Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH Kel. 1 Hukum Arbitrase
MAKALAH Kel. 1 Hukum Arbitrase
MAKALAH Kel. 1 Hukum Arbitrase
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Kelompok 1
1. Nahrowi (126101213232)
2. Nikmatul Laily Febriyanti (126101212168)
3. Azizatul Amiroh (126101212170)
4. Mega Tri Utami (126101212173)
A. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata ‘’arbitrare’’ (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan’’.
Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini
walaupun sebenarnya mempunyai makna yang sama, antara lain:
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa
oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak
akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka
pilih.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses
pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang
bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak.
H. M. N Poerwosujtipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang
diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar
perselisihan meraka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya
diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak
sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan. Poin penting
yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan
menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase
menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam
arbitrase, arbitrator bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase,
sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang ditangani.
Menurut Frank Elkoury dan Etna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses yang
mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar
perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana
keputusan berdasarkan dengan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju
sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
1
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.1
1
Anik Entriani, Arbitrase dalam sistem hukum di Indonesia, An-Nisbah, Vol.03 No.02, 2017, Hal.279-
280
2
Sejak tahun 1849 (berlakunya KUHAP) yang pada pasal 615 dan
651 Rv yang isinya tentang pengertian, ruang lingkup, kewenangan dn
fungsi arbitrase. Dari ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa
pada waktu itu punya hak untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya
kepada seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter), selanjutnya
arbiter yang dipercaya tadi memeriksa dan memutus sengketa yang
diserahkan kepadanya menurut asas-asas dan ketentuan sesuai yang
diinginkan para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
Ada 3 Arbitrase yang di bentuk oleh pemerintahan belanda, yaitu:
a) Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia.
b) Badan arbitrase tentang kebakaran.
c) Badan arbitrase asuransi kecelakaan.
2. Zaman pemerintahan jepang
Pada zaman ini, peradilan Raad van Justitie dan Residentiegerecht
dihapuskan. Jepang membentuk satu macam yang berlaku bagi semua orang
yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan peradilan ini merupakan peradilan
kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg.
Mengenai arbitrase pemerintah Jepang masih memberlakukan aturan arbitrase
Belanda dengan didasarkan pada peraturan Pemerintah Balatentara Jepang,
isinya: “Semua badan pemerintah dan kekuasaan hukum dari pemerintah dahulu
tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer Jepang”.
3. Indonesia Merdeka
Untuk mencegah kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka
diberlakukanlah pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, isinya : “Segala badan
Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut UUD ini”. Dengan demikian maka aturan arbitrase zaman
Belanda masih dinyatakan berlaku.
Beberapa serangkaian peraturan perundangan yang menjadi dasar yuridis
arbitrase di Indonesia adalah:
a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan pasal 3.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1338 ayat (1).
c. Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.
3
d. Pasal 615-651 Rv.
e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.2
2
Ibid, Hal.281-283
4
mengajukan usul dengan jumlah arbiter yang dikehendaki dalam
jumlah ganjil.
3
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma jaya, 2011, Hal.45
4
Ibid, Hal.47
5
c. Asas Pacta Sunt Servanda. Dari berbagai asas yang ada dalam
perjanjian, maka asas pacta sunt servanda dianggap sebagai asas yang
bersifat mendasar yang melandasi lahirnya suatu perjanjian.
d. Asas Itikad Baik (Good Faith). Sebagai asas yang mencerminkan
perlunya itikad baik terkait dengan kontrak, maka Pasal 1338 ayat (3)
menyatakan “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Artinya harus ada niat yang baik di antara kedua belah pihak untuk
melaksanakan isi perjanjian dengan sungguh-sungguh sebagaimana
yang tertuang sesuai apa yang telah diperjanjikan.
e. Asas Sederhana dan Cepat. Yang dimaksud “sederhana” adalah acara
pemeriksaan perkaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Makin sedikit dan sederhana formalitas yang diwajibkan dan diperlukan
dalam beracara di muka pengadilan, maka akan makin baik. Terlalu
banyak formalitas yang sukar difahami maka akan kurang menjamin
kepastian hukum, sehingga tidak mustahil menimbulkan keengganan
dan ketakutan masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) untuk
berperkara di depan pengadilan.5
2. Tujuan Hukum Arbitrase
Tujuan dari arbitrase ini adalah untuk memberikan alternative
penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pada akhirnya para pihak yang
menyelesaikan sengketanya melalu jalur Arbitarse ini mencari solusi yang
sesuai dan merahasiakannya. Penyelesaian sengketa cepat, efisien dan cepat.
Selain itu, para pihak yang menyelesaikan sengketa memiliki keahlian
dibidangnya serta integritasnya telah teruji dan menjaga kenetralitasan. Suatu
pembentukan sebuah undang-undang tidak pernah lepas dari pandangan politik
yang membuat hukum itu sendiri. Selain itu, kebutuhan terhadap arbitrase ini
tidak hanya untuk kepentingan negara, tetapi karena melihat kondisi
perkembangan suatu perdagangan, khususnya perdagangan internasional.
Arbitrase dipandang akan berperan penting didalam penyelesaian sengketa
dibidang bisnis. Karena melihat banyaknya perdagangan yang akan terjadi
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1993, Hal.2
6
dipersaingan globalisasi nanti. Ibaratrya arbitrase adalah salah satu prinsip dasar
dalam lingkup hukum perdagangan internasional.6
Oleh karena itu penyelesaian itu harus diatur dengan jelas supaya dapat
memudahkan penyelesaian sengketa para pelaku bisnis. Khususnya ini dibuat
agar didapat kemudahan-kemudahan para pelaku usaha ketika mengembangkan
usaha perdagangannya di Indonesia. Ditambah dengan diluncurkannya Asean
Free Trade Area (AFTA) dilingkungan ASEAN, bisa menjadikan tingkat
perdagangan dan bisnis terus berkembang dan semakin terbuka. 7 Hal ini
memungkinkan bagi para pelaku usaha untuk melakukan transaksi bisnis
diwilayah Asia Tenggara. Dengan harapan meningkatnya suatu hubungan
bisnis, tak sedikit nanti akan berpengaruh terhadap meningkatnya suatu
sengketa bisnis. Pada akhirnya Undang-Undang arbitrase diatas dirumuskan
untuk mencapai suatu tujuan dalam menyelesaikan suatu sengketa bisnis
dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil tanpa adanya
formalitas prosedur yang berbelit yang menghambat penyelesaian sengketa.
6
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, cetakan 2, Iakarta,2005, Hal. 6
7
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Hal. I
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah arbitrase berasal dari kata ‘’arbitrare’’ (bahasa Latin) yang berarti
“kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan’’. Menurut
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perkembangan Sejarah pememberlakuan pranata arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam uraian berikut:
1. Pada zaman hindia.
2. Zaman pemerintahan jepang.
3. Indonesia Merdeka.
Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Albitrase pasal 5 ayat 1
sengketa yang diselesaikan dalam menggunakan albitrase hanyalah sengketa dibudang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Beberapa asas hukum yang terkait dengan albitrase, yaitu:
1. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme.
2. Asas Otonomi Para Pihak (Parties Autonomy).
3. Asas Pacta Sunt Servanda.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith).
5. Asas Sederhana dan Cepat.
Tujuan dari arbitrase ini adalah untuk memberikan alternative penyelesaian
sengketa diluar pengadilan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu
penulis senantiasa dengan lapang dada menerima kritikan maupun saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya. Diharapkan pembaca mampu
memahami tentang Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Bagi para pembaca
8
jika ingin menambah wawasan dan mengetahui lebih jauh maka penulis mengharapkan
dengan rendah hati agar membaca buku yang berkaitan dengan Proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.
9
DAFTAR PUSTAKA
Entriani Anik, Arbitrase dalam sistem hukum di Indonesia, An-Nisbah, Vol.03 No.02, 2017.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
10