A. Siapa ahl al-hall wa al- ‘aqd Personal yang disebut dengan ahl al-hall wa al- ‘aqd adalah sekumpulan orang yang memiliki otoritas yuridistif dalam menentukan pemilihan mengenai calon pemimpin umat Islam agar menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Terminologi ini identik dan khas dari wacana diskursus Islam yang mewarnai praktik jalannya kekuasaan umat secara panjang. Melalui perkumpulan tersebut dapat dimulai sebuah proses dalam kandididasi calon pemimpin serta sebagai ajang pencarian penentuan siapa sosok yang diyakini mampu menjalankan tugas keumatan secara adil dan bertanggungjawab sesuai prinsip syariah dan moral. Definisi dari Al-Mawardi menyatakan bahwa ahl al-hall wa al- ‘aqd merupakan badan otonom yang terdiri dari para fuqaha (ahli fikih islam) dan ulama yang wara dan cendekiawan yang cerdas dan berpengaruh ditengah-tengah masyarakat dimana tugas dan fungsi utamanya menyelenggarakan mekanisme seleksi dan proses pengujian calon pemimpin yang hendak berkuasa agar mampu tampil dan sah menjadi penguasa tunggal yang mengurusi kehidupan umat Islam. Dalam karya monumentalnya berjudul “Al-Ahkamussulthoniyyah” disebutkan pula bahwa keberadaaan kelompok ahl al-hall wa al- ‘aqd adalah gambaran representasi dari umat/masyarakat luas yang keberadaannya mudah dijumpai dan mudah dimintai pendapat/keterangan mengenai tampuk kekuasaan yang hendak terus dijalankan. Maka daripada itu, individu yang memiliki pengaruh terlepas dari status sosial dalam kehidupan bermasyarakat layak dimasukkan dalam kategori kelompok ahl al-hall wa al- ‘aqd dikarenakan mereka telah memilih menjadi penyambung lidah umat yang jumlahnya tak terbatas sekaligus membantu meringankan beban pemilihan puncak kekuasaan dari umat kepada mereka (Rais, 2001:167) Pokok pangkalnya dapat kita sebut siapa pun orang yang memiliki kekuatan kharismatik maupun otoritatif dalam kehidupan sosial umat Islam hingga awal abad keempat adalah mereka yang secara legitimasi mendapat pengakuan intrinsik dan inheren dari dalam lokal masyarakat atau internal sistem. Dengan demikian, secara natural mereka memperoleh hak dan kewajiban khusus yang melekat pada dirinya untuk dapat membereskan dan membantu persoalan suksesi kekuasaan untuk mengatur kehidupan umat Islam. Konsep demikian, bisa kita sebut sebagai bibit awal dari konsep konsensus demokrasi yang populer baru dikembangkan ahli politik Barat pada abad ke-VII. Ini menggambarkan kepada kita betapa Islam telah mengadopsi model canggih dalam persoalan sosial-politiknya karena mampu merumuskan tantangan kontemporer dengan berlandaskan prinsip syariah yang transcendental mampu diimplementasikan dalam kehidupan material dan tidak saling bertentangan (Khaliq, 2005:78) B. Istilah lain dari ahl al-hall wa al- ‘aqd Derivasi lain untuk menyebut kategori tersebut adalah ahlul-ikhtiyari yang secara terjemahan berarti ahli usaha. Makna harfiah yang terkandung dalam kosakata tersebut adalah himpunan orang yang berkumpul menjadi satu dengan tujuan menunaikan tugas luhur dan menjalankan misi mulia berkaitan dengan urusan keumatan dalam hal ini mengenai suksesi kekuasaan umat. Ibnu Taimiyah (130) menyatakan bahwa “mereka menjadi tulang punggung dan rusuk umat dalam menuntun dan membimbing pilihan pemimpin terbaik” tugas ini berkelindan dengan konseptual yang dipikirkan oleh Mawardi dalam karyanya sehingga secara subtansif keduanya merupakan bagian yang sama dan utuh dalam penyusunan seleksi calon pemimpin umat Islam. Keberagaman penyebutan mengenai konsep fundamental tersebut adalah pijakan untuk usaha kita memahami bahwa keragaman umat Islam yang majemuk dalam merespon perubahan dan tantangan kehidupan zaman yang semakin kompleks dan multi-dimensi. Walau secara normatif tidak mengalami revisi yang drastis dari butir konsep semula yang diajukan Al- Mawardi, realitas kehidupan yang menuntut adanya pencocokan ulang demi meninjau relevansi penyebutan istilah yang sah dan bermakna menjadi tugas umat lewat para ahlinya dalam melakukan tugas intelektual tersebut. Penting diingat bahwa keragaman penyebutan tersebut tidak semata-mata mengaburkan esensi ide utama menyangkut penyelenggaraan dan pemilihan kekuasaan umat Islam sehingga variasi kosakata tersebut seyogyanya tidak menjadikan peneliti pusing dan jenuh memahaminya dalam gambaran besar. Patut pula untuk dicatat bahwa kata ahl al-hall wa al- ‘aqd ini tidak tercantum secara eksplisit dalam Al-Quran maupun hadist sehingga inspirasi pengambil-alihan substansi makna yang berasal dari teks agama sepenuhnya berasal dari proses istimbath (penalaran) yang hanya dikerjakan oleh para ahli hukum Islam terutama para Ulama dalam usaha mereka melakukan ijtihad secara kongruen dengan prinsip-prinsip agama. Kerja kreatif tersebut tidak bisa diserahkan langsung kepada umat karena dikhawatirkan terjadi distorsi pemahaman dikarenakan keterbatasan mereka memahami syariat baik secara tekstual maupun kontekstual.
C. Teks Agama tentang ulul al-amr
Terdapat setidaknya beberapa ayat Al-Quran dan hadist nabi yang menyokong pemahaman kita mengenai topik ahl al-hall wa al-‘ aqd dimana sebutan ulil –‘amr menjadi ayat yang dicari demi memperkuat justifikasi atas pemahaman topik suksesi kekuasaan lewat bingkai kacamata syariat Islam. Yakni QS. An-Nisa ayat 59 dan QS. An-Nisa ayat 83, َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا َأِط يُعو۟ا ٱَهَّلل َو َأِط يُعو۟ا ٱلَّرُس وَل َو ُأ۟و ِلى ٱَأْلْمِر ِم نُك ْم ۖ َفِإن َتَٰن َز ْعُتْم ِفى َش ْى ٍء َفُر ُّدوُه ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱل َٰذ َّرُس وِل ِإن ُكنُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱْلَيْو ِم ٱْل َء اِخ ِر ۚ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو يًل Referensi : https://tafsirweb.com/1591-surat-an-nisa-ayat-59.html Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya Pada ayat ini diterangkan bahwa bagi seorang hamba diwajibkan pertama-tama dan paling utama untuk taat serta patuh pada perintah Allah SWT dan kedua barulah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Setelah patuh kepada keduanya barulah seorang hamba yang beriman wajib patuh kepada ulil-amri atau para pemegang urusan (kekuasaan) yang eksis ditengah-tengah kehidupan mereka. Namun, dalam koridor kewajiban mentaati perintah ulil- amri mesti sinkron dengan dalil Al-Quran dan hadist nabi, bilamana terdapat kontradiksi atau pertentangan yang terang benderang maka seorang hamba tersebut baru boleh berpaling dan berlepas diri dari perintah ulil amri tersebut. َو ِإَذ ا َج ٓاَء ُهْم َأْم ٌر ِّم َن ٱَأْلْمِن َأِو ٱْلَخ ْو ِف َأَذ اُعو۟ا ِبِهۦۖ َو َلْو َر ُّدوُه ِإَلى ٱلَّرُس وِل َو ِإَلٰٓى ُأ۟و ِلى ٱَأْلْمِر ِم ْنُهْم َلَعِلَم ُه ٱَّلِذ يَن َيْس َتۢن ِبُطوَن ۥُه ِم ْنُهْم ۗ َو َلْو اَل َفْض ُل ٱِهَّلل َع َلْيُك ْم َو َر ْح َم ُت ۥُه ٱَلَّتَبْع ُتُم ٱلَّش ْيَٰط َن ِإاَّل َقِلياًل Referensi : https://tafsirweb.com/1615-surat-an-nisa-ayat-83.html Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). Berdasarkan ayat diatas dapat kita cermati kandungan dasar yang menjadi pokok bahasan kita menyangkut eksistensi ulil amri adalah sebagai wadah pengejawantahan yang resmi dan terpercaya sehingga segala kabar berita yang menyangkut kehidupan umat Islam dapat diolah dan disampaikan secara jujur dan bertanggungjawab melalui Rasulullah Muhammad SAW atau para pihak-pihak yang ditunjuk untuk menyelenggarakan kegiatan/aktivitas tersebut. Bila merujuk kepada ayat tersebut dapat kita saksikan betapa pentingnya keberadaan lembaga atau badan yang mengurusi kebutuhan strategis umat yang berdampak fatal bila tidak terlaksana secara baik, oleh karena itu kehadiran ulil amri sebagai aktor rekayasa dalam pembuatan keputusan dan kebijakan mengenai kehidupan umat sudah semestinya dikedepankan untuk menyasar tujuan kebaikan paripurna. Dengan Rasulullah pun kata ulil amri disandingkan menandakan betapa mulianya harga pemimpin yang sesuai idealisasi yakni; shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh. D. Tugas ahl al-hall wa al- ‘aqd Anggota badan ini memiliki tugas untuk melakukan penilaian dan menyortir calon-calon pemimpin umat yang kelak bertindak sebagai “khalifah” dan mengatur segala dimensi kehidupan umat Islam secara utuh. Tugas ini dapat dikatakan mudah di satu sisi sekaligus sulit pada sisi lainnya. Mengingat nasib masa depan umat Islam berada pada kerja substanstif dari badan yang dikenal ahl al-hall wa al- ‘aqd inilah seluruh keberlangsungan hidup umat ditentukan lewatnya. Maka dari itu kerumitan dan kemudahan yang mengelilingi tugasnya adalah niscaya karena secara alamiah mereka adalah sosok terpilih yang mampu mengemban tugas mulia tersebut demi mewujudkan misi menciptakan “khalifah” menuju negara baldatun thoyyibatun warabbun ghoffur E. Syarat Menjadi ahl al-hall wa al- ‘aqd Secara perincian terdapat tiga syarat khusus yang diperlukan untuk menjadi ahl al-hall wa al- ‘aqdi Pertama, memiliki rasa keadilan yang meliputi seluruh persyaratannya. Kedua, memiliki pengetahuan yang dengannya mampu sampai pada mengetahui yang berhak untuk menduduki imamah berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah diakuinya. Ketiga, memiliki hikmah atau pendapat yang menjadikannya mampu memilih orang yang paling layak untuk menduduki imamah, dan dalam mengurusi berbagai kepentingan dia terkenal lebih baik dan lebih bijak. Selain syarat khusus tersebut terdapat pula syarat umum yang wajib diperlukan untuk menjadi ahl al-hall wa al-‘aqdi yaitu Pertama, beragama Islam karena dalam konseptual tersebut berangkat dari gagasan ajaran agama Islam sehingga membutuhkan pelaksana yang juga memiliki keyakinan dan kepercayaan yang sama dengan doktrin semula. Syarat beragama Islam ini adalah paling dasar yang mesti dimiliki oleh seseorang bilamana berkehendak menjadi bagian ahl al-hall wa al-‘ aqdi karena jika kualifikasi awal saja tidak terpenuhi maka syarat umum berikutnya akan batal dan gugur dengan sendirinya sehingga kesaksiannya menjadi bagian dari kelompok tidak sah Kedua, berakal sehat/waras dibuktikan dengan kapasitas kognisi dan kemampuan intelektualnya yang cerdas selagi mumpuni sehingga bisa berpikir secara jernih dan menghasilkan pemikiran cemerlang dan solutif dari tuntutan tugas menyeleksi pemimpin dalam badan ahl al-hall wa al-‘ aqdi. Poin ini krusial karena tanpa akal sehat yang waras seseorang tidak mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan norma ideal yang diharapkan. Terlebih urusan penyelenggaraan kehidupan umat yang membutuhkan tenaga pikiran intelektual karena harus memecahkan persoalan rumit menyangkut “siapa pemimpin umat yang tepat untuk menjalankan kekuasaan” dan perlu dipikir secara matang segala kemungkinan dan pertimbangan risiko yang hadir dari implikasi keputusannya. Proses itu semua mustahil ditempuh bila hanya mengandalkan warga biasa yang secara kapasitas kognitif dan intelektual tidak memadai, karena mereka dituntut untuk bersikap dinamis sekaligus mengawal koridor prinsip syariah agar tidak bertabrakan dan terpecah-belah antar satu sama lain. Kerumitan yang dihasilkan dari proses seleksi pemimpin umat ini menjadikan sosok yang tergabung dalam ahl al-hall wa al-‘ aqdi tersebut mestilah memiliki kecerdasan diatas rata-rata karena dia sedang menangani perkara besar yang tidak bisa diselesaikan secara sembarang. Ketiga, berjenis kelamin laki-laki dimana Islam mengatur bahwa laki-laki secara kodrat alamiah lebih kuat dibandingkan Perempuan. Tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan golongan hawa tetapi ketentuan tersebut sepanjang diorama sejarah politik Islam digulirkan bukan tanpa sebab, karena catatan sejarah kita menulis perkara politik umat atau kenegaraaan yang berlangsung di wilayah penduduk beragama Islam lebih membutuhkan sosok laki-laki untuk tampil menghiasi kehidupan publik karena kualitas karakter alamiah mereka sangat diperlukan. Selain kapasitas membuat keputusan rasional, golongan laki-laku juga memiliki aspek keberanian yang secara jujur mesti kita akui lebih unggul dibanding kelompok Perempuan. Keberanian tersebut semakin diperlukan mengingat kondisi sosial-politik umat Islam generasi pertama masih harus berjuang melalui “pedang” agar dapat eksis ditengah perlawanan kafir Quraisy dan sekutunya. Maka dari itu, butir pemilihan menyebut berjemis kelamin laki-laki adalah syarat yang masuk akal dan lazim diterima secara luas pada masa itu. Keempat, berstatus merdeka yakni bukan merupakan budak dari seorang majikan. Konsep ini masih sesuai dengan konteks zaman perumusan kategorisasi personel ahl al-hall wa al- ‘aqdi yang kala itu praktik perbudakan masih lumrah terjadi dan menjadi norma kehidupan sosial sehari-hari. Golongan ini secara status lemah karena mereka berhasil ditaklukkan semisalnya lewat peperangan dan mereka kalah sehingga secara derajat kemanusiaan mengalami penurunan status dari “merdeka” yakni manusia utuh menjadi “budak” atau tak ubahnya barang milik seseorang yang biasanya dimiliki oleh tuannya berupa majikan. Syarat ini diberlakukan demi menjaga keharmonisan struktur sosial yang masih kuat berpengaruh di zaman itu, agar tidak menimbulkan gejolak yang sia-sia karena menjungkirbalikan “hal-hal normal” yang sedang berlangsung saat itu. F. Mengapa Perlu ahl al-hall wa al- ‘aqd Secara detonatif keberadaan ahl al-hall wa al-‘ aqd menjadi perlu dalam khazanah diskusi politik Islam karena membingkai format khas ajaran Islam dalam restrukturalisasi kekuasaan yang secara bahasa dibilang “kehidupan duniawi material” tetapi pada prosesnya mampu memasukkan unsur nilai keilahiannya lewat mekanisme proses ahl al-hall wa al- ‘aqdi. Lewat infiltrasi unsur transcendental dalam formula kehidupan duniawi tentu menjadi nilai plus dan surplus ide sendiri dalam khazanah diskusi politik Islam yang pada satu sisi bisa menghadirkan diferensiasi yang positif atau tidak. Hal paling jelas adalah mampu menghadirkan alternatif solusi dari seperangkat gagasa mengenai suksesi kekuasaan yang tidak melulu berpatokan pada ide barat tetapi juga lewat gagasan orisinil yang dibawakan oleh ajaran Islam G. Pemilihan ahl al-hall wa al- ‘aqd Mekanisme pemilihan keanggotaan ahl al-hall wa al- ‘aqd disesuaikan dengan prosedur untuk pemilihan calon pemimpin untuk khalifah atau imamah. Melalui prosedur dan tata cara yang sama tersebut diharapkan dapat muncul sebuah seleksi yang langsung, terbuka, jujur, adil sekaligus rahasia sehingga menghadirkan proses yang bertanggungjawab dan mampu mengisi aspek saling keterbukaan antar satu sama lain. Meski tidak terdapat regulasi baku yang mengatur mengenai pemilihan badan ini, secara tata nilai dan prinsip moral yang terbalut dalam ajaran Islam diyakini telah cukup kokoh dalam mengatur agar konsepsi ideal ini dapat terwujud dalam tataran praktik dan implementasi yang kongruen. Diharapkan secara normatif badan ini juga mampu menghasilkan sebuah rangkaian kebaikan yang maksimal karena mereka bertindak sebagai wakil Tuhan dalam menilai dan menetapkan siapa sesungguhnya “khalifah” yang kepadanya diserahkan tugas-tugas keumatan (Khalidi, 2002:49) Daftar Pustaka Rais, Dhiauddin, 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani Khaliq, Fariq Abdul. 2005. Fiqih Politik Islam. Jakarta: Penerbit AMZAH Khalidi, Mahmud. 2002. Bai’at Dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam. Bangil: Penerbit Al- Izzah, penerjemah: Muhammad Bajuri