MAKALAH Kel. 1 Hukum Arbitrase

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

MAKALAH

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Arbitrase dan Arbitrase Syariah

Dosen Pengampu:

Agnes Lutfianah Ni’mah, M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 1

1. Nahrowi (126101213232)
2. Nikmatul Laily Febriyanti (126101212168)
3. Azizatul Amiroh (126101212170)
4. Mega Tri Utami (126101212173)

HUKUM EKONOMI SYARIAH 5E


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
AGUSTUS 2023
BAB 1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata ‘’arbitrare’’ (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan’’.
Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini
walaupun sebenarnya mempunyai makna yang sama, antara lain:
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa
oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak
akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka
pilih.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses
pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang
bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak.
H. M. N Poerwosujtipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang
diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar
perselisihan meraka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya
diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak
sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan. Poin penting
yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan
menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase
menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam
arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase,
sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang ditangani.
Menurut Frank Elkoury dan Etna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses yang
mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar
perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana
keputusan berdasarkan dengan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju
sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.

1
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.1

B. Sejarah Hukum Arbitrase di Indonesia


Perkembangan Sejarah pememberlakuan pranata arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam uraian berikut:
1. Pada zaman Hindia
Pada zaman ini Indonesia di kelompokkan dalam 3 golongan, yaitu:
a. Golongan eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum Negara
Belanda (Hukum Barat) dengan badan peradilan Raad van Justitie dan
Residentie-gerecht dengan hukum acara yang dipakai bersumber kepada
hukum yang termuat dalam Reglement op de Burgelijke
Rechtsvordering (B.Rv atau Rv).
b. Golongan bumi putra dan mereka yang disamakan berlaku hukum
adatnya masing-masing. Namun bagi mereka dapat diberlakukan hukum
barat jika ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang
dibutuhkan. Badan peradilan yang digunakan adalah Landraad dan
beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, distrik, dan
sebagainya. Dengan hukum acara yang dipakai bersumber pada
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) bagi yang tinggal di Pulau Jawa
dan sekitarnya. Dan bersumber pada Rechtsrgelement Buitengewesten
(Rbg).
c. Golongan Cina dan Timur asing lainnya sejak tahun 1925 diberlakukan
dengan hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
Selain peradilan sebagai pranata penyelesaian sengketa pada
masa itu dikenal pula adanya arbitrase dengan adanya ketentuan pasal
377 HIR atau pasal 705 Rbg seperti yang sudah penulis paparkan diatas.
Dari pasal tersebut, menunjukkan bahwa pada zaman Hindia Belanda
Arbitrase sudah diatur dalam tata hukum Indonesia di masa itu.

1
Anik Entriani, Arbitrase dalam sistem hukum di Indonesia, An-Nisbah, Vol.03 No.02, 2017, Hal.279-
280

2
Sejak tahun 1849 (berlakunya KUHAP) yang pada pasal 615 dan
651 Rv yang isinya tentang pengertian, ruang lingkup, kewenangan dn
fungsi arbitrase. Dari ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa
pada waktu itu punya hak untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya
kepada seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter), selanjutnya
arbiter yang dipercaya tadi memeriksa dan memutus sengketa yang
diserahkan kepadanya menurut asas-asas dan ketentuan sesuai yang
diinginkan para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
Ada 3 Arbitrase yang di bentuk oleh pemerintahan belanda, yaitu:
a) Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia.
b) Badan arbitrase tentang kebakaran.
c) Badan arbitrase asuransi kecelakaan.
2. Zaman pemerintahan jepang
Pada zaman ini, peradilan Raad van Justitie dan Residentiegerecht
dihapuskan. Jepang membentuk satu macam yang berlaku bagi semua orang
yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan peradilan ini merupakan peradilan
kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg.
Mengenai arbitrase pemerintah Jepang masih memberlakukan aturan arbitrase
Belanda dengan didasarkan pada peraturan Pemerintah Balatentara Jepang,
isinya: “Semua badan pemerintah dan kekuasaan hukum dari pemerintah dahulu
tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer Jepang”.
3. Indonesia Merdeka
Untuk mencegah kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka
diberlakukanlah pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, isinya : “Segala badan
Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut UUD ini”. Dengan demikian maka aturan arbitrase zaman
Belanda masih dinyatakan berlaku.
Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis
arbitrase di Indonesia adalah:
a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
c. Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
3
d. Pasal 615-651 Rv.
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.2

C. Ruang Lingkup Arbitrase


Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Albitrase pasal 5 ayat 1
sengketa yang diselesaikan dalam menggunakan albitrase hanyalah sengketa
dibudang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, industry dan hak milik intelektual, sementara itu pasal 5 ayat
2 undang-undang arbitrase memberikan perumusan negative bahwa sengketa-
sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui albitrase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian
sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Dalam hal ini ruang lingkup albitrase meliputi syarat-syarat albitrase didalam
pasal 8 undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang albitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa umum, telah disebutkan syarat-syarat albitrase sebagai
berikut:
1. Dalam hal ini timbul sengketa pemohon harus memberitahukan dengan
surat tercatat, telegram, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada
termohon bahwa syarat albitrase yang diadakan oleh pemohon atau
termohon berlaku.
2. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud
ayat 1 memuat dengan jelas:
a. Nama dan Alamat para pihak.
b. Penunjukan perjanjian arbitrase yang berlaku.
c. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa.
d. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut apabila ada.
e. Cara menyeksara yang dikehendaki.
f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter
tidak pernah diadakan perjanjian semacam ini, pemohon dapat

2
Ibid, Hal.281-283

4
mengajukan usul dengan jumlah arbiter yang dikehendaki dalam
jumlah ganjil.

D. Asas dan Tujuan Arbitrase


1. Asas Hukum Arbitrase
Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum
tersebut, sebab asas hukum sebagai dasar-dasar atau petunjuk arah dalam
pembentukan hukum positif. Terjadinya hukum itu berlangsung melalui pikiran
yang abstrak, umum dan mendasar, yang disebut asas hukum dan yang
kemudian dikonkritisasi lebih lanjut menjadi peraturan hukum. Jadi hukum
direalisasi dalam empat tahap, yaitu asas hukum, kaidah hukum, peraturan
hukum konkrit dan yurisprudensi.3 Suatu asas hukum mempunyai ruang lingkup
yang umum sehingga dapat berlaku dalam pelbagai situasi, tidak hanya berlaku
pada peristiwa atau situasi tertentu saja, sehingga terbuka peluang terjadinya
penyimpangan atau pengecualian yang memperkuat berlakunya asas hukum
yang bersifat umum tersebut. Misalnya asas hukum bahwa setiap orang berhak
untuk hidup, namun hal itu dapat disimpangi dengan adanya hukuman mati
terhadap kejahatan tertentu. Dengan adanya pengecualian atau penyimpangan
dalam suatu asas hukum menjadikan sistem hukumnya luwes, fleksibel dan
simple, sehingga asas hukum tersebut melengkapi sistem hukum. Tanpa ada
asas hukum maka sistem hukum menjadi kaku, tidak luwes, dan tidak fleksibel.4
Berikut adalah beberapa asas hukum yang terkait dengan Arbitrase, yaitu:
a. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme merupakan kesepakatan
para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.
b. Asas Otonomi Para Pihak (Parties Autonomy) Asas ini menyatakan
bahwa para pihak mempunyai kebebasan untuk memilih dan
menentukan penyelesaian sengketa di antara mereka, termasuk jika
pilihan tersebut masuk pada arbitrase.

3
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma jaya, 2011, Hal.45

4
Ibid, Hal.47

5
c. Asas Pacta Sunt Servanda. Dari berbagai asas yang ada dalam
perjanjian, maka asas pacta sunt servanda dianggap sebagai asas yang
bersifat mendasar yang melandasi lahirnya suatu perjanjian.
d. Asas Itikad Baik (Good Faith). Sebagai asas yang mencerminkan
perlunya itikad baik terkait dengan kontrak, maka Pasal 1338 ayat (3)
menyatakan “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Artinya harus ada niat yang baik di antara kedua belah pihak untuk
melaksanakan isi perjanjian dengan sungguh-sungguh sebagaimana
yang tertuang sesuai apa yang telah diperjanjikan.
e. Asas Sederhana dan Cepat. Yang dimaksud “sederhana” adalah acara
pemeriksaan perkaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Makin sedikit dan sederhana formalitas yang diwajibkan dan diperlukan
dalam beracara di muka pengadilan, maka akan makin baik. Terlalu
banyak formalitas yang sukar difahami maka akan kurang menjamin
kepastian hukum, sehingga tidak mustahil menimbulkan keengganan
dan ketakutan masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) untuk
berperkara di depan pengadilan.5
2. Tujuan Hukum Arbitrase
Tujuan dari arbitrase ini adalah untuk memberikan alternative
penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pada akhirnya para pihak yang
menyelesaikan sengketanya melalu jalur Arbitarse ini mencari solusi yang
sesuai dan merahasiakannya. Penyelesaian sengketa cepat, efisien dan cepat.
Selain itu, para pihak yang menyelesaikan sengketa memiliki keahlian
dibidangnya serta integritasnya telah teruji dan menjaga kenetralitasan. Suatu
pembentukan sebuah undang-undang tidak pernah lepas dari pandangan politik
yang membuat hukum itu sendiri. Selain itu, kebutuhan terhadap arbitrase ini
tidak hanya untuk kepentingan negara, tetapi karena melihat kondisi
perkembangan suatu perdagangan, khususnya perdagangan internasional.
Arbitrase dipandang akan berperan penting didalam penyelesaian sengketa
dibidang bisnis. Karena melihat banyaknya perdagangan yang akan terjadi

5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1993, Hal.2

6
dipersaingan globalisasi nanti. Ibaratrya arbitrase adalah salah satu prinsip dasar
dalam lingkup hukum perdagangan internasional.6
Oleh karena itu penyelesaian itu harus diatur dengan jelas supaya dapat
memudahkan penyelesaian sengketa para pelaku bisnis. Khususnya ini dibuat
agar didapat kemudahan-kemudahan para pelaku usaha ketika mengembangkan
usaha perdagangannya di Indonesia. Ditambah dengan diluncurkannya Asean
Free Trade Area (AFTA) dilingkungan ASEAN, bisa menjadikan tingkat
perdagangan dan bisnis terus berkembang dan semakin terbuka. 7 Hal ini
memungkinkan bagi para pelaku usaha untuk melakukan transaksi bisnis
diwilayah Asia Tenggara. Dengan harapan meningkatnya suatu hubungan
bisnis, tak sedikit nanti akan berpengaruh terhadap meningkatnya suatu
sengketa bisnis. Pada akhirnya Undang-Undang arbitrase diatas dirumuskan
untuk mencapai suatu tujuan dalam menyelesaikan suatu sengketa bisnis
dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil tanpa adanya
formalitas prosedur yang berbelit yang menghambat penyelesaian sengketa.

6
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, cetakan 2, Iakarta,2005, Hal. 6
7
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Hal. I

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah arbitrase berasal dari kata ‘’arbitrare’’ (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan’’. Menurut
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perkembangan Sejarah pememberlakuan pranata arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam uraian berikut:
1. Pada zaman hindia.
2. Zaman pemerintahan jepang.
3. Indonesia Merdeka.
Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Albitrase pasal 5 ayat 1
sengketa yang diselesaikan dalam menggunakan albitrase hanyalah sengketa dibudang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Beberapa asas hukum yang terkait dengan albitrase, yaitu:
1. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme.
2. Asas Otonomi Para Pihak (Parties Autonomy).
3. Asas Pacta Sunt Servanda.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith).
5. Asas Sederhana dan Cepat.
Tujuan dari arbitrase ini adalah untuk memberikan alternative penyelesaian
sengketa diluar pengadilan.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu
penulis senantiasa dengan lapang dada menerima kritikan maupun saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya. Diharapkan pembaca mampu
memahami tentang Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Bagi para pembaca

8
jika ingin menambah wawasan dan mengetahui lebih jauh maka penulis mengharapkan
dengan rendah hati agar membaca buku yang berkaitan dengan Proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.

9
DAFTAR PUSTAKA

Adolf Huala, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, cetakan 2, Iakarta,2005.

Entriani Anik, Arbitrase dalam sistem hukum di Indonesia, An-Nisbah, Vol.03 No.02, 2017.

Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1993.

Mertokusumo Sudikno, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma jaya, 2011.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

10

You might also like