dan Anggadiredja et al. (2006)
sebagai berikut: 1) Merupakan thallus muda yang bercabang banyak, rimbun dan
runcing, 2) Bibit bila dipegang terasa elastis, 3) Bibit terlihat segar dan berwarna
cerah, yakni cokelat cerah dan hijau cerah serta ujung bibit berwarna kuning
kemerah-merahan, 4) Thallus bibit terlihat tebal dan berat, 5) Bibit tidak terdapat
bercak, luka, atau terkelupas, 6) Bebas dari tanaman lain atau benda-benda asing,
7) Bibit harus seragam dan tidak tercampur dengan jenis lain, 8) berat awal
diupayakan seragam.
Selanjutnya, Parenrengi et al. (2008) menyatakan bahwa untuk menjamin
kebehasilan usaha budidaya rumput laut maka harus dilakukan usaha perawatan
selama masa pemeliharaan, bukan hanya terhadap tanaman itu sendiri tapi juga
fasilitas budidaya yang digunakan. Oleh karena itu peranan pengelola
(pembudidaya) rumput laut sangat diperlukan untuk memperkecil kemungkinan
adanya kerusakan khususnya kekuatan alam yang tak terduga.
18
tawar di Desa Nain berada di pinggir pantai berupa dua buah sumur yang
sepanjang hari oleh penduduk digunakan juga sebagai tempat mencuci dan mandi.
Menurut Duncan (1976) in Wantasen (2007), komposisi limbah yang
berasal dari kamar mandi dan wc dalam bentuk feces, jumlah per orang per hari
yakni 135–270 g (basah) dan 20–35 g (kering). Sedangkan untuk cairan tubuh
secara rata-rata tubuh orang dewasa akan kehilangan 1,5 liter cairan tubuh melalui
urin (Irawan, 2007). Jumlah air limbah (meliputi air dari kamar mandi, tempat
cuci, wc dan tempat masak) dari rumah tinggal pada umumnya 190–350
liter/orang/hari. Beban pencemar dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar
yang masuk ke dalam suatu lingkungan yang dihasilkan oleh manusia dalam
upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya pada suatu kurun waktu tertentu baik
secara langsung maupun tidak langsung (Sutisna 2007).
Kandungan unsur P yang utama adalah yang bersumber dari limbah dapur,
limbah pengolahan ikan dan feses. Tetapi menurut Kibria et al. (1996), pelepasan
P ke perairan tergantung juga oleh karakteristik fisika-kimia perairan seperti pH,
suhu, oksigen, turbulensi, dan mikroba. Input limbah masyarakat yang berupa
bahan organik dan nutrien, oleh Barg (1992) dan Buschmann et al. (1996), akan
menyebabkan pengayaan nutrien (hypernutrifikasi) dan bahan organik yang
diikuti oleh eutrofikasi dan perubahan ekolofi fitoplankton, peningkatan
sedimentasi, siltasi, hypoxia, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas
bentos. Silvert (1992) menyatakan dalam hubungan budidaya intensif, terdapat
empat jenis dampak lingkungan yang spesifik, yakni: hypernutrifikasi, pengayaan
bentik, meningkatkan BOD, dan perubahan bakterial.
UNEP (1993) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pencemar
(pollutants) dan limbah (waste). Pencemar merupakan bahan dan energi yang
dibuang ke lingkungan dan dapat merusak ataupun membunuh makhluk hidup
maupun makhluk tak hidup yang mendiami lingkungan tersebut. Limbah tersebut
memberikan dampak yang sangat merugikan. Kennish (2001) memberikan contoh
dampak antropogenik pada ekosistem perairan dan laut yang terbagi menjadi tiga
kategori: terjadinya pencemaran, hilangnya habitat dan terjadi perubahan
pemanfaatan sumber daya dan eksploitasi yang berlebihan. Suharsono (2005)
mendefinisikan pencemar sebagai sebagai jumlah total bahan pencemar yang
23
masuk ke lingkungan perairan baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun
waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia. Besarnya
beban masukan sangat tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan.
Besarnya beban pencemar sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang
berada di sekitar aliran air yang masuk ke daerah tersebut. Laju pergantian air oleh
arus dan pasang surut berperan di dalam proses pembuangan limbah dan memasok
oksigen (Barg 1992; Cornel and Whoriskey 1993 in Rachmansyah 2004). Pada
saat pasang, beban limbah yang masuk akan sangat kecil dikarenakan tertahan
oleh tingginya/terjadinya peningkatan oleh massa air yang berasal dari laut.
Sebaliknya pada saat surut beban limbah yang ke muara dan pantai akan besar
(Rafni 2004; Hadi 2005 in Mezuan 2007).
Soutwick (1976) membedakan sumber pencemaran perairan menjadi 3
golongan yakni: pencemar organik berupa pengkayaan hara, sehingga terbentuk
komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, zat-zat toksik yang dapat
melenyapkan organisme hidup karena terganggunya proses kehidupan, bahan
pencemar fisik berupa padatan tersuspensi dan zat koloidal.
Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi
yang saling terkait, yakni: dari dimensi ekonomi akan menyebabkan
bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional; dari dimensi
ekologi, kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan rendah dan
kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan; dari dimensi kelembagaan,
tersedianya lembaga yang membantu petani rumput laut dalam hal permodalan,
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan informasi pasar, akan berdampak
terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang berkelanjutan.
atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thallus pada beberapa cabang
menjadi putih dan membusuk. Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh
perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang
sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga
merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut.
y2
E1
y2’ E5’
E5”
E2
E5
E3
E4
E6 E6’
y1’ y1
Gambar 3 dijelaskan oleh Fauzi dan Anna (2005) bahwa terlihat kelompok
terdekat (peer unit) untuk unit E5 adalah E1 dan E2, dan target efisien dari E5
adalah E5’. Target tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan output E5 secara
proporsional (pro rata) antara y1 dan y2. Peningkatan tersebut diperoleh dengan
pembobotan unti E1 dan E2. Namun, jika misalnya output y2 tidak dapat
ditingkatkan, pilihan target efisien berikutnya dari E5 adalah titik E5” yang
sepenuhnya mengandalkan peningkatan ouput y1. Sementara itu, untuk unit E6,
target efisien adalah titik E6’ dengan meningkatkan output secara pro rata antara
y1 dan y2. Namun, pada titik tersebut efisiensi telah didominasi oleh E4, sebab
dengan output y1 yang sama, E4 memiliki output y2 yang lebih banyak dari E6.
31
3 METODE PENELITIAN
10 9
11
8
3 7
1 2
1 6
2
6 5
3 4
4
5
10
7
9
8
Tahap I : Pertumbuhan rumput laut dan pengamatan kualitas air di areal
budidaya rumput laut (2007 – 2008).
Pertumbuhan rumput laut dan pengamatan kualitas air di luar areal
budidaya rumput laut (2007 – 2008).
Tahap II : Evaluasi dan monitoring 2009 dan 2010.
Tahap III : Pengamatan distribusi potensi bahan pencemar di perairan (2011).
Pengamatan kualitas air sekeliling pulau (2011).
Sumber: modifikasi dari Google maps 2011 (not to scale)
Gambar 5 Lokasi penelitian dan titik-titik pengamatan.
33
g) Penentuan penggunaan bibit rumput laut uji ini didasarkan pada jenis yang
dibudidaya di Perairan Gugus Pulau Nain. Bibit rumput laut dipilih dari
35
tanaman yang masih segar, sehat, kenyal, muda, dan banyak cabang. Berat
awal bibit yang ditanam adalah 100 gram. Masing-masing bibit di tanam pada
kedalaman 0 cm, 50 cm, dan 150 cm (Gambar 7).
h) Pengamatan dan penimbangan perubahan bobot rumput laut dilakukan pada
awal pemeliharaan, kemudian setiap interval waktu 15 hari (2 minggu).
Gambar 7 Konstruksi wadah dan posisi tanam rumput laut (Mudeng 2007).
di sisi Timur Desa Tatampi, St. X di depan Desa Tatampi, dan St. XI di sisi
barat Desa Tatampi (Gambar 5 & 8).
b) Pengamatan ke arah laut dilakukan pada Stasiun I, II dan III. Pada St. I ditarik
garis 450 ke arah selatan dari garis pantai, St. II tegak lurus garis pantai, dan
St. III 450 ke arah utara dari garis pantai (Gambar 8).
c) Titik awal (0) ditentukan pada ketinggian air 1 meter, ditandai dengan patok
kayu. Antar titik berikutnya berjarak 50 m (titik 1), 100 m (titik 2), dan 200 m
(titik 3) ke arah laut, kemudian ditandai dengan pelampung (Gambar 8).
Pengambilan sampel air dilakukan pada permukaan dan di tengah kolom air.
Pengambilan sampel air di tengah kolom air tergantung kedalaman perairan.
d) Parameter air yang diukur yaitu: nitrat, fosfat dan total padatan tersuspensi
(TSS) yang dianalisis di Laboratorium Balai Industri dan Standarisasi
(Baristand) Manado.
St.3
St.2
St.1
dalam suatu jarak tertentu (terakumulasi), sesuai dengan Pariwono et al. (1989)
yang menyatakan bahwa pasang surut akan menggerakan massa air secara
horisontal yang akan membawa bahan pencemar. Pasut selain membantu proses
pengenceran juga merupakan salah satu fenomena alam yang berperan dalam
penyebaran zat pencemar.
1) Data sosial, ekonomi, dan kelembagaan budidaya rumput laut
Data sosial ekonomi di Pulau Nain dikumpulkan secara langsung dengan
cara wawancara yang berpedoman pada kuisioner. Data jumlah penduduk, mata
pencaharian, dan tingkat pendidikan diperoleh dari Kantor Desa Nain, Kantor
Kecamatan Wori, dan Badan Pusat Statistik. Letak desa dan kampung di Pulau
Nain seperti pada Gambar 9.
laut diperkirakan berjumlah 1.504 orang. Dalam penelitian ini jumlah responden
ditetapkan dengan menggunakan rumus Slovin (1960) in Hikmat (2002):
N
n
1 Ne 2 (1)
dimana : N = populasi
n = responden
e = nilai kesalahan yang ditentukan (10%).
Berdasarkan persamaan ini maka dari 1.504 orang dipilih sebanyak 94 responden
sebagai target wawancara.
2) Kesesuaian lahan
Pengamatan spasial dengan menggunakan pendekatan sistem informasi
geografis (SIG) adalah untuk mendapatkan bobot dan skor dalam menentukan
kelas kesesuaian lahan. Proses yang dilakukan melalui tahapan penyusunan basis
data spasial dan teknik tumpang susun serta menentukan daya dukung atau daya
tampung lahan dalam kawasan yang ditentukan.
Analisis ketersedian ruang ini didasarkan pada kesesuaian perairan yang
mendukung budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang perairan secara spasial
menggunakan parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang merupakan
prasyarat kelayakan budidaya rumput laut. Selanjutnya ditentukan tingkat
kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter yang terukur
berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari para pakar. Matriks skoring
dapat dilihat pada Tabel 4. Bobot terbesar sampai terkecil diberikan berdasarkan
besarnya pengaruh parameter terhadap kegiatan budidaya rumput laut.
Pengisian tabel skoring mengikuti langkah-langkah berikut:
a) Pengisian nilai pada kolom 3 untuk nilai teramati adalah hasil pengukuran
langsung dan analisis laboratorium.
b) Pengisian nilai pada kolom 6,7, dan 8 berdasarkan kolom 3:
- Skor 5 untuk kisaran nilai yang diinginkan
- Skor 2 untuk kisaran nilai yang dibolehkan
- Skor 0 untuk kisaran nilai di luar yang diinginkan dan dibolehkan
c) Pengisian nilai pada kolom 9 :
- Bobot 3 apabila paramater sangat berpengaruh pada kelangsungan usaha
budidaya rumput laut
- Bobot 2 apabila parameter cukup berpengaruh pada kelangsungan usaha
budidaya rumput laut
- Bobot 1 apabila parameter tidak terlalu berpengaruh pada kelangsungan
usaha budidaya rumput laut
d) Pengisian nilai pada kolom 10 berdasarkan nilai perkalian antara nilai skor
dengan nilai bobot untuk masing-masing parameter.
40
Total nilai dari hasil perkalian nilai skor dengan bobot dipakai untuk
menentukan klas kesesuaian lahan budidaya rumput laut berdasarkan karakteristik
kualitas perairan dengan perhitungan sebagai berikut:
(4)
dimana:
I = interval klas kesesuaian lahan
ai = faktor pembobot
Xn = nilai tingkat kesesuaian lahan
k = jumlah kelas kesesuaian lahan yang diinginkan
Berdasarkan rumus, diperoleh interval kelas dan nilai (skor) kesesuaian lahan
sebagai berikut:
78 – 99 = Sangat sesuai (S1)
57 – 77 = Sesuai (S2)
17 – 56 = Tidak Sesuai (N)
Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan/perairan dibedakan pada tiga
tingkatan yang didefinisikan oleh FAO 1976 in Hardjowigeno et al. (2001):
41
Sangat sesuai, yaitu perairan tidak mempunyai faktor pembatas yang berat atau
hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti (minor) dan secara
nyata tidak akan menurunkan produktivitas perairan ubudidaya rumput laut.
Sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang agak berat dan akan
mempengaruhi produktivitas perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut
dan ikan kerapu. Dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan
(input) teknologi dan tingkat perlakuan.
Tidak sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang sifatnya permanen,
sehingga tidak sesuai untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu.
3. Analisis daya dukung
Analisis daya dukung adalah untuk mengestimasi jumlah unit budidaya
yang dapat didukung pada potensi areal yang ditentukan sebelumnya. Analisis
daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di perairan Gugus Pulau Nain
dilakukan pendekatan dengan kapasitas luas areal budidaya yang sesuai, dan
metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam
penentuan daya dukung lahan tersebut menurut Rauf (2007) adalah:
a. Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai
Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil
analisis kesesuaian dengan menggunakan SIG.
b. Kapasitas perairan
Kapasitas perairan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus yang
secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak mengganggu
ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini
dianalisis dengan formula sebagai berikut:
p2
p1
l2 l1 L1 L2
Gambar 10 Skema unit budidaya rumput laut (modifikasi dari Rauf 2007).
42
(5)
dimana:
KA = Kapasitas areal
∆L = L2 – L1
L1 = Luas unit budidaya
L2 = Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya
l1 = lebar unit budidaya
l2 = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya
p1 = panjang unit budidaya
p2 = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya
Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai
dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas perairan yang sesuai kali 100%.
Luas unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya yang
ada di Perairan Gugus Pulau Nain, yaitu 12 m2. Luas yang sesuai untuk satu unit
budidaya (L2) ditentukan berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian areal. Daerah yang
berwarna biru merupakan jarak antara unit budidaya yang diasumsikan 2 m yaitu
duakali lebar maksimal badan perahu yang dipakai petani rumput laut dalam
melakukan aktivitasnya di Perairan Gugus Pulau Nain.
c. Luasan unit budidaya
Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu
unit budidaya rumput laut dengan setiap luasan unit budidaya berbeda-beda
tergantung dari metode budidaya yang diterapkan. Dalam kajian ini luasan satu
unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 20 x 60 m2 atau
0,12 ha.
d. Daya dukung perairan
Daya dukung perairan menunjukkan kemampuan maksimal lahan untuk
mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan
penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan
pendekatan tersebut di atas maka daya dukung perairan untuk budidaya rumput
laut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
43
dimana:
JUBRL = jumlah unit budidaya rumput laut (unit)
DDA = daya dukung areal perairan (ha)
LUB = luas unit budidaya (unit/ha)
4. Distribusi limbah
Pada bagian ini, analisis dilakukan secara deskriptif yaitu menggambarkan
secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara
tepat. Menurut Best (1982) in Hartoto (2009), penelitian deskriptif merupakan
metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek
sesuai dengan apa adanya. Selanjutnya Hartoto (2009) menyatakan penelitian
deskriptif sering disebut noneksperimen karena tidak dilakukan kontrol dan
manipulasi variabel penelitian. Penelitian ini juga memerlukan tindakan yang teliti
pada setiap komponennya agar dapat menggambarkan subjek atau objek yang
diteliti mendekati kebenarannya.
5. Cost benefit analysis (CBA)
CBA telah digunakan secara luas untuk menilai kelayakan suatu kegiatan
usaha (Fauzi & Anna 2003). Metode ini pada prinsipnya merupakan proses untuk
menilai tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan
menggunakan teori data dan model. Keunggulan metode ini adalah sangat praktis
digunakan sehingga menjadi alat analisis ekonomi yang sangat populer. Walaupun
demikian menurut Fauzi & Anna (2003) metode ini mempunyai kelemahan, yaitu
tidak cukup mampu menangkap aliran keuntungan dan biaya yang terkait dengan
aliran barang dan jasa dari sumberdaya alam serta cenderung mengurangi berbagai
informasi menjadi satuan tunggal dalam bentuk nilai uang.
44
(8)
dimana:
t = 1,2, …
i = interest rate (discount rate)
Metode ini memperhatikan nilai waktu uang, maka arus kas masuk (cash
inflow) yang digunakan dalam menghitung NPV (nilai sekarang bersih) adalah
arus kas masuk yang didiskontokan atas dasar discount rate tertentu (biaya modal
dan tingkat bunga yang berlaku umum). Selisih antara PV penerimaan kas dengan
PV pengeluaran kas dinamakan NPV. Kriteria keputusan adalah:
Jika NPV bertanda positif (NPV > 0), maka rencana investasi diterima.
Jika NPV bertanda negatif (NPV < 0), maka rencana investasi ditolak.
b) Net Benefit Cost Ratio (NBC ratio). Benefit-cost ratio adalah cara evaluasi usaha
dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu
usaha dengan nilai sekarang seluruh biaya usaha. Rumus BCR dapat ditulis
sebagai berikut:
(9)
Apabila BCR lebih besar dari 0 (BCR>0) maka usaha tersebut
menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan, namun bila BCR sama
dengan 0 (BCR=0) maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal)
sehingga usaha tersebut dilanjutkan atau tidak terserah pengambil keputusan,
sedangkan bila BCR kurang dari 0 (BCR<0) maka usaha tersebut merugikan
sehingga tidak layak untuk dilaksanakan.
45
w y i ijm
max Em i
v x k kjm
k (10)
w y i ijm
dengan kendala : i
1 untuk setiap unit ke j
v x
k
k kjm
(11)
46
dengan kendala:
wi, vk ≥ ɛ
= 1, 2…n
—vk ≤ —ɛ k = 1, 2…m
—wi ≤ —ɛ i = 1, 2…t
dengan kendala :
xkj Z m S k xkj j ; k 1...m
j
j , Si , S k 0
(12)
47
dari dua gugus pulau di kiri dan di kanan yang masing-masing gugus terdiri dari
empat pulau. Gugus pulau di sebelah kanan adalah P. Manado Tua, Bunaken,
Siladen, serta Mantehage, dan di kiri adalah P. Talise, Bangka, Gangga, dan
Lehaga. Ada juga yang menyebut P. Nain dengan nama Pulau Naen atau Naeng.
Penduduk di Pulau Nain mayoritas dari suku Bajo. Suku Bajo di Pulau
Nain, menurut kisah, berasal dari daerah Gowa Sulawesi Selatan. Mulanya
mereka menetap di pesisir kampung Kima Bajo dan Talawaan Bajo. Di pesisir
pantai Minahasa ini mereka mendirikan rumah yang disebut ‘daseng’. Setelah
sekitar seabad mendiami Kampung Kima Bajo, mereka berpindah ke Pulau Nain.
Struktur letak pemukiman Desa Nain terdiri atas pemukiman di daratan
datar, di lereng bukit dan di atas air. Pemukiman di Desa Tatampi (Tatampi Besar
dan Tatampi Kecil) serta di Kampung Tarente adalah pemukiman di daerah
daratan datar yang sempit di pinggir pantai. Tetapi berdasarkan survei Mei 2011
di Kampung Tatampi Kecil sudah ada pembangunan rumah tiang di atas air,
bahkan ada yang berkonstruksi permanen dengan menimbun laut (Gambar 12).
Berdasarkan data Kecamatan Wori dalam angka 2008, wilayah
administratif Desa Nain adalah 4,98 km2 atau 5,76% dari luas desa di Kecamatan
Wori. Nain merupakan pulau yang paling padat penduduk di Wori. Permukiman
Nain terdiri atas 6 jaga dengan jumlah penduduk 3.245 jiwa (Data desa 2010).
c) Mata pencaharian
Di Desa Nain terdapat 1.671 orang yang dikategorikan pada kelompok
usia kerja. Kelompok usia kerja terdiri dari nelayan, pengrajin cendramata dan
meubel, petani, nelayan, pedagang, tukang kayu, pembuat perahu, dan buruh.
Pengrajin cendramata dan pedagang didominasi oleh kaum wanita (ibu-ibu).
Berdasarkan survei, 95% dari penduduk Desa Nain merupakan nelayan
dengan dominasi pembudidaya rumput laut. Pada tahun 2010, terdapat 64
kelompok pembudidaya rumput laut. Selain itu terdapat 5 kelompok nelayan
tangkap. Jumlah anggota setiap kelompok nelayan berkisar 7–10 orang. Mata
pencaharian lainnya adalah usaha angkutan transportasi ke Manado. Selain itu
beberapa warga juga memiliki usaha berupa warung yang menjual kebutuhan
sehari – hari (DPU Sulut, 2009; DKP Minut, 2010; Pandelaki, 2011).
52
e) Sarana-prasarana
Di Desa Nain sudah terdapat fasilitas penerangan yang diperoleh dari PLN
dengan jam operasi dari jam 6 sore hingga jam satu subuh. Dan setiap hari minggu
maupun hari-hari raya ada jam operasi ekstra dari jam 7 pagi hingga jam 1 siang.
Sejumlah ibu rumah-tangga memanfaatkan energi listrik ini untuk pembuatan es
dan air es sebatas kapasitas kulkas. Sebagian warga memanfaatkan energi ini
untuk tayangan televisi kabel.
Sumur Aer Jere dari awalnya berjumlah dua maka penduduk membagi
yang dapat digunakan untuk air minum dan untuk mencuci. Air sumur ini rasanya
tawar walaupun jaraknya hanya beberapa meter dari laut. Sumber air lainnya
adalah “Air Anjing” dan sebuah sumur buatan.
f) Transportasi
Di Pulau Nain terdapat fasilitas berupa dermaga beton masing-masing
sepanjang kurang lebih 30 dan 40 meter untuk perahu motor yang mengangkut
penumpang. Ada lima buah perahu motor yang berfungsi sebagai sarana angkutan
penumpang atau dikenal dengan sebutan taksi laut. Setiap hari setidaknya 2 buah
perahu secara rutin menjadi angkutan umum ke Manado dengan biaya Rp.
15.000/orang atau Rp. 25.000/orang pp jika menggunakan perahu yang sama. Taxi
laut berangkat pada pagi hari sekitar pukul 07.30 WITA ke Manado, dan dari
Manado kembali ke Nain disesuaikan dengan kondisi pasang surut air laut.
Perjalanan pagi diupayakan sebelum air laut surut agar perahu tidak terperangkap
di “nyare” atau daerah karang yang dangkal. Perjalanan sore kembali ke Pulau
Nain dilakukan agar saat perahu tiba di perairan Pulau Nain, air laut sudah cukup
dalam sehingga perahu dapat mencapai dermaga. Selain kedua dermaga yang
telah disebutkan sebelumnya terdapat pula puluhan tambatan perahu di area
pemukiman Suku Bajo. Di setiap tambatan perahu ini terdapat tempat
penimbangan ikan hasil tangkapan nelayan yang kemudian akan dibawa ke tempat
pelelangan ikan di Manado.
Dalam sehari, dua kali pemberangkatan perahu penampung ikan ke
Manado, yakni pada subuh dan sore hari. Saat ini telah ada juga satu dermaga
baru yang dibangun oleh dinas perikanan yang dilengkapi dengan gudang rumput
laut dan tempat jemur rumput laut dengan konstruksi permanen.
55
Gambar 13 Arah arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada bulan Maret 2007.
Kecepatan arus permukaan ada yang tetap (seragam) dan ada juga yang
sering berubah-ubah. Kecepatan arus yang terjadi pada perairan sekitar Gugus
Pulau Nain umumnya lebih cepat di daerah bagian luar karang tepi, sedangkan
pada bagian dalam karang (gobah) kecepatan arus umumnya lemah bahkan ada
yang tidak terjadi arus. Kecepatan arus permukaan yang lemah, salah satunya
disebabkan pada saat pengukuran baru selesai turun hujan dimana kecepatan angin
sangat lemah, karena kecepatan angin juga berpengaruh pada proses pergerakan
massa air permukaan. Kecepatan arus lokasi penelitian seperti pada Tabel 7.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa kecepatan arus permukaan tidak
selalu mengikuti pola pergerakan dari pasang surut yang terjadi, begitu juga
dengan arahnya tidak mengikuti proses pergerakan massa air sesuai dengan
adanya pasang-surut. Padahal umumnya arah arus yang terjadi di daerah pantai
akan bergerak sejajar dengan garis pantai. Hal yang terjadi karena di daerah studi
merupakan daerah pulau sehingga pola pergerakannya baik kecepatan maupun
arahnya tidak seragam dan itu dapat berubah-ubah setiap saat. Begitu juga dengan
keadaan massa air yang diam (stagnan) walaupun pada waktu tersebut sedang
terjadi proses air pasang. Hal ini mengartikan bahwa proses pergerakan massa air
di daerah studi, arus pantai/lokal (arus utama) juga sangat berpengaruh, dan
kejadian seperti ini mengartikan sedang terjadi tabrakan dua tekanan massa air
antara arus pasang dengan arus pantai.
57
yang terbawa arus dapat terdistribusi dengan baik, serta rumput laut dapat
dibersihkan dari kotoran. Walaupun demikian, penataan berdasarkan kapasitas
areal budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain harus dilakukan. Penataan
dimaksudkan agar kecepatan arus tidak tereduksi oleh padatnya wadah budidaya
dan pembangunan rumah tinggal di areal budidaya. Selain itu, penataan akan lebih
mengefektifkan pekerjaan pembudidaya baik untuk waktu dan biaya, juga tenaga.
menggunakan metode tali panjang. Hal ini untuk menghindari rumput laut
mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Ebert et al.
(1973) menerangkan bahwa beberapa alga merah ditemukan pada perairan yang
dangkal, tetapi beberapa diantaranya tumbuh pada kedalaman yang lebih besar
daripada alga lain.
c. Keterlindungan
Keterlindungan adalah salah satu faktor utama resiko budidaya rumput
laut, untuk itu dalam pemilihan lokasi, keterlindungan sangat dipertimbangkan.
Hal ini untuk menghindari kerusakan sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut
dari pengaruh angin dan gelombang yang besar.
Gugus Pulau Nain selain merupakan daerah semi terbuka dari pengaruh
gelombang dan arus, juga merupakan daerah terbuka bagi pengaruh angin
(Gambar 15). Di bagian barat dan utara sering terkena badai dan gelombang besar
pada musim angin barat (November – Februari). Pengaruhnya dapat dilihat pada
kondisi karang yang menurut Rachman (2010) bahwa persentase tutupan karang
hidup di sisi ini rendah. Tetapi dengan adanya karang penghalang untuk meredam
gelombang maka kondisi angin barat ini sangat disukai oleh pembudidaya rumput
laut di Pulau Nain karena akan memberikan pertumbuhan yang paling baik.
60
Gelombang akibat angin dari Laut Sulawesi diredam oleh karang yang
mengelilingi pulau, sehingga hanya terjadi arus yang berfungsi membawa zat hara
dan membersihkan rumput laut. Menurut Sulistijo (2002), lokasi budidaya harus
terlindung dari hempasan ombak yang keras dan angin yang kuat, biasanya di
bagian depan dari areal budidaya mempunyai karang penghalang yang dapat
meredam kekuatan gelombang. Di bagian selatan Gugus Pulau Nain relatif
terlindungi dari serangan ombak besar pada musim angin barat. Daerah ini
terlindung oleh Pulau Mantehage sebagai penghalang.
d. Salinitas
Salinitas sangat berperan dalam budidaya rumput laut. Kisaran salinitas
yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut
menjadi terganggu. Salinitas dapat menimbulkan tekanan osmotik pada biota air
laut. Salinitas yang mendukung pertumbuhan Eucheuma alvarezzi berkisar antara
29–34 ppt (Doty, 1987), sedangkan menurut Kadi & Atmadja (1988) bahwa
kisaran salinitas yang dikehendaki jenis Eucheuma berkisar antara 34–37 ppt.
Menurut Sulistijo (2002) bahwa batas nilai salinitas terendah yang masih dapat
ditolerir untuk kehidupan rumput laut jenis Eucheuma sp. pada salinitas 28 ppt.
Anggadiredja et al. (2006) menyatakan salinitas yang baik untuk pertumbuhan
Eucheuma berkisar 28 – 33 ppt.
61
e. Substrat dasar
Substrat dasar perairan berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat
dasar di lokasi penelitian terdiri dari pecahan karang dan pasir berkarang. Dasar
62
perairan yang sedikit berlumpur hanya di dekat permukiman dan sebagian kecil di
padang lamun (Gambar 17).
Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah
campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan
substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput
laut. Substrat dasar yang berlumpur di kedalaman yang rendah akan mudah
terangkat saat adanya arus yang kuat dan gelombang sehingga dapat menyebabkan
kekeruhan perairan (Gerung et al. 2008). Dawes (1998) menyatakan bahwa
pertumbuhan rumput laut akan baik apabila lokasi budidaya di perairan dangkal
bersubstrat karang, pecahan karang, pasir atau campuran ketiganya.
Budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain tidak akan terlalu dipengaruhi
oleh substrat dasar karena metode yang digunakan adalah tali panjang permukaan.
Substrat dasar hanya mengindikasikan bahwa banyak terjadi pertumbuhan alga di
lokasi tersebut yang tentunya layak juga untuk pertumbuhan rumput laut yang
dibudidaya. Lee et al. (1999) dan Rorrer & Cheney (2004) menyatakan bahwa
pertumbuhan dan penyebaran rumput laut selain sangat tergantung pada faktor-
faktor ekologis juga ditentukan oleh jenis substrat dasarnya. Rumput laut hidup di
alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda
63
f. Suhu perairan
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses
metabolisme organisme di perairan. Suhu yang mendadak berubah atau terjadinya
perubahan suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme atau dapat
menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan
musim, letak lintang suatu wilayah, letak tempat terhadap garis edar matahari,
sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air, waktu pengukuran dan kedalaman air.
Pada rumput laut kenaikan suhu yang tinggi akan mengakibatkan thallus
menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat. Selama penelitian kisaran suhu
di perairan Pulau Nain 29–31,5oC (Gambar 18). Eucheuma sp. dapat tumbuh
dengan baik pada suhu 24–35 0C dengan fluktuasi harian maksimum 4°C (Mairh
et al. 1986 dan Puslitbangkan 1991). Suhu perairan yang tinggi dapat
menyebabkan kematian pada rumput laut, serta kerusakan enzim dan membran sel
yang bersifat labil. Pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat
64
seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk, maka nitrat
merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan konsentrasi kadar karaginan
rumput laut (Iksan 2005).
Peraturan Pemerintah RI No. 82/2001 (Lampiran 1) dan baku mutu air untuk biota
laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 51/2004 (Lampiran 2).
a. Fosfat
Fosfat di perairan dapat bersumber dari air limbah rumah tangga berupa
deterjen, residu pupuk, limbah industri, dan hancuran bahan organik. Fosfat juga
bisa ditentukan oleh kotoran manusia dan hewan serta deterjen (Percella 1985;
Chester 1990). Kandungan fosfat yang terdapat di perairan, umumnya tidak lebih
dari 0,1 mg/l. Perairan yang kadar fosfat cukup tinggi melebihi kebutuhan normal
organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Perkins 1974;
Kevern 1982).
Kandungan fosfat yang terdeteksi dalam penelitian ini rata-rata 0,001 mg/l
– 0,009 mg/l. Berdasarkan nilai baku mutu kualitas air dan pengendalian
pencemaran air pada kelas 1 yang mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 0,2
mg/l (PP. RI., No. 82 Tahun 2001) maka perairan dekat permukiman penduduk
Desa Nain tidak tercemar. Tingkat kesuburan yang ditetapkan oleh Effendi (2003)
menggolongkan kondisi perairan di dekat permukiman Desa Nain dalam tingkat
kesuburan rendah.
Gambar 22 menunjukkan kandungan fosfat pada titik awal sampel (di
bawah rumah penduduk) mengindikasikan bahwa sudah ada dampak dari kegiatan
manusia berupa limbah MCK dan penyiangan ikan. Terlihat juga, semakin ke arah
laut kandungan fosfat semakin menurun. Kandungan fosfat ini tidak akan
berpengaruh pada usaha budidaya rumput laut yang rata-rata jaraknya 100 – 150
m dari garis pantai.
0,012
0,01
0,009
0,008
Fosfat (mg/l)
0,006
0,004
0,002 0,002
0,001
-5E-18
0m 50 m 100 m 200 m
-0,002
Jarak titik pengamatan (m)
b. Nitrat
Nitrat (NO3) merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan
alga. Kadar nitrat pada perairan alami tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Apabila
suatu perairan memiliki kadar nitrat sebesar 5 mg/l maka mengindikasikan bahwa
perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas
manusia dan kotoran hewan (Effendi 2003).
Hasil pengukuran kandungan nitrat di perairan dekat permukiman
penduduk di Pulau Nain ada beberapa titik sampel yang nihil bahkan tidak
terdeteksi, sedangkan yang tertinggi bernilai 0,08 mg/l (Gambar 23). Berdasarkan
baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air pada kelas 1 yang
mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 10 mg/l maka secara keseluruhan
kandungan nitrat di sekitar permukiman penduduk belum mencemari perairan.
Apabila dibandingkan dengan baku mutu untuk biota laut maka nitrat di Stasiun
III, nilainya sama dengan ambang batas. Seperti sudah dijelaskan bahwa Stasiun
III berada di permukiman yang tinggi aktivitas MCK dan pengolahan ikannya.
0,135
0,095
Nitrat (mg/l)
0,08
0,055
0,015 0,01
0,005
I II III
-0,025
Stasiun pengamatan
Menurut Lee et al. (1978) bahwa kisaran nitrat perairan berada antara
0,01 – 0,7 mg/1, sedangkan menurut Effendi (2003) bahwa kadar nitrat-nitrogen
pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Apabila kadar nitrat
>0,2 mg/1 akan mengakibatkan eutrofikasi yang selanjutnya menstimulir
pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat.
Gambar 24 menunjukkan sebaran kandungan nitrat ke arah laut. Terlihat
bahwa kandungan nitrat lebih menurun ke arah laut. Ini menunjukkan bahwa
limbah dari sekitar permukiman penduduk, seandainya melampaui ambang batas
baku mutu air, tidak akan tersebar sampai ke areal budidaya rumput laut.
0,050
0,040
0,032
Nitrat (mg/l)
0,030
0,020
0,010
0,008 0,003
0,005
0,000
0m 50 m 100 m 200 m
-0,010
Jarak titik pengamatan (m)
Nain yang terdapat Stasiun I, II dan III dimana masing-masing stasiun terdiri atas
4 titik ke arah laut dapat dilihat pada Tabel 8.
dikarenakan sudah banyak lahan yang tidak dimanfaatkan lagi sehingga oleh
masyarakat lain mencoba memulai usaha budidaya rumput laut. Jenis rumput laut
yang dibudidaya adalah jenis E. denticulatum.
60
Jumlah responden (%)
51,65
50
40 35,16
30
20
10 6,59 6,59
2,20
0
< 1996 1996 1997 1999 2005
Tahun mulai usaha
Tabel 10 Persentase jenis usaha dan kepemilikan usaha rumput laut di P. Nain
Usaha Tahun 1996 – 2000 Tahun 2001 – 2006
Jenis Usaha (%)
Pembudidaya 92,13 61,02
Pedagang 4,49 1,69
Eksportir 0 0
Lainnya 3,37 37,29
Kepemilikan usaha (%)
Pemilik 86,52 55,93
Sewa Lahan 0 0
Tenaga Kerja 7,87 38,98
Lainnya 5,62 5,08
3,37% pada tahun 1996–2000 menjadi 37,29% pada tahun 2001–2005. Untuk
tahun 1996–2000 pekerja hanya 7,87% kemudian menjadi 38,98% pada tahun
2000–2006.
Pada tahun 1996–2000 jumlah tali ris yang dimiliki setiap pembudidaya
terkelompok pada jumlah 40–200 ujung yang umumnya menanam jenis K.
alvarezii, sedangkan tahun 2001–2006 tersebar mulai dari 10–200 ujung yang
umumnya menanam jenis E. denticulatum. Pada tahun 1996–2000 selain harga
jual yang tinggi juga masih adanya pemodal dari luar dengan sistem PIR.
Selain jumlah tali ris yang hampir seragam, juga masing-masing
pembudidaya memiliki panjang tali ris antara 30–200 meter. Di tahun 2001–2006,
dengan modal yang kecil pembudidaya memiliki panjang tali ris bervariasi antara
20–60 meter.
Keterkaitan lainnya terlihat pada Gambar 26, dimana 91,21% pembudidaya
pada tahun 1996–2000 memakai tenaga kerja, tenaga kerja dibutuhkan mulai dari
mengikat bibit sampai pasca panen. Pada tahun 2001–2006 hanya 34,07%
pembudidaya yang memakai tenaga kerja.
100 91,21
Jumlah responden (%)
75 65,93
50 34,07
25
8,79
0
Memakai Tenaga Kerja Tidak Memakai Tenaga Kerja
1996 - 2000 2001 - 2006
Penyerapan tenaga kerja
Gambar 26 Keberadaan tenaga kerja pada budidaya rumput laut di Pulau Nain.
yang lain. Hasil kurang dari 1 ton umumnya diproduksi untuk suplai bibit,
sehingga jumlahnya hampir sama untuk kedua kurun waktu. Bibit disuplai bukan
hanya untuk budidaya rumput laut di Pulau Nain tetapi ke seluruh sentra budidaya
di Sulawesi Utara, bahkan sampai ke Gorontalo dan Maluku Utara.
Produksi tertinggi rumput laut di Pulau Nain tahun 1996–2000 terjadi pada
bulan September–Pebruari tahun berikutnya. Produksi yang dimaksud didominasi
oleh K. alvarezii. Responden yang menjawab produksi tertingginya pada bulan
Maret, umumnya yang membudidaya E. denticulatum dan sebagian kecil K.
alvarezii, sedangkan untuk Juni–Juli secara keseluruhan yang dibudidaya adalah
E. denticulatum. Untuk tahun 2001–2006 produksi terjadi sepanjang tahun, karena
yang dibudidaya umumnya adalah E. denticulatum. Produksi rumput laut bulanan
di Pulau Nain untuk kedua kurun waktu dapat dilihat pada Tabel 11.
jumlah tali ris, paling banyak yakni 63% memiliki tali ris 60 ujung, 31% memiliki
100 ujung, dan hanya 6% yang memiliki tali ris sebanyak 40 ujung. Dan untuk
panjang tali ris, saat ini 69% memelihara rumput laut di tali ris sepanjang 60
meter, dan 31% pada tali ris 100 meter.
Pembudidaya rumput laut mendapatkan bibit sebagian besar berasal dari
sisa budidaya yakni 38%, dan 31% bibit diambil dari alam, 25% beli dari
pembudidaya yang lain, serta sisanya 6% memiliki kebun bibit. Umumnya
pembudidaya mampu memilih bibit yang berkualitas baik. Untuk berat awal dan
jarak tanam bibit rumput laut dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Persentase berat awal dan jarak bibit yang ditanam oleh pembudidaya
Berat awal bibit yang ditanam
Berat bibit 100 g 200 – 250 g
% 85% 15%
Jarak bibit yang ditanam
Jarak tanam 20 cm 25 cm 30 cm
% 29% 57% 14%
wanita. Pekerja pria yang diupah sebanyak 26% serta pembudidaya yang memakai
tenaga kerja pria dan wanita sebanyak 74%.
Teknik pemanenan yang dilakukan pembudidaya rumput laut, 73%
pembudidaya memanen keseluruhan rumput laut, 27% melakukan pemetikan
dengan menyisakan pangkal rumput laut untuk dipelihara pada siklus berikutnya.
Hasil panen dijemur di atas rak (para-para) yang terbuat dari bambu. Para-para
ditancapkan dengan tiang bambu atau kayu di atas air. Pengeringan dilakukan
selama 3 hari atau lebih tergantung cuaca saat penjemuran. Agar rumput laut
kering merata maka setiap 3 – 4 jam rumput laut dibalik. Ada juga pembudidaya
yang membalik rumput laut kurang dari 3 jam, tetapi ada yang melakukannya
setiap 6 jam.
Pengetahuan pembudidaya dalam membedakan rumput laut kering antara
jenis K. alvarezii dan E. denticulatum masih tergantung dari pengalaman mereka
masing-masing. Sebanyak 86% pembudidaya bisa membedakannya tetapi
pembudidaya yang lain belum mampu membedakan antara jenis K. alvarezii dan
E. denticulatum yang sudah kering. Walaupun demikian, untuk mencegah
tercampurnya kedua jenis maka awal pengeringan sudah dilakukan pemisahan.
Semua responden mengatakan bahwa mereka sudah mengetahui mutu
rumput laut kering, sebagian mengetahuinya dari pengalaman pribadi dan
sebagian mengetahui dari penyuluhan instansi terkait. Lama penyimpanan, 50%
menyimpan rumput laut kering selama 1–3 bulan, 6% pembudidaya menyimpan
lebih dari 3 bulan, dan 44% menyimpan kurang dari 1 bulan atau langsung
menjualnya. Umumnya mereka menjual hasil rumput laut kering kepada pedagang
pengumpul yang berada di Desa Nain, kecuali jika mereka ke Manado bersamaan
dengan tersedianya rumput laut kering maka mereka menjual langsung ke
perusahaan. Itupun tidak dalam jumlah yang banyak karena yang mereka
perhitungkan adalah biaya transportasi. Harga rumput laut kering di Manado
biasanya lebih tinggi Rp. 250,- – Rp. 500,- per kilogram dibandingkan dengan
harga pada pengumpul di Desa Nain.
Aspek lain yang perlu diketahui adalah kelembagaan. Di desa pesisir
seperti di Pulau Nain terdapat lembaga pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi,
dan sosial budaya yang dapat dilihat pada Tabel 14. Menurut data DKP Minut,
82
saat ini terdapat 64 kelompok pembudidaya rumput laut di Desa Nain. Ironisnya,
65% responden menyatakan belum memiliki kelompok. Peranan kelompok, 86%
menyatakan membantu dalam pemasaran, dan 14% menyatakan membantu dalam
penyediaan bibit. Peranan lain dari kelompok adalah menjalin kerjasama dengan
pihak tertentu sebagai pembeli rumput laut.
mudah dari lembaga kredit lain. 92% responden menyatakan melunasi pinjaman
modal dari koperasi tepat waktu. Ada 28% responden pernah berhubungan dengan
pihak tengkulak untuk modal. Proses adiministrasi peminjaman, sebagian
responden menyatakan mudah tetapi sebagian menyatakan rumit.
Partisipasi responden dalam kegiatan penyuluhan hanya 7% yang
menyatakan selalu mengikutinya, 60% kadang-kadang, dan 33% tidak pernah.
69% responden merasakan manfaat dalam mengikuti kegiatan penyuluhan.
Kegiatan pelatihan atau studi banding: 44% responden belum pernah mengikuti,
19% sering mengikuti, dan kadang-kadang 37%.
Untuk aspek keuangan, sebanyak 80% pembudidaya menyatakan pernah
menghitung ongkos produksi dan keuntungan dari budidaya rumput laut.
Perhitungan keuntungan: 80% responden mendapat info harga dari pembeli, dan
sisanya dari penyuluh. Walaupun demikian, pembelilah yang menentukan harga
rumput laut. Pertimbangan pembudidaya memilih pembeli adalah harga lebih
tinggi (73%), 7% mempunyai hubungan baik, 20% jarak ke tempat penjualan.
Gambar 27. Informasi dari pembudidaya berasal dari pengalaman dan daya ingat
untuk kurun waktu 10 tahun yakni tahun 1996 – 2006, dan data penelitian didapat
dari tahun 2007 – 2008.
Pada hasil penelitian, bulan Maret pertumbuhan rumput laut menurun
drastis tetapi ada 2,13% responden menjawab bahwa bulan Maret pernah
mengalami puncak produksi. Bulan April dan Mei tidak ada responden yang
mengalami puncak produksi padahal hasil pertumbuhan dari penelitian bahwa
pada bulan April–Mei mulai meningkat, demikian juga untuk bulan Agustus.
Bulan-bulan lainnya, kecuali bulan desember, kedua informasi saling menunjang.
Pada bulan Desember dengan pertumbuhan yang menurun, ada 19,15% responden
menjawab bahwa bulan tersebut merupakan puncak produksi rumput laut. Diduga
yang mempengaruhi adalah kondisi lingkungan untuk tahun yang berbeda. Selain
itu tidak ada informasi lebih lanjut dari pembudidaya rumput laut di Pulau Nain
tentang jenis yang memberikan produksi tertinggi di bulan-bulan tertentu. Seperti
sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa K. alvarezii jika dapat beradaptasi
dengan perubahan lingkungan maka laju pertumbuhannya akan lebih baik. Secara
keseluruhan, budidaya rumput laut K. alvarezii (Cottonii) di Gugus Pulau Nain
dapat diusahakan sepanjang tahun. Teknik dan cara untuk mengantisipasi apabila
terjadi perubahan atau gangguan lingkungan dan biologi yang ekstrim pada
rumput laut maka dibuat suatu pola tanam dalam tabel, seperti pada Tabel 15.
Tabel 15 Pola tanam berdasarkan perubahan kondisi ekologi dan biologi rumput
laut serta teknik penanggulangannya.
Kondisi Bulan kalender
Penanggulangan
Lokasi 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
1 Penghujan & Kemarau: kedalaman tali
Kemarau minimal 50cm
4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
Penghujan: jmlh tali
dibatasi
2 Rumput laut Bersihkan RL
terserang - - - - - - - - - - 2 3 Menggoyang tali
epifit Batasi jmlh tali ris
3 Prevalensi Memetik yg berpenyakit
pada rumput
4 5 6 7 8 9 - - 12 - - - Mengganti yang
laut berpenyakit
Memanen cepat
4 Pertumbuhan
- - - - - - - - - - - 3 Ganti bibit
lambat Jarak tali diperlebar
5 Laut - 5 - - 8 9 10 11 12 1 2 3 Batasi jumlah tali
bergelombang
86
kecepatan arus melemah, dan kekeruhan perairan. Menurut Boyd (1979) in Armita
(2011) bahwa kondisi kekeruhan yang baik untuk budidaya rumput laut yakni 10
< 40 NTU, selanjutnya WALHI (2006) in Armita (2011) kekeruhan standar untuk
lingkungan rumput laut adalah kurang dari 20 NTU.
Hujan juga berakibat buruk pada waktu pasca panen yakni lama
pengeringan apabila memanfaatkan sinar matahari. Lain halnya dengan musim
kemarau yang dapat mempercepat waktu pengeringan. Kebutuhan cahaya
matahari dalam budidaya rumput laut menurut Djawad (1987) in Armita (2011)
dibutuhkan intensitas cahaya sekitar 5000 lux. Dalam Wikipedia, dijelaskan
bahwa musim hujan atau musim basah adalah musim dengan ciri meningkatnya
curah hujan di suatu wilayah dibandingkan biasanya dalam jangka waktu tertentu
secara tetap. Secara teknis meteorologi, musim hujan dianggap mulai terjadi
apabila curah hujan dalam tiga dasarian berturut-turut telah melebihi 100 mm per
meter persegi per dasarian dan berlanjut terus. Apabila hal ini belum terpenuhi
namun curah hujan telah tinggi kondisinya dianggap sebagai peralihan musim
(pancaroba). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk dapat disebut musim kemarau,
curah hujan per bulan harus di bawah 60 mm per bulan (atau 20 mm per dasarian)
selama tiga dasarian berturut-turut. LAPAN (2009) menyatakan bahwa Indonesia
mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya,
88
Laju pertumbuhan harian (LPH) seperti pada Tabel 16, terlihat berada di
atas 3%. Menurut Anggadiredja et al. (2006) bahwa faktor pertumbuhan rumput
laut jenis Eucheuma sp. dikatakan baik jika laju pertumbuhan hariannya tidak
kurang dari 3%. Kisaran LPH dalam penelitian ini, K. alvarezii nilai terendah
terdapat pada siklus II yakni 3,12%, dan yang tertinggi pada siklus VIII yakni
7,79% yang keduanya berada pada titik sampel permukaan (0 cm). Apabila
dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, LPH rumput laut di
Gugus Pulau Nain dapat dikatakan lebih baik. Bahkan ada yang hasil penelitian
sebelumnya LPH di bawah 3% walaupun ada beberapa yang LPH relatif sama
yaitu sekitar 5–7%. Gambar 28 memperlihatkan pertumbuhan mutlak yaitu selisih
antara berat akhir dan berat awal.
Pada Gambar 28 terlihat bahwa awalnya pertumbuhan relatif lambat.
Dalam penelitian pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008 terjadi angin dan
gelombang, sehingga upaya pembersihan rumput laut tidak maksimal. Seiring
91
Okt-Nov
Feb-Mar
Apr-Mei
Nop-Des
Jan-Feb
Feb-Mar
Mei-Jun
Jul-Ags
Ags-Sep
I II III IV V VI VII VIII IX
1600
1458
1400
1300
0 cm 50 cm 100 cm
Kedalaman dari permukaan air (cm)
Gambar 29 Pertumbuhan mutlak K. alvarezii pada kedalaman
berbeda di areal budidaya pada tahun 2007 - 2008.
meningkat sampai pada akhir penelitian. Tetapi di sini bukan disebabkan oleh
tumbuhan atau hewan pengganggu, ini lebih disebabkan oleh bibit yang
beradaptasi dengan kondisi perairan yang baru karena jelas terlihat
pertumbuhannya lebih baik pada siklus-siklus berikutnya, bahkan melebihi laju
pertumbuhan di areal budidaya.
Jenis epifit yang menempel pada rumput laut ditemukan juga di daerah ini
tetapi hanya di beberapa bagian thallus saja. Jenis epifit yang ditemukan sama
dengan di areal budidaya. Rata-rata LPH di luar areal budidaya ini lebih tinggi
daripada di daerah areal budidaya, nilai terendah terdapat pada siklus I yakni
5,79% di kedalaman 100 cm, dan yang tertinggi pada siklus VIII yakni 7,95% di
permukaan air (0 cm).
Tabel 17 Laju pertumbuhan harian K. alvarezii di luar areal budidaya pada tahun
2007–2008
Siklus Tanam dan pertumbuhan (%)
Kedalaman I II III IV V VI VII VIII IX
(cm) Feb- Apr- Mei- Jul- Ags- Okt- Nov- Jan- Feb-
Mar Mei Jun Ags Sep Nov Des Feb Mar
0 5,85 5,66 5,87 7,14 7,75 7,77 7,89 7,95 7,67
50 5,90 5,82 5,94 7,21 7,75 7,63 7,86 7,86 7,53
100 5,79 5,98 6,18 7,34 6,03 7,78 7,84 7,93 7,48
3500
Pertumbuhan mutlak (g/45 hari)
2913 2978
2748
3000 2556
2213 2281
2500
2000
1278
1177
1500
1000 544
500
0
Feb-Mar Apr-Mei Mei-Jun Jul-Ags Ags-Sep Okt-Nov Nop-Des Jan-Feb Feb-Mar
I II III IV V VI VII VIII IX
Siklus tanam (bulan kalender)
Pada Gambar 30, memang terlihat bahwa pertumbuhan awal rumput laut
K. alvarezii masih rendah karena seperti diketahui kondisi lingkungan yang tidak
bersahabat pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008. Untuk areal ini sangat
dipengaruhi oleh hempasan gelompang dan kecepatan arus. Sama seperti pada
rumput uji di areal budidaya, faktor kedalaman sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan rumput laut, hal ini jelas terlihat pada Gambar 31, dimana rumput
laut yang semakin jauh dari permukaan air pertumbuhannya semakin menurun.
Pertumbuhan mutlak (g/45 hari)
2200
2150
2100
2050 2131
2103
2000
1950
1996
1900
1850
1800
0 cm 50 cm 100 cm
Kedalaman dari permukaan air (cm)
500
448 449 449
Pertumbuhan mutlak (g/45hari)
400
300
200
100
0 cm 50 cm 100 cm
Kedalaman dari permukaan air (cm)
babi, penyu, dan bintang laut paling banyak menyerang rumput laut, terutama
pada jenis Kappaphycus, tetapi selama penelitian tidak ditemukan.
Munculnya predator biasanya berhubungan dengan penempatan sarana
budidaya di ekosistem atau dekat ekosistem padang lamun, dimana biota
herbivora merupakan populasi yang bersifat endemi di situ. Dalam beberapa
kasus, ikan herbivora terangkut bersama bibit rumput laut dari daerah yang lain.
Atau keberadaan ikan-ikan ini di padang lamun untuk memijah, sehingga hanya
ditemukan pada musim tertentu (Neish, 2005). Serangan hama selain berdampak
langsung hilangnya rumput laut, juga mengakibatkan terbukanya bagian luar
thallus yang memudahkan masuknya bakteri yang dapat menyebabkan penyakit.
Jenis epifit yang ditemukan selama penelitian, terdiri dari: Acanthopora
spicifera, Hypnea, Polysiphonia, Dictyota dichotoma, Padina santae,
Chaetomorpha crassa, Polysiphonia, dan Coraline algae (Gambar 33). Menurut
Hurtado et al. (2005) dampak dari serangan epifit akan berpengaruh pada
kompetisi terhadap ruang, nutrien, dan gas-gas terlarut sehingga dapat
menghambat pertumbuhan, dan akhirnya kehilangan sebagian atau total biomassa.
Menurut Neish (2005), rumput laut akan sehat kembali bila dipindahkan ke
kondisi air yang lebih baik.
Penyakit yang menyerang rumput laut disebut ice-ice, rumput laut yang
terserang akan kehilangan pigmen pada jaringannya sehingga thallus akan
membusuk dan kemudian putus. Uyenco et al. (1981) in Neish (2005),
memperhatikan bahwa terdapat populasi bakteria yang tinggi pada jaringan yang
terserang ice-ice tetapi disimpulkan bahwa itu hanya masalah sekunder. Doty
(1987) menyatakan bahwa ice-ice merupakan keadaan musiman, dan berkaitan
dengan perubahan musim. Selanjutnya menurut Largo et al. (1995) in Neish
(2005) bahwa bakteri tertentu yang menyerang apabila bibit rumput laut sedang
stres, sehingga perlu diperhatikan beberapa faktor abiotik yang dapat menjadi
pemicu gejala ini. Selanjutnya, dinyatakan bahwa di Jepang Selatan, penyakit ice-
ice pada K. alvarezii disebabkan intensitas cahaya yang kurang, salinitas di bawah
dari 20 ppt, dan temperatur yang tinggi (>35 0C).
Tabel 19 Asumsi teknis dan parameter keuangan usaha rumput laut per hektar
No Uraian Satuan Nilai per unit
1. Masa investasi tahun 2
2. Luas areal usaha hektar 1
3. Jumlah tali ris buah 140
4. Jarak antar tali ris meter 1
5. Jarak antar titik ikat bibit cm 30
6. Jumlah titik bibit titik/ha 28.000
7. Berat awal bibit gram 100
8. Kebutuhan bibit ton/hektar 2,8
9. Pemanenan kali panen 6
10. Rendeman ratio 10:1
11. Bunga kredit % 12
12. Harga jual oleh pembudidaya Rp,000/kg 12
13. Produksi BB/ha/panen kg 44.492
14. Produksi BK/ha/panen kg 4.449,2
15. Nilai jual/ha/panen Rp,000 53.390.400
16. Harga jual 6 kali panen/tahun Rp,000 320.342.400
102
Dana usaha yang dibutuhkan dalam budidaya rumput laut terbagi atas:
investasi infrastruktur, biaya operasional yang terdiri dari biaya tenaga kerja dan
bibit, serta cadangan kontingensi. Biaya bibit masing-masing jenis hanya untuk
siklus tanam pertama. Modal pinjaman adalah kredit modal kerja. Kreditor
dianggap telah memiliki modal senilai alat-alat perikanan dan perlengkapan lain
yang telah mereka miliki. Kebutuhan modal kerja dan investasi dapat dilihat pada
lampiran 6, atau pada Tabel 20. Dasar perhitungan adalah per 1 tahun usaha untuk
investasi 2 tahun.
Hasil dan pendapatan penjualan rumput laut untuk 2 tahun yang masing-
masing 6 siklus tanam dengan nilai yang sama setiap siklus. Untuk tahun pertama
yang sama dengan tahun kedua seperti pada Tabel 22.
Perhitungan rugi-laba dimaksudkan untuk menentukan keuntungan bersih
usaha budidaya rumput laut. Dari jumlah ikatan sebanyak 40.000 dibutuhkan bibit
4 ton untuk areal 1 hektar. Hasil yang diperoleh adalah 4.449,2 kg/hektar rumput
laut kering. Harga jual Rp. 12.000/kg, sehingga diperoleh hasil penjualan sebesar
Rp. 53.390.400/ha/panen. Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa usaha budidaya
rumput laut K. alvarezii akan memberikan keuntungan mulai dari siklus tanam IV,
dan terus meningkat sampai akhir tahun kedua umur proyek. Proyek selanjutnya,
tidak ada lagi pinjaman, malahan keuntungan dapat digunakan untuk
pengembangan usaha. Hasil penerimaan ini dibandingkan dengan biaya maka nilai
NPV sebesar Rp. 102.074.976 dan B/C ratio 1,272 (Lampiran 8) dan payback
period adalah 1 tahun 3 bulan 8 hari dengan demikian usaha ini layak.
Tabel 22 Perhitungan hasil dan penjualan rumput laut kering per panen
Produksi Siklus tanam
I II III IV V VI
Jumlah ikatan (rumpun) 4.000 4.000 4.000 4.000 4.000 4.000
Berat per ikat (kg) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Jumlah wadah (buah) 7 7 7 7 7 7
Jumlah bibit (kg) 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800
Kelipatan panen 6 6 6 6 6 6
Hasil budidaya (kg) 44.492 44.492 44.492 44.492 44.492 44.492
Hasil produksi kering (kg) 4.449,2 4.449,2 4.449,2 4.449,2 4.449,2 4.449,2
Harga (Rp. x 1000) 12 12 12 12 12 12
Hasil penjualan (Rp. x 1000) 53.390,4 53.390,4 53.390,4 53.390,4 53.390,4 53.390,4
Perairan Arakan oleh Gerung & Ngangi (2009), serta di Teluk Totok dan Buyat
oleh Manembu et al. (2009) dan Gerung et al. (2009).
Produksi rumput laut per hektar untuk masing-masing kabupaten
berdasarkan pertumbuhan rumput laut dari hasil penelitian menunjukkan nilai-
nilai yang berbeda, dimana untuk analisis ini digunakan hasil pertumbuhan
tertinggi. Perairan Gugus Pulau Nain sebesar 63.573 kg/ha, Perairan Bentenan dan
Tumbak sebesar 29.339 kg/ha, Perairan Arakan sebesar 29.797 kg/ha, serta di
Teluk Totok dan Buyat sebesar 21.920 kg/ha.
Dewasa ini, efisiensi menjadi hal utama dari berbagai kalangan baik
industri maupun non-industri. Efisiensi yang dimaksud adalah rasio antara input
dengan output. Menurut Permono (2000), suatu usaha dapat dikatakan efisien
apabila: 1) Mempergunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingkan
jumlah unit input yang digunakan oleh usaha lain dengan menghasilkan jumlah
output yang sama, 2) Menggunakan jumlah unit input yang sama, tetapi dapat
menghasilkan jumlah output yang lebih besar. Penelitian ini dengan metode
analisis DEA maka dapat diketahui wilayah mana yang efisien dalam penggunaan
input dan pengeluaran output untuk budidaya rumput laut di Sulawesi Utara. DEA
digunakan sebagai model pengukuran tingkat kinerja atau produktifitas dari
sekelompok unit organisasi. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan penggunaan input yang dapat dilakukan untuk
menghasilkan output yang optimal.
Variabel-variabel yang menyebabkan produksi (output) rumput laut yang
berbeda per hektar perlu diketahui, karena variabel luasan, tenaga kerja, dan
jumlah benih sebagai variabel input yang digunakan adalah sama. Analisis DEA
pada perilaku empat wilayah budidaya rumput laut diamati untuk melihat pola
efisiensi relatif dari keempat wilayah tersebut. Keempat wilayah di atas
merupakan unit pengambil keputusan (DMU = Decision Making Units). Keempat
DMU dipilih dengan alasan mewakili bagian utara, selatan, timur, dan barat dari
sebagian besar wilayah Sulawesi Utara. Analisis ini diharapkan dapat memberikan
arahan wilayah yang efisien untuk digunakan sebagai areal budidaya rumput laut,
serta wilayah mana yang perlu ada perbaikan agar dalam pengelolaannya efisien.
Suatu DMU dikatakan efisien secara relatif, bilamana nilai dualnya sama dengan 1
106
(nilai efisiensi = 100 %). Sebaliknya bila nilai dualnya kurang dari 1, maka DMU
bersangkutan dianggap tidak efisien secara relatif (Nugroho, 1995).
Salah satu keunggulan metode DEA di dalam menganalisis kapasitas atau
efisiensi adalah efisiensi relatif dapat dihitung menggunakan beberapa variabel
output dengan mempertimbangkan beberapa variabel input sebagai kendala. Pada
analisis ini variabel output yang dipertimbangkan hanya variabel produksi.
Variabel-variabel yang lain digunakan sebagai variabel input (kendala) (Lampiran
12). Analisis DEA dalam pembahasan ini menggunakan cara skoring berdasarkan
konsep efisiensi, dimana variabel tujuan mengarah pada maksimum manfaat
sedangkan variabel kendala mengarah pada minimum kerugian (berkonotasi
biaya). Dalam hal ini variabel bibit yang layak akan mendapat nilai skor rendah
karena sebagai suatu kendala (biaya) kelayakan ini yang berkonsekuensi biaya
yang rendah. Sebaliknya variabel tenaga kerja yang tidak layak akan mendapat
nilai skor tinggi karena berkonsekuensi memerlukan biaya tambahan yang tinggi
untuk memperbaikinya sehingga menjadi layak. Statistik data input dan output
untuk analisis DEA seperti pada Tabel 23.
Pada Tabel 23 dapat diketahui bahwa tali terpanjang yakni 100 m terdapat
pada Perairan Arakan dan Bentenan-Tumbak, tali terpendek yakni 15 m terdapat
di Pulau Nain. Luasan areal terbesar yakni 358,4 hektar yang berada di Pulau Nain
dan yang terkecil berada di Perairan Arakan. Sedangkan jumlah tenaga kerja per
hektar per tahun serta jumlah benih rumput laut per hektar yang ditanam adalah
sama untuk semua lokasi, dimana tenaga kerja 12 orang per hektar per tahun dan
bibit 4.000 kg per hektar per musim tanam.
Tabel 24 menunjukkan korelasi antar variabel dari keseluruhan variabel di
keempat wilayah budidaya rumput laut di Sulawesi Utara. Korelasi adalah nilai
yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier dua variabel atau indikator.
107
Ini menunjukkan bahwa budidaya rumput laut di Pulau Nain dan Perairan
Arakan telah efisien dalam produksi dengan dibandingkan pada panjang tali,
tenaga kerja, luasan areal, dan benih. Atau dapat dikatakan bahwa budidaya
rumput laut di Sulawesi Utara yang memberi manfaat tinggi dalam hal produksi
adalah areal P. Nain dan Perairan Arakan.
108
3
DMU
Pada aspek ekologi untuk kondisi arus lemah, dimana hanya pada stasiun
VIII yang memenuhi syarat, dibutuhkan penataan areal agar arus dapat berjalan
dengan baik tanpa lebih dihambat oleh padatnya wadah budidaya. Penataan dapat
dilakukan dengan membatasi jumlah wadah sesuai kapasitas perairan, yakni 7
wadah berukuran 20 x 60 m2 per hektar. Jarak areal budidaya disarankan 200 m
dari garis surut terendah sebagai antisipasi apabila limbah domestik sudah
melewati ambang batas baku mutu air untuk pencemaran maupun syarat hidup
biota air laut, selain itu untuk menghindari konflik dengan peruntukkan lain dari
perairan Gugus Pulau Nain. Pengembangan usaha dapat dilakukan di bagian lain
perairan yang selama ini belum dimanfaatkan yakni di sekitar batas karang.
Pemanfaatan badan air yakni sampai kedalaman 1 meter untuk mengantisipasi
apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim.
Pada aspek biologi, pola tanam yang belum ada akan berpengaruhi pada
produksi, terutama terganggunya rumput laut oleh penyakit ice-ice, sehingga
disarankan dihentikan penanaman rumput laut pada bulan Maret. Penghentian
penanaman pada bulan Maret karena pada waktu itu pertumbuhan rendah.
Penghentian penanaman dilakukan dengan tujuan memutus secara biologis siklus
hidup epifit yang merupakan salah satu penyebab penyakit. Pengembangan jenis
rumput laut untuk mendapatkan jenis yang bermutu dan tahan penyakit agar dapat
meningkatkan produksi. Penanaman sebaiknya mulai bulan Agustus karena
pertumbuhan terbaik terjadi mulai bulan Agustus.
Pada aspek sosial, agar tidak terjadi konflik sosial terutama budaya
masyarakat maka yang dibutuhkan hanya himbauan tentang pembatasan
pembangunan rumah di atas air. Aspek ekonomi berhubungan dengan keuntungan
usaha maka rekomendasi yang diberikan adalah meningkatkan status usaha dari
tradisional ke semi intensif bahkan sampai ke usaha intensif. Usaha intensif yakni
berupa usaha profesional agar semua potensi dapat dimanfaatkan, dalam hal ini
potensi tenaga kerja. Peningkatanan usaha juga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat pesisir bahkan masyarakat pada umumnya.
113
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bengen DG. 2002. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, berkelanjutan dan
berbasis masyarakat. [Makalah]. Di dalam: Pelatihan Pengelolaan Wilayah
Pesisir Secara Terpadu. Makasar, 4 – 9 Maret 2002.
Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak realitas dan urgensi pengelolaan
berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Jakarta. Pusat Pembelajaran
dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
[BI] Bank Indonesia. Pola pembiayaan usaha kecil – Budidaya rumput laut
(Metode tali letak dasar). Direktorat Kredit, BPR dan UMKM.
Bird KT, Benson PH. 1987. Development in aquaculture and fisheries resources.
Elsevier. Amsterdam.
[BIROKSDANTB] Biro kerjasama dan sumberdaya alam NTB. 2010. Rumput
laut. Database perikanan, sektor perikanan dan kelautan.
http://biroksdantb. web.id/database_lengkap.php?id_co=123&id_cat=8.
[22 Januari 2012].
Blankenhorn SU. 2007. Seaweed farming and artisanal fisheries in an Indonesian
seagrass bed–Complementary or competitive usages? Vorgelegt im
Fachbereich 2 (Biologie/Chemie) der Universität Bremen als Dissertation
zur Erlangung des akademischen Grades eines Doktors der
Naturwissenschaften.
Blom G, Van Duin EHS, Lijklema L. 1994. Sediment resuspencion and light
condition in some shallow Dutch Lakes. Water Science and Technology.
Boyd CE. 1999. Management of shrimp ponds to reduce the eutrophication
potential of effluents. The Advocate, December 1999 : 12-13.
[BPM-PD] Badan pemberdayaan masyarakat – pemerintah Desa/Kabupaten
Minahasa Utara. 2010. Penyusunan Database Potensi Desa/Kelurahan
Pesisir. Desa Nain Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara.
[BPS] Badan pusat statistik Kabupaten Minahasa Utara. 2009. Minahasa Utara
dalam angka.
[BPS] Badan pusat statistik Provinsi Sulut. 2009. Sulawesi Utara dalam Angka.
Buschmann AH, Lopez AD, Medina A. 1996. A review of the environmental
effect and alternative production strategies of Marine Aquaculture in
Chile. Aquaculture Engineering Vol. 5 (6): 397 – 421.
Chester R. 1990. Marine geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London. Cole, G.A.
1988. Textbook of Limnology. 3th Ed. Waveland Press Inc. Illionis USA.
Clark RB. 1986. Marine pollution. Clarendon. Press. Oxford.
Cocon. 2011. Status rumput laut Indonesia, peluang dan tantangan. Indonesian
Aquaculture Society. www.aquaculture-mai.org/index.php?Option=com_
jdownloads&Itemid=87&task=finish&cid=85&catid=5&m=0.[3Jan 2012].
Crawford B. 2002. Seaweed farming: an alternative livelihood small-scale fishers?
Working paper. Coastal Resources Center, Unversity of Rhode
Island. http://www.google.com.
117
Glenn EP, Doty MS. 1990. Growth of the seaweeds Kappaphycus alvarezii,
Kappaphycus striatum and Eucheuma denticulatum as affected by
environment in Hawaii. Aquaculture, 84: 245-255.
Goldberg P, Chen ZY, O’Connor W, Walters R, Ziock H. 2001. CO2 mineral
sequestration studies in US. Presented at the First National Conference on
Carbon Sequestration, Washington DC. May 14-17.
Gross MG. 1993. Oceanography. A view of earth. Sixth Edition. Prentice-Hall
Inc. New Jersey.
Hardjowigeno S, Widiatmaka AS, Yogaswara. 2001. Kesesuaian lahan dan
Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Hartoto. 2009. Penelitian deskriptif. LPM Penalaran Univ. Negeri Makasar.
http://www.penalaran-unm.org.
Helfinalis. 2005. Kandungan total suspended solid dan sedimen dasar di Perairan
Panimbang. Makara Sainsm Vol 9(2).
Herlinah, Rachmansyah, Asaad AIJ. 2009. Tingkat penyerapan nitrat oleh rumput
laut Kappaphycus alvarezii Mdy. Agency for Marine and Fisheries
Research & Development Digital Library – Pdii Lipi.
http://www.sidik.litbang.kkp. go.id/index.php/searchkatalog/byId/418. [7
Januari 2012)
Hikmat H. 2002. Strategi pemberdayaan masyarakat. Humaniora Utama Press.
Bandung.
Hikmayani Y, Purnomo AH. 2006. Analisis pemasaran dan kelembagaan rumput
laut di Indonesia. Makalah disampaikan pada Temu Bisnis Rumput Laut di
Makassar 1 September 2006, 21 pp.
Horowitz A, Horowitz S, 2000. Microorganisms and feed management in
aquaculture. Global Aquaculture Alliance, The Advocate, Vol. 3, Issue 2,
April 2000, p:33-34.
Hurtado AQ, Ponce. 1992. Cage culture of Kappaphycus alvarezii var. Tambalang
(Gigartinales, Rhodophycae). J. Applied Science, Kluwer Academic
Publisher. Belgium, 4:311-313.
Hurtado AQ, Critchley AT, Trespoey A, Lhonneur GB. 2005. Occurrence of
polysiphinia epiphytes in Kappaphycus farms at Calaguas Island,
Camarines Norte. Philippines.
Hynes HBW. 1974. The Ecology running water. University of Toronto Press
Iksan 2005. Kajian pertumbuhan, produksi rumput laut (Eucheuma cotonii), dan
kandungan karaginan pada berbagai bobot bibit dan asal thallus di Perairan
Desa Guruaping Oba Maluku Utara. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Istitut Pertanian Bogor.
Irawan MA. 2007. Cairan tubuh, elektrolit dan minael. Sports science brief. polton
sports scinece and performance lab. Vol. 01 (2007) No. 01.
www.pssplab.com.
120
Neish IC. 2005. Agronomy, biology and cultivation system. Handbook Vol. 1. The
Eucheuma Seaplant: Predators, Diseases, Weeds and other Issues.
Technical Monograph No. 0505-10A. IFC-PENSA, Makassar. Translated
by Matulessi.
Ngangi ELA. 2001. Kajian intensifikasi dan analisis finansial usaha budidaya
rumput laut Kapaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak Kecamatan
Belang Provinsi Sulawesi Utara. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Ngantu R. 2008. Pertumbuhan berat maksimum dan waktu optimum pertumbuhan
beberapa jenis alga laut dalam wadah budidaya di perairan Pulau Nain
Sulawesi Utara. [Tesis]. Manado: Program Pascasarjana Unsrat.
Ngurah Rai Sedana IG, Detaq JS, Pontjoprawiro S, Aji N. 2006. Ujicoba
budidaya rumput laut di pilot farm. http://www.fao.org.
Novonty V, Olem H. 1994. Water quality, prevention, identification and
management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold. New York.
Nugroho SS. 1995. Analisis DEA dan pengukuran efisiensi merk, Jurnal Kelola
Gadjah Mada Business News No.8:IV
Nurdjana ML. 2001. Prospek sea farming di Indonesia. Pros. Seminar Nasional
Pengembangan Budi Daya Laut Menuju Terciptanya Sea Farming yang
Berkelanjutan. Jakarta, 7-8 Maret 2001. Hal. 1 – 9.
Pandelaki LV. 2011. Analisis potensi pengembangan budidaya rumput laut di
Pulau Nain Kecamtan Wori Kabupaten Minahasa Utara. [Tesis]. Manado:
Program Pasca Sarjana, Universitas Sam Ratulangi.
Parenrengi A, Syah R, Suryati E. 2008. Budidaya rumput laut berkelanjutan
dengan dukungan teknologi penyediaan benih secara in vitro. Makalah
pada Gelar Teknologi Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Manado.
Parenrengi A, Syah R, Suryati E. 2010. Budidaya rumput laut penghasil karaginan
(karaginofit). BRPB Air Payau. Balitbang Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Pariwono JI, Sanusi HS, Rahardjo S, Chaerudin A, Affandi R, Muchsin I. 1989.
Pengaruh pasang surut terhadap penyebaran limbah dalam sistem sungai di
DKI Jakarta. Buletin Penelitian IPB. Lembaga Penelitian IPB, Bogor.
Paula EJ, Pereira RTL. 2003. Factors affecting growth rates of Kappaphycus
alvarezii (Doty) Doty ex P. Silva (Rhodophyta: Solieracae) in sub tropical
waters of Sao Paulo State, Brazil. Proceeding on International Seaweed
Symposium, 17: 381-388.
Peavy HS, Rowe DR, Tchobanoglous G. 1986. Environmental engineering.
McGrow-Hill Book Company. Singapore.
Penniman CA, Mathieson AC, Penniman CE. 1986. Reproduktive phenology and
growth of Gracilaria tikvahiae McLachlan (Gigartinales, Rhodophyta) in
the Great Bay Estuary, New Hamsphire. Botany Marine. 29: 147-154.
123
Tony S. 2008. Struktur komunitas dan populasi serta kajian kolonisasi dan
rekolonisasi makroalga di perairan Pulau Nain Sulawesi Utara. [Tesis].
Manado: Program Pascasarjana Unsrat.
Turner GE. 1988. Codes of Practice and manual of procedures for consideration
on introduction and transfer of marine and freshwater organisms, EIFAC/
CECPI, Occasional Paper No. 23.
Ulaen AJ, Nagatsu K, Ohno R. 2006. Survei tentang komunitas maritim di Pulau
Nain. http://sulawesi.cseas.kyoto-u.ac.jp
UNEP. 1993. Training Manual of the quantity and type of land-based pollutant
discharges into the marine and coastal environment. RCU/EAS Technical
Report Series 1. Bangkok, p 65.
Wantasen A. 2007. Kajian pemanfaatan pulau kecil berbasis daya dukung
lingkungan (Studi kasus Pulau Talise di Minahasa, Sulawesi Utara)
[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Istitut Pertanian Bogor.
Wardoyo STH. 1978. Kriteria kualitas air untuk keperluan pertanian dan
perikanan. Prosiding seminar pengendalian pencemaran air, hal 293-300.
Wartapedia. 2010. Panduan usaha kebun bibit rumput laut. http://wartapedia.
com/edukasi/panduan/448-panduan-usaha-kebun-bibit-rumput-laut.html.
[22 Januari 2012].
Widjaja F. 1994. Komposisi jenis, kelimpahan dan penyebaran plankton laut di
Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Fakultas Perikanan IPB.
Winberg P, Skropeta D, Ullrich A. 2011. Seaweed cultivation pilot trials –
towards culture systems and marketable products. Rural Industries
Research and Development Corporation Level 2, 15 National Circuit
Barton Act 2600.
Yulianto K, Mira S. 2009. Budidaya makro alga Kappaphycus alvarezii (Doty)
secara vertikal dan gejala penyakit “ice-ice” di perairan Pulau Pari.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35(3):323-332.
Zahra (tanpa tahun). Laju pertumbuhan rumput laut Indonesia. E-book:
www.Jasuda.net.
Zatnika A, Istini S. 1995. Produksi rumput laut dan pemasarannya di Indonesia.
FAO Corporate Document Repository. http://www.fao.org/docrep/field
/003/AB882E/AB882E15.htm. [22 Januari 2012]
Lampiran 1 Kualitas air dan pengendalian pencemaran air (PP No 82 tahun 2001)
Parameter Satuan Kelas
I II III IV
Fisika
0
Suhu C Dev 3 Dev 3 Dev 3 Dev 5
Residu terlarut mg/l 1000 1000 1000 2000
Residu tersuspensi mg/l 50 50 400 400
Kimia
pH mg/l 6-9 6-9 6-9 6-9
BOD mg/l 2 3 6 12
COD mg/l 10 25 50 100
DO mg/l 6 4 3 0
PO4-P mg/l 0.2 0.2 2 5
NO3-N mg/l 10 10 20 20
NH3-N mg/l 0.5 (-) (-) (-)
Cadmium mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01
Krom (VI) mg/l 0,05 0,05 0,05 1
Tembaga mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2
Besi mg/l 0,3 (-) (-) (-)
Timbal mg/l 0,03 0,03 0,03 1
Mangan mg/l 0,1 (-) (-) (-)
Seng mg/l 0,05 0,05 0,05 2
Klorida mg/l 600 (-) (-) (-)
Nitrit mg/l 0,06 0,06 0,06 (-)
Mikrobiologi
Fecal coliform Jml/100ml 100 1000 2000 2000
Total coliform Jml/100ml 1000 5000 10000 100000
Lampiran 2 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut
No Parameter Satuan Baku Mutu
Fisika
1 Kecerahana M Coral : >5
Mangrove : -
Lamun : >3
2 Kebauan - Alami3
3 Kekeruhana NTU <5
4 Padatan tersuspensi totalb Mg/l Coral : 20
Mangrove : 80
Lamun : 20
5 Sampah - Nihil1(4)
6 Suhuc 0
C Alami
7 Lapisan minyak5 - Nihil 1(5)
Kimia
1 pHd - 7 – 8.5 (d)
2 Salinitase %o Alami3(e)
Coral : 33-34(e)
Mangrove : s/d 34 (e)
Lamun : 33-34(e)
3 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4 BOD5 mg/l 20
5 Amonia total (NH3-N) mg/l 0.3
6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.015
7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0.008
8 Sianida (CN-) mg/l 0.5
9 Sulfida (H2S) mg/l 0.01
10 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0.003
11 Senyawa fenol total mg/l 0.002
12 PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0.01
13 Surfaktan (detergen) mg/l MBAS 1
14 Minyak & lemak mg/l 1
15 Pestisidaf µg/l 0.01
16 TBT (tributil tin)7 µg/l 0.01
Logam terlarut
17 Raksa (Hg) mg/l 0.001
18 Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0.005
19 Arsen mg/l 0.012
20 Kadmium (Cd) mg/l 0.001
21 Tembaga (Cu) mg/l 0.008
22 Timbal (Pb) mg/l 0.008
23 Seng (Zn) mg/l 0.05
24 Nikel (Ni) mg/l 0.05
Biologi
1 Coliform (toltal)g MPN/100 ml 1000(g)
2 Patogen Sel/100 ml Nihil1
3 Plankton Sel/100 ml Tidak bloom6
Radio Nuklida
1 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
Lampiran 3 Hasil-hasil penelitian pertumbuhan rumput laut
No Tahun Author Jenis LPH (%) Keterangan
1 1978 Mubarak E. spinosum 2,38 P. Aru
2 1978 Sulistijo et al. E. spinosum 2,08–3,71 in Zahra (tt); P. Aru
3 1981 Atmadja E. spinosum 4,34 in Zahra (tt); Bali
4 1984 Sulistijo E. spinosum 5,4–8 in Zahra (tt); Batu Nampar
5 1990 Glenn & Doty K. alvarezii 5,06 Hawaii
6 1991 Simbala E. spinosum 3,2 – 3,8 P. Nain
7 1992 Hurtado & Ponce K. alvarezii 3,72 – 7,17 Kurung apung
8 1992 Lasut et al. E. cotonii 7 Selat Lembeh
9 1997 Gerung & Ohno E. denticulatum 2,7 Strain coklat
10 1997 Gerung & Ohno K. alvarezii 4,5 Strain hijau
11 1998 Prisdiminggo et al. - 2,97-3,99 in Mondoringin (2005);
Agustus – Desember;
12 1998 Prisdiminggo et al. - 2,35-3,89 in Mondoringin (2005);
Mei- Oktober; Teluk Ekas
13 2001 Ngangi K. alvarezii 3,1 – 4,1 Bentenan-Tumbak,
Minahasa
14 2002 Eswaran et al. K. alvarezii 5,43
15 2003 Paula & Pereira K. alvarezii 3,6–8,9 Strain coklat; Brasil
16 2003 Paula & Pereira K. alvarezii 5,5 Strain coklat,hijau; Filipina
17 2006 Ngurah et al. 4–6 Tambolong, NTT
18 2006 Tjaronge & Pong- K. alvarezii 2,62 varitas coklat; Kab.
Masak Pinrang
19 2006 Tjaronge & Pong- K. alvarezii 2,76 varietas hijau; Kab.
Masak Pinrang
20 2008 Amin et al. E. cottonii 4,4–4,7 Sulawesi Tengah
21 2009 Thirumaran & - 6,11 India
Anantharaman
Lampiran 4. Sidik ragam pertumbuhan rumput laut di Gugus Pulau Nain pada
tahun 2007 – 2008
a. Di areal budidaya
Sumber Keragaman
(Laju Pertumbuhan Harian) JK db KT Fhit Ftab
Perlakuan 3,980112 2 1,990056 0,348743 3,354131
Galat 154,072 27 5,706369
Total 158,0521 29
(Pertumbuhan Total pada
Kedalaman Berbeda)
Perlakuan 110017,3 2 55008,64 0,178944 3,354131
Galat 8300008 27 307407,7
Total 8410026 29