Professional Documents
Culture Documents
Fiqh Kelompok.3
Fiqh Kelompok.3
i
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat iman dan
nikmat islam pada setiap insan yang Allah kehendaki, shalawat beserta salam tidak putus-
putusnya kita panjatkan kepada Nabi dan Rasul terakhir yaitu Baginda Nabi Muhammad SAW,
yang mana oleh beliau telah mengajari kita bagaimana seharusnya seorang manusia itu hidup di
dunia ini. Rasa terima kasih kami kepada dosen pengampu (Dr. Nufiar, M.A.g) pada mata kuliah
“FIQH” dan juga kepada seluruh teman-teman yang telah mensupport sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Para penulis berharap agar makalah ini dapat memberi manfaat
terhadap setiap orang yang menyempatkan waktu untuk membaca dan mentelaah setiap isi
kandungan yang terdapat didalamnya.
Untuk kedepannya agar dapat memberikan saran dan kritik terhadap segala sesuatu
kekurangan yang terdapat di dalam karya tulis ini. Terlepas dari itu semua penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini, dari segi susunan kata,
kalimat, cara penulisannya, maupun kandungan materi yang terdapat di dalamnya. Akhir kata
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat sedikit lebihnya menjadi bahan
evaluasi bagi siapa yang membacanya.
Kelompok 3
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Yang dimaksud dengan orang sibuk di sini adalah orang yang selalu melakukan perjalanan, baik
karena tugas atau lainnya, sejauh perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syari'ah/hukum
Islam, karena itu shalat bagi orang sibuk di sini maksudnya adalah shalat bagi orang yang melakukan
perjalanan baik prekuensinya selalu atau tidak. Dalam masalah shalat, maka akan dikemukakan
beberapa hal penting, di antaranya kenapa seseorang boleh memendekkan shalat (qashar).
Hukum Islam adalah hukum yang didasarkan atas wahyu Allah. Sumber pokoknya adalah Al-
Qur`an dan Al-Sunnah. Allah SWT dalam menetapkan hukum selalu memperhatikan kemampuan
manusia dan memberikan kemudahan pada saat manusia menghadapi kesulitan. Allah SWT tidak
serta merta menetapkan hukum tanpa memperdulikan sisi kemanusiaan. Bahkan Allah menghendaki
yang mudah dan sepadan dengan kemampuan manusia. Nabi Muhammad juga selalu memilih yang
termudah jika dihadapkan pada dua pilihan, selama tidak mendatangkan dosa.
Sebagai bukti bahwa Allah tidak memberikan beban berat kepada hambahnya dan selalu
memberikan kemudahan pada manusia adalah pemberian keringan (rukhsah) terhadap orang yang
berhalangan melakukan ibadah shalat dengan jama` dan qashar juga mengqadha shalatnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hal. 1-2
2
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati,2000, Vol. 2, h. 543
2
York, akan hilang kekhusyukan, menjadi tontonan orang banyak di negeri orang yang tidak
mengenal agama dan cara ibadat tersebut. Itu juga menurutnya adalah ganguan.
Hamka mengatakan: "Dengan segala kerendahan hati dapat kita katakan pula, kalau sekiranya
Saiyyidina 'Abdullah bin Umar hidup di zaman kita ini, niscaya beliau akan menjawab apa artinya:
"Jika kamu takut akan diganggu oleh orang-orang kafir itu”. Yaitu karena pergaulan kita telah amat
luas, masuk ke negeri orang lain yang tidak seagama dengan kita, masuk ke daerah yang tidak
mengenal agama kita, padahal kadang kita datang ke negeri itu bukanlah rombongan, melainkan dua
atau tiga orang saja, dan tempat beribadat kaum muslimin tidak ada di negeri itu. Maka sedangkan
di zaman Rasulullah, setelah Fathuh Makkah, agama Islam telah aman damai, gangguan musuh tidak
ada lagi, masih berlaku qasar shalat di kala musafir, apalagi di zaman kita sekarang ini, meskipun
telah aman, namun gangguan masih ada. Jadi orang yang sibuk (dalam perjalanan) sebenarnya masih
terus merasa ada gangguan, terkadang gangguan dari sisi tempat, gangguan dari sisi pandangan
orang-orang di sekitar di dalam perjalanan tersebut, gangguan kekhawatiran barang-barang bawaan,
dan lain-lain sebagainya. Meskipun tidak ada gangguan, boleh memendekkan rakaat shalat jika
sedang dalam perjalanan (safar).3
( )رواه مسلم
Artinya: "Allah memfardukan shalat pada lisan Nabi kamu pada waktu hadir empat rakaat dan dalam
perjalanan dua rakaat dan dalam keadaan takut (khauf) satu rakaat" (HR. Muslim).
Yang masyhur di kalangan Malikiyah bahwa qasar tersebut adalah sunnat muakkad (sunnat
yang sangat dianjurkan), dengan dalil bahwa Nabi Saw. mengqasar shalat dalam setiap
perjalanannya dan tidak ditemukan riwayat yang sahih bahwa dia menyempurnakan shalat di dalam
perjalanannya.
Dalam pandangan Syafi'iyah dan Hanâfiyah bahwa qasar itu adalah rukhsah (keringanan), di
mana seorang musafir boleh memilih antara menyempurnakan atau memendekkan. 12 Dalil mereka
adalah, di antaranya firman Allah:
ِالصلَوْة ِ
َ َّ ص ُرْوا م َْن
ُ س َعلَْي ُك ْْم ُجنَاحْ أَن تَ ْق
َْ فَلَْي
3
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 2001), Juz 5, h. 234
3
Artinya: "Maka tidak mengapa atas kamu bahwa kamu mengqasar shalat".
Ayat ini menurut mereka, menunjukkan kebolehan memilih antara mengqasar dan menyempurnakan
shalat. Kemudian, hadits 'Umar bin Khattâb, di mana Ya'la bin Umayyah berkata kepada 'Umar bin
al-Khattâb tentang ayat kebolehan mengqasar shalat yang dihubung dengan keadaan takut.
هللا هبْا
ْ صدقة تصدق: ما لنا ا ْن نقصر وقد امنا؟ فقال سألت النيب صلى هللا عليه وسلم فقال
()رواه مسلم
Artinya: "Mengapa kita mengqasar shalat sedangkan kita telah aman. Maka ia (Umar bin al-Khattab)
berkata: Maka saya tanya Nabi Saw. (tentang itu). Maka ia (Nabi) berkata: Itu adalah sedekah yang
disedekahkan Allah kepada kamu maka terimalah sedekahnya itu" (HR. Muslim).
()رواه امحد
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyukai ditunaikan rukhsahnya sebagaimana la menyukai 'azîmah-
azîmahnya ditunaikan" (HR. Ahmad).
Ditemukan di dalam Sahih Muslim dan lainnya bahwa para sahabat melakukan perjalanan bersama
Rasulullah Saw., maka di antara mereka ada yang mengqasar, ada yang menyempurnakan shalat,
ada yang berpuasa dan ada yang berbuka, sebagian mereka tidak mencela sebagian yang lain.
'Aisyah berkata:
ال َحدَّثَنَا ُّ ال َحدَّثَنَا الْ َع ََلءُ بْ ُن ُزَه ٍْْي ْاْل َْزِد
َ َي ق َ َال َحدَّثَنَا أَبُو نُ َعْي ٍم ق ُّ ِ الص
َ َوِف ق ْ أَ ْخ َََبِِن أ
ُّ َْحَ ُد بْ ُن ََْي ََي
4
Ibid. h. 4-8
5
kawan (artinya seorang diri) maka dia sholat munfarid dengan cara mengqashar, dan makruh
mengikuti orang yang muqim (penduduk setempat). Menurut madzhab Hanbali, mengqashar itu
boleh, lebih utama dari pada menyempurnakan rakaat. demikian juga pendapat Madzhab Syafi'i
dengan syarat sudah mencapai jarak tempuh yang ditentukan untuk qashar.
Artinya: "Wahai ahli Makkah jangan kamu mengqasar (pada perjalanan) yang kurang dari empat
burud dari Makkah ke Usfan". (Riwayat al-Dâr al-Quoniy dari Ibn Abbâs)
Ibn Qudâmah mengatakan bahwa pembatasan jarak tersebut menyalahi zahir ayat al-Qur'an yang
membolehkan qasar tanpa ada penentuan jarak dan juga menyalahi sunnah Nabi Saw. di mana Anas
berkata: Bahwa Rasulullah Saw. apabila ia keluar perjalanan tiga mil atau tiga farsakh, ia shalat dua
rakaat .
6
Menurut Hamka tidak ada ketentuan yang dengan tegas menetapkan berapa jarak perjalanan baru
diperbolehkan menqasar shalat. Hal ini karena firman Allah dalam surah al-Nisa' ayat 101 di atas
tidak menentukan hal tersebut. Menurutnya, ayat tersebut telah memberikan ketegasan asal sudah
dinamai berjalan, meninggalkan tempat, sudah bernama musafir dan karenanya sudah boleh
mengqasar shalat. Menurut Hamka, segala perkataan atau pendapat seputar batasan-batasan tersebut
tidak mempunyai sandaran yang jelas. Pegangan orang-orang untuk menentukan ukuran perjalanan
tersebut adalah hadits larangan Nabi terhadap perempuan untuk bepergian dengan tidak ditemani
mahram. Hamka menegaskan: "Pendeknya penyelidikan yang seksama tidak ada yang menunjukkan
dengan tegas berapa batasnya safar itu baru boleh mengqasar. Asal sudah dapat dinamai musafir,
sudah boleh mengqasar".5
5
Ibid h. 9-11
7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Dari seluruh penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi orang-orang yang melakukan
perjalanan, baik selalu atau sesekali, maka ada kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan shalat.
Jadi, alasan yang kuat ada pada pendapat ulama yang membolehkan qashar bagi setiap musafir,
kecuali apabila ijma' menentangnya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan, baik perjalanan itu
ditempuh dengan kapal terbang, kereta api, maupun yang lainnya baik perjalanan itu dengan tujuan
menunaikan perintah maupun untuk maksud-maksud lainnya. Dapat juga dimasukkan golongan
yang bermata pencaharian-mengharuskannya selalu berada dalam perjalanan, seperti pelaut,
kondektur kereta api, dan lain- lainnya sebab pada dasarnya ia juga disebut bepergian. Karena itu,
ia boleh mengqashar, berbuka puasa, dan sebagainya.
8
DAFTAR PUSTAKA