Ajaran SIWA-BUDDHA Dalam Kakawin Sutasoma

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)


FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

NILAI SOSIO-RELIGIUS AJARAN SIWA-BUDDHA DALAM


KAKAWIN SUTASOMA KARYA MPU TANTULAR
Oleh :
Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana
IKIP PGRI Bali
Tugus.bawa@gmail.com

Diterima 16 Juli 2019, direvisi 15 Agustus 2019, diterbitkan 1 September 2019

Abstract
The “Kekawin Sutasoma” composition is a masterpiece containing the teachings of ethics,
philosophy and theological concept of Shiva – Buddha, which guide humans to obtain the
essence of ultimate happiness in life. The research on the “Kekawin Sutasoma” composition
could be said as the activity and effort to make an inventory of culture, which has the significant
objective, namely, protecting and preserving traditions born from the civilization of Hindu –
Buddha community. Conducting the research on the “Kekawin Sutasoma” composition
composed by Mpu Tantular has signified the digging of the purity of Shiva - Buddha teachings,
which become the foundation of the religious life of Hindu people in Bali as well as national
and state life. The Shiva – Buddha teachings is the syncretism of Hindu and Buddha religions
in Indonesia. During the age of Majapahit Kingdom in Indonesia, the religions of Shiva and
Buddha have blended into one and this could be seen in several literary compositions and one
of them is “Kekawin Sutasoma”, that educates people to always to get along well with others
and living side by side amid differences. In Indonesia, the people consist of different tribes,
religions, races and groups and each has its own unique characteristics. If we comprehend
Shiva – Buddha teachings in “Kakawin Sutasoma” composition, we are actually taught to get
along well amid differences. The purpose is to prevent discord within the Unitary State of the
Republic of Indonesia.

Key Word : Shiva - Buddha, Socio-Religious, Sutasoma

PENDAHULUAN suci dan pasif, sedangkan Sakti memiliki sifat


Siwa-Buddha merupakan aktif dan dinamis dalam proses pembebasan
penyelarasan dua ajaran keagamaan terbesar jiwa dari ikatan karma.Konsep Adi Buddha
di nusantara pada zamannya, yakni Hindu tidak jauh berbeda dengan konsep Siwa,
(Siwaisme) dan Buddhisme.Persamaan spirit, beliau juga dideskripsikan bersifat suci dan
prinsip ataupun pandangan teologi dari pasif, sedangkan Prajna Paramitha
Siwaisme dan Buddhisme menjadi unsur merupakan emosi yang aktif dari kasih untuk
penting kemanungggalan ajaran Siwa- mencapai kesadaran tujuan tertinggi (Mantra,
Buddha, kenyataan itu berpuncak pada istilah 2002).Kenyataan tersebut semakin
“ya Buddha ya Siva”, yang berarti “tidak ada menguatkan bahwa Siwa dan Buddha adalah
perbedaan apakah ia merupakan penganut dua ajaran yang memiliki prinsip dan
Siwa atau Buddha” (Suamba, 2007). pandangan yang linier, sehingga kedua ajaran
Persamaan ideologi teologis Siwa dan Buddha tersebut dapat berdampingan harmonis,
berpangkal pada realitas dwi tunggal, yaitu bahkan menjadi satu kesatuan.Salah satu
Siwa-Sakti dan Adi Buddha-Prajna karya sastra ciptaan Mpu Tantular yang
Paramitha (Mantra, 2002; Suamba, 2007). membicarakan tentang wacana sosial dan
Siwa dideskripsikan sebagai asas kesadaran,

Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….


26 IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

religiostik ajaran Siwa-Buddha adalah


Kekawin Sutasoma. II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekawin Sutasoma dipandang sebagai Penelitian ini merupakan suatu
salah satu artefak yang memiliki nilai budaya penelitian yang beranjak dari pendekatan
dan sejarah tinggi dan telah dianggap sebagai fungsional terhadap sastra tradisional
kekayaan nasional yang lahir dari penafsiran, (Kekawin Sutasoma).Dalam hal ini, Kekawin
ekspresi jiwa yang imajinatif, dan idealisme Sutasoma dapat dikatakan sebagai suatu
Mpu Tantular terhadap kehidupan sosio- bagian sastra tradisional nusantara dalam
relegius masyarakat sebagai penganut ajaran masyarakat Hindu-Budha yang dilatari oleh
Siwa-Buddha. karya sastra Sutasoma terlahir faktor-faktor sosial (etika, tradisi, agama, dan
dan berkembang didasari atas motivasi, sebagainya).Beranjak dari pandangan
kreasi, dan pemikiran seorang Mpu Tantular tersebut, penelitian ini tergolong ke dalam
dalam mentransformasikan nilai dan norma penelitian deskriptif kualitatif.
etika, moral, dan religi yang dijadikan sebagai Metodepengumpulan data yang
pedoman, baik dalam berpikir, bertutur kata, digunakan dalam penelitian ini adalah (1)
maupun bersikap dalam kehidupan manusia. metode kepustakaan dengan teknik baca dan
Melalui ideologi dan nilai spiritualitas ajaran catat, dan (2) metode wawancara.Metode
Siwa-Buddha, Mpu Tantular mencoba wawancara digunakan untuk memperoleh
membangun kesadaran serta pandangan data tentang implikasi ajaran Siwa-Buddha
masyarakat mulitukultural dalam memahami dalam Kekawin Sutasoma bagi kehidupan
dan menyikapi ajaran keagamaan bahwa beragama masyarakat Bali
antara Siwa dan Buddha dapat berdampingan Instrumen utama dalam penelitian ini
harmonis, bahkan menunggal.Kekawin adalah peneliti sendiri.Dalam hal ini, peneliti
Sutasoma karya Mpu Tantular juga memberi yang mengumpulkan, mengidentifikasi,
sumbangan dalam menginternalisasi ke- menyeleksi, dan menganalisis data.Peneliti
Indonesiaan yang multikultural. Dengan kata dapat dikatakan sebagai human
lain, Kekawin Sutasoma memberikan instrument.Artinya, penelitilah yang memikul
pencerahan bahwa perbedaan dalam banyak peran dalam mengumpulkan,
berkeyakinan itu mutlak dan nyata namun menyeleksi, dan menafsirkan data.
memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu Langkah analisis data ini dilakukan
mencapai dharma/kebahagian. dengan menggunakan metode deskriptif
Berdasarkan logika penalaran di atas, kualitatif.Metode ini dilakukan dengan
permasalahan yang dikaji adalah nilai sosio- menggunakan beberapa langkah operasional,
religius ajaran Siwa-Buddha, prinsip yaitu reduksi data, penyajian data, dan
kesamaan ajaran Siwa dan Buddha dalam penarikan simpulan.Ketiga tahapan tersebut
kekawin Sutasoma, dan implementasi ajaran saling berinteraksi dan memiliki koneksi,
Siwa-Buddha dalam kehidupan beragama berawal dari pengumpulan data, identifikasi,
masyarakat Bali.Secara khusus penelitian ini klasifikasi, dan penafsiran hingga berakhir
bertujuan memahami kemurniaan nilai-nilai pada penarikan simpulan.
sosio-religius, prinsip kesamaan ajaran Siwa- A. Nilai Sosio-Religus Siwa-Budha dalam
Buddha, dan implementasinya dalam Kekawin Sutasoma
kehidupan beragama di Bali. Ajaran Siwa Budha merupakan campuran
Secara spesifik penelitian ini (sinkretisme) Agama Hindu dan Budha di
mengandung urgensi bagi pemahaman Indonesia. Pada zaman Majapahit agama Siwa
tentang pengamalan teologi masyarakat dan Buddha berpadu menjadi satu, dan ini bisa
Hindu di Bali, khususnya ajaran Siwa-Buddha
dilihat dalam beberapa karya sastra yang salah
serta pemahaman tentang upaya
satunya adalah Kekawin Sutasoma. Pada zaman
menginternalisasikan bangsa Indonesia yang
bineka/ multikultural. sekarang Kususnya di pulau Bali, ajaran Hindu
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana 27
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

yang beraliran Siwa dan ajaran Buda (Siwa- disembah hanya satu Tuhan Yang Maha Esa,
Buddha) ini dianggap sebagai dua mazhab hanya saja cara menyembahNya yang berbeda
berbeda dari satu agama yang sama. Hingga sesuai dengan ajaran agama masing masing.
sebuah wilayah di Bali sampai saat ini disebut Dari petikan sloka tersebut terkandunglah
nilai sosial yang mengajarkan setiap insan
dengan Desa Budakeling yang terletak di
manusia untuk dapat hidup rukun dan
Kabupaten Karangasem.
menerima setiap perbedaannya. Sedangkan
Ajaran Sosio-Religius Siwa-Budha dalam Nilai religius yang terkandung yakni nilai
kekain Sutasoma ini mengajarkan kita untuk ketuhanan karena dalam ajaran ini
selalu hidup rukun dan saling berdampingan di mengajarkan kita sebuah konsep kepercayaan
antara perbedaan yang ada. Di Indonesia kita atau ketuhanan yang di dalam kekawin
ketahui bahwa masyarakatnya terdiri dari suku, sutasoma di kenal dengan ajaran Siwa-Budha.
agama, ras dan antar golongan yang berbeda dan Nilai Sosial juga tercermin pada
memiliki cirri khas masing-masing. Dengan petikan frasa wirama III bait 4 pada kakawin
Sutasoma yang berbunyi
adanya hal tersebut jika kita memahami ajaran
“mangkin tiba manahniya yan mangen
siswa budha dalam kekawin sutasoma tersebut i rasmin ira pinaka dewan ing puri, prajnyang
maka kita sesungguhnya telah diajarkan hidup gita wicaksananwan aguna wruh anginaki ri
rukun dalam perbedaan. Hal ini dimaksudkan budhi ring para”
untuk mencegah terjadinya perpecahan di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terjemahannya :
Petikan frasa wirama I39 bait 5 pada kian luluh hatinya tat kala
kakawin Sutasoma yang bunyinya sebagai berikut mengenakan ketampanan beliau sebagai dewa
istana. Sangat mahir dalam hal syair,
bijaksana, dalam usia masih muda telah
rwaneka datu winuwus wara Bhuda Siwa,
memiliki pengetahuan dan pandai
bhineki rakwa ringapan kena parwanosan, menyenangkan hati orang lain.
mengkang jinatwa kalawan siwa Tatwa tunggal,
bhineka tunggalika tan ana darma mangrwa. Petikan frasa wirama III bait 5-6 pada
kakawin Sutasoma yang berbunyi: “yeka etun
ikang jagat padha subhakti malulut i
Terjemahanya: sirambak utama, samanta Prabhu wirayodha
dua dikatakan seperti zat tunggal itu, Sang juga tan ana luput imanah nikeng ati, mwang
Hyang Budha dan Sang Hyang Siwa. Bila itu Rakryan mapatih Jayendra aira tan sipi
dikatakan berbeda, mana mungkin akan dapat manah ira ring Nrepatmaja”
membaginya meenjadi dua. Demikian pula Terjemahannya:
hakikat ajaran Budha dan hakikat ajaran Siwa “mahir akan ajaran-ajaran utama,
hanya satu. Berbeda tetapi tunggal itu, karena berjiwa tua, kasih sayang kepada yang sedang
dua hakikat kebenaran itu. menderita, senantiasa menyenangkan orang
lain. Itulah sebabnya semua rakyat sujud,
Kutipan tersebut mengandung makna hormat, setia hatinya kepada orang yang
bahwa kita menjadi manusia di dunia ini berbudi luhur. Para raja tetangga dan semua
dilahirkan dengan segala pebedaan atau perwira maupun prajurit tidak ada yang
keyakinan yang berbeda-beda terlebih di berbeda pendapat. Demikian pula Patih
Indonesia yang sampai saat ini telah diakui 6 Jayendra sangat sayang kepada putra raja”
Agama resmi di Indonesia yakni Agama
Hindu,Islam,Katolik,Protestan,Budha,dan Selanjutnya Petikan frasa wirama III
Konghucu. Dalam setiap agama atau bait 7 pada kakawin Sutasoma yang berbunyi
keyakinan tersebut sesungguhnya yang :
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
28 IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

“lumarang rat subhageng tri-loka pembuahan. Upacara magedong-gedongan


kajanapriyan ira katekeng puran tara ring ditujukan kepada bayi yang masih berada
suargastha bhatara sambu mara dewa-gana dalam kandungan dan merupakan upacara
milu mangastawa sira” pertama dilaksanakan pada saat bayi berumur
5 bulan Bali (kurang lebih 6-7 bulan kalender)
terjemahannya: karena wujud bayi sudah dianggap sempurna.
“tersebar dan termasyur di dunia tiga Upacara ini berfungsi sebagai
ini, kasih sayang beliau kepada rakyat sampai penyucian terhadap bayi. Di sisi lain juga
ke negara lain. Dewa sambu demikian pula berarti supaya kedudukan bayi dalam
para dewa di surga serempak bersama memuja kandungan baik, kuat, tidak abortus. Secara
beliau” batiniah agar sang Bayi kuat muai setelah lahir
menjadi orang yang berbudi luhur, berguna
Pada petikan frasa di atas terkandung bagi keluarga dan masyarakat. Demikian juga
nilai sosial antara putra raja dan rakyat dimohonkan keselamatan atas diri si ibu
kerajaan, dinyatakan bahwa kelahiran putra supaya sehat, selamat waktu melahirkan.
raja yakni Sang Sutasoma membawa Selanjutnya Petikan frasa wirama I
kemasyuran bagi rakyat. Pengetahuan, bait 6 pada kakawin Sutasoma “sobhang rajya
ketrampilan, kebijaksanaan, dan rasa welas alep lwir sunara-bhuana leyep sarwa dibya
asih yang ada dalam diri beliau menyebabkan prameya, dwaraniya marpat atyadbhuta
beliau sangat dihormati dan disanjung oleh kenaka murub lwir gunung bahni muntab, sak
rakyatnya. rangkang mas manindra dalem ika kumenyar
Sedangkan nilai religiusnya dapat kita ratna sanggyaniya muncar, diptawa ratri
lihat dalam beberapa petikan sloka yang denian rahina sama idepning wang ing jro
terdapat di dalam kekawin sutasoma kadatwan”
diantaranya adalah pada petikan frasa wirama Petikan frasa wirama I bait 7 pada
I bait 11 pada kakawin Sutasoma yang kakawin Sutasoma “nguni-nguni sang wang
berbunyi : adya idalem kapuhan i sira mihat kasrepan,
“puja mantra stuti mwang sayu-sayut kaka-kaka len uwenya matulung padang dani
iniwo homa yajna nukari, sakweh sang ajeng nirangda suka, ana sira wredha kilya
Bhiksukacarya nagara umiring yoga sang Sri nika ika rakwa ninutus Narendradhipa walin
Narendra” ira tan kurang capang ikarja sampun arepat
samakweh karek”
Terjemahannya: Terjemahan :
“puja dan mantra disertai upacara penolak terutama para wanita istana kagum terpesona
baya digelar untuk mengiringi upacara api hatinya memandang beliau. Dayang-dayangg
kurban. Para Biksu pendeta istana menyertai dan inang pengaush meladeni siap siaga di
yoga baginda raja”. depan beliau menimbulkan kegembiraan. Ada
pendeta wanita bungkuk karena tuanya
Petikan tersebut berkaitan erat dengan ditugaskan oleh baginda raja. Perlengkapan
kepercayaan umat Hindu yakni melaksanakan upacara tak ada yang kurang, para pendeta
Upacara magedong-magedongan sebagai istana sudah siap duduk teratur menghadap.
salah satu rasa syukur atas anugerah Maknanya adalah bahwa orang yang
kehamilan yang diberikaan oleh Tuhan Yang tua, sudah pasti memiliki pengalaman yang
Maha Kuasa. lebih dan matang, serta berilmu tinggi atau
Menurut Kanda Pat Rare Upacara sudah dikatakan bijaksana, orang
Magedong-gedongan adalah upacara berpengetahuan tinggi yang selalu merunduk
kehamilan. Dalam proses kehamilan ‘Kama tidak memperlihatkan dirinya tinggi sama
Jaya’ (sperma dari ayah) bertemu dengan halnya dengan pepatah yang mengatakan
‘Kama Ratih’ (ovum dari ibu) terjadi bahwa ‘tanaman padi semakin tua maka
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana 29
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

semakin merunduk’, apalagi dikatakan beliau dengan kama tantra bertujuan supaya berputra
sebagai seorang pendeta, dipercaya mampu yang saleh. Dalam hal kesenangan yang
meberikan petuah-petuah yang baik kepada utama yoga padma danda itu patut
raja karena ilmunya sudah dikatakan dilaksanakan disertai kebijaksara. Yogi
bijaksana. Semadi Nirbana Budha resapkan dalam
Petikan frasa wirama IV bait 3 pada melaksanakan tata pemerintahan.
kakawin Sutasoma “Takwan rakwa kitaki Kutipan tersebut bermakna, orang
manggala wisesa munpuni strya ajeng, ratna yang melakukan senggama atau hubungan
mwang maniraja pakai curiga ndan sing badan hendaknya mematuhi ajaran kama-
lewih ring jagat, manggeh drewyani Sang tantra supaya melahirkan anak yang sujana
Narendra karuhunta jiwan ing rat kabeh, dan suputra. Saat ini dilihat dari pergaulan
yapwan langgyana wada dhandhani ya tang generasi muda zaman sekarang banyak sekali
wang yan prasangge kita” yang hamil di luar nikah, melakukan
Terjemahan: hubungan badan di luar pernikahan sehingga
lagi pula yang patut anakku melanggar ajaran kama-tantra dan akibatnya
banggakan, memiliki dan menikmati gadis akan melahirkan anak yang tidak soleha.
cantik. Permata batu mulia yang besar-besar,
burung, keris, segala yang utama di dunia. Selanjutnya dalam petikan frasa
Tetap menjadi milik raja, terutama seluruh wirama I bait 12 pada kakawin Sutasoma yang
jiwa rakyatnya. Seandainya ada yang berani berbunyi :
durhaka dan menentang, jatuhilah hukuman “HUM HUM ning dewa-
orang yang menentang anakku. aanggyanglangit ajaya-jayan sotan ing
Seandainya ada yang berani durhaka Budha-janma”
dan menentang, jatuhilah hukuman orang
yang menentang anakku” bermakna bahwa Terjemahannya:
dahulu seorang raja sangat disanjung, segala “para dewata mengucapkan doa kemenangan
perintah dan apa yang dibicarakan oleh raja karena Sang Budha menjelma menjadi
danggap paling benar, seorang raja dianggap manusia”.
tuhan, apabila ada yang berani melanggar atau
tidak mengikuti perintah raja maka ia akan Petikan frasa bait wirama II bait 14
dijatuhi hukuman. Tetapi, pada saat ini raja yang berbunyi :
atau pemimpin negara tidak lagi diperlakukan “apituwi sarwa papa ya winasa
seperti dahulu, rakyat semakin berpikir jeli bhasmi ri wijil niranindita, tumitis amungkut
bahwa semua berkedudukan sama di depan arja mabener, bule walik asustha marya ala,
hukum, tidak hanya rakyat jelata yang patut kimuta tikang wijil dadi mageng tepas ireng
dijatuhi hukuman, pemimpin pun jika ia aneka roga ksaya, karanan ikang sarajya
bersalah patut dijatuhi hukuman. padha bhaktya ngastuti ri jeng
Petikan frasa wirama IV bait 3 pada narendratmaja”
kakawin Sutasoma “lawan tan ana yuktyani
kadi tuhankwa nging mawiniyosiren, Terjemahannya:
muktyang sanggama kama-tantra maka don “apalagi segala cacat binasa dan lenyap sejak
putrati dharmotama, ring bhogadhika padma- beliau lahir dan sangat luar biasa. Orang yang
dhandha gelaran tang Budha Wijaksara Sang bungkuk menjadi tegak, yang bule dan cebol
Hyang Budha wibana supta yagangen ring seketika hilang penyakitnya. Demikian pula
byuha kamandaka” yang kerdil menjadi besar, yang cacat hitam
Terjemahan ; pada kulit dan bebragai penyakit lenyap.
wirama IV bait 3: dan juga tidak ada Itulah sebabnya orang istana menyembah dan
yang lebih baik bagi anakku lain daripada memuja sang putra raja”
mencari istri. Menikmati senggama sesuai
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
30 IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

Ketiga petikan wirama di atas, suniyaremban ing parwata, jati sanggama


menerangkan bahwa para dewata dan wisna marga karana ndiniyan pawenang
masyarakat kerajaan menyembah atau ayu”
memuja Tuhan karena kelahiran putra raja
yang membawa kemuliaan bagi seluruh umat. Terjemahannya:
Persembahan atau upacara untuk bayi yang “kesimpulannya, jawaban hamba terhadap
baru lahir tersebut merupakan rangkaian dari sabda
upacara manusa yadnya setelah upacara ayahanda. Jangan dianggap menyimpang dari
magedong-gedongan. Kelahiran atau jelmaan swadharma dan tidak setia, karena berani
Sang Budha merupakan karunia terbesar menentang, tidak mengikuti peraturan. Kini
Tuhan, umat manusia meyakini segala tiada lain, haanya mencari kehampaan yang
kemuliaan yang diberikan Tuhan, dengan cara tertinggi di gunung. Sesungguhnya
melakukan pemujaan atau persembahan perkawinan itu merupakan jalan timbulnya
yadnya. Dengan begitu umat manusia telah penghalang mustahil akan menemukan
menerapkan konsep Tri Hita Karana yang kebaikan”.
salah satunya mengandung hubungan antara
manusia dan Tuhan atau sang pencipta. Petikan tersebut mengandung makna
Petikan frasa bait wirama III bait 1 bahwa Sang Sutasoma jelmaan Budha
pada kakawin Sutasoma “Sampun rakwa menolak terikat dengan keduniawian, ia lebih
genep pitung wulan ikang dina temu-banyu memilih menjalani yoga samadhi di gunung,
sang saya tuha, kyat ing Sri Sutasoma untuk mencapai moksa terlepas dari
namanira da Nrapati winuwus ing jagat punabhawa atau kelahiran kemebali. Ia
kabeh” terjemahan “setelah berusia tujuh beranggapan bahwa ikatan keduniawian. Hal
bulan bertepatan dengan kelahirannya tersebut terkait dengan ajaran sapta timira atau
dibuatkan upacara, serta tumbuh dengan tujuh kegelapan yang menyebabkan pikiran
cepat. Sang Sutasoma nama beliau terkenal orang menjadi gelap atau mabuk. Sang
diberikan oleh raja dan telah diumumkan”. Sutasoma tidak ingin terikat dengan segala
Pada petikan tersebut masih merupakan ketampanan, harta, kepandaian, keturunan
makna religius dari rangkaian upacara manusa atau kedudukan sebagai raja, kekuatan masa
yadnya yakni upacara satu oton atau enam muda, keberanian yang dimilikinya. Ia lebih
bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk memilih menjalani tapa, yoga, semadhi untuk
menebus kesalahan dan keburukan yang ketenangan batinnya.
terdahulu, sehingga dalam kehidupan yang Dapat disimpulkan bahwa perpaduan
sekarang menjadi lebih baik. Jika anak belum ajaran Siwa-Budha memiliki kesamaan dalam
punya nama, maka saat ini adalah saat terakhir berbagai aspek. Dimana persamaan-
untuk memberi nama. persamaan tersebut semakin menyatukan
Petikan frasa bait wirama IV bait 13 ajaran tersebut. Maka dari itu, Suamba
pada kakawin Sutasoma berbunyi: (2007:349—352) telah menyusun sejumlah
“sangksepanya, wuwus patik aji ri sojar Sri aspek yang membuka peluang terjadinya
Narendradwipa, ndatan sang gahen alpa penyatuan Shiwa Buddha di Indonesia, di
dharma kuthila prang waktra nis sasana, antaranya adalah sebagai berikut :
nanten tan ana lan sakeng parama-

Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….


IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana 31
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

No Konsep Agama Siwa Agama Buddha


1 Prinsip tertinggi Parambrahma/ Parama Buddha/
Sadyotkranti/
Parama Shiwa/ AM-AHAdvaya/AM-AH
(moksa) (sunya)
Pranawajnana/ Advaya-Jnana
Pranajyotirupa/ Divarupa
2 Dwi Tunggal Siwa – Durga/ShaktiAdhi Budha dan
Pradnyaparamita
(Advaya dan
Advayajnana).
3 Tiga Hakikat Shiwa Tri Purusha: Buddha Vajrasattwa
Paramashiwa (niskala), dan Awalokiteswara
Sadashiwa (sakala- dalam wujud wujud
niskala), Dharmakaya,
Shiwa (sakala) Sambhogakaya, dan
Nirmanakaya.
4 Kelepasan/ Tujuan Moksa, Sunya Sunya, Nirbana
tertinggi.
5 Tiga Dewa Tri Murti : Ratnatraya :
Brahma, Wisnu, Iswara Sakyamuni,
Lokeswara, dan
Bajrapani atau
Wairocana,
Amitabha, Aksobhya,
atau Wairocana,
Ratnasambhawa, dan
Amogasiddhi.
Ketiganya disebut
juga Buddha, Darma,
dan Sangga,
merupakan esensi
dari Kaya, Wak, dan
Citta (Tri Kaya).
6 Lima Dewa Panca Dewata/ Panca Panca Tatagatha :
Brahma : Wairocana (tengah),
Sadyojata (Iswara: Sa), Ratnasambhawa
Bamadewa (Brahma: (selatan), Amitabha
Ba), Tatpurusa (Barat), Amogasiddhi
Mahadewa:Ta), Aghora (utara), dan Aksobya
(Wishnu: A), dan Isana (Timur).
(Shiwa: I).
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
32 IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

7 Lima Aksara Panca Aksara : Sang, Panca Aksara : Ah,


Bang, Tang, Ang, Ing. Hum, Tram, Hrih, A.
8 Dewi Ilmu Saraswati Pradnya Paramita
Pengetahuan
9 Pendeta Dang Acarya Dang Upadhyaya
10 Istilah nama Siwa (Sewa) Jina, Buddha, Sogata.

Selain kesepuluh paralelisme Shiwa-Buddha tersebut, juga dapat ditambahkan bentuk


pararelisme yang cukup penting, yaitu Pangider-ider yang digunakan oleh Shiwa, Buddha
Mahayana, dan Vajrayana (Tantra), persamaan juga dapat dilihat dari pangider ideran yang ada
dalam agama siwa maupun budha. Dapat dilihat sebagai berikut :

Pangider-ider Shiwa
N Dewa Shakti Wahan Senjata Arah Warn Bija
o a a Mantra
1 Sada Shiwa/Isana Durga Lembu Padma Tengah Panca Ing (I)/
Warn Yang
a (Ya)
2 Iswara/Sadyojata Umadew Gajah Bajra Timur Putih Sang/Sa
i
3 Brahma/Bamade Saraswat Angsa Gada Selatan
Mera Bang/B
wa i h a
4 Mahadewa/Tatpu Sachi Naga Nagapa Barat Kuni Tang/T
rusha sa ng a
5 Wishnu/Aghora Shri Garuda Chakra Utara Hita Ang/A
m
6 Maheswara Lakshmi Macan Dupa Tengga Dadu Nang/N
ra a
7 Rudra Santani Kerbau Moksal Barat Jingg Mang/
a Daya a Ma
8 Sangkara Rodri Singha Angkus Barat Hijau Sing/Si
Laut
9 Sambhu Mahade Wilma Trisula Timur Biru Wang/
wi na Laut Wa

Pangider-ider Buddha

No Dewa Shakti Wahana Arah WarnaBija


Mantra
1 Wairocana Wajradateswari Naga Tengah Putih OM/A
2 Ratnasambhawa Mamaki Singha Selatan Kuning SWA
3 Amitabha Pandara Merak Barat Merat AH

Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….


IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana 33
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

4 Amogasiddhi Tara Garuda Utara Hitam I


5 Aksobhya Locana Gajah Timur Biru HUM

Di Indonesia, agama Hindu dan


Buddha hidup berdampingan secara toleran Artinya :
dan harmonis. Malahan, kedua agama ini Bangunan penguat kerajaan, yang
saling bekerjasama untuk mengisi tiada bandingnya ini, adalah jembatan yang
kekosongan rohani masyarakat Indonesia. kokoh menuju dharma dilengkapi arca
Sejumlah kesamaan sistem ajaran antara manjusri demi pemeliharaan segenap mahluk.
Shiwa dan Buddha diadaptasi dan disusun
kembali sesuai alam pikiran Indonesia. Proses (14) atra buddbasca dharmmasca
perpaduan dan restrukturisasi ajaran ini sanghascantargatah sthitah drstavyo
melibatkan Shiwa, Buddha, dan local genius drsyaratne smin smararati nisudane.
sehingga Shiwa-Buddha di Indonesia
sungguh-sungguh menjadi karya keagamaan Artinya :
yang tiada duanya, bahkan tidak pernah Disitulah terletak didalamnya, berdiri
terjadi di negeri asalnya- India. Pada tataran baik budha,dharma,maupun sanggha
praktik, Shiwa dan Buddha tetaplah dapat hendaknya dipandang, di (bangunan) itu yang
dibedakan. Namun ketika perbedaan ini merupakan permata yang indah, penakluk
diabstraksi pada tataran teologi, metafisika, segala kenikmatan duniawi.
dan mistikal keduanya hanyalah sebutan yang
berbeda dari satu hakikat yang tunggal. Kini (15). Ayam sa Vajradhrk sriman
ajaran Siwa dan Budha dapat menyatu dalam brahma visnurmahesvarah
pelaksanaan kehidupan masyarakat sarvadevamayah,svami mamjuvag iti giyate
khususnya dalam ajaran Agama Hindu kini
telah meyakini ajaran atau Paham Siwa- Artinya :
Budha sebagai sebuah kepercayaan yang kini Ia itu yang membawa wajra dan
diwarisi secara turun temurun, hal ini dapat bercahaya adalah brahma,wisnu maupun
kita perhatikan bahwa dalam melaksanakan maheswara, ia adalah junjungan yang
ritual keagamaan Hindu di Indonesia dan memperlihatkan diri sebagai segala dewa, ia
terkusus di bali konsep Siwa Budha dapat dipuja dalam nyanyian sebagai manjuwag.
dilihat dari adanya istilah pendeta (Pedanda) (Santoso, 1975 :125 dalam Edi
yang di juluki Pendeta siwa_budha. Dimana sedyawati,2009 : 28).
kedua jenis pendeta itu memiliki perannya
masing-masing dalam menjalankan ajaran Dari bait-bait kekawin sutasoma
Agama hindu. terungkap bahwa Dewa Siwa disamakan
Sedangkan untuk dapat dengan Budha. Lebih tepatnya bahwa
membandingkan keduanya, maka dapat diingatkan bahwa ada kebenaran Siwa-Budha
dilihat dari kekawin sutasoma, yang yang halus dan penuh cinta kasih. Karena
berkenaan antara keterkaitan antara Agama kekawin ini bersifat Baudha, maka banyak
Hindu Siwa maupun Budha. Diantaranya uraian dibeikan kepada agama ini. Meskipun
disajikan dalam bait 13,14,dan 15 yang demikian banyak keterangan latar yang
tertuang dalam prasasti kelurak. Adapun teks mengacu kepada tradisi keagamaan Hindu,
tersebut adalah sebagai berikut : seperti menyangkut gambaran mengenai
kahyangan dengan Dewa-dewanya yang
(13). Kirttistambho yam atulo dipimpin oleh indra. Betara guru (siwa)
dharmasetur anuttarah digambarkan melakukan tapa digunung
raksarthamsarvasatvanam semeru.
mamjusripratimukrtih
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
34 IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

B. Implementasi Ajaran Siwa-Budha dalam Siwa-Budha yang di kemas dalam masyarakat


Kehidupan Masyarakat di Bali memiliki nilai estetik dan religious, sehingga
Di Bali, sinkretisme Siwa-Buddha, kedudukannya menjadi sangat penting baik di
sudah ada sejak zaman Bali Kuno (abad 8- dalam melaksanakan Yadnya maupun sebagai
14M), sebagaimana dapat dibuktikan melalui sastra sehingga ajaran Siwa-Budha di bali
tinggalan-tinggalan arkeologi dan dan juga memiliki cirri khas tersendirinya sesuai
dapat dilihat dari cerita cerita perjalan para Rsi dengan keberadaan masyarakat di Bali.
ke Bali dalam misi memperkenalkan dan Dalam keyakinan masyarakat hindu
memperkuat Agama Hindu. Pada abad ke-15 Di Bali posisi kedua pendeta Ini, Siwa
datanglah seorang brahmana dari tanah jawa maupun Budha ditempatkan dalam
yang di kenal dengan nama Dang Hyang kedudukan yang sejajar, tidak ada yang lebih
Nirarta yang dibali lebih dikenal dengan tinggi dan lebih rendah. Ini terbukti dari
sebutan Pedanda Sakti Bawu Rauh. Beliua pengkuan para pendeta di Bali, bahwa para
adalah brahmana yang menyebarkan Agama pendeta Siva- tidak akan sempurna jika tidak
Hindu aliran siwa di bali dan pada akhirnya mengetahui ajaran agama Buddha, dan
beliau menjadi Bhagwanta (pendeta kerajaan) sebaliknya pendeta Budhha juga mengakui
di kerajaan Gelgel. Saat kedatangannya beliau tidak akan sempurna jika tidak mengetahui
juga kembali mengukuhkan ajaran Agama ajaran Siva. Karena masyarakat bali juga
Hindu-Budha yang telah disatukan oleh Mpu meyakini bahwa pendeta siwa maupun budha
Kuturan sebelumnya sehingga kita warisi merupakan putra dewa siwa yang di utus turun
sebagai Hindu Siwa Sidhanta hingga saat ini. ke dunia dengan peran dan tugasnya masing-
Dang Hyang Nirarta juga memiliki seorang masing, dimana pendeta Siwa dianugrahkan
saudara bernama Dang Hyang angsoka. untuk menyucikan alam atas (Svah Loka)
Kedua pendeta ini merupakan putra dari Dang sedangkan pendeta siwa dianugrahkan
Hyang Semaranatha. Dalam perjalananya menyucikan alam tengah (Bwah Loka).
Dang Hyang Angsoka mempunyai putra Sementara yang lainnya adalah penggunaan
bernama Dang Hyang Astapaka. Dang hyang air suci atau Tirtha dari Budha ini dugunakan
Astapaka ini adalah salah satu pendeta atau oleh pendeta siwa demikian juga sebaliknya
orang suci yang menjalankan ajaran Budha air suci atau tirtha dari pendeta siwa juga
dan sampai sekarang keturunan beliau masih digunakan oleh para penganut hindu Budha.
menjalankan tradisi kependetaan dengan Jadi berbicara mengenai masalah
sebutan pendeta atau Pedanda Budha dan sinkretisme Siva-Buddha sebagian besar
tempat tinggal dari keturunan Dang Hyang diuraikan dalam teks-teks Buddha tersebut
Astapaka ini dikenal dengan sebutan wilayah seperti dalam teks Sutasoma, Sanghyang
Desa Budhakeling yang terletak di Kabupaten Kamahanikan, Bubhuksah dan sebagainya.
Karangasem. Hingga saat ini agama Buddha Hingga kini masyarakat hindu di bali sering
mempunyai kedudukan yang sangat kuat menyebutnya sebagai Pendeta/Pedanda Siwa
dalam masyarakat di Bali. Buddha dikenal Budha dan masyarakatpun meyakinan bahwa
dengan berbai nama seperti Jina, Sakyamuni, pelaksanaan ritual keagamaan atau Yadnya
dan Sogata (Sanskrit Sugata). dan terlebih lagi yadnya yang dengan
Filosifis tentang kemanungalan Siwa- tingkatan utama akan lebih sempurna jika
Budha sampai saat ini masih dapat hidup telah dipimpin dengan pendeta siwa dan
berdampingan di Bali. Hal ini dapat kita pendeta budha. Yang dalam masyarakat bali
temukan dalam setiap upacara Yadnya yang jika dilihat dari perjalanan Dang Hyang
dilakukan masyarakat Bali, antara pendeta Nirarta dan Dang Hyang astapaka di bali
Siwa dan Budha dalam memberikan pujaan maka para keturunan beliau kini melanjutkan
kehadapan sang pencipta selalu melakukan ajaran Siwa-Budha tersebut. Dimana para
secara bersamaan atau berdampingan. keturunan Dang Hyang Nirarta melanjutkan
Kekawin sutasoma yang sarat dengan ajaran kependetaan dengan konsep Siwa dan
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana 35
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

keturunan Dang Hyang Astapaka melanjutkan sastra yang salah satunya adalah Kekawin
kependetaan dengan konsep Budha. Di Sutasoma.
masyarakat inilah disebut dengan sebutan 2. Ajaran Sosio-Religius Siwa-Budha
konsep Siwa_Budha. dalam kekain Sutasoma ini mengajarkan
Jadi bias dikatakan bahwa agama kita untuk selalu hidup rukun dan saling
Hindu sebagaimana yang dipraktekan oleh berdampingan di antara perbedaan yang
umat Hindu di Bali sampai saat ini adalah ada. Di Indonesia kita ketahui bahwa
penganut mazab Siva-Buddha. Memang masyarakatnya terdiri dari suku, agama,
ajaran yang di praktekan dalam tantra Siva- ras dan antar golongan yang berbeda dan
Buddha disuplai oleh ajaran agama Buddha memiliki cirri khas masing-masing.
dan Hindu (Sivaisme) secara bersam-sama. Dengan adanya hal tersebut jika kita
Dalam arti ini, mazab Siva-Buddha kadang- memahami ajaran siswa budha dalam
kadang dibedakan dari mazab tantra Siva kekawin sutasoma tersebut maka kita
maupun mazab tantra Buddha . tetapi dengan sesungguhnya telah diajarkan hidup
kecendrungan perkembangan terakhir di Bali, rukun dalam perbedaan. Hal ini
terutama setelah zaman kemerdekaan apa dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
yang disebut dengan Siva-Buddha tidak lain perpecahan di dalam Negara Kesatuan
dari sub-sistem dari agama Hindu. Jika kita Republik Indonesia. Hal ini sesuai
melihat secara formal para Pendeta Budha di Petikan frasa wirama I39 bait 5 pada
bali, ketika melihat identitasnya mereka tidak kakawin Sutasoma yang pada akhirnya
sertamerta ber-Agama Budha, namun para dijadikan sebagai semboyan dan simbol
pendeta tersebut adalah beragama Hindu Negara yang tertuang dalam Pancasila
dengan aliran Budha. yang menjadi simbol bersatunya
Demikian juga didalamnya termasuk perbedaan masyarakat Indonesia.Kutipan
elemen-elemen pemujaan kepada leluhur, ibu tersebut mengandung makna bahwa kita
bhumi, pohon, roh burung, binatang, kekuatan menjadi manusia di dunia ini dilahirkan
magis, spirit, dan hantu-hantu. Dan kita dapat dengan segala pebedaan atau keyakinan
lihat pula dalam tempat suci yang ada dibali yang berbeda-beda terlebih di Indonesia
sangat banyak tempat suci atau pura yang yang sampai saat ini telah diakui 6 Agama
didalamnya juga ada tempat peribadatan resmi di Indonesia yakni Agama
seperti Agama Budha. Dan bukan berarti Hindu,Islam,Katolik,Protestan,Budha,da
bahwa yang sembahnyang disana adalah n Konghucu. Dalam setiap agama atau
mereka yang beragama Budha. Bentuk keyakinan tersebut sesungguhnya yang
bangunannya memenag menyerupai tempat disembah hanya satu Tuhan Yang Maha
suci agama Budha namaun jika diperhatiakan Esa, hanya saja cara menyembahNya
sarana persembahannya juga sama dengan yang berbeda sesuai dengan ajaran agama
persembahan Agama hindu seperti canang, masing masing. Dari petikan sloka
buah dan juga menggunakan atibut-atribut tersebut terkandunglah nilai sosial yang
dengan cirri hindunya. mengajarkan setiap insan manusia untuk
III. KESIMPULAN dapat hidup rukun dan menerima setiap
Berdasarkan tentang Nilai-nilai Sosio- perbedaannya. Sedangkan Nilai religius
Religius Kekawin ajaran Siwa-Budha dalam yang terkandung yakni nilai ketuhanan
Kekawin Sutasoma dapat disimpulkan bahwa: karena dalam ajaran ini mengajarkan kita
1. Ajaran Siwa Budha merupakan campuran sebuah konsep kepercayaan atau
(sinkretisme) Agama Hindu dan Budha di ketuhanan yang di dalam kekawin
Indonesia. Pada zaman Majapahit agama sutasoma di kenal dengan ajaran Siwa-
Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu, Budha.
dan ini bisa dilihat dalam beberapa karya Salah satu implementasi ajaran Siwa-
Budha di bali dapat dilihat dari system
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
36 IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana
GUNA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN HINDU VOLUME 6 NOMOR 2 SEPTEMBER 2019
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISSN : 2355-5696 (CETAK)
FAKULTAS DHARMA ACARYA ISSN : 2655-0156 (ONLINE)
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/GW

kependetaan masyarakat bali yang


menyebutkan istilah pendeta siwa-budha. Dan
para pendeta ini diyakini akan memberikan
kesempurnaan bagi Yadnya yang
dipersembahkan masyarakat ketika sudah di
pimpin oleh pendeta siwa-budha ini, dan
pendeta buhha bukanlah menganut agama
budha, namun menganut agama hindu dengan
aliran budha.

Daftar Pustaka
Arbawa Tanjung Mas,
Pinandita.2008.memahami konsep Siwa
Budha di Bali.surabaya.Paramita.
Edi Setyawati.2009. Siwa dan Budha di masa
jawa Kuno.Denpasar.widya dharma.
I.B. Putu Suamba. Siwa-Budha di Indonesia:
Ajaran dan Perkembangannya, Program
Magister S2 Ilmu Agama dan
Kebudayaan Bekerjasama dengan
Penerbit Widya Dharma, 2007.
Kattsof, Louis. 2004. Pengantar Filsafat.
Terjemahan Soejono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Mantra, Ida Bagus, dkk. 2002. Siwa Buddha
Puja di Indonesia. Denpasar: Yayasan
Dharmasastra.
Matthew, Milles. 1992. Analisis Data
Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi
Rohidi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Moehanto, Budhy. 1987. Tuntunan Sekar
Macapat. Pemalang: CV Mitra Utama.
Phalgunadhi, I Gusti Putu.2010. Sekilas
Sejarah Evolusi Agama Hindu Edisi
Revisi. Denpasar: Program Magister
(S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan
UNHI Denpasar bekerjasama dengan
Penerbit Widya Dharma.
------. 2013. Perkembangan Siwa-Buddha di
India dan Indonesia. Artikel
(Disampaikan dalam Acara Rembug
Sastra di Pura Agung Jagatnatha).
Saifullah, Ali. 2004. Antara Filsafat dan
Pendidikan. Surabaya: Usaha Offset
Printing.
--------,2012. Kakawin Sutasoma ( salinan
lontar druwen gedong kirtya).
Singaraja. UPDT Gedong Kirtya.
Nilai Sosio-Religius Ajaran Siwa-Buddha Dalam Kakawin Sutasoma…….
IKIP PGRI Bali Ida Bagus Gede Bawa Adnyana, I Kadek Adhi Dwipayana 37

You might also like