LP KELOLAAN Difteri

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 23

TUGAS APLIKASI

KASUS KELOLAAN
LAPORAN PENDAHULUAN DIFTERI
DI RUANG AKUT RSUP M. DJAMIL

DINI SURYANI

1721312038

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit Difteri


A. Pengertian
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik
(racun) Corynebacterium diphteriae (Iwansain, 2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari nurudin, 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae (Fuadi, Hasan, 2008).
Jadi kesimpulannya Dipteria / diphtheri merupakan salah satu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria. Bakteri ini mampu
menghasilkan eksotoksin (racun yang dialirkan melalui darah) yang menghambat sintesis
protein. Kemampun eksotoksin ini menyebabkan penyakit Dipteria memiliki gambaran
klinis yang tersebar tidak hanya di lokasi infeksi, melainkan di organ-organ yang lain.
Penyakit ini sering menyerang tonsil, faring, laring, hidung dan kadang menyerang
selaput lendir atau kulit bahkan kadang menyerang konjungtiva atau vagina. Difteri
mudah menular, dan menyerang organ tubuh bagian lain terutama saluran napas bagian
atas, dengan gejala demam tinggi, pembengkakan amandel (tonsil) dan terlihat selaput
putih kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas.

B. Etiologi
Disebabkan oleh corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobic dan dapat memproduksi
eksotoksin. Penyakit ini ditularkan melalui droplet saat batuk ataupun berbicara. Bahkan,
diketahui pula dapat menyebar melalui pencemaran air dan melalui benda atau makanan
yang terkontaminasi. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Karena penyebaran melalui droplet
ini, penyakit dipteri mudah terjadi pada pemukiman yang padat dengan sanitasi yang
buruk, karena manusia merupakan reservoir (istilah untuk menunjukkan organisme
tempat hidup Corynebacterium diphtheria).

C. Prognosis Penyakit Difteria


Prognosis Penyakit ini tergantung pada:
a. Umur pasien. Makin muda usianya makin jelek prognosisnya.
b. Perjalanan penyakit; makin terlambat diketemukan makin buruk keadaannya.
c. Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan.
d. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizi buruk, juga buruk.
e. Terdapatnya komplikasi miokorditas sangat memperburuk prognosis.
f. Pengobatan, terlambat pemberian ads, prognosis makin buruk.

D. Manifestasi Klinis
Secara klasik bermanifestasi pada anak berusia 1-9 tahun, tetapi dapat terjadi pada
orang dewasa yang tidak diimunisasi. Terjadi tergantung pada lokasi infeksi, imunitas
penderita, ada/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah. Masa inkubasi
umumnya 2-5 hari. (range 1-10 hari), pada difteri butan adalah 7 hari sesudah infeksi
primer pada kulit.
1. Gejala umum :
a. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
b. Batuk dan pilek yang ringan.
c. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
d. Mual, muntah , sakit kepala.
e. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-abuan kotor
f. Kaku leher
2. Gejala lokal :
a. Difteri Tonsil Dan Faring
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan
demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis /
periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis
disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat
tetapi nadi biasanya cepat. Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang
antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai
dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor,
koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat
disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
b. Difteri Hidung
Kira-kira 2% kasus difteri dan gejalanya paling ringan. Biasanya ditandai
oleh adanya sekret hidung dan tidak khas. Sekret ini biasanya menempel pada
septum nasi, absorpsi toksin dari tempat ini cepat menghilang dengan pemberian
antitoksin, bila tidak diobati maka sekret akan berlangsung berminggu-minggu dan
merupakan sumber utama penularan. Bentuk penyakit ini paling sering ditemukan
pada bayi.
c. Difteri Laring
Kebanyakan merupakan penjalaran dari difteri faring. Tetapi kadang-
kadang berdiri sendiri. Penyakit ini disertai panas dana batuk serta suara serak.
Pada kasus ringan dengan pemberian antitoksin gejala obstruksi akan hilang dan
membran hilang pada hari 6-10. Pada kasus sangat berat penyumbatan diikuti
dengan anoksemia yang ditandai dengan gelisah., sianosis, lemah, koma dan
meninggal. Jackson membagi derajat dispnea laring proresif menjadi 4 stadium :
1. Stadium 1
a) Terdapat cekungan ringan suprasternal
b) Keadaan ini tidak mengganggu dan penderita tampak tenang
2. Stadium 2
a) Cekungan suprasternal menjadi lebih dalam ditambah cekungan di
epigastrium
b) Penderita mulai nampak gelisah
3. Stadium 3
a) Tampak cekungan suprasternal, supraclavicular, infraclavicular, epigastrum
dan intercostal
b) Penderita sangat gelisah dan tampak sukar untuk bernafas
4. Stadium 4
a) Gejala diatas semakin berat
b) Penderita sangat gelisah dan berusaha sekuat tenaga untuk bernafas
c) Tampak seperti ketakutan dan pucat / sianosis
d. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa
tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung
menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan secret purulen dan berbau.

E. Patofisiologi (pathway)
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas
terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain. Selain itu dapat
juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul
lokal kemudian menjalar kefaring, t o n s i l , l a r i n g , d a n s a l u r a n n a f a s a t a s .
K e l e n j a r g e t a h b e n i n g s e k i t a r n y a akan membengkak dan mengandung toksin.
Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika
mengenai jaringan s a r a f p e r i f e r s e h i n g g a t i m b u l p a r a l y s i s t e r u t a m a o t o t -
o t o t p e r n a f a s a n . Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,
yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis.
Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh
t e r j a d i n y a s u m b a t a n j a l a n n a f a s a k i b a t pseudomembran pada laring dan
trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya
bronkopneumonia. Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (Droplet infection),
tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi
oleh kuman difteria. Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada
anak u s i a balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan
b e r g a n t u n g d a r i v irulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak.
Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat
menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik.
F. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah menurut lokasinya sebagai berikut:
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina
Menurut tingkat keparahannya:
a. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan
b. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan laring
sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak
c. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan nefritis.

G. Komplikasi
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus
komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu
dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia
diakibatkan oleh komplikasi. Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri
difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi:
1. Masalah pernapasan.
Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk
membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran
juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada
paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal
napas.
2. Kerusakan jantung.
Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan
inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah,
seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf.
Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan, masalah
saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf
tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari
kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat
pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau
respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala
atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-
anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah
sakit hingga 1,5 bulan dan di isolasi untuk mencegah penularan.
4. Difteri hipertoksik.
Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama
dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan
gagal ginjal.
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin,
waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin. Komplikasi difteri terdiri
dari :
a. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
b. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan nafas
c. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin

H. Pemeriksaan Diagnostik
Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung
dan tenggorok (nasofaringeal swab)
1. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
2. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
3. Enzim CPK, segera saat masuk RS
4. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
5. Tes schick.
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah
cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50
MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak
0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada
bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung
antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi
apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap
protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-
kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.
Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan
intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah
dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi
indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil
positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
(Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi
alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan
indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena
adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.

I. Pencegahan
Difteri dapat berujung pada kematian apabila tidak segera diberi pengobatan
secara tepat. Penggunaan antitoksin maupun antibiotik dapat menyembuhkan penyakit
ini. Selain itu, penderita difteri sebaiknya dirawat secara intensif di rumah sakit
dikarenakan penyebaran dari bakteri C. Diphteria yang sangat cepat melalui air liur,
seperti contohnya ketika seorang penderita difteri maupun pembawa bakteri (carrier)
bersin dan udaranya terhirup orang lain. Selain itu penggunaan gelas secara bersamaan
tanpa dicuci terlebih dahulu juga dapat menularkan bakteri tersebut.
Saat ini vaksin difteri telah bisa diperoleh dengan mudah di puskesmas atau
posyandu terdekat. PT. Biofarma sebagai satu-satunya produsen vaksin di Indonesia telah
memproduksi vaksin Difteri yang dikombinasikan dengan vaksin untuk tetanus dan
pertusis, atau lebih dikenal sebagai vaksin DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus).
Pemberian vaksin ini dilakukan dalam lima tahap yaitu ketika anak berusia 2 bulan, 4
bulan, 6 bulan, 15- 18 bulan, dan pada usia 4-6 tahun. Jika setelah vaksinasi anak
mengalami demam tinggi, alergi, atau kejang, sebaiknya untuk selanjutnya diberikan
vaksin DT, bukan DPT (vaksin pertusis tidak digunakan lagi).
Dengan melakukan upaya pencegahan, wabah penyakit difteri dapat
ditanggulangi serta jumlah angka kematian pada anak yang disebabkan oleh penyakit ini
juga akan mengalami penurunan. Untuk itu, kesadaran masyarakat terutama orang tua
mengenai pentingnya pemberian vaksin Difteri kepada anak-anak tentunya sangat
diharapkan sebagai wujud kontribusi dalam memberantas penyakit difteri demi
peningkatan mutu kesehatan masyarakat terutama anak-anak. Berikut adalah upaya
pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit difteri, sebagai berikut:
1. Memberikan kekebalan pada anak-anak dengan cara:
a. Imunisasi DPT/HB untuk anak bayi. Imunisasi di berikan sebanyak 3 kali yaitu
pada saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
b. Imunisasi DT untuk anak usia sekolah dasar (usia kurang dari 7 tahun). Imunisasi
ini di berikan satu kali.
c. Imunisasi dengan vaksin Td dewasa untuk usia 7 tahun ke atas.
2. Hindari kontak dengan penderita langsung difteri.
3. Jaga kebersihan diri.
4. Menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan berolahraga cuci
tangan sebelum makan.
5. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
6. Bila mempunyai keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke Unit Pelayanan
Kesehatan terdekat.
7. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
kuman difteri dua kali berturut-turut negative. Isolasi ketat dilakukan terhadap
penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak
hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada
difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan basil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat
tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian
antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri
14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG
yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya
sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
a. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
Tabel 1.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian
Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), 80.000-120.000 IV
lokasi dimana saja

b. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas


demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
c. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4
minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk
tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau
paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama
10 hari.
d. Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria
didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel
untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil
pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang
berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai
“investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani
permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin
– Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255).
Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga
CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang
tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan
terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum
kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 –
100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat
pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat
menggantikan pemberian antitoksin. Procain Penicillin G (IM) diberikan
sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB
untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga
diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara
parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin
dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral
sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya
strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik
golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga
efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik
erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal
penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta
unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral
selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram
per hari untuk orang dewasa.

K. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas
atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya
penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke
luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau
handuk yang selalu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juga tempat untuk
merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Jika anak menderita difteri, ia harus
dirawat di rumah sakit karena seringkali menjadi gawat.
Pada saat memerlukan isolasi dalam kamar pribadi, rasa kesepian dapat timbul
karna hubungan social yang normal terganggu. Situasi ini dapat menjadi ancaman
psikologis, khususnya bagi anak-anak. Sebelum tindakan isolasi dilakukan, klien dan
keluarga harus memahami sifat dari penyakit atau kondisi, tujuan isolasi, dan langkah
untuk melakukan kewaspadaan spesifik. Jika mereka mampu berpartisipasi untuk
mempertahankan pencegahan infeksi, kemungkinan untuk mengurangi penyebaran infeksi
akan meningkat. Klien dan keluarga harus diajarkan untuk mencuci tangan dan
menggunakan pelindung sederhana jika perlu.
Pada awal tahun 1900, perawatan isolasi berkembang sejak ditemukan penyakit
menular, orangtua dilarang untuk mengujungi anak dan membawa barang-barang atau
mainan dari rumah ke rumah sakit. Keadaan ini menimbulkan efek psikologis dari tindakan
isolasi, dimana anak menjadi stres selama berada di rumah sakit. Akhirnya, orientasi
pelayanan keperawatan anak berubah menjadi rooming in, yaitu orang tua boleh tinggal
bersama anaknya sakit. Dengan demikian, pendidikan kesehatan untuk orang tua menjadi
hal yang penting dilakukan oleh perawat. Kerja sama antara orang tua dan tim kesehatan
dirasakan besar menfaatnya dan orang tua didorong untuk berpartisipasi aktif dalam
perawatan anak.
Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi Anak. Menurut Supartini (2004), cara
memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak adalah sebagai berikut:
1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang
tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang
dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit.
2. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.Untuk itu, pearawat dapat
memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang
didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya.
3. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi
kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain
dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar,
bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian
atas kemampuan anak dan orang tua dan dorong terus untuk meningkatkannya.
4. Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada, teman
sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan berbagi
pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang
tua harus difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan anak
mempunyai kelompok sosial yang baru.

II. Teori Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada
bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
2. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara miskin
3. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang
rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
4. Keluhan Utama :Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit
kepala, anoreksia, lemah
5. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia. Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual,
muntah, nafas berbau, Bullneck. Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat,
stridor inspirator, terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak
kemerahan, sembab, banyak secret, permukaan tertutup oleh pseudomembran.
6. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran
nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita penyakit Difteria
8. Riwayat Tumbuh Kembang
9. Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien dengan difteri biasanya
terganggu pernapasan sehingga sulit menelan.
10. Riwayat kehamilan dan persalinan
a. Riwayat kehamilan
Apakah selama hamil ibu klien selalu memeriksa kehamilanya kebidan.
b. Riwayat persalinan
Kaji dimana klien dilahirkan, berat badan, panjang badan.
11. Riwayat Imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang memadai
12. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolism
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia
13. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan umum
1) B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull’s neck), timbul peradangan
pada laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.
2) B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan
miokarditis dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau
meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
3) B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
4) B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
5) B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB
cenderung menurun, pucat.
6) B6 : Bone
Bedrest.
b. Pemeriksaan fisik
1. Pada diptheria tonsil - faring
· Malaise
· Suhu tubuh < 38,9 º c
· Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
· dinding faring
· Bulneck
2. Diptheriae laring
· Stridor
· Suara parau
· Batuk kering
· Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub
costal dan supraclavicular
3. Diptheriae hidung
· Pilek ringan
· Sekret hidung serosanguinus  mukopurulen
· Lecet pada nares dan bibir atas
· Membran putih pada septum nasi.
c. Pemeriksaan Penunjang:
1. Laboratorium Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di temukan kuman
corinebakterium difteria
2. Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit polimorfonukleus, penurunan
jumlah eritrosit dan kadar albumin.
3. Skin test : Test kulit untuk menentukan status imunitas

d. Penatalaksanaan dan Therapy


Therapi atau penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan konsep dasar:
1. Pengobatan umum
a) Isolasi
b) Pengawasan EKG
2. Pengobatan spesifik
a) ADS
b) Anti biotik
c) Kortikosteroid
d) Pada pasien yang di lakukan trakheostomi ditambahkan
kloramphenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

B. Diagnosis Keperawatan
a. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
b. Resiko infeksi berhubungan dengan organism virulen
c. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
d. Gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
gangguan menelan
e. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis palatumeole
f. Ansietas berhubungan dengan paralisis ekstremitas inferior

C. Intervensi
1. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
Tujuan :
Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang
normal dan tidak ada distres pernafasan.
Hasil yang diharapkan :
1) Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
2) Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi

Intervensi Rasional
Kaji frekuensi atau kedalaman Takypnea, pernafasan dangkal, dan
pernafasan dan gerakan dada gerakan dada tidak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan
gerakan dinding dada dan atau cairan
paru
Auskultasi area paru, satat area Penurunan aliran udara terjadi pada
penurunan atau tidak ada aliran area konsolidasi dengan cairan.
udara dan bunyi nafas Bunyi nafas bronchial dapat juga
adventisius, mis. Crackles, terjadi pada area konsolidasi.
mengi. Crackles, ronchi dan mengi terdengar
pada inspirasi dan atau ekspirasi pada
respon teradap pengupulan cairan ,
secret kental dan spasme jalan nafas
atau obstruksi.
Bantu pasien latian nafas sering. Nafas dalam memudakan ekspansi
Tunjukan atau bantu pasien maksimum paru-paru atau jalan nafas
mempelajari melakukan batuk, lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
misalnya menekan dada dan pembersiaan jalan nafas alami,
batuk efektif sementara posisi membantu silia untuk
duduk tinggi. mempertaankan jalan nafas paten.
Penenkanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi
duduk memungkinan upaya nafas
lebih dalam dan lebih kuat.
Berikan cairan sedikitnay 2500 1. Cairan (khususnya yang
ml perhari(kecuali hangat)memobilisasi dan
kontraindikasi). Tawrakan air mengluarkan secret. Memudahkan
hangat daripada dingin pengenceran dan pembuangan secret.

Kolaborasi
5. Bantu mengawasi efek Alat untuk menurunkan spasme
pengobatan nebulizer dan bronkus dengan mobilisasi secret.
fisioterapi lain, mis. Spirometer Analgesic diberikan untuk
insentif, IPPB, tiupan botol, memperbaiki batuk dengan
perkusi, postural drainage. menurunkan ketidaknyamanan tetapi
Lakukan tindakan diantara harus digunakan secara hati-hati,
waktu makan dan batasi cairan karena dapat menurunkan upaya
bila mungkin. batuk atau menekan pernafasan.
Berikan obat sesuai indikasi
mukolitik, ekspektoran,
bronchodilator, analgesic.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan organism virulen


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
Resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi

INTERVENSI RASIONAL
Observasi TTV klien Demam dapat terjadi karena infeksi
atau dehidrasi
Turunkan faktor resiko nosokomial Faktor ini paling sederhana tetapi
melalui cuci tangan yang tepat pada paling paling penting untuk
semua perawat mencegah infeksi di rumah sakit
Anjurkan keluarga klien untuk Menurunkan transmisi organisme
menyiapkan wadah sekali pakai untuk melalui cairan
sputum, contohnya tissue
Pertahankan hidrasi adekuat dan Membantu memperbaiki tahanan
nutrisi umum untuk penyakit dan
menurunkan resiko infeksi
Berikan antimikrobial sesuai indikasi Satu atau lebih agen dapat
digunakan tergantung pada
identifikasi patogen bila infeksi
terjadi
3. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapakan suhu tubuh klien diharapkan normal.
Kriteria hasil :
o Suhu tubuh normal (36,50C-37,50C.
o Akral hangat.
Intervensi Rasional
Kaji suhu klien. Untuk mengidentifikasi pola demam
klien.
Berikan kompres dengan air Vasodilatasi pembuluh darah akan
hangat pada daerah dahi, axila, melepaskan panas tubuh.
lipatan paha.
Anjurkan minum yang banyak Peningkatan suhu tubuh meningkat
seseuai toleransi klien. sehingga perlu diimbangi dengan
asupan cairan yang banyak.
Kolaborasi dengan dokter dalam Obat antipiretik membantu klien
pemberian terapi ( antipieretik) menurunkan suhu tubuh.

4. Gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan nyeri telan
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24jam kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil
1) Klien Tidak ada mual muntah
2) Penambahan berat badan pasien
3) Peningkatan nafsu makan
Intervensi :
Intervensi Rasional
Identifikasi faktor yang Rasional :Pilihan intervensi tergantung
menimbulkan mual/ muntah. pada penyebab masalah
Berikan wadah tertutup untuk Rasional :Menghilangkan bahaya,
sputum dan buang sesering rasa, bau,dari lingkungan pasien dan
mungkin, bantu kebersihan dapat menurunkan mual
mulut.

Jadwalkan pengobatan Rasional :Menurunkan efek mual yang


pernafasan sedikitnya 1 jam berhubungan dengan pengobatan ini
sebelum makan.

Auskultasi bunyi usus, Rasional :Bunyi usus mungkin


observasi/ palpasi distensi menurun bila proses infeksi berat,
abdomen. distensi abdomen terjadi sebagai
akibat menelan udara dan
menunjukkan pengaruh toksin bakteri
pada saluran gastro intestinal
Berikan makan porsi kecil dan Rasional :Tindakan ini dapat
sering termasuk makanan kering meningkatkan masukan meskipun
atau makanan yang menarik nafsu makan mungkin lambat untuk
untuk pasien. kembali
Evaluasi status nutrisi umum, Rasional :Adanya kondisi kronis dapat
ukur berat badan dasar. menimbulkan malnutrisi, rendahnya
tahanan terhadap infeksi, atau
lambatnya responterhadap terapi

5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis palatumeole


Tujuan :
Pasien mampu berkomunikasi
Kriteria hasil :
Interaksi sosial klien berkembang
Intervensi Rasional
Gunakan sentuhan dan Mempermudah klien memahami apa
gerakan untuk membantu yang sedang dibicarakan
komunikasi
Minta klien untuk berbicara Dapat mempermudah klien dalam
perlahan, dan ucapkan setiap menyampaikan pesan yang ingin
kata dengan jelas; berikan disampaikan
contoh
Ajukan pertanyaan yang dapat Agar pasien dapat dengan mudah
dijawab dengan ‘ya’ atau menjawab pertanyaan
‘tidak’
Berikan klien waktu untuk Memberi kesempatan kepada klien
berespons, jangan memotong untuk berespon tentang hal yang
pembicaraan. sedang dibicarakan
Ucapkan kembali pesan klien Memvalidasi pesan yang
untuk memvalidasinya disampaikan oleh pasien adalah
benar
Beri kesempatan pasien untuk Memberikan pasien untuk
berkomunikasi dan mengungkapkan apa yang pasien
mengungkapkan perasaannya butuhkan.
Amati gerak non verbal pasien Gerak non verbal
mengintepretasikan perasaan pasien.
Sediakan kertas dan bolpoin Pasien bisa berkomunikasi dengan
jika pasien lemah tidak mampu menulis di kertas jika lemah.
berbicara banyak.

6. Ansietas berhubungan dengan paralisis ekstremitas inferior


Tujuan :
Anak berespon secara positif terhadap kenyamanan
Mengurangi resiko trauma pada anak
Kriteria Hasil :
Anak merasa nyaman dan tidak cemas
Intervensi Rasional
Bina hubungan saling percaya Dalam membina hubungan saling
percayapasien merasa aman dan
nyaman saat berinteraksi.
Bantu pasien mengenal ansietas: Mendorong anak untuk
Bantu anak untuk mengidentifikasi mengungkapkan perasaannya
dan menguraikan perasaannya
Gunakan prilaku tenang dan Untuk mengurangi kecemasan anak
menyenangkan
Dorong kehadiran orang tua bila Agar anak merasa terlindungi
mungkin keterlibatan mereka
diperlukan dalam perawatan
Pertahankan sikap yang rileks Agar anak merasa tenang dan tidak
cemas

Ajarkan pasien teknik relaksasi Agar anak merasa tenang dan tidak
untuk meningkatkan kontrol cemas
dan rasa percaya diri

D. Implementasi
Disesuaikan dengan intervensi
E. Evaluasi
a. Perbaikan ventilasi dan oksigenasi dalam rentang normal dan tidak ada distres
pernafasan.
b. Resiko infeksi teratasi
c. Hipertermi teratasi, suhu tubuh dalam rentan normal
d. Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
e. Klien dapat beraktifitas sebagaimana mestinya
f. Ansietas teratasi
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, aziz alimul A. 2008. Pengantar ilmu keperawatan anak. Jilid 2. Jakarta: Salemba
Medika.

Nurarif, Amin Huda dkk. 2013. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnose medis &
NANDA. Jakarta: Medi Action.

Suriadi, dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 2. Jakarta: Sagung seto.

You might also like