Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

MAKALAH

ORTOPEDAGOGIK

“SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KHUSUS”

DOSEN PENGAMPU:

Drs. H. Asep Ahmad Sopandi, M.Pd

DISUSUN OLEH:

1. RAHMA CHANIA PUTRI ( 23003133)


2. ULFA KHAIRA ( 23003150 )
3. NOFRI DELLA ( 23003126 )
4. DESRI FITRI JAUHARI ( 23003080 )
5. KHAIRUNNISSA ( 23003105 )

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT ,yang atas rahmat-Nya dan karunianya kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini adalah Sejarah
perkembangan dan pendidikan khusus. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Bapak Drs. H. Asep Ahmad Sopandi, M.Pd pada mata kuliah ortopedagogik.
Selain itu ,makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Drs. H. Asep Ahmad Sopandi, M.Pd, selaku dosen mata kuliah ortopedagogik yang telah
memberikan tugas ini sehingga kami dapat pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang ditekuni. Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang
membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi kami pada
khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Padang, 26 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................i

Daftar Isi .........................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ....................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...............................................................................................1
C. Tujuan .................................................................................................................1

Bab II Pembahasan

A. Kepedulian Masyarakat Pada Masa Peradaban Kuno ........................................2


B. Kepedulian Masyarakat Pada Abad Pertengahan ...............................................2
C. Rintisan Pendidikan Khusus Pada Abad XVIII dan XIX ...................................3
D. Kecenderungan Perkembangan Pendidikan Khusus Pada Abad Ke XX ............6
E. Pendidikan Khusus Di Indonesia ........................................................................7

Bab III Penutup

A. Kesimpulan .........................................................................................................9
B. Saran ..................................................................................................................9

Daftar Pustaka .................................................................................................................10

ii
iii
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ortopedagogik merupakan ilmu pendidikan yang membahas tentang masalah anak-anak
berkelainan (anak berkebutuhan khusus/ABK). Ortopedagogik merupakan cabang dari ilmu
pendidikan umum atau pedagogik umum yang dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Ortopedagogik khusus yang merupakan berkenaan dengan pendidikan bagi tiap jenis anak
luar biasa atau anak berkelainan.
2. Ortopedagogik umum yang merupakan berkenaan dengan pendidikan anak bagi anak-anak
luar biasa pada umumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kepedulian masyarakat pada masa peradaban kuno?
2. Bagaimana kepedulian masyarakat pada abad pertengahan?
3. Bagaimana rintisan pendidikan khusus pada abad XVIII?
4. Bagaimana kecenderungan perkembangan pendidikan khusus pada abad XX?
5. Bagaimana pendidikan khusus di Indonesia?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui kepedulian masyarakat pada masa peradaban kuno
2. Untuk mengetahui kepedulian masyarakat pada abad
3. Untuk mengetahui pendidikan khusus pada abad XVIII dan XIX
4. Untuk mengetahui kecendrungan perkembangan pendidikan khusus pada abad XX
5. Untuk mengetahui pendidikan khusus di Indonesi

1
Bab II
Pembahasan
A. Kepedulian Masyarakat Pada Masa Peradaban Kuno
Perkembangan Ortopedagogik sebagai ilmu yang diawali dengan perkembangan pendidikan
tiap jenis anak berkebutuhan khusus setelah tiap-tiap jenis anak berkebutuhan khusus berkembang,
gambaran umum yang meliputi semua jenis keluarbiasaan diperoleh dan dikembangkan sehingga
menjadi suatu kebulatan. Negara-negara yang berperadaban seperti roma menganggap individu
berkebutuhan khusus sebagai beban belaka karen tidak dapat dijadikan prajurit perang, orang di
yunani menyerahkan nasib orang yang cacat kepada kepala suku atau keluarga orang tersebut akan
tetapi sikap seperti itu tidak berlaku di semua tempat ada juga kelompok-kelompok yang
menghargai orang cacat dan luar biasa lainnya, bahkan mengobatinya diantara masyarakat kuno
yang terkenal menyantuni orang cacat ialah cina kuno.

Perkembangan dan sejarah pendidikan anak berkebutuhan khusus pada zaman kuno (primitif)
dapat diartikan sebagai berikut:
a. Penyandang cacat pada zaman kuno dihormati (seperti menghormati kuburan dengan
sesaji)
b. Di mesir ketika ada seorang bayi lahir dan ternyata cacat, maka mereka akan dibunuh
karena dianggap akan menimbulkan malapetaka bagi seluruh negeri.
c. Pandangan orang pada saat munculnya agama terhadap penyandang cacat dianggap
akibat dosa.
d. Masyarakat yunani mengagungkan kebugaran, sementara apabila ada bayi yang lahir
cacat, maka mereka akan dibunuh karena dianggap tidak memiliki kebugaran.
e. Sebagian besar bangsa waktu zaman kuno, menganggap bahwa kecacatan adalah
hukuman atau penebus dosa yang telah diperbuat orang tuanya.
f. Di Solon(Athena) sudah dimulai pemberian bantuan sosial bagi penyandang cacat dengan
cara memelihara mereka dirumah-rumah pemeliharaan.

B. Kepedulian Masyarakat Pada Abad Pertengahan


Kedatangan agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen, dan Islam mendorong perubahan
sikap kepada mereka yang masih belum memperdulikan anak-anak cacat. Agama-agama tersebut
mengajarkan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup, termasuk anak berkebutuhan khusus.
Walaupun demikian agama tidak mewariskan bagaimana cara mewujudkan bantuan tersebut
kepada anak berkebutuhan khusus. Perlakuan orang terhadap anak berkebutuhan khusus pada
zaman pertengahan atau peralihan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

2
a. Banyak diantara mereka memanfaatkan penyandang cacat dijadikan sebagai alat
untuk mencari keuntungan pribadi, diantaranya dijadikan sebagai peminta-minta.
b. Ada juga yang memanfaatkan untuk dijadikan sebagai penghibur raja, ketika para
raja dalam keadaan gundah gulanda, kemudian yang buta dimanfaatkan sebagai
tukang pijat, ketika raja sedang penat pulang berburu.
c. Dipelihara oleh ilmuan sebagai peramal, karena mereka dianggap sebagai titisan
dewa.
d. Namun ada juga yang menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus tidak berjiwa
manusia.
e. Pada tahun 1500 Yuan Luis Nives menulis jenis pekerjaan bagi penyandang
tunanetra.
f. Pada tahun 1620 Juan Bonet menulis buku tentang pendidikan bagi anak tunarungu.
g. Pada tahun 1600diciptakan huruf bagi tunanetra yang dirintis oleh George Philip
Harsdofler dan Fransesco Lane Terri.

C. Rintisan Pendidikan Khusus Pada Abad XVIII dan XIX


Pada Abad XVIII ditandai dengan bentuk pelayanan sosial bagi penyandang cacat dari upaya
perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun telah ada beberapa upaya mendidik penyandang
cacat sejak abad XVI, pendidikan formal bagi anak luar biasa baru muncul pertama kali pada abad
XVIII (Irvine, 1988).
Berikut beberapa perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis kecacatan berdasarkan
klasifikasi yang dibuat oleh Irvine, yaitu sebagai berikut:

1. Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu Pada tahun 1555, seorang pendeta
berkebangsaan Spanyol bernama Pedro Ponce de Leon mencoba mengajar membaca, menulis,
berbicara, berhitung, dan menguasaai sejumlah mata pelajaran akademik kepada sekelompok anak
tuli. Rintisan ini kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa buku tentang pendidikan untuk
anak tuli oleh Juan Pablo Bonet (Spanyol) pada tahun 1620, berisi tentang berbagai metode yang
dikembangkan dari rintisan de Leon; John Buwler (Inggris) pada tahun 1644; dan George Dalgarno
(Inggris) pada tahun 1680 berjudul Didasopholus: The Deaf and Dumb Man’s Tutor.

Yang disebutkan terakhir ini dianggap sebagai buku rintisan yang paling berpengaruh,
berisi garis besar metode pembelajaran yang sampai sekarang secara luas dipakai oleh para
pendidik, dengan penekanan bahwa penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas belajar sama
dengan mereka yang dapat mendengar. Sekolah formal bagi anak tuna rungu yang pertama di
Inggris didirikan oleh Thomas Braidwood di Eidenburgh pada tahun 1767. Metode mengaj ar yang
dipakai merupakan gabungan antara oral dan manual, yang berarti bahwa kecuali belajar bahasa
isyarat, para murid juga belajar abjad biasa dan artikulasi.

3
Sekolah ini memang berhasil, dan pada tahun 1783, sekolah ini pindah ke Hackney, sebuah
kota kecil dekat London, untuk dapat menampung lebih banyak murid dari kota London. Tidak
lama kemudian, Joseph Watson, kemenakan dan asisten Braidwood, mendirikan sekolah bagi anak
tuna rungu dari keluarga miskin yang pertama di Inggris, terletak di kota London. Pada waktu yang
hampir bersamaan, Samuel Heinche (Jerman) mengembangkan metode pembelajaran yang
sepenuhnya oral, menekankan pengembangan kemampuan berbicara dan membaca bibir. Metode
ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich Moritz Hill yang kemudian dipakai di
seluruh dunia. Di Perancis, Abbe Charles Michel de 1’Epee dan Abbe RochAmbroise Sicard
mengembangkan bahasa isyarat modern.

Sistem pembelajaran menggunakan gagasan Jacob Pereire yang menekankan penggunaan


isyarat dan alfabet biasa untuk berkomunikasi dan pelatihan indra penglihatan dan peraba. Ide
inilah yang dianggap sebagai perintis pelatihan indera sebagai bagian tak terpisahkan dalam PLB.
Pendidikan bagi anak tuna rungu di Amerika Serikat bermula dari dikirimnya Thomas Hopkins
Gallaudet untuk belajar pada Sicard di Perancis. Sekembali ke Amerika Serikat, bersama dengan
seorang Perancis yang lain, yaitu Laurent Clerc, mereka mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu
yang pertama. Sejak itu, sekolah sejenis banyak bermunculan di negara tersebut, dan sebagai
puncaknya adalah berdirinya satu perguruan tinggi khusus bagi penyandang tuna rungu pada tahun
1864, yang sekarang bernama Gallaudet University di kota Washington, yang mungkin merupakan
satu-satunya di dunia. Pada perkembangan selanjutnya, kelas khusus bagi anak tuna rungu juga
banyak dibuka, dipelopori di Boston pada tahun 1869.

Beberapa nama terkenal kemudian bermunculan di Amerika Serikat karena sumbangannya


terhadap perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna rungu, antara lain Alexander Graham
Bell (penemu telepon dan tokoh pendidikan bagi anak tuna rungu) dan Hellen Keller (penyandang
tuna netra dan tuna rungu yang mengangkat eksistensi pendidikan bagi penyandang cacat). Di
samping kemajuan luar biasa dalam pendidikan bagi anak tuna rungu, satu hal yang sampai
sekarang belum disepakati adalah apakah menggunakan sistem oral, manual, atau gabungan.
Masih terdapat ketidaksepakatan di antara para pakar tentang tingkat keefektifan dari setiap sistem

2. Pendidikan bagi Anak Tuna Netra. Sekolah bagi anak tuna netra yang pertama
didirikan di Perancis pada tahun 1784 oleh Valentine Hauy,seorang dermawan. Sekoiah ini juga
menerima murid yang awas, dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna netra.
Keberhasilan Hauy ini mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di Eropa. Sekolah sejenis di
Amerika Serikat didirikan pada tahun 1829 oleh Samuel Gridley Howe, bernama the Perkins
School for the Blind di kota Watertown Massachusetts. Rintisan ini kemudian diikuti oleh
pendirian sekolah-sekolah sejenis di berbagai negara bagian, dan sampai dengan akhir abad XIX,
sekolah berasrama merupakan satu-satunya sistem layanan pendidikan bagi anak tuna netra.

4
Perkembangan baru terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas-kelas khusus bagi anak
tuna netra di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun 1900. Satu hal penting yang sangat
berkaitan dengan layanan pendidikan bagi anak tuna netra adalah perkembangan sistem baca-tulis.
Hauy mengembangkan sistem huruf timbul untuk dibaca dengan menggunakan jari. Dengan
sistem ini, Hauy menerbitkan buku-buku bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul ternyata sangat
sulit untuk dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak lahir yang menjadi salah seorang
murid Hauy, yang kemudian mengembangkan sistem bacatulis yang sekarang dipakai di seluruh
dunia. Sampai bertahuntahun, buku-buku braile harus ditulis dengan tangan. Adalah Frank H. Hall
yang berjasa mengembangkan mesin ketik huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan
dengan huruf braile pada tahun 1893.

3. Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari
upaya seorang dokter berkebangasaan Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk mendidik
seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini tei jadi pada abad XVIII. Usaha Itard
ini tidak sepenuhnya berhasil, karena anak tersebut ternyata menyandang cacat mental. Metode
yang dipakai kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang
terbit pada tahun 1801. Metode tersebut sampai sekarang menjadi dasar pembelajaran anak cacat
mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh muridnya yang bernama Edouard Sequin dan terbit
dalam sebuah buku ber j udul Idiocy and Its Treadment by the Physiological Method pada tahun
1866. Beberapa konsep penting yang diuraikan dalam kedua buku tersebut antara lain:
a. pendidikan anak secara utuh,
b. pembelajaran secara individual,
c. mulai pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan anak,
d. hubungan dekat antara murid dan guru.

Pada abad XX, konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh pendidik
berkebangsaan Italia, Maria Montessori, yang menekankan pada pelatihan semua syaraf / indera.
Ovide Dcroly (Belgia) mengembangkan kurikulum yang efektif bagi anak tuna grahita dan
mendirikan sekolah yang kemudian menjadi model di seluruh Eropa. Konsep yang berasal dari
Itard dan Sequin tersebut sekaramg juga banyak diterapkan dalam sistem pembelajaran modern.
Di Amerika Serikat, sekolah khusus bagi anak tuna grahita yang pertama didirikan pada tahun
1848 oleh Hervey Backus Wilbur di Barre Massachusetts; sedangkan kelas khusus bag] anak tuna
grahita di sekolah umum yang pertama dibuka pada tahun 1896 di Providence, Rhode Island.

Di Jerman, kelas khusus serupa dibuka pertama kali pada tahun 1859, yang kemudian
disusul dengan beberapa sekolah lagi di seluruh Eropa. Satu titik tolak yang kemudian memberi
warna pada perkembangan layanan pendidikan bagi anak cacat mental terjadi juga pada awal abad
XX, tepatnya tahun 1905, dengan dikembangkannya tes intelegensi oleh Alfred Binet yang bekerja
di sekolah di Paris. Temuan ini memberikan sumbangan sangat besar sehingga penentuan cacat
mental dapat dilakukan secara obyektif.

5
4. Pendidikan bagi Anak Tuna Laras Penelesuran perkembangan layanan pendidikan
bagi anak tuna laras mungkin termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebabm antara lain:
a. kurangnya ketepatan (precision) dalam mengklasifikasi jenis kelainannya
b. kesulitan dalam mendiagnosis, dan
c. kecenderungan menempatkan anak-anak ini dengan jenis kecacatan lain.

Di Amerika Serikat, sekolah klrusus bagi anak-anak ini memang jarang ditemukan.
Kategori gangguan emosi atau gangguan perilaku sendiri baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun
oleh ilmu kedokteran jiwa dianggap sebagai bagian dari gangguan mental. Pada akhir abad XIX,
beberapa sekolah umum mulai mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New
Haven pada tahun 1871 dan di New York pada tahun 1874. Penelitian terhadap penyandang
gangguan emosi tingkat berat baru dimulai pada tahun 1930-an, dan pada awalnya sekolah
menolak tanggung jawab atas pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu
kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai mengembangkan program
intervensi bagi anak tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.

5.Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna
laras, layanan pendidikan khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu
sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidikan
tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Namun demikian,
ada beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa, sperti di Chicago pada
tahun 1899, di Providence pada tahun 1908, dan di Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada
sekolah khusus, sekolahsekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda
yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak-anak celebral palsy.

Dari gambaran singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pendidikan bagi
penyandang cacat yang paling tua adalah sekolah khusus sepanjang hari (institution). Tetapi
menjelang berakhirnya abad XIX, bentuk kelas khusus tampaknya lebih banyak dibuka.
Pemisahan secara penuh anak cacat dari anak normal mulai dipertanyakan. D.Kecenderungan
Perkembangan Pendidikan Khusus Pada abad XX Pada akhir abad ke 19 bentuk layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari sistem segregasi di sekolah-sekolah khusus pada
munculnyakelas-kelas khusus di sekolah biasa . ini upaya untuk menghindarkan isolasi anak-anak
berkelainan. Pada pertengahan abad 20, bentuk pelayanan pendidikan khusus yang terpisah dari
pendidikan anak normal dipertanyakan. Diketahui bahwa pandangan masyarakat terhadap anak
berkebutuhan khusus mengalami perubahan dari masa kemasa. Konsep baru ini dimulai sejak
tahun 1968 di Scandinavia,kemudian berkembang ke negara-negara lain.Pada tahun 1981, PBB
memasyarakatkan konsep baru ini dengan mencanangkan tahun itu sebagai tahun penyandang

6
D. Kecenderungan Perkembangan Pendidikan Khusus Pada Abad XX
Pada akhir abad ke 19 bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari
sistem segregasi di sekolah-sekolah khusus pada munculnyakelas-kelas khusus di sekolah biasa .
ini upaya untuk menghindarkan isolasi anak-anak berkelainan. Pada pertengahan abad 20, bentuk
pelayanan pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal dipertanyakan. Diketahui
bahwa pandangan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus mengalami perubahan dari
masa kemasa. Konsep baru ini dimulai sejak tahun 1968 di Scandinavia,kemudian berkembang ke
negara-negara lain.Pada tahun 1981, PBB memasyarakatkan konsep baru ini dengan
mencanangkan tahun itu sebagai tahun penyandang cacat internasional.

E. Pendidikan Khusus Di Indonesia


Pendidikan Luar Biasa Sejarah perkembangan pendidikan bagi penyandang cacat di Indonesia
pada dasarnya dapat dilihat dari dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan dan setelah
kemerdekaan. Berdirinya Blinden Instituut tahun 1901 di Bandung yang diprakarsai oleh dr.
Westhoff merupakan awal pelayanan terhadap penyandang cacat dimana para tunanetra diberikan
latihan dengan program shetered workshop (bengkel kerja). Program inilah yang merupakan cikal
bakal berdirinya sekolah khusus bagi tunanetra di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1927, juga di
Bandung, dibuka sekolah khusus bagi anak tunagrahita yang didirikan oleh Bijzonder Onderwijs
yang diprakarsai oleh seorang yang bernama Folker, sehingga sekolah ini disebut Folker School.
Pada tahun1930 sekolah khusus untuk tunarungu wicara juga dibuka di Bandung oleh seorang
Belanda yang bernama C. M. Roelsema. Pada masa kemerdekaan, keberadaan sekolah bagi
penyandang cacat makin terjamin dengan adanya UUD 45 yang menyatakan setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan.

Di samping itu UU Pendidikan No 12 tahun 1954 memuat ketentuan tentang pendidikan dan
pengajaran luar biasa. Mulai saat itulah sekolah bagi penyandang cacat disebut Sekolah Luar Biasa
(SLB). Penyelenggara SLB, sejak dulu hingga kini, sebagian besar adalah pihak swasta yang
berupa yayasan. Meskipun demikian penyelenggaraan SLB dibina oleh pemerintah yang
mulamula oleh Seksi Pengajaran Luar Biasa merupakan bagian dari Balai Pendidikan Guru
kemudian oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pengajaran, selanjutnya oleh
Urusan Pendidikan Luar biasa, bagian dari Jawatan Pendidikan Umum . Sejak tahun 1980 SLB
dibina oleh Subdirektorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (Subdit. PSLB), di bawah Direktorat
Pendidikan Dasar pada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Selanjutnya Subdit.
PSLB ditingkatnya fungsinya menjadi Direktorat Pendidikan Luar Biasa (Dit. PLB). Dan terakhir
Direktorat ini berubah menjadi Dit. PSLB. Perjalanan pendidikan bagi penyandang cacat telah
berjalan lebih dari satu abad. Selama kurun waktu tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa
pendidikan luar biasa telah berkembang secara kuantitatif maupun kualitatif.

Jumlah SLB makin meningkat, lembaga pemerintah yang mengurusnya semakin besar,
Lembaga penyiapan gurunya juga telah berkembang hingga di LPTK perguruan tinggi, sistem

7
layanan pendidikannya bervariasi seturut dengan perkembangan kesadaran masyarakat nasional
maupun internasional. Meskipun demikian, kemajuan PLB di Indonesia tidak luput dari berbagai
masalah atau tantangan dalam perkembangannya. Sejak tahun 1970an Indonesia telah
memperkenalkan sistem layanan pendidikan (sekolah) dimana penyandang cacat bersekolah
bersama sama dengan anak pada umumnya sekolah reguler yang disebut dengan sekolah terpadu
(integrasi). Sistem sekolah terpadu ini sebagian besar melayani anak tunanetra sementara anak
dengan kecacatan lain belum banyak mengikuti sistem sekolah terpadu ini. Dalam perkembangan
selanjutnya Indonesia juga memperkenalkan layanan pendidikan yang didasari oleh filosofi inklusi
yang diamanatkan oleh PBB melalui prinsip Education for All (pendidikan untuk semua).
Sayangnya filosofi pendidikan inklusif ini telah dipraktekkan secara terburu-buru di Indonesia
sehingga hasilnya kurang memuaskan dan sering disalah artikan oleh para pelaku pendidikan di
lapangan maupun di tataran birokratnya. Salah satu kasus yang paling populer akibat sosialisasi
yang keliru ada sekolah memindahkan penyandang cacat dari SLB ke sekolah tersebut dengan
tujuan agar sekolahnya menjadi inklusi. Dengan pendidikan inklusif, penyandang cacat akan
belajar di sekolah mana saja tak terbatas di SLB oleh karenanya guru-guru SLB sangat berpotensi
berkembang perannya di lembaga pendidikan manapun. Setelah Indonesia merdeka, sekolah-
sekolah khusus atau SLB yang didirikan oleh pemerintah Belanda masih dilanjutkan oleh bangsa
Indonesia hingga sekarang. Guru-guru yang akan mengajar di SLB diberikan latihan atau dididik
khusus di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB).

SGPLB dibuka pertama kali, di Bandung, tahun 1952 dengan masa pendidikan selama 2 tahun.
Pada mulanya SGLPB diperuntukan bagi guru-guru yang telah mengajar, namun dalam
perkembangannya lulusan SLTA darimanapun boleh mengikuti pendidikan. Sejak tahun 1960an
penyiapan guru-guru SLB juga ditingkatkan dimana mereka dipersiapkan di perguruan tinggi dari
Diploma III hingga Sarjana. Sekarang ini telah dibuka program pascasarjana PLB untuk S2 di
Universitas Pendidikan (UPI). Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
menegaskan bahwa pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional, dibuktikan dengan
sertifikat pendidik (Ps. 2:2). Guru profesional adalah guru yang memenuhi kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Ps. 10). Selama ini
program pendidikan profesi keguruan kurikulumnya melekat secara simultan (konkuren) dengan
program S1 LPTK. Berdasarkan kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, lulusan
program S1 Pendidikan berhak mengajar di sekolah yang dibuktikan dengan Akta Mengajar.
Sementara itu, untuk calon guru yang berasal dari non LPTK diwajibkan mengikuti pendidikan
Akta Mengajar secara konsekutif. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidik pada satuan pendidikan
SDLB/SMPLB/SMALB harus memenuhi kualifikasi akademik minimum D-IV atau S1 latar
belakang pendidikan tinggi program pendidikan khusus, serta memiliki sertifikat profesi guru
SDLB/SMPLB/SMALB (Ps. 29 : 5).

8
Dengan mengacu kepada PP tersebut maka lulusan S1 PK dituntut untuk dapat mengajar pada
satuan pendidikan khusus mulai dari SDLB, SMPLB dan SMALB bahkan juga TKLB, baik untuk
jenis kelainan Tunanetra (A), Tunarungu (B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D), Tunalaras (E),
Kecerdasan dan Keberbakatan istimewa (F), maupun Berkesulitan Belajar (H). Selama ini
Kurikulum S1 PK lebih menitikberatkan kepada penguasaan kompetensi keguruan bidang PK
dalam setting persekolahan satuan pendidikan SDLB (A,B,C,D,E). Sedangkan untuk SMPLB,
SMALB dan kompetensi layanan khusus di luar setting persekolahan, masih bersifat dasar dan
generic

Bab III
Penutup

A. Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang terdapat memilki perkembangan yang
secara signifikan menyimpang dari perkembangan normal. Rentangan anak-anak dengan
perkembangan menyimpang ditemukan dalam tiga kategori ( Impairment, Handicapped dan
Disability ), mulai dari anak-anak yang kekurangan gizi, tenaga kerja anak dan faktor-faktor lain
yang berhubungan dengan kemiskinan serta kehidupan ekonomi baik bagi anak-anak yang
mengalami gangguan dalam mobilitas, pendengaran, bicara dan bahasa, penglihatan, kemampuan
intelektual dan masalah emosi, serta kombinasi dari berbagai gangguan tersebut. Kepedulian
masyarakat pada anak berkebutuhan khusus masa peradaban kuno, pada masa itu penyandang
cacat memiliki kedudukan yang terhormat dan kepercayaan yang berlaku mengajarkan mereka
untuk menghargai sesama, dalam prakteknya, ajaran ini tidak berlaku bagi penyandang cacat,
masyarakat Mesir Kuno mengganggap tabu untuk membunuh bayi, tetapi bayi yang lahir cacat
ternyata dibunuh. Ajaran agama menganjurkan kepedulian dan kasih sayang bagi umat yang
kurang beruntung. Tetapi dalam prakteknya, kecacatan sering dianggap sebagai akibat dari dosa.
Kecacatan hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan iman, dan jika tidak dapat
disembuhkan,penyandang cacat masih dianggab dirasuki roh jahat dan belum mempunyai iman
yang kuat. Abad pertengahan, pada abad ini penyandang cacat sangat menyedihkan bahwa
penyandang cacat sebagai penghalang, meskipun hak untuk hidup sudah diakui oleh masyarakat.
Pada akhir abad pertengahan, mulai ada upaya memperbaiki kehidupan para penyandang cacat.

B. Saran
Guru selaku tenaga pengajar harus mengetahui tentang anak berkebutuhan khusus. Karena
pada kenyataanya sekarang anak berkebutuhan khusus sudah sering dijumpai di masyarakat

9
dewasa ini dengan anak-anak normal lainnya. Guru mau tidak mau harus mengetahui bagaiman
melayani anak berkebutuhan khusu tersebut tanpa terkecuali.

Daftar Pustaka

https://scholar.google.co.id/citations?user=lHXnHssAAAAJ&hl=en

10

You might also like