Download as txt, pdf, or txt
Download as txt, pdf, or txt
You are on page 1of 86

ii

vi

viii

xii

2. Cara Penularan TB.


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi
oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc
dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan
hasil
kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik
renik
dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar
3000 percikan dahak.
3. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi
tahap
paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 1. Perjalanan alamiah TB
a. Paparan
Peluang
 Jumlah kasus menular di masyarakat
peningkatan
 Peluang kontak dengan kasus menular
paparan
 Tingkat daya tular dahak sumber penularan
terkait dengan:
 Intensitas batuk sumber penularan
 Kedekatan kontak dengan sumber penularan
 Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
 Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra
violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan
konsentrasi)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi.
Setelah
terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi
saja,
menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 - 14 minggu setelah infeksi
 Reaksi immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung
reaksi antigen - antibody.
 Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)
 Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
 Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelum
penyembuhan lesi
BAB I
3
PENDAHULUAN

c. Sakit TB
Faktor risiko
 Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
untuk menjadi
 Lamanya waktu sejak terinfeksi
sakit TB adalah
 Usia seseorang yang terinfeksi
tergantung dari :
 Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Namun bila
seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi.
TB
umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau
getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra
Paru).
Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ
tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko
 Akibat dari keterlambatan diagnosis
kematian karena
 Pengobatan tidak adekuat
TB:
 Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat
pada pasien dengan HIV positif.
C. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan
IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS
(Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci,
yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
pengendalian TB
sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif
(cost-effective). Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.
Satu studi
cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan
menggunakan
strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
BAB I
4
PENDAHULUAN

Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada
tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS
tersebut
diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju
infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan
mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1
kasus
TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB
(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi
10 per 100.000
penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000
penduduk
dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi
pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih
komprehensif
bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian
TB
global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun
2035
yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya
yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan
TB
secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan
obat dengan
disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko
tinggi
serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan
pencegahan
TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi
layanan
kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta
(universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi
vital, tata
kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi
dampak
determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode
intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang
inovasi-
inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.
BAB I
5
PENDAHULUAN

sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi


Sosial),
manajemen logistik.
3. OAT
Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya
sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai
kepada
dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem
manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan
secara
terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.
4. Pembiayaan
Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB
sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk
pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya
ketergantungan
terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan
masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis
untuk
pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB.
Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan
advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk
pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat
ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek
kuratif
sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih
sangat
kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga
memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.
5. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Terhadap
Pedoman Nasional Pengendalian TB.
Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB
nasional,
namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum
sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan program. Pengalaman yang diambil
dari upaya menerapkan standar pelayanan berdasar International Standards
for
Tuberculosis Care (ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena
tidak
adanya kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu
dilakukan
upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti ISTC kedalam
bentuk
aturan yang memiliki payung hukum yang kuat yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional
Praktek Kedokteran Tatalaksana TB
(PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuan
penyusunan panduan praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di
faskes baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan penyedia
layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan mengembangkan sistem akreditasi
dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Dengan dua
upaya
tersebut diharapkan mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga
pasien
tidak akan dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar.
Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga
menghadapi
kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan
akan
mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:
BAB II
8
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
1. Sistem Jaminan Kesehatan
Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala
finansial.
Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup
seluruh
warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk
TB
menjadi tidak optimal.
2. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas.
Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan tingginya beban
permasalahan determinan sosial seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan,
pekerjaan. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan bagi populasi yang
tidak
memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh mudahnya
penularan TB. Beban TB yang tinggi akan mengakibatkan beban sosial yang besar yang
akan mengancam tercapainya target pemerataan pembangunan.
3. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan lain.
Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program
TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi
merokok,
angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain
itu
beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti
penurunan angka kematian ibu/ wanita hamil dan anak.
C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia.
1.
Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam
kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang
meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta
menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2.
Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka
dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global
Stop TB
Strategy).
3.
Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
pengendalian TB.
4.
Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat.
5.
Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta,
Rumah
Sakit Paru
(RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(B/BKPM), Klinik
Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6.
Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB
dengan
tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan
di FKRTL
dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani.
7.
Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara
sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud
Gerakan
Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).
8.
Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk
peningkatan mutu dan akses layanan.
9.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan
dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya.
BAB II
9
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan
dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan
lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian
TB.
D. Visi dan Misi
Visi
” Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”
Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani
dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan
berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
E. Tujuan dan target
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian
tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per
100,000
penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA
positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014
akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target
pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca
2015
dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada
tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar
1-2%
per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5%
pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi
sebesar
20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 - 2014 ( ¹¹ )
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan
dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-
BAB II
10
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan


TB (International Standards for TB Care).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program
pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun
2015-2019 merupakan
pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan
strategi
baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar.
G. Kegiatan
1.
Tatalaksana TB Paripurna
a. Promosi Tuberkulosis
b. Pencegahan Tuberkulosis
c. Penemuan pasien Tuberkulosis
d. Pengobatan pasien Tuberkulosis
e. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
2.
Manajemen Program TB
a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
c. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis
d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis.
3.
Pengendalian TB Komprehensif
a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;
b. Public-Private Mix Tuberkulosis;
c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;
d. Kolaborasi TB-HIV;
e. TB Anak;
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL);
h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
i. Penelitian tuberkulosis.
H. Organisasi Pelaksana
1. Aspek Manajemen Program TB
a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah
koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis
upaya pengendalian TB.
BAB II
11
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh


Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub
Direktorat
Tuberkulosis.
b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah
dan
Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan
Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan kabupaten / kota.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\
2.
Aspek Tatalaksana pasien TB
Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas
Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu
memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKTP adalah
Puskesmas,
DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM.
Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu
melakukan
pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM).
FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis
dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang
disebut
sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).
b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)
FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan
layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif
dan
paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak
bisa
ditegakkan diagnosisnya di FKTP.
Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS
Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama.
Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan
terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerja sama
dalam
kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung
maupun
eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.
BAB II
12
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2.
Pemeriksaan dahak
a.
Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
(M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.
3.
Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT.
Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus
dilakukan
oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan
mutu/Quality
Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan
jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan
resistan obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,
Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan
(laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.
BAB III
14
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

1.
Definisi Pasien TB:
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik
cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat
tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara
bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan
pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi
bakteriologis positif
(baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
2.
Klasifikasi pasien TB:
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra
paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
BAB III
18
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis ekstra paru:


Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar
limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ,
diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari
28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis
(baik karena benar-benar kambuh atau karena
reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).
BAB III
19
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping
pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu
tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
• Pasien TB paru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstra paru
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Berat Badan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)


30 - 37 kg
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 - 54 kg
3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 - 70 kg
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg
5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
BAB III
24
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Dosis per hari / kali Jumlah

Tablet Kaplet Tablet


Tablet hari/
Tahap
Lama

Isoniasid Rifampisin Pirazinamid


Etambutol kali
Pengobatan
Pengobatan

@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr


@ 250 mgr menelan

obat
Intensif
2 Bulan 1 1 3
3 56
Lanjutan
4 Bulan 2 1 -
- 48
b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Tabel 7.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
Berat
tiap hari
3 kali seminggu
Badan
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari


selama 20 minggu
30-37 kg
2 tab 4KDT 2 tab 4KDT
2 tab 2KDT

+ 500 mg Streptomisin inj.


+ 2 tab Etambutol
38-54 kg
3 tab 4KDT 3 tab 4KDT
3 tab 2KDT

+ 750 mg Streptomisin inj.


+ 3 tab Etambutol
55-70 kg
4 tab 4KDT 4 tab 4KDT
4 tab 2KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.


+ 4 tab Etambutol
≥71 kg
5 tab 4KDT 5 tab 4KDT
5 tab 2KDT

+ 1000mg Streptomisin inj. ( > do maks )


+ 5 tab Etambutol
Tabel 8.
Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Etambutol Jumlah

Tablet Kaplet Tablet


Tahap
Lama
Streptomi hari/kali

Isoniasid Rifampisin Pirazinamid


Tablet @ Tablet @
Pengobatan
Pengobatan
sin injeksi menelan

@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr


250 mgr 400 mgr

obat
Tahap
Awal
2 bulan 1 1 3
3 - 0,75 gr 56
(dosis
1 bulan 1 1 3
3 - - 28
harian)
Tahap
Lanjutan
5 bulan
2 1 - 1
2 - 60
(dosis 3x
semggu)
BAB III
25
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Catatan:

Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.

Cara melarutkan streptomisin vial
1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest

sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).



Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan

apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )



Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini
pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini
kedua.

OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan
pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²⁶ )
a.
Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak
tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya
positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan
harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara
terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal,
tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif
atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien
TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan
ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan
selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.
Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk
memantau kemajuan hasil pengobatan:
1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
• Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
• Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5
dan Akhir Pengobatan)
2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :
• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak
teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
BAB III
26
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

• Segera diberikan dosis tahap lanjutan


(tanpa memberikan OAT sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap
lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan
pemeriksaan uji kepekaan obat.
• Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat,
lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke
5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan
OAT kategori 2):
• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak
teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
• Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
• Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke
5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
3) Pada bulan ke 5 atau lebih :
• Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
• Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan
gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .
• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
• Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),
pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
• Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan
semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk
ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap
upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).
Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat
pada tabel di bawah ini. ( ⁹ )
BAB III
27
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
BAB III
28
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

BAB III
29
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ )


Hasil
Definisi
pengobatan

Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada


Sembuh
awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir

pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan


sebelumnya.

Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap


Pengobatan
dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
lengkap
hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
Gagal
laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Meninggal
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan.
Putus
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
berobat
pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
(loss to
follow-up)
Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak
Tidak
diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
dievaluasi
d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ )
Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan
sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk
tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh
obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang
PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan
tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan
kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
BAB III
30
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
2) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada
petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
3) Tugas seorang PMO
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan.
4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
e.
Pengobatan TB pada keadaan khusus
1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan
dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan
terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
BAB III
31
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada
trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶ )
a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
• Pembawa virus hepatitis
• Riwayat penyakit hepatitis akut
• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
c) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:

2 obat yang hepatotoksik
 2 HRSE / 6 HR
 9 HRE

1 obat yang hepatotoksik
 2 HES / 10 HE
• Tanpa obat yang hepatotoksik
 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).
BAB III
32
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
 Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
 Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
 Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.
5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan
perubahan
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal.
Dosis
pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu
diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari
penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15
mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap
kali
pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶ )
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek
samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal
pada
penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis.
Tingkat
Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)
1
KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran

kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur


2
KK (60 - 90 ml/menit)
3
KK (30 - 60 ml/menit)
4
KK (15 - 30 ml/menit)
5
KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis
Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan
penyakit ginjal kronis.
OAT
Stadium 1-3 Stadium 4-5
Diberikan 3x/minggu
Isoniasid
300 mg/hari

Dosis 300 mg/setiap pemberian

<50 kg: 450 mg/hari <50 kg: 450


mg/hari
Rifampisin

≥50 kg: 600 mg/hari ≥50 kg: 600


mg/hari

<50 kg: 1,5 g/hari 25-30


mg/kgBB/hari,
Pirasinamid
≥50 kg: 2 g/hari
Diberikan 3x/minggu
15-25 mg/kgBB/hari,
Etambutol
15 mg/kgBB/hari
Diberikan 3x/minggu
BAB III
33
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² )


TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b) TB milier dengan atau tanpa meningitis
c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran
kencing
(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
Predinisolon (per oral):
• Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
• Dewasa: 30 - 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari
4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).
8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
a) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
• Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
BAB III
34
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( ²⁶ )


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami
efek
samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami
efek
samping yang merugikan atau berat.
Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi
klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat
segera
diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin
tidak
diperlukan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain
daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan
aktif
menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil
obat.
Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus
dicatat
pada kartu pengobatannya.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan keluhan dan gejala.
Tabel 13. Efek samping ringan OAT
Efek Samping
Penyebab Penatalaksanaan
OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
Tidak ada nafsu makan,
sedikit makanan
H, R, Z
mual, sakit perut
Apabila keluhan semakin hebat disertai

muntah, waspada efek samping berat dan

segera rujuk ke dokter.

Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti


Nyeri Sendi
Z

radang non steroid


Kesemutan s/d rasa ter-
Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 - 75 mg per
bakar di telapak kaki
H

hari
atau tangan

Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi


Warna kemerahan pada

R obat penawar tapi perlu penjelasan


kepada
air seni (urine)

pasien.
Flu sindrom (demam,

R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten


menjadi
menggigil, lemas, sakit

intermiten setiap hari


kepala, nyeri tulang)
BAB III
35
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Tabel 14. Efek samping berat OAT


Efek Samping
Penyebab Penatalaksanaan
Bercak kemerahan kulit (rash)
Ikuti petunjuk
H, R, Z, S
dengan atau tanpa rasa gatal
penatalaksanaan dibawah*
Gangguan pendengaran (tanpa
S
S dihentikan
diketemukan serumen)
Gangguan keseimbangan
S S dihentikan
Semua OAT dihentikan
Ikterus tanpa penyebab lain
H, R, Z
sampai ikterus menghilang.
Bingung, mual muntah
Semua OAT dihentikan,

Semua jenis
(dicurigai terjadi gangguan fungsi
segera lakukan pemeriksaan

OAT
hati apabia disertai ikterus)
fungsi hati.
Gangguan penglihatan
E E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal
R
R dihentikan.
ginjal akut
Penurunan produksi urine
S S dihentikan.
* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( ²⁶ )
Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan
untuk
memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab
kulit.
Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila
kemudian
terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau
fasyankes
rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes
rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan
terjadinya
reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”:
• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap
satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R
) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila
tidak
timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT
lagi.
• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang
diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan
dapat
dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.
** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis” ( ²⁶ )
Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan
gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis).
Penatalaksanaan
pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan
dalam
uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti
gangguan
fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab
lain
sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan
OAT.
BAB III
36
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan


TB
tergantung dari:
• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
• Berat ringannya gangguan fungsi hati
• Berat ringannya TB
• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat
Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:
1.
Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena
OAT,
pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang
diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik.
Bila
fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap,
selanjutnya Isoniasid secara bertahap.
2.
TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien,
dapat
diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT
dari golongan fluorokuinolon.
3.
Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali
normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan
kembali.
4.
Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu
sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati
sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.
5.
Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan
pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon
dapat
diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6.
Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai
kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali
muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang
ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan
dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang
pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H
dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.
7.
Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati.
Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.
Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.
Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal,
total
lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.
Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik
terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai
18-24
bulan.
8.
Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal
dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat
diatasi,
berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk
menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan
tahap lanjutan.
9.
Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap
lanjutan
(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah
kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
BAB III
37
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
2.
Gejala TB pada anak
Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak
tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure
to
thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit,
adalah sebagai
berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala
akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin
bridge).
e. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
BAB IV
39
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular
yang lain
adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis
pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun
biopsi
jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang
terdiri dari
beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan
untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala
TB,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan
serologi tidak
direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur
Jenderal
BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang
larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik
sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat
diambil
berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-
turut,
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan
adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang
khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan
di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman
TB.
1.
Perkembangan terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan
ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat
yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic
Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di
beberapa
laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun
2014 menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu
menunjukkan anak tidak sakit TB.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan
diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB
menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya
sumber
penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh
kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya
reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini
secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau
anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu
menderita
TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup
untuk
melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara
klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten.
Namun
apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka
anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.
Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya
BAB IV
40
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian
dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux
test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU.
Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit
lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan
untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
2.
Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem
skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para
ahli
yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah
satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas
kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat
dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai
nilai
tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
BAB IV
41
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak


Anak 0 - 14 th
Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)
Suspek TB Anak
Sistem Skoring
Skor< 6
Skor = 6
Skor> 6

Infeksi laten TB
Didapat dari
parameter uji
Didapat dari
tuberkulin (+)
parameter uji
atau kontak
tuberkulin (+)

Pertimbangan Bukan
dengan gejala
dan kontak;

dokter (**) TB
klinis lain
tanpa gejala

klinis lain
TB ANAK

Evaluasi 2 bulan terapi

Umur ≥ 5 Umur< 5
th
Perbaikan
Tidak ada

PP INH

perbaikan

HIV pos HIV neg


Lanjutkan
Evaluasi, rujuk
terapi
bila perlu

PP INH Observasi
Keterangan :
(*)
Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**)
Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala
klinis
lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin
BAB IV
43
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya


Dosis harian Dosis
Nama Obat (mg/kgBB/hari)
maksimal
Efek samping
(mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300
Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600
Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) -
Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15-25) -
Neuritis optik, ketajaman mata

berkurang, buta warna merah

hijau, hipersensitivitas,

gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 - 40 1000
Ototoksik, nefrotoksik
j.
Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
tabel berikut ini:
Tabel
17: OAT Kategori Anak dan Peruntukannya
OAT
Tahap OAT
Tahap Lama
Jenis TB
Prednison
Awal
Lanjutan Pengobatan
TB Ringan
-

2 mgg dosis penuh,


2HRZ
4HR
Efusi Pleura TB
kemudian tappering 6 bulan

off.
TB BTA positif 2HRZE
4HR -
TB paru dengan tanda-
tanda kerusakan luas:
4 mgg dosis penuh,
 TB milier
7-10HR kemudian tappering 9-12 bulan
 TB+destroyed
off.
lung

4 mgg dosis penuh,


Meningitis TB
kemudian tappering
2HRZ+E
atau
off.
S
2 mgg dosis penuh,
Peritonitis TB
kemudian tappering

10HR off. 12 bulan

2 mgg dosis penuh,


Perikardistis TB
kemudian tappering

off.

-
Skeletal TB
BAB IV
46
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,
yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat
fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak
Berat badan
2 bulan 4 bulan
(kg)
RHZ (75/50/150) (RH (75/50)
5-7
1 tablet 1 tablet
8-11
2 tablet 2 tablet
12-16
3 tablet 3 tablet
17-22
4 tablet 4 tablet
23-30
5 tablet 5 tablet
Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.
Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid
• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan
berat badan saat itu
• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur).
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable),
atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
BAB IV
47
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak


Umur
HIV Hasil pemeriksaan
Tata laksana
Balita
(+)/(-) Infeksi laten TB
INH profilaksis
Balita
(+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji
tuberkulin (-) INH profilaksis
> 5 th
(+) Infeksi laten TB
INH profilaksis
> 5 th
(+) Sehat
INH profilaksis
> 5 th
(-) Infeksi laten TB
Observasi
> 5 th
(-) Sehat
Observasi
Keterangan
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap
adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6,
maka
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan
harus
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika PP-INH selesai diberikan
(tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG
setelah
PP- INH selesai diberikan.
BAB IV
50
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

BAB V
53
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

D. Diagnosis TB Resistan Obat


a.
b. Alur Diagnosis TB Resistan Obat

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:


a.
Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan
3 spesimen dahak, 1 (satu)

spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan
2

spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus


sputum

BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.


b.
Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap
kemungkinan
lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai
selesai.
Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat
kecurigaan kuat
terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi
pemeriksaan
GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas
pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir
yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
c.
Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan
tatalaksana
pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan
sebelumnya.
d.
Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB
MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan
dan identifikasi kuman Mtb.
e.
Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium
tuberculosis (Mtb
tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua
sekaligus.
Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan
lini-2,
maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus
(bersamaan). Jika laboratorium
rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka
uji
kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk
mengkonfirmasi
hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB
lainnya.
f.
Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan
uji
kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan
diagnosis.
g.
Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan
adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan
pengobatan TB MDR-nya.
h.
Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR
(hasil uji kepekaan
menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin),
sesuaikan
paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan
pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.
Catatan:
Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah
(diluar
9 kriteria terduga TB
Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin
Resistan, ulangi
pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika
terdapat
perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan
acuan
untuk tindak lanjut berikutnya.
BAB V
56
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)


g. Pemeriksaan EKG
h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
2.
Paduan OAT MDR di Indonesia
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment),
yang
pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB
MDR.
a.
Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km - Lfx - Eto - Cs - Z - (E) / Lfx - Eto - Cs - Z - (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm - Lfx - Eto - Cs - Z - (E) / Lfx - Eto - Cs - Z - (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan
standar
adalah sebagai berikut:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
b.
Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB
RR/MDR
secara laboratoris.
c.
Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama
paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap
lanjutan
adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.
d.
Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.
Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di
Juknis
MTPTRO (Permenkes 13/2013).
3.
Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai
respons
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk,
berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons
pengobatan.
Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan
2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.
BAB V
58
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini


B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi
kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas
B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART
B.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk
Tempat Orang Berkumpul
(Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk
Pengguna NAPZA)
C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB
C.1
Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB
C.2
Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB
C.3
Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV
C.4
Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan
HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV
C.5
Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV
Kebijakan:
1.
Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana
pengendalian
TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara
fasilitas pelayanan kesehatan.
2.
Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV
dengan
melibatkan lintas sektoral.
3.
Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB
dan
HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara
signifikan.
4.
Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaan
kolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masing-
masing program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring
dan
evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan
5.
Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin
yang
dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik
dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA
untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila
diperlukan.
6.
Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa
melihat faktor resiko.
7.
Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai

jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.


8.
Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan pengobatan pencegahan dengan

kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.


BAB VI
63
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)
ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB
milier,
TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.
Diagnosis TB pada ODHA
Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan
HIV
negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada
pemeriksaan
mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA
negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana
diagnosisnya
sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis,
bakteriologi dan
atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada
alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

Pemeriksaan mikroskopis langsung
Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu
Pagi
Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya
positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.

Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga
penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu
dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya
resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa
lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam
waktu
yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.

Pemeriksaan biakan dahak
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu
untuk konfirmasi diagnosis TB.

Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti
alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB
terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena
itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh
infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian
antibiotik
tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan
infeksi
bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena
memberikan
respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap
obat
tersebut.

Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB
pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks
pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.
BAB VI
65
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

E.
F.

G.
H.

I.

BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis)
tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB
laring batuk,
berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara
1-5 mikron
sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu
yang
cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang
mengandung kuman
TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai
alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian
pelayanan
pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan
dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya
untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan
adalah
yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut
belum
sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.
Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang
yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa
pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi
pada
rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-
tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus
dilakukan
ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala
Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
BAB VII
72
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:


a. Temukan pasien secepatnya.
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk
mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk
ke laboratorium.
b. Pisahkan secara aman.
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan
masker.
Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam
antrian (prioritas).
c. Obati secara tepat.
Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB
kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera
diobati
sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius
3.
Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan
teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik
kearah
tertentu
(directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal
yaitu
struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara
luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
4.
Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat
pelayanan
sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak
dapat
dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat
(respirator) pada saat
melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi
sputum,
aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga
perlu
digunakan
saat
memberikan perawatan kepada pasien atau saat
menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.
BAB VII
74
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu
menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi
lingkungan
sekitarnya dari droplet.
Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care
particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk
melindungi
seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung
ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah
tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan
dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3
hari).
Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
BAB VII
75
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan
secara
aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan
semua fasilitas
layanan kesehatan.
Public Private Mix
(bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program
pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.
PPM (Public Private Mix) meliputi:
• Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program
pengendalian TB
dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor
industri/perusahaan/tempat kerja,
kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
• Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program
pengendalian TB
dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes
milik
pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.
• Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi
dengan
LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan
apotik swasta.
Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang
dimulai
Januari tahun
2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,
sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis
lanjutan
dilakukan di FKRTL.
A. Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.
B. Prinsip dan Strategi PPM.
1. Prinsip PPM
Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:
a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.
b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien
dengan
menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh
program
pengendalian TB di setiap tingkat.
BAB VIII
76
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

2. Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang
sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga
diharapkan
peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan
pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,
b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.
C. Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:
1.
Tingkat Nasional
2.
Tingkat Provinsi
3.
Tingkat Kabupaten/Kota
1.
Tingkat Nasional
Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan,
peraturan,
pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan
bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat
nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait
lainnya,
pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia
(FSTPI),
organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra
internasional.
2.
Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan,
perhimpunan
profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan,
tempat
kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar
dapat
melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di
tingkat kabupaten/kota.
3.
Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan
antar
pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan
pelaksanaan
dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan
dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota
untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.
Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.
a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .
Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK
berkaitan dengan Pilar ini antara lain:
BAB VIII
77
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action
(MIFA),
misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang
bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).
2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.
3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu
pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang
mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan
sesak.
4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:
• Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
• Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB
di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes
TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.
6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang
lain, contohnya:
• Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.
• Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan
(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.
• Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian
perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR
(Corporate Social
Responsibility).
• Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
• Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus
TB ke faskes DOTS dasar.
7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.
b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK
sesuai
pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi
Rumah Sakit 2012.
2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB.
3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain,
contohnya:
• Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.
• Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.
• Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.
• Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:
 Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
 Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
 Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).
c.
Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui
pendekatan-
pendekatan sebagai berikut:
BAB VIII
78
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah
diwujudkan
dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh
Indonesia.
2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB
IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter
yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan
dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan
merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang
mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB
IDI.
3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat
Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik
Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh
Kemenkes
berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman
Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah
disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.
d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas.
Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik
(BPPM) dan
Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan:
1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance
(QA) laboratory dengan
mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB
(Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).
2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab
TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi
dan Laboratorium rujukan intermediate.
3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan
uji
kepekaan OAT lini 1 dan 2.
4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA).
5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta
meningkatkan
mutunya.
e.
Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional.
Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen
Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu:
1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”.
2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.
3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji
kualitas OAT.
4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT.
5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.
f.
Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.
Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM),
Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:
BAB VIII
79
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku
emas
(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling
cepat sekitar
6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi
standar .
Pemeriksaan
3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya
identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan
hanya dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja
penanggulangan TB,
diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.
Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan
laboratorium
TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu
laboratorium TB,
keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.
A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.
Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat
Kecamatan,
Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium
pelayanan
kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap
laboratorium
yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana,
yaitu
pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling
mutakhir
seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar.
Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan
jejaring
laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi,
peran,
tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.
Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan
laboratorium
mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.
1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.
a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes
Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi
berdasarkan
kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:
• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah
FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan
dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan
teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti
pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di
wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.
• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit
(FKTP-S), adalah FKTP dengan
laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan
kemudian merujuk ke FKTP-RM.
Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan
termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan
pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM
dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.
BAB IX
82
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1


Laboratorium RUS
1 ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota
setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat
Kabupaten/Kota
dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas
kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1
dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh
Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.
Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA.
2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di
wilayah
kerjanya.
3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya.
4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah
kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).
5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayahnya.
c.
Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2
Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabila
provinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi
berperan sebagai lab RUS.
Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah
memenuhi
kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi:
1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan
(diskordance)
mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 1
2) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring
laboratorium TB di wilayahnya
4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah
kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).
5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS,
supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional.
d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK
Provinsi
Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan
Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas
pokok sebagai berikut:
1) Peran:
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TB
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk
pemeriksaan
mikroskopis TB
2) TanggungJawab:
Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium
mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.
BAB IX
83
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

c.
Laboratorium biakan
Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.
tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.
Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator
kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM
2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional
3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN
4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai
Laboratorium rujukan biakan provinsi
d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan
Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT
sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/
atau 2
2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan
pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai
laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah
laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi
dengan
Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.
4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.
e.
Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya
sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang
pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:
1) Peran
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.
2) Tugas Pokok
a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan
dan uji kepekaan TB
d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal
(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB
e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB
BAB IX
85
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas
pokok
sebagai berikut:
1) Peran
a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,
b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi
dan MOTT.
2) Tugas Pokok
a) Melaksanakan penelitian operasional TB
b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.
c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.
d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru
e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru
f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.
3) Tanggungjawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian
operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran
dan tugas pokok.
B. Manajemen Laboratorium TB.
1.
Manajemen Logistik Laboratorium TB.
Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan
logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB
2.
Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.
Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring
laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.
Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk
mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan
laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.
Tujuan PMI:
1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,
penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh
uji,
pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.
2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan
cepat dan tepat.
3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.
Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap pra-
analisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.
BAB IX
87
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu:


1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan
laboratorium, misalnya :
a) Protap pengambilan dahak
b) Protap pembuatan contoh uji dahak
c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen
d) Protap pemeriksaan Mikroskopis
e) Protap pembuatan media
f) Protap inokulasi
g) Protap identifikasi
h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya.
2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan
laboratorium TB
3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan
petugas
4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali
membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan.
Pelaksanaan
PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan
berkesinambungan.
Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium
rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi
secara baik, berkala dan berkesinambungan.
1) Perencanaan PME
a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan
wilayah kerja jejaring laboratorium TB
b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara
c) Menentukan jenis kegiatan PME
d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja
laboratorium penyelenggara.
e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PME
f) Penilaian dan umpan balik.
2) Kegiatan PME
Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:
a) PME Mikroskopis
• Uji silang sediaan dahak mikroskopis
Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan
pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di
fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan
metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan
diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis
dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga
alur dan peran komponen PME dapat berubah.
BAB IX
88
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB
Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka
seluruh
kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi
Terpadu
Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB
Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat
biomolekuler.
C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB
Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan
dan
keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium
dengan
pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan
koreksi yang
memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium
TB
yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan
keterampilan
kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut
harus
diselaraskan baik dari aspek pengelolaan
(manajemen) dan teknis laboratorium agar
terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan
Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja
di
laboratorium TB.
BAB IX
90
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis
(P2TB) merupakan komponen yang
penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,
baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes).
Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik
sehingga
ketersediaan dan kualitasnya terjamin.
A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai
dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan
bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses
penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.
Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan
untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang
digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.
2. Jenis-jenis Logistik P2TB.
Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non
OAT.
a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di
Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli
(KOMLI) dengan
memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.
Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:
• Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
dan Streptomisin (S).
• Lini kedua: Kanamycin
(Km), Capreomycin (Cm),
Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin
(Mfx), Ethionamide (Eto),
Cycloserin (Cs) dan Para Amino
Salicylic (PAS).
1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian
TB
(Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket
individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis
BAB X
91
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap


(KDT)/Fix Dose
Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.
Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya
telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan
pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan
4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.
Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan
dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.
Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya
dikemas dalam bentuk blister.
Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah:
• Paket
KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
• Paket
KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
• Paket
KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)
• Paket
Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
• Paket
Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR
2) Obat
Anti TB (OAT) RR/MDR
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional
Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk
paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT
lini pertama yang masih sensitif.
Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah:
Km - Lfx - Eto - Cs - Z - (E) / Lfx - Eto - Cs - Z - (E)
Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan
OAT RR/MDR yang disediakan adalah:
Nama OAT Dosis
Bentuk
Kanamycin (Km) 1000 mg
vial
Capreomycin (Cm) 1000 mg
vial
Levofloxacin (Lfx) 250 mg
tablet
Moxifloxacin (Mfx) 400 mg
tablet
Ethionamide (Eto) 400 mg
tablet
Cycloserin (Cs) 250 mg
kapsul
Para Amino Salicylic (PAS) 2 g
sachet
Pirasinamid (Z) 500 mg
tablet
Etambutol (E) 400 mg
tablet
BAB X
92
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

b. Logistik Non OAT


Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik
Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun
pasien TB resistan obat.
1) Logistik Non OAT Non Resistan
Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu
barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:
 Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca
sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi,
Kertas saring, Kertas lensa, dll.
 Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13
b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:
 Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu
spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan
(slide), Kotak
penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak
penyimpanan OAT, dll
 Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku
petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-
lain.
2) Logistik Non OAT Resistan Obat
Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua
kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:
 Cartridge GeneXpert
 Masker bedah
 Respirator N95
 Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR
b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:
 Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,
Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan
(slide),
Kotak penyimpanan kaca sediaan
(box slide), Safety cabinet,
Lemari/rak penyimpanan OAT, dll
 Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku
petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lain-
lain.
3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.
Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program
pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota
sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes
lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.
BAB X
93
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah
seperti gambar dibawah ini:
Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.
Instalasi Farmasi Provinsi
Dinkes Provinsi
(IFP)
permintaan
distribusi

Instalasi Farmasi

Dinkes Kab/kota

Kab/Kota(IFK)
permintaan
distribusi
Fasyankes
Dokter Praktik Mandiri
Klinik Swasta
(DPM)
Keterangan:
Alur distribusi OAT
Alur permintaan dan pelaporan OAT
Keterangan:
Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui
Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.
Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun
Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:
97
BAB X
94
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat


Instalasi Farmasi
Pusat
Nasional

Instalasi Farmasi
Dinkes Provinsi

Provinsi (IFP)

Instalasi Farmasi
Faskes Rujukan

Faskes Rujukan
Faskes Sub Rujukan
Faskes Satelit
Keterangan:
Alur Distribusi OAT
Alur Permintaan dan Pelaporan OAT
Keterangan:
Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat
maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes
satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.
B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat
dibutuhkan
dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik
P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini
dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.
BAB X
95
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

f.
Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal
penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota,
Provinsi dan Pusat.
a. Perencanaan OAT
Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode
konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses
penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya,
sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan
berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai
dengan target yang direncanakan.
Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua
pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap
jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan
memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang
ada dan masa tunggu (lead time).
1) Perencanaan OAT Tidak Resistan
Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning”
mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya
diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.
2) Perencanaan OAT Resistan Obat
Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum
tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara
terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai
dengan target penemuan kasus.
b. Perencanaan Non OAT
Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan
memperhatikan:
1) Jenis logistik
2) Spesifikasi
3) Jumlah kebutuhannya.
4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan
5) Unit pengguna
Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian
TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan
memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.
BAB X
97
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

2. Pengadaan Logistik P2TB.


Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan
pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat
memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu
sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus
mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah:
a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu
yang
tepat.
b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang
wajar.
Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah:
a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD
Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri.
b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan
yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No.
70 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
c.
Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti
Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor.
d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI,
Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.
e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang
bersangkutan.
f.
Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
a. Pengadaan OAT
OAT merupakan obat dengan kategori
“Sangat Sangat Esensial”
(SSE)

sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun


Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana
APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana
bantuan
(donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya
dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT
resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah:
1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional
Pengendalian TB.
2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang
minimal 24 (dua puluh empat) bulan.
BAB X
98
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang


tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu
OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu
(Quality Control) oleh
industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.
5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets
masing-masing produk.
6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.
b. Pengadaan Non OAT
Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam
mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non
OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT
untuk TB regular maupun TB resistan obat.
Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari
Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun
alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan
Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun
Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada.
Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:
1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program
Nasional Pengendalian TB.
2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan
untuk setiap jenis logistik.
3. Penyimpanan Logistik P2TB.
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara
yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang),
barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik
dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari
penggunaan yang tidak bertanggung jawab
(irasional) dan menjamin
ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan.
Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program
Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan
Alkes
Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT
disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten
Kota dan Fasyankes.
BAB X
99
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan
baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.
4. Distribusi Logistik P2TB.
Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan
pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan
(Istalasi Farmasi/IF) ke
tempat lain
(IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif
maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga
kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan
aspek keamanan, mutu dan manfaat.
Tujuan distribusi logistik P2TB adalah:
a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana
(jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang
cukup.
b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian
Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk
memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program
penanggulangan TB.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah:
a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan
Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan
Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan
Fasyankes.
b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat
yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang
dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.
c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima
(BAST).
d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang
bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi
atau pengiriman logistik tersebut.
e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi
pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya
yang dikirim.
f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.
g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain
anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan
sarana yang ada.
BAB X
100
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

b. Pembiayaan Logistik P2TB


Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan.
Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber
lainnya yang sah sesuai kebutuhan.
Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.
Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran
pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber
dana dapat dimobilisasi.
c. Sistim Informasi Logistik P2TB
Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem
informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat,
dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan
logistik P2TB yaitu:
1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu
(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun
2011.
2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer,
yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.
d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB
Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi
Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk
terciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di
setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensi-
nya, sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi
sesuai tupoksi dan beban kerjanya.
Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga
pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata
lain
“kompeten”) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB,
dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan
program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan
pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain
yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM
yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam
penanggulangan TB.
e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB
Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan
untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya
baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat
digunakan.
BAB X
102
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

1) Pengawasan Mutu OAT


Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk
OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market,
yaitu:
a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.
b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring
efek samping.
Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan
kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan
secara organoleptik dan laboratorium.
2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT
Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan
jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya.
Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi
dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya.
Contoh:
Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara
laboratorium.
BAB X
103
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-
isu seperti
HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu
desentralisasi
di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan
sumber
daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang
tidak merata di
provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan
tenaga
yang terampil.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian
Tuberkulosis
(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki
keterampilan,
pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam
pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk
menjamin
ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM
TB yang
terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola
rekrutmen
yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.
Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih
luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan
kegiatan
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM
yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.
Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan
SDM
untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,
peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.
A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.
Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk
memastikan
kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana.
Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal
baik
dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.
1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a. Puskesmas
1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan
minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan
1
tenaga laboratorium.
BAB XI
104
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1


dokter
dan 1 perawat/petugas TB
b. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2
dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB,
dan 1 tenaga laboratorium
5) RS swasta: menyesuaikan.
c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.
2.
Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota
Pengelola Program TB
(Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi
10-20
fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10

fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes
dapat
memiliki lebih dari seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.
3.
Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.
Pengelola Program TB
(Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi
10-20
kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah
lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih
dari
seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,

d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri


dari 1
orang Provincial Training Coordinator
(PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi
(KPP)
BAB XI
105
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Masyarakat
Anggota keluarga, kader, • Identifikasi dan rujuk terduga TB ke

tenaga kesehatan, LSM fasyankes.


• Pengawas Menelan Obat (PMO)
• Kunjungan rumah
• Melacak yang mangkir
• Catatan sederhana
Laboratorium
Staf Peran/ tugas utama
Lab TB nasional
Ahli Biomolekuler, Spesialis Pemeriksaan dan penelitian

Patologi klinik, spesialis biomolekuler, pemeriksaan non

Patologi Anatomi, Spesialis konvensional lainnya, uji silang ke dua

mikrobiologi klinik, Ahli untuk pemeriksaan biakan

Mikrobiologi, Analis.
Lab TB rujukan regional
Spesialis Patologi klinik, Ahli Kultur, identifikasi dan uji kepekaan

Mikrobiologi, Analis dan M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan

analis media. lain


Lab TB rujukan provinsi
Spesialis Patologi Klinik, Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji

Analis. silang mikroskopis final


Laboratorium rujukan
Petugas laboratorium dan Uji silang pertama (Laboratory Quality
Uji silang (Intermediate
analis Assurance)
TB Laboratory)
Pusat Mikroskopis TB:
Analis Pembuatan contoh uji apusan dahak,
PRM
fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan
PPM
skala IUATLD dan interpretasi
Laboratorium RS
Laboratorium swasta
Pusat Fiksasi contoh uji
Petugas lab Pembuatan contoh uji apusan dahak
TB (Puskesmas satelit)
dan fiksasi
C. Pelatihan Program Pengendalian TB
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan
keterampilan
petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan
pelatihan ini
dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan
jarak jauh
(LJJ)/distance learning.
Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu
dimulai sejak
pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT)
sampai
pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam
Pengendalian TB.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga
dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.
BAB XI
108
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3.
Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:
a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan
balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan
b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek
yang
dinilai yaitu:
1) Kognitif/Pengetahuan
2) Afektif/Sikap
3) Psikomotor/Perilaku
c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu
d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di
wiilayahnya
4.
Metode EPP Program Pengendalian TB
Evaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data.
Metode
pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan
peserta latih di tempat kerjanya.
Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPP
NO
RANAH YANG AKAN DICAPAI METODE YANG DIGUNAKAN
1
KOGNITIF Test tertulis
Studi kasus
Wawancara
Focus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah
2
AFEKTIF Studi kasus
Wawancara dengan pihak ketiga
Kuestioner
3
PSIKOMOTOR Observasi
Cek dokumen
BAB XI
113
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di
masyarakat,
bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan
penyakit
tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat
rokok, alkhohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia
produktif dan
masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi
penyebab
tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering
dihubungkan
dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses
untuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.
Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar
kasus
TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap
lanjut
bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan
pengobatan ini
bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar
TB.
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh
sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan
sepertiga
kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada
kelompok
rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian
TB.
A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.
Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:
• Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional
• Organisasi berbasis komunitas
• Organisasi berbasis agama
• Organisasi pasien dan mantan pasien
• Organisasi profesi
• dan lain-lain.
B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:
1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang
mengharuskan
pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien
karena
dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan,
meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).
2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam
program
pengendalian TB
BAB XII
114
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan
organisasi
kemasyarakatan.
4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program
Pengendalian TB.
5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung
kepada dana
hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.
C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB
Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam
Program
pengendalian TB, antara lain:
1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi
kemasyarakatan
lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat
membantu dalam program pengendalian TB.
2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahami
situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat.
3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan
populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu
narkoba,
penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas
layanan kesehatan.
4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan
kesehatan
yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung
5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang
TB kepada masyarakat
6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan
TB dan membantu dalam sosial ekonomi
7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah
setempat.
8. Dan lain-lain.
D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan
Dalam
Pengendalian TB
Prinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah:
1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta
karakteristik masing-masing,
2. Saling menguntungkan,
3. Keterbukaan,
4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi
dari
organisasi kemasyarakatan itu sendiri,
5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada
di
Program Pengendalian TB.
BAB XII
115
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS

E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat


Dalam
Pengendalian TB
Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah:
1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau
organisasi
kemasyarakatan yang tercatat.
2. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh masyarakat
atau
organisasi kemasyarakatan yang tercatat.
3. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh masyarakat
atau
organisasi kemasyarakatan yang tercatat.
F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian
TB
Beberapa contoh peran dan kegiatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
pengendalian TB berbasis komunitas antara lain:
Peran
Kegiatan
Pencegahan TB.
Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader.
Deteksi dini terduga TB.
Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,
pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader.
Melakukan rujukan.
Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke

Fasyankes, dukungan transport.


Dukungan/motivasi keteraturan
Pengawas Menelan Obat (PMO).
berobat pasien TB.
Dukungan sosial ekonomi.
Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan
sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan
pasien TB guna meningkatkan penghasilan,
menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan
pasien untuk dapat mendampingi pasien TB.
Advokasi.
Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu
memberikan masukan kepada pemerintah.
Mengurangi stigma.
Diseminasi informasi tentang TB, membentuk
kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.
G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB.
Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam
TB berbasis
komunitas yaitu:
1. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage).
Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan
untuk terlibat
dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas. Mengajak organisasi lainnya yang
BAB XII
116
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS

selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya


organisasi
kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.
2. Memperluas (Expand).
a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang
sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau
populasi
khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan
pekerja
seksual.
b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB
dalam
program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan
terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
3. Mempertegas (Emphasize).
Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan
TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi
dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar
kegiatan
yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing
organisasi
kemasyarakatan dapat diidentifikasi.
4. Menghitung (Enumerate).
Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian
TB
berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui
sistem
pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah
ditetapkan.
Ada
6 tahapan untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan terhadap program

pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu:


No
Kegiatan
Pusat Provinsi Kab/Kota
1
Analisis situasi
V V V
2
Menciptakan lingkungan yang kondusif
V V V
3
Pedoman dan Juknis
V - -
4
Identifikasi tugas
V V V
5
Monitoring and evaluation
V V V
6
Peningkatan kapasitas
V V V
BAB XII
117
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan
pola
perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses,
luaran dan
dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan
menilai
kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara
terpadu dan
menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program
menjadi
sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.
A. Surveilans Tuberkulosis
Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data
penyakit
secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data.
Hasil analisis
didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam
upaya
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan
derajat
kesehatan masyarakat.
Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data
pelaporan),
dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).
1. Surveilans Rutin.
Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan
pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)
untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya
bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang
menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin
ini
interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak
memerlukan
biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan
baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan
hasil dari
surveilans periodik atau surveilans sentinel.
2. Surveilans Non Rutin.
a. Surveilans non rutin khusus
Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik maupun sentinel
yang
bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan
data rutin.
Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok pasien TB yang
dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang
mahal dan memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk
mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.
Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi HIV diantara pasien
TB,
survei sentinel TB diantara ODHA, survei resistensi OAT, survei Knowledge Attitude
Practice (KAP) untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lain-
lain.
BAB XIII
119
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu
daerah/wilayah
tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB
secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.
b. Surveilans non rutin luar biasa
Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama bagi warga negara
Indonesia yang akan berangkat maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan
TKI). Hal ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah
besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari pengendalian
penyakit
tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari
satu
wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang
cepat.
Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan
berangkat keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans
yang tepat. (secara lengkap dapat dilihat di buku “Prosedur Pelacakan Kasus TB Pada
Tenaga Kerja Indonesia dan jemaah Haji”, Kemenkes 2013).
B. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TB
Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi
awal
masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan
tindakan
perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan,
indikator, dan
target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama,
biasanya
setiap 6 bulan s/d 1 tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat
pelaksana
program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat.
Seluruh
kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan
(input), proses,
maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung
dan
wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.
Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis
indikator
dan hasil dari supervisi.
1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan
benar,
dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis,
diinterpretasi,
disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan
program.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:
BAB XIII
120
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.


b. Data sesuai dengan indikator program
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan
sistim
informasi kesehatan yang generik.
PENTING !!
TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang
memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang
ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang
ditentukan.
Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB.
Pencatatan menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan
sistem
informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem
informasi
elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua
faskes
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya
di
wilayah tersebut.
Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB
Terpadu (SITT) yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan
secara Nasional.
Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan
pelaksana, sebagai berikut:
a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan
FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:
1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).
2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).
5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)
6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
8) Register Laboratorium TB (TB.04).
9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*)
b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan:
1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03)
2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)
3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)
4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11)
BAB XIII
121
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji
silang
Kabupaten (TB.12)
6) Laporan OAT (TB.13)
7) Data Situasi Ketenagaan Program TB
8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)
c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di
tingkat
Provinsi.
4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.
6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
2.
Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan
program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan
program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
 Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
 Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional
tersebut
di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB
paru
diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara
pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/
MDR yang ada.
BAB XIII
122
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji


kepekaan OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR
ditemukan.
b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak
yang
mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate
9)
c.
Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang
untuk pemeriksaan mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta
PME uji silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini
Tiap tingkat pelaksana program memiliki indikator pada tabel berikut:
BAB XIII
123
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Angka ini sekitar


5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
disebabkan:
• Penjaringan terduga TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak
memenuhi
kriteria terduga TB, atau
• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan :
• Penjaringan terlalu ketat atau
• Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)
2) Proporsi Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien
TB Paru Tercatat/diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara
semua pasien Tuberkulosis paru tercatat (bakteriologis dan klinis).
Indikator ini
menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara
seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.
Rumus:
Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi
Bakteriologis
x 100%
Jumlah seluruh pasien TB Paru
3) Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara
seluruh
pasien TB yang diobati.
Rumus:
Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)
yang diobati
x 100%
Jumlah seluruh pasien TB yang diobati
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator
ini
diharapkan berkisar
8 - 12% pada wilayah dimana seluruh kasus TB Anak
ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,
angka ini menggambarkan over atau under diagnosis, serta rendahnya angka
penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang
diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur diagnosis TB Anak di fasyankes.
4) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
BAB XIII
126
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk
usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator
ini
menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.
Rumus:
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai
hasil tes HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)
x 100%
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan
tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)
Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di
daerah
tertentu.
8) Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
masa pengobatan tahap awal.
Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Rumus:
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis
yang hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
x 100%
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis
yang diobati
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan
cara
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis
yang
mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
BAB XIII
128
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB
Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,
diantara pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat.
Untuk kepentingan khusus (survailans), angka kesembuhan dihitung juga untuk
pasien Paru Terkonfirmasi Bakteriologis pengobatan ulang (kambuh dan dengan
riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:
 Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.
 Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat
baris kedua (second-line drugs).
 Menunjukkan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
pada pasien dengan HIV.
 Untuk perhitungan, digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti
sebutan numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan
ulang.
Rumus:
Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yang sembuh
x 100%
Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yang diobati
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan
cara
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang mulai
berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang
sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporan
TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah
85%. Angka kesembuhan
digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap
perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.
• Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%,
karena
akan menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan
datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian
Tuberkulosis.
BAB XIII
129
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan


kualitas pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang
antara 10-20 % dalam beberapa tahun.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih
dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh
lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
10) Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR)
Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan prosentase
pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan
pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien
baru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka
ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan
lengkap.
Rumus:
Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Biologis

(sembuh + pengobatan lengkap)


x 100%
Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Biologis
yang diobati
11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak
Adalah persentase TB Anak yang dinyatakan sembuh dan Pengobatan Lengkap
(PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.
Rumus:
Jumlah pasien TB Anak yang sembuh dan
Pengobatan Lengkap
x 100%
Jumlah pasien TB Anak yang diobati
Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program
Nasional. Angka indikator ini diharapkan sebesar 85%. Apabila kurang dari
angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan
kasus TB Anak di suatu wilayah.
12) Proporsi Anak yang Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
Mendapatkan PP INH
Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara
seluruh anak yang mendapatkan PP INH.
BAB XIII
130
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Rumus:
Jumlah anak yang menyelesaikan
PP
INH selama 6 bulan x 100%
Jumlah anak yang mendapatkan PP INH
Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program
TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
menerima PPK selama pengobatan TB x
100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk
memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
menerima pengobatan ARV (baru memulai
atau melanjutkan pengobatan ARV)
x 100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis
Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh
laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.
Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.
Rumus:
Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti
PME Uji Silang x
100%
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
BAB XIII
131
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga


dilihat
dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,
ketebalan, kerataan, pewarnaan, dan kebersihan.
Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan
terdapat
kesalahan bila:
 Terdapat PPT atau NPT
 Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding
periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua
fasyankes di kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil
terjadi
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
 Bila terdapat 3 NPR.
Kinerja setiap laboratorium harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun
laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian
khusus perlu diberikan apabila ditemukan kondisi seperti berikut:
 Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya,
 Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes
di
kabupaten/kota tersebut,
 Memiliki kesalahan kecil beberapa kali dalam jumlah yang signifikan
Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas
pemeriksaan
laboratorium.
17) Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per
tahun
dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.
Rumus:
Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti
PME Uji Silang 4 kali per tahun
x 100%
Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB
yang mengikuti PME Uji SIlang
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan
keteraturan
laboratorium dalam mengikuti uji silang.
18) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus
TB RR/ MDR yang ada
Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah
perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut.
BAB XIII
133
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi
dalam 1 tahun
x 100%
Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah
tersebut dalam 1 tahun
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.
Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan
perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB
Pengobatan ulang.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya.
Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB
RR/MDR.
19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua
Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus
terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan
pemeriksa uji kepekaan OAT lini kedua
x 100%
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan
OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.
Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur
diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB
XDR/Pra XDR.
20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR
ditemukan atau enrollment rate
Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan
pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan x 100%
BAB XIII
134
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
TB.06 MDR dan TB.01 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.
Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan
upaya
memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai
penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas
kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.
21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate
Adalah Keberhasilan Pengobatan TB RR/MDR adalah angka yang menunjukkan
persentase pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang
diobati. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka
kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan
pengobatan (sembuh+pengobatan lengkap)
x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
3.
Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis
Supervisi TB bertujuan meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses
yang
sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan
ketrampilan
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:
 Observasi
 Diskusi
 Bantuan teknis
 Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan
 Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan
 Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
perbaikan.
Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan
untuk
mempertahankan kompetensi standar melalui on the job training. Supervisi juga dapat
dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan
pelatihan yang akan datang.
BAB XIII
135
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana,


karena
dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah
dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu
diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.
Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum
supervisi
dilakukan, supervisor haruslah mengkaji laporan atau temuan-temuan
supervisi
sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti,
catatan
tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.
Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan
Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis.
a.
Perencanaan Supervisi
Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,
sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting
diperhatikan
didalam perencanaan supervisi adalah:
1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.
• Supervisi ke faskes
(misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk
laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
• Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan
sekali, dan
• Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:
• Pelatihan baru selesai dilaksanakan.
• Pada tahap awal pelaksanaan program.
• Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik.
b. Persiapan supervisi
Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya
secara
efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:
1) Penyusunan jadual kegiatan.
2) Pengumpulan informasi pendukung.
3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.
4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.
5) Menyusun kerangka laporan.
c.
Pelaksanaan supervisi.
Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:
1) Kepribadian supervisor:
• Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.
BAB XIII
136
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

• Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang


dikunjungi.
• Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap
masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan.
• Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.
2) Kegiatan penting selama supervisi di faskes
• Melakukan review catatan dan buku register
• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
• Melakukan wawancara dengan pasien TB dan PMO, bila memungkinkan
• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
• Mengecek penerapan metode LQAS
• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif.
• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut.
• Memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat
dilaksanakan
3) Kegiatan penting selama supervisi di Kabupaten/Kota.
• Melakukan review dokumen, data program dan catatan-catatan
• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,
• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.
• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas,
realistis,
sederhana dan dapat dilaksanakan
4) Kegiatan penting selama supervisi di Propinsi.
• Melakukan review dokumen, data dan catatan-catatan
• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,
• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.
• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas,
realistis,
sederhana dan dapat dilaksanakan
d. Pemecahan Masalah (Problem-solving) dalam supervisi
Beberapa langkah praktis dalam melakukan pemecahan masalah kinerja adalah:
BAB XIII
137
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu.


Agenda Prioritas Riset Operasional Penanggulangan TB di Indonesia.
Dalam menetapkan prioritas riset operasional, perlu menekankan pada pemahaman bahwa
riset operasional diharapkan membuahkan suatu solusi yang memperbaiki
program
penanggulangan TB. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah
dalam
menetapkan prioritas riset operasional yaitu :
1. Daya ungkit: Hasil penelitian diharapkan dapat mengubah kebijakan dan
implementasi
kegiatan berdampak dalam pencapaian tujuan program Pengendalian TB;
2. Relevan: Intervensi yang sedang diuji coba dan hasil yang diharapkan perlu
relevan
dengan objektif program Pengendalian TB;
3. Terandalkan: Hasil riset operasional menghasilkan kesimpulan yang kuat
untuk
menginformasikan pada pengambil keputusan;
4. Mengurangi kesenjangan: Hasil penelitian akan mengisi kesenjangan informasi atau
menambahkan fakta baru;
5. Efisiensi: Diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dengan biaya yang tidak
terlalu besar;
6. Prioritas nasional: Topik atau tema riset sudah diidentifikasi sebagai prioritas
nasional
baik oleh pemerintah atau kelompok ahli yang berwenang.
Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB
dan
Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional
untuk:
1.
Memperbaiki kualitas program:
a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIV
b. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan
TB.
c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program
kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular-Diabetes Melitus.
d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB,
e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat.
2.
Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll).
a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk
komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program.
b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB.
3.
Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanan
a. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat.
b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan.
4.
Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan
maupun
masyarakat rentan.
a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan.
b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV.
BAB XIII
139
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat.


Agenda riset operasional TB di Indonesia harus diselaraskan dengan agenda
riset
operasional global, terutama kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan
setempat.
Agenda riset operasional perlu diselaraskan juga dengan dinamika perkembangan
program
TB serta ketersediaan sumber daya (pendanaan).
BAB XIII
140
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.
Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk
menyusun
rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan
yang
akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya
rencana
adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar
dapat
berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan
efisien. Tujuan dari
perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti
disini
saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat
dilakukan
koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.
Perencanaan yang baik adalah:
1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi
epidemiologis dan
program
2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun.
3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya
4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana
kerja
atau rencana operasional yang lebih rinci.
5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan
penting
yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.
Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana
jangka
pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang
telah
ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi
tertentu
yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.
Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan
hal-hal
berikut:
1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta
kewenangan.
2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian
target
indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis
Kementerian
Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program
Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana
aksi di daerah
3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan
terpadu/sinergi
untuk menghindari duplikasi anggaran
BAB XIV
141
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

1.
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah,
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan
kewenangan
untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme
sebagai berikut:
a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan
kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB
digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan
lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB
di
kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB
melalui pelatihan tatalaksana program TB.
b. Dana alokasi khusus
(DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan
kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium
dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk
gudang obat,
c. Bantuan operasional kesehatan
(BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan
kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai
transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang
mangkir TB, pencarian kontak TB
2.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan
fungsi dari pemerintah daerah.
3.
Dana Hibah
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program
yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai
keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan
masih tergantung kepada donor (PHLN).
Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana
untuk
program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor
(restriksi/suspend)
akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir
61%
dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai
oleh
Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23%
pada
BAB XIV
143
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di


fasilitas pelayanan kesehatan
e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB
f. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok
dan fungsi
g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota
Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya
yang
bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program,
lintas sektor
dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor
Kesehatan
Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.
BAB XIV
147
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

TAMBAHAN TB HIV PADA ANAK


Anak terinfeksi HIV mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar, terinfeksi, dan
sakit TB.
Risiko ini dipengaruhi oleh derajat imunosupresinya. Setiap anak yang
terinfeksi HIV di
wilayah endemis TB harus diinvestigasi status TB nya secara regular pada saat
melakukan
kunjungan ke Fasyankes dengan cara melakukan penilaian klinis terlebih
dahulu. Pada
daerah endemis TB dan HIV, TB banyak ditemukan pada anak terinfeksi HIV,
sebaliknya
infeksi HIV banyak ditemukan pada anak sakit TB. Tes HIV dianjurkan dilakukan
secara rutin
pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dengan metode TIPK
Diagnosis TB pada Anak Terinfeksi HIV
Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV antara lain batuk
persisten lebih dari 3
minggu yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi
berat atau
gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang menyebabkan anak
sampai
harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue
(kurang aktif,
tidak bergairah). Pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB
diseminata.
Pendekatan diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV pada prinsipnya sama dengan anak
HIV
negatif, meskipun sering terkendala. Oleh karena itu diagnosis TB pada anak
terinfeksi HIV
tidak memakai sistem skoring. Saat ini dimungkinkan untuk melakukan pemeriksaan tes
cepat
yaitu Xpert MTB/RIF untuk mendiagnosis TB pada pasien HIV termasuk pada anak.
Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari beberapa
tempat
yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, antara lain
sputum,
aspirasi cairan lambung,cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada
kelenjar getah
bening (KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya.
Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal yaitu:
1. Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif;
2. UML WXEHUNXOLQ SRVLWLI
• PP SDGD DQDN WHULQIHNVL +,9
3. Gambaran sugestif TB secara klinis
4. Gambaran sugestif TB pada foto toraks.
Pada anak terinfeksi HIV, uji WXEHUNXOLQ GLNDWDNDQ SRVLWLI ELOD GLDPHWHU • PP
%LOD KDVLOQ\D
<5 mm, TB belum dapat langsung disingkirkan karena ada beberapa keadaan
yang
menyebabkan “negatif palsu” : malnutrisi berat, infeksi bakteri berat,
infeksi virus, obat
imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah.
Kecurigaan Infeksi HIV pada pasien TB anak
Tes HIV harus dianjurkan pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dan pada semua
anak
terduga TB di daerah epidemi HIV meluas seperti di wilayah Tanah Papua dengan
metode
TIPK. Infeksi HIV pada anak dapat bermanifestasi dalam gejala klinis yang
bervariasi namun
seringkali tidak spesifik. Gejala penurunan berat badan, demam dan batuk, sering
dijumpai
pada TB anak dengan HIV.
Kondisi orangtua memberikan petunjuk penting tentang kemungkinan infeksi HIV pada
anak
mereka. Tanyakan kepada orangtua tentang status kesehatan mereka. Kadang
orangtua
menyembunyikan status HIV mereka. Pemberian informasi dalam penawaran tes HIV pada
anak perlu dilakukan bersama dengan orangtua atau wali/pengampunya. Untuk melakukan
tes HIV pada anak diperlukan ijin dari orangtua/wali yang memiliki hak
hukum atas anak
tersebut (contoh nenek/kakek/orangtua asuh, bila orangtua kandung meninggal
atau tidak
ada).

Bila anak sakit berat, maka pengobatan TB dapat diberikan. Dalam keadan meragukan
dan
tidak emergensi, melakukan uji coba pengobatan (treatment trial) tidak dibenarkan.
Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB
tulang) harus
diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH selama 4-7
bulan.
Bila menunjukkan perbaikan klinis dilanjutkan dengan INH saja selama 6 bulan untuk
mencegah
kekambuhan
Pada meningitis TB, TB milier, dan TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama
dilanjutkan
RH sampai 12 bulan.
PETUNJUK PRAKTIS
Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari
(maksimal
600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari
(maksimal 1250
mg)
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi
perikardial
diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
selama 6
minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu.
Pemberian ART pada anak dengan ko-infeksi TB-HIV
Pada anak yang baru terinfeksi HIV, pemberian ARV dimulai setelah pasien
mendapat
pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk
mengurangi
terjadinya SPI (Sindrom Pulih Imun) dan efek samping obat yang saling tumpang
tindih. Hal
yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi
obat
terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.
Sindrom pulih imun adalah kumpulan tanda dan gejala akibat menurunnya
kemampuan
respon imun tubuh anak terhadap antigen atau organisme yang dikaitkan dengen
pemberian
ARV. SPI biasa timbul dalam 2 -12 minggu inisiasi ARV, dengan gejala dan tanda
seperti
infeksi subklinis yang tidak tampak seperti TB, TB yang aktif kembali, dan juga
munculnya
abses pada tempat vaksinasi BCG atau limfadenitis BCG
Pilihan ART pada anak dengan ko-infeksi TB HIV mengacu pada pedoman tatalaksana HIV
pada anak.
PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
Pencegahan TB pada anak terinfeksi HIV dilakukan dengan pelacakan kontak,
pengendalian
infeksi, dan pemberian profilaksis INH. Bayi dan anak usia berapapun yang baru
terdiagnosis
HIV tetapi tidak sakit TB, meskipun tidak ada kontak harus mendapat
profilaksis INH 10
mg/kgBB/hari maksimun 300 mg selama 6 bulan.
Petunjuk pelaksanaan BCG:
x
Anak HIV negatif di wilayah dengan prevalensi TB-HIV tinggi diberikan BCG.
x
Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan status HIV tidak diketahui diberikan BCG.
x
Bayi terinfeksi HIV dengan atau tanpa gejala TIDAK diberikan BCG.
x
Bayi dilahirkan dari ibu HIV positif boleh diberikan BCG bila:
o Mendapatkan perlakukan pencegahan (PPIA) dan/atau
o Sehat, tidak menunjukkan gejala HIV
o Sebaiknya setelah diperiksa PCR

Nomor Identitas
Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

You might also like