Pokok Kajian&pendapat Ahli - Anggi Maharani

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

Nama : Anggi Maharani

Pokok kajian

Perubahan status negara pinggiran menuju negara semipinggiran ditentukan oleh keberhasilan
negara pinggiran melaksanakan salah satu atau kombinasi strategi pembangunan, yaitu dengan
menangkap serta memanfaatkan peluang (investasi), strategi promosi dengan undangan dan
strategi berdiri di atas kaki sendiri. Upaya negara semipinggiran menuju negara sentral
bergantung pada kemampuan negara semipinggiran melakukan perluasan pasar serta
pengenalan teknologi modern. Kemampuan bersaing di pasar internasional melalui perang
harga dan kualitas.

Ada dua alasan yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalis dunia saat ini memerlukan negara
semipinggiran, yaitu dibutuhkannya sebuah perangkat politik dalam mengatasi disintegrasi
sistem dunia dan sarana pengembangan modal untuk industri dari negara sentral. Disintegrasi
sistem dunia sangat mungkin terjadi sebagai akibat "kecemburuan" negara pinggiran dengan
kemajuan yang dialami oleh negara sentral. Kekhawatiran akan timbulnya gejala disintegrasi ini
dikarenakan jumlah negara miskin yang sangat banyak harus berhadapan dengan negara maju
yang jum lahnya sedikit. Solusi yang ditawarkan adalah membentuk kelompok penengah antara
keduanya atau dengan kata lain adanya usaha mengurangi pertentangan antara negara maju
dan negara miskin. Secara ekonomi, negara maju akan mengalami kejenuhan dalam
menanamkan investasinya sehingga memerlukan perluasan atau ekspansi investasi ke negara
lain. Upaya perluasan investasi ini membutuhkan lokasi baru pada negara miskin. Negara ini
kemudian dikenal dengan istilah negara semipinggiran.

Pendapat ahli

Wallerstein mengajukan tesis mengenai perlunya gerakan populis berskala nasional digantikan
oleh perjuangan kelas berskala dunia. Lebih jauh Wallerstein (dalam Suwarsono dan So, 1994)
menyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan kebijakan yang merusak tata sistem
ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan:

1. impian mengenai keadilan ekonomi dan politik merupakan suatu keniscayaan bagi
banyak negara
2. keberhasilan pembangunan pada beberapa negara menyebabkan perubahan radikal
dan global terhadap sistem ekonomi dunia
3. strategi pertahanan surplus ekonomi yang dilakukan oleh produsen berbeda dengan
perjuangan kelas yang berskala nasional.

Analisis Wallerstein mengarah pada penjelasan mengenai proses terjadinya saling


ketergantungan ekonomi di seluruh dunia. Ia menjelaskan adanya tiga tahap utama
perkembangan sejarah yaitu ;

1. Pertama, tahap sistem mini. Pada tahap ini, unit-unit ekonomi relatif kecil dan hanya
ditujukan untuk kebutuhan sendiri (subsisten) dengan pembagian kerja yang relatif
kecil, serta berada dalam kerangka budaya tunggal. Tahap ini menonjol pada zaman
masyarakat masih berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan dan berlanjut ketika
masyarakat sudah mengenal sistem berkebun dan bertani.
2. Kedua, tahap kekaisaran dunia, kesatuan ekonominya jauh lebih besar dan menyeluruh,
menggabungkan sejumlah besar sistem mini sebelumnya. Landasannya adalah ekonomi
agraris. Sistem perkenomian dikoordinasikan oleh kekuatan milliter dan kekuasaan
politik, disertai pemerintah yang kejam, adanya pajak yang ketat dan wajib militer.
Kekaisaran dunia ini pun senantiasa terlibat dalam peperangan dan penaklukan
imperialis (misalnya di Mesir kuno, Cina, dan Romawi kuno). Kelangsungan hidupnya
dirusak oleh perkembangan aparat birokrasi dan keruwetan tugas pemerintah yang
mencakup wilayah sangat luas sedangkan prasarana dan sarana transportasi dan
komunikasi sangat terbatas.
3. Ketiga, tahap ekonomi dunia. Tahap ini muncul pada awal abad ke-16, diawali dengan
munculnya kapitalisme sebagai sistem ekonomi dominan. Peran negara sebagai badan
pengatur dan koordinasi aktivitas ekonomi mulai merosot dan digantikan oleh pasar.
Satu-satunya fungsi negara adalah menjaga kerangka aktivitas ekonomi, perdagangan
bebas, dan hubungan perdagangan yang menguntungkan (Sztompka, 1994). Sistem
kapitalis inilah yang kemudian menyebabkan saling ketergantungan negara-negara
Dunia Ketiga dan Dunia Kedua dengan negara maju (negara pinggiran. semipinggiran
dan negara sentral).

Wallerstein kemudian menjelaskan kondisi kelompok negara-negara tersebut serta


menjelaskan bagaimana negara pinggiran dan semipinggiran berupaya untuk menaikkan
statusnya menjadi negara maju (negara setral),yaitu :

1. Pertama, negara sentral. Kelompok negara ini dipandang sebagai negara yang memiliki
surplus investasi. Untuk mempertahankan kondisi in negara sentral memberlakukan
beberapa kebijakan, yaitu: mengurang biaya, terutama biaya produksi yang dapat
dilakukan dengan meningkatkan efisiensi atau dengan meningkatkan pengambilan nilai
lebih yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Negara sentral juga meningkatkan pangsa pasar
yang dilakukan dengan melakukan penjualan di bawah pasar, melakukan monopoli
dan/atau mencoba mengambil manfaat dari kebangkrutan pesaing. Pengurangan biaya
produksi juga dapat dilakukan dengan meningkatkan penggunaan teknologi dalam
proses produksi.
2. Kedua, negara pinggiran. Negara pinggiran yang lebih bergantung dengan negara
sentral, lebih bergantung pada produksi bahan makanan pokok. Menurut Wallerstein,
negara pinggiran juga menerapkan kebijakan dengan menekan biaya produksi. Negara
pinggiran di Eropa Timur menyusun kebijakan untuk menurunkan biaya produksi
dengan menggunakan kombinasi kekuasaan ekonomi dan politik terhadap tenaga kerja
di pedesaan. Untuk meningkatkan hasil produksi, para produsen melakukan
pemberhentian secara sepihak dari perjanjian sewa-menyewa tanah yang telah disetujui
sebelumnya.Kemudian, mereka memaksa para bekas penyewa tanah tersebut menjadi
budak tenaga kerja paksa, semipaksa atau tenaga kerja upahan.
3. Ketiga, negara semipinggiran. Pada wilayah ini, Wallerstein membedakan menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok negara semipinggiran yang terjadi karena proses penurunan
dan kelompok negara semipinggiran yang muncul karena meningkatnya posisi relatif.
Pada kelompok pertama (Polandia dan Portugis), mengalami penurunan kapasitas
produksi serta penurunan peran kekuasaan negara. Sementara, pada kelompok kedua
seperti Swedia, justru menikmati keuntungan seperti yang dinikmati negara sentral.
Kelompok negara ini sudah menciptakan basis penarikan pajak yang kuat, memiliki
kekuatan militer yang tangguh, dan negara yang kuat. Hal ini kemudian menjadikan
mereka kurang mampu untuk melaksanakan kebijakan yang merkantilis.

Negara semipinggiran ini menurut Wallerstein menjadi negara yang cerdik dalam melakukan
kebijakan aliansi politik yang selalu berpindah-pindah dengan kemampuan ekonominya dan
mampu themanfaatkan suasana permusuhan di antara negara sentral untuk kepentingan
pembangunan internal mereka (Suwarsono dan So, 1994). Teori sistem dunia telah mampu
memberikan penjelasan keberhasilan Pembangunan ekonomi pada negara pinggiran dan
semipinggiran, Negara- negara sosialls, yang kemudian terbukti juga menerima modal
kapitalisme dunia, hanya dianggap satu unit saja dari tata ekonomi kapitalis dunia.

Negara sosialis yang kemudian menerima dan masuk ke dalam pasar kapitalis dunia adalah
Cina, khususnya ketika periode pengintegrasian kembali (Suwarsono dan So, 1994). Teori ini
berkeyakinan bahwa tidak ada negara yang dapat melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang
mendunia. Kapitalisme yang pada awalnya hanya merupakan perubahan cara produksi dari
produksi untuk dipakai ke produksi untuk dijual, telah menjadi paham yang membolehkan
pemilikan barang sebanyak-banyaknya, juga mengembangkan individualisme, komersialisme,
liberalisme, dan pasar bebas. Kapitalisme tidak hanya mengubah cara-cara produksi atau sistem
ekonomi saja, namun bahkan telah memasuki segala aspek kehidupan dan pranata dalam
kehidupan masyarakat, dari hubungan antarnegara, bahkan sampai ke tingkat antarindividu
(Denemark, et.al, 2000).

Pandangan Wallerstein juga dinilai telah memberikan sumbangan berarti bagi teori perubahan
sosial. Teoritisi dan peneliti teori sistem dunia jelas telah memberikan sumbangan yang sangat
berarti ketika menekankan gagasan bahwa dunia merupakan sebuah sistem fenomena dan
bahwa kebanyakan dari apa yang telah dianalisis secara tradisional oleh ilmuwan sosial selama
ini (aspek peradaban) harus dikaitkan dan dibahas sejalan dengan garis sistem global
(Robertson dalam Sztompka, 1994).

You might also like