Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

e-ISSN 2775-720X

ISSN
Vol. 3, No 1, Maret 2023 (39-52) https://sttiijakarta.ac.id/e-journal/index.php/temisien

Menyiapkan Gereja Figital melalui Dual Literasi sebagai


Upaya Menghadapi Metaverse

DOI: https://doi.org/10.9876/temisien.v3i1.77

Carolina Etnasari Anjaya1, Andreas Fernando2, Yonatan Alex Arifianto3


1,2Sekolah Tinggi Teologi Ekumene Jakarta

3Sekolah Tiinggi Teologi Sangkakala, Salatiga

Corresponsdence: carolina.anjaya@gmail.com

Abstract: The presence of the metaverse as a new generation of virtual worlds raises pro and con responses
from the community, including the church. A proper response is needed in dealing with the presence of the
metaverse so that the church will not lose its existential-forming aspects. This study was prepared to provide
enlightenment or ideas for the church in an effort to criticize and welcome the existence of the metaverse
according to the teachings of the Christian faith. The method used is qualitative with literature study
techniques. The study found that the church must still be physically present to fulfill its essence and carry
out incarnational relations. Still, at the same time, it must prepare itself to accept the metaverse as an
instrument of future ministry. In this case, the effort that can be made is the dual literacy method, namely,
carrying out two central literacy: life literacy and digital literacy in church. Literacy of life means striving
for the development of the congregation's faith toward perfection and preparation for acceptance of the
metaverse as a service tool through the development of digital literacy. The literacy of the congregation's life
is the basis so digital literacy can run according to the corridor of truth. This dual literacy can be actualized
through various activities and programs.
Keywords: dual literacy; digital church; digital church; metaverse church

Abstrak: Kehadiran metaverse sebagai dunia virtual generasi baru memunculkan respons pro dan
kontra dari masyarakat termasuk kalangan gereja. Dibutuhkan respons yang benar dalam
menghadapi kehadiran metaverse sehingga gereja tidak akan kehilangan aspek-aspek pembentuk
eksistensinya. Kajian ini disusun dengan maksud agar dapat memberikan pencerahan bagi gereja
dalam upaya mengkritisi dan menyambut keberadaan metaverse sesuai ajaran iman Kristen.
Metode yang dipergunakan adalah kualitatif dengan teknik studi literatur. Hasil kajian
menunjukkan bahwa gereja perlu menjalankan gereja figital (phygital) yang berarti melakukan
penguatan sebagai gereja dalam bentuk fisik dan bersiap memanfaatkan layanan digital:
metaverse. Pengaktualisasiannya gereja tetap hadir secara fisik untuk memenuhi hakikatnya
sesuai aspek Alkitabiah dan menjalankan relasi inkarnasional namun sekaligus perlu menyiapkan
diri menerima metaverse sebagai instrumen pelayanan masa depan. Usulan metode yang dapat
digunakan adalah dual litersi yaitu literasi kehidupan dan literasi digital dalam bergereja. Literasi
kehidupan berarti mengupayakan perkembangan iman jemaat menuju kesempurnaan dan
persiapan akseptasi metaverse sebagai alat bantu pelayanan melalui pengembangan literasi
digital. Literasi kehidupan jemaat menjadi dasar agar literasi digital dapat berjalan sesuai koridor
kebenaran. Dual literasi ini dapat diaktualisasikan melalui pelbagai aktivitas dan program.
Kata kunci: dual literasi; gereja digital; gereja figital; gereja metaverse

Copyright©2023; TEMISIEN | 39
C. E. Anjaya: Menyiapkan Gereja Figital...

PENDAHULUAN
Metaverse menjadi “trending topic” pada beberapa tahun terakhir ini apalagi setelah Mark
Zuckerberg menyatakan keseriusannya membangun jagat baru ini. Dunia virtual
metaverse semakin memberikan daya tarik kuat bagi masyarakat untuk memelajarinya.
Hal tersebut disebabkan oleh kekuatannya sebagai platform dunia baru yang menjanjikan
kecanggihan, realisasi berimajinasi secara virtual, pelbagai peluang di banyak sektor
kehidupan dan berbagai keseruan pengalaman unik di dunia maya. Metaverse sebagai
paradigma yang berkembang dari internet generasi baru, bertujuan untuk membangun
ruang bersama virtual yang sepenuhnya imersif, hiper dan mandiri bagi manusia untuk
bermain, bekerja, dan bersosialisasi.1 Menurut data Kominfo diprediksi pada tahun 2026
sekitar seperempat warga dunia akan berselancar dan menikmati minimal satu jam sehari
di metaverse.2 Dunia metaverse merupakan pola kehidupan baru yang telah dinantikan
oleh banyak manusia saat ini.3 Oleh karenanya pelbagai sektor dan komponen masya-
rakat masing-masing bersiap bahkan telah memasuki dunia baru tersebut.
Beberapa sektor dicatat telah mengadopsi teknologi metaverse mulai dari dunia
kedokteran, ekonomi, bisnis, seni dan hiburan. Sektor keagamaan yaitu dalam gereja
sebagai lembaga agama maupun persekutuan umat Tuhan tidak luput dari antusiasme
tersebut. Walaupun demikian di sisi lain masih banyak terdapat pandangan yang
menolak. Gereja metaverse masih menimbulkan pro-kontra pendapat mengenainya, ter-
masuk tentang konsep gereja dan bentuk ibadah yang sudah diimplementasikan di
beberapa tempat.4 Terdapat argumen yang menyatakan bahwa metaverse akan menandai
akhir dari kebutuhan manusia akan Tuhan.5 Jeff Reed seorang pemimpin Kristen,
direktur Digital Church Network beropini – dalam artikel Grace Rose – bahwa Tuhan maha
hadir dan selalu bekerja di sekitar umatNya, dengan demikian Dia dapat bekerja pula di
dalam metaverse untuk menumbuhkan kerajaanNya.6 Menghadapi pro kontra tersebut,
bagi gereja yang terpenting adalah persiapan diri untuk menghadapi kondisi baru ini.
Gereja dituntut untuk terus merefleksikan eksistensinya di tengah segala perubahan yang
ada. Di satu sisi gereja perlu memanfaatkan secara optimal semua instrumen yang
tersedia untuk menjalankan panggilannya, namun di sisi lain gereja perlu kritis terhadap
itu semua agar tidak kehilangan hakikatnya sebagai gereja Tuhan.
Walaupun tema metaverse sedang menjadi pembahasan hangat, namun dalam bi-
dang penelitian masih sedikit ditemukan tema mengenai gereja dan metaverse. Salah satu
riset yang telah ada dilakukan oleh Hartono Putra tentang ibadah metaverse dilihat dari
sisi teologis. Kajian tersebut mengupas tentang pentingnya pemaknaan ulang dan rele-
vansi ibadah dalam metaverse bagi pelayanan kini dan yang akan datang. Kajian ini diha-
rapkan dapat menjadi sebuah alternatif konstruksi teologis bagi gereja dan umat percaya
dalam merespon cara ibadah metaverse sehingga dapat diambil sikap sesuai bingkai iman

1 Yuntao Wang et al., “A Survey on Metaverse: Fundamentals, Security, and Privacy” (March 2022).
2 KOMINFO, “Kementerian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia,” Kominfo.
3 YİĞİTOĞLU Mustafa, “Religious Virtual Living and Metaverse on the Real World,” Afro Eurasian

Studies 10, no. 1 (2022): 5–14.


4 Bobby Hartono Putra, “Tinjauan Teologis Ibadah Dalam Metaverse Di Era Pandemi Dan Kemajuan

Teknologi,” Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia 7, no. 5 (2022): 5781–5795.


5 Grace Rose, “How Will God and the Church Fit into the Metaverse?,” Comm-entary 18, no. 1 (2022):

19.
6 Rose, “How Will God and the Church Fit into the Metaverse?”

Copyright©2023; TEMISIEN | 40
TEMISIEN, Vol 3, No 1, Maret 2023

Kristen. Riset Hartono Putra memberikan simpulan bahwa secara teologis dan biblis,
gereja metaverse tidak bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Namun perlu diperha-
tikan secara seksama terkait kelemahan dan kelebihannya agar gereja dapat tepat dalam
memberikan sikap.7 Penelitian lain disusun oleh Wibisono yang mengkaji gereja dan
metaverse dari sisi eklesiologi. Disampaikan dalam kajian tersebut bahwa banyak pan-
dangan muncul dalam menanggapi media metaverse. Muncul pro-kontra, ada yang memi-
lih posisi di antara mempertimbangkan atau menunggu. Sejumlah pihak menolak, se-
mentara sejumlah pihak juga telah mengadopsi. Gereja perlu bersikap dan mengambil
posisi teologis. Untuk menentukan posisi itu, perlu mengacu pada hal mendasar tentang
sebuah gereja, yaitu pemahaman identitas dan misinya di dunia.8 Jadi, eklesiologi misio-
logis menjadi dasar utama dalam memandang kehadiran gereja di dunia metaverse.
Dari beberapa kajian yang terdahulu, penulis belum menemukan pembahasan ter-
kait langkah gereja dalam upaya menghadapi metaverse sebagai era baru dalam berko-
munikasi dan bergereja. Oleh sebab itu, kajian ini disusun dengan maksud agar dapat
memberikan deskripsi tentang metaverse dan hubungannya dengan peran gereja di masa
yang akan datang sesuai pengajaran firman Tuhan. Hal ini menjadi pembahasan yang
penting mengingat hakikat gereja adalah persekutuan orang percaya yang hidup ber-
sama dalam satu kesatuan dan memiliki panggilan hidup menjadi serupa dengan Tuhan
dan mewartakan keberan firmanNya. Oleh karenanya diharapkan penelitian ini dapat
memberikan pencerahan bagi gereja tentang bagaimana upaya yang tepat agar dapat
menyiapkan diri menghadapi situasi dunia baru dalam metaverse. Pemahaman dan per-
siapan yang benar akan membantu gereja memenuhi fungsi dan tanggung jawabnya di
dunia secara sempurna.
METODE
Kajian ini memilih metode kualitatif dalam pengolahannya sebab pemaparan yang
disampaikan dalam bentuk uraian kata sebagai hasil pencarian makna mendalam tentang
metaverse dan gereja. Teknik pendekatan studi literatur dilakukan dalam pengumpulan
data yang bersumber dari pelbagai literatur dengan topik relevan mulai dari artikel
website, media sosial, artikel jurnal nasional dan internasional, buku, laporan akhir studi
serta sumber-sumber literatur dalam bentuk lain. Pemaparan dalam pembahasan dimulai
pdari menguraikan mengenai aspek dan hakikat gereja dalam perspektif Alkitab sebab
uraian ini menjadi dasar dari analisa-analisa selanjutnya. Pembahasan dilanjutkan
dengan pemahaman tentang metaverse secara umum dan sesuai bingkai Alkitab. Dengan
uraian tentang gereja dan metaverse dalam kaidah firman Tuhan maupun secara umum
maka dapat dibuat pemaparan tentang tantangan gereja dengan adanya media komu-
nikasi baru metaverse. Dari tantangan yang ada tersebut, pemaparan dilanjutkan kepada
bahasan bagaimana strategi gereja menjelang kehadiran metaverse di Indonesia.

7 Putra, “Tinjauan Teologis Ibadah Dalam Metaverse Di Era Pandemi Dan Kemajuan Teknologi.”
8 Guntur Wibisono, “Gereja Dan Metaverse (Sebuah Studi Eklesiologi),” Kastara Karya: Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan 2, no. 2 (2022): 17.

Copyright©2023; TEMISIEN | 41
C. E. Anjaya: Menyiapkan Gereja Figital...

PEMBAHASAN
Metaverse di antara Teknologi dan Teologi
Metaverse merupakan internet era baru. Terdapat banyak pengertian terkait metaverse.
Selain disebut sebagai internet era baru, metaverse juga disebut sebagai era baru berko-
munikasi atau dunia virtual-digital yang melampaui dunia fisikal-nyata. Pendapat Park
menyatakan metaverse sebagai dunia maya dengan tiga dimensi beserta avatar yang
terlibat dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan kegiatan budaya. Dunia virtual ini
berjalan berdampingan dengan dunia nyata secara bersamaan. Metaverse pertama kali
digunakan dalam karya Neil Stevenson, sebuah novel fiksi ilmiah Snow Crash pada tahun
1992 dan dirujuk ke dunia di mana virtual dan realitas berinteraksi dan menciptakan nilai
melalui berbagai kegiatan sosial. Ruang lingkup metaverse semakin meluas dan terus
berkembang, sehingga muncul beragam definisi dan konsepnya.9
Menurut Huansheng Ning, metaverse sebagai lingkungan maya yang menyatukan
dunia fisikal dan digital yang menggunakan fasilitas konvergensi antara extended reality
(XR), teknologi web dan internet. Oleh karenanya metaverse menyajikan pengalaman baru
imersif dengan dasar teknologi augmented reality, menciptakan cerminan imajinasi dunia
nyata dalam dunia digital, membangun sistem perdagangan-ekonomi dengan menggu-
nakan basis teknologi blockchain. Ekosistem dan teknologi ini sebagai kunci atau dasar
dari penciptaan dunia maya metaverse.10 Dijelaskan lebih lanjut oleh Ning, sebagai internet
generasi baru, metaverse memiliki tiga natur atau karakteristik antara lain: pertama, multi
teknologi karena pelbagai teknologi modern diintegrasikan. Kedua, sociality, karena
sebagai komunikasi sosial baru metaverse memiliki sistem sosial yang sama atau berkaitan
erat dengan dunia nyata. Sistem yang termuat di dalamnya adalah sistem ekonomi,
sistem budaya dan sistem hukum berkarakteristik unik. Hyper spatiotemporality sebagai
karakteristik metaverse terakhir karena posisinya sebagai dunia virtual paralel dengan
dunia nyata sehingga tidak ada sekat ruang dan waktu serta menawarkan pengalaman
yang terbuka dan mendalam kepada penggunanya.11
Dengan perpaduan teknologi modern, metaverse dapat dinyatakan sebagai wujud
peradaban baru yang seru, canggih, inovatif, praktis dan membawa kemudahan bagi
kehidupan manusia. Metaverse menjadi buah karya manusia yang berpotensi membawa
kepada lompatan kualitas hidup yang lebih dari sebelumnya terutama jika dilihat dari
sisi peluang di dunia bisnis dan pelayanan kesehatan. Menurut Mark Zuckerberg,
metaverse sesuai dengan namanya diharapkan dapat memberikan kualitas kehidupan
yang melebihi dari apa yang ada di alam semesta ini.12 Teknologi digital terus dikem-
bangkan dan dimatangkan sehingga pada saatnya nanti dunia digital akan terbangun
semakin sempurna. Tidak diragukan lagi, umat manusia akan secara bertahap mulai
menghabiskan sebagian besar kehidupan sehari-hari di dalam dunia virtual metaverse di
masa depan.

9 Sang-Min Park and Young-Gab Kim, “A Metaverse: Taxonomy, Components, Applications, and

Open Challenges,” Ieee Access 10 (2022): 4211.


10 Huansheng Ning et al., “A Survey on Metaverse: The State-of-the-Art, Technologies, Applications,

and Challenges,” arXiv preprint arXiv:2111.09673 (2021).


11 Ibid.

12 “Mark Zuckerberg: Kita Semua Akan Hidup Di Dunia Metaverse.”

Copyright©2023; TEMISIEN | 42
TEMISIEN, Vol 3, No 1, Maret 2023

Dibalik konsep dan karakteristik yang futuristik tersebut, metaverse memuat bebe-
rapa ancaman. Wang menguraikan ancaman tersebut antara lain berkaitan dengan
pencurian identitas, kemudian ancaman terkait data misalnya serangan perusakan data
pengguna. Selain itu, ada pula ancaman privasi, ancaman keamanan jaringan, dan
ancaman ekonomi seperti dalam perdagangan. Dari sisi fisik terdapat pula ancaman
fisikal seperti misalnya peretas dapat menyerang perangkat yang dikenakan seperti helm
XR sehingga membahayakan keselamatan pengguna. Ancaman kejahatan virtual mem-
butuhkan pengawasan dan tata kelola yang baik sehingga perlu disusun regulasi
pemerintah.13 Ancaman yang ada tersebut menyertai setiap kesempatan atau peluang
yang ada.
Dari perspektif teologi, metaverse merupakan aktualisasi dari mandat budaya yang
Tuhan Allah tetapkan kepada manusia (Kej. 1: 26-28). Manusia sebagai “rekan kerja”
Tuhan memiliki tanggungjawab untuk mengelola kehidupan melalui berteknologi
dengan menggunakan kehendak bebas dan kapasitas akal budinya. Tujuan akhir dari
kesemuanya itu adalah demi kemuliaan Sang Pencipta (1 Kor. 10:31). Namun ketika
Adam Hawa memberontak kepada Tuhan, manusia membawa natur dosa dalam dirinya
sehingga pengembangan ilmu pengetahuan teknologi bertendensi kepada perlawanan
terhadapNya (Kej.11:4). Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi cenderung mencip-
takan peningkatan kejahatan.14 Oleh karenanya, walaupun metaverse juga memuat
ancaman dan tantangan bagi kehidupan manusia, agar dapat merespon dengan benar
maka umat Tuhan perlu memelajari secara seksama dengan dasar teologi atau kebenaran
firman Tuhan. Segala sesuatu haruslah dilakukan pengujian terhadapnya (1 Tes. 5:21).
Umat percaya dituntut untuk dapat membangun prinsip teologis sehingga tidak mudah
terpengaruh arus dunia.
Salah satu prinsip teologis yang perlu dibangun oleh gereja dalam menghadapi
metaverse adalah sifat Tuhan Allah yang omnipresent,15 maha hadir dan tidak terbatas pada
ruang dan waktu. Sifat ini menuntun kepada gereja yang kontra terhadap metaverse untuk
menyadari bahwa metaverse dapat Tuhan pergunakan pula sebagai media perjumpaan.
Tuhan juga dapat bekerja di dalam metaverse. Sejatinya metaverse merupakan alat netral
yang dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan atau memuliakan diri sendiri bergan-
tung bagaimana pengguna memanfaatkannya. Prinsip teologis lain yang menjadi
landasan yaitu bertalian dengan hakikat gereja dan hakikat ibadah sebab saat ini sudah
ada beberapa gereja yang menggunakan metaverse sebagai platform untuk beribadah-
bersekutu bersama menjalankan aktivitas keagamaan.16
Rasul Paulus mengajarkan bahwa ibadah yang benar adalah persembahan tubuh
yang hidup dan kudus (Rom. 12:1). Ibrani 12:28-29 menyatakan bahwa beribadah kepada
Tuhan sesuai cara yang berkenan kepadaNya dengan penghormatan dan rasa takut sebab
Dia adalah api yang membakar atau menghanguskan. Ibadah selalu disertai dengan rasa

13 Wang et al., “A Survey on Metaverse: Fundamentals, Security, and Privacy.”


14 S H Oksidelfa Yanto and others, Pemidanaan Atas Kejahatan Yang Berhubungan Dengan Teknologi
Informasi (Yogyakarta: Samudra Biru, 2021), v.
15 Fekky Daniel Yermia Tatulus, “Mengajarkan Konsep Trinitas Sebagai Pembekalan Apologetis

Jemaat Di Era Disruptif,” MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen 1, no. 1 (2019): 1–12.
16 Anisa Larasati Supriyati, “Telah Hadir Gereja Virtual Pertama Di Dunia Metaverse, Begini

Penampakannya,” Pikiran-Rakyat.Com.

Copyright©2023; TEMISIEN | 43
C. E. Anjaya: Menyiapkan Gereja Figital...

takut dan hormat pada-Nya. Ibadah yang sesuai ajaran Alkitab adalah berfokus kepada
Tuhan dan bertujuan menyembah serta merasakan kekudusan-Nya.17 Mengacu pada
hakikat ibadah ini maka ibadah yang dilakukan di metaverse pun dituntut untuk dapat
memenuhi prinsip tersebut. Bertalian dengan masalah ibadah dan penyembahan, Tuhan
Yesus telah menegaskan bahwa dalam Roh dan kebenaranlah penyembahan yang benar
dilandaskan dan dilakukan (Yoh. 4:23-24). Jadi pada intinya lebih kepada relasi dalam
Roh- yaitu dalam kekudusan dan diaktualisasikan melalui kebenaran, itulah ibadah
sejati. Dalam konteks meteverse, perlu digali secara mendalam apakah melaluinya ibadah
sejati itu dapat terwujud.
Selain teologi, ibadah sebagai dasar merespons metaverse, umat percaya juga perlu
menyelidiki secara teologis tentang tubuh manusia. Adam diciptakan amat sangat baik
adanya dengan keberadaan tubuh jasmaninya. Tubuh fisik adalah bagian dari desain
Tuhan yang menyempurnakan hakikat manusia dan menjadi bagian penting dalam
naturnya.18 Allah pun memandang kebertubuhan sangat penting dan dibuktikan dengan
inkarnasiNya ke dunia. Rasul Paulus menyatakan pula bahwa tubuh manusia adalah bait
Tuhan (1Kor. 3:16) dan kematian Tuhan Yesus merupakan penebusan tubuh manusia
dari dosa. Begitu pentingnya tubuh manusia sehingga ketika manusia mampu menjaga
kekudusan tubuhnya maka itulah persembahan yang berkenan bagi Tuhan. Oleh kare-
nanya tubuh fisik menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari ibadah atau penyem-
bahan kepada Tuhan.
Aspek dan Hakikat Gereja dalam Perspektif Alkitab
Kata gereja atau jemaat diadopsi dari bahasa Yunani: εκκλησια - ekklêsia', secara harfiah,
εκ - ek' = keluar; dan kata 'καλεω - kaleô' = memanggil. Kata ekklesia secara umum dipakai
sebagai sidang umum dari penduduk kota yang berkumpul secara resmi, dengan
demikian ekklesia dapat dimaknai sebagai sidang atau pertemuan. Dalam konteks
Kekristenan ekklesia bermakna dipanggil keluar untuk menjadi murid Tuhan Yesus.19
Bertolak dari pengertian tersebut, gereja sebagai sidang jemaat Tuhan dipanggil keluar
dari suatu sistem yang berjalan di luar sistem Tuhan, yaitu sistem duniawi. Gereja sebagai
persekutuan umatNya ditetapkan untuk meninggalkan atau melepaskan diri dari
kejahatan yang membentuk sistem dunia dan turut menyingkap ketidakbenarannya.20
Dengan demikian dapat dinyatakan secara jelas bahwa gereja dan dunia dipisahkan oleh
perbedaan sistem, gereja memberlakukan sistem dari yang Ilahi. Oleh karenanya lebih
tepat jika pemaknaan gereja sungguh-sungguh sebagai hasil dari penggalian teks Alkitab
secara murni.
Alkitab memaknai gereja dengan pengertian yang benar dan mendalam sebagai
hakikatnya. Sesuai dengan yang tertulis dalam Alkitab, gereja yang Tuhan maksud
dipenuhi oleh syarat mutlak beberapa aspek yang saling terkait dan terikat. Oleh

17 Debora Nugrahenny Christimoty, “Teologi Ibadah Dan Kualitas Penyelenggaraaan Ibadah:

Sebuah Pengantar,” PASCA : Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 15, no. 1 (2019): 1–7.
18 Made Nopen Supriadi and Iman Kristina Halawa, “Kajian Teologis Makna Inkarnasi Kristus Dan

Implementasinya Bagi Spiritualitas Kristen Pada Konteks Pandemik Corona Viruses Disease 2019,”
SESAWI: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 (2020): 1–12.
19 Rita Wahyu, “Gereja: Arti Dan Perannya,” SarapanPagi Biblika Ministry.

20 Harianto GP, Pengantar Misiologi: Misiologi Sebagai Jalan Menuju Pertumbuhan (Yogyakarta: ANDI,

2021), 43.

Copyright©2023; TEMISIEN | 44
TEMISIEN, Vol 3, No 1, Maret 2023

karenanya aspek-aspek yang melekat tersebut tidak dapat tidak terdapat dalam sebuah
gereja. Atau dengan pernyataan lain dapat ditegaskan bahwa tanpa aspek-aspek tersebut
maka suatu persekutuan bersama tidak dapat disebut sebagai gereja sesuai yang Tuhan
kehendak. Aspek-aspek tersebut antara lain: pertama, aspek ketertundukan kepada otoritas
Tuhan sebagai pemegang otoritas tunggal. Otoritas bukan pada gembala atau pengurus
sehingga gereja yang benar akan didesain, dikelola dan dikembangkan hanya bagi
kemuliaan Tuhan. Ini berarti segala aktivitas di dalam gereja bermuara kepada kepen-
tingan Tuhan. Gereja yang benar disyaratkan bersih dari ambisi dan kepentingan
pribadi,21 sehingga tidak ada otoritarianisme dalam kepemimpinan dan pengambilan
keputusan. Hal ini tertuang dalam surat rasul Paulus yang menyatakan Kristus adalah
satu-satunya kepala jemaat (Ef. 4:15; 5:22-23).
Kedua, aspek pertumbuhan-perkembangan ke arah Tuhan. Jemaat perlu bertumbuh dan
berkembang iman dan dalam segala hal kepada satu arah yaitu Tuhan. Gereja yang benar
akan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan terutama dalam iman dan
semua perkara menuju arah Tuhan. Jemaat adalah partnerNya, memiliki tanggung jawab
terus bergerak untuk bekerja. Jemaat sebagai ladangNya yang perlu terus bertumbuh dan
menghasilkan buah, serta sebagai bangunanNya sehingga perlu terus dibangun menjadi
kokoh iman (Ef. 4:15; 1 Kor. 3:9; Kis. 2:42). Persekutuan jemaat atau gereja yang bertum-
buh kembang ke arah Tuhan akan memancarkan kemuliaan-Nya, baik dari pola kehidu-
pan bersama maupun dari buah-buah yang dihasilkan. Kemuliaan dalam jemaat diper-
untukkan hanya bagi Tuhan selamanya. Gereja tidak memancarkan kemuliaan pemim-
pin, nama besar gereja atau hal lain di luar Tuhan (Ef. 3:20-21).
Ketiga, kesucian dan kekudusan. Jemaat merupakan kawan satu warga dengan orang-
orang kudus. Ini berarti jemaat adalah kudus, anggota keluarga Tuhan dan dibangun
dengan dasar perjuangan hidup para rasul dan nabi (Ef. 2:19-20). Jemaat adalah bait
Tuhan yang kudus sebab Roh Tuhan ada di dalamnya (1 Kor. 3:16-17). Tuhan telah
mengasihi jemaat dengan cara mengorbankan diri demi kekudusannya. Melalui air dan
firman, Dia menjadikan jemaat suci (Ef. 5:25-26). Gereja selalu berbuahkan pertobatan
dan kehidupan seluruh jemaat yang berpadanan dengan kebenaran firman Tuhan.
Keempat, kesatuan Roh dan tubuh. Gereja telah disatukan oleh baptisan sebagai satu tubuh
dalam Tuhan dan dihidupi oleh satu Roh (1 Kor. 12:12-13; 27; Roma 12:4-5). Gereja meru-
pakan persekutuan dengan Tuhan Yesus sehingga aspek kesatuan Roh ini tidak terlepas
dari aspek kesucian dan kekudusan. Berkesatuan Roh dengan Tuhan berarti seluruh
jemaat mutlak berkeadaan yang sama dengan Tuhan Yesus yang kudus (1 Kor. 1:9).
Kelima, aspek kasih. Sebagaimana teladan Tuhan Yesus yang selalu hidup dalam
ekspresi kasih, maka jemaat perlu menjadikan ekspresi kasih sebagai kebutuhan hidup,
bukan sebatas kewajiban. Perbuatan kasih adalah aktualisasi iman (Yak. 2:14-26). Dalam
berkehidupan bersama sebagai gereja, tindakan saling berbagi kasih dan pekerjaan baik
menjadi kemutlakan. Ini berarti setiap anggota gereja tanpa kecuali dapat merasakan
kehangatan kasih dan sungguh merasakan sebagai bagian satu keluarga, sebesar atau
sebanyak apapun jemaat dalam gereja. Tindakan kasih adalah budaya dalam bergereja
sehingga setiap jemaat yang berada di dalamnya akan mengalami pertumbuhan dan

Darren Kristandi, “Keberhasilan Seorang Pemimpin Gereja Dalam Menjadi Panutan Dan
21

Dampaknya Dalam Pertumbuhan Gereja,” SOLA GRATIA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika 2, no. 2 (2022).

Copyright©2023; TEMISIEN | 45
C. E. Anjaya: Menyiapkan Gereja Figital...

perkembangan kualitas dalam berbagi kasih seperti kualitas kehidupan kasih pada gereja
mula-mula (Ibr.10:24-25; Kis 12:5; Ef. 5:29-30).
Keenam, aspek pertobatan. Jemaat mula-mula bertambah banyak dan merelakan diri
dibaptis. Menjalani proses pembaptisan berarti melalui pertobatan, dan inilah yang
dilakukan oleh jemaat mula-mula. Gereja selalu tidak dapat dilepaskan dari pertobatan
jemaat secara terus menerus karena pertobatan bukanlah suatu titik tetapi sebagai garis
linear yang terus memanjang mengikuti seberapa panjang umur manusia. Kehidupan
jemaat dan para pemimpin yang terus diperbaharui menjadi karakteristik gereja yang
benar. Hidup dalam takut akan Tuhan dan dalam kuasa Roh Kudus memungkinkan hal
itu dapat terjadi (Kis. 2:41; 9:31). Ketujuh, aspek kesatuan hati dan rasa. Gereja yang benar
merupakan persekutuan jemaat yang memiliki satu rasa dan satu hati, berarti satu
penanggungan dalam segala hal sesuai teladan jemaat mula-mula. Dalam hidup bersama,
ketika satu jemaat mengalami penderitaan maka jemaat lain akan berempati, memberikan
pertolongan dan dukungan sepenuhnya. Jemaat disyaratkan untuk satu rasa dalam
ketulusan dan kedamaian, satu beban dalam penderitaan (Kis. 2:46-47; Kol. 1:18; Kol.
3:15). Gereja yang mengalami perpecahan tidak dapat lagi disebut sebagai gereja yang
benar (Rom. 16:17). Kedelapan, aspek kepastian keselamatan. Gereja yang benar menda-
patkan kepastian keselamatan karena telah berjuang hidup dalam kebenaran firman
Tuhan (Mat.16:18).
Delapan aspek gereja tersebut merupakan karakteristik gereja yang benar sesuai
dengan Alkitab. Ketika sebuah gereja tidak memenuhi salah satu dari aspek tersebut
maka tidak layak disebut sebagi gereja yang benar. Gereja bukanlah suatu persekutuan
formal tetapi sebagai keluarga yang bersatu jiwa dalam Roh Kudus.22 Dari kesemua aspek
yang ada, hakikat gereja dapat dinyatakan secara ringkas adalah persekutuan umat
Tuhan yang menjalani kehidupan bersama, tunduk di bawah otoritas Allah, saling terikat
dalam satu hati dan roh menuju kepada buah kekudusan dan kesempurnaan iman dalam
Kristus.
Tantangan Gereja dalam Metaverse
Era komunikasi atau internet yang baru dalam metaverse memberikan tantangan penuh
keseruan dan antusiasme bagi sebagian gereja, namun menjadi tantangan sangat serius
dan mengandung ancaman bagi sebagian gereja yang lain. Oleh karenanya uraian
mengenai metaverse dari prinsip teknologi dan teologi, serta aspek-aspek gereja yang
benar, perlu menjadi landasan gereja dalam menghadapi kehadirannya. Metaverse adalah
hasil berteknologi manusia dan sebagai ekspresi tanggung jawab dalam pengembangan
akal budi untuk peningkatan kualitas hidup (Why. 4:11). Oleh sebab itu gereja dapat
memanfaatkannya sebagai sarana pelayanan.23 Tantangan dan ancaman yang menyertai
metaverse sepatutnya menjadi pertimbangan bagi gereja untuk memutuskan sikap tepat
terhadap metaverse. Sebagaimana rasul Paulus mengajarkan umat percaya untuk secara

22 Carolina Etnasari Anjaya, “Reformasi Gereja Masa Kini Menghadapi Era Virtual,” Jurnal Teologi

Amreta Vol 5, no. 1 (2021). Bdk. Hengki Bonifacius Tompo, David Kristanto, and Adri Prematura
Wicaksono, “Revitalizing Worship In The Post-Pandemic Church: Towards A Liturgy Of Thanksgiving,”
Manna Rafflesia 8, no. 2 (April 30, 2022): 685–705,
https://journals.sttab.ac.id/index.php/man_raf/article/view/249.
23 Eirene Kardiani Gulo, “Studi Kualitatif Pemanfaatan Media Digital Dalam Pelayanan Gereja,”

HINENI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa 2, no. 1 (2022): 19.

Copyright©2023; TEMISIEN | 46
TEMISIEN, Vol 3, No 1, Maret 2023

bijak memilih. Tidak semua hal berguna sehingga walaupun tidak ada larangan terha-
dapnya, tetapi adalah lebih baik untuk tidak diperhamba (1 Kor. 6:12).
Gereja perlu berubah mengikuti perkembangan zaman, namun bukan berarti
mengikuti nilai-pola dan sistem yang menyertainya. Gereja melakukan adaptasi adalah
sebuah syarat agar gereja tetap mampu menjalankan fungsi sebagai penerang dan garam
dunia.24 Oleh karenanya dalam beradaptasi, gereja perlu melakukannya secara konteks-
tual (1Kor 10:23). Dalam beradaptasi gereja dimutlakkan untuk mengikuti aspek-aspek
pembentuk hakikat gereja sehingga dapat mengambil sikap yang benar. Delapan aspek
gereja perlu menjadi landasan dalam menentukan pilihan posisi terhadap metaverse un-
tuk mengadopsi sepenuhnya, menggunakannya untuk hal-hal tertentu dalam pelayanan
gereja atau menolak sama sekali. Gereja tidak dapat terlepas dari aspek yang ada sebab
aspek tersebut digali dan disaripatikan dari kebenaran Alkitab. Inilah tantangan gereja di
sepanjang zaman, bagaimana upaya dilakukan agar eksistensi gereja tidak kehilangan
hakikatnya yaitu tetap menghidupkan aspek-aspek alkitabiahnya di dunia ini.
Selain pertimbangan landasan aspek, gereja juga perlu memandang dan menga-
nalisis situasi zaman saat ini. Kepesatan teknologi informasi sejatinya telah memberikan
dampak buruk dalam kehidupan umat percaya antara lain terdapat peningkatan adiksi
terhadap sajian dalam dunia maya seperti game online, media sosial dan media video
sharing dengan rata-rata waktu berselancar 10 jam sehari.25 Aliran informasi atau taya-
ngan tanpa batas yang disuguhkan melalui dunia maya memunculkan karakter baru
yang tidak sesuai iman Kristen sehingga pada ujungnya terjadi degradasi moral masya-
rakat terutama generasi teknologi.26 Terjadi fakta peningkatan yang signifikan kecanduan
terhadap permainan game di kelompok remaja.27 Ibadah yang dilakukan melalui aplikasi
komunikasi video semacam zoom, google meet dan youtube sulit memenuhi parameter satu
tubuh dan kesatuan hati jemaat karena ibadah virtual memungkinkan jemaat bebas dan
mudah memilih gereja yang disukai sehingga dengan mudah berpindah-pindah gereja.28
Situasi atau fakta yang terjadi tersebut merupakan tantangan berat yang tidak dapat
dihindari di era digital ini dan patut menjadi perhatian serius.
Gereja Figital Dual Literasi
Groome berpendapat bahwa pemikiran kritis sangat diperlukan bagi upaya pembaha-
ruan gereja. Eksistensi gereja di dunia ini secara hakikatnya belum mewujudkan gereja
yang sebenar-benarnya.29 Gereja perlu terbuka pada perubahan zaman tetapi secara kritis
dan bijak memegang teguh aspek-aspek alkitabiah yang tetap perlu dijaga agar gereja
tetap ada dalam koridor eksistensialnya. Oleh karenanya, dalam menghadapi dunia baru

24 Yonatan Alex Arifianto, Reni Triposa, and Daniel Supriyadi, “Menerapkan Matius 5: 13 Tentang
Garam Dunia Di Tengah Era Disrupsi,” SHAMAYIM: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 1, no. 1 (2020):
92–106.
25 Medy Martje Lobang and Yosua Feliciano Camerling, “Media Pembelajaran Dan Kurikulum

Pendidikan Jemaat Dalam Gereja Berbasis Online Untuk Menghadapi Perubahan Globalisasi Abad Ke-21,”
Jurnal Ilmu Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 2, no. 1 (2021): 61–78.
26 Lobang and Camerling, “Media Pembelajaran Dan Kurikulum Pendidikan Jemaat Dalam Gereja

Berbasis Online Untuk Menghadapi Perubahan Globalisasi Abad Ke-21.”


27 Eryzal Novrialdy, “Kecanduan Game Online Pada Remaja: Dampak Dan Pencegahannya,” Buletin

Psikologi 27, no. 2 (2019): 148–158.


28 Anjaya, “Reformasi Gereja Masa Kini Menghadapi Era Virtual.”

29 Thomas H Groome, Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen, 1st ed. (Jakarta: PT.

BPK Gunung Mulia, 2010).

Copyright©2023; TEMISIEN | 47
C. E. Anjaya: Menyiapkan Gereja Figital...

metaverse, gereja pun tetap perlu beradaptasi dengan menyiapkan diri sebaik-baiknya
mengingat kehadiran metaverse dan segala pengaruhnya tidak akan dapat dihindari30
walaupun metaverse tidak dapat memenuhi semua kebutuhan umat percaya secara
holistik. Umat Tuhan adalah makhluk fisikal, emosional, sosial dan spiritual yang
memerlukan sentuhan fisik dan tatap muka, sentuhan perasaan, relasi dengan sesama
dan hubungan dengan pencipta. Metaverse bukanlah merupakan solusi bagi gereja yang
berupaya membangun diri menurut kepenuhan dan kesempurnaan hakikatnya secara
alkitabiah, tetapi sebagai salah satu sarana atau instrumen agar upaya tersebut dapat
tercapai. Atau dapat pula dijelaskan bahwa metaverse sebagai alat perluasan pelayanan
gereja di masa depan.
Salah satu aspek yang sulit terpenuhi adalah aspek keempat yaitu gereja sebagai
kesatuan Roh dan tubuh. Frasa kesatuan tubuh bermakna satu dalam saling keterikatan
sebagaimana anggota tubuh. Hal ini berbicara mengenai relasi inkarnasional dalam
gereja yaitu relasi nyata yang menghadirkan Tuhan melalui tindakan riil. Rasul Paulus
menegaskan hal tersebut dengan menyatakan bahwa pelayanannya tidak saja memba-
gikan Injil tetapi juga membagikan hidupnya untuk jemaat (1Tes. 2:8). Dengan demikian
gereja disyaratkan untuk memiliki relasi inkarnasional dalam menjalankan panggi-
lannya. Amsal 27:17 menegaskan hal tersebut dengan menyatakan bahwa orang ditajam-
kan oleh sesamanya. Oleh sebab itu, gereja tetap dibutuhkan secara fisik untuk kehidu-
pan bersama jemaat, namun di sisi yang lain gereja dituntut pula untuk beradaptasi
mengikuti atau memasuki kehidupan digital.31 Inilah yang dewasa ini diistilahkan seba-
gai gereja figital (phygital church).
Istilah figital muncul sebagai terjemahan dari kata phygital. Dalam dunia pema-
saran, figital atau phygital dipergunakan untuk menunjukkan proses pemasaran yang
mengintegrasikan antara pengalaman fisik dan digital. Pengalaman tersebut terjadi
sebagai dampak dari perkembangan teknologi digital.32 Istilah figital juga dapat diguna-
kan untuk merujuk kepada strategi bisnis multi-channel, cross-channel, atau omni-channel.
Phygital atau figital dilihat sebagai kerangka kerja komprehensif untuk mengelola penga-
laman pelanggan dengan lebih baik. Kerangka kerja semacam itu merupakan rangkaian
proses dengan menghubungkan penawaran offline dan online.33Mengacu pada pengertian
di bidang bisnis tersebut maka dalam konteks bergereja figital dapat diartikan sebagai
strategi gereja untuk berada dalam dua posisi yaitu secara fisik menggembalakan jemaat
seperti format saat ini dan masuk dalam ranah digital dengan memanfaatkan teknologi
digital sebagai sarana pelayanan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar secara efektif dan
efisien dapat membawa kondisi spiritualitas jemaat menjadi lebih baik mengalami
keselamatan kekal. Untuk dapat berjalan sebagai gereja figital, dibutuhkan upaya penting
yang dapat disebut sebagai dual literasi. Istilah tersebut merupakan upaya gereja yang
berfokus kepada dua literasi penting sebagai gereja fisik-digital yaitu literasi kehidupan
jemaat dan literasi digital. Keduanya saling terkait karena literasi digital yang dijalankan

30 Putra, “Tinjauan Teologis Ibadah Dalam Metaverse Di Era Pandemi Dan Kemajuan Teknologi.”
31 Gatut Priyowidodo, “Misi Gereja Di Era Disruption,” Misi Gereja di Era Disruption (2018).
32 Matt Johnson and Rob Barlow, “Defining the Phygital Marketing Advantage,” MDPI Journal of

Theoretical and Applied Electronic Commerce Research 16, no. 6 (2021).


33 Wided Batat, “What Does Phygital Really Mean? A Conceptual Introduction to the Phygital

Customer Experience (PH-CX) Framework,” Philipp ‘Phil’ Klaus Journal of Strategic Marketing (2022).

Copyright©2023; TEMISIEN | 48
TEMISIEN, Vol 3, No 1, Maret 2023

didasarkan kepada literasi kehidupan jemaat yang bertujuan pada pengembangan iman
(gambar 1).
Dalam usaha menjalankan relasi inkarnasional – aspek satu Roh dan satu tubuh,
gereja perlu melakukan upaya nyata dengan meningkatkan literasi kehidupan jemaat
sesuai kebenaran firman. Hal tersebut dapat dilakukan dengan terus mengajarkan, mem-
bimbing, mendampingi dan menjadi penolong bagi jemaat dalam menapaki kehidupan
yang semakin fasik ini. Literasi kehidupan dengan dasar Alkitab akan memberikan ke-
kuatan dan perkembangan iman jemaat sehingga di era digital ini jemaat mampu
beradaptasi dengan tetap hidup dalam kebenaran. Peningkatan literasi kehidupan jemaat
berlandaskan iman Kristen dapat dilakukan dengan pelbagai bentuk dan cara antara lain:
pengajaran Alkitab secara komprehensif,34 pendampingan keluarga, program peningka-
tan kesejahteraan jemaat, program pelayanan kesehatan, pelayanan psikologi anak dan
bidang pendidikan. Pelbagai program tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan jemat. Di sinilah kehadiran gereja fisik masih tetap dibutuhkan dalam kondisi
yang kokoh keimanan sehingga ketika akan menyiapkan diri memasuki era baru maka
pengaruh negatif akan terfilter dengan baik.
Selain eksistensi secara fisik, gereja perlu bersiap memasuki ruang digital. Oleh
karenanya, gereja perlu menyiapkan diri dengan literasi digital dengan pelbagai bentuk
antara lain: menyiapkan departemen bidang m, program pelatihan teknologi digital bagi
kaum muda, pengembangan sarana prasarana digital dan pengembangan pelayanan
digital. Beberapa contoh tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan
teknologi digital dan kebutuhan pelayanan gereja. Upaya inilah sebagai persiapan gereja
memanfaatkan metaverse sebagai sarana pelayanan gereja terutama dalam pelayanan
bidang pendidikan Kristen, misi dan penginjilan, pembinaan iman jemaat dan program
pembinaan lainnya.
Gambar 1: Gereja Figital – Dual Literasi

Literasi Kehidupan
Perkembangan Iman

1. Pengajaran Alkitab secara


Literasi Literasi Digital

komprehensif
2. Pendampingan keluarga
Digital 1. Membentuk multimedia
department
3. Program peningkatan 2. Program pelatihan
kesejahteraan jemaat multimedia kaum muda
4. Program pelayanan 3. Pengembangan sarana
kesehatan Preparation prasarana digital
5. Pelayanan psikologi anak as a digital church 4. Pengembangan pelayanan
6. Pengembangan digital (strategi konten dan
pendidikan Kristen model)
7. Pelayanan konseling Strengthening
as a physical church

Upaya gereja menjalankan dual literasi bermuara pada terwujudnya gereja sesuai
dengan hakikatnya yang memenuhi aspek-aspek Alkitabiah. Literasi kehidupan adalah
kemutlakan bagi gereja dan hal ini mengisyaratkan bahwa gereja secara fisik tetap
dibutuhkan. Hal itu disebabkan literasi kehidupan bertujuan mengembangkan iman
jemaat menuju kesempurnaan. Atas kehidupan yang beriman tersebut, gereja dituntut

34 Yakub Hendrawan Perangin Angin, Tri Astuti Yeniretnowati, and Lindin Anderson, “Implikasi
Strategi Pemuridan Yesus Dalam Gereja Meregenerasi Pemimpin,” Sabda: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 1
(2021): 200–218.

Copyright©2023; TEMISIEN | 49
C. E. Anjaya: Menyiapkan Gereja Figital...

meningkatkan literasi digital sebagai persiapan menyambut metaverse sebagai era baru.
Bagi gereja, metaverse bukan sebagai platform utama dalam menjalankan kehidupan
bergereja sebab gereja secara fisik yang memenuhi aspek Alkitabiah tetap dibutuhkan
keberadaannya. Metaverse dapat dipergunakan sebagai sarana pendorong pelayanan
gereja menjadi lebih efisien dan meluas tanpa batas. Hal ini mengacu dari 1 Korintus
10:23: tidak ada larangan terhadap segala sesuatu tetapi bukan berarti segalanya berguna.
Bagi rasul Paulus segala sesuatu diperbolehkan namun dari semuanya itu belum tentu
membangun.
KESIMPULAN
Metaverse merupakan hasil karya peradaban manusia yang bertujuan baik bagi kehi-
dupan masa kini. Gereja sebagai persekutuan umat percaya perlu mengkritisi, merespon
dan menentukan posisi atas keberadaannya. Atas dasar aspek-aspek Alkitabiah yang
menjadi komponen mutlak pembentuk hakikatnya, disadari bahwa gereja perlu
membentuk diri sebagai gereja figital yaitu menjaga eksistensi gereja secara fisik untuk
menjalankan relasi inkarnasional demi perkembangan iman jemaat, namun sekaligus
juga perlu menyiapkan diri menerima metaverse sebagai instrumen pelayanan di era
digital atau sebagai sarana untuk perluasan pelayananan masa depan. Dalam hal ini
usaha konkrit yang dapat dilakukan adalah metode dual literasi yaitu menjalankan dua
literasi utama: penguatan literasi kehidupan dan pengembangan literasi digital dalam
bergereja. Literasi kehidupan berarti mengupayakan perkembangan iman jemaat menuju
kesempurnaan, kekudusan dan persiapan akseptasi metaverse melalui pengembangan
literasi digital.
Dual literasi dapat diaktualisasikan melalui pelbagai aktivitas dan program. Contoh
peningkatan literasi kehidupan jemaat antara lain: pengajaran Alkitab secara kompre-
hensif, pendampingan keluarga, program peningkatan kesejahteraan jemaat, program
pelayanan kesehatan, pelayanan psikologi anak dan bidang pendidikan. Contoh pengem-
bangan literasi digital antara lain: menyiapkan departemen bidang multimedia, program
pelatihan teknologi digital bagi kaum muda, pengembangan sarana prasarana digital dan
pengembangan pelayanan digital.
DAFTAR PUSTAKA
Angin, Yakub Hendrawan Perangin, Tri Astuti Yeniretnowati, and Lindin Anderson.
“Implikasi Strategi Pemuridan Yesus Dalam Gereja Meregenerasi Pemimpin.”
Sabda: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 1 (2021): 200–218.
Anjaya, Carolina Etnasari. “Reformasi Gereja Masa Kini Menghadapi Era Virtual.”
Jurnal Teologi Amreta Vol 5, no. 1 (2021).
Arifianto, Yonatan Alex, Reni Triposa, and Daniel Supriyadi. “Menerapkan Matius 5:
13 Tentang Garam Dunia Di Tengah Era Disrupsi.” SHAMAYIM: Jurnal Teologi
dan Pendidikan Kristiani 1, no. 1 (2020): 92–106.
Batat, Wided. “What Does Phygital Really Mean? A Conceptual Introduction to the
Phygital Customer Experience (PH-CX) Framework.” Philipp ‘Phil’ Klaus Journal
of Strategic Marketing (2022).
Christimoty, Debora Nugrahenny. “Teologi Ibadah Dan Kualitas Penyelenggaraaan
Ibadah: Sebuah Pengantar.” PASCA : Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen

Copyright©2023; TEMISIEN | 50
TEMISIEN, Vol 3, No 1, Maret 2023

15, no. 1 (2019): 1–7.


GP, Harianto. Pengantar Misiologi: Misiologi Sebagai Jalan Menuju Pertumbuhan.
Yogyakarta: ANDI, 2021.
Groome, Thomas H. Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen. 1st ed.
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010.
Gulo, Eirene Kardiani. “Studi Kualitatif Pemanfaatan Media Digital Dalam Pelayanan
Gereja.” HINENI: Jurnal Ilmiah Mahasiswa 2, no. 1 (2022): 19–25.
Johnson, Matt, and Rob Barlow. “Defining the Phygital Marketing Advantage.” MDPI
Journal of Theoretical and Applied Electronic Commerce Research 16, no. 6 (2021).
KOMINFO. “Kementerian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia.”
Kominfo.
Kristandi, Darren. “Keberhasilan Seorang Pemimpin Gereja Dalam Menjadi Panutan
Dan Dampaknya Dalam Pertumbuhan Gereja.” SOLA GRATIA: Jurnal Teologi
Biblika dan Praktika 2, no. 2 (2022).
Lobang, Medy Martje, and Yosua Feliciano Camerling. “Media Pembelajaran Dan
Kurikulum Pendidikan Jemaat Dalam Gereja Berbasis Online Untuk Menghadapi
Perubahan Globalisasi Abad Ke-21.” Jurnal Ilmu Teologi dan Pendidikan Agama
Kristen 2, no. 1 (2021): 61–78.
Mustafa, YİĞİTOĞLU. “Religious Virtual Living and Metaverse on the Real World.”
Afro Eurasian Studies 10, no. 1 (2022): 5–14.
Ning, Huansheng, Hang Wang, Yujia Lin, Wenxi Wang, Sahraoui Dhelim, Fadi Farha,
Jianguo Ding, and Mahmoud Daneshmand. “A Survey on Metaverse: The State-
of-the-Art, Technologies, Applications, and Challenges.” arXiv preprint
arXiv:2111.09673 (2021).
Novrialdy, Eryzal. “Kecanduan Game Online Pada Remaja: Dampak Dan
Pencegahannya.” Buletin Psikologi 27, no. 2 (2019): 148–158.
Oksidelfa Yanto, S H, and others. Pemidanaan Atas Kejahatan Yang Berhubungan Dengan
Teknologi Informasi. Yogyakarta: Samudra Biru, 2021.
Park, Sang-Min, and Young-Gab Kim. “A Metaverse: Taxonomy, Components,
Applications, and Open Challenges.” Ieee Access 10 (2022): 4209–4251.
Priyowidodo, Gatut. “Misi Gereja Di Era Disruption.” Misi Gereja di Era Disruption
(2018).
Putra, Bobby Hartono. “Tinjauan Teologis Ibadah Dalam Metaverse Di Era Pandemi
Dan Kemajuan Teknologi.” Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia 7, no. 5 (2022):
5781–5795.
Rose, Grace. “How Will God and the Church Fit into the Metaverse?” Comm-entary 18,
no. 1 (2022): 4.
Supriadi, Made Nopen, and Iman Kristina Halawa. “Kajian Teologis Makna Inkarnasi
Kristus Dan Implementasinya Bagi Spiritualitas Kristen Pada Konteks Pandemik
Corona Viruses Disease 2019.” SESAWI: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2,
no. 1 (2020): 1–12.
Supriyati, Anisa Larasati. “Telah Hadir Gereja Virtual Pertama Di Dunia Metaverse,

Copyright©2023; TEMISIEN | 51
C. E. Anjaya: Menyiapkan Gereja Figital...

Begini Penampakannya.” Pikiran-Rakyat.Com.


Tatulus, Fekky Daniel Yermia. “Mengajarkan Konsep Trinitas Sebagai Pembekalan
Apologetis Jemaat Di Era Disruptif.” MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi dan
Kepemimpinan Kristen 1, no. 1 (2019): 1–12.
Tompo, Hengki Bonifacius, David Kristanto, and Adri Prematura Wicaksono.
“Revitalizing Worship In The Post-Pandemic Church: Towards A Liturgy Of
Thanksgiving.” Manna Rafflesia 8, no. 2 (April 30, 2022): 685–705.
https://journals.sttab.ac.id/index.php/man_raf/article/view/249.
Wahyu, Rita. “Gereja: Arti Dan Perannya.” SarapanPagi Biblika Ministry.
Wang, Yuntao, Zhou Su, Ning Zhang, Dongxiao Liu, Rui Xing, Tom H. Luan, and
Xuemin Shen. “A Survey on Metaverse: Fundamentals, Security, and Privacy”
(March 2022).
Wibisono, Guntur. “Gereja Dan Metaverse (Sebuah Studi Eklesiologi).” Kastara Karya:
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 2, no. 2 (2022).
“Mark Zuckerberg: Kita Semua Akan Hidup Di Dunia Metaverse.”

Copyright©2023; TEMISIEN | 52

You might also like