Muhammad Hatta

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

Muhammad Hatta

Nama asli Muhammad Hatta adalah Muhammad Athar, berasal dari bahasa Arab yang artinya harum.
Dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1902 di desa Aur Tajungkang, Bukittinggi.

Ayahnya bernama Mohammad Djamil dan ibunya bernama Saleha. Hatta anak kedua, kakaknya
bernama Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Hatta berasal dari keluarga yang terpandang dan
berpengaruh. Ayahnya merupakan keturunan seorang ulama tarekat di Batuhampar, Payakumbuh,
Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.

Semasa kecil, Hatta belajar agama dengan Syekh Mohammad Djamil Djambek. Seorang ulama yang
lahir pada tahun 1862 yang belajar ilmu agama di Mekah. Di surau itu, Hatta berhasil
mengkhatamkan al Quran. Selain belajar agama, Hatta juga belajar di sekolah Melayu Paripat dan les
bahasa Belanda pada Tuan Ledeboer di waktu petang.

Hatta menghabiskan masa kecilnya dengan bahagia dan tidak pernah kekurangan kasih sayang sedikit
pun, meski ayahnya telah meninggal sejak ia berusia delapan bulan. Bahkan orang-orang tua di
Bukittinggi mengangap Hatta sebagai anak cie pamaenan mato yang artinya, anak yang pada dirinya
terpendam kebaikan dan perangainya mengundang kasih sayang.

Pendidikan

Hatta menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah khusus
untuk anak-anak Belanda di Bukittinggi. Pada tahun 1913, Hatta melanjutkan sekolahnya di Meer
Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Padang. Di sini juga, Hatta belajar agama kepada Haji
Abdullah Ahmad.

Setelah tamat sekolah di Padang, pertengahan Juni 1919 Hatta melanjutkan sekolahnya di Hogere
Burger School (HBS) di Jakarta. Di sana ia diasuh oleh pamannya yang bernama Mak Etek Ayub,
seorang pedagang yang sukses.

Selanjutnya, Hatta ditawari beasiswa pada tahun 1921 untuk belajar di Rotterdam School of
Commerce, Belanda. Sehingga, pada usia 19 tahun berangkatlah Hatta untuk merantau ke Eropa.
Meski sudah terbiasa merantau jauh, sesampai di sana Hatta merasa kikuk dan bingung.

“Ketika sampai, kulihat banyak penumpang yang bingung, banyak yang gugup. Apakah ini
pembawaan kaum Indo Belanda, bimbang kalau menghadapi suasana baru,” kata Hatta. (hlm. 18)

Pergerakan Hatta

Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara Hindia Poetra yang satu tahun kemudian berganti nama
menjadi Indische Vereeniging dan akhirnya berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Selain sebagai sebuah pergerakan, PI juga menerbitkan berbagai publikasi. Hatta juga membuat
sebuah karangan dalam bahasa Melayu, yaitu Indonesia di Tengah-tengah Revoloesi Asia.

Hatta terlambat menyelesaikan sekolahnya. Karena pada tahun 1926 Hatta menjadi pimpinan PI dan
terpilih untuk kedua kalinya lagi hingga tahun 1930. Namun, semua aktivitas Hatta di Belanda
berbuah pahit. Pada 25 September 1927 ia bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan
Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang
yang dikaitkan dengan Semaoen. Hatta divonis hukuman tiga tahun penjara. Setelah 5,5 bulan,
mereka berempat dibebaskan karena tuduhan itu tidak terbukti.
Pada Mei 1933, Hatta dan Soetan Sjahrir membentuk PNI (Pendidikan Nasional Indonesia). Gerakan
ini lebih mementingkan kaderisasi dan mendidik kaum muda. Sebelumnya sudah ada PNI (partai
Nasional Indonesia) bentukan Soekarno. Tapi tidak bertahan lama karena gerakan Soekarno lebih
mementingkan massa melalui rapat-rapat umum dan propaganda kemerdekaan.

Masa Pembuangan

Sejak PNI dibentuk oleh Hatta dan Soetan Sjahrir, Belanda merasa khawatir karena begitu kuatnya
pergerakan ini mengkader para aktivis. Pemerintah kolonial akhirnya membungkam mereka. Pada
tahun 1934 Hatta dan Soetan Sjahrir ditangkap dan dipenjara di Glodok, Jakarta.

Kemudian, mereka berdua dipindahkan ke Boven Digul di Papua. Daerah itu adalah tempat
pembuangan paling menyeramkan. Berada sekitar 500 km dari muara sungai Digul di Laut Arafuru.
Siapa pun yang diasingkan di sana pasti sulit melarikan diri karena sungai itu dipenuhi oleh buaya-
buaya yang ganas. Hatta, bahkan menyebut Digul sebagai “neraka dunia”.

Hatta membuat sebuah renungan setelah sampai di sana. Ia menyadari bahwa pembuangan yang
dialaminya adalah konsekuensi serius dari aktivitas politiknya.

“Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah
dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku
gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang
tersimpan dalam dadaku.” Tulis Hatta pada 20 Januari 1934. (Hlm. 29)

Tidak selang berapa lama, Hatta dan Sjahrir dipindahkan dari Boven Digul ke Banda Neira pada tahun
1936. Banda Neira disebut juga sebagai “Klein Europeesch Stad” artinya Kota Eropa Kecil. Karena
Banda Neira adalah sebuah kota tenang yang dibangun oleh Portugis pada tahun 1500-an.

Akhirnya, pada tanggal 31 Januari 1942 pemerintah kolonial Belanda memulangkan Hatta dan Sjahrir
ke Jakarta dengan sebuah pesawat kecil jenis Catalina milik Dinas Penerbangan Militer.

Pada tahun 1948, pasca Indonesia merdeka, Belanda menerjunkan puluhan ribu tentara ke kota-kota
penting di Indonesia. Saat itu Indonesia hancur berantakan. Hatta dan sejumlah menteri dibuang ke
Bangka selama enam bulan.

Hatta dan Indonesia Merdeka

Setidaknya kita mengenal ada tiga tokoh perjuangan kemerdekaan, yaitu Soekarno, Mohammad
Hatta, dan Soetan Sjahrir. Mereka sama-sama tumbuh di masa pergerakan anti-kolonialisme yang
dinamis dan penuh gejolak.

Di masa kependudukan Jepang, Hatta menghadapi tabiat mereka yang sangat berbeda dengan
pemerintah kolonial Belanda. Meskipun begitu, Hatta adalah orang pertama yang memberanikan diri
untuk berdiskusi dengan Mayjen Harada agar tidak menjadikan Indonesia sebagai koloni Jepang tapi
justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia.

Jepang tidak memenuhi permintaan Hatta, pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA), sebuah organisasi propaganda untuk mengendalikan rakyat Indonesia agar mau
membantu Jepang dalam perang Pasifik.

Jepang mengalami kekalahan, ketika bom atom Sekutu menghancurkan kota-kota Hiroshima dan
Nagasaki di Jepang pada tanggal 7 dan 9 Agustus 1945.
Atas waktu yang sudah banyak dilewati, akhirnya di dalam sebuah pertemuan pada tanggal 12
Agustus 1945 Jenderal Terauchi menyerahkan soal kemerdekaan kepada PPKI. Mengenai hal ini Hatta
berkata,

“dalam hati kecilku aku menganggap kemerdekaan Indonesia itu sebagai hadiah jasaku sekian tahun
lamanya untuk kemerdekaan Indonesia.” (Hlm. 54)

Bagi Hatta, tidak ada hadiah yang paling istimewa untuk membayar setiap perjuangannya selain
sebuah kemerdekaan.

Di tengah situasi ini akhirnya Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945 yang sebelumnya telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Soekarno dan Hatta
diculik oleh para pemuda dan dibawa ke rumah Djiaw Koe Siong salah seorang pimpinan PETA.

Hatta juga memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag,
Belanda, tahun 1949. Dari konferensi inilah akhirnya pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan
dan kedaulatan Indonesia.

Kisah Dwitunggal

Soekarno dan Hatta adalah dua sosok yang paling berpengaruh. Sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia. Namun, mereka berdua memiliki sifat, prinsip, dan haluan politik yang berbeda. Hatta
bukanlah sosok flamboyan dan menggebu-gebu seperti Soekarno. Ia sosok yang tenang, disiplin, dan
lembut. Tapi, tulisan-tulisannya tetap kritis dan tajam.

Beberapa perbedaan diantara mereka kerap muncul. Puncaknya, saat Hatta mengundurkan diri dari
jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956. Kemunduran ini disebabkan karena ia tidak setuju
dengan Demokrasi Terpimpin yang dirancang dan dipraktikkan oleh Soekarno.

Setelah tidak menjabat sebagai Wakil Presiden RI, Hatta pun tetap mengkritik pemerintahan
Soekarno melalui tulisan-tulisannya di buku, media massa, dan surat pribadi yang ditujukan kepada
Soekarno.

Atas banyak perselisihan yang terjadi, Hatta dan Soekarno tetaplah Dwitunggal yang harmonis dan
bersahabat. Mereka telah tampak dekat jauh sebelum Indonesia merdeka. Saat teks proklamasi
kemerdekaan hendak dibaca, sedangkan Hatta belum kunjung datang. Soekarno memilih untuk
menunggu Hatta.

“Hatta belum datang. Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta.” Ujar Soekarno. (Hlm.
80)

Hatta; Pancasialis, Nasionalis, dan Agamis

Hatta adalah manusia Pancasilais baik secara personal maupun komunal. Karena ia selalu
menerapkan Pancasila di seluruh sendi kehidupannya, berbangsa, dan bernegara.

Selain itu, ia adalah sosok yang sangat nasionalis. Baginya, Tanah Air harus dikembangkan tanpa
memandang pangkal pada asal-usul. Ia memaknai kebangsaan Indonesia sebagai proyek masa
depan, bukan proyek kolonialisme. Di sanalah batas-batas identitas “Sumatera”, “Jawa”, atau
“Sulawesi”, “Islam”, “Hindu” atau “Kristen”, harus dihilangkan.

Hatta juga orang yang taat menjalankan syariat Islam. Ia memiliki kepribadian yang jujur, menghargai
waktu, dan memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Buktinya, ia sangat menenggang
perasaan warga sebangsanya yang tidak menganut agama Islam. Sila pertama, tentu dapat
menginterpretasikan seperti apa sikap dan keyakinan Hatta.

Budayawan Nurcholis Madjid mengatakan bahwa Hatta adalah sosok yang terlihat seperti sufi.
Semua ini tidak terlepas dari keluarganya yang seorang Mursyid.

Buku sebagai Istri Pertama Hatta

Dalam kesehariannya, Hatta memiliki waktu khusus untuk belajar dan membaca buku. Dalam sehari,
ia bisa menghabiskan waktu enam sampai delapan jam untuk membaca. Terutama saat masih di
pembuangan dahulu. Mak Etek Ayub, adalah sosok yang pertama kali mengenalkan Hatta pada buku.
Sejak saat itu, mulai tumbuh kecintaan Hatta pada buku. Muncul sebuah anekdot yang menyebutkan
bahwa istri utama Hatta adalah buku, istri keduanya adalah buku, dan istri ketiganya adalah Rachmi.

Buku ditempatkan Hatta sebagai tempat yang paling sakral. Ia sangat marah jika ada orang yang
meminjam buku, kemudian mengembalikannya dalam keadaan kotor, dicoret-coret, atau ada
halaman yang terlipat.

Ketika wafat pada tahun 1980, Hatta meninggalkan 30.000 buku di perpustakaan pribadinya. Sejak
saat itu buku-buku koleksinya disimpan dengan rapi dan dirawat dengan baik di rumah keluarga
Hattadi, Jakarta Pusat.

Tidak Menikah Sebelum Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka, di saat yang sama, kehidupan pribadi Hatta mulai berubah. Ia memenuhi
sumpahnya bahwa ia akan menikah setelah Indonesia merdeka. Pada November 1945 ia melamar
Rachmi Rachim, seorang gadis yang dikenalkan oleh Soekarno kepada Hatta. Ia memberi mas kawin
berupa buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya sendiri. Menurut Hatta, buku jauh lebih berharga
dari harta benda apa pun.

Bagi Hatta, menjalankan peran rumah tangga harus didasari oleh sikap tolong-menolong, saling
percaya, punya integritas, dan komitmen masing-masing anggota keluarga. Karena semua prinsip ini
adalah sebuah kekuatan untuk masing-masing orang dalam keluarga yang berbeda-beda agar tidak
rapuh.

Hidup Sederhana ala Hatta

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden, kehidupan Hatta serba pas-pasan. Ia tidak
mampu membelikan mesin jahit untuk Rachmi. Ia pun khawatir tidak bisa membayar tagihan listrik
dan air karena semua harga naik akibat inflasi yang tinggi di Indonesia. Bahkan ia pernah menyuruh
asisten pribadinya untuk mengembalikan sisa lebih uang negara yang dipakai untuk biaya
pengobatannya.

Hatta wafat pada 14 Maret 1980. Satu bulan sebelumnya, ia menuliskan surat wasiat yang berbunyi,

“saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan
rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.” (Hlm. 166)

You might also like