Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

KOALISI DAN PENGELOLAAN KOALISI,

PADA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF KALLA

Coalition and Coalition Management


in Joko Widodo-Jusuf Kalla Administration
Efriza
Ilmu Politik di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN)
(efriza.riza@gmail.com)

Naskah Diterima: 1 Maret 2018


Naskah Direvisi: 21 Mei 2018
Naskah Disetujui: 28 Mei 2018

Abstract
This paper discusses the relationship between the President and the House of Representatives and the coalition
government based on the three years of President Joko Widodo (Jokowi), who was trapped in inter-institutional
competition as a consequence of a mixture of presidential and multi-party systems. Initialy, President Jokowi has
the desire to realize a coalition based on ideology and the same program (consensus coalition) between political
parties, but the reality, it is difficult to make it happen in government, finally President Jokowi re-elected a
coalition of “all parties”. Using some of the basics of Scott Mainwaring and David Altman about presidential
and multiparty combination systems and coalitions in presidential systems, complemented by several Coalitions.
Then, complete the results of Otto Kirchheimer on Catch All Party, to outline the transformation of the
party in this modern era. Accompanied by discussions on political parties in Indonesia, based on Yasraf Amir
Piliang’s description of political nomadism. Based on the facts and outcomes, a combination of presidential and
multiparty systems and the government’s management of government by President Jokowi, which manages a “fat”
coalition with accommodative leadership and transactional performances. Matters relating to the harmonious
relationship between the President and the House of Representatives with the consequence that the President
is committed to realizing an unconditional coalition and not for the power-seats. Coalition management can
be done because the choice of the party that develops as a supporter of the government is also based not only
on the need for political imagery in order to encourage electoral in the political market, but also in the spirit of
the party.
Keywords: coalition management, Joko Widodo, Jusuf Kalla, multiparty system, presidential system, DPR

Abstrak
Tulisan ini membahas relasi Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pengelolaan
koalisi berdasarkan tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang merupakan
akibat dari perpaduan antara sistem presidensial dan multipartai. Awalnya, Presiden Jokowi
memiliki keinginan untuk mewujudkan koalisi yang berbasis ideologis dan program yang sama
(concensus coalition) antar partai politik, namun realitasnya, sulit mewujudkannya disebabkan
stabilitas pemerintahan terganggu di awal pemerintahan, akhirnya Presiden Jokowi memilih
mewujudkan koalisi “semua partai.” Menggunakan dasar pemikiran dari Scott Mainwaring dan
David Altman mengenai kombinasi sistem presidensial dan multipartai serta koalisi dalam sistem
presidensial, dilengkapi juga dengan beberapa pemikiran lainnya mengenai Koalisi. Berikutnya,
dilengkapi analisis dari Otto Kirchheimer tentang Catch All Party, untuk menguraikan tranformasi
kepartaian di era modern ini. Disertai pembahasan mengenai orientasi partai-partai politik di
Indonesia, berdasarkan uraian Yasraf Amir Piliang tentang nomadisme politik. Berdasarkan realitas
dan pemikiran di atas, dihasilkan bahwa kombinasi sistem presidensial dan multipartai dan cara
pengelolaan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, adalah pengelolaan koalisi bersifat

Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 1
“gemuk” dengan kepemimpinan yang akomodatif dan cenderung transaksional. Sifat pengelolaan tersebut
sebuah upaya menjaga hubungan harmonis antara Presiden dan DPR dengan konsekuensi bahwa Presiden
Jokowi melanggar komitmennya untuk mewujudkan koalisi tanpa syarat dan tidak bagi-bagi kursi kekuasaan.
Pengelolaan koalisi itu dapat dilakukan karena pilihan partai bergabung sebagai pendukung pemerintahan turut
didasari bukan saja kebutuhan pencitraan politik berdasarkan dorongan elektoral dalam pasar politik, tetapi juga
dalam upaya partai politik tersebut mendanai kelangsungan hidupnya.
Kata Kunci: pengelolaan koalisi, Joko Widodo, Jusuf Kalla, sistem multipartai, sistem presidensial, DPR

Pendahuluan adanya politik transaksional.3 Jokowi pun


Setelah perubahan Undang-Undang Dasar rela mengingkari janjinya mewujudkan
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD koalisi tanpa syarat dengan diawali beralihnya
NRI Tahun 1945) memengaruhi kewenangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), diikuti
Presiden tepatnya Kewenangan konstitusional Partai Amanat Nasional (PAN), dan diakhiri
seorang Presiden menjadi lebih kecil dan terbatas oleh Partai Golkar sebagai bagian koalisi
dibandingkan presiden sebelum reformasi.1 pendukung pemerintahan.
Di era reformasi, Presiden Susilo Bambang Dinamika tiga tahun pemerintahan Jokowi
Yudhoyono (SBY) merupakan presiden yang mencakup dimensi yang luas dan kompleks.
pertama kali dipilih langsung oleh rakyat, Pilihan untuk menerapkan model pemerintahan
dan presiden pertama pula yang berhasil koalisi yang bertipe koalisi “semua partai,”
menyelesaikan lima tahun masa tugasnya didasari karena hasil perubahan UUD 1945
(2004-2009).2 Bahkan, jika ditinjau lebih jauh, justru memperbanyak titik singgung antara
Presiden SBY adalah Presiden yang dapat lembaga eksekutif dan legislatif. Dari hubungan
menjabat kembali untuk periode kedua dan kedua lembaga ini, dapat dikatakan bahwa
dapat menyelesaikan jabatannya selama satu ayunan bandul kekuasaan saat ini lebih condong
dekade. “sarat DPR.” Di samping itu, semangat reformasi
Keberhasilan Presiden SBY dengan untuk mempertegas sistem presidensial,
kewenangan konstitusional yang lebih yang diwujudkan dalam purifikasi pasca
kecil dan terbatas disebabkan oleh model perubahan UUD 1945 ternyata tidak mampu
pengelolaan koalisi. Dalam pembentukan menghilangkan karakter sistem parlementer
pemerintahannya Presiden SBY ini dalam sistem pemerintahan presidensial di
menghasilkan semacam pemerintahan koalisi Indonesia.
semua partai. Pemilihan pengelolaan koalisi Pembongkaran konstruksi
“besar dan tambun” adalah menjadi jalan presidensialisme dalam UUD 1945 secara
keluar dalam pengelolaan pemerintahannya signifikan pada Perubahan Pertama tahun
dengan kewenangan konstitusional yang 1999, kemudian penguatan kelembagaan DPR
lebih kecil dan terbatas tersebut. Pengalaman pada Perubahan Kedua tahun 2000, bukannya
memerintah SBY itu, dijadikan contoh oleh melahirkan keseimbangan kekuasaan antara
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pilihan ini Presiden dan DPR tetapi justru mengaburkan
tentu mengingkari janji kampanye Jokowi sistem presidensial yang ingin dibangun
yang bertekad akan memulai suatu budaya melalui Perubahan UUD 1945 tersebut.4
politik yang baru, yaitu konsep koalisi tanpa 3
Ari Ganjar Herdiansah, Paradoks Koalisi Tanpa Syarat:
1 Denny Indrayana, Indonesia Opitimis, Jakarta: Bhuana Suatu Tinjauan dari Perspektif Sosiologi Politik, Jakarta:
Ilmu Populer, 2011, hlm. 71 RajaGrafindo Persada, 2015, hlm. 2
2
Ibid, hlm. 62
4
Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, Penataan

2 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018


Ketidakstabilan penyelenggaraan negara, juga Apa saja faktor-faktor yang mendasari koalisi
terjadi karena pilihan atas kombinasi sistem politik pada pemerintahan Jokowi? Mengapa
multipartai dengan sistem pemerintahan Pemerintahan Jokowi cenderung memperluas
presidensial, yang nyatanya adalah berbahaya koalisi partai-partai politik pendukung
(innimical) untuk stabilitas politik dan pemerintahannya? Apa implikasinya koalisi
pemerintahan. Berdasarkan realitas tersebut, politik pendukung pemerintahan tersebut
koalisi “gemuk” atau koalisi “semua partai” terhadap jalannya pemerintahan Jokowi?
menjadi pilihan untuk mewujudkan stabilitas Dalam membahas fokus penelitian dan
penyelenggaraan negara. Sebab, jika tidak permasalahan di atas, tulisan ini mengaplikasikan
dilakukan pengupayaan “koalisi gemuk” maka rumusan dari Scott Mainwaring dan David
partai yang tidak bergabung bisa membentuk Altman mengenai kombinasi sistem presidensial
poros oposisi di parlemen, tentu saja ini akan dan multipartai serta koalisi dalam sistem
menyebabkan sulitnya proposal presiden atau presidensial, yang dianggap bermasalah. Meski
pemerintah untuk diterima di DPR. begitu, tak bisa dimungkiri bahwa sistem
Kebijakan pengaturan kepartaian yang presidensial di Indonesia adalah pengecualian
menganut sistem multipartai ekstrem turut (anomali) dalam praktek sistem presidensial di
menghasilkan kondisi yang tidak kondusif bagi dunia, karena harus mengingkari watak sejatinya
sistem presidensial. Efektivitas pemerintah yang tak mengenal koalisi. Dalam membantu
dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik lebih memahami konsep koalisi maka dijelaskan
sangat bergantung pada dinamika politik mengenai Koalisi menurut Rainer Adam, Model-
yang berkembang di DPR.5 Di era reformasi Model Koalisi dan Pengelolaan Koalisi dalam
ini tidak kondusifnya sistem presidensial juga Sistem Presidensial utamanya di Indonesia
turut pula didukung oleh absurditas politik seperti diuraikan oleh Agus Riwanto. Dilengkapi
dari sepak terjang partai-partai politik dalam pula dengan analisis Otto Kirchheimer
berkoalisi. Implikasinya, bisa kita pelajari mengenai Catch All Party, untuk menguraikan
bahwa selama satu dekade kepemimpinan tranformasi kepartaian di era modern ini, dan
SBY, kian menunjukkan wajahnya yang disertai dengan orientasi partai-partai politik
lemah sebagai presiden dan lebih sering di Indonesia berdasarkan uraian Yasraf Amir
memosisikan dirinya dalam posisinya yang Piliang mengenai Nomadisme Politik. Rumusan
terjepit dalam pertarungan berbagai partai dari Kirchheimer dan Yasraf ini bermanfaat
politik di parlemen. Sementara itu yang untuk menunjukkan keterkaitan antara strategi
terjadi dengan pemerintahan Presiden Jokowi, politik kepartaian dan ketidakstabilan sistem
lebih ironis, Jokowi bukan petinggi partai presidensial Indonesia. Dan, uraian ini ditutup
seperti Presiden SBY, malah dianggap hanya oleh penafsiran mengenai suatu realitas yang
sekadar “petugas partai,” yang diberikan membantah bahwa kombinasi presidensial
amanat oleh Ketua Umum Partai Demokrasi dengan multipartai menghadirkan instabilitas
Indonesia Perjuangan (PDI-P), sehingga turut politik, jika, seorang Presiden memiliki
direpotkan oleh ketidaksolidan dukungan kepiawaian dalam “mengelola” koalisi.
dari PDI Perjuangan. Berdasarkan realitas
di atas, maka uraian-uraian tersebut akan Metode Penelitian
mengarahkan kita pada beberapa pertanyaan Penelitian ini dirancang dengan
yang akan diulas dalam penelitian ini yakni: pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia Pasca Reformasi, menggunakan studi kasus yang bersifat
Jakarta: Kencana, 2017, hlm. 39
5
Ibid

Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 3
instrumental (instrumental case study).6 Hal terpilih dari partai mayoritas, dengan
mana kasus yang digunakan adalah tiga tahun terpilihnya minority president, untuk mencapai
lebih kepemimpinan Presiden Jokowi (atau mayoritas di parlemen maka presiden akan
Oktober 2014 sampai dengan Maret 2018), berupaya untuk memperkuat posisinya
kasus ini memainkan peranan suportif, yang dengan cara melakukan koalisi, namun
memudahkan pemahaman kita tentang minat- membangun koalisi yang stabil jauh lebih sulit
minat yang lainnya, seperti akan membantu dalam demokrasi multipartai presidensial.
mengungkap tak hanya relasi kekuasaan Sebab, koalisi tidak bersifat mengikat
Presiden dan DPR sesudah amandemen sehingga keinginan bagi partai politik untuk
UUD 1945 namun juga sebelum amandemen membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem
UUD 1945 tersebut. Akhirnya, kita juga presidensial. Seperti dijelaskan oleh Scott
tak luput melakukan perbandingan relasi Mainwaring, dalam tulisannya Presidentialism,
kekuasaan Presiden dengan DPR berdasarkan Multiparty System, and Democracy: The Difficult
sebelum dan sesudah amandemen UUD Combination, sebagai berikut:
1945, dan perbandingan hubungan relasi “… In Presidential systems the president
kekuasaan Presiden dengan DPR dan dalam (not the parties) has the responsibility of
pengelolaan koalisi antara mantan Presiden putting together a cabinet. The president
SBY dengan Presiden Jokowi, meski tidak may make prior deals with the parties that
secara komprehensif. support him or her, but these deals are not
Teknik pengumpulan data yang digunakan as binding as they are in parliamentary
adalah studi literatur dan wawancara yang system. Second, in presidential system, the
mendalam. Wawancara dilakukan berdasarkan commitment of individual legislators to
pedoman wawancara dan beberapa pertanyaan support an agreement negotiated by the
terbuka. Wawancara dilakukan secara party leadership is often less secure. Finally,
mendalam terhadap tiga narasumber yang incentives for parties to break a coalition
merupakan pengamat politik (atau peneliti/ are stronger in presidential system, than in
akademisi) yang tulisan atau penelitiannya many parliamentary systems.”7
turut memengaruhi penelitian ini, tentunya
Jika kita lihat dalam konteks pemerintahan
pilihan terhadap ketiga pengamat politik ini
Presiden Jokowi, malah, presiden minoritas
didasari juga oleh keahlian mereka mengenai
bukan saja karena dukungan yang rendah
materi pembahasan seperti sistem kepartaian,
di legislatif, tetapi juga dari internal partai
koalisi, dan sistem presidensial, utamanya juga
dan koalisi partai pendukungnya. Alasannya
dengan kasus di Indonesia di era Jokowi dan
jelas, karena Jokowi hanya sebagai “petugas
mantan presiden SBY.
partai” dan bukanlah seorang ketua umum
partai seperti presiden-presiden sebelumnya.8
Pembahasan Bahkan, dapat ditenggarai bahwa Jokowi tidak
Analisis Sistem Presidensial dan Orientasi 7
Scott Mainwaring, 1993, Presidentialism, Multiparty
Partai-Partai Politik System, and Democracy: The Difficult Combination,
Indonesia menerapkan sistem presidensial Comparative Political Studies, Vol. 26 No. 2,
hlm. 220-222, (https://www.researchgate.net/
berkombinasi multipartai, berdasarkan studi publication/258130109_The_Presidentialism_
Scott Mainwaring, jarang sekali presiden Multipartism_and_ Democracy_The_Difficult_
Combination, diakses 15 Februari 2018)
6
Norman K Denzin, dan Yvonna S Lincoln, Handbook 8
Leo Agustino, Satu Tahun Pemerintahan Jokowi:
of Qualitative Research, terjemahan oleh Dariyatno, Transaksional dan Transformasional, dalam Analisis
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 301 CSIS, Vol. 44 No. 4, hlm. 387

4 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018


dapat dengan mudah memperoleh dukungan Koalisi pada khususnya merupakan aliansi atau
dari kawan-kawannya di internal partainya kerja sama untuk periode waktu yang terbatas
sendiri yakni PDI Perjuangan, karena Jokowi dalam rangka demi mencapai tujuan tertentu.
tidak memiliki jabatan struktural di tingkat Dalam politik, tujuan tersebut biasanya adalah
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan mengambil-alih kekuasaan dan memegang
sebelum dan saat menjabat Presiden sekarang pemerintahan. Koalisi yang dimaksud dalam
ini. hal ini adalah, antar kelompok atau antar
Situasi Multipartai di parlemen cenderung organisasi, untuk mewujudkan tujuan bersama
membuat presiden melakukan koalisi antar yang tidak dapat dicapai sendirian.
partai-partai di parlemen, terutama untuk Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa
memperkuat basis dukungan politik di membangun koalisi dalam sistem presidensial
parlemen. Namun, koalisi dalam sistem sangatlah sulit bahkan tidak dianjurkan.
presidensial jauh lebih sulit, akhirnya yang Maka seperti di sarankan oleh David Altman,
terjadi dalam pengelolaan koalisi seperti dengan mengaplikasikan rumusan David
diuraikan oleh Agus Riwanto9 yaitu: pertama, Altman dalam tulisannya The Politics of
dalam sistem presidensial, presiden memilih Coalition Formation and Survival in Multiparty
sendiri anggota kabinetnya, yang boleh jadi Presidential Democracies: The Case of Uruguay
berasal dari partai oposisi atau partainya 1989-1999, dengan tegas menganjurkan
sendiri dan kalangan profesional, implikasinya bahwa setelah mempelajari bangunan koalisi
partai-partai tidak memunyai komitmen dalam sistem presidensial dikemukakan dua
dukungan terhadap presiden. Kedua, alasan yang tegas menyatakan bahwa koalisi
dalam sistem presidensial karena presiden tidak dibutuhkan, uraiannya sebagai berikut:
dalam pembentukan kabinetnya jauh lebih “The first has already been pointed out:
cenderung mengakomodasi individu elite under presidential systems governments
partai politik, maka konsekuensinya tidak do not require parliamentary confidence,
ada jaminan partai-partai di parlemen akan which means that coalitions are not
mendukung presiden, sebab yang diakomodasi institutionally necessary. The second reason
presiden secara kasat mata adalah kepentingan appears to be the widespread belief that
elite partai politik, bukan kepentingan partai presidentialism is not conducive to political
politik secara keseluruhan. Di sini tampak cooperation.”11
perbedaan persepsi akomodasi presiden antara Sulitnya membangun koalisi juga
elite partai politik dan partai politik itu sendiri disebabkan tidak memungkinkan partai politik
menjadi pemantik tidak solidnya dukungan memilih salah satu di antara kedua pilihan
partai-partai di parlemen pada presiden. peran yakni tetap mendukung pemerintahan
Sebenarnya, apakah itu koalisi? Rainer atau mengkritisi pemerintahan. Partai politik
Adam10 menjelaskan bahwa, istilah ‘koalisi’ diharuskan untuk terus-menerus beralih dari
berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin peran kritis ke perannya sebagai pendukung
“coalescere,” yang secara harfiah berarti ‘saling kemapanan, pergeseran yang sulit dijalankan
menempelkan atau mengikatkan dua hal.’ tapi sulit pula dihindari, inilah perkembangan
9
Agus Riwanto, Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi: 11
David Altman, 2000, The Politics of Coalition
Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Formation and Survival in Multiparty Presidential
Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu, Malang: Setara Democracies: The Case of Uruguay 1989-1999, Party
Press, 2018, hlm. 56-57 Politics, Vol. 6 No. 3, (http://www.icp.uc.cl/daltman/
10
Lihat, Rainer Adam, Masa Depan Ada di Tengah: index_archivos/Altman-2000-Party%20Politics%20
Toolbox Manajemen Koalisi, Jakarta: Friedrich Naumann 6%20%283%29% 20259-283.pdf, diakses 15 Februari
Stiftung, 2010, hlm. 11 2018).

Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 5
kepartaian modern yakni Catch All Party, seperti yang ditunjukkan pada hasil pemilu
seperti diilustrasikan oleh Otto Kirchheimer, presiden (Pilpres) tahun 2004, 2009, dan
sejak memasuki era tahun 1960-an.12 2014. Yang dimaksud oleh Pemerintahan
Lemahnya kesolidan dari partai-partai Minoritas (minority government) menurut Jose
pendukung pemerintah juga disebabkan Antonio Cheibub seperti dikutip oleh Dody
pergerakan orientasi partai-partai politik Nur Andriyan,15 adalah keadaan di mana
yang tidak pernah memiliki ketetapan dan pemerintahan tidak dapat mengontrol suara
konsistensi pada tingkat keyakinan atau mayoritas di parlemen atau di lembaga legislatif.
ideologi politik, yang disebut oleh Yasraf Melihat realitas di Indonesia, jelas bahwa
Amir Piliang sebagai Nomadisme Politik. keniscayaan koalisi adalah sebuah keharusan.
Keyakinan dan ideologi hanya sebuah alat atau Presiden memang harus membangun sebuah
tempat persinggahan saja untuk merealisasikan koalisi dengan partai-partai politik.
kepentingan kelompoknya bukan kepentingan Pengalaman Presiden SBY dalam
bangsa atau kepentingan partai mengalahkan mengelola pemerintahan dengan upaya partai
kepentingan bangsa yang lebih besar. Sehingga, politik dan presiden terpilih melakukan
yang terjadi adalah terlembaganya nomadisme upaya membangun koalisi antar parpol agar
partai, yakni pergerakan partai politik yang pemerintahan presidensial dapat berjalan
terus menerus, pada tingkat citra, lambang, stabil dan efektif, meminjam ungkapan Lester
atau ideologi tanpa pernah mampu mengubah G. Seligman dan Cary R. Covington dalam
watak, karakter, dan budaya politiknya.13 Agus Riwanto,16 yang membagi koalisi dalam
Nomadisme ini adalah juga sebagai tiga model, yakni: koalisi ideologis (concensus
bagian dari strategi politik. Strategi dari partai coalition), koalisi strategis (conglomerate
politik dengan berbagai langkah, manuver, coalition), dan koalisi pragmatis (exclusife
dan strategi politik dalam rangka meraih coalition). Koalisi partai politik pendukung
kemenangan politik. Nomadisme politik ini pemerintah, umumnya di Indonesia adalah
merupakan wujud dari apa yang disebut ironi pembentukan koalisi pemerintahan “semua
politik, yang mana ironi politik memproduksi partai” atau “koalisi gemuk” atau “koalisi
berbagai bentuk ambivalensi, kontradiksi, pragmatis.”
inkonsistensi, dan paradoks di dalam politik Harus pula diakui bahwa, tidak selalu
yang menggiring pada dualisme dalam setiap kombinasi presidensial dengan multipartai
tindakan, sikap, cara berpikir, manuver dan koalisi menghadirkan instabilitas politik.
politik, dan sebagainya; yang meskipun Menurut Figueiredo dan Limongi dalam
diterima sebagai bagian dari dunia politik, Leo Agustino bahwa, “...the combination of
tetapi menciptakan berbagai bentuk absurditas presidensialism and a multiparty system is not
politik.14 necessarily a threat to governmental performance.”17
Meski demikian, dalam praktiknya Mengonfirmasi pernyataan tersebut, Leo
koalisi memang merupakan cara paling Agustino menyimpulkan, ini karena sangat
umum dilakukan oleh pemerintah yang tergantung pada kepiawaian seorang presiden
hanya mendapatkan dukungan minoritas, 15
Dody Nur Andriyan, Hukum Tata Negara dan Sistem
Politik: Kombinasi Presidensial dengan Multipartai di
12
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (edisi Indonesia, Yogyakarta: Deepublish, 2012, hlm, 197
revisi), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996, hlm. 16
Agus Riwanto, Hukum Partai Politik dan Hukum
49-50 Pemilu di Indonesia: Pengaruhnya Terhadap
13
Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik di Penyelenggaraan Pemilu Berkualitas dan Sistem
Dalam Era Virtualitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. Pemerintahan Presidensial Efektif, Yogyakarta: Thafa
156-158 Media, 2016, hlm. 299
14
Ibid, hal. 170 17
Leo Agustino, op.cit, hlm. 388

6 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018


dalam ‘mengelola’ partai dan koalisi partai era Orde Baru, bahkan mayoritas sederhana
pendukungnya maupun koalisi partai oposisi saja tidak terjadi.
melalui kekuasaan konstitusional dan Persoalan semakin kompleks dan pada
partisannya. 18
akhirnya turut mewarnai pola hubungan
eksekutif dan legislatif pada khususnya
dan pemerintahan pada umumnya selepas
Pembahasan
pemilihan presiden. Misalnya, mekanisme
Koalisi Partai Pendukung Pemerintahan
Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) yang
Kombinasi sistem multipartai dengan mendahului Pemilihan Umum Presiden
presidensial menyebabkan koalisi menjadi (Pilpres) secara mendasar membuka peluang
barang wajib dalam sistem presidensial, hadirnya sebentuk koalisi yang tidak
sebab sistem kepartaian di Indonesia adalah berkarakter disebabkan koalisi yang terbangun
sistem multipartai ekstrem dengan suatu tidak dilandasi oleh sintesa ideologi atau
realitas bahwa tidak ada satu pun partai kesamaan visi yang solid, melainkan lebih
yang dominan. Berdasarkan fakta itu, maka didasari oleh pemenuhan kuota pencalonan
hubungan kerja antara presiden-parlemen berdasarkan jumlah suara dan kursi.19
cenderung konfliktual. Akibatnya, dalam Kondisi di atas juga ditopang oleh model
mengambil keputusan-keputusan publik maka pemilihan presiden dua putaran. Model
presiden cenderung terlibat dalam kompromi mayoritas mutlak ini di satu sisi memang
dan akomodasi kepentingan antara partai akan menyebabkan seorang presiden memiliki
di parlemen yang berbeda dengan partai legitimasi yang kokoh dihadapan rakyat. Di
presiden. sisi lain, dengan nuansa politik tak berkarakter
Dukungan partai-partai politik yang di Indonesia, adanya pemilu presiden putaran
mayoritas di pemerintahan dan parlemen kedua justru memberi peluang yang besar bagi
adalah keniscayaan bagi sistem presidensial partai-partai untuk alih suara demi sekadar
yang efektif. Presiden di era Orde Baru tidak mendapatkan posisi yang lebih baik, tanpa
memunyai masalah political support, karena mengindahkan komitmen yang telah dibangun
Golkar selalu menjadi partai pendukung sebelumnya. Jika dikaitkan antara Pemilihan
pemerintah yang mempunyai kursi Presiden dua putaran dengan model koalisi,
mayoritas mutlak di parlemen. Sehingga, maka terjadi tiga tahap koalisi yang dibangun
Presiden Soeharto tidak perlu dipusingkan seperti diungkapkan oleh Firman Noor,
dengan keniscayaan perlunya koalisi di sebagai berikut:
pemerintahannya. Jalannya pemerintahan
“Koalisi tahap pertama diperlukan untuk
dan kontrol parlemen berada di bawah
memenuhi minimal dukungan pencalonan
kendali penuh Presiden – apalagi UUD presiden dan wakil presiden, jika terjadi
1945 kala itu juga executive heavy constitution. pemilu putaran kedua maka koalisi akan
Konsekuensinya, kontrol kepada Presiden diperbaharui guna menghadapi putaran
menjadi lemah. kedua tersebut, terakhir koalisi dilakukan,
Sementara itu, pada era demokratis guna memperbesar dukungan di DPR.”20
sekarang, di satu sisi kewenangan Presiden
sangat dibatasi, di sisi lain kewenangan kontrol
DPR menjadi jauh lebih kuat. Ditambah lagi, 19 Syamsuddin Haris, Praktik Parlementer Demokrasi
Presiden tidak didukung oleh satu partai 20 Presidensial Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 2014.
Firman Noor, Peneliti di Pusat Penelitian Politik
politik yang mayoritas mutlak sebagaimana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI),
18
ibid Wawancara, Jakarta, 22 Desember 2015.

Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 7
Menyadari bahwa kombinasi sistem Pimpinan Komisi dan Alat Kelengkapan DPR,
presidensial dengan multipartai yang Penetapan Undang-Undang Pilkada (lewat
terfragmentasi dengan realitas tidak ada satu DPRD), dan Pemilihan Pimpinan MPR.
partai politik yang memperoleh suara mayoritas, Menyadari bahwa tidak mudah
berimplikasi terhadap pembentukan koalisi menjalankan politik pemerintahan dengan
yang dilakukan oleh Presiden Yudhoyono hanya sedikit kekuatan di parlemen,
kala itu, yakni, membentuk governing coalition konsekuensinya Jokowi akhirnya
dan parliamentary coalition. Atau dengan kata mengabaikan koalisi tanpa syarat yang
lain, berupaya menghadirkan koalisi tahap digembar-gemborkannya saat Pilpres 2014
ketiga tersebut, yakni dalam rangka untuk lalu, ini dibuktikan dengan pemanfaatan
memperbesar dukungan di DPR. Sementara, konflik dari kepengurusan PPP atas
di era Presiden Jokowi, agak berbeda. Karena perbedaan manuver dukungan di Pilpres
Pilpres diikuti oleh dua pasangan calon dan 2014. KIH yang dari awal telah bermanuver
konsekuensinya tak ada Pilpres putaran kedua. untuk membangun kekuatan baru di
Ketika Pilpres 2014 lalu, terjadi parlemen melalui memperluas dukungan
persaingan keras antar dua kubu pasangan partai koalisinya dengan bergabungnya PPP
calon yaitu, Prabowo-Hatta Rajasa dengan versi Romahurmuziy, respons pun dilakukan
Jokowi-Jusuf Kalla. Persaingan keras ini dengan menyediakan kursi dari paket calon
ternyata terbawa hingga ke Senayan, maka pimpinan MPR, bahkan juga kepercayaan
terjadilah polarisasi dua kekuatan koalisi itu untuk menduduki kursi kementerian
di parlemen. Polarisasi koalisi yang terjadi agama. Meski paket pimpinan MPR versi
sesuai preferensi dukungan calon presiden KIH kalah, tetapi kompensasi berupa kursi
(capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kementerian agama tetap diberikan untuk
yang mana Koalisi Indonesia Hebat (KIH) PPP.
sebagai pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Upaya memperluas koalisi dianggap sebagai
Kalla sesuai dukungan partai politik di DPR cara untuk efektifnya jalannya pemerintahan,
diusung oleh PDI Perjuangan, partai Nasdem, karena Presiden lebih membutuhkan political
PKB, dan partai Hanura dengan total jumlah support ketimbang electoral support. Sehingga untuk
dukungan anggota parlemen sebanyak 207 menjawab tantangan kedua tentang minimnya
anggota atau total suara di parlemen sebesar dukungan politik, tidak ada jalan lain, Presiden
36,96 persen. Sedangkan, Koalisi Merah Putih mesti melakukan koalisi dan memperluas
(KMP) pendukung pasangan Prabowo-Hatta koalisi, seperti setahun pemerintahannya
Rajasa yang didukung partai politik di DPR Presiden Jokowi sibuk melakukan konsolidasi
pengusungnya adalah partai Gerindra, partai politik. Jokowi pun kembali melakukan hal
Golkar, PPP, PAN, PKS, dan Partai Demokrat yang dilakukan sebelumnya oleh SBY yaitu
(klaimnya netral) menguasai jumlah dukungan melanggengkan koalisi gemuk, konsekuesinya
anggota parlemen sebanyak 353 anggota atau lagi-lagi prinsip koalisi tanpa syarat tidak
total suara di parlemen sebesar 63,03 persen. mungkin lagi dapat diteruskan setelah
Menghadapi pusaran konflik KIH dan KMP dirangkulnya beberapa partai di KMP menjadi
dalam parlemen, ternyata Koalisi Pendukung koalisi pendukung pemerintahan seperti PAN
Jokowi mengalami kekalahan demi kekalahan dan Partai Golkar. Tentu konsekuensinya,
dengan skor telak yaitu 6-0, seperti: Penetapan pihak koalisi pendukung Jokowi-JK perlu
Undang-Undang MD3, Penetapan Tata Tertib berbagi sumber daya, sebab, there is no such thing
DPR, Pemilihan Pimpinan DPR, Pemilihan as free lunch, untuk mengakomodasinya Jokowi

8 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018


membagi kursi dalam reshuffle kabinet jilid II pembentukan kabinet hingga koalisi di
untuk mengakomodir bergabungnya PAN dan DPR, menunjukkan pergeseran sikap partai
Partai Golkar sebagai pendukung pemerintahan seiring dengan dinamika isu dan kesempatan
sehingga masing-masing partai memperoleh 1 politik yang tersedia. Kecenderungan itu
kursi kementerian. Dengan masuknya PAN dan menunjukkan sikap pragmatis dari partai-
Partai Golkar sebagai pendukung pemerintah, partai politik, sikap itu juga bisa diasumsikan
maka otomatis KIH dan KMP bubar, malah telah terjadinya nomadisme politik dari
yang terjadi adalah Partai-partai Pendukung partai-partai politik, sekaligus menunjukkan
Pemerintahan (P4).21 kelemahan partai-partai politik secara institusi
Ironisnya, keyakinan itu terus dipelihara, (problem lainnya).
bahkan Jokowi kembali gagal menunjukkan Pilihan bergabung dalam kekuasaan di
sikap memegang komitmennya bahwa pemerintahan dan meninggalkan pilihan
menterinya tidak boleh merangkap jabatan menjadi oposisi ini terkait pula antara
sebagai pemimpin partai politik, dan lain, dalam upaya partai politik mendanai
membentuk pemerintahan profesional bukan kelangsungan hidupnya, dengan kata lain,
bagi-bagi kursi. Kekhawatiran pemerintahan tidak ada kemandirian partai. Di samping
kembali mengalami “gunjangan” serta juga suatu kebutuhan pencitraan partai, yaitu
persiapan di tahun politik menjelang Pilpres sikap partai politik digerakkan oleh dorongan
2019 nanti, menjelaskan realitas bahwa elektoral dalam pasar politik, sehingga
Jokowi menunjukkan kelonggaran (dalam akhirnya bergabung sebagai partai-partai
reshuffle keempat) setelah memperbolehkan pendukung pemerintah.
dua menteri dari Partai Golkar untuk Implikasi lainnya dari koalisi yang
merangkap jabatan di partai politik, yakni bersifat pragmatis seperti ini, adalah tidak
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto munculnya kompetisi antarpartai politik di
merangkap sebagai Ketua Umum Partai parlemen, sehingga tidak tampak perjuangan
Golkar dan Menteri Sosial Idrus Marham ideologis partai politik dalam memengaruhi,
sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar. mengubah, ataupun membentuk kebijakan.
Pilihan sikap Jokowi ini sejalan dengan Inilah situasi yang terus terjadi dari era
kesepakatan Partai Golkar yang menyatakan pemerintahan SBY hingga pemerintahan
mendukung Jokowi untuk kembali maju Jokowi sekarang ini, tidak terjadinya
sebagai capres dalam Pilpres 2019 mendatang. kekuatan penyeimbang dari oposisi terhadap
Di sisi lain, Presiden Jokowi tidak mendepak pemerintahan.
PAN dari kabinet kerja, meski PAN sering Munculnya partai-partai politik yang
tak sejalan dengan program Presiden Jokowi, bergerak memilih turut bergabung dalam
seperti menolak pemberlakuan ambang batas kekuasaan di pemerintahan, menunjukkan
pencalonan presiden (presidential threshold) dan bahwa terjadi penurunan identifikasi pemilih
menolak penetapan Peraturan Pemerintah partai, yang berdampak terhadap penurunan
Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang kepercayaan kepada partai politik. Tentu
Organisasi Kemasyarakatan menjadi undang- saja akhirnya, melemahnya ikatan antara
undang.22 partai politik dan pengikut, situasi ini
Pergeseran peta koalisi mulai dari Pilpres, akan menimbulkan volatilitas yang lebih
tinggi dalam pemilu. Wajar akhirnya dalam
21
Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah: KIH
Ganti Nama Jadi P4, Warta Kota, 14 November 2015.
pemilu, para pemilih semakin enggan untuk
22
Jokowi Belum Berniat Depak PAN, Koran Tempo, 2 mengidentifikasi diri dengan partai politik
November 2017.

Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 9
yang sama selama suatu siklus pemilihan, legislatif adalah terkait dengan koalisi partai-
dan terdapat kecenderungan yang kuat untuk partai politik.
mengubah identifikasi mereka dari pemilihan Hubungan Presiden dan DPR selama
ke pemilihan.23 satu dekade kepemimpinan Presiden SBY
Jika demikian, ternyata ayunan dari cenderung fluktuatif, meski demikian
sistem presidensial dengan kombinasi sistem hubungan Presiden SBY dan DPR di masa
multipartai ekstrem yang terjadi di era itu belum dapat dikategorikan sebagai
kepemimpinan pemerintahan Presiden Jokowi bermasalah, karena tidak ada konflik yang
maupun pemerintahan SBY (sebelumnya), dahsyat antara kedua lembaga politik
menurut Syamsuddin Haris bahwa, “untuk tersebut. Hanya yang berkembang adalah
menghindari terjadinya deadlock malah perbedaan pendapat antara kedua lembaga,
terjadinya upaya memperluas dukungan sebab memang salah satu fungsi DPR
dalam koalisi pemerintahan, yang juga tak adalah melakukan pengawasan terhadap
bisa dilepaskan dari lemahnya orientasi partai- eksekutif. Perbedaan pendapat tentu saja
partai politik di Indonesia.”24 tidak selalu sama dengan konflik yang perlu
dikhawatirkan, seperti yang pernah terjadi
di era pemerintahan Abdurrahman Wahid
Peniruan Pengelolaan Koalisi Dalam Upaya
sehingga berakibat pemakzulan. Tentu saja
Melanggengkan Kekuasaan
hal ini semakin menarik perhatian kita, apa
Pengelolaan pemerintahan selama
yang menyebabkan kepemimpinan Presiden
satu dekade kepemimpinan Presiden SBY
SBY bisa tetap menjaga hubungan yang
menunjukkan bahwa kecenderungan
harmonis dengan DPR dan menghindari
terjadinya pemerintahan yang terbelah,
terjadinya konflik, dan tampaknya Presiden
karena partai internal dari SBY yakni partai
Jokowi begitu mencermati pengelolaan
Demokrat hanya minoritas di DPR. Ini
koalisi di masa Pemerintahan SBY dalam
adalah konsekuensi dari sistem multipartai
upaya melanggengkan kekuasaannya,
yang terfragmentasi dan terpolarisasi
sehingga Presiden Jokowi pun tak tampak
kepentingan ideologi dan politik, tetapi
ragu lagi memilih mengikuti cara pengelolaan
sayangnya tidak ada satu pun partai yang
kekuasaan mantan presiden SBY tersebut,
dominan. Permasalahan semakin kompleks,
uraiannya sebagai berikut.25
karena perbedaan peta kekuasaan antara
Jika kita cermati, ternyata faktor
Presiden dan DPR, sebab partai politik
kepemimpinan dan gaya memerintah seorang
pemenang pemilihan presiden tidak
presiden menjadi penyokong kelangsungan
menjadi kekuatan yang dominan pula di
sistem presidensial dengan kombinasi
lembaga legislatif, sehingga Presiden SBY
multipartai, utamanya Presiden SBY berhasil
banyak mendengarkan partai-partai politik
dalam mengelola politik secara efektif. Ini
dan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Akibatnya
disebabkan oleh kecenderungan Presiden
dalam masa kepemimpinan Presiden SBY,
SBY yang akomodatif yang dilandasi ingin
isu utama dalam hubungan eksekutif dan
membangun demokrasi yang mulai tumbuh.
23
John T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik Misalnya, keputusan SBY untuk membentuk
Dalam Paradigma Abad Ke-21 (Jilid 1), Jakarta: Kencana,
2013, hlm. 260-261
koalisi guna mendukung pemerintahannya,
24
Syamsuddin Haris, ahli politik dan peneliti Pusat selain didasarkan pada pemikiran strategis,
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2P LIPI), Wawancara, Jakarta, 28 25
Moch Nurhasim, dan Ikrar Nusa Bhakti, ed., Sistem
Desember 2015. Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009, hlm. 40

10 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018


juga bisa dilihat sebagai bagian dari gaya politiknya masing-masing. Akhirnya, relasi
atau pendekatan kepemimpinannya yang lembaga eksekutif dengan legislatif menjadi
cenderung akomodatif.26 tidak harmonis.28 Kondisi ini menimbulkan
Pengalaman SBY ini tentu saja tak berbeda ketegangan-ketegangan antara Presiden dan
dengan kepemimpinan Presiden Jokowi yang partai-partai politik mitra koalisi. Sehingga,
selama tiga tahun pemerintahannya telah koalisi yang dibangun oleh presiden SBY kala
menunjukkan juga cenderung akomodatif. Ini itu, dan Presiden Jokowi adalah koalisi besar
ditunjukkan dengan Jokowi mulai merangkul atau Presiden Minoritas dengan Pemerintahan
sebanyak-banyaknya partai politik untuk Mayoritas, tetapi tidak solid.
menjadi mitra koalisi seperti PPP, PAN, dan Yang membedakan dengan pengelolaan
terakhir Partai Golkar. Bahkan, menjelang pemerintahan oleh SBY, adalah ketidaksolidan
Pilpres 2019 mendatang, memasuki tahun partai pendukung Presiden Jokowi utamanya
politik dalam perombakan kabinet jilid malah terjadi di partai internalnya sendiri
IV pada Januari 2018 lalu, tampak bahwa yaitu PDI Perjuangan, yang didasari karena
Presiden Jokowi semakin “nyaman” di bawah persoalan Jokowi hanya sebagai “petugas
naungan beringin ketimbang berada di partai” dan bukanlah seorang ketua umum
kandang Banteng. Analisis mengenai betapa partai seperti presiden-presiden sebelumnya.29
pentingnya mitra koalisi Partai Golkar di Dengan kata lain, walaupun Presiden
bandingkan dengan PDI Perjuangan sebagai memiliki dukungan besar di DPR, tetapi
partai tempat bernaungnya Presiden Jokowi, Presiden seringkali kehilangan dukungan
diungkapkan oleh Syamsuddin Haris yaitu: partisan dalam menggolkan agenda-agenda
“Sejak lama, dari pihak pemerintah, orang pemerintahannya.
yang amat dipercaya oleh Jokowi sebagai Sebab, PDI Perjuangan dan pemimpin
negosiator, dalam rangka merangkul partai itu juga punya agenda yang belum
Partai Golkar bergabung dalam kabinet tentu cocok dengan agenda pemerintah,
yakni melalui Luhut Binsar Panjaitan, meski secara normatif tentu sejalan.
yang memang bagian dari elite Golkar. Dukungan PDI Perjuangan, misalnya,
Luhut, sudah dipercaya sejak ia sebagai kepada calon Kepala Kepolisian Komisaris
kepala staf Presiden, hingga sekarang Jenderal Budi Gunawan, termasuk dalam
menjabat Menteri Koordinator Maritim konflik Budi Gunawan dengan Komisi
dan Sumber Daya Republik Indonesia.”27 Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah
contoh bahwa agenda partai politik
Permasalahan utama dari relasi Presiden utama pendukung Presiden tidak mudah
dengan DPR memang berada pada partai- disesuaikan dengan agenda Presiden dalam
partai politik yang menjadi mitra koalisi upaya pemberantasan korupsi, serta agenda
pemerintah. Dalam wilayah eksekutif, mereka Presiden untuk memperoleh wilayah
mendapat posisi dalam kabinet, namun dukungan dari masyarakat terhadap rezim
dalam wilayah legislatif, posisinya menjadi dan pemerintahannya. Hal yang sama
tidak jelas tergantung dari kepentingan partai seperti, upaya pelemahan KPK, melalui
26
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai Di revisi undang-undang KPK, justru dimotori
Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil
dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, Bandung: Mizan, oleh kader PDI Perjuangan di DPR
2014, hlm. 181 28
Muhammad Sabri S Shinta, Presiden Tersandera: Melihat
27
Syamsuddin Haris, ahli politik dan peneliti Pusat Dampak Kombinasi Sistem Presidensial-Multipartai dalam
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Pemerintahan SBY-Boediono, Jakarta: RM Books, 2012,
Indonesia (P2P LIPI), Wawancara, Jakarta, 28 hlm. 66
Desember 2015 29
Leo Agustino, op.cit, hlm. 388

Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 11
yang bertentangan dengan aspirasi dari besar. Walau penuh dengan ketegangan dalam
masyarakat untuk penguatan KPK.30 internal koalisi, namun demokratisasi dan
Celakanya, lemahnya Jokowi ketika stabilitas politik serta pemerintahan yang lebih
berhadapan dengan PDI Perjuangan efektif itu, ternyata mampu mengondisikan
semakin terlihat dalam tiga tahun peningkatan Produk Domestik Bruto
kepemimpinannya. Pemerintahan Jokowi (PDB) tahunan menjadi sekitar 6%, selama
berupaya mempertemukan di antara berbagai kurang lebih satu dekade. Maka kemajuan
kepentingan misalnya antara kepentingan demokrasi dan politik serta pemerintahan,
partai dan kepentingan masyarakat, dengan dan juga didukung perkembangan kemajuan
menggunakan konsep win-win solution yang ekonomi, terkombinasikan menjadi kekuatan
menjadi pilihan dari Jokowi dalam mengelola pendukung Presiden SBY, untuk berkuasa
wilayah dukungan, sehingga arah Jokowi melalui kemenangan dua kali Pemilu tersebut.32
dalam kepemimpinannya tak berbeda jauh Begitu pula dengan Presiden Jokowi, setelah
dengan SBY, terjadinya politik akomodasi, berhasil merangkul partai-partai koalisi di
yang tentunya rentan dengan transaksional KMP, maka tak ada lagi riak-riak di parlemen,
dalam memerintah. Seperti, ditenggarai dibandingkan masih tetap diupayakannya
dengan diterimanya pasal-pasal kontroversial31 koalisi tanpa syarat, ketidaknaifan mengelola
dalam pembahasan revisi UU MD3 yang dukungan partai-partai politik meski dibayar
ditukar dengan jatah kursi Wakil Ketua DPR mahal dengan pengabaian komitmen awal
bagi PDI Perjuangan. sebelum memerintah, ternyata PDB Indonesia
Kontroversi keputusan transaksional tahun 2017 masih cukup tinggi sekitar 5,6%.33
ini juga pernah terjadi di era pemerintahan Problematika sistem presidensial dan
Presiden SBY. Saat itu DPR menyetujui multipartai ini, ternyata bisa diselesaikan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan oleh adanya faktor gaya memerintah
Kepala Daerah (Pilkada) yang isinya membawa seorang presiden yang akomodatif meski
Indonesia mundur ke masa Orde Baru, kecenderungan transaksional tak bisa
yaitu kepala daerah tidak lagi dipilih secara dihindari. Fakta ini jelas menunjukkan
langsung, melainkan oleh DPRD. Pilihan bahwa kombinasi sistem presidensial dengan
itu dilakukan untuk tercapainya pertukaran multipartai tidak selalu menimbulkan
antara diterimanya pasal kontroversi itu dan instabilitas politik, ketidakstabilan
berhasilnya Partai Demokrat menduduki kursi penyelenggaraan pemerintah, jika seorang
wakil ketua MPR. Setelah dihujani kritik, presiden memiliki kepiawaian dalam
Presiden Yudhoyono akhirnya mengeluarkan ‘mengelola’ partai dan koalisi pendukungnya
keputusan peraturan pemerintah pengganti maupun koalisi oposisi melalui kekuasaan
undang-undang (Perppu) yang menganulir konstitusionalnya dan partisannya.34
diundangkannya UU Pilkada itu. Selama era reformasi ini, menunjukkan
Meski begitu, harus diakui akan bahwa partai-partai politik sebagai institusional
kemampuan kepemimpinan Presiden SBY kala masih lemah, sehingga menjalankan strategi
itu, dalam upayanya terus mengelola koalisi politik bersifat nomadisme politik. Dibalik
30
Setahun Pemerintahan Joko Widodo Tiga Tantangan kelemahan institusional partai, tentulah
Jokowi, Koran Tempo, 27 Oktober 2015.
31
Pasal-pasal kontroversial itu adalah: Pasal 73 tentang 32
Arbi Sanit, Pengamat Politik dan mantan Dosen UI,
pemanggilan paksa anggota Dewan, pasal 122 huruf Wawancara, Jakarta, 8 Januari 2016.
k tentang penambahan kewenangan Mahkamah 33
Sri Mulyani Indrawati, “Projo Public Lecture,”
Kehormatan Dewan (MKD), dan pasal 245 tentang makalah disajikan dalam Projo Public Lecture, Jakarta,
pemanggilan anggota DPR yang harus disetujui MKD 22 November 2017.
dan Presiden. 34
Leo Agustino, op.cit, hlm. 388

12 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018


memberikan keuntungan bagi SBY dan Jokowi
relasi kekuasaan Presiden dengan DPR, yang
dalam mengelola pemerintahan. Selama duadisebabkan kombinasi sistem presidensial dan
periode kepemerintahan SBY dan tiga tahun
sistem multipartai, meski hubungan Presiden
lebih dari kepemimpinan Presiden Jokowi,dengan DPR selama kepemimpinan Presiden
hanya terjadi ketegangan politik antara Jokowi belum dapat dikategorikan bermasalah.
Presiden dan DPR. Sebab, tidak terjadi konflik antara kedua
Meski harus diakui di bawah
lembaga tersebut melainkan hanya terjadi
kepemimpinan SBY dan Presiden Jokowi, ketegangan politik saja yang disebabkan oleh
mengindikasikan adanya demokrasi yang perbedaan pendapat antara kedua lembaga
tersandera dan terjebak dari pilihan SBY dan
dan disebabkan peran dan fungsi DPR dalam
Jokowi selama menjalankan pemerintahannya
melakukan pengawasan terhadap eksekutif.
sendiri yang sangat menghindari adanya Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh:
konflik politis dengan kepemimpinannya yang
pertama, gaya memerintah Presiden yang
cenderung akomodatif, yang juga didukungcenderung akomodatif dan transaksional,
oleh lemahnya institusionalisasi partai-partai
dan kedua, lemahnya institusional partai dan
tersebut. Bahkan, di masa Jokowi cenderung
cenderung pragmatis. Lemahnya institusional
lebih meluas politik transaksionalnya, partai dan perilaku cenderung pragmatis dapat
akomodir tak hanya untuk partai-partai politik
kita anggap juga menyebabkan terjadinya
tetapi juga tim pemenangan pasangan Jokowi-
penerapan strategi politik berupa nomadisme
JK yang terdiri dari berbagai relawan, sehingga
partai, seperti diuraikan oleh Yasraf Amir
bagi-bagi jabatan terjadi pula di kursi BUMN
Piliang. Perilaku nomadisme politik itu
dan jabatan Duta Besar. ternyata juga seirama dengan perkembangan
Dari realitas di atas, tampak bahwa tiga
kepartaian modern yakni catch all party, seperti
tahun pemerintahan Jokowi menunjukkan diuraikan oleh Otto Kirchheimer, tentu
Presiden Jokowi tidak naif atas dukungan-
konsekuensinya adalah mudahnya partai-partai
dukungan partai politik untuk pemerintahan,
berganti “baju” dalam dukungan koalisinya,
sehingga Jokowi rela mengabaikan berbagai
dari koalisi oposisi menjadi koalisi pendukung
janji politik di masa pembentukan pemerintah, dan dari koalisi pendukung
pemerintahan, seperti janjinya membentukpemerintah tetapi tetap bermanuver sebagai
koalisi tanpa syarat, penunjukkan menteri
koalisi oposisi.
bukan upaya bagi-bagi kursi, dan tidak adanyaPilihan partai bergabung sebagai
jabatan rangkap antara pembantu presidenpendukung pemerintahan turut didasari bukan
dan sebagai pejabat partai politik. Dari situasi
saja kebutuhan pencitraan politik berdasarkan
ini juga menjelaskan bahwa koalisi menjadi
dorongan elektoral dalam pasar politik, tetapi
keniscayaan karena perpaduan antara sistem
juga dalam upaya partai politik tersebut
presidensial dan multipartai, tetapi pilihan itu
mendanai kelangsungan hidupnya. Namun,
dapat berjalan dengan baik dalam mendukung
upaya membentuk koalisi “semua partai,”
stabilitas penyelenggaraan negara meski juga dapat terjadi karena merupakan bagian
disertai dengan politik transaksional. dari upaya pemerintah menjaga stabilitas
penyelenggaraan negara dengan konsekuensi
tak luput terjadinya politik transaksional
Kesimpulan
yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi,
Tiga tahun lebih dari pemerintahan
asumsi ini mengonfirmasi atas tiga pertanyaan
Jokowi pasca amandemen UUD 1945,
di awal penelitian yakni mengenai faktor-
menunjukkan bahwa terjadinya ketegangan
Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 13
faktor yang mendasari koalisi politik pada Seperti ditunjukkan dari gaya memerintah
pemerintahan Jokowi, alasan Pemerintahan Jokowi yang berupaya mempertemukan
Jokowi cenderung memperluas koalisi partai- di antara berbagai kepentingan misalnya
partai politik pendukung pemerintahannya, antara kepentingan partai dan kepentingan
dan implikasinya koalisi politik pendukung masyarakat, antara kepentingan pemerintah
pemerintahan tersebut terhadap jalannya dengan kepentingan masyarakat, konsep win-
pemerintahan Jokowi. win solution yang menjadi pilihan dari pola
Koalisi yang dibangun dengan bersifat Jokowi dalam mengelola wilayah dukungan,
pragmatis semata, tentu berdampak yang mana konsep ini merupakan bagian dari
terhadap tidak munculnya kompetisi realitas politik akomodatif dan cenderung
antarpartai politik di parlemen, sehingga transaksional dalam kepemimpinannya.
tidak tampak perjuangan ideologis partai Konsep win-win solution ini ternyata
politik dalam memengaruhi, mengubah, berhasil dalam menutupi kelemahan diri
ataupun membentuk kebijakan, serta Presiden Jokowi ketika memerintah, seperti
pengawasan DPR terhadap pemerintah tatkala terjadinya perbedaan kepentingan
menjadi lunak, tetapi ini adalah pilihan antara PDI Perjuangan dengan kepentingan
Presiden Jokowi agar memperoleh political pemerintah, dalam kasus dukungan PDI
support tidak semata electoral support. Perjuangan, misalnya, kepada calon Kepala
Inilah situasi yang terus terjadi dari era Kepolisian Komisaris Jenderal Budi Gunawan,
pemerintahan SBY hingga pemerintahan termasuk dalam konflik Budi Gunawan
Jokowi sekarang ini, terjadinya pengelolaan dengan KPK, adalah contoh bahwa agenda
koalisi “semua partai.” Implikasi lainnya, partai utama pendukung Presiden tidak
dari perilaku partai-partai politik yang mudah disesuaikan dengan agenda Presiden
bergerak bergabung dalam mendukung dalam upaya pemberantasan korupsi, serta
kekuasaan di pemerintahan, menyebabkan agenda Presiden untuk memperoleh wilayah
terjadinya penurunan identifikasi pemilih dukungan dari masyarakat terhadap rezim
partai, yang berdampak pula terhadap dan pemerintahannya, solusi win-win dipilih
penurunan kepercayaan kepada partai dengan “menggeser” Budi Gunawan dari
politik. Tentu saja akhirnya, melemahnya keputusan menjadikan calon Kapolri menjadi
ikatan antara partai politik dan pengikut, wakil kapolri.
yang akan menimbulkan volatilitas yang Asumsi-asumsi dari kesimpulan di
lebih tinggi dalam pemilu. Wajar akhirnya atas, tentu saja akan mudah terbantahkan
dalam pemilu, para pemilih semakin enggan jika: gaya memerintah Presiden cenderung
untuk mengidentifikasi diri dengan partai tidak akomodatif dan transaksional ketika
politik yang sama selama suatu siklus berhadapan dengan DPR; dan partai-partai
pemilihan, dan terdapat kecenderungan politik sudah terlembaga; sehingga ketegangan
yang kuat untuk mengubah identifikasi politik yang mengarah deadlock hingga krisis
mereka dari pemilihan ke pemilihan. pemerintahan tetap bisa terjadi.
Gaya memerintah yang cenderung Sehingga demikian, penutup dari
akomodatif merupakan paling krusial kesimpulan ini, adalah selama tiga belas
dalam mengelola sistem presidensial, bisa tahun lebih, dari dua periode (satu dekade)
diasumsikan bahwa sistem presidensial pemerintahan Presiden SBY dan tiga tahun
di Indonesia dapat berjalan dengan baik, lebih kepemimpinan Presiden Jokowi,
jika dikelola dengan politik transaksional. pengelolaan sistem pemerintahan Indonesia

14 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018


dijalankan dengan gaya kepemimpinan Huda, Ni’matul, dan Nasef, M. Imam, (2017),
akomodatif dengan cenderung transaksional, Penataan Demokrasi dan Pemilu Di Indonesia
yang disebabkan oleh belum kompatibelnya Pasca Reformasi, Jakarta: Kencana.
antara sistem kepartaian bersifat multipartai Indrayana, Denny, (2011), Indonesia Opitimis,
dengan sistem pemerintahan yang bersifat Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
presidensial.
Ishiyama, Jhon T., & Breuning, Marijke,
(2013), Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad
Ke-21 (jilid 1), Jakarta: Kencana.
Nurhasim, Moch., & Nusa Bhakti, Ikrar, ed.,
(2009), Sistem Presidensial dan Sosok Presiden
DAFTAR PUSTAKA Ideal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Piliang, Yasraf Amir, (2005), Transpolitika:
Buku: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas,
Yogyakarta: Jalasutra.
Adam, Rainer, (2010), Masa Depan Ada di
Tengah: Toolbox Manajemen Koalisi, Jakarta: Riwanto, Agus, (2016), Hukum Partai Politik
Friedrich Naumann Stiftung. dan Hukum Pemilu di Indonesia: Pengaruhnya
Terhadap Penyelenggaraan Pemilu Berkualitas
Amal, Ichlasul, (1996), Teori-Teori Mutakhir dan Sistem Pemerintahan Presidensial Efektif,
Partai Politik (edisi revisi), Yogyakarta: Tiara Yogyakarta: Thafa Media, 2016.
Wacana Yogya.
---------, (2018), Desain Sistem Pemerintahan
Andriyan, Dody Nur, (2012), Hukum Tata Antikorupsi: Konsep Pencegahan Korupsi
Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai
Presidensial dengan Multipartai di Indonesia, Politik dan Pemilu, Malang: Setara Press.
Yogyakarta: Deepublish.
S. Shinta, Muhammad Sabri, (2012), Presiden
Denzin, Norman K., & Lincoln, Yvonna S., Tersandera: Melihat Dampak Kombinasi
(2009), Handbook of Qualitative Research, Sistem Presidensial-Multipartai dalam
terjemahan Dariyatno, at.all, Yogyakarta: Pemerintahan SBY-Boediono, Jakarta: RM
Pustaka Pelajar. Books.
Hanan, Djayadi, (2014), Menakar
Presidensialisme Multipartai Di Indonesia:
Upaya Mencari Format Demokrasi yang Jurnal, Tulisan/Berita Surat Kabar:
Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, Djayadi, Hanan. Setahun Pemerintahan Joko
Bandung: Mizan. Widodo Tiga Tantangan Jokowi, Koran
Haris, Syamsuddin, (2014), Praktik Parlementer Tempo, 27 Oktober 2015.
Demokrasi Presidensial Indonesia, Yogyakarta: Istman Musaharun dan Dias Prasongko,
Andi Offset. Jokowi Belum Berniat Depak PAN, Koran
Herdiansah, Ari Ganjar, (2015), Paradoks Tempo, 2 November 2017.
Koalisi Tanpa Syarat: Suatu Tinjauan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah:
dari Perspektif Sosiologi Politik, Jakarta: KIH Ganti Nama Jadi P4, Warta Kota, 14
RajaGrafindo Persada. November 2015.

Efriza: Koalisi dan Pengelolaan Koalisi, Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 15
Agustino, Leo, Satu Tahun Pemerintahan Jokowi: Multiparty System, and Democracy: The
Transaksional dan Transformasional, dalam Difficult Combination, Comparative
Analisis CSIS, Vol. 44 No. 4. Political Studies, Vol. 26 No. 2, hlm.
220-222, (https://www.researchgate.
net/publication/258130109_The_
Makalah: Presidentialism_ Multipartism_and_
Indrawati, Sri Mulyani, Projo Public Lecture, Democracy_The_Difficult_Combination,
makalah disajikan dalam Projo Public diakses 15 Februari 2018).
Lecture, Jakarta, 22 November 2017.
Wawancara:
Internet (artikel dalam jurnal online) Arbi Sanit, Pengamat Politik dan mantan
Dosen UI, 8 Januari 2016, Jakarta.
Altman, David, (2000), The Politics of
Coalition Formation and Survival in Firman Noor, Peneliti di Pusat Penelitian
Multiparty Presidential Democracies: The Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Case of Uruguay 1989-1999, Party Politics, Indonesia (P2P LIPI), 22 Desember 2015,
Vol. 6 No. 3, (http://www.icp.uc.cl/ Jakarta.
daltman/index_archivos/Altman-2000- Syamsuddin Haris, ahli politik dan peneliti
Party%20 Politics%206%20%283%29% Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
20259-283.pdf, diakses 15 Februari 2018). Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI), 28
Mainwaring, Scott, (1993), Presidentialism, Desember 2015, Jakarta.

16 Politica Vol. 9 No. 1 Juni 2018

You might also like