Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

Nama: Satrio Adjie Wibowo

NIM: 11201120000030
Kelas: 7A Ilmu Politik

Ahl al-Hall Wa al-Aqd


A. Siapa ahl al-hall wa al- ‘aqd
Personal yang disebut dengan ahl al-hall wa al- ‘aqd adalah sekumpulan orang yang
memiliki otoritas yuridistif dalam menentukan pemilihan mengenai calon pemimpin umat Islam
agar menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
Terminologi ini identik dan khas dari wacana diskursus Islam yang mewarnai praktik jalannya
kekuasaan umat secara panjang. Melalui perkumpulan tersebut dapat dimulai sebuah proses
dalam kandididasi calon pemimpin serta sebagai ajang pencarian penentuan siapa sosok yang
diyakini mampu menjalankan tugas keumatan secara adil dan bertanggungjawab sesuai prinsip
syariah dan moral.
Definisi dari Al-Mawardi menyatakan bahwa ahl al-hall wa al- ‘aqd merupakan badan
otonom yang terdiri dari para fuqaha (ahli fikih islam) dan ulama yang wara dan cendekiawan
yang cerdas dan berpengaruh ditengah-tengah masyarakat dimana tugas dan fungsi utamanya
menyelenggarakan mekanisme seleksi dan proses pengujian calon pemimpin yang hendak
berkuasa agar mampu tampil dan sah menjadi penguasa tunggal yang mengurusi kehidupan umat
Islam. Dalam karya monumentalnya berjudul “Al-Ahkamussulthoniyyah” disebutkan pula
bahwa keberadaaan kelompok ahl al-hall wa al- ‘aqd adalah gambaran representasi dari
umat/masyarakat luas yang keberadaannya mudah dijumpai dan mudah dimintai
pendapat/keterangan mengenai tampuk kekuasaan yang hendak terus dijalankan. Maka daripada
itu, individu yang memiliki pengaruh terlepas dari status sosial dalam kehidupan bermasyarakat
layak dimasukkan dalam kategori kelompok ahl al-hall wa al- ‘aqd dikarenakan mereka telah
memilih menjadi penyambung lidah umat yang jumlahnya tak terbatas sekaligus membantu
meringankan beban pemilihan puncak kekuasaan dari umat kepada mereka (Rais, 2001:167)
Pokok pangkalnya dapat kita sebut siapa pun orang yang memiliki kekuatan kharismatik
maupun otoritatif dalam kehidupan sosial umat Islam hingga awal abad keempat adalah mereka
yang secara legitimasi mendapat pengakuan intrinsik dan inheren dari dalam lokal masyarakat
atau internal sistem. Dengan demikian, secara natural mereka memperoleh hak dan kewajiban
khusus yang melekat pada dirinya untuk dapat membereskan dan membantu persoalan suksesi
kekuasaan untuk mengatur kehidupan umat Islam. Konsep demikian, bisa kita sebut sebagai bibit
awal dari konsep konsensus demokrasi yang populer baru dikembangkan ahli politik Barat pada
abad ke-VII. Ini menggambarkan kepada kita betapa Islam telah mengadopsi model canggih
dalam persoalan sosial-politiknya karena mampu merumuskan tantangan kontemporer dengan
berlandaskan prinsip syariah yang transcendental mampu diimplementasikan dalam kehidupan
material dan tidak saling bertentangan (Khaliq, 2005:78)
B. Istilah lain dari ahl al-hall wa al- ‘aqd
Derivasi lain untuk menyebut kategori tersebut adalah ahlul-ikhtiyari yang secara
terjemahan berarti ahli usaha. Makna harfiah yang terkandung dalam kosakata tersebut adalah
himpunan orang yang berkumpul menjadi satu dengan tujuan menunaikan tugas luhur dan
menjalankan misi mulia berkaitan dengan urusan keumatan dalam hal ini mengenai suksesi
kekuasaan umat. Ibnu Taimiyah (130) menyatakan bahwa “mereka menjadi tulang punggung dan
rusuk umat dalam menuntun dan membimbing pilihan pemimpin terbaik” tugas ini berkelindan
dengan konseptual yang dipikirkan oleh Mawardi dalam karyanya sehingga secara subtansif
keduanya merupakan bagian yang sama dan utuh dalam penyusunan seleksi calon pemimpin
umat Islam.
Keberagaman penyebutan mengenai konsep fundamental tersebut adalah pijakan untuk
usaha kita memahami bahwa keragaman umat Islam yang majemuk dalam merespon perubahan
dan tantangan kehidupan zaman yang semakin kompleks dan multi-dimensi. Walau secara
normatif tidak mengalami revisi yang drastis dari butir konsep semula yang diajukan Al-
Mawardi, realitas kehidupan yang menuntut adanya pencocokan ulang demi meninjau relevansi
penyebutan istilah yang sah dan bermakna menjadi tugas umat lewat para ahlinya dalam
melakukan tugas intelektual tersebut. Penting diingat bahwa keragaman penyebutan tersebut
tidak semata-mata mengaburkan esensi ide utama menyangkut penyelenggaraan dan pemilihan
kekuasaan umat Islam sehingga variasi kosakata tersebut seyogyanya tidak menjadikan peneliti
pusing dan jenuh memahaminya dalam gambaran besar.
Patut pula untuk dicatat bahwa kata ahl al-hall wa al- ‘aqd ini tidak tercantum secara
eksplisit dalam Al-Quran maupun hadist sehingga inspirasi pengambil-alihan substansi makna
yang berasal dari teks agama sepenuhnya berasal dari proses istimbath (penalaran) yang hanya
dikerjakan oleh para ahli hukum Islam terutama para Ulama dalam usaha mereka melakukan
ijtihad secara kongruen dengan prinsip-prinsip agama. Kerja kreatif tersebut tidak bisa
diserahkan langsung kepada umat karena dikhawatirkan terjadi distorsi pemahaman dikarenakan
keterbatasan mereka memahami syariat baik secara tekstual maupun kontekstual.

C. Teks Agama tentang ulul al-amr


Terdapat setidaknya beberapa ayat Al-Quran dan hadist nabi yang menyokong
pemahaman kita mengenai topik ahl al-hall wa al-‘ aqd dimana sebutan ulil –‘amr menjadi ayat
yang dicari demi memperkuat justifikasi atas pemahaman topik suksesi kekuasaan lewat bingkai
kacamata syariat Islam. Yakni QS. An-Nisa ayat 59 dan QS. An-Nisa ayat 83,
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا َأِط يُعو۟ا ٱَهَّلل َو َأِط يُعو۟ا ٱلَّرُس وَل َو ُأ۟و ِلى ٱَأْلْمِر ِم نُك ْم ۖ َفِإن َتَٰن َز ْعُتْم ِفى َش ْى ٍء َفُر ُّدوُه ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱل‬
‫َٰذ‬
‫َّرُس وِل ِإن ُكنُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱْلَيْو ِم ٱْل َء اِخ ِر ۚ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو يًل‬
Referensi : https://tafsirweb.com/1591-surat-an-nisa-ayat-59.html
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Pada ayat ini diterangkan bahwa bagi seorang hamba diwajibkan pertama-tama dan
paling utama untuk taat serta patuh pada perintah Allah SWT dan kedua barulah kepada
Rasulullah Muhammad SAW. Setelah patuh kepada keduanya barulah seorang hamba yang
beriman wajib patuh kepada ulil-amri atau para pemegang urusan (kekuasaan) yang eksis
ditengah-tengah kehidupan mereka. Namun, dalam koridor kewajiban mentaati perintah ulil-
amri mesti sinkron dengan dalil Al-Quran dan hadist nabi, bilamana terdapat kontradiksi atau
pertentangan yang terang benderang maka seorang hamba tersebut baru boleh berpaling dan
berlepas diri dari perintah ulil amri tersebut.
‫َو ِإَذ ا َج ٓاَء ُهْم َأْم ٌر ِّم َن ٱَأْلْمِن َأِو ٱْلَخ ْو ِف َأَذ اُعو۟ا ِبِهۦۖ َو َلْو َر ُّدوُه ِإَلى ٱلَّرُس وِل َو ِإَلٰٓى ُأ۟و ِلى ٱَأْلْمِر ِم ْنُهْم َلَعِلَم ُه ٱَّلِذ يَن‬
‫َيْس َتۢن ِبُطوَن ۥُه ِم ْنُهْم ۗ َو َلْو اَل َفْض ُل ٱِهَّلل َع َلْيُك ْم َو َر ْح َم ُت ۥُه ٱَلَّتَبْع ُتُم ٱلَّش ْيَٰط َن ِإاَّل َقِلياًل‬
Referensi : https://tafsirweb.com/1615-surat-an-nisa-ayat-83.html
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat
Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).
Berdasarkan ayat diatas dapat kita cermati kandungan dasar yang menjadi pokok bahasan
kita menyangkut eksistensi ulil amri adalah sebagai wadah pengejawantahan yang resmi dan
terpercaya sehingga segala kabar berita yang menyangkut kehidupan umat Islam dapat diolah
dan disampaikan secara jujur dan bertanggungjawab melalui Rasulullah Muhammad SAW atau
para pihak-pihak yang ditunjuk untuk menyelenggarakan kegiatan/aktivitas tersebut. Bila
merujuk kepada ayat tersebut dapat kita saksikan betapa pentingnya keberadaan lembaga atau
badan yang mengurusi kebutuhan strategis umat yang berdampak fatal bila tidak terlaksana
secara baik, oleh karena itu kehadiran ulil amri sebagai aktor rekayasa dalam pembuatan
keputusan dan kebijakan mengenai kehidupan umat sudah semestinya dikedepankan untuk
menyasar tujuan kebaikan paripurna. Dengan Rasulullah pun kata ulil amri disandingkan
menandakan betapa mulianya harga pemimpin yang sesuai idealisasi yakni; shiddiq, amanah,
fathonah, dan tabligh.
D. Tugas ahl al-hall wa al- ‘aqd
Anggota badan ini memiliki tugas untuk melakukan penilaian dan menyortir calon-calon
pemimpin umat yang kelak bertindak sebagai “khalifah” dan mengatur segala dimensi kehidupan
umat Islam secara utuh. Tugas ini dapat dikatakan mudah di satu sisi sekaligus sulit pada sisi
lainnya. Mengingat nasib masa depan umat Islam berada pada kerja substanstif dari badan yang
dikenal ahl al-hall wa al- ‘aqd inilah seluruh keberlangsungan hidup umat ditentukan lewatnya.
Maka dari itu kerumitan dan kemudahan yang mengelilingi tugasnya adalah niscaya karena
secara alamiah mereka adalah sosok terpilih yang mampu mengemban tugas mulia tersebut demi
mewujudkan misi menciptakan “khalifah” menuju negara baldatun thoyyibatun warabbun
ghoffur
E. Syarat Menjadi ahl al-hall wa al- ‘aqd
Secara perincian terdapat tiga syarat khusus yang diperlukan untuk menjadi ahl al-hall
wa al- ‘aqdi
Pertama, memiliki rasa keadilan yang meliputi seluruh persyaratannya.
Kedua, memiliki pengetahuan yang dengannya mampu sampai pada mengetahui yang
berhak untuk menduduki imamah berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah diakuinya.
Ketiga, memiliki hikmah atau pendapat yang menjadikannya mampu memilih orang
yang paling layak untuk menduduki imamah, dan dalam mengurusi berbagai kepentingan dia
terkenal lebih baik dan lebih bijak.
Selain syarat khusus tersebut terdapat pula syarat umum yang wajib diperlukan untuk
menjadi ahl al-hall wa al-‘aqdi yaitu
Pertama, beragama Islam karena dalam konseptual tersebut berangkat dari gagasan
ajaran agama Islam sehingga membutuhkan pelaksana yang juga memiliki keyakinan dan
kepercayaan yang sama dengan doktrin semula. Syarat beragama Islam ini adalah paling dasar
yang mesti dimiliki oleh seseorang bilamana berkehendak menjadi bagian ahl al-hall wa al-‘
aqdi karena jika kualifikasi awal saja tidak terpenuhi maka syarat umum berikutnya akan batal
dan gugur dengan sendirinya sehingga kesaksiannya menjadi bagian dari kelompok tidak sah
Kedua, berakal sehat/waras dibuktikan dengan kapasitas kognisi dan kemampuan
intelektualnya yang cerdas selagi mumpuni sehingga bisa berpikir secara jernih dan
menghasilkan pemikiran cemerlang dan solutif dari tuntutan tugas menyeleksi pemimpin dalam
badan ahl al-hall wa al-‘ aqdi. Poin ini krusial karena tanpa akal sehat yang waras seseorang
tidak mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan norma ideal yang diharapkan. Terlebih urusan
penyelenggaraan kehidupan umat yang membutuhkan tenaga pikiran intelektual karena harus
memecahkan persoalan rumit menyangkut “siapa pemimpin umat yang tepat untuk menjalankan
kekuasaan” dan perlu dipikir secara matang segala kemungkinan dan pertimbangan risiko yang
hadir dari implikasi keputusannya. Proses itu semua mustahil ditempuh bila hanya mengandalkan
warga biasa yang secara kapasitas kognitif dan intelektual tidak memadai, karena mereka
dituntut untuk bersikap dinamis sekaligus mengawal koridor prinsip syariah agar tidak
bertabrakan dan terpecah-belah antar satu sama lain. Kerumitan yang dihasilkan dari proses
seleksi pemimpin umat ini menjadikan sosok yang tergabung dalam ahl al-hall wa al-‘ aqdi
tersebut mestilah memiliki kecerdasan diatas rata-rata karena dia sedang menangani perkara
besar yang tidak bisa diselesaikan secara sembarang.
Ketiga, berjenis kelamin laki-laki dimana Islam mengatur bahwa laki-laki secara kodrat
alamiah lebih kuat dibandingkan Perempuan. Tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan golongan
hawa tetapi ketentuan tersebut sepanjang diorama sejarah politik Islam digulirkan bukan tanpa
sebab, karena catatan sejarah kita menulis perkara politik umat atau kenegaraaan yang
berlangsung di wilayah penduduk beragama Islam lebih membutuhkan sosok laki-laki untuk
tampil menghiasi kehidupan publik karena kualitas karakter alamiah mereka sangat diperlukan.
Selain kapasitas membuat keputusan rasional, golongan laki-laku juga memiliki aspek
keberanian yang secara jujur mesti kita akui lebih unggul dibanding kelompok Perempuan.
Keberanian tersebut semakin diperlukan mengingat kondisi sosial-politik umat Islam generasi
pertama masih harus berjuang melalui “pedang” agar dapat eksis ditengah perlawanan kafir
Quraisy dan sekutunya. Maka dari itu, butir pemilihan menyebut berjemis kelamin laki-laki
adalah syarat yang masuk akal dan lazim diterima secara luas pada masa itu.
Keempat, berstatus merdeka yakni bukan merupakan budak dari seorang majikan.
Konsep ini masih sesuai dengan konteks zaman perumusan kategorisasi personel ahl al-hall wa
al- ‘aqdi yang kala itu praktik perbudakan masih lumrah terjadi dan menjadi norma kehidupan
sosial sehari-hari. Golongan ini secara status lemah karena mereka berhasil ditaklukkan
semisalnya lewat peperangan dan mereka kalah sehingga secara derajat kemanusiaan mengalami
penurunan status dari “merdeka” yakni manusia utuh menjadi “budak” atau tak ubahnya barang
milik seseorang yang biasanya dimiliki oleh tuannya berupa majikan. Syarat ini diberlakukan
demi menjaga keharmonisan struktur sosial yang masih kuat berpengaruh di zaman itu, agar
tidak menimbulkan gejolak yang sia-sia karena menjungkirbalikan “hal-hal normal” yang sedang
berlangsung saat itu.
F. Mengapa Perlu ahl al-hall wa al- ‘aqd
Secara detonatif keberadaan ahl al-hall wa al-‘ aqd menjadi perlu dalam khazanah
diskusi politik Islam karena membingkai format khas ajaran Islam dalam restrukturalisasi
kekuasaan yang secara bahasa dibilang “kehidupan duniawi material” tetapi pada prosesnya
mampu memasukkan unsur nilai keilahiannya lewat mekanisme proses ahl al-hall wa al- ‘aqdi.
Lewat infiltrasi unsur transcendental dalam formula kehidupan duniawi tentu menjadi nilai plus
dan surplus ide sendiri dalam khazanah diskusi politik Islam yang pada satu sisi bisa
menghadirkan diferensiasi yang positif atau tidak. Hal paling jelas adalah mampu menghadirkan
alternatif solusi dari seperangkat gagasa mengenai suksesi kekuasaan yang tidak melulu
berpatokan pada ide barat tetapi juga lewat gagasan orisinil yang dibawakan oleh ajaran Islam
G. Pemilihan ahl al-hall wa al- ‘aqd
Mekanisme pemilihan keanggotaan ahl al-hall wa al- ‘aqd disesuaikan dengan prosedur
untuk pemilihan calon pemimpin untuk khalifah atau imamah. Melalui prosedur dan tata cara
yang sama tersebut diharapkan dapat muncul sebuah seleksi yang langsung, terbuka, jujur, adil
sekaligus rahasia sehingga menghadirkan proses yang bertanggungjawab dan mampu mengisi
aspek saling keterbukaan antar satu sama lain. Meski tidak terdapat regulasi baku yang mengatur
mengenai pemilihan badan ini, secara tata nilai dan prinsip moral yang terbalut dalam ajaran
Islam diyakini telah cukup kokoh dalam mengatur agar konsepsi ideal ini dapat terwujud dalam
tataran praktik dan implementasi yang kongruen. Diharapkan secara normatif badan ini juga
mampu menghasilkan sebuah rangkaian kebaikan yang maksimal karena mereka bertindak
sebagai wakil Tuhan dalam menilai dan menetapkan siapa sesungguhnya “khalifah” yang
kepadanya diserahkan tugas-tugas keumatan (Khalidi, 2002:49)
Daftar Pustaka
Rais, Dhiauddin, 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, penerjemah:
Abdul Hayyie Al-Kattani
Khaliq, Fariq Abdul. 2005. Fiqih Politik Islam. Jakarta: Penerbit AMZAH
Khalidi, Mahmud. 2002. Bai’at Dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam. Bangil: Penerbit Al-
Izzah, penerjemah: Muhammad Bajuri

You might also like