Professional Documents
Culture Documents
BPN P-TB 2014
BPN P-TB 2014
vi
viii
xii
c. Sakit TB
Faktor risiko
Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
untuk menjadi
Lamanya waktu sejak terinfeksi
sakit TB adalah
Usia seseorang yang terinfeksi
tergantung dari :
Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Namun bila
seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi.
TB
umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau
getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra
Paru).
Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ
tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko
Akibat dari keterlambatan diagnosis
kematian karena
Pengobatan tidak adekuat
TB:
Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat
pada pasien dengan HIV positif.
C. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan
IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS
(Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci,
yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
pengendalian TB
sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif
(cost-effective). Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.
Satu studi
cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan
menggunakan
strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
BAB I
4
PENDAHULUAN
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada
tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS
tersebut
diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju
infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan
mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1
kasus
TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB
(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi
10 per 100.000
penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000
penduduk
dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi
pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih
komprehensif
bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian
TB
global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun
2035
yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya
yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan
TB
secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan
obat dengan
disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko
tinggi
serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan
pencegahan
TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi
layanan
kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta
(universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi
vital, tata
kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi
dampak
determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode
intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang
inovasi-
inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.
BAB I
5
PENDAHULUAN
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan
dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan
lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian
TB.
D. Visi dan Misi
Visi
” Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”
Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani
dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan
berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
E. Tujuan dan target
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian
tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per
100,000
penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA
positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014
akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target
pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca
2015
dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada
tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar
1-2%
per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5%
pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi
sebesar
20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 - 2014 ( ¹¹ )
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan
dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-
BAB II
10
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2.
Pemeriksaan dahak
a.
Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
(M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.
3.
Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT.
Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus
dilakukan
oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan
mutu/Quality
Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan
jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan
resistan obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,
Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan
(laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.
BAB III
14
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
1.
Definisi Pasien TB:
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik
cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat
tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara
bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan
pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian
terkonfirmasi
bakteriologis positif
(baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
2.
Klasifikasi pasien TB:
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra
paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
BAB III
18
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping
pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu
tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
• Pasien TB paru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstra paru
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
obat
Intensif
2 Bulan 1 1 3
3 56
Lanjutan
4 Bulan 2 1 -
- 48
b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Tabel 7.
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
Berat
tiap hari
3 kali seminggu
Badan
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E(400)
Etambutol Jumlah
obat
Tahap
Awal
2 bulan 1 1 3
3 - 0,75 gr 56
(dosis
1 bulan 1 1 3
3 - - 28
harian)
Tahap
Lanjutan
5 bulan
2 1 - 1
2 - 60
(dosis 3x
semggu)
BAB III
25
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Catatan:
•
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
•
Cara melarutkan streptomisin vial
1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
BAB III
29
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
2) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada
petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
3) Tugas seorang PMO
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan.
4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
e.
Pengobatan TB pada keadaan khusus
1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan
dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan
terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
BAB III
31
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada
trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶ )
a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
• Pembawa virus hepatitis
• Riwayat penyakit hepatitis akut
• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
c) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
•
2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
•
1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
• Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).
BAB III
32
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.
5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan
perubahan
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal.
Dosis
pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu
diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari
penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15
mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap
kali
pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶ )
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek
samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal
pada
penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis.
Tingkat
Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)
1
KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran
hari
atau tangan
pasien.
Flu sindrom (demam,
Semua jenis
(dicurigai terjadi gangguan fungsi
segera lakukan pemeriksaan
OAT
hati apabia disertai ikterus)
fungsi hati.
Gangguan penglihatan
E E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal
R
R dihentikan.
ginjal akut
Penurunan produksi urine
S S dihentikan.
* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( ²⁶ )
Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan
untuk
memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab
kulit.
Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila
kemudian
terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau
fasyankes
rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes
rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan
terjadinya
reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”:
• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap
satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R
) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila
tidak
timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT
lagi.
• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang
diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan
dapat
dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.
** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis” ( ²⁶ )
Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan
gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis).
Penatalaksanaan
pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan
dalam
uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti
gangguan
fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab
lain
sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan
OAT.
BAB III
36
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
2.
Gejala TB pada anak
Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak
tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure
to
thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit,
adalah sebagai
berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala
akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin
bridge).
e. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
BAB IV
39
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian
dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux
test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU.
Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit
lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan
untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
2.
Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem
skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para
ahli
yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah
satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas
kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat
dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai
nilai
tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
BAB IV
41
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
Infeksi laten TB
Didapat dari
parameter uji
Didapat dari
tuberkulin (+)
parameter uji
atau kontak
tuberkulin (+)
Pertimbangan Bukan
dengan gejala
dan kontak;
dokter (**) TB
klinis lain
tanpa gejala
klinis lain
TB ANAK
Umur ≥ 5 Umur< 5
th
Perbaikan
Tidak ada
PP INH
perbaikan
PP INH Observasi
Keterangan :
(*)
Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**)
Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala
klinis
lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin
BAB IV
43
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 - 40 1000
Ototoksik, nefrotoksik
j.
Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
tabel berikut ini:
Tabel
17: OAT Kategori Anak dan Peruntukannya
OAT
Tahap OAT
Tahap Lama
Jenis TB
Prednison
Awal
Lanjutan Pengobatan
TB Ringan
-
off.
TB BTA positif 2HRZE
4HR -
TB paru dengan tanda-
tanda kerusakan luas:
4 mgg dosis penuh,
TB milier
7-10HR kemudian tappering 9-12 bulan
TB+destroyed
off.
lung
off.
-
Skeletal TB
BAB IV
46
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif,
yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat
fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak
Berat badan
2 bulan 4 bulan
(kg)
RHZ (75/50/150) (RH (75/50)
5-7
1 tablet 1 tablet
8-11
2 tablet 2 tablet
12-16
3 tablet 3 tablet
17-22
4 tablet 4 tablet
23-30
5 tablet 5 tablet
Keterangan: BB >30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa.
Keterangan: R = Rifampisin; H = Isoniasid; Z = Pirazinamid
• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan
berat badan saat itu
• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur).
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable),
atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
BAB IV
47
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)
BAB V
53
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)
spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan
2
E.
F.
G.
H.
I.
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis)
tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB
laring batuk,
berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara
1-5 mikron
sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu
yang
cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang
mengandung kuman
TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai
alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian
pelayanan
pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan
dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya
untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan
adalah
yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut
belum
sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.
Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang
yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa
pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi
pada
rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-
tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus
dilakukan
ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala
Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
BAB VII
72
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu
menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi
lingkungan
sekitarnya dari droplet.
Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care
particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk
melindungi
seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung
ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah
tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan
dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3
hari).
Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
BAB VII
75
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan
secara
aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan
semua fasilitas
layanan kesehatan.
Public Private Mix
(bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program
pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.
PPM (Public Private Mix) meliputi:
• Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program
pengendalian TB
dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor
industri/perusahaan/tempat kerja,
kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
• Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program
pengendalian TB
dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes
milik
pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.
• Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi
dengan
LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan
apotik swasta.
Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang
dimulai
Januari tahun
2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,
sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis
lanjutan
dilakukan di FKRTL.
A. Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.
B. Prinsip dan Strategi PPM.
1. Prinsip PPM
Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:
a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.
b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien
dengan
menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh
program
pengendalian TB di setiap tingkat.
BAB VIII
76
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2. Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang
sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga
diharapkan
peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan
pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,
b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.
C. Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:
1.
Tingkat Nasional
2.
Tingkat Provinsi
3.
Tingkat Kabupaten/Kota
1.
Tingkat Nasional
Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan,
peraturan,
pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan
bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat
nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait
lainnya,
pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia
(FSTPI),
organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra
internasional.
2.
Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan,
perhimpunan
profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan,
tempat
kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar
dapat
melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di
tingkat kabupaten/kota.
3.
Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan
antar
pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan
pelaksanaan
dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan
dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota
untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.
Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.
a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .
Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK
berkaitan dengan Pilar ini antara lain:
BAB VIII
77
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action
(MIFA),
misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang
bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).
2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.
3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu
pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang
mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan
sesak.
4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:
• Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
• Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB
di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes
TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.
6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang
lain, contohnya:
• Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.
• Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan
(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.
• Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian
perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR
(Corporate Social
Responsibility).
• Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
• Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus
TB ke faskes DOTS dasar.
7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.
b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK
sesuai
pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi
Rumah Sakit 2012.
2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB.
3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain,
contohnya:
• Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.
• Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.
• Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.
• Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:
Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).
c.
Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui
pendekatan-
pendekatan sebagai berikut:
BAB VIII
78
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah
diwujudkan
dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh
Indonesia.
2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB
IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter
yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan
dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan
merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang
mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB
IDI.
3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat
Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik
Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh
Kemenkes
berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman
Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah
disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.
d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas.
Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik
(BPPM) dan
Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan:
1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance
(QA) laboratory dengan
mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB
(Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).
2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab
TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi
dan Laboratorium rujukan intermediate.
3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan
uji
kepekaan OAT lini 1 dan 2.
4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA).
5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta
meningkatkan
mutunya.
e.
Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional.
Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen
Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu:
1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”.
2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.
3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji
kualitas OAT.
4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT.
5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.
f.
Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.
Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM),
Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:
BAB VIII
79
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku
emas
(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling
cepat sekitar
6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi
standar .
Pemeriksaan
3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya
identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan
hanya dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja
penanggulangan TB,
diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.
Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan
laboratorium
TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu
laboratorium TB,
keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.
A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.
Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat
Kecamatan,
Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium
pelayanan
kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap
laboratorium
yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana,
yaitu
pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling
mutakhir
seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar.
Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan
jejaring
laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi,
peran,
tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.
Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan
laboratorium
mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.
1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.
a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes
Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi
berdasarkan
kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:
• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah
FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan
dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan
teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti
pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di
wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.
• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit
(FKTP-S), adalah FKTP dengan
laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan
kemudian merujuk ke FKTP-RM.
Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan
termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan
pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM
dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.
BAB IX
82
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
c.
Laboratorium biakan
Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.
tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.
Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator
kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM
2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional
3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN
4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai
Laboratorium rujukan biakan provinsi
d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan
Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT
sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/
atau 2
2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan
pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai
laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah
laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi
dengan
Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.
4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.
e.
Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya
sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang
pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:
1) Peran
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.
2) Tugas Pokok
a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan
dan uji kepekaan TB
d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal
(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB
e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB
BAB IX
85
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas
pokok
sebagai berikut:
1) Peran
a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,
b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi
dan MOTT.
2) Tugas Pokok
a) Melaksanakan penelitian operasional TB
b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.
c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.
d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru
e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru
f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.
3) Tanggungjawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian
operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran
dan tugas pokok.
B. Manajemen Laboratorium TB.
1.
Manajemen Logistik Laboratorium TB.
Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan
logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB
2.
Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.
Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring
laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.
Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk
mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan
laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.
Tujuan PMI:
1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,
penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh
uji,
pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.
2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan
cepat dan tepat.
3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.
Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap pra-
analisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.
BAB IX
87
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis
(P2TB) merupakan komponen yang
penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,
baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes).
Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik
sehingga
ketersediaan dan kualitasnya terjamin.
A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai
dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan
bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses
penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.
Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan
untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang
digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.
2. Jenis-jenis Logistik P2TB.
Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non
OAT.
a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di
Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli
(KOMLI) dengan
memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.
Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:
• Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
dan Streptomisin (S).
• Lini kedua: Kanamycin
(Km), Capreomycin (Cm),
Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin
(Mfx), Ethionamide (Eto),
Cycloserin (Cs) dan Para Amino
Salicylic (PAS).
1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian
TB
(Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket
individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis
BAB X
91
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah
seperti gambar dibawah ini:
Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.
Instalasi Farmasi Provinsi
Dinkes Provinsi
(IFP)
permintaan
distribusi
Instalasi Farmasi
Dinkes Kab/kota
Kab/Kota(IFK)
permintaan
distribusi
Fasyankes
Dokter Praktik Mandiri
Klinik Swasta
(DPM)
Keterangan:
Alur distribusi OAT
Alur permintaan dan pelaporan OAT
Keterangan:
Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui
Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.
Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun
Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:
97
BAB X
94
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Instalasi Farmasi
Dinkes Provinsi
Provinsi (IFP)
Instalasi Farmasi
Faskes Rujukan
Faskes Rujukan
Faskes Sub Rujukan
Faskes Satelit
Keterangan:
Alur Distribusi OAT
Alur Permintaan dan Pelaporan OAT
Keterangan:
Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat
maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes
satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.
B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat
dibutuhkan
dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik
P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini
dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.
BAB X
95
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
f.
Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal
penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota,
Provinsi dan Pusat.
a. Perencanaan OAT
Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode
konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses
penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya,
sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan
berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai
dengan target yang direncanakan.
Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua
pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap
jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan
memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang
ada dan masa tunggu (lead time).
1) Perencanaan OAT Tidak Resistan
Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning”
mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya
diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.
2) Perencanaan OAT Resistan Obat
Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum
tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara
terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai
dengan target penemuan kasus.
b. Perencanaan Non OAT
Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan
memperhatikan:
1) Jenis logistik
2) Spesifikasi
3) Jumlah kebutuhannya.
4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan
5) Unit pengguna
Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian
TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan
memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.
BAB X
97
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-
isu seperti
HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu
desentralisasi
di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan
sumber
daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang
tidak merata di
provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan
tenaga
yang terampil.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian
Tuberkulosis
(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki
keterampilan,
pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam
pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk
menjamin
ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM
TB yang
terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola
rekrutmen
yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.
Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih
luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan
kegiatan
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM
yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.
Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan
SDM
untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,
peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.
A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.
Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk
memastikan
kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana.
Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal
baik
dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.
1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a. Puskesmas
1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan
minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan
1
tenaga laboratorium.
BAB XI
104
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes
dapat
memiliki lebih dari seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.
3.
Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.
Pengelola Program TB
(Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi
10-20
kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah
lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih
dari
seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,
Masyarakat
Anggota keluarga, kader, • Identifikasi dan rujuk terduga TB ke
Mikrobiologi, Analis.
Lab TB rujukan regional
Spesialis Patologi klinik, Ahli Kultur, identifikasi dan uji kepekaan
Mikrobiologi, Analis dan M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan
3.
Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:
a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan
balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan
b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek
yang
dinilai yaitu:
1) Kognitif/Pengetahuan
2) Afektif/Sikap
3) Psikomotor/Perilaku
c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu
d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di
wiilayahnya
4.
Metode EPP Program Pengendalian TB
Evaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data.
Metode
pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan
peserta latih di tempat kerjanya.
Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPP
NO
RANAH YANG AKAN DICAPAI METODE YANG DIGUNAKAN
1
KOGNITIF Test tertulis
Studi kasus
Wawancara
Focus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah
2
AFEKTIF Studi kasus
Wawancara dengan pihak ketiga
Kuestioner
3
PSIKOMOTOR Observasi
Cek dokumen
BAB XI
113
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di
masyarakat,
bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan
penyakit
tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat
rokok, alkhohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia
produktif dan
masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi
penyebab
tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering
dihubungkan
dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses
untuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.
Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar
kasus
TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap
lanjut
bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan
pengobatan ini
bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar
TB.
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh
sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan
sepertiga
kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada
kelompok
rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian
TB.
A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.
Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:
• Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional
• Organisasi berbasis komunitas
• Organisasi berbasis agama
• Organisasi pasien dan mantan pasien
• Organisasi profesi
• dan lain-lain.
B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:
1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang
mengharuskan
pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien
karena
dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan,
meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).
2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam
program
pengendalian TB
BAB XII
114
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan
organisasi
kemasyarakatan.
4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program
Pengendalian TB.
5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung
kepada dana
hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.
C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB
Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam
Program
pengendalian TB, antara lain:
1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi
kemasyarakatan
lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat
membantu dalam program pengendalian TB.
2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahami
situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat.
3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan
populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu
narkoba,
penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas
layanan kesehatan.
4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan
kesehatan
yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung
5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang
TB kepada masyarakat
6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan
TB dan membantu dalam sosial ekonomi
7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah
setempat.
8. Dan lain-lain.
D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan
Dalam
Pengendalian TB
Prinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah:
1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta
karakteristik masing-masing,
2. Saling menguntungkan,
3. Keterbukaan,
4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi
dari
organisasi kemasyarakatan itu sendiri,
5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada
di
Program Pengendalian TB.
BAB XII
115
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji
silang
Kabupaten (TB.12)
6) Laporan OAT (TB.13)
7) Data Situasi Ketenagaan Program TB
8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)
c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di
tingkat
Provinsi.
4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.
6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
2.
Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan
program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan
program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional
tersebut
di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB
paru
diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara
pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/
MDR yang ada.
BAB XIII
122
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk
usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator
ini
menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.
Rumus:
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai
hasil tes HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)
x 100%
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan
tes HIV (sebelum dan selama pengobatan TB)
Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di
daerah
tertentu.
8) Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
masa pengobatan tahap awal.
Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini karena
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Rumus:
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis
yang hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
x 100%
Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Baketeriologis
yang diobati
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan
cara
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis
yang
mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/ 3
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
BAB XIII
128
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Rumus:
Jumlah anak yang menyelesaikan
PP
INH selama 6 bulan x 100%
Jumlah anak yang mendapatkan PP INH
Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dari angka yang
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan program
TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
menerima PPK selama pengobatan TB x
100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.
Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk
memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
menerima pengobatan ARV (baru memulai
atau melanjutkan pengobatan ARV)
x 100%
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis
Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh
laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.
Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.
Rumus:
Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti
PME Uji Silang x
100%
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
BAB XIII
131
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
TB.06 MDR dan TB.01 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.
Indikator ini dihitung setiap triwulan sebagai alat ukur keberhasilan
upaya
memastikan semua pasien TB RR/MDR yang ditemukan diobati sehingga rantai
penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas
kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.
21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate
Adalah Keberhasilan Pengobatan TB RR/MDR adalah angka yang menunjukkan
persentase pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB RR/MDR yang
diobati. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka
kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang menyelesaikan
pengobatan (sembuh+pengobatan lengkap)
x 100%
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
3.
Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis
Supervisi TB bertujuan meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses
yang
sistematis untuk meningkatkan pengetahuan petugas, meningkatkan
ketrampilan
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:
Observasi
Diskusi
Bantuan teknis
Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan
Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan
Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
perbaikan.
Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan
untuk
mempertahankan kompetensi standar melalui on the job training. Supervisi juga dapat
dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan
pelatihan yang akan datang.
BAB XIII
135
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.
Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk
menyusun
rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan
yang
akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya
rencana
adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar
dapat
berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan
efisien. Tujuan dari
perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti
disini
saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat
dilakukan
koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.
Perencanaan yang baik adalah:
1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi
epidemiologis dan
program
2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun.
3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya
4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana
kerja
atau rencana operasional yang lebih rinci.
5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan
penting
yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.
Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana
jangka
pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang
telah
ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi
tertentu
yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.
Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan
hal-hal
berikut:
1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta
kewenangan.
2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian
target
indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis
Kementerian
Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program
Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana
aksi di daerah
3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan
terpadu/sinergi
untuk menghindari duplikasi anggaran
BAB XIV
141
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1.
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah,
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan
kewenangan
untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme
sebagai berikut:
a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan
kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB
digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan
lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB
di
kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB
melalui pelatihan tatalaksana program TB.
b. Dana alokasi khusus
(DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan
kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium
dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk
gudang obat,
c. Bantuan operasional kesehatan
(BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan
kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai
transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang
mangkir TB, pencarian kontak TB
2.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan
fungsi dari pemerintah daerah.
3.
Dana Hibah
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program
yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai
keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan
masih tergantung kepada donor (PHLN).
Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana
untuk
program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor
(restriksi/suspend)
akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir
61%
dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai
oleh
Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23%
pada
BAB XIV
143
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Bila anak sakit berat, maka pengobatan TB dapat diberikan. Dalam keadan meragukan
dan
tidak emergensi, melakukan uji coba pengobatan (treatment trial) tidak dibenarkan.
Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB
tulang) harus
diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH selama 4-7
bulan.
Bila menunjukkan perbaikan klinis dilanjutkan dengan INH saja selama 6 bulan untuk
mencegah
kekambuhan
Pada meningitis TB, TB milier, dan TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama
dilanjutkan
RH sampai 12 bulan.
PETUNJUK PRAKTIS
Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari
(maksimal
600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari
(maksimal 1250
mg)
Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi
perikardial
diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
selama 6
minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu.
Pemberian ART pada anak dengan ko-infeksi TB-HIV
Pada anak yang baru terinfeksi HIV, pemberian ARV dimulai setelah pasien
mendapat
pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk
mengurangi
terjadinya SPI (Sindrom Pulih Imun) dan efek samping obat yang saling tumpang
tindih. Hal
yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi
obat
terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.
Sindrom pulih imun adalah kumpulan tanda dan gejala akibat menurunnya
kemampuan
respon imun tubuh anak terhadap antigen atau organisme yang dikaitkan dengen
pemberian
ARV. SPI biasa timbul dalam 2 -12 minggu inisiasi ARV, dengan gejala dan tanda
seperti
infeksi subklinis yang tidak tampak seperti TB, TB yang aktif kembali, dan juga
munculnya
abses pada tempat vaksinasi BCG atau limfadenitis BCG
Pilihan ART pada anak dengan ko-infeksi TB HIV mengacu pada pedoman tatalaksana HIV
pada anak.
PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
Pencegahan TB pada anak terinfeksi HIV dilakukan dengan pelacakan kontak,
pengendalian
infeksi, dan pemberian profilaksis INH. Bayi dan anak usia berapapun yang baru
terdiagnosis
HIV tetapi tidak sakit TB, meskipun tidak ada kontak harus mendapat
profilaksis INH 10
mg/kgBB/hari maksimun 300 mg selama 6 bulan.
Petunjuk pelaksanaan BCG:
x
Anak HIV negatif di wilayah dengan prevalensi TB-HIV tinggi diberikan BCG.
x
Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan status HIV tidak diketahui diberikan BCG.
x
Bayi terinfeksi HIV dengan atau tanpa gejala TIDAK diberikan BCG.
x
Bayi dilahirkan dari ibu HIV positif boleh diberikan BCG bila:
o Mendapatkan perlakukan pencegahan (PPIA) dan/atau
o Sehat, tidak menunjukkan gejala HIV
o Sebaiknya setelah diperiksa PCR
Nomor Identitas
Kependudukan (NIK)