Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : Martinho Pinto

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042424013

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4311/HUKUM PIDANA EKONOMI

Kode/Nama UPBJJ : 16/Pekanbaru

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TERBUKA
1. Dini adalah seorang Teller Bank pada BANK Indonesia Jaya. Salah satu tugas
Dini adalah menerima setoran dari nasabah yang menyetorkan uang dan
membukukan sesuai nominal pada rekening nasabah, dan selanjutnya
memberikan bukti setoran kepada nasabah. Suatu ketika, Tommy yang
merupakan nasabah Bank Indonesia Jaya melakukan penyetoran pada
rekening tabungannya sebesar Rp. 100 Juta . Ternyata Dini selaku Teller Bank
merekayasa Bukti setor yang diberikan kepada Tommy. Pada Bukti setor
tertera Bukti Setoran senilai Rp. 100 Juta, namun pada faktanya Dini hanya
menyetorkan Rp. 10 Juta. 5 Bulan kemudian tindakan Dini ketahuan setelah
Tommy memeriksa saldo tabungannya.

Pertanyaan:

Uraikan analisis anda ancaman hukuman atas Tindak Pidana yang dilakukan
Dini selaku Teller Bank!

JAWAB:

Menurut saya, Teller Bank patut diduga melakukan penggelapan terhadap uang
nasabah Bank Indonesia dengan modus menerima setoran dari nasabah yang
menyetorkan uang dan membukukan sesuai nominal pada rekening nasabah,
dan selanjutnya memberikan bukti setoran kepada nasabah. Atas
perbuatannya, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal Penggelapan Uang.

Dalam kasus ini, teller bank tersebut telah melanggar Pasal 374 KUHP mengenai
penggelapan uang dalam jabatan.
Bunyi Pasal 374 "Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya
terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau
karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun."

2. Sederet Bos BUMN di Pusaran Kasus Korupsi


Kasus korupsi kembali lagi terjadi di kubu perusahaan pelat merah alias
BUMN. Terakhir, eks Dirut Jasa Marga Dessy Arryani dijaring KPK sebagai
salah satu tersangka kasus korupsi infrastruktur.
Kasus yang menjerat Dessy terjadi saat dirinya masih menjabat sebagai Kepala
Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya (Persero). Kasus korupsi terjadi di sekitar
tahun 2009-2015.
Dessy disebut terlibat dan mengetahui penunjukan sejumlah perusahaan
subkontraktor untuk menggarap pekerjaan fiktif. Perusahaan yang ditunjuk itu
diduga tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak.
Dia dijadikan tersangka bersama Jarot Subana selaku mantan Kepala Bagian
Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya (Persero) Tbk, dan Fakih
Usman selaku mantan Kepala Proyek dan Kepala Bagian Pengendalian pada
Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya (Persero) Tbk pada Kamis 23 Juli lalu.
Sebelum ketiga tersangka itu, KPK menjerat dua orang sebagai tersangka.
Kedua tersangka itu adalah Kepala Divisi II PT Waskita Karya (Persero) Tbk
tahun 2011-2013 Fathor Rachman dan Kepala Bagian Keuangan dan Risiko
Divisi II PT Waskita Karya (Persero) Tbk periode 2010-2014 Yuly Ariandi
Siregar. Kasus korupsi di badan usaha pelat merah sendiri tak cuma terjadi
sekali. Beberapa direksi hingga direktur utama BUMN banyak yang terjerat
dalam pusaran korupsi.
Sumber : https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5108771/sederet-
bos-bumn-di-pusarankasus-korupsi

Pertanyaan:

Bahwa pada dasarnya salah satau unsur tindak pidana korupsi adalah
merugikan kekayaaan negara, namun berdasarkan berita diatas BUMN
merupakan Badan Usaha Milik Negara yang mana Sebagian sahamnya adalah
milik Negara. Uraikan analisis anda mengapa tindak pidana korupsi dapat
diterapkan pada BUMN!

JAWAB:

Tindak pidana korupsi dapat diterapkan pada BUMN dikarenakan


“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU
No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 Undang-
undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut : Setiap orang yang secara
melawan Hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara.”
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.

tindak pidana korupsi dapat diterapkan pada BUMN karena telah terpenuhinya
unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Dalam membahas unsur-unsur tindak pidana korupsi maka tidak terlepas juga dari
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK yakni;
Pasal 2 ayat 1 UU No 20 tahun 2001:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun
dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000. (satu miliar rupiah).

Unsur-unsur pasal 2 ayat 1 adalah:


1. Melawan Hukum.
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
3. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.

Rumusan pasal 3 adalah:


Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

Unsur-unsur pasal 3 adalah:


1. “Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan”
3. “Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

3. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik pada awal tahun 2013, adalah
kasus pencucian uang oleh Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian
Republik Indonesia, Djoko Susilo (DS). DS ditetapkan sebagai tersangka kasus
tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek simulator ujian surat
izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri. Pada kasus tersebut, KPK menjerat
DS dengan pasal 3 dan atas pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU. DS
disebutkan menyamarkan, mengubah bentuk atau menyembunyikan harta
kekayaannya yang diduga berasal dari hasil korupsi proyek simulator SIM yang
merugikan negara mencapai 100 miliar. Selain itu, KPK juga menjelaskan
bahwa terdapat aset yang dialihkan atas nama istri-istri DS. Istri-istri DS diduga
ikut mengetahui serta menguasai aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Aset yang dilimpahkan kepada para istri DS, dimulai sejak tahun 2010. Pada
tahun 2010, DS membeli tanah yang lengkap dengan aset SPBU di Jakarta
Utara, mengatasnamakan ayah kandung istri keempat nya, yaitu Dipta
Anindita. Kemudian, di tahun 2011 DS membeli aset berupa tanah
mengatasnamakan istri keduanya yang bernama Mahdiana. Kemudian,
pelimpahan hasil korupsi yang lain diberikan kepada istri ketiga yang bernama
Eva Handayani, berupa SPBU dan sebidang tanah di kawasan Jagakarsa.
Kepada istri pertamanya, DS melimpahkan sebidang tanah di daerah Subang
atas nama Suratmi. Penyamaran hasil korupsi yang dilakukan oleh DS kepada
seluruh istrinya membuat mereka didakwa sebagai pelaku pasif di dalam
perputaran pencucian uang.
Kasus yang melibatkan istri sebagai wadah untuk menyamarkan hasil korupsi,
merupakan fenomena yang lazim terjadi di dalam TPPU. Maka, istri dapat
dijelaskan sebagai pelaku pasif, hampir di seluruh kasus TPPU. Istri dianggap
sebagai pihak yang paling rentan untuk mengetahui dan turut serta dalam
menyamarkan hasil korupsi yang dilakukan oleh suami sebagai pelaku. Dalam
ranah legal, istri dianggap sebagai pelaku pasif karena perannya yang mampu
mengalihkan penyelidikan arus transaksi hasil korupsi serta tindak pidana asal
lainnya.
Pertanyaan:
Berdasarkan uraian diatas, terdapat istilah “pelaku pasif”, uraikan analisis
anda tentang pelaku pasif dan pertanggungjawaban pidananya berdasarkan
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang !
JAWAB:
Dalam melakukan tindak pidana pencucian uang, pelaku utama atau pelaku aktif
umumnya melibatkan pihak lain untuk melancarkan aksinya. Dikarenakan tujuan
utama dari tindakan tersebut adalah menyembunyikan hasil dari tindak pidana, maka
pelaku utama akan melakukan beberapa upaya yang ditujukan untuk menyamarkan
harta kekayaan atau mengubah bentuk dana melalui beberapa transaksi demi
mempersulit pelacakan (audit trail) asal usul dana tersebut. Pihak-pihak yang
menerima harta tersebut dapat digolongkan sebagai pelaku pasif. Sebagaimana
dimuat dalam UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang Pasal 5 ayat 1, dengan bunyi pasal sebagai berikut:

“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,


pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
Dalam konteks aturan tersebut, seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku pasif
apabila memenuhi unsur mengetahui dan patut menduga bahwa dana tersebut
berasal dari hasil kejahatan atau mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan
transaksi.

You might also like