Professional Documents
Culture Documents
LP KELOLAAN Difteri
LP KELOLAAN Difteri
LP KELOLAAN Difteri
KASUS KELOLAAN
LAPORAN PENDAHULUAN DIFTERI
DI RUANG AKUT RSUP M. DJAMIL
DINI SURYANI
1721312038
B. Etiologi
Disebabkan oleh corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobic dan dapat memproduksi
eksotoksin. Penyakit ini ditularkan melalui droplet saat batuk ataupun berbicara. Bahkan,
diketahui pula dapat menyebar melalui pencemaran air dan melalui benda atau makanan
yang terkontaminasi. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Karena penyebaran melalui droplet
ini, penyakit dipteri mudah terjadi pada pemukiman yang padat dengan sanitasi yang
buruk, karena manusia merupakan reservoir (istilah untuk menunjukkan organisme
tempat hidup Corynebacterium diphtheria).
D. Manifestasi Klinis
Secara klasik bermanifestasi pada anak berusia 1-9 tahun, tetapi dapat terjadi pada
orang dewasa yang tidak diimunisasi. Terjadi tergantung pada lokasi infeksi, imunitas
penderita, ada/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah. Masa inkubasi
umumnya 2-5 hari. (range 1-10 hari), pada difteri butan adalah 7 hari sesudah infeksi
primer pada kulit.
1. Gejala umum :
a. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
b. Batuk dan pilek yang ringan.
c. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
d. Mual, muntah , sakit kepala.
e. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-abuan kotor
f. Kaku leher
2. Gejala lokal :
a. Difteri Tonsil Dan Faring
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan
demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis /
periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis
disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat
tetapi nadi biasanya cepat. Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang
antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai
dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor,
koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat
disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
b. Difteri Hidung
Kira-kira 2% kasus difteri dan gejalanya paling ringan. Biasanya ditandai
oleh adanya sekret hidung dan tidak khas. Sekret ini biasanya menempel pada
septum nasi, absorpsi toksin dari tempat ini cepat menghilang dengan pemberian
antitoksin, bila tidak diobati maka sekret akan berlangsung berminggu-minggu dan
merupakan sumber utama penularan. Bentuk penyakit ini paling sering ditemukan
pada bayi.
c. Difteri Laring
Kebanyakan merupakan penjalaran dari difteri faring. Tetapi kadang-
kadang berdiri sendiri. Penyakit ini disertai panas dana batuk serta suara serak.
Pada kasus ringan dengan pemberian antitoksin gejala obstruksi akan hilang dan
membran hilang pada hari 6-10. Pada kasus sangat berat penyumbatan diikuti
dengan anoksemia yang ditandai dengan gelisah., sianosis, lemah, koma dan
meninggal. Jackson membagi derajat dispnea laring proresif menjadi 4 stadium :
1. Stadium 1
a) Terdapat cekungan ringan suprasternal
b) Keadaan ini tidak mengganggu dan penderita tampak tenang
2. Stadium 2
a) Cekungan suprasternal menjadi lebih dalam ditambah cekungan di
epigastrium
b) Penderita mulai nampak gelisah
3. Stadium 3
a) Tampak cekungan suprasternal, supraclavicular, infraclavicular, epigastrum
dan intercostal
b) Penderita sangat gelisah dan tampak sukar untuk bernafas
4. Stadium 4
a) Gejala diatas semakin berat
b) Penderita sangat gelisah dan berusaha sekuat tenaga untuk bernafas
c) Tampak seperti ketakutan dan pucat / sianosis
d. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa
tukak di kulit, tepi jelas, dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung
menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan secret purulen dan berbau.
E. Patofisiologi (pathway)
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas
terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain. Selain itu dapat
juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul
lokal kemudian menjalar kefaring, t o n s i l , l a r i n g , d a n s a l u r a n n a f a s a t a s .
K e l e n j a r g e t a h b e n i n g s e k i t a r n y a akan membengkak dan mengandung toksin.
Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika
mengenai jaringan s a r a f p e r i f e r s e h i n g g a t i m b u l p a r a l y s i s t e r u t a m a o t o t -
o t o t p e r n a f a s a n . Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,
yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis.
Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh
t e r j a d i n y a s u m b a t a n j a l a n n a f a s a k i b a t pseudomembran pada laring dan
trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya
bronkopneumonia. Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (Droplet infection),
tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi
oleh kuman difteria. Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada
anak u s i a balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan
b e r g a n t u n g d a r i v irulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak.
Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat
menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik.
F. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah menurut lokasinya sebagai berikut:
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina
Menurut tingkat keparahannya:
a. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan
b. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan laring
sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak
c. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan nefritis.
G. Komplikasi
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus
komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu
dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia
diakibatkan oleh komplikasi. Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri
difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi:
1. Masalah pernapasan.
Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk
membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran
juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada
paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal
napas.
2. Kerusakan jantung.
Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan
inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah,
seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf.
Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan, masalah
saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf
tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari
kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat
pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau
respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala
atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-
anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah
sakit hingga 1,5 bulan dan di isolasi untuk mencegah penularan.
4. Difteri hipertoksik.
Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama
dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan
gagal ginjal.
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin,
waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin. Komplikasi difteri terdiri
dari :
a. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
b. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan nafas
c. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin
H. Pemeriksaan Diagnostik
Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung
dan tenggorok (nasofaringeal swab)
1. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
2. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
3. Enzim CPK, segera saat masuk RS
4. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
5. Tes schick.
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah
cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50
MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak
0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada
bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung
antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi
apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap
protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-
kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.
Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan
intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah
dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi
indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil
positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
(Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi
alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan
indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena
adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
I. Pencegahan
Difteri dapat berujung pada kematian apabila tidak segera diberi pengobatan
secara tepat. Penggunaan antitoksin maupun antibiotik dapat menyembuhkan penyakit
ini. Selain itu, penderita difteri sebaiknya dirawat secara intensif di rumah sakit
dikarenakan penyebaran dari bakteri C. Diphteria yang sangat cepat melalui air liur,
seperti contohnya ketika seorang penderita difteri maupun pembawa bakteri (carrier)
bersin dan udaranya terhirup orang lain. Selain itu penggunaan gelas secara bersamaan
tanpa dicuci terlebih dahulu juga dapat menularkan bakteri tersebut.
Saat ini vaksin difteri telah bisa diperoleh dengan mudah di puskesmas atau
posyandu terdekat. PT. Biofarma sebagai satu-satunya produsen vaksin di Indonesia telah
memproduksi vaksin Difteri yang dikombinasikan dengan vaksin untuk tetanus dan
pertusis, atau lebih dikenal sebagai vaksin DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus).
Pemberian vaksin ini dilakukan dalam lima tahap yaitu ketika anak berusia 2 bulan, 4
bulan, 6 bulan, 15- 18 bulan, dan pada usia 4-6 tahun. Jika setelah vaksinasi anak
mengalami demam tinggi, alergi, atau kejang, sebaiknya untuk selanjutnya diberikan
vaksin DT, bukan DPT (vaksin pertusis tidak digunakan lagi).
Dengan melakukan upaya pencegahan, wabah penyakit difteri dapat
ditanggulangi serta jumlah angka kematian pada anak yang disebabkan oleh penyakit ini
juga akan mengalami penurunan. Untuk itu, kesadaran masyarakat terutama orang tua
mengenai pentingnya pemberian vaksin Difteri kepada anak-anak tentunya sangat
diharapkan sebagai wujud kontribusi dalam memberantas penyakit difteri demi
peningkatan mutu kesehatan masyarakat terutama anak-anak. Berikut adalah upaya
pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit difteri, sebagai berikut:
1. Memberikan kekebalan pada anak-anak dengan cara:
a. Imunisasi DPT/HB untuk anak bayi. Imunisasi di berikan sebanyak 3 kali yaitu
pada saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
b. Imunisasi DT untuk anak usia sekolah dasar (usia kurang dari 7 tahun). Imunisasi
ini di berikan satu kali.
c. Imunisasi dengan vaksin Td dewasa untuk usia 7 tahun ke atas.
2. Hindari kontak dengan penderita langsung difteri.
3. Jaga kebersihan diri.
4. Menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan berolahraga cuci
tangan sebelum makan.
5. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
6. Bila mempunyai keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke Unit Pelayanan
Kesehatan terdekat.
7. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
kuman difteri dua kali berturut-turut negative. Isolasi ketat dilakukan terhadap
penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak
hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada
difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan basil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat
tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian
antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri
14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG
yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya
sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
a. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
Tabel 1.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian
Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), 80.000-120.000 IV
lokasi dimana saja
K. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas
atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya
penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke
luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau
handuk yang selalu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juga tempat untuk
merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Jika anak menderita difteri, ia harus
dirawat di rumah sakit karena seringkali menjadi gawat.
Pada saat memerlukan isolasi dalam kamar pribadi, rasa kesepian dapat timbul
karna hubungan social yang normal terganggu. Situasi ini dapat menjadi ancaman
psikologis, khususnya bagi anak-anak. Sebelum tindakan isolasi dilakukan, klien dan
keluarga harus memahami sifat dari penyakit atau kondisi, tujuan isolasi, dan langkah
untuk melakukan kewaspadaan spesifik. Jika mereka mampu berpartisipasi untuk
mempertahankan pencegahan infeksi, kemungkinan untuk mengurangi penyebaran infeksi
akan meningkat. Klien dan keluarga harus diajarkan untuk mencuci tangan dan
menggunakan pelindung sederhana jika perlu.
Pada awal tahun 1900, perawatan isolasi berkembang sejak ditemukan penyakit
menular, orangtua dilarang untuk mengujungi anak dan membawa barang-barang atau
mainan dari rumah ke rumah sakit. Keadaan ini menimbulkan efek psikologis dari tindakan
isolasi, dimana anak menjadi stres selama berada di rumah sakit. Akhirnya, orientasi
pelayanan keperawatan anak berubah menjadi rooming in, yaitu orang tua boleh tinggal
bersama anaknya sakit. Dengan demikian, pendidikan kesehatan untuk orang tua menjadi
hal yang penting dilakukan oleh perawat. Kerja sama antara orang tua dan tim kesehatan
dirasakan besar menfaatnya dan orang tua didorong untuk berpartisipasi aktif dalam
perawatan anak.
Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi Anak. Menurut Supartini (2004), cara
memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak adalah sebagai berikut:
1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang
tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang
dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit.
2. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.Untuk itu, pearawat dapat
memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang
didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya.
3. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi
kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain
dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar,
bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian
atas kemampuan anak dan orang tua dan dorong terus untuk meningkatkannya.
4. Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada, teman
sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan berbagi
pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang
tua harus difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan anak
mempunyai kelompok sosial yang baru.
B. Diagnosis Keperawatan
a. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
b. Resiko infeksi berhubungan dengan organism virulen
c. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
d. Gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
gangguan menelan
e. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis palatumeole
f. Ansietas berhubungan dengan paralisis ekstremitas inferior
C. Intervensi
1. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
Tujuan :
Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang
normal dan tidak ada distres pernafasan.
Hasil yang diharapkan :
1) Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
2) Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi
Intervensi Rasional
Kaji frekuensi atau kedalaman Takypnea, pernafasan dangkal, dan
pernafasan dan gerakan dada gerakan dada tidak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan
gerakan dinding dada dan atau cairan
paru
Auskultasi area paru, satat area Penurunan aliran udara terjadi pada
penurunan atau tidak ada aliran area konsolidasi dengan cairan.
udara dan bunyi nafas Bunyi nafas bronchial dapat juga
adventisius, mis. Crackles, terjadi pada area konsolidasi.
mengi. Crackles, ronchi dan mengi terdengar
pada inspirasi dan atau ekspirasi pada
respon teradap pengupulan cairan ,
secret kental dan spasme jalan nafas
atau obstruksi.
Bantu pasien latian nafas sering. Nafas dalam memudakan ekspansi
Tunjukan atau bantu pasien maksimum paru-paru atau jalan nafas
mempelajari melakukan batuk, lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
misalnya menekan dada dan pembersiaan jalan nafas alami,
batuk efektif sementara posisi membantu silia untuk
duduk tinggi. mempertaankan jalan nafas paten.
Penenkanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi
duduk memungkinan upaya nafas
lebih dalam dan lebih kuat.
Berikan cairan sedikitnay 2500 1. Cairan (khususnya yang
ml perhari(kecuali hangat)memobilisasi dan
kontraindikasi). Tawrakan air mengluarkan secret. Memudahkan
hangat daripada dingin pengenceran dan pembuangan secret.
Kolaborasi
5. Bantu mengawasi efek Alat untuk menurunkan spasme
pengobatan nebulizer dan bronkus dengan mobilisasi secret.
fisioterapi lain, mis. Spirometer Analgesic diberikan untuk
insentif, IPPB, tiupan botol, memperbaiki batuk dengan
perkusi, postural drainage. menurunkan ketidaknyamanan tetapi
Lakukan tindakan diantara harus digunakan secara hati-hati,
waktu makan dan batasi cairan karena dapat menurunkan upaya
bila mungkin. batuk atau menekan pernafasan.
Berikan obat sesuai indikasi
mukolitik, ekspektoran,
bronchodilator, analgesic.
INTERVENSI RASIONAL
Observasi TTV klien Demam dapat terjadi karena infeksi
atau dehidrasi
Turunkan faktor resiko nosokomial Faktor ini paling sederhana tetapi
melalui cuci tangan yang tepat pada paling paling penting untuk
semua perawat mencegah infeksi di rumah sakit
Anjurkan keluarga klien untuk Menurunkan transmisi organisme
menyiapkan wadah sekali pakai untuk melalui cairan
sputum, contohnya tissue
Pertahankan hidrasi adekuat dan Membantu memperbaiki tahanan
nutrisi umum untuk penyakit dan
menurunkan resiko infeksi
Berikan antimikrobial sesuai indikasi Satu atau lebih agen dapat
digunakan tergantung pada
identifikasi patogen bila infeksi
terjadi
3. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapakan suhu tubuh klien diharapkan normal.
Kriteria hasil :
o Suhu tubuh normal (36,50C-37,50C.
o Akral hangat.
Intervensi Rasional
Kaji suhu klien. Untuk mengidentifikasi pola demam
klien.
Berikan kompres dengan air Vasodilatasi pembuluh darah akan
hangat pada daerah dahi, axila, melepaskan panas tubuh.
lipatan paha.
Anjurkan minum yang banyak Peningkatan suhu tubuh meningkat
seseuai toleransi klien. sehingga perlu diimbangi dengan
asupan cairan yang banyak.
Kolaborasi dengan dokter dalam Obat antipiretik membantu klien
pemberian terapi ( antipieretik) menurunkan suhu tubuh.
4. Gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan nyeri telan
Tujuan :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24jam kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil
1) Klien Tidak ada mual muntah
2) Penambahan berat badan pasien
3) Peningkatan nafsu makan
Intervensi :
Intervensi Rasional
Identifikasi faktor yang Rasional :Pilihan intervensi tergantung
menimbulkan mual/ muntah. pada penyebab masalah
Berikan wadah tertutup untuk Rasional :Menghilangkan bahaya,
sputum dan buang sesering rasa, bau,dari lingkungan pasien dan
mungkin, bantu kebersihan dapat menurunkan mual
mulut.
Ajarkan pasien teknik relaksasi Agar anak merasa tenang dan tidak
untuk meningkatkan kontrol cemas
dan rasa percaya diri
D. Implementasi
Disesuaikan dengan intervensi
E. Evaluasi
a. Perbaikan ventilasi dan oksigenasi dalam rentang normal dan tidak ada distres
pernafasan.
b. Resiko infeksi teratasi
c. Hipertermi teratasi, suhu tubuh dalam rentan normal
d. Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
e. Klien dapat beraktifitas sebagaimana mestinya
f. Ansietas teratasi
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, aziz alimul A. 2008. Pengantar ilmu keperawatan anak. Jilid 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Nurarif, Amin Huda dkk. 2013. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnose medis &
NANDA. Jakarta: Medi Action.
Suriadi, dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 2. Jakarta: Sagung seto.