PKB Proceeding Book Simposium

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 69

0

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... 1


SUSUNAN PANITIA ............................................................................................................................ 1
DAFTAR PEMBICARA ....................................................................................................................... 4
JADWAL SIMPOSIUM ....................................................................................................................... 7
DAFTAR SPONSOR ........................................................................................................................... 9
LAYOUT RUANGAN......................................................................................................................... 10
MATERI SIMPOSIUM ....................................................................................................................... 11
“SABA OVER- USE” ATAU “ ICS UNDER- USE“ YANG MENYEBABKAN
PENINGKATAN RISIKO PERAWATAN & KEMATIAN? ....................................................... 11
MODELLING STUDY IN ASTHMA: COMPARING BRONCHOPROTECTIVE EFFECTS
AND SYSTEMIC ACTIVITY ON DIFFERENT ICS/LABA....................................................... 14
PEMBROLIZUMAB COMBINATION APPROACH IN FIRST-LINE SETTING NSCLC .... 20
PENANGANAN PPOK EKSASERBASI (Berdasar GOLD 2022) ....................................... 23
THE IMPORTANCE OF INITIAL TREATMENT IN COPD: THE ROLE OF LABA
(INDACATEROL) ........................................................................................................................... 26
THE IMPORTANCE OF INITIAL TREATMENT IN COPD: THE ROLE OF LABA
(INDACATEROL) AND LAMA (GLYCOPYRRONNIUM) ....................................................... 33
CRYOBIOPSY UNTUK DIAGNOSIS PENYAKIT PARU INTERSTISIAL ........................... 40
HRCT DAN KLASIFIKASI INTERSTITIEL LUNG DISEASE................................................. 55
INTERSTITIAL LUNG DISEASE: EARLY DETECTION AND TREATMENT ..................... 61

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr Wb
Pandemi COVID-19 telah mendisrupsi berbagai aspek kehidupan termasuk
dunia Kesehatan, Kedokteran dan Pendidikan Dokter. Pada kondisi
tersebut, untuk menghormati seluruh tenaga kesehatan khususnya dokter
paru yang tengah berjuang dalam memutus rantai penularan dan
penyebaran COVID-19 maka kegiatan ilmiah di tahun 2020 dan 2021
dilakukan secara daring, dan kembali lagi Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PKB) Paru Surabaya tahun 2022 dilakukan secara luring.
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi sebagai cabang ilmu kedokteran klinis saat ini
telah mengalami berbagai kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat di saat era
pandemi COVID-19 ini, berbagai penemuan dan pengetahuan baru muncul setiap hari, tidak
terbatas pada praktek dokter spesialis paru saja tetapi sangat banyak dijumpai pada praktek
sejawat dokter umum, penanganan gawat darurat paru di IGD dan puskesmas. namun
tantangan setelah pandemi membutuhkan perhatian yang lebih.
Untuk mewujudkan peran tenaga medis dalam penanganan masalah kesehatan respirasi di
era pandemi COVID-19 dan juga setelahnya, maka Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi Universitas Airlangga Surabaya dalam memajukan pendidikan
kedokteran di Indonesia, maka akan menyelenggarakan sebuah acara simposium dan
workshop pendidikan paru yang diberi nama PKB Paru XX Surabaya 2022 dengan tema
“Preparing the Next Level of Respiratory Care”.
Dengan diadakannya acara ini diharapkan kemajuan Ilmu Penyakit Paru dapat
disebarluaskan dan mampu meningkatkan kompetensi para dokter di Indonesia sehingga
dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Dengan adanya acara ini
diharapkan dapat menambah wawasan para peserta baik untuk dokter spesialis paru, dokter
umum, mahasiswa kedokteran dan tenaga medis sehingga dapat bekerja lebih baik dalam
penanganan penderita penyakit respirasi yang lebih baik di masa mendatang.

Selamat datang di PKB Paru XX Surabaya 2022.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Garinda Alma Duta, dr., Sp.P (K)


Ketua

2
SUSUNAN PANITIA

Pelindung
Ketua Dept. / SMF Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Dr. Isnin Anang Marhana, dr., Sp.P(K)

Penasehat
Prof. Dr. Muh. Amin, dr., Sp.P(K), FISR
Isnu Pradjoko, dr., Sp.P(K)
Winariani K., dr., Sp.P(K), MARS, FCCP
Dr. Soedarsono, dr., Sp.P(K)
Dr. Daniel Maranatha, dr., Sp.P(K)
Helmia Hasan, dr., Sp.P(K), M.Pd.Ked., FCCP
Dr. Laksmi Wulandari, dr., Sp.P(K), FCCP

Ketua
Garinda Alma Duta, dr., Sp.P(K)

Wakil Ketua
Dwi Wahyu Indrawanto, dr., Sp.P

Sekretaris
Farah Fatma Wati, dr., Sp.P(K)
Caesar Rozaq Auditiawan, dr.

Bendahara
Ariani Permatasari, dr., Sp.P(K)
Dyah Lauqul M., dr.

Seksi Ilmiah
Alfian Nur Rosyid, dr., Sp.P(K)
Dr. Resti Yudhawati, dr. Sp.P(K)
Yudi Apriyanto, dr.
Suko Hari Adiono, dr.
Yoni Frista Vendarani, dr.
Ach. Najich Riza Firmansyah, dr.
Zul Fahmy Irawan, dr.
Ibrahim Syamsuri, dr.

1
Rahel Yuana Sadikim, dr.

Seksi Publikasi dan Dokumentasi


Arief Bakhtiar, dr., Sp.P(K)
Nuha Aulia Rahman, dr.
S. Billy Riyanto, dr.
Intan Nurani Indrajanu, dr.
Lakcandra Amar Amori, dr.
Reza Muliyanto, dr.
Achmad Zaki Maulidzy, dr.

Seksi Acara
Irmi Syafa’ah, dr., Sp.P(K)
Rosaria Anggraeni, dr.
Hamidia Maulaningtyas, dr.
Dharmaning Estu W., dr.
Richar Tomy Thendeyas, dr.
Yanis Widhiya Ningrum, dr.
Primawati, dr.
Muhammad Nadzir Ansharullah Akbar, dr.

Seksi Dana
Prastuti Asta Wulaningrum, dr. Sp.P
Agus Hidayat, dr. Sp.P
Julius Tanoto, dr.
Frada Gunanta Tarigan, dr.
Yulian Nuswantoro, dr.

Seksi Perlengkapan dan Perijinan


Herley Windo Setiawan, dr., Sp.P
Muhaimin Ashuri, dr.
Yovil Bagas Wiyana, dr.
Aris Sudarwoko, dr.

Seksi Transportasi
Wiwin Is Effendi, dr., Sp.P(K), PhD
Krismanto Holmes P. S., dr.

2
Donny Ardika Novananda, dr.

Seksi Registrasi dan Akomodasi


Anna Febriani, dr. Sp.P(K)
Elvina Elizabeth Lius, dr.
Gerard Mayella A. Da Cunha, dr.
Grace Wulan Veronica Koagouw, dr.
Indra Sukma Tenggara, dr.

Seksi Konsumsi
Tutik Kusmiati, dr., Sp.P(K)
Yunita Ikasari, dr.
Wulan Rahmawati H., dr.
Nurul Atika, dr.
Sri Wulantini, dr.
Faizatul Makkiyah, dr.

3
DAFTAR PEMBICARA

1. Prof. Dr. Muhammad Amin, dr., Sp.P (K), FISR


Divisi Asma-PPOK, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

2. Dr. Daniel Maranatha, dr., Sp.P (K)


Divisi Asma-PPOK, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

3. Helmia Hasan, dr., Sp.P (K), M.Pd.Ked, FCCP, FAPSR


Divisi Imunologi Paru, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

4. Dr. Laksmi Wulandari, dr., Sp.P (K), FCCP, FISCM, FISR


Divisi Onkologi, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FK UNAIR

5. Dr. Resti Yudhawati, dr., Sp.P (K), FAPSR


Divisi Imunologi Paru, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

6. Dr. Isnin Anang Marhana, dr., Sp.P (K), FCCP, FAPSR, FISR
Divisi Intervensi dan Gawat Napas, Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK UNAIR

4
7. Tutik Kusmiati, dr., Sp.P (K), FAPSR
Divisi Infeksi Paru, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

8. Arief Bakhtiar, dr., Sp.P (K), FAPSR


Divisi Asma-PPOK, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

9. Prastuti Asta Wulaningrum, dr., Sp.P, FAPSR


Divisi Infeksi Paru, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

10. Anna Febriani, dr., Sp.P (K), FAPSR


Divisi Onkologi, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FK UNAIR

11. Irmi Syafa’ah, dr., Sp.P (K), FAPSR


Divisi Intervensi dan Gawat Napas, Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK UNAIR

12. Farah Fatma Wati, dr., Sp.P (K), FAPSR


Divisi Onkologi, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FK UNAIR

5
13. Alfian Nur Rosyid, dr., Sp.P (K), FAPSR, FCCP, FISR
Divisi Asma-PPOK, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

14. Agus Hidayat, dr., Sp.P


Divisi Imunologi Paru, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FK UNAIR

15. Fierly Hayati, dr., Sp.Rad (K)


Divisi Radiologi Thoraks, Departemen Radiologi FK UNAIR

6
JADWAL SIMPOSIUM

Sunday, 30th October 2022


Isyana Room

Time Program Speaker


06.30-07.30 Re-Registration
07.30-07.40 Opening Ceremony:
Indonesia Raya, Mars PDPI, and Hymne Airlangga
07.40-07.55 Opening Speech:
- Chairman of PKB Paru 2022
- Chairman of Department of Pulmonology and Respiratory Medicine
Faculty of Medicine University of Airlangga
- Dean of Faculty of Medicine University of Airlangga
07.55-08.05 Medical Ethics and Effective Communication Prof. Dr. Doddy
in Clinical Practice Moesbadianto Soebadi, dr.,
Sp.B, Sp.U(K)
Session I Morning Symposium
Acute and Stable Asthma
Moderator: Arief Bakhtiar, dr., Sp.P(K)
08.05-08.25 SABA Overuse or ICS Underuse that Cause Prof. Dr. Muhammad Amin,
Risk of Hospitalization and Death in Asthma dr., Sp.P(K)
08.25-08.45 Modelling Study in Asthma: Comparing Dr. Daniel Maranatha, dr.,
Broncoprotective Effect and Systemic Activity Sp.P(K)
on Different ICS/LABA
08.45-08.55 Discussion
08.55-09.10 Coffee Break
Session II Meet the Expert
A New Hope for Survival with Immunotherapy in Metastatic NSCLC
without Driver Mutation
Moderator: Farah Fatma Wati, dr., Sp.P(K)
09.10-09.40 The Role of Pembrolizumab for NSCLC Anna Febriani, dr., Sp.P(K)
Management in Monotherapy-Setting
09.40-10.10 Pembrolizumab Combination Approach in Dr. Laksmi Wulandari, dr.,
First-Line Setting NSCLC Sp.P(K)
10.10-10.20 Discussion
Session III Lunch Symposium
Acute Exacerbations and Stable COPD
Moderator: Dr. Daniel Maranatha, dr., Sp.P(K)
10.20-10.40 Management of Acute Exacerbations COPD Arief Bakhtiar, dr., Sp.P(K)
(Based on GOLD 2022)
10.40-11.00 Role of Ultrafine LABA for the Treatment of Alfian Nur Rosyid, dr.,
COPD Sp.P(K)
11.00-11.20 The Importance of Initial Treatment in COPD: Prof. Dr. Muhammad Amin,
The Role of LABA (Indacaterol) and LAMA dr., Sp.P(K)
(Glycopyrronnium)
11.20-11.30 Discussion

7
11.30-12.30 Lunch & Pray
Visiting Booth
Session IV After Lunch Symposium
Recent Update in ILD
Moderator: Wiwin Is Effendi, dr., Sp.P(K), PhD
12.30-12.50 Role of Transbronchial Lung Cryobiopsy in Dr. Isnin Anang Marhana,
the Diagnosis of ILD dr., Sp.P(K)
12.50-13.10 HRCT and ILD Classification Fierly Hayati, dr., Sp.Rad(K)
13.10-13.30 ILD: Early Detection and Treatment Helmia Hasan, dr., Sp.P(K),
M.Pd.Ked
13.30-13.40 Discussion
Session V Day Symposium
Nutrition and Symptomatic Therapy in Chronic Lung Disease
Moderator: Herley Windo Setiawan, dr., Sp.P
13.40-14.00 Nutrition Supplementation with Albumin as Prastuti Asta Wulaningrum,
An Immunostimulatory Agent dr., Sp.P
14.00-14.20 Cancer Pain Management Farah Fatma Wati, dr.,
Sp.P(K)
14.20-14.40 Investigation and Management of Cough Irmi Syafa’ah, dr., Sp.P(K)
14.40-14.50 Discussion
14.50-15.05 Coffee Break
Session VI Afternoon Symposium
Infection in Hajj Pilgrimage
Moderator: Ariani Permatasari, dr., Sp.P(K)
15.05-15.25 Respiratory Infections in Hajj Pilgrims Tutik Kusmiati, dr., Sp.P(K)
15.25-15.45 The Role of Vaccination for Hajj Pilgrims Dr. Resti Yudhawati, dr.,
Sp.P(K)
15.45-16.05 Respiratory Health Isthita’ah for Hajj Pilgrims Dr. Agus Hidayat, dr., Sp.P
16.05-16.15 Discussion
16.15-16.30 Closing & Doorprize

8
DAFTAR SPONSOR

1. Astra Zeneca Indonesia


2. ENDO Indonesia
3. Glaxo Smith Kline Indonesia
4. Ferron Par Pharmaceuticals
5. Pharmasolindo Kimia Farma
6. Royal Medicalink Pharmalab
7. Johnson & Johnson
8. Kalbe Farma
9. MSD
10. Wellesta CPI
11. Zuellig Pharma Indonesia
12. Pelita BioMedical
13. Pratama Nirmala (Fahrenheit Indonesia)
14. Lifepack
15. Nuhasyifa Medika Sejahtera
16. Prodia
17. Soho Industri Pharmasi
18. UBC Medical Indonesia
19. Bumi Surabaya City Resort

9
LAYOUT RUANGAN

10
MATERI SIMPOSIUM

“SABA OVER- USE” ATAU “ ICS UNDER- USE“ YANG MENYEBABKAN


PENINGKATAN RISIKO PERAWATAN & KEMATIAN?
Muhammad Amin

PENDAHULUAN
Pasien dan tenaga kesehatan sering menganggap “asma ringan” tidak ada risiko dan
tidak perlu obat pengontrol. Data-data menunjukkan bahwa hampir 30% kematian asma
terjadi pada pasien dengan gejala tidak sering (Dusser 2007). Pasien “asma ringan”
mempunyai risiko KTD (kejadian tidak diinginkan) yang serius 30-37% pasien dewasa dengan
asma akut, 16% pasien asma fatal (near-fatal asthma), 15-27% pasien dewasa yang
meninggal. Penggunaan SABA berlebihan (≥3 tabung @200 semprot) diasosiasikan dengan
peningkatan risiko eksaserbasi berat (Bateman 2022).

DEFINISI GINA 2022


Asma derajat ringan adalah asma yang bisa dikontrol dengan ICS dosis rendah atau
ICS/form prn.
“SABA over-use” atau “ ICS under-use“ penyebab peningkatan risiko
perawatan & kematian? SABA monoterapi tidak dianjurkan untuk pasien asma ringan
didukung oleh bukti bahwa pemakaian SABA over-use dan ICS menjadi penyebab masalah
keamanan dan hasil yang buruk, termasuk rawat inap dan kemungkinan kematian.
Penggunaan SABA lebih dari 2x/minggu mengindikasikan bahwa pasien memerlukan
pengontrol. SABA prn masih dapat tetap dipakai pada pasien yang memakai obat pengontrol
yang mengandung ICS. Penggunaan SABA berlebihan (≥3 tabung @200 semprot)
diasosiasikan dengan peningkatan risiko eksaserbasi berat dan pada satu studi, juga
dilaporkan risiko peningkatan angka kematian (Bateman 2022). Kebiasaan pasien secara
psikologis cenderung tidak akan menggunakan obat pengontrol secara rutin karena diberitahu
hanya menderita asma ringan. Sebaiknya pasien tidak diberitahu bahwa dia menderita asma
ringan. Dokter harus memotivasi pasien untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan.
Studi SYGMA (O’Byrne 2018)
Walaupun ICS/form prn lebih baik daripada SABA prn dalam hal mencegah
eksaserbasi, ada grup ke-3 dalam studi ini yaitu ICS regular. ICS regular sama baiknya
dengan ICS/form prn dalam hal mencegah eksaserbasi berat. Tetapi ICS regular lebih
superior daripada ICS/form prn dalam hal mencapai asma terkontrol (yang dinilai dengan
ACQ-5), perbaikan kualitas hidup dan faal paru.
Studi Boushey 2005
Boushey melakukan studi selama 1 tahun dan membuktikan bahwa ICS regular
lebih efektif menurunkan inflamasi dibandingkan ICS intermiten.
Median annual change from baseline

In this randomised 1-year trial patients were treated with daily budesonide 400 μg (n=73), daily
zafirlukast 40 mg (n=76) and intermittent budesonide therapy (oral or inhaled corticosteroids
as needed) (n=76).

11
Kebiasaan pasien (GINA 2021)
Kalau diberikan obat yang dapat digunakan sebagai pengontrol dan pelega,
kemungkinan pasien akan lebih sering memakainya sebagai pengontrol rutin atau prn. Secara
psikologis, pasien cenderung tidak akan menggunakan obat pengontrol secara rutin karena
diberitahu dia hanya menderita asma ringan. Tetapi sebaiknya pasien tidak diberitahu bahwa
dia menderita asma ringan. Dokter harus memotivasi untuk meningkatkan kepatuhan
pengobatan.
Strategi Meningkatkan Kepatuhan (Milgrom 1997)
EDUKASI : Berikan informasi yang mencukupi tentang penyakit dan terapinya.
Libatkan semua anggota dalam mendidik pasien. KOMUNIKASI : Lakukan diskusi tentang
terapi secara detail, dengarkan pasien, berikan instruksi tertulis, bangun kepercayaan.
NEGOSIASI : Buat tujuan terapi secara bersama dengan pasien, lakukan adaptasi dan
sederhanakan rejimen dosis sesuai karakteristik pasien. Streamline/ mempersingkat,
hilangkan hambatan yang menghalangi pasien mengontak tenaga kesehatan, tingkatkan
frekuensi dan ketersediaan waktu kunjungan. INDIVIDUALISASI : Harus punya banyak akal
dengan pasien yang lebih sulit, tingkatkan kontak telepon, rancang pendidikan individual dan
rencana tindakan, libatkan anggota keluarga lainnya, rujuk pasien disfungsional untuk
bantuan psikologis.
Studi GOAL menunjukkan terapi PRD memberikan 74,5% pasien yang mencapai
asma terkontrol baik. Terapi PRD, tingkat kontrol setelah terapi selama 1 tahun, hasilnya
sebagai berikut: tidak terkontrol 25,5%, terkontrol baik 30,6 %, total kontrol 43,9% (Bateman
2007).

RINGKASAN
SABA over-use terjadi karena pasien tidak menggunakan obat pengontrol (yang
mengandung ICS) secara rutin atau dosis yang kurang optimal. ICS under-use merupakan
masalah paling utama yang harus diperbaiki. Peningkatan kepatuhan pemakaian obat
pengontrol menjadi kunci dalam pengobatan asma. Studi Sygma membuktikan ICS regular
lebih baik dibandingkan ICS/form prn dalam hal pencapaian asma terkontrol, perbaikan faal
paru dan kualitas hidup. Studi GOAL membuktikan asma terkontrol bisa tercapai, berarti
dapat menghindari pemakaian SABA over-use.

12
DAFTAR PUSTAKA

Bateman ED, Bousquet J, Keech ML, Busse WW, Clark TJH, Pedersen SE .2007. The
correlation between asthma control and health status: the GOAL study. Eur Respir
J;29:56–63. DOI: 10.1183/09031936.00128505
Bateman ED, Price DB, Wang HC, Khattab A, Schonffeldt P, Catanzariti. 2022. Short-acting
β2-agonist prescriptions are associated with poor clinical outcomes of asthma: the multi-
country, cross-sectional SABINA III study. Eur Respir J, May 5;59(5):2101402, doi:
10.1183/13993003.01402-2021
Boushey HA, Sorkness CA, King TS, Sullivan SD, Fahy JV, Lazarus SC. 2005. Daily versus
as-needed corticosteroids for mild persistent asthma. N Engl J Med Apr 14;352(15):1519-
28. doi: 10.1056/NEJMoa042552
Dusser D, Montani D, Chanez P, de Blic J, Delacourt C, Deschildre. 2007. A.Mild asthma: an
expert review on epidemiology, clinical characteristics and treatment recommendations.
Allergy: 62: 591–604
Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Management and Prevention
2022. Available at: http://www.ginasthma.org/
Suissa S, Ernst P , Benayoun S, Baltzan M, Cai B. 2000 . Low-dose inhaled corticosteroids
and the prevention of death from asthma. N Engl J Med . Aug 3;343(5):332-6. doi:
10.1056/NEJM200008033430504
O’Byrne PM, M.B., FitzGerald M, Bateman MD, Barnes PJ, Zhong N, Keen C. 2018. Inhaled
Combined Budesonide–Formoterol as Needed in Mild Asthma. N Engl J Med 2018;
378:1865-1876. DOI: 10.1056/NEJMoa1715274
Milgrom H, Bender B. Nonadherence with the asthma regimen. Pediatr Asthma Allergy
Immunol 1997;11:3-8

13
MODELLING STUDY IN ASTHMA: COMPARING BRONCHOPROTECTIVE EFFECTS
AND SYSTEMIC ACTIVITY ON DIFFERENT ICS/LABA
Daniel Maranatha
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNAIR-RSUD Dr Soetomo

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit kronis saluran napas dengan latar belakang inflamasi
dengan karakteristik saluran napas hiperesponsif. Asma alergi merupakan fenotip yang paling
banyak dijumpai dan berespons baik dengan terapi kortikosteroid. Kortikosteroid inhalasi
(ICS) mempunyai peran penting pada tatalaksana asma pada semua tingkat keparahan (1).
Sampai saat ini tatalaksana asma bersifat simptomatis hal ini bisa dilihat pada
tatalaksana asma menurut GINA di mana tujuan terapi adalah mencapai good symptoms
control dan meminimalkan risiko mortaliti,eksaserbasi dan efek samping obat. Untuk
mencapai tujuan tersebut diperlukan kepatuhan berobat walaupun kategori asma ringan.Pada
penyakit kronis kendala utama untuk mencapai terkontrol baik adalah ketaatan berobat
istimewa pada asma di mana terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat yang dianjurkan
hampir semua pedoman terapi lokal dan internasional (1,2).

ANALISIS MANFAAT-RISIKO ANTARA TERAPI PEMELIHARAAN KORTIKOSTEROID


INHALASI RUTIN DAN TIDAK RUTIN ATAU AS-NEEDED PADA ASMA RINGAN
Kortikosteroid inhalasi berperan penting pada tatalaksana semua tingkat keparahan
asma. Pada asma persisten ringan, sejak awal pemberian kortikosteroid inhalasi secara rutin
tiap hari telah terbukti bermanfaat membuat asma terkontrol, mengurangi risiko eksaserbasi
berat dan mengurangi penurunan fungsi paru akibat eksaserbasi (3,4). Ketaatan pada
pengobatan merupakan kendala pada penyakit kronis. Ketaatan pada terapi kortikosteroid
inhalasi rendah bervariasi antara rerata 22-70% (5,6,7,8) dan pada asma ringan ketaatan
pada kortikosteroid inhalasi rendah (7). Berdasar latar belakang tersebut GINA 2021(1)
merekomendasi opsi terapi untuk asma ringan dengan ICS dosis rendah rutin tiap hari
ditambah SABA as-needed/prn atau ICS/formoterol as-needed (1). Strategi baru GINA
dengan ICS/formoterol tersebut belum diadopsi secara universal (9).
Telah ada beberapa studi tentang sifat pharmacokinetic (PK)/pharmacodynamic (PD)
kortikosteroid inhalasi dan PK/PD hubungan dose-response for duration efek pada inflamasi
saluran napas dan bronchial hyperresponsiveness (BHR).Telah diketahui bahwa durasi
aktiviti antara berbagai molekul ICS dapat bervariasi sangat lebar dan hal ini ada hubungan
dengan obat bertahan di jaringan paru dan durasi berikatan dengan reseptor glukokortikoid
(10,11,12,13).
Bronchial hyperresponsiveness merupakan tanda khas asma. Telah diketahui ada
hubungan bermakna antara asthma symptoms control dan perubahan BHR terhadap
adenosine-5-monophosphate (AMP) setelah terapi kortikosteroid inhalasi. Pemeriksaan BHR
merupakan marker efikasi terapi asma walaupun ada variabiliti individual hasil BHR. Pada
asma ringan cenderung gejala asma tidak sering dan fungsi paru mendekati normal, sehingga
pasien merasa tidak perlu rutin menggunakan obat. Pada pedoman terapi yang berdasar
keluhan klinis dengan ICS/formoterol as-needed bisa membuat inflamasi yang mendasari
dan BHR persisten dan berpotensi memburuk (14,15).
Studi Daley-Yates dkk dengan model PK/PD membandingkan efek bronkoproteksi
beberapa ICS (budesonide/BUD,fluticasone propionate/FP, fluticasone furoate/FF) dosis
regimen dan ketaatan, menunjukkan bahwa dosis rutin tiap hari dan ketaatan tinggi, semua
ICS menghasilkan tingkat efikasi yang baik pada dosis yang direkomendasi untuk asma
ringan. Pada kondisi ketaatan kurang (ketaatan 50%),dijumpai reduksi tingkat bronkoproteksi
pada semua ICS namun fluticasone furoat (FF) memberi durasi bronkoproteksi lebih lama
dibanding budesonide. Hasil yang sama dijumpai pada pemberian 3-4x/minggu seperti yang
dijumpai pada terapi as-needed ICS/formoterol. Pada studi ini juga diketahui bahwa regimen
ICS dosis rendah pada asma ringan menghasilkan pajanan sistemik rendah dan prakiraan
penekanan kortisol <20% untuk semua ICS bila diberikan dengan ketaatan 100% (9).

14
Pada kehidupan sehari-hari, kurang taat pada terapi pemeliharaan dosis tiap hari
sering dijumpai pada pasien asma. Pada studi yang menganalisis beberapa molekul ICS
mengenai tingkat efektivitas dengan dosis regimen berbeda (rutin tiap hari dan 3-
4x/minggu=as-needed) dan ketaatan baik atau buruk,dijumpai dampak terbesar ketaatatan
buruk atau pemberian as-needed pada durasi bronkoproteksi ditemukan pada ICS durasi
kerja pendek (budesonide) sedang yang berdurasi kerja panjang (FF) kurang terdampak
sedang fluticasone propionate terletak antara budesonide dan FF (9). Perbedaan durasi kerja
dipengaruhi oleh sifat farmakologi dan fisikokimia ICS masing-masing. ICS dengan durasi
kerja pendek seperti budesonide mempunyai afinitas glucocorticoid receptor lebih rendah
tetapi permeability jaringan lebih tinggi sehingga tidak tertahan lama di jaringan paru (16). ICS
yang lebih lipofilik seperti fluticasone furoate afinitas GR lebih tinggi,tingkat disosiasi GR lebih
lambat dan retensi di jaringan lebih lama sehingga GR occupancy dan efek bronkoproteksi
lebih lama (9).
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas,pemberian terapi yang memberi
periode suboptimal bronkoproteksi bisa menimbulkan peningkatan inflamasi, risiko
eksaserbasi dan jangka panjang ada risiko penurunan fungsi paru dan remodeling saluran
napas. Beberapa studi melaporkan terapi ICS as-needed kurang efektip dalam hal
antiinflamasi dibanding rutin tiap hari (17,18,19,20). Pada terapi ICS/formoterol as-needed
seperti yang direkomendasi GINA, studi Yates dkk menemukan ada indikasi sub-optimal
control airway hyperresponsiveness (9).
Pada asma ringan, dosis maksimum yang direkomendasi untuk budesonide,
fluticasone propionate,fluticasone furoate menimbulkan pajanan sistemik rendah dan
penekanan kortisol kurang dari 15% (gambar 1), nilai ini lebih rendah dari variabiliti normal
harian fluktuasi kortisol (21) sehingga tidak beralasaan bahwa as-needed lebih aman dari
dosis rutin tiap hari (9). Dari data tersebut ICS aman dan efikasi merupakan komponen yang
paling penting dalam menentukan indeks terapi pada asma ringan (9).

Gambar 1.Dosis eqivalen prednisolone dan penekanan kortisol (9)

DAMPAK PERUBAHAN PEMBERIAN KORTIKOSTEROID INHALASI PADA


TATALAKSANA ASMA
Kortikosteroid inhalasi merupakan komponen utama tatalaksana asma. Kortikosteroid
inhalasi dapat diberikan tunggal atau kombinasi dengan LABA tergantung keparahan asma
(1). Pasien asma ringan cenderung mengalami perbaikan gejala dengan kortikosteroid

15
inhalasi saja secara rutin tiap hari atau as-needed, sedang pasien asma lebih parah perlu
pemberian rutin tiap hari ICS dan LABA untuk mencapai symptoms control.
Pemberian dosis setiap ICS harus memenuhi dosis minimal untuk mencapai terapi
efektip dan tidak melebihi batas atas dosis untuk risiko tinggi efek buruk sistemik.
Kortikosteroid yang diberikan dalam rentang dosis tersebut menjamin efek terapi (termasuk
pengurangan airway hyperresponsiveness dan efek bronkoproteksi) bersifat maksimal dan
potensial risiko efek samping sistemik minimal (9). Bagi para pemberi terapi perlu memahami
dampak berbagai pola ICS untuk mencapai clinical control dan meminimalkan risiko efek
sistemik yang tidak diinginkan untuk mencapai terapi optimal (22).
Kortikosteroid inhalasi atau regimen yang berisi ICS merupakan komponen
farmakologi terpenting untuk mengendalikan inflamasi saluran napas pada asma, sehingga
keluhan dan eksaserbasi berkurang. Oleh sebab itu dosis ICS harus tepat dan kepatuhan
pada pengobatan harus terjaga. Pada studi hubungan regimen dosis dan profil manfaat-risiko
(bronkoproteksi dan penekanan kortisol) beberapa ICS (BUD,FP,FF) oleh Singh dkk pada
asma ringan menunjukkan bahwa BUD dan FP dosis rutin tiap hari mempunyai profil manfaat-
risiko dalam rentang optimal (high efficacy/low systemic activity) untuk pengendalian asma,
sedang profil manfaat-risiko dari as-needed atau dosis tidak rutin (+ rutin dengan dengan
ketaatan 50%) masuk kategori rentang suboptimal (low efficacy/low systemic activity). Dosis
ICS lebih tinggi (masih dalam rentang dosis rekomendasi) dapat mengontrol lebih baik
inflamasi saluran napas (23).
Ketidaktaatan pada pengobatan dapat menimbulkan efek buruk pada efikasi. Singh
dkk melaporkan pada asma ringan,dengan ketaatan rendah (50%) pada BUD dan FP masuk
dalam rentang low airway efficacy/low systemic activity,sedang ketaatan 70% dan 100% BUD
dan FP memberikan bronkoproteksi optimal (high airway efficacy/low systemic
activity).Gambar 2

Gambar 2.Perbandingan airway efficacy to systemic activity BUD/FOR MART dan ICS/LABA
rutin pada asma sedang dan moderate-to-severe asthma (21)

16
Pada asma sedang dan moderate-to-severe ada perbedaan airway efficacy dan
activity systemic di antara beberapa pendekatan MART yang berbeda, dengan beberapa
regimen dosis mempunyai bronkoproteksi derajat tinggi (>70%) tetapi tidak ada pendekatan
MART yang masuk dalam high airway efficacy/low systemic activity (21).

RINGKASAN
ICS atau ICS/LABA (Budesonide atau Fluticasone) dosis rutin tiap hari mempunyai
airway efficacy lebih tinggi dengan systemic activity sama rendah dibanding as-needed
Budesonite/Formoterol pada asma ringan dan MART pada asma sedang dan moderate-to-
severe asthma

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global stratefy for asthma management and
prevention,2021.https://ginasthma.org/gina-report.Accessed 14 Des 2021
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. 2021
3. Busse WW, Pedersen S, Pauwels RA, START Investigators Group, et al. The inhaled
steroid treatment as regular therapy in early asthma (START) study 5-year follow-up:
effectiveness of early intervention with budesonide in mild persistent asthma. J Allergy
Clin Immunol. 2008;121(5):1167–74.
4. O’Byrne PM, Pedersen S, Lamm CJ, Tan WC, BusseWW, START Investigators Group.
Severe exacerbations and decline in lung function in asthma. Am J Respir Crit Care Med.
2009;179(1):19–24.
5. Cerveri I, Locatelli F, Zoia MC, Corsico A, Accordini S, de Marco R. International
variations in asthma treatment compliance: the results of the European Community
Respiratory Health Survey (ECRHS).Eur Respir J. 1999;14:288–94.
6. Makela MJ, Backer V, Hedegaard M, Larsson K. Adherence to inhaled therapies, health
outcomes and costs in patients with asthma and COPD. Respir Med. 2013;107:1481–90.
7. Barnes CB, Ulrik CS. Asthma and adherence to inhaled corticosteroids: current status
and future perspectives. Respir Care. 2015;60:455–68.
8. Eakin MN, Rand CS. Improving patient adherence with asthma self-management
practices: what works? Ann Allergy Asthma Immunol. 2012;109:90–2.
9. Daley-Yates P, Aggarwal B, Lulic Z, Fulmali S,Cruz AA, Singh D.Pharmacoplogy versus
convenience:A benefit/risk analysis of regular maintenance versus infrequent or as-
needed inhaled corticosteroid use in mild asthma. Adv Ther 2022;39:706-726
10. Bardsley G, Daley-Yates P, Baines A, et al. Anti-inflammatory duration of action of
fluticasone furoate/vilanterol trifenatate in asthma: a cross-over randomised controlled
trial. Respir Res. 2018;19:133.
11. Daley-Yates PT, Noushin B, Bharath K, et al. Dose responses for topical efficacy and
systemic activity,dose equivalence and relative therapeutic index for fluticasone furoate
(FF), fluticasone propionate (FP)and budesonide (BUD) in asthmatic subjects. Eur Respir
J. 2019;54(suppl 63):2106.
12. Daley-Yates PT. Inhaled corticosteroids dose regimens:therapeutic relevance of
lipophilicity, solubility,dissolution and absorption from the lung. Am J Respir Crit Care
Med. 2019;199:A3331.
13. Daley-Yates PT. Pharmacological basis of inhaled corticosteroid dose equivalence and
duration of action. Thorax. 2019;74(Suppl 2):A215–6.
14. Sont JK, Han J, van Krieken JM, et al. Relationship between the inflammatory infiltrate in
bronchial biopsy specimens and clinical severity of asthma in patients treated with inhaled
steroids. Thorax.1996;51:496–502.
15. Boulet LP. Asymptomatic airway hyperresponsiveness:a curiosity or an opportunity to
prevent asthma? Am J Respir Crit Care Med. 2003;167:371–8.
16. Daley-Yates P. Inahaled corticosteroids:potency,dose equivalence and therapeutic
index.Br J Clin Pharmacol.2015;80:372-380
17. Hardy J, Baggott C, Fingleton J, et al. Budesonide formoterol reliever therapy versus
maintenance budesonide plus terbutaline reliever therapy in adults with mild to moderate
asthma (PRACTICAL): a 52-week, open-label, multicentre, superiority,randomised
controlled trial. Lancet. 2019;394:919–28.
18. Boushey HA, Sorkness CA, King TS, et al. National Heart, Lung, and Blood Institute’s
Asthma Clinical Research Network. Daily versus as-needed corticosteroids for mild
persistent asthma. N Engl J Med.2005;352:1519–28.
19. O’Byrne PM, FitzGerald JM, Bateman ED, et al. Inhaled combined budesonide-formoterol
as needed in mild asthma. N Engl J Med. 2018;378(20):1865–76.
20. Bateman ED, Reddel HK, O’Byrne PM, et al. As-Needed budesonide-formoterol versus
maintenance budesonide in mild asthma. N Engl J Med.2018;378(20):1877–87.

18
21. Daley-Yates P, Brealey N, Thomas S, et al. Therapeutic index of inhaled corticosteroids
in asthma: a dose-response comparison on airway hyperresponsiveness and adrenal axis
suppression. Br J Clin Pharmacol. 2021;87:483–93.
22. Singh D,Garcia G, Maneechotesuwan K, Daley-Yates P, Irussen E, Aggarwal B et al. New
versus old:The impact of changing patterns of inhales corticosteroid prescribing and
dosing regimens in asthma management. Adv Ther 2022;39:1895-1914
23. Tukiainen H, Taivainen A, Majander R, et al. Comparison of high and low dose of the
inhaled steroid, budesonide, as an initial treatment in newly detected asthma. Respir Med.
2000;94(7):678–83.

19
PEMBROLIZUMAB COMBINATION APPROACH IN FIRST-LINE SETTING NSCLC
Laksmi Wulandari
Thoracic Oncology Division
Department of Pulmonology & Respiratory Medicine
Dr. Soetomo Academic Medical Center Hospital Faculty of Medicine – Universitas Airlangga
Surabaya

Lung cancer is a malignant tumor with the highest incidence and mortality worldwide.
Pathologically lung cancer is divided into small cell lung cancer (SCLC) and non-small cell
lung cancer (NSCLC). NSCLC accounts for more than 85% of total lung cancers.1 Traditional
lung cancer treatment methods include surgery, radiotherapy, chemotherapy, and targeted
therapy. However, only about 20% of patients with localized disease (stages I and II) have
access to radical resection. Thirty percent of patients with locally advanced disease and 50%
of patients with metastatic disease are unable to completely remove the lesion surgically. 2
Targeted therapy appears to be the best option for unresectable advanced lung cancer
patients who have mutations in associated tumor-activating genes. including EGFR, BRAF,
ERBB2 and ALK or ROS1 rearrangements.3 But less than half of NSCLC patients have
mutations in tumor-activating genes that can be blocked or inhibited by the targeted drug.4 In
the majority of NSCLC patients who cannot be treated with targeted drugs, platinum-based
chemotherapy is the standard treatment with a median survival time of about one year.5
Several molecules are known to inhibit the function of immune cells used by tumor
cells to evade immune attack.6 Immune checkpoints such as PD-1/PD-L1, CTLA-4, TIM-3,
LAG-3 and others which are key nodes in the process of tumorigenesis and development,
have become new therapeutic targets. Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) and
programmed cell death protein-1 (PD-1), which have a strong immune suppressive effect
through their function as negative regulators in the process of T cell activation, are the two
immune checkpoint molecules in focus. The main checkpoint inhibitors in NSCLC currently
available are Pembrolizumab, Nivolumab and Atezolizumab. Pembrolizumab is the only
immune checkpoint inhibitor approved by the FDA and the National Medical Products
Administration (NMPA) in China for the first-line treatment of NSCLC.7
Studies have shown that the use of immune checkpoint inhibitors as single agents has
a lower incidence of adverse reactions and death than standard chemotherapy by ensuring
long-term patient survival.8 In some patients with high PD-L1 expression, tumor cell growth
and development dependent on immune release mediated by the PD-1/PD-L1 pathway in
excess. KEYNOTE-024 is the first clinical trial to use pembrolizumab in the first-line treatment
for advanced NSCLC. This study was designed to compare the advantages of pembrolizumab
monotherapy and platinum-based chemotherapy. At a median follow-up time of 11.2 months,
the median progression-free survival (PFS) was 10.3 months in the pembrolizumab group
compared with 6.0 months in the chemotherapy group and overall survival (OS) at 12 months
for pembrolizumab and chemotherapy were estimated at 70.3% and 54.8%, respectively.
Kaplan-Meier analyzes showed that pembrolizumab reduced the risk of disease progression
or death by half compared to chemotherapy. In addition, the objective response rate (ORR)
was 44.8% and 27.8% in the pembrolizumab group and pembrolizumab had a lower incidence
of treatment-related adverse events (TRAEs) compared to chemotherapy (73.4% vs 90.0%),
as in grades 3, 4, or 5 (26.6% vs. 53.3%).9
KEYNOTE-042 is a trial to investigate pembrolizumab monotherapy OS in NSCLC
patients with 1% or greater PD-L1 expression. When the median follow-up time had reached
12.8 months, significantly longer OS was observed in the pembrolizumab group than in the
chemotherapy group in all 3 TPS subgroups. The median survival time across the 3 TPS
subgroups was 16.7 months for pembrolizumab compared with 12.1 months for
chemotherapy, 17.7 months compared to 13.0 months and 20.0 months compared to 12.2
months, respectively. respectively. The incidence of treatment-related AE in the
pembrolizumab group was much lower at 63% (399), than in the chemotherapy group at 90%
(553). The statistical data of the KEYNOTE-042 study have confirmed the rationale for

20
pembrolizumab monotherapy as the first-line treatment for NSCLC, regardless of whether PD-
L1 expression is high or low.10
Chemotherapy has been shown to increase the anti-tumor activity of the immune
system and the inhibitory effects of immune checkpoints. Chemotherapy causes large
amounts of immunogenic tumor cell death in a short period of time, which releases tumor
antigens and eliminates tumor cell-induced immune system suppression. On the one hand,
cytotoxic drugs can directly enhance the function of activated T cells and natural killer (NK)
cells, on the other hand, they can reduce the number of immunosuppressive cells, thereby
indirectly enhancing the function of activated T cells.11 Given the synergy between
chemotherapy and immune checkpoint inhibitors, first-line combination treatment using
pembrolizumab and pemetrexed has been successful in non-squamous NSCLC. The safety
and antitumor activity of pembrolizumab in combination with chemotherapy for the first-line
treatment of metastatic non-squamous NSCLC without EGFR/ALK mutations has been
investigated in the KEYNOTE-189.12
Analysis of the data after a median follow-up of 10.5 months showed that
pembrolizumab combined with chemotherapy reduced the risk of disease progression/death
by almost half. The one-year OS rate in the pembrolizumab combination group was estimated
at 69.2% compared to 49% in the placebo combination group. Improved OS was observed in
all categories classified by PD-L1 expression, indicating that patients may benefit from
pembrolizumab in combination with chemotherapy regardless of PD-L1 expression level.
Pembrolizumab has also been successful in increasing PFS from 4.9 months in the placebo
combination group to 8.8 months in the pembrolizumab combination group. The ORR of
pembrolizumab combined with chemotherapy was 2.5 times that of chemotherapy alone and
the ORR in the pembrolizumab combination group was 47.6% compared with 18.9% in the
placebo combination group.12
Currently, the first-line treatment in patients with advanced lung squamous cell
carcinoma is still platinum-based chemotherapy.13 The five-year survival rate of patients with
squamous cell lung carcinoma is only 5% after comprehensive treatment through surgery,
radiotherapy, and chemotherapy.14 In the KEYNOTE-407, statistical analysis at a median
follow-up of 7.8 months showed that the median OS of the pembrolizumab combination group
was 15.9 months and that of the placebo combination group was 11.3 months. Patients' OS
benefits were consistent regardless of whether their PD-L1 expression levels were high or not.
The median PFS in the pembrolizumab combination group and the placebo combination group
were 6.4 and 4.8 months, respectively. The results of the KEYNOTE-407 showed that the
combination of pembrolizumab and chemotherapy consisting of carboplatin plus paclitaxel or
nanoparticle albumin-bound-paclitaxel provided a longer OS and PFS compared to
chemotherapy alone.15

21
REFERENCES

1. Siegel RL, Miller KD, Jemal A. 2018. Cancer statistics, 2018. CA Cancer J Clin,
68(1):7.
2. Chansky K, Detterbeck FC, Nicholson AG, et al. 2017. The IASLC lung cancer staging
project: external validation of the revision of the TNM stage groupings in the eighth edition
of the TNM classification of lung cancer. J Thorac Oncol, S1556086417303404.
3. Kwak EL, Bang Y-J, Camidge DR, et al. 2010. Anaplastic lymphoma kinase inhibition in
non-small-cell lung cancer. N Engl J Med, 363(18):1693–1703.
4. Barlesi F, Mazieres J, Merlio J-P, et al. 2016. Routine molecular profiling of patients with
advanced non-small-cell lung cancer: results of a 1-year nationwide programme of the
French cooperative thoracic intergroup (IFCT). Lancet, 387(10026):10026.
5. Gerber DE, Schiller JH. 2013. Maintenance chemotherapy for advanced non-small-cell
lung cancer: new life for an old idea. Am J Clin Oncol, 31(8):1009–1020.
6. Hald SM, Rakaee M, Martinez I, et al. 2018. LAG-3 in non-small cell lung cancer:
expression in primary tumors and metastatic lymph nodes is associated with improved
survival. Clin Lung Cancer, S1525730417303406.
7. Bylicki O, Barazzutti H, Paleiron N, Margery J, Assié JB, Chouaïd C. 2019. First-line
treatment of non-small-cell lung cancer (NSCLC) with immune checkpoint inhibitors.
BioDrugs, 33(2):159–71.
8. Wang DY, Salem J-E, Cohen JV, et al. 2018. Fatal toxic effects associated with
immune checkpoint inhibitors: a systematic review and meta-analysis. JAMA Oncol,
4(12):1721–1728.
9. Reck M, Rodríguez-Abreu D, Robinson AG, et al. 2016. Pembrolizumab versus
chemotherapy for PD-L1–positive non–small-cell lung cancer. N Engl J Med,
NEJMoa1606774.
10. Mok TS, Wu YL, Kudaba I, et al. 2019. Pembrolizumab versus chemotherapy for
previously untreated, PD-L1-expressing, locally advanced or metastatic non-small-
cell lung cancer (KEYNOTE-042): a randomised, open-label, controlled, Phase 3 trial.
Lancet, 393(10183):1819-1830.
11. Vanmeerbeek I, Sprooten J, De Ruysscher D, et al. 2020. Trial watch: chemotherapy-
induced immunogenic cell death in immuno-oncology. Oncoimmunology, 9(1):1703449.
12. Gandhi L, Rodríguez-Abreu D, Gadgeel S, et al. 2018. Pembrolizumab plus
chemotherapy in metastatic non–small-cell lung cancer. N Engl J Med,
NEJMoa1801005.
13. Cufer T, Ovcaricek T, O’Brien MER. 2013. Systemic therapy of advanced non-small
cell lung cancer: major-developments of the last 5-years. Eur J Cancer, 49(6):1216–1225.
14. Allemani C, Weir HK, Carreira H. 2015. Global surveillance of cancer survival 1995–
2009: analysis of individual data for 25,676,887 patients from 279 population-based
registries in 67 countries (CONCORD-2). Lancet, 385(9972):977–1010.
15. Paz-Ares L, Luft A, Vicente D, et al. 2018. Pembrolizumab plus chemotherapy for
squamous non-small-cell lung cancer. N Engl J Med, 37

22
PENANGANAN PPOK EKSASERBASI (Berdasar GOLD 2022)
Arief Bakhtiar
Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FK Unair/RS UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Berdasarkan GOLD revisi 2022, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan
penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati dengan karakteristik adanya gejala respirasi
persisten dan keterbatasan aliran udara yang berkaitan dengan abnormalitas saluran udara
dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh pajanan signifikan terhadap partikel atau
gas berbahaya. Gejala respirasi tersering adalah sesak napas, batuk dan/atau disertai
produksi dahak. (GOLD ,2022)
PPOK eksaserbasi merupakan salah satu penyebab utama kasus kegawatdaruratan
dan rawat inap di sebagian besar penjuru dunia dan merupakan salah satu alasan utama
pasien untuk mencari pertolongan. Berbagai strategi dikerahkan untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian yang ditimbulkannya.

DEFINISI
PPOK eksaserbasi akut adalah suatu perburukan akut gejala respirasi yang
membutuhkan terapi tambahan. PPOK eksaserbasi merupakan suatu kejadian kompleks
yang perlu mendapat perhatian karena memberikan pengaruh negatif terhadap status
kesehatan pasien PPOK. Kejadian ini sangat berkaitan dengan peningkatan inflamasi saluran
napas, peningkatan produksi mukus dan ditandai dengan adanya air-trapping. Perubahan
tersebut memberi kontribusi untuk peningkatan sesak yang merupakan gejala utama PPOK
eksaserbasi.

DIANGNOSIS BANDING
Penilaian klinis terhadap PPOK eksaserbasi harus menyingkirkan kemungkinan
diagnosis banding yang lain, yaitu: pneumonia, pneumothorak, efusi pleura emboli paru, dan
edema paru.

TATALAKSANA PPOK EKSASERBASI AKUT


Definisi PPOK eksaserbasi bervariasi. BTS (British Thoracic Society) menyebutkan
bahwa PPOK eksaserbasi sebagai perburukan dari keadaan sebelumnya yang stabil . Gejala
perburukan tersebut antara lain penambahan sesak yang bertambah , penambahan jumlah
sputum, purulensi sputum, dada terasa berat, adanya wheezing (Thorax 2002). Menurut
GOLD , eksaserbasi merupakan suatu episode akut perburukan gejala respirasi yang
memerlukan penambahan terapi. Sesak merupakan kunci dari gejala utama eksaserbasi.
(GOLD 2022)
Eksaserbasi pada PPOK mempunyai peran yang penting terhadap perjalanan
penyakit tersebut karena : pengaruh negatif pada kualitas hidup pasien, mengakselerasi
penurunan faal paru, berkaitan erat dengan mortalitas khususnya yang memerlukan rawat
inap, meningkatkan beban biaya. (Sriyani F,Amin M. 2007. PPOK Eksaserbasi Akut. Tinjauan
Kepustakaan.Dept. Ilmu Penyakit Paru.FK Unair)
PPOK eksaserbasi digolongkan menjadi:
1. Ringan (cukup diterapi dengan bronkodilator kerja cepat/Short Acting Broncodilator
(SABA)
2. Sedang (diterapi dengan SABA dan antibiotik dan atau dengan kortikosteroid oral)
3. Berat (memerlukan rawat inap atau ruang intensif). Eksaserbasi berat mungkin berkaitan
dengan gagal napas akut)

23
Namun secara praktis, penilaian dengan berdasarkan tiga gejala kardinal PPOK
eksaserbasi masih banyak membantu . Tiga gejala kardinal pada eksaserbasi PPOK ditandai
dengan :
• Sesak yang bertambah.
• Produksi dahak/sputum yang meningkat.
• Terjadi purulensi sputum/dahak.
Tujuan penatalaksanaan PPOK eksaserbasi adalah meminimalisasi pengaruh negatif
eksaserbasi saat ini dan mencegah kejadian eksaserbasi berikutnya. Saat melakukan
penanganan eksaserbasi, harus diperhatikan beberapa kondisi yang mengindikasikan
perlunya rawat inap, antara lain:
1. Gejala yang berat seperti perburukan sesak saat istirahat, laju napas yang tinggi,
penurunan saturasi oksigen, tampak bingung atau cemas.
2. Gagal napas akut
3. Sianosis, edema perifer
4. Tidak respons dengan terapi awal eksaserbasi.
5. Adanya komorbid yang serius ( gagal jantung, aritmia)
6. Tidak adanya support yang adekuat di tempat tinggal bila dipulangkan
Tatalaksana PPOK eksaserbasi berat yang tidak mengancam jiwa: (GOLD,2022)
1. Evaluasi keparahan gejala, analisis gas darah, dan foto thorak
2. Berikan suplementasi oksigen, serial evaluasi gas darah arterial sekaligus lakukan
penilaian dengan pulse oksimetri
3. Berikan bronkodilator: naikkan dosis dan atau frekuensi bronkodilator kerja singkat,
kombinasi SABA dan antikolinergik, pemberian LABA jika pasien sudah stabil, gunakan
spacer atau air-driven nebulizer jika memungkinkan.
4. Pertimbangkan kortikosteroid oral
5. Pertimbangkan pemberian antibiotik jika didapatkan tanda-tanda infeksi bakterial
6. Pertimbangan pemberian NIV ( Non Invasive Ventilator)
7. Monitoring balance cairan, pertimbangan heparin subkutan atau LMWH untuk profilaksis
tromboemboli dan identifikasi penyakit komorbid jika ada.

Tabel 1. Indikasi Perawatan ICU

▪ Sesak napas berat dengan respons yang tidak adekuat terhadap terapi inisial di ruang
rawat darurat
▪ Perubahan status mental (konfusi, lethargi,koma)
▪ Hipoksemia persisten atau memburuk (PaO2 < 40 mmHg) atau perburukan atau
asidosis respirasi berat (pH< 7,25) meskipun dengan suplemen oksigen dan ventilasi
non-invasif
▪ Membutuhkan ventilasi mekanik invasif
▪ Hemodinamik tidak stabil → membutuhkan vasopresor

Tabel 2. Indikasi Ventilasi Mekanik Non-Invasif

Sekurangnya satu dari hal berikut:


▪ Asidosis respiratoris ( pH< 7,35 atau PaCO2 > 45 mmHg)
▪ Sesak napas berat dengan tanda klinis kelelahan otot respirasi, peningkatan kerja
pernapasan yang ditandai dengan penggunaan otot bantu napas tambahan,
pergerakan paradoksal abdominal, retraksi sela iga.
▪ Hipoksia persisten meskipun telah mendapat support oksigen.

24
Tabel 3. Indikasi Ventilasi Mekanik Invasif

▪ Kegagalan NIV
▪ Respiratory atau cardiac arrest
▪ Henti napas dengan kehilangan kesadaran
▪ Aspirasi masif atau muntah persisten
▪ Kesadaran menurun, agitasi psikomotor yang tidak bisa dikontrol dengan sedasi
▪ Ketidakmampuan persisten dalam membersihkan sekresi respirasi
▪ HR<50 x permenit dengan penurunan kesadaran
▪ Hemodinamik tidak stabil berat yang tidak respons dengan pemberian cairan dan obat
vasoaktif.
▪ Aritmia ventrikular atau supraventrikuler
▪ Hipoksia yang mengancam jiwa pada pasien

25
THE IMPORTANCE OF INITIAL TREATMENT IN COPD: THE ROLE OF LABA
(INDACATEROL)
Alfian Nur Rosyid1,3, Arina Dery Puspitasari2
1
Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, Universitas
Airlangga, Surabaya, Indonesia
2
Faculty of Pharmacy, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
3
Pokja Asma & PPOK, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih menjadi masalah kesehatan dunia.
PPOK adalah penyakit yang umum diderita oleh seseorang dengan riwayat merokok. Pasien
PPOK memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi, mempengaruhi pria dan wanita secara
setara (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2021). Diperkirakan sekitar 10
persen individu berusia 40 tahun atau lebih menderita PPOK, meskipun prevalensinya
bervariasi antar negara dan meningkat seiring bertambahnya usia. PPOK adalah penyebab
kematian keempat di antara orang dewasa di Amerika Serikat dan merupakan penyebab
kematian ketiga di seluruh dunia (Murphy SL et al., 2017; World Health Organization, 2020;
Yudhawati & Prasetiyo, 2018).
Diagnosis pasien PPOK ditegakkan secara klinis dengan adanya keluhan sesak napas
kronis, batuk berdahak dan sesak napas dengan adanya riwayat pajanan gas/partikel
berbahaya terutama asap rokok. Pemeriksaan spirometri dengan hasil VEP1/KVP kurang dari
70% pasca bronkodilator menunjukkan adanya obstruksi persisten pada pasien PPOK.
Derajat obstruksi didasarkan pada dejarat VEP1 prediksi. Pasien PPOK dikelompokkan
menjadi 4 grup berdasarkan keluhan dan Riwayat eksaserbasi dalam 1 tahun sebelumnya.
Terapi PPOK terdiri dari farmakologis dan non famakologis. Terapi farmakologis pada
PPOK hendaknya menggunakan rejimen yang individual dan berdasarkan derajat keparahan
keluhan, risiko eksaserbasi, efek samping, komorbid, ketersediaan obat dan biaya. Selain itu
juga memperhatikan respon, pilihan / kesukaan, kemampuan dan teknik penggunaan obat
oleh pasien PPOK (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2021).
Berbagai panduan menyarankan penggunaan bronkodilator inhaler sebagai terapi
farmakologis pada PPOK. Berbagai sediaan dan device tersedia untuk pasien PPOK.
Panduan merekomendasikan penggunaan bronkodilator sebagai terapi farmakologis utama
semua tahap PPOK (di Marco et al., 2018). Berikut adalah tinjuan tentang manfaat Long-
Acting Beta Agonist (LABA) pada PPOK.

PEMBAGIAN KELOMPOK PPOK


Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan klinis (sesak, batuk,, dahak kronis) pada
seseorang perokok / terpajan gas berbahaya yang bermakna didukung hasil spirometri
VEP1/KVP ≤70 pasca bronkodilator. Lalu dilakukan pengelompokan PPOK berdasarkan
derajat obstruksi (GOLD 1, 2, 3, 4) dan grup ABCD. Pengelompokan PPOK berdasarkan
derajat obstruksi dengan melihat hasil Spirometri VEP1 prediksi. Pembagian sebagai berikut:
(1) GOLD 1 (Ringan) bila VEP1 ≥80%; (2) GOLD 2 (Sedang) bila 50≤VEP1<80; (3) GOLD 3
(Berat) bila 30≤VEP1<50; (4) GOLD 4 (Sangat Berat) bila VEP1 <30 (Rosyid & Puspitasari,
2020)
Pengelompokan ABCD menggunakan keluhan (skor COPD Assessment Test (CAT)
atau modified Medical Research Council (mMRC)) dan riwayat eksaserbasi 1 tahun
sebelumnya. (Rosyid & Puspitasari, 2020)

Tabel 1. Derajat sesak menurut mMRC. (Bakhtiar & Pratiwy, 2020)


mMRC grade Keluhan
0 Sesak jika melakukan aktivitas berat
1 Sesak ketika terburu-buru berjalan di tempat datar atau mendaki
2 Berjalan di tempat datar lebih lambat dari teman seusianya atau berhenti
berjalan karena harus bernapas dahulu

26
3 Berhenti jalan di tempat datar karena sesak setelah berjalan 100 meter
atau beberapa menit
4 Sesak saat meninggalkan rumah atau saat berpakaian
Keterangan: skor mMRC 0-1: termasuk kelompok sedikit keluhan (less symptom)

Tabel 2. Penilaian klinis PPOK menggunakan CAT (Bakhtiar & Pratiwy, 2020)
Sangat gembira 0 1 2 3 4 5 Sangat sedih
Tidak pernah batuk 0 1 2 3 4 5 Selalu batuk
Tidak ada dahak sama sekali 0 1 2 3 4 5 Dahak banyak
Tidak ada rasa berat di dada 0 1 2 3 4 5 Dada terasa berat sekali
Tidak Sesak saat mendaki/naik 0 1 2 3 4 5 Sesak saat mendaki/naik tangga
tangga
Aktivitas sehari-hari di rumah 0 1 2 3 4 5 Aktivitas sehari-hari di rumah
tidak terbatas terbatas
Tidak khawatir keluar rumah 0 1 2 3 4 5 Sangat khawatir saat keluar rumah
karena kondisi paru karena kondisi paru
Dapat tidur nyenyak 0 1 2 3 4 5 Sulit tidur karena kondisi paru
Sangat bertenaga 0 1 2 3 4 5 Tidak punya tenaga sama sekali
Keterangan: pasien diminta untuk memilih jawaban secara mandiri nilai 0 sampai 5. Total skor
CAT lalu dijumlahkan. Total skor CAT <10: termasuk kelompok sedikit keluhan (less symptom)
Riwayat eksaserbasi sebelumnya dalam 1 tahun yang lalu dibagi menjadi (1) low risk: 0-1 kali
eksaserbasi tapi tidak masuk Rumah Sakit; (2) high risk: ≥2 kali eksaserbasi namun tidak
rawat inap atau ≥1 kali eksaserbasi dan rawat inap.

Pengelompokan PPOK dibagi menjadi 4 Grup seperti terlihat pada gambar berikut.
High Risk
≥2 kali eksaserbasi namun tidak rawat inap C D
atau ≥1 kali eksaserbasi dan rawat inap

Low Risk
0-1 kali eksaserbasi tapi tidak masuk Rumah A B
Sakit

Less Symptom More symptom


mMRC 0-1 mMRC ≥2
CAT <10 CAT ≥10
Gambar 1. Grup PPOK (Amin, 2020)

KLASIFIKASI PASIEN PPOK


Menurut panduan GOLD, Pasien PPOK dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2021):
A : Pasien dengan sedikit keluhan (CAT kurang dari 10 atau mMRC 0-1) dengan Riwayat
eksaserbasi dalam 1 tahun sebelumnya 1 kali tanpa Riwayat masuk rumah sakit.
B : Pasien dengan banyak keluhan (CAT lebih sama dengan 10 atau mMRC 2-4) dengan
Riwayat eksaserbasi dalam 1 tahun sebelumnya 1 kali tanpa Riwayat masuk rumah sakit.
C : Pasien dengan sedikit keluhan (CAT kurang dari 10 atau mMRC 0-1) dengan Riwayat
eksaserbasi dalam 1 tahun sebelumnya 2 kali atau 1 kali pernah masuk rumah sakit
karena eksaserbasi.
D : Pasien dengan banyak keluhan (CAT lebih sama dengan 10 atau mMRC 2-4) dengan
Riwayat eksaserbasi dalam 1 tahun sebelumnya 2 kali atau 1 kali pernah masuk rumah
sakit karena eksaserbasi.

27
Pemilihan terapi initial direkomendasikan mengikuti klasifikasi grup PPOK diatas (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2021).

TERAPI FARMAKOLOGIS PPOK


Terapi farmakologis PPOK bermanfaat untuk mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan keparahan eksaserbasi, serta meningkatkan toleransi latihan dan status
kesehatan (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2021). Terapi PPOK yang
disarankan adalah pemberian inhaler. Inhaler adalah alat yang mengantarkan obat langsung
ke paru pasien PPOK saat menarik napas. Terdapat berbagai jenis inhaler yang tersedia,
diantaranya Short Acting Bronchodilators (Short Acting Beta Agonis – SABA dan Short Acting
Muscarinic Antagonist - SAMA), Long-Acting Bronchodilators (Long-Acting Beta Agonist –
LABA dan Long-Acting Muscarinic Antagonist – LAMA) serta Inhaled Corticosteroid (ICS)
(National Health Service (NHS), 2019).
Semua pedoman merekomendasikan bronkodilator sebagai terapi dasar untuk semua
tahap PPOK. Bronkodilator kerja panjang adalah yang paling efektif dalam pengobatan
reguler PPOK stabil (Nardini et al., 2014). Bronkodilator kerja panjang meningkatkan
kapasitas latihan pada PPOK. Efek utama dari bronkodilator kerja panjang lebih kepada
penurunan inspiratory capacity (IC) basal daripada memodifikasi hiperinflasi dinamis saat
latihan fisik (di Marco et al., 2018).
Efektivitas bronkodilator dievaluasi berdasarkan manfaat fungsional (menghilangkan
obstruksi bronkus dan hiperinflasi paru), simtomatik (toleransi latihan dan kualitas hidup -
HRQoL), dan perbaikan klinis (pengurangan jumlah atau keparahan eksaserbasi). Penilaian
tidak adanya respon perbaikan spirometri pada pemberian bronkodilator pada pasien PPOK
bukanlah alasan untuk menghentikan pengobatan, jika ternyata didapati perbaikan gejala
subjektif pasien (Nardini et al., 2014).
Terapi Initial Pasien PPOK
Pasien yang pertamakali didiagnosis sebagai PPOK, GOLD merekomendasikan
pemberian terapi awal sesuai dengan grupnya. Pasien grup A disarankan menggunakan
SABA atau SAMA. Pasien grup B disarankan menggunakan LAMA atau LABA. Pasien grup
C disarankan menggunakan LAMA. Sementara pasien grup D, disarankan menggunakan
beberapa piilhan, diantaranya: (1) LAMA, atau (2) LABA dan LAMA, atau (3) LABA dam ICS
(Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2021).
Pasien grup A dapat menggunakan SABA atau SAMA saat ada keluhan saja, sementara
kelompok grup B, C, D disarankan rutin menggunakan obat inhaler. Pasien grup D, disarankan
menggunakan kombinasi LABA dan LAMA bila banyak keluhan dengan skor CAT lebih dari
20. Sementara pasien PPOK grup D yang memiliki nilai eosinofil diatas sama dengan 300,
maka disarankan menggunakan kombinasi LABA dan ICS. Dari panduan ini, LABA dapat
diberikan tunggal pada pasien PPOK grup B atau dikombinasikan dengan LAMA (bila CAT
atau ICS pada grup D. Pasien PPOK grup B dan D sama-sama kelompok pasien yang
memiliki banyak gejala, dibuktikan dengan skor CAT lebih tinggi dibandingkan kelompok A
dan C. Terapi triple kombinasi LABA, LAMA dan ICS tidak direkomendasikan diberikan
sebagai terapi awal, namun pada follow up dapat diberikan bila belum ada perbaikan dengan
terapi sebelumnya (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2021).
Peran LABA pada PPOK
Prinsip kerja Beta2 Agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran napas (Airway
Smooth Muscle / ASM) melalui stimulasi reseptor beta adrenergik dan meningkatkan c-AMP.
Terjadinya relaksasi ASM akan mengakibatkan terjadinya pelebaran lumen saluran napas
(bronkodilatasi). Beta 2 Agonis akan memperbaiki keluhan dan mengurasi frekuensi
eksaserbasi. (Bakhtiar & Pratiwy, 2020)
Beta 2 Agonis kerja lama (LABA) efektif dalam mengontrol gejala dan mengurangi
eksaserbasi dibandingkan Short Acting Beta 2 Agonis (SABA) atau Short Acting Muscarinic
Antagonis (SAMA). (Bakhtiar & Pratiwy, 2020) Kombinasi Beta 2 Agonis kerja lama (LABA)
dan antikolinergik (LAMA) mengurangi tingkat eksaserbasi sekitar 20% hingga 25% (risiko
relatif [RR] untuk Beta 2 agonis kerja lama, 0,79; 95% CI, 0,69-0,90; RR untuk tiotropium, 0,74

28
; 95% CI, 0,62-0,89) pada pasien dengan PPOK sedang hingga berat (Sin et al., 2003).
Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme dan durasi kerja yang berbeda dapat
meningkatkan efek bronkodilatasi lebik baik dengan efek samping yang lebih rendah,
dibandingkan bila meningkatkan dosis salah satu bronkodilator.(Bakhtiar & Pratiwy, 2020)
Banyak penelitian yang membandingkan LABA dengan LAMA dalam memperbaiki
gejala dan mencegah eksaserbasi akut pasien PPOK. Studi menyebutkan bahwa LAMA lebih
unggul dalam mencegah eksaserbasi, namun tidak berbeda bermakna dengan LABA dalam
mengurangi sesak dan meningkatkan kualitas hidup. (Wedzicha et al., 2017) Beberapa ahli
merekomendasikan pemberian LABA pada terapi awal PPOK untuk mengurangi gejala dan
LAMA diberikan kemudian untuk mencegah eksaserbasi akut. (Patalano et al., 2014)
Contoh LABA yang selektif Beta 2 adalah Salmeterol, Formoterol, Arformoterol,
Indacaterol, Vilanterol, dan Olodaterol. Arformoterol hanya tersedia sebagai solusi nebulisasi;
Vilanterol hanya tersedia sebagai komponen produk kombinasi. Beberapa penelitian telah
menunjukkan manfaat LABA pada pasien dengan PPOK stabil (Gary T Ferguson & Barry
Make, 2022). LABA seperti Salmeterol dan Formoterol biasanya diberikan dua kali sehari (tiap
12 jam). Sedangkan Ultra-LABA dapat diberikan sehari sekali (tiap 24 jam), contohnya
Indacaterol.(Spina, 2015)
LABA Indacaterol pada PPOK
Manfaat LABA selain memperbaiki gejala pasien PPOK, juga berperan meningkatan
fungsi paru sehingga juga berdampak pada perbaikan kualitas hidup dan mengurangi
eksaserbasi akut. Pemberian Ultra-LABA lebih dianjurkan karena memiliki awitan kerja yang
cepat seperti SABA dan durasi kerja yang panjang dan bertahan sampai 24 jam.(Malerba et
al., 2019) Ultrfine-LABA lebih disukai daripada karena penggunaannya yang sehari sekali dan
durasi kerjanya yang lebih panjang. Indacaterol signifikan meningkatkan fungsi paru, status
kesehatan, memperbaiki keluhan sesak napas, ketahanan latihan dan mencegah eksaserbasi
dibandingkan placebo. Indacaterol yang diberikan sekali sehari memperlihatkan efek
bronkodilatasi dan efektivitas klinis yang lebih baik dibandingkan LABA dua kali sehari.
(Patalano et al., 2014)
Indacaterol adalah LABA pertama yang digunakan sekali sehari yang disetujui untuk
pengobatan PPOK, dan diberikan melalui inhalasi melalui perangkat Breezhaler (Novartis
Pharma AG, Basel, Swiss). Studi pra-klinis Indacaterol menunjukkan bahwa Indacaterol
memiliki onset yang cepat dan durasi kerja yang lama karena struktur biokimianya. Awitan
bronkodilatasi Indacaterol serupa dengan Salbutamol (yaitu lima menit) dan durasi kerja yang
lebih lama (24 jam) dibandingkan LABA tradisional (12 jam) seperti Salmeterol dan formoterol.
Inilah sebabnya mengapa indacaterol disebut sebagai “ultra-LABA”. (Rossi & Polese, 2013)
Bronkodilatasi onset cepat ini tidak dipengaruhi oleh waktu pemberian, yaitu pada pagi atau
sore hari. Namun, karena ritme sirkadian bronkomotor, dengan puncak resistensi aliran udara
di pagi hari, pemberian di pagi hari mungkin lebih disukai untuk menghilangkan gejala pasien
dengan cepat. Durasi bronkodilatasi juga penting. Di satu sisi, telah disarankan bahwa
pemberian sekali sehari dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan di
sisi lain, patensi jalan napas 24 jam yang persisten memberikan jenis "stenting farmakologis"
yang memfasilitasi pengosongan paru dan dengan demikian mengurangi gas yang
terperangkap dan hiperinflasi paru. Peran ini dianggap sebagai kunci efektivitas terapi
bronkodilatasi pada PPOK. (Rossi & Polese, 2013)
Studi penentuan dosis Indacaterol merupakan langkah penting dalam pengembangan
obat. Studi menggunakan dosis yang berbeda telah dilakukan dengan indacaterol. Indacaterol
150 mcg dipilih sebagai dosis efektif terendah untuk peningkatan target FEV1, tetapi dengan
dosis 300 mcg dipilih untuk pilihan kedua. Beberapa penelitian terbaru pada pasien PPOK
obstruksi sedang hingga berat dengan Indacaterol 75 mcg, dilaporkan hasil bahwa indacaterol
memperbaiki gejala dan fungsi paru dibandingkan dengan placebo. Indacaterol dapat
digunakan sebagai terapi reguler untuk PPOK. Dosis Indacaterol 75 mcg ini telah dipilih di
AS, sedangkan dosis 150 mcg dan 300 mcg dipasarkan di negara lain. (Rossi & Polese, 2013)
Dalam uji coba jangka pendek (≤21 hari) pada pasien dengan PPOK, Indacaterol 150 atau
300 mg sekali sehari secara signifikan meningkatkan fungsi paru, daya tahan latihan dan

29
hiperinflasi paru relatif terhadap placebo. Dalam studi klinis yang lebih besar dalam jangka
panjang (12 minggu sampai 1 tahun) pada pasien dengan PPOK sedang sampai berat,
Indacaterol sekali sehari 150 atau 300 mcg meningkatkan fungsi paru secara signifikan lebih
baik dari plasebo, dan perbaikan secara signifikan lebih baik dua kali dibandingkan Formoterol
12 mcg atau Salmeterol 50 mcg. Indacaterol sekali sehari tidak inferior dibandingkan dengan
Tiotropium bromide 18 mcg sekali sehari. Secara keseluruhan, Indacaterol mengurangi sesak,
penggunaan obat pelega dan memperbaiki status kesehatan umum secara signifikan lebih
baik dari plasebo, Salmeterol atau Tiotropium bromide. Tingkat perbaikan ini serupa atau lebih
besar daripada yang dapat dicapai oleh Formoterol. Perbaikan dari Indacaterol tersebut
bertahan sampai jangka panjang (1 tahun), tanpa bukti toleransi. (McKeage, 2012)
Pemberian bronkodilator yang cepat dan bekerja lama sekali sehari dapat
meningkatkan kepatuhan pasien dengan terapi, karena ini adalah masalah utama bagi pasien
yang menjalani perawatan medis. Risiko efek samping pernapasan akut tidak meningkat
secara signifikan pada pengobatan dengan Indacaterol dibandingkan dengan plasebo.
Namun, beberapa pasien melaporkan batuk ringan, namun berkurang seiring berjalannya
waktu. Batik riangan ini dapat terjadi dalam beberapa detik inhalasi dan dengan perbaikan
yang cepat, dan tidak dikaitkan dengan terjadinya bronkospasme. Singkatnya, Indacaterol
memiliki profil keamanan dan tolerabilitas yang baik, sehingga sesuai untuk pasien PPOK
yang mengalami obstruksi sedang hingga berat. Hal ini relevan untuk terapi PPOK termasuk
untuk pasien usia lanjut dengan komorbid yang multipel. (Rossi & Polese, 2013)

KESIMPULAN
PPOK sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan dunia, kasusnya terus
meningkat berhubungan dengan peningkatan perokok dan pajanan gas berbahaya.
Pemeriksaan spirometry adalah baku emas penegakan diagnosis PPOK. Terapi
Farmakologis harus didampingi dengan Tindakan non-Farmakologis. Terapi Farmakologis
berfokus pada bronkodilator dengan sediaan inhalasi. Peran LABA pada PPOK berguna untuk
merelaksasi otot polos saluran napas melelui reseptor beta adrenergik. LABA secara efektif
mengontrol gejala dan mencegah eksaserbasi, hal ini sesuai dengan tujuan terapi PPOK.
Indacaterol adalah LABA yang bekerja 24 jam dan dikenal sebagai Ultra-LABA. Sementara
LABA yang lain adalah Formoterol, Salmeterol yang bekerja 12 jam. Pemberian LAMA tidak
berbeda bermaknsa dalam mengurangi sesak napas dan meningkatkan kualitas hidup,
beberapa studi menyebutkan bahwa LAMA lebih baik dalam mencegah eksaserbasi.
Indacaterol memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan LABA lain yang
diberikan dua kali sehari. Onset kerja Indacaterol tidak berbeda dengan LABA lainya, yaitu
lima menit, namun Indacaterol memiliki durasi kerja yang lebih panjang (24 jam). Hal ini
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terapi pasien. Selain itu, Indacaterol memiliki profil
keamanan dan toleransi yang baik untuk pasien PPOK dengan derajat obstruksi sedang-berat
termasuk pada lansia yang memiliki beberapa komorbid.

30
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. (2020). Tatalaksana PPOK terbaru berdasarkan GOLD. In A. N. Rosyid, I. A.


Marhana, & H. Hasan (Eds.), Bunga Rampai Kedokteran Respirasi 2020 (pp. 151–165).
Airlangga University Press.
Bakhtiar, A., & Pratiwy, P. (2020). LABA (Long Acting Beta Agonis) pada PPOK. In A. N.
Rosyid, I. A. Marhana, & H. Hasan (Eds.), Bunga Rampai Kedokteran Respirasi 2020
(pp. 221–233). Airlangga University Press.
di Marco, F., Sotgiu, G., Santus, P., O’Donnell, D. E., Beeh, K. M., Dore, S., Roggi, M. A.,
Giuliani, L., Blasi, F., & Centanni, S. (2018). Long-acting bronchodilators improve
exercise capacity in COPD patients: A systematic review and meta-analysis. Respiratory
Research, 19(1). https://doi.org/10.1186/s12931-018-0721-3
Gary T Ferguson, & Barry Make. (2022, September). Stable COPD: Initial pharmacologic
management. Https://Www.Uptodate.Com/Contents/Stable-Copd-Initial-
Pharmacologic-Management?Search=COPD&topicRef=1455&source=see_link#!
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2021). GLOBAL STRATEGY FOR
THE DIAGNOSIS, MANAGEMENT AND PREVENTION OF CHRONIC OBSTRUCTIVE
PULMONARY DISEASE.
Malerba, M., Foci, V., Patrucco, F., Pochetti, P., Nardin, M., Pelaia, C., & Radaeli, A. (2019).
Single inhaler LABA/LAMA for COPD. Frontiers in Pharmacology, 10(APR).
https://doi.org/10.3389/FPHAR.2019.00390/FULL
McKeage, K. (2012). Indacaterol. Drugs, 72(4), 543–563. https://doi.org/10.2165/11208490-
000000000-00000
Murphy SL, Xu J, Kochanek KD, & Arias E. (2017). Mortality in the United States.
Https://Www.Cdc.Gov/Nchs/Products/Databriefs/Db328.Htm.
Nardini, S., Camiciottoli, G., Locicero, S., Maselli, R., Pasqua, F., Passalacqua, G., Pela, R.,
Pesci, A., Sebastiani, A., & Vatrella, A. (2014). COPD: Maximization of bronchodilation.
Multidisciplinary Respiratory Medicine, 9(1). https://doi.org/10.1186/2049-6958-9-50
National Health Service (NHS). (2019, September 20). Treatment - Chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) . Https://Www.Nhs.Uk/Conditions/Chronic-Obstructive-
Pulmonary-Disease-Copd/Treatment/.
Patalano, F., Banerji, D., D’Andrea, P., Fogel, R., Altman, P., & Colthorpe, P. (2014).
Addressing unmet needs in the treatment of COPD. In European Respiratory Review
(Vol. 23, Issue 133, pp. 333–344). European Respiratory Society.
https://doi.org/10.1183/09059180.00004014
Rossi, A., & Polese, G. (2013). Indacaterol: a comprehensive review. International Journal of
COPD, 8, 353–363. https://doi.org/10.2147/COPD.S21625
Rosyid, A. N., & Puspitasari, A. D. (2020). Pentingnya Pemberian LAMA pada PPOK. In A. N.
Rosyid, I. A. Marhana, & H. Hasan (Eds.), Bunga Rampai Kedokteran Respirasi 2020
(pp. 195–212). Airlangga University Press.
Sin, D. D., McAlister, F. A., Man, S. F. P., & Anthonisen, N. R. (2003). Contemporary
Management of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. JAMA, 290(17), 2301.
https://doi.org/10.1001/jama.290.17.2301
Spina, D. (2015). Pharmacology of novel treatments for COPD: are fixed dose combination
LABA/LAMA synergistic? European Clinical Respiratory Journal, 2(1), 26634.
https://doi.org/10.3402/ecrj.v2.26634
Wedzicha, J. A., Calverley, P. M. A., Albert, R. K., Anzueto, A., Criner, G. J., Hurst, J. R.,
Miravitlles, M., Papi, A., Rabe, K. F., Rigau, D., Sliwinski, P., Tonia, T., Vestbo, J.,
Wilson, K. C., & Krishnan, J. A. (2017). Prevention of COPD exacerbations: A European
Respiratory Society/ American Thoracic Society guideline. In European Respiratory
Journal (Vol. 50, Issue 3). European Respiratory Society.
https://doi.org/10.1183/13993003.02265-2016
World Health Organization. (2020, December 9). The top 10 causes of death.
Https://Www.Who.Int/News-Room/Fact-Sheets/Detail/the-Top-10-Causes-of-Death.

31
Yudhawati, R., & Prasetiyo, Y. D. (2018). Imunopatogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(Vol. 4, Issue 1).

32
THE IMPORTANCE OF INITIAL TREATMENT IN COPD: THE ROLE OF LABA
(INDACATEROL) AND LAMA (GLYCOPYRRONNIUM)
Muhammad Amin

PENDAHULUAN
Penduduk Indonesia 30% perokok (Riskesdas 2018). Polusi di Indonesia menduduki
ranking ke 11 tertinggi di dunia berdasarkan laporan kualitas udara dunia 2018, estimasi rata-
rata 2,5 μg/m3 (AirVisual 2018). Prevalensi PPOK 3,7%, asma 4,5% dan TB 0,4% (Riskesdas
2013).

DEFINISI PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit umum, dapat dicegah, dan
diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan yang progresif dan hambatan aliran udara
pada saluran napas (SN) yang disebabkan oleh kelainan SN dan/atau alveolus yang biasanya
disebabkan oleh pajanan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. ”(GOLD 2022).

PATOFISIOLOGI
Perbedaan mekanisme seluler & molekuler antara PPOK vs asma. Asma dan PPOK
meskipun dasarnya adalah inflamasi akan tetapi sel-sel inflamasi yang telibat berbeda.
Perbedan tersebut dapat dipakai untuk menentukan terapi yang tepat (Barnes 2017).

KARAKTERISTIK PPOK
Bentuk PPOK yang paling umum adalah bronkitis kronik dan emfisema. Keduanya
adalah penyakit kronik yang menimbulkan hambatan aliran udara SN. Sebagian besar kasus
PPOK terkait dengan merokok.
Faktor risiko PPOK (GOLD 2022)
Faktor risiko PPOK tercantum pada tabel di bawah ini
Faktor Genetik Defisiensi α-1 antitripsin
Pertumbuhan dan perkembangan Faktor yang memengaruhi pertumbuhan paru
paru selama kehamilan dan masa kanak-kanak memiliki
potensi untuk risiko PPOK
Pajanan partikel Terutama rokok
Status sosio ekonomi Kemiskinan berhubungan denganPPOK
Asma & BHR Asma berisiko PPOK 12 kali
Bronkitis kronik Korelasi dengan hipersekresi mukus dan penurunan
FEV1
Infeksi Riwayat infeksi resoirasi beration, TB, HIV

33
DIAGNOSTIK PPOK
Diagnostik PPOK berdasar GOLD 2022 terdiri dari gejala, faktor risiko dan pemeriksaan
spirometri.

PENILAIAN PPOK (GOLD 2022)


Penilaian PPOK menjadi kelompok ABCD tidak lagi menyaratkan pemeriksaan
spirometri, akan tetapi cukup dengan simtom dan riwayat eksaserbasi setahun sebelumnya.
Pemeriksaan FEV1 untuk menentukan tingkat derajat obstruksi SN. FEV1 juga digunakan
sebagai dasar diagnostik PPOK dan risiko eksaserbasi.

PENGELOLAAN PPOK
Pengelolaan PPOK dapat dilihat pada gambar di bawah ini yang merupakan suatu siklus
(GOLD 2022).

34
Peran Eosinofil Darah pada PPOK
Mengapa eosinofil penting pada PPOK? Penggunaan ICS yang salah mengakibatkan
potensi risiko yang tidak diinginkan. Eosinofil merupakan salah satu marker inflamasi pada
PPOK. Penentuan jumlah/kadar eosinofil darah dapat dipakai sebagai petanda untuk
pemberian inhalasi kortiko steroid (ICS). Eosinofil lebih dari 300 sel/μL memberikan respons
pengobatan yang baik. Penggunaan ICS untuk PPOK sangat terbatas. Pemberian ICS yang
tepat sangat bermanfaat, akan tetapi sebaliknya bila salah dapat menimbulkan efek yang
tidak diharapkan (GOLD 2022)

Ikhtisar potensi risiko yang terkait dengan ICS pada PPOK (Price 2013)

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memulai pengobatan ICS dalam kombinasi
dengan bronkodilator kerja lama GOLD 2022

Kombinasi Terapi Bronkodilator: LABA/LAMA (indakaterol/glikopirroneum - Ultibro®)


Pengobatan eksaserbasi merupakan upaya yang penting, karena pemulihan
eksaserbasi tidak bisa kembali ke kondisi sebelum eksaserbasi. Kejadian berulangnya
eksaserbasi dapat menimbulkan perburukan PPOK, dan bahkan kematian.

Landers, 2017

35
Mode of Action (MOA) : LABA & LAMA
Ketika indakaterol dan glikopirronium diberikan bersama-sama, kedua obat tersebut
memberikan efek sinergik karena moda aksi yang beda, target reseptor yang beda dan jalur
untuk mencapai relaksasi otot SN kecil juga beda.

Patalano 2014

β2-agonist menjadi lebih efektif merelaksasi SN kecil sementara senyawa


antikolinergik lebih efektif pada SN besar. Glikopirronium bekerja dengan menghambat kerja
asetilkolin pada sel otot polos SN sehingga terjadi pelebaran SN. Bukti-bukti riset tentang
manfaat kombinasi LABA/LAMA (indakaterol/glikopirroneum - IND/ GLY) dipaparkan di bawah
ini.
Sudi SHINE (Bateman 2013)
Studi ini menilai peningkatan faal paru setelah pemberian inhalasi IND / GLY.
Bronkodilatasi setelah inhalasi IND/GLY terjadi lebih cepat dan persisten pada hari pertama,
dibandingkan plasebo (PBO), mono-komponennya atau tiotropium.
Pada gambar di bawah ini (a) :
1) IND/GLY (QVA149) superior terhadap plasebo dan tiotropium pada semua titik waktu
yang dinilai (p<0,001)
2) IND/GLY (QVA149) superior terhadap indakaterol pada semua titik waktu yang dinilai
(p<0,01), kecuali pada 5 menit pasca-dosis
3) IND/GLY (QVA149) superior terhadap glikopirronium pada semua titik waktu yang dinilai
(p<0,05), kecuali 1 jam pasca-dosis.

Gambar a menjelaskan tentang perbaikan faal paru hari pertama. Hasil akhir studi ini
menunjukkan bahwa perbaikan bermakna pada FEV1 berlangsung sampai 26 minggu periode
pengobatan.

36
Gambar b menjelaskan tentang perbaikan perbaikan bermakna pada FEV1 berlangsung
sampai 26 minggu periode pengobatan

Gambar di bawah ini menunjukkan kasil studi SHINE yang berhubungan dengan
waktu mulai eksaserbasi. IND/GLY secara signifikan memperlambat waktu eksaserbasi
pertama vs SFC dalam semua jenis eksaserbasi tanpa pengukuran eosinophil pada baseline.

IND/GLY lebih efektif dibandingkan SFC dalam mencegah eksaserbasi sedang-berat pada
pasien PPOK, terlepas dari persentase eosinofil awal (≥2% or <2%).

Keamanan/ Efek Samping (Wedzicha 2016)


Kejadian pneumonia setelah inhalasi IND/GLY lebih sedikit dibandingkan dengan
salmeterol/flutikason proprionat (SFC).
80 (4.8)*

37
Studi INHALER tentang perbedaan kesalahan kritis penggunaan alat-alat inhaler (Molimard
2017).
46.9
50 43.8 (43.0–50.8)

involved ≥1 critical handling error*


(39.1–48.6)

% device handing episodes that


40
32.1
(27.7–36.6) 30.0
29.3
(25.6–32.9) (28.5–31.6)
30
21.2
(17.5–25.0)
20 15.4
(13.0–17.8)

10

0
Breezhaler® Diskus® Handihaler® pMDI Respimat® Turbohaler® Total#
(n=876) (n=452) (n=598) (n=422) (n=625) (n=420) (n=3,393)

Breezhaler dengan mekanisme umpan balik (Dengar, Rasakan & Lihat). BREEZHALER
memudahkan pemakaian alat dengan benar, dapat digunakan semua pasien karena low
resistance, memastikan obat dihirup sempurna.

RINGKASAN
1) IND/GLY (QVA149) superior terhadap plasebo dan tiotropium pada semua titik waktu
yang dinilai (p<0,001)
2) IND/GLY (QVA149) superior terhadap indakaterol pada semua titik waktu yang dinilai
(p<0,01), kecuali pada 5 menit pasca-dosis ?IND/GLY (QVA149) superior terhadap
glikopirronium pada semua titik waktu yang dinilai (p<0,05), kecuali 1 jam pasca-dosis
3) IND/GLY (QVA149) perbaikan bermakna pada FEV1 berlangsung sampai 26 minggu
periode pengobatan
4) IND/GLY secara signifikan memperlambat waktu eksaserbasi pertama vs SFC, tanpa
melihat kadar eosinophil darah
5) IND/GLY lebih sedikit menimbulkan pneumonia dibandingkan salmeterol/flutikason
proprionat (SFC)
6) BREEZHALER memudahkan pemakaian alat dengan benar, dapat digunakan semua
pasien karena low resistance,dan memastikan obat dihirup sempurna

38
DAFTAR PUSTAKA

AirVisual. 1018. 2018 WORLD AIR QUALITY REPORT Region & City PM2.5 Ranking
Badan LITBANGKES Kementerian Kesehatan RI. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas)
Badan LITBANGKES Kementerian Kesehatan RI. 2018. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas)
Barnes PJ. 2017. Review Article Cellular and molecular mechanisms of asthma and COPD.
Clinical Science (2017) 131 1541–1558. DOI: 10.1042/CS20160487
Bateman ED, Gary T. Ferguson GT, Neil Barnes N, Gallagher N, Green Y, Henley M and
Banerji D. 2013. Dual bronchodilation with QVA149 versus single bronchodilator
therapy: the SHINE study. Eur Respir J; 42: 1484–1494 | DOI:
10.1183/09031936.0020021
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2022. GLOBAL STRATEGY FOR THE
DIAGNOSIS, MANAGEMENT, AND PREVENTION OF CHRONIC OBSTRUCTIVE
PULMONARY DISEASE (2022 REPORT). © 2021 Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, Inc.
Patalano F, Banerji D, D’Andrea P, Fogel R, Altman P and Paul Colthorpe P. 2014. Addressing
unmet needs in the treatment of COPD. Eur Respir Rev; 23: 333–344 | DOI:
10.1183/09059180.00004014
Price D, Yawn B, Brusselle G, Rossi A. 2013. Clinical Review Risk-to-benefit ratio of inhaled
corticosteroids in patients with COPD. Prim Care Respir J 2013; 21(1): 92-10
Landers A, Rachel R, Pitama S, Beckert L. 2017. Severe COPD and the transition
to a palliative approach.. Breathe December 2017 Volume 13 No 4
Vogelmeier CF, Gaga M, Aalamian-Mattheis M, Timm Greulich T, Marin JM, Castellani W.
2017 Efficacy and safety of direct switch to indacaterol/glycopyrronium in patients with
moderate COPD: the CRYSTAL open-label randomised trial. Respiratory Research
18:140 DOI 10.1186/s12931-017-0622-x
Wedzicha JA, Nanshan Zhong N, Ichinose M, Humphries M, Fogel R, Thach C, PatalanoF.
2017. Donald BanerjiIndacaterol/glycopyrronium versus salmeterol/fluticasone in Asian
patients with COPD at a high risk of exacerbations: results from the FLAME study.
International Journal of COPD 2017:12 339–34

39
CRYOBIOPSY UNTUK DIAGNOSIS PENYAKIT PARU INTERSTISIAL
Isnin Anang Marhana

PENGANTAR
Penyakit paru parenkim difus atau yang secara umum sering disebut sebagai penyakit
paru interstitial (Interstitial Lung Disease) merupakan sekumpulan kelainan beragam yang
diklasifikasikan bersama-sama karena adanya kesamaan manifestasi klinis, radiografi,
fisiologis, atau patologis. Istilah deskriptif "interstisial" mencerminkan gambaran patologis
yang menjelaskan bahwa kelainan dimulai di interstitium, namun juga berhubungan dengan
perubahan ekstensif dari alveolar (Travis et al., 2008; Raghu et al., 2018).

KLASIFIKASI
Penyakit parenkim paru difus dibagi menjadi penyakit dengan penyebab yang
diketahui dan yang tidak diketahui (idiopatik). Pilihan pengobatan dan prognosisnya bervariasi
di antara berbagai penyebab dan jenis ILD yang berbeda sehingga penting untuk memastikan
diagnosis yang benar. Berbagai infeksi dapat menyebabkan gambaran opasitas interstitial
pada radiografi dada, termasuk pneumonia jamur (misalnya, coccidioidomycosis,
kriptokokosis, pneumocystis jirovecii), pneumonia bakteri atipikal, dan pneumonia virus.
Penyebab ILD yang paling umum antara lain paparan agen pekerjaan dan lingkungan,
terutama debu anorganik atau organik, toksisitas paru akibat obat, dan cedera paru akibat
radiasi (King, T. E., Flaherty, K.R., & Hollingsworth, 2020).

PRESENTASI KLINIS
• Pasien dengan ILD biasanya memiliki gejala diantaranya salah satu dari berikut:
• Gejala sesak napas progresif dengan aktivitas (dispnea) atau batuk nonproduktif yang
terus-menerus.
• Gejala paru yang berhubungan dengan penyakit lain, seperti penyakit jaringan ikat.
• Riwayat paparan pekerjaan (misalnya asbestosis, silikosis)
• Pencitraan dada yang tidak normal
• Abnormalitas fungsi paru pada spirometri sederhana, khususnya pola ventilasi restriktif
(yaitu penurunan kapasitas paru total dan kapasitas vital paksa)
Pasien dengan ILD dapat memiliki sejumlah gejala dimana penting untuk memastikan
durasi, tingkat keparahan, dan perkembangan gejala. Sebagian besar gejalanya tidak
spesifik, tetapi beberapa akan membantu mempersempit dimana perbedaannya. Secara
khusus, pasien harus ditanya tentang gejala ekstrapulmoner yang mungkin menunjukkan
adanya gangguan sistemik. Sesak napas adalah keluhan umum pasien dengan penyakit
jantung atau paru (Schwartzstein, 1996). Beberapa pasien menyangkal adanya dispnea
bahkan ketika ditanya. Hal ini biasanya terjadi karena mereka telah mengurangi aktivitas
mereka sehingga jarang mengalami ketidaknyamanan yang signifikan. Seringkali, pasangan
atau teman yang menyadari adanya masalah tersebut dan memberitahukannya kepada
pasien sehingga membuat pasien sadar. Penilaian tingkat dispnea berguna sebagai metode
untuk mengukur tingkat keparahan penyakit serta untuk mengikuti perjalanan dari penyakit
(Parshall et al., 2012). Namun, beberapa pasien, terutama mereka dengan sarkoidosis,
silikosis, atau histiositosis sel Langerhans paru, mungkin memiliki penyakit parenkim paru
yang luas pada radiografi dada tanpa mengalami dispnea yang signifikan. Hal ini paling sering
terjadi pada awal perjalanan penyakit (Morice et al., 2020).
Dispnea yang memburuk secara tiba-tiba, terutama jika berhubungan dengan nyeri pleura,
dapat mengindikasikan adanya pneumotoraks spontan. Pneumotoraks spontan merupakan
temuan khas yang dapat terjadi pada penyakit seperti histiositosis sel Langerhans paru,
sklerosis tuberosa, limfangioleiomiomatosis, dan neurofibromatosis.
Batuk kering sering terjadi dan sangat mengganggu pada kondisi yang melibatkan
saluran udara, seperti sarkoidosis, bronkiolitis obliterans dengan atau tanpa pneumonia,
bronkiolitis respiratorik, histiositosis sel Langerhans paru, pneumonitis hipersensitivitas,

40
pneumonia lipoid, dan karsinomatosis limfangitik. Kejadian batuk produktif tidak umum untuk
kebanyakan kasus ILD (Morice et al., 2020).
Sputum yang sangat berdarah atau berlumuran darah dapat terjadi pada sindrom
perdarahan alveolar difus, limfangioleiomiomatosis, sklerosis tuberous, penyakit oklusi vena
paru, penyakit katup mitral yang sudah berlangsung lama, dan vaskulitis granulomatosa. Pada
beberapa pasien, perdarahan alveolar difus dapat terjadi tanpa hemoptisis; manifestasi klinis
yang terjadi pada pasien tersebut mungkin dispnea dan anemia defisiensi besi. Onset baru
hemoptisis pada pasien dengan ILD yang diketahui menunjukkan adanya komplikasi
keganasan (Morice et al., 2020).
Nyeri dada jarang terjadi pada sebagian besar ILD. Namun, nyeri dada pleuritik dapat
terjadi pada ILD yang ada hubungannya dengan rheumatoid arthritis, lupus eritematosus
sistemik, penyakit jaringan ikat campuran, dan beberapa gangguan yang diinduksi obat.
Selain itu, onset akut nyeri dada pleuritik dapat mengindikasikan pneumotoraks (Morice et al.,
2020).
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pasien dengan ILD biasanya tidak spesifik, kecuali bila temuan
ekstrapulmoner menunjukkan penyakit sistemik tertentu. Pemeriksaan paru pada ILD sering
kali abnormal, tetapi temuan umumnya tidak spesifik. Ronkhi ditemukan pada pemeriksaan
dada pada sebagian besar bentuk dari ILD, meskipun lebih jarang pada penyakit paru
granulomatosa, terutama sarcoidosis. Ronkhi mungkin ada tanpa adanya kelainan radiografi
pada radiografi dada. Saat mendengarkan ronki pada pasien dengan dugaan ILD, akan
sangat membantu untuk mendengarkannya di dasar paru di garis aksila posterior, karena
ronki mungkin hanya terdengar di lokasi ini pada awal penyakit (Bohadana, Izbicki and
Kraman, 2014).

DIAGNOSIS
Penyakit parenkim paru difus terdiri dari gangguan yang diketahui penyebabnya
(penyakit rematik, lingkungan atau terkait obat) serta gangguan yang tidak diketahui
penyebabnya. Yang terakhir termasuk IIP, gangguan paru granulomatosa (misalnya,
sarkoidosis), dan bentuk lain dari penyakit paru interstisial termasuk LAM, PLCH, dan
pneumonia eosinofilik. Pneumonia interstisial selanjutnya dikategorikan sebagai fibrosing
kronis, fibrosing akut atau subakut, atau yang ada hubungannya dengan merokok. Pneumonia
interstisial limfoid biasanya berhubungan dengan proses penyakit lain, seperti penyakit
rematik atau imunosupresi. Pneumonia interstisial limfoid idiopatik jarang terjadi (King, T. E.,
Flaherty, K.R., & Hollingsworth, 2020).

Gambar 1. Diagnosis ILD


DPLD: diffuse parenchymal lung disease; IIP: idiopathic interstitial pneumonia; LAM:
lymphangioleiomyomatosis; PLCH: pulmonary Langerhans cell histiocytosis/histiocytosis X.

41
EVALUASI KLINIS
Pengenalan awal bahwa pasien dengan kecurigaan ILD biasanya diikuti timbulnya
sesak napas progresif dengan aktivitas (dispnea), batuk nonproduktif yang persisten,
dan/atau gejala paru yang berhubungan dengan penyakit lain, seperti penyakit rematik.
Evaluasi klinis meliputi eksplorasi yang cermat dari riwayat medis masa lalu (komorbiditas,
obat-obatan, iradiasi), paparan potensial (pekerjaan, pekerjaan, lingkungan, infeksi), dan bukti
ekstrapulmoner dari penyakit sistemik (Mittoo et al., 2009).
Evaluasi laboratorium rutin dari dugaan ILD biasanya mencakup tes biokimia untuk
mengevaluasi fungsi hati dan ginjal; tes hematologi dengan differential blood count untuk
memeriksa bukti anemia, polisitemia, leukositosis, atau eosinofilia; dan urinalisis. (Bradley et
al., 2008). Studi serologi dilakukan untuk memastikan bahwa penyakit rematik subklinis tidak
diabaikan. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan antibodi anti-nuklear (ANA) dan faktor
rheumatoid (Mittoo et al., 2009).

PENCITRAAN
Abnormalitas radiografi yang paling umum pada radiografi dada rutin adalah pola
retikuler, namun, pola nodular atau campuran (pengisian alveolar dan peningkatan tanda
interstisial) tidak biasa (Pipavath and Godwin, 2005). Meskipun radiografi dada berguna
dalam menunjukkan adanya ILD, korelasi antara pola radiografi dan stadium penyakit (klinis
atau histopatologi) umumnya buruk. Hanya temuan radiografi honeycombing (ruang kistik
kecil) yang berkorelasi dengan temuan patologis dan jika ada pun maka menandakan
prognosis yang buruk (Pipavath and Godwin, 2005).
Pendekatan diagnostik untuk ILD bergantung pada computed tomography resolusi
tinggi (HRCT) pada dada (Lynch et al., 2018; Raghu et al., 2018).
Temuan HRCT membantu mempersempit diagnosis banding ILD. Korelasi antara berbagai
pola HRCT dan kemungkinan diagnosis ditunjukkan dalam tabel 1. (Elliot et al., 2005; Lynch
et al., 2005; Sumikawa et al., 2006).
Tabel 1. Pola HRCT pada ILD
Normal
Hypersensitivity pneumonitis
Sarcoidosis
Bronchiolitis obliterans
Asbestosis
Distribution of disease within the lung
Peripheral lung zone
Idiopathic pulmonary fibrosis
Asbestosis
Connective tissue disease
Cryptogenic organizing pneumonia
Eosinophilic pneumonia
Central disease (bronchovascular thickening)
Sarcoidosis
Lymphangitic carcinoma
Upper zone predominance
Granulomatous disease
Sarcoidosis
Pulmonary histiocytosis X (eosinophilic granuloma)
Chronic hypersensitivity pneumonitis
Chronic infectious diseases (eg, tuberculosis, histoplasmosis)
Pneumoconiosis
Silicosis
Berylliosis

42
Coal miners’ pneumoconiosis
Lower zone predominance
Idiopathic pulmonary fibrosis
Rheumatoid arthritis (associated with usual interstitial pneumonia)
Asbestosis
Airspace opacities
Haze or ground glass attenuation
Hypersensitivity pneumonitis
Desquamative interstitial pneumonia
Respiratory bronchiolitis-associated interstitial lung disease
Drug toxicity
Pulmonary hemorrhage
Lung consolidation
Chronic or acute eosinophilic pneumonia
Cryptogenic organizing pneumonia (bronchiolitis obliterans with organizing
pneumonia)
Aspiration (lipoid pneumonia)
Alveolar carcinoma
Lymphoma
Alveolar proteinosis
Reticular opacities
Idiopathic pulmonary fibrosis
Asbestosis
Connective tissue disease
Hypersensitivity pneumonitis
Nodules
Hypersensitivity pneumonitis
Respiratory bronchiolitis-associated interstitial lung disease
Sarcoidosis
Pulmonary langerhans cell histiocytosis
Silicosis
Coal workers’ pneumoconiosis
Metastatic cancer
Isolated lung cysts
Pulmonary langerhans cell histiocytosis
Lymphangioleiomyomatosis
Chronic Pneumocystis carnii (P. jirovecii) pneumonia

PENGUJIAN FUNGSI PARU


Tes fungsi paru lengkap (spirometri, volume paru, kapasitas difusi) dan saturasi
oksigen saat istirahat dan latihan dilakukan pada hampir semua pasien dengan dugaan ILD
Pengukuran fungsi paru paling membantu untuk menilai keparahan gangguan pernapasan
dan polanya, apakah obstruktif, restriktif, atau campuran. Pola ini berguna dalam
mempersempit diferensial diagnosis (Caminati and Harari, 2005; Martinez and Flaherty,
2006).
Sebagian besar gangguan interstisial memiliki defek restriktif dengan penurunan
kapasitas paru total (TLC), kapasitas residu fungsional (FRC), dan volume residu (RV) (Lama
and Martinez, 2004; Martinez and Flaherty, 2006). Kapasitas vital paksa (FVC) dan volume
ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) menurun, tetapi biasanya perubahannya sebanding
dengan penurunan volume paru; dengan demikian, rasio FEV1/FVC biasanya normal atau
meningkat (Pipavath and Godwin, 2005).

43
Pengurangan kapasitas difusi (DLCO) adalah temuan yang umum tetapi tidak spesifik
pada ILD. Penurunan DLCO sebagian disebabkan oleh penipisan unit kapiler alveolar tetapi
yang lebih penting adalah karena ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi alveoli. Pada
beberapa ILD, khususnya sarkoidosis, dapat terjadi penurunan volume paru yang cukup besar
dan/atau hipoksemia berat tetapi DLCO normal atau hanya sedikit berkurang (Caminati and
Harari, 2005; Martinez and Flaherty, 2006).
Pengurangan DLCO sedang hingga berat dengan adanya volume paru normal pada pasien
dengan ILD menunjukkan adanya salah satu hal dari berikut ini:
• Gabungan emfisema dan ILD
• Gabungan ILD dan penyakit pembuluh darah paru
• Histiositosis sel Langerhans paru
• Limfangioleiomiomatosis paru
Penyakit pembuluh darah paru dan demikian juga dengan penurunan DLCO, dapat
berkembang pada pasien dengan ILD sebagai akibat dari vasokonstriksi hipoksemia, penyakit
tromboemboli, atau penyakit dengan ILD dan hipertensi pulmonal. Secara umum, tingkat
keparahan penurunan DLCO tidak berkorelasi baik dengan prognosis penyakit, kecuali DLCO
kurang dari 35 persen prediksi (Latsi et al., 2003).
Gas darah arteri saat istirahat mungkin normal pada ILD awal atau dapat menunjukkan
hipoksemia (secondary to mismatching of ventilation to perfusion) dan alkalosis respiratorik.
Retensi karbon dioksida jarang terjadi dan biasanya merupakan manifestasi penyakit stadium
akhir (Latsi et al., 2003).
PERAN BRONCHOALVEOLAR LAVAGE
Bronchoalveolar lavage (BAL) dilakukan selama bronkoskopi fleksibel untuk
mendapatkan sampel sel dan cairan dari saluran udara distal dan alveoli. Cairan lavage
dikirim untuk perhitungan sel; kultur untuk mikobakteri, virus, dan patogen jamur; dan analisis
sitologi. BAL sangat berguna dalam evaluasi pasien dengan ILD yang berhubungan dengan
hemoptisis akut atau progresif. Hampir semua pasien dengan hemoptisis dan ILD radiografi
harus segera menjalani BAL untuk mengkonfirmasi sumber perdarahan alveolar dan
mengidentifikasi etiologi infeksi. BAL kurang membantu pada pasien dengan pola radiografi
sugestif fibrosis paru idiopatik (IPF) (Kinder and Wells, 2009; Ohshimo et al., 2009). Dalam
evaluasi pasien dengan dugaan IPF, peran utama BAL adalah untuk menyingkirkan
pneumonitis hipersensitivitas kronis. Limfositosis BAL >40 persen menunjukkan pneumonitis
hipersensitivitas kronis. BAL tidak memiliki peran yang mapan dalam penilaian perkembangan
ILD atau respons terhadap terapi (Ohshimo et al., 2009).
PERAN BIOPSI PARU
Ketika hasil evaluasi di atas tidak memungkinkan klinisi untuk membuat diagnosis
pasti dari jenis atau stadium ILD tertentu, biopsi paru dengan interpretasi multidisiplin dari
hasil evaluasi tersebut mungkin diperlukan (Raghu, 1995). Keputusan untuk melakukan biopsi
paru harus dibuat berdasarkan kasus per kasus, dengan mempertimbangkan morbiditas
prosedur, kemungkinan diagnosis, toksisitas terapi, serta nilai-nilai juga preferensi pasien.
Biopsi paru dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala dan tanda atipikal atau
progresif (demam, penurunan berat badan, hemoptisis, tanda-tanda vaskulitis), gambaran
radiografi atipikal, manifestasi ekstrapulmoner yang tidak dapat dijelaskan, perburukan klinis
yang cepat, atau perubahan tampilan radiografi yang tiba-tiba (Raghu, 1995).
Kadang-kadang, evaluasi noninvasif akan menghasilkan temuan yang bertentangan,
yang mungkin memerlukan biopsi paru untuk klarifikasi. Sebagai contoh, tes latihan
kardiopulmoner dapat menunjukkan bahwa ILD adalah penyebab paling mungkin dari gejala
dan tanda pasien, sementara hasil HRCT hanya menunjukkan sedikit perubahan interstisial.
Dalam situasi ini, biopsi paru dapat diindikasikan untuk mengkonfirmasi bahwa ILD, bukan
proses lain, adalah penyebab temuan klinis pasien sehingga memungkinkan pengobatan
yang tepat. Biopsi paru juga dapat diindikasikan untuk menyingkirkan proses neoplastik dan
infeksi.
Ketika hasil evaluasi klinis, pengujian laboratorium, studi pencitraan termasuk HRCT,
dan pengujian fungsi paru tidak memungkinkan dokter untuk membuat diagnosis yang

44
meyakinkan dari jenis atau tahap ILD tertentu, biopsi paru dengan pemeriksaan hati-hati dari
jaringan paru-paru sering diperlukan (Gambar 2) (Poletti, Chilosi and Olivieri, 2004; Halkos et
al., 2005).

Gambar 2. Algorithma ILD


Biopsi paru umumnya membantu dalam evaluasi pasien dengan ILD dalam situasi berikut:
• Untuk memberikan diagnosis spesifik. Misalkan pada pasien dengan gambaran klinis
seperti usia <50 tahun, demam, penurunan berat badan, hemoptisis, atau tanda-tanda
vaskulitis; perjalanan progresif; temuan HRCT atipikal atau cepat berubah; manifestasi
ekstrapulmoner yang tidak dapat dijelaskan; atau penyakit pembuluh darah paru yang
asalnya tidak jelas.
• Untuk mengecualikan proses neoplastik dan infeksi yang mirip ILD kronis dan progresif.
• Untuk mengidentifikasi proses yang lebih treatable daripada yang diduga semula
(misalnya, pneumonitis hipersensitivitas versus fibrosis paru idiopatik).
Jaringan paru-paru dapat diperoleh melalui biopsi transbronkial (TBLB), kriobiopsi
transbronkial (cryo-TBB), torakotomi, atau operasi thoracoscopic berbantuan video (VATS).
Preferensi pasien juga harus dipertimbangkan. Pasien dengan gejala, tanda, gangguan
fisiologis, dan kelainan radiografi yang minimal mungkin lebih memilih observasi ketat selama
beberapa bulan dengan pengulangan interval tes fungsi paru dan HRCT, daripada langsung
melakukan biopsi paru. Pasien lain lebih suka menjalani biopsi paru lebih cepat untuk

45
mendapatkan diagnosis pasti dan memperjelas prognosis mereka, daripada menunggu
dengan tidak jelas (Poletti, Chilosi and Olivieri, 2004; Halkos et al., 2005).
BIOPSI PARU TRANSBRONKIAL
Biopsi paru transbronkial (TBLB) diperoleh selama bronkoskopi fleksibel,
menggunakan forsep biopsi yang dilewatkan melalui saluran bronkoskop. TBLB seringkali
merupakan prosedur biopsi pilihan ketika dugaan ILD cenderung memiliki lokasi sentrilobular
dan ketika diagnosis dapat dibuat dari sampel kecil jaringan paru (Bradley et al., 2008). Infeksi
seringkali dapat didiagnosis pada sampel biopsi kecil. TBLB positif dengan temuan
histopatologi yang khas juga dapat menjadi diagnostik pada sebagian kecil pasien dengan
pneumonitis hipersensitivitas subakut, pneumonia kriptogenik, atau proteinosis alveolar paru
dalam konteks presentasi klinis yang sesuai dan temuan HRCT yang khas (Glaspole, Wells
and Du Bois, 2001; Petitpierre et al., 2016; Raj et al., 2017). TBLB mungkin sulit dalam
mendiagnosis penyakit yang bersifat lokal atau ketika visualisasi seluruh asinus paru
diperlukan untuk mengevaluasi distribusi penyakit (Bradley et al., 2008).
TBLB adalah prosedur invasif minimal yang aman dengan perkiraan kematian <0,05
persen (Sindhwani et al., 2015; Sehgal et al., 2016). Pneumotoraks diperkirakan terjadi pada
kisaran 0,7 sampai 2 persen, meskipun kisaran tingkat hingga 10 persen telah dilaporkan;
kurang dari setengahnya memerlukan drainase tabung thoracostomy (Descombes, 1997;
Poletti, Chilosi and Olivieri, 2004; Bradley et al., 2008; Sindhwani et al., 2015). Perdarahan
(>50 mL) dilaporkan dalam 1 sampai 4 persen (Bradley et al., 2008). Pada pasien dengan
ILD, lokasi yang dipilih untuk TBLB umumnya merupakan area yang tampak terlibat pada
HRCT. Sebagai catatan, sebaiknya tidak melakukan biopsy pada kedua hemitoraks selama
satu kali tindakan bronkoskopi karena risiko pneumotoraks iatrogenic (Bradley et al., 2008).
Aspirasi jarum transbronkial dengan panduan ultrasound endobronkial (EBUS-TBNA)
memerlukan bronkoskop khusus dan dilakukan di bawah anestesi umum, biasanya dengan
pemasangan laryngeal mask airway. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi pembesaran
kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Bronkoskop untuk EBUS berbeda dari
bronkoskop standar yang digunakan untuk TBLB, tetapi anestesi umum dan laring mask
airway membuatnya relatif mudah untuk mengganti bronkoskop dan melakukan EBUS-TBNA
dan TBLB selama prosedur tunggal (Nakajima et al., 2009). EBUS-TBNA memiliki hasil 90
hingga 96 persen untuk diagnosis sarkoidosis dengan adanya adenopati hilus atau
mediastinum (Nakajima et al., 2009).

KRIOBIOPSI TRANSBRONKIAL
Cryobiopsy transbronkial (cryo-TBB), yang dilakukan dengan sedasi sedang telah
diperkenalkan sebagai teknik untuk mendapatkan sampel biopsi parenkim paru yang melebihi
ukuran dan kualitas sampel biopsi forsep (Babiak et al., 2009; Johannson et al., 2016; Raparia
et al., 2016; Ravaglia et al., 2016). Cryo-TBB mendapatkan penerimaan sebagai alternatif
untuk biopsi paru bedah (SLB) pada pasien dengan proses interstisial sentral, peribronkial,
atau difus. Namun, dengan tidak adanya penelitian lebih lanjut yang secara prospektif
membandingkan cryo-TBB dengan biopsi paru bedah, kami tidak menganggap cryo-TBB
sebagai pengganti gold standard yang diterima saat ini untuk diagnosis ILD, yaitu biopsi paru
bedah dengan diskusi multidisiplin dan diagnosis konsensus (Raparia et al., 2016; Hetzel et
al., 2018; Maldonado et al., 2020).
Cryobiopsy diperoleh dengan menggunakan probe khusus dan fleksibel yang
menggunakan nitrous oxide untuk mendinginkan ujung dengan cepat hingga -89˚C, sehingga
membekukan jaringan yang berdekatan yang kemudian diangkat menempel pada ujung
probe. Cryo-TBB menghasilkan spesimen biopsi ukuran lebih besar (43 hingga 64 mm2)
dibandingkan dengan biopsi transbronkial (5,8 mm2, kisaran 0,58 hingga 20,88 mm2) tanpa
crushing biopsy, dan oleh karena itu tampaknya lebih mungkin menghasilkan informasi
diagnostik untuk mendukung ILD spesifik (Babiak et al., 2009; Casoni et al., 2014; Fruchter et
al., 2014). Keakuratan sampel cryo-TBB meningkat pesat ketika dua atau lebih spesimen
diperiksa (bukan hanya satu) dan ketika biopsi diperoleh di dua lokasi yang berbeda (bukan
hanya satu lokasi), baik dari lobus yang sama atau dari lobus yang berbeda (memperoleh

46
sampel dari lobus yang berbeda disarankan ketika ada heterogenitas radiografi antar lobar)
(Ravaglia et al., 2019).
Meskipun prosedur ini umumnya bebas dari komplikasi utama (Fruchter et al., 2014),
pneumotoraks (2,6 hingga 30 persen), perdarahan sedang (4 hingga 78 persen), eksaserbasi
ILD, dan kematian walapun jarang (0,3 hingga 1,4 persen) telah dilaporkan (Kropski et al.,
2013; Casoni et al., 2014; Pajares et al., 2014; Hager et al., 2015; Hernández-González et al.,
2015; Hagmeyer et al., 2016, 2019; Johannson et al., 2016; Ravaglia et al., 2016; Tomic et
al., 2017; Troy et al., 2020; Maldonado et al., 2020; Ribeiro Neto et al., 2022).
Prosedur TBLC

Gambar 3. Alat Cryosurgical


The Cryosurgical Equipment and Setting cooling agent, yang sebagian besarnya
adalah karbon dioksida (CO2), digunakan di bawah tekanan tinggi melalui kanal pusat probe
(Erbecryo II; ERBE, Tübingen, Jerman). Ketika gas melewati ujung saluran pusat, alat ini akan
mengembang karena adanya perbedaan tekanan tiba-tiba yang mengakibatkan penurunan
suhu secara langsung menjadi kurang dari 0 °C di ujung probe (Colby et al., 2017).
Ukurannya seperti probe 2,4 mm. Waktu pembekuan yang memadai dapat bervariasi
tidak hanya karena cryoprobe ke cryoprobe, tetapi juga dari pasien ke pasien. Hal ini terjadi
karena adanya sifat-sifat yang berbeda dari jaringan paru seperti kepadatan atau kadar air
pada penyakit berbeda. Sampel yang baik biasanya didapatkan dengan waktu pembekuan 7-
8 detik dengan probe kecil dan 5-6 detik dengan probe besar menggunakan sistem CO2.
Terdapat korelasi positif antara waktu pembekuan dan ukuran spesimen. Setelah
pengambilan biopsi pertama, waktu pembekuan dapat disesuaikan berdasarkan sampel yang
diekstraksi. Ukuran sampel berdiameter 5 mm dianggap memadai untuk evaluasi histologis
(Colby et al., 2017).
Untuk TBLC, sebagian besar centers menggunakan intubasi, baik dengan rigid scope
atau flexible tube. Trakeo/bronkoskop rigid dan pipa endotrakeal adalah dua alat jalan nafas
yang paling sering digunakan untuk TBLC. Selain itu, TBLC melalui perangkat supraglottic
memiliki profil safety yang baik (Schmutz et al., 2017).
Sedasi dan Anastesi
Prosedur bronkoskopi harus dilakukan dalam kondisi deep sedation atau anestesi
umum untuk meningkatkan toleransi pasien, mencegah batuk, dan memfasilitasi penempatan
cryoprobe dan balon, memberikan manajemen yang optimal dari komplikasi potensial seperti

47
perdarahan. Biasanya propofol sebagai agen tunggal atau dalam kombinasi dengan fentanil
atau remifentanil digunakan untuk deep sedation (Schmutz et al., 2017).
Dimana untuk Mengambil Biopsi
Area target untuk TBLC diidentifikasi oleh HRCT dada. Meskipun ada perdebatan area
mana yang harus dipilih untuk TBLC, tampaknya lebih masuk akal untuk menargetkan area
paru yang berbeda, area yang lebih terkena, dan area dengan pola radiologis yang berbeda.
Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Ravaglia et al., (2017) yang menemukan bahwa
mengambil biopsi dari segmen berbeda dari lobus yang sama alih-alih biopsi dari satu segmen
dapat meningkatkan hasil diagnostik dari 69% menjadi 96%. Namun, mengambil biopsi hanya
dari daerah yang mencurigakan untuk perubahan fibrotik murni pada HRCT sepertinya tidak
memberikan perubahan histologis yang spesifik dan oleh karena itu harus dihindari (Ravaglia
et al., 2017).
Intubasi memungkinkan bronkoskop fleksibel dilepas dan diganti dengan cepat. Hal ini
memungkinkan akses untuk large bore suction catheters dan juga memfasilitasi penempatan
blocker balon. Selain itu, jauh lebih mudah untuk meningkatkan strategi ventilasi di mana
pasien sudah diintubasi. Penempatan balon endobronkial profilaksis dianjurkan, terutama
dalam kasus intubasi dengan tabung fleksibel. Balon harus selalu mengembang ketika
bronkoskop fleksibel bersama dengan cryoprobe ditarik keluar. Balon lebih disukai
ditempatkan di segmen yang memberi makan area target. Balon dapat didorong ke bawah di
samping bronkoskop di dalam bronkoskop rigid atau melalui saluran tambahan, yang
dipasang ke tabung fleksibel. Penempatan balon pada segmen atau lobus yang sesuai
terkadang sulit, terutama bila penempatan di lobus atas diperlukan (Ravaglia et al., 2017).

Gambar. 4. Probe di bawah bimbingan fluoroskopi.

Aspek Prosedural Kriobiopsi


Tabel 2. Poin kunci TBLC
Sedasi/anestesi Anestesi umum atau deep sedation (propofol/opioid)
Ventilasi Pernapasanspontan/ ventilasi mekanis/ventilasi jet
Bronchial blocker Balon yang berbeda, misalnya balon Fogarty
Panduan Fluoroskopi dan panjang cryoprobe yang sudah
didorong
Diameter probe 1,9 atau 2,4 mm
Dimana untuk mengambil biopsi? ≤1 cm dari pleura
Freezing time Dipengaruhi oleh sifat jaringan dan kekuatan
pembekuan cryoprobe – aim sample dengan diameter
5 mm
2,4 mm × 5–6 dtk
1,9 mm × 6–8 dtk

Berdasarkan sebagian besar penelitian, prosedur ini diulang 2-4 kali.

48
Kontraindikasi TBLC
Fungsi paru yang sangat terganggu biasanya digambarkan sebagai kontraindikasi
relatif: FVC <50% dari yang diprediksi, DLCO <35%, dan FEV1 <0,80 L atau <50% dari
prediksi adalah kriteria eksklusi dalam beberapa penelitian meskipun tidak semuanya (Lentz
et al., 2017). Beberapa laporan menunjukkan bahwa TBLC juga aman pada pasien dengan
fungsi paru yang lebih rendah dan pada ILD dengan perilaku akut atau subakut (Lentz et al.,
2017; Hetzel et al., 2018). Namun, kerusakan klinis dan fungsional yang progresif dan
timbulnya area ground glass pada HRCT dapat menjadi prediktor risiko eksaserbasi yang
tinggi. Tidak ada batasan usia yang disarankan dalam TBLC dan ini membuat TBLC lebih
layak daripada SLB (Lentz et al., 2017). Daftar kontraindikasi dirangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kontraindikasi untuk TBLC


Absolute contraindications
Diatesis perdarahan yang diketahui
Terapi antikoagulan dalam dosis terapeutik (misalnya, warfarin, phenprocoumon, heparin,
dll.)
Thienopyridines atau obat antiplatelet baru lainnya
Trombositopenia (<50 x 109/L)
Relative contraindications
Fungsi paru
FVC< 50% of predicted
FEV1 <<0.80L, <50% of predicted
DLCO <35% of predicted
Hipertensi paru
Tekanan arteri pulmonalis sistolik >50 mm Hg

Pendekatan lain
Dhooria et al., (2018) melaporkan hasil TBLC yang dilakukan dengan cara yang
berbeda – dengan dan tanpa panduan fluoroskopi dan dengan dan tanpa bronchial blocker.
Studi menunjukkan bahwa lebih sedikit pneumotoraks diamati menggunakan fluoroskopi
sedangkan perdarahan sedang hingga berat diamati terjadi menggunakan bronchial blocker
(Dhooria et al., 2018). Sebagai alternatif, dua scope bergantian yang digunakan selama
prosedur dapat menghindari adanya intubasi (Bango-Álvarez et al., 2017). Dalam sebuah
studi oleh Bango-Álvarez et al., (2017), perdarahan dikendalikan dengan teknik ini. Dari 106
pasien, didapatkan diagnosis dalam 91 kasus (86%), pneumotoraks pada 4,7% dan tidak ada
eksaserbasi akut IPF atau perdarahan parah. Namun, harus diingat bahwa dalam kasus
perdarahan parah mungkin akan sulit atau bahkan tidak mungkin untuk memasuki sistem
bronkial dengan bronkoskop kedua, yang kemudian bisa mengakibatkan situasi yang
mengancam jiwa. Intubasi sebelumnya dengan rigid scope atau tabung fleksibel akan
memberikan lebih banyak keamanan. Penelitian oleh Sriprasart et al., (2017) melaporkan
pengalaman mereka dengan dua scope tanpa bronchial blocker tetapi dengan penggunaan
fluoroskopi: mereka menemukan hasil diagnostik 87,84% dan mereka melaporkan
pneumotoraks pada 7%, 1 perdarahan parah, dan kematian pada 4%. Tingkat kematian pada
penelitian mereka sebanding dengan SLB dan secara signifikan lebih tinggi daripada yang
biasanya dilaporkan dengan TBLC. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan penggunaan
baik rigid bronchoscope atau endotracheal tube bersamaan dengan penggunaan prophylactic
balloon blocker dengan panduan fluoroskopi untuk melaksanakan prosedur dengan cara yang
paling aman (Bango-Álvarez et al., 2017).

Outlook dan Kesimpulan


Kontributor diagnostik seperti morfologi klasik, informasi morfologis yang didapat dari
penggunaan alat investigasi yang lebih canggih seperti biomarker, tanda genetik/epigenetik,
dan interpretasi HRCT yang lebih tepat merupakan sebuah langkah maju dalam diagnosis

49
ILD dan dalam hal ini kontes TBLC akan memiliki peran penting, asalkan kriteria kualitas untuk
prosedur dilakukan. Sangat penting untuk mengurangi kemungkinan biopsi nondiagnostik
dengan mendapatkan sampel besar berkualitas baik di area yang telah ditentukan dan untuk
mengurangi risiko perdarahan dan pneumotoraks dengan penempatan probe yang tepat dan
mengambil tindakan pencegahan seperti intubasi dan penempatan balon profilaksis
(Hernández-González et al., 2015; Jenkins et al., 2015; Kim et al., 2015; Kropski, Blackwell
and Loyd, 2015; Wells et al., 2015).

50
REFERENCES

Babiak, A. et al. (2009) ‘Transbronchial cryobiopsy: A new tool for lung biopsies’, Respiration,
78(2), pp. 203–208. Available at: https://doi.org/10.1159/000203987.
Bango-Álvarez, A. et al. (2017) ‘Transbronchial cryobiopsy in interstitial lung disease:
Experience in 106 cases - How to do it’, ERJ Open Research, 3(1). Available at:
https://doi.org/10.1183/23120541.00148-2016.
Bohadana, A., Izbicki, G. and Kraman, S.S. (2014) ‘Fundamentals of Lung Auscultation’, New
England Journal of Medicine, 370(8), pp. 744–751. Available at:
https://doi.org/10.1056/nejmra1302901.
Bradley, B. et al. (2008) ‘Interstitial lung disease guideline: The British Thoracic Society in
collaboration with the Thoracic Society of Australia and New Zealand and the Irish
Thoracic Society’, Thorax, 63(SUPPL. 5). Available at:
https://doi.org/10.1136/thx.2008.101691.
Caminati, A. and Harari, S. (2005) ‘Which prognostic indicator should we use for clinical
practice in the initial evaluation and follow-up of IIP: Should we depend on PFT, HRCT
or ... what?’, Sarcoidosis Vasculitis and Diffuse Lung Diseases, 22(SUPPL. 1).
Casoni, G.L. et al. (2014) ‘Transbronchial lung cryobiopsy in the diagnosis of fibrotic interstitial
lung diseases’, PLoS ONE, 9(2). Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0086716.
Colby, T. V. et al. (2017) ‘Transbronchial cryobiopsy in diffuse lung disease update for the
pathologist’, Archives of Pathology and Laboratory Medicine, 141(7), pp. 891–900.
Available at: https://doi.org/10.5858/arpa.2016-0233-RA.
Descombes, E. (1997) ‘Transbronchial lung biopsy: An analysis of 530 cases with reference
to the number of samples’, Monaldi Archives for Chest Disease, 52(4), pp. 324–329.
Dhooria, S. et al. (2018) ‘The safety and efficacy of different methods for obtaining
transbronchial lung cryobiopsy in diffuse lung diseases’, Clinical Respiratory Journal,
12(4), pp. 1711–1720. Available at: https://doi.org/10.1111/crj.12734.
Elliot, T.L. et al. (2005) ‘High-resolution computed tomography features of nonspecific
interstitial pneumonia and usual interstitial pneumonia’, Journal of Computer Assisted
Tomography, 29(3), pp. 339–345. Available at:
https://doi.org/10.1097/01.rct.0000162153.55253.d3.
Fruchter, O. et al. (2014) ‘Histological diagnosis of interstitial lung diseases by cryo-
transbronchial biopsy’, Respirology, 19(5), pp. 683–688. Available at:
https://doi.org/10.1111/resp.12296.
Glaspole, I.N., Wells, A.U. and Du Bois, R.M. (2001) ‘Lung biopsy in diffuse parenchymal lung
disease’, Monaldi Archives for Chest Disease, 56(3), pp. 225–232.
Hager, J. et al. (2015) ‘The role of transbronchial cryobiopsy and surgical lung biopsy in the
diagnostic algorithm of interstitial lung disease’, clinical Respiratory Journal, 26.
Hagmeyer, L. et al. (2016) ‘Validation of transbronchial cryobiopsy in interstitial lung disease
- Interim analysis of a prospective trial and critical review of the literature’, Sarcoidosis
Vasculitis and Diffuse Lung Diseases, 33(1), pp. 2–9.
Hagmeyer, L. et al. (2019) ‘Transbronchial cryobiopsy in fibrosing interstitial lung disease:
Modifications of the procedure lead to risk reduction’, Thorax, 74(7), pp. 711–714.
Available at: https://doi.org/10.1136/thoraxjnl-2018-212095.
Halkos, M.E. et al. (2005) ‘Role of thoracic surgeons in the diagnosis of idiopathic interstitial
lung disease’, Annals of Thoracic Surgery, 79(6), pp. 2172–2179. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.athoracsur.2004.06.103.
Hernández-González, F. et al. (2015) ‘Cryobiopsy in the Diagnosis of Diffuse Interstitial Lung
Disease: Yield and Cost-Effectiveness Analysis’, Archivos de Bronconeumologia, 51(6),
pp. 261–267. Available at: https://doi.org/10.1016/j.arbr.2015.02.001.
Hetzel, J. et al. (2018) ‘Transbronchial Cryobiopsies for the Diagnosis of Diffuse Parenchymal
Lung Diseases: Expert Statement from the Cryobiopsy Working Group on Safety and
Utility and a Call for Standardization of the Procedure’, Respiration, 95(3), pp. 188–200.

51
Available at: https://doi.org/10.1159/000484055.
Jenkins, R.G. et al. (2015) ‘Longitudinal change in collagen degradation biomarkers in
idiopathic pulmonary fibrosis: An analysis from the prospective, multicentre PROFILE
study’, The Lancet Respiratory Medicine, 3(6), pp. 462–472. Available at:
https://doi.org/10.1016/S2213-2600(15)00048-X.
Johannson, K.A. et al. (2016) ‘Diagnostic yield and complications of transbronchial lung
cryobiopsy for interstitial lung disease: A systematic review and metaanalysis’, Annals
of the American Thoracic Society, 13(10), pp. 1828–1838. Available at:
https://doi.org/10.1513/AnnalsATS.201606-461SR.
Kim, S.Y. et al. (2015) ‘Classification of usual interstitial pneumonia in patients with interstitial
lung disease: Assessment of a machine learning approach using high-dimensional
transcriptional data’, The Lancet Respiratory Medicine, 3(6), pp. 473–482. Available at:
https://doi.org/10.1016/S2213-2600(15)00140-X.
Kinder, B.W. and Wells, A.U. (2009) ‘The art and science of diagnosing interstitial lung
diseases’, American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 179(11), pp.
974–975. Available at: https://doi.org/10.1164/rccm.200903-0349ED.
King, T. E., Flaherty, K.R., & Hollingsworth, H. (2020) ‘Approach to the adult with interstitial
lung disease: Diagnostic testing’, UpToDate, pp. 1–9.
Kropski, J.A. et al. (2013) ‘Bronchoscopic cryobiopsy for the diagnosis of diffuse parenchymal
lung disease’, PLoS ONE, 8(11). Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0078674.
Kropski, J.A., Blackwell, T.S. and Loyd, J.E. (2015) ‘The genetic basis of idiopathic pulmonary
fibrosis’, European Respiratory Journal, 45(6), pp. 1717–1727. Available at:
https://doi.org/10.1183/09031936.00163814.
Lama, V.N. and Martinez, F.J. (2004) ‘Resting and exercise physiology in interstitial lung
diseases’, Clinics in Chest Medicine, 25(3), pp. 435–453. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.ccm.2004.05.005.
Latsi, P.I. et al. (2003) ‘Fibrotic idiopathic interstitial pneumonia: The prognostic value of
longitudinal functional trends’, American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, 168(5), pp. 531–537. Available at: https://doi.org/10.1164/rccm.200210-
1245OC.
Lentz, R.J. et al. (2017) ‘Transbronchial cryobiopsy for diffuse parenchymal lung disease: A
state-of-the-art review of procedural techniques, current evidence, and future
challenges’, Journal of Thoracic Disease, 9(7), pp. 2186–2203. Available at:
https://doi.org/10.21037/jtd.2017.06.96.
Lynch, D.A. et al. (2005) ‘Idiopathic interstitial pneumonias: CT features’, Radiology, 236(1),
pp. 10–21. Available at: https://doi.org/10.1148/radiol.2361031674.
Lynch, D.A. et al. (2018) ‘Diagnostic criteria for idiopathic pulmonary fibrosis: a Fleischner
Society White Paper’, The Lancet Respiratory Medicine, 6(2), pp. 138–153. Available
at: https://doi.org/10.1016/S2213-2600(17)30433-2.
Maldonado, F. et al. (2020) ‘Transbronchial Cryobiopsy for the Diagnosis of Interstitial Lung
Diseases: CHEST Guideline and Expert Panel Report’, Chest, 157(4), pp. 1030–1042.
Available at: https://doi.org/10.1016/j.chest.2019.10.048.
Martinez, F.J. and Flaherty, K. (2006) ‘Pulmonary function testing in idiopathic interstitial
pneumonias’, Proceedings of the American Thoracic Society, 3(4), pp. 315–321.
Available at: https://doi.org/10.1513/pats.200602-022TK.
Mittoo, S. et al. (2009) ‘Ascertainment of collagen vascular disease in patients presenting with
interstitial lung disease’, Respiratory Medicine, 103(8), pp. 1152–1158. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.rmed.2009.02.009.
Morice, A.H. et al. (2020) ‘ERS guidelines on the diagnosis and treatment of chronic cough in
adults and children’, European Respiratory Journal, 56(5). Available at:
https://doi.org/10.1183/13993003.51136-2019.
Nakajima, T. et al. (2009) ‘The role of EBUS-TBNA for the diagnosis of sarcoidosis -
comparisons with other bronchoscopic diagnostic modalities’, Respiratory Medicine,

52
103(12), pp. 1796–1800. Available at: https://doi.org/10.1016/j.rmed.2009.07.013.
Ohshimo, S. et al. (2009) ‘Significance of bronchoalveolar lavage for the diagnosis of
idiopathic pulmonary fibrosis’, American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, 179(11), pp. 1043–1047. Available at: https://doi.org/10.1164/rccm.200808-
1313OC.
Pajares, V. et al. (2014) ‘Diagnostic yield of transbronchial cryobiopsy in interstitial lung
disease: A randomized trial’, Respirology, 19(6), pp. 900–906. Available at:
https://doi.org/10.1111/resp.12322.
Parshall, M.B. et al. (2012) ‘An Official American Thoracic Society Statement: Update on the
Mechanisms, Assessment, and Management of Dyspnea’, American Journal of
Respiratory and Critical Care Medicine, 185(4).
Petitpierre, N. et al. (2016) ‘Cryptogenic organizing pneumonia’, Revue des Maladies
Respiratoires, 33(8), pp. 703–717. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.rmr.2015.08.004.
Pipavath, S. and Godwin, J.D. (2005) ‘Imaging of interstitial lung disease’, Radiologic Clinics
of North America, 43(3), pp. 589–599. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.rcl.2005.03.005.
Poletti, V., Chilosi, M. and Olivieri, D. (2004) ‘Diagnostic invasive procedures in diffuse
infiltrative lung diseases’, Respiration, 71(2), pp. 107–119. Available at:
https://doi.org/10.1159/000076670.
Raghu, G. (1995) ‘Interstitial Lung Disease: A Diagnostic Approach: Are CT Scan and Lung
Biopsy Indicated in Every Patient?’, American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, 151(3_pt_1), pp. 909–914. Available at:
https://doi.org/10.1164/ajrccm/151.3_pt_1.909.
Raghu, G. et al. (2018) ‘Diagnosis of idiopathic pulmonary fibrosis An Official
ATS/ERS/JRS/ALAT Clinical practice guideline’, American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine, 198(5), pp. e44–e68. Available at:
https://doi.org/10.1164/rccm.201807-1255ST.
Raj, R. et al. (2017) ‘Surgical Lung Biopsy for Interstitial Lung Diseases’, Chest, 151(5), pp.
1131–1140. Available at: https://doi.org/10.1016/j.chest.2016.06.019.
Raparia, K. et al. (2016) ‘Transbronchial lung cryobiopsy for interstitial lung disease diagnosis:
A perspective from members of the pulmonary pathology society’, Archives of Pathology
and Laboratory Medicine, 140(11), pp. 1281–1284. Available at:
https://doi.org/10.5858/arpa.2016-0258-SA.
Ravaglia, C. et al. (2016) ‘Safety and Diagnostic Yield of Transbronchial Lung Cryobiopsy in
Diffuse Parenchymal Lung Diseases: A Comparative Study versus Video-Assisted
Thoracoscopic Lung Biopsy and a Systematic Review of the Literature’, Respiration,
91(3), pp. 215–227. Available at: https://doi.org/10.1159/000444089.
Ravaglia, C. et al. (2017) ‘Transbronchial Lung Cryobiopsy in Diffuse Parenchymal Lung
Disease: Comparison between Biopsy from 1 Segment and Biopsy from 2 Segments-
Diagnostic Yield and Complications’, Respiration, 93(4), pp. 285–292. Available at:
https://doi.org/10.1159/000456671.
Ravaglia, C. et al. (2019) ‘Diagnostic yield and risk/benefit analysis of trans-bronchial lung
cryobiopsy in diffuse parenchymal lung diseases: A large cohort of 699 patients’, BMC
Pulmonary Medicine, 19(1). Available at: https://doi.org/10.1186/s12890-019-0780-3.
Ribeiro Neto, M.L. et al. (2022) ‘Prospective cohort of cryobiopsy in interstitial lung diseases:
a single center experience’, BMC Pulmonary Medicine, 22(1). Available at:
https://doi.org/10.1186/s12890-022-01990-4.
Schmutz, A. et al. (2017) ‘Feasibility of a Supraglottic Airway Device for Transbronchial Lung
Cryobiopsy—A Retrospective Analysis’, Journal of Cardiothoracic and Vascular
Anesthesia, 31(4), pp. 1343–1347. Available at:
https://doi.org/10.1053/j.jvca.2017.02.055.
Schwartzstein, R.M. (1996) ‘Are you fluent in the “language” of dyspnea?’, Journal of
Respiratory Diseases, 17(4), pp. 322–328.

53
Sehgal, I.S. et al. (2016) ‘A Prospective Randomized Controlled Trial Comparing the Efficacy
and Safety of Cup vs Alligator Forceps for Performing Transbronchial Lung Biopsy in
Patients with Sarcoidosis’, Chest, 149(6), pp. 1584–1586. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.chest.2016.03.025.
Sindhwani, G. et al. (2015) ‘Transbronchial lung biopsy in patients with diffuse parenchymal
lung disease without “idiopathic pulmonary fibrosis pattern” on HRCT scan - Experience
from a tertiary care center of North India’, Lung India, 32(5), pp. 453–456. Available at:
https://doi.org/10.4103/0970-2113.164148.
Sriprasart, T. et al. (2017) ‘A Single US Center Experience of Transbronchial Lung Cryobiopsy
for Diagnosing Interstitial Lung Disease with a 2-Scope Technique’, Journal of
Bronchology and Interventional Pulmonology, 24(2), pp. 131–135. Available at:
https://doi.org/10.1097/LBR.0000000000000366.
Sumikawa, H. et al. (2006) ‘Usual Interstitial Pneumonia and Chronic Idiopathic Interstitial
Pneumonia: Analysis of CT Appearance in 92 Patients’, Radiology, 241(1), pp. 22–23.
Available at: https://doi.org/10.1016/s0098-1672(08)70020-1.
Tomic, R. et al. (2017) ‘Acute Exacerbation of Interstitial Lung Disease after Cryobiopsy’,
Journal of Bronchology and Interventional Pulmonology, 24(4), pp. 319–322. Available
at: https://doi.org/10.1097/LBR.0000000000000369.
Travis, W.D. et al. (2008) ‘Idiopathic nonspecific interstitial pneumonia: Report of an American
thoracic society project’, Japanese Journal of Chest Diseases, 67(10), pp. 896–897.
Troy, L.K. et al. (2020) ‘Diagnostic accuracy of transbronchial lung cryobiopsy for interstitial
lung disease diagnosis (COLDICE): a prospective, comparative study’, The Lancet
Respiratory Medicine, 8(2), pp. 171–181. Available at: https://doi.org/10.1016/S2213-
2600(19)30342-X.
Wells, A.U. et al. (2015) ‘Challenges in IPF diagnosis, current management and future
perspectives’, Sarcoidosis Vasculitis and Diffuse Lung Diseases, 32, pp. 28–35.

54
HRCT DAN KLASIFIKASI INTERSTITIEL LUNG DISEASE
Fierly Hayati
Divisi Radiologi Toraks Departemen/KSM Radiologi
Fakultas Kedokteran Unair/RSUD Dr. Soetomo

PENDAHULUAN
Interstitiel Lung Disease (ILD) sendiri merupakan terminologi yang merujuk pada
berbagai macam kelainan yang berakhir pada fibrosis paru irreversible sehingga
menimbulkan kesulitan bernafas dan berkurangnya pasokan oksigen darah (Anna Valeria,
2021). Spektrum penyebab ILD sangat luas tetapi secara garis besar dibedakan menjadi 2
golongan besar yaitu ILD dengan penyebab dan ILD yang idiopatik. Diagnosa banding dari
ILD cukup menyulitkan mengingat gambaran klinis, radiologis dan patologis dari berbagai
macam fibrosis paru seringkali tumpang tindih sehingga diperlukan pendekatan multidisipliner
(ATS, 2021).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, serologi, radiologis serta biopsi untuk
kasus-kasus yang masih meragukan sehingga dibutuhkan kerjasama multidisiplin yang solid
dalam rangka mengupayakan penatalaksanaan selanjutnya. Dalam hal pencitraan, HRCT
merupakan modalitas yang sangat membantu dalam mendidentifikasi kelainan-kelainan paru
terutama dalam kasus fibrosis paru masif baik untuk diagnostik maupun evaluasi terapi.

HIGH RESOLUTION COMPUTED TOMOGRAPHY (HRCT)


Merupakan salah satu jenis protokol CT tanpa media kontras yang menghasilkan
irisan tipis paru (< 1.5 mm) dengan meminimalkan motion artefact sehingga gambaran
parenkim dan small airways dapat dilihat lebih jelas setelah dilakukan rekonstruksi gambar
(Pedro Paulo, 2021). Skening dilakukan dalam kondisi inspirasi maksimal dimana protokol ini
dapat memperjelas distribusi lesi terutama di sub pleural serta membedakan antara
honeycombing dengan bronchiolectasis (gambar 1dan 2) .
Dibanding dengan MDCT toraks, dosis radiasi yang diterima pada HRCT sedikit lebih
rendah sehingga dapat menurunkan radiation effect pada penderita. Kendala terbesar pada
protokol ini adalah sulitnya penderita melakukan breath-hold mengingat seringkali penderita
sudah dalam kondisi dyspneu. Contoh perbedaan pencitraan lesi antara MDCT dengan
HRCT dapat dilihat pada gambar2.

Gambar 1
A. Parenkim paru normal; B. Distorsi secondary lobule dengan traction bronchiectasis;
C. Honey combing (Onno Mets, 2021)

55
Gambar 2
Traction bronchiectasis pada A. HRCT dan B. MDCT
(Goodman CD, 200)

Gambar 3
Groundglass opacity yang terlihat samar pada MDCT (A) dapat terlihat jelas pada HRCT (B)
A (Pedro Paulo, 2021)
B

KLASIFIKASI ILD
Seringkali temuan awal pada penderita ILD adalah diffuse reticulation yang
merupakan pola linear abnormal pada interstisiel paru. Gambaran ini secara radiologis harus
dibedakan apakah benar suatu fibrosis atau bukan dimanan non fibrotic reticulation dapat
dijumpai pada beberapa kelainan paru antara lain edema, infiltrasi sel leukemia, lymphangitic
spreading of malignancy, dan masih banyak lainnya.

Gambar 4
Reticulation pattern : fibrosis atau non fibrosis ? (Onno Mets, 2021)

56
Berdasarkan guidelines dari American Thoracic Society, ILD dikelompokkan menjadi
4 yaitu definite UIP (Usual Interstitiel Pneumonia), Probable UIP, Indeterminate for UIP serta
Alternative Diagnosis (dan untuk membedakannya diperlukan HRCT. Abnormalitas HRCT
pada ILD dapat berupa honeycombing, subpleural reticulation, traction bronchiectasis, traction
bronchiolectasis, mosaicism, ground glass opacification dan/atau emfisema yang selanjutnya
akan dikelompokkan berdasarkan lokasi. Temuan lain pada rongga toraks baik intra dan
ekstrapulmonal juga harus diidentifikasi yang mungkin dapat berupa konsolidasi, groundglass
opacity, efusi pleura maupun pneumotoraks.

Gambar 5
Area fibrosis pada ILD : A. Dominan sub pleura, B. Tanpa keterlibatan sub pleura,
dan C. Peribronchial (Knipe H, 2018)

Gambar 6
Temuan HRCT dan klasifikasi ILD (Onno Mets, 2021)

Definite UIP Pattern


Ditemukannya fibrosis yang dominan berada di subpleural serta basal paru dengan
distribusi yang heterogen, honeycombing dengan atau tanpa traction bronchiectasis atau
bronchiolectasis. Honeycombing merupakan area kistik multipel berisi udara yang
merepresentasikan kerusakan dan fibrosis paru dengan dinding yang tipis dan hilangnya
acinar architecture (David M Hansell , 2008).

57

A B
A B
Gambar 7
Honey combing (kuning), traction bronchiectasis (merah) serta fibrosis di basal dan sub
pleural kanan kiri pada definitive UIP (Knipe H, 2018)

Probable UIP pattern

Didapatkan pola retikuler dengan traction bronchiectasis/bronchiolectasis yang


berlokasi di subpleural dan basal. Masih mungkin didapatkan gambaran groundglass opacity
yang didefinisikan sebagai peningkatan opasitas ringan paru tanpa keterlibatan bronchus-
bronchiole dan vaskuler (David M Hansell , 2008).

A B
Gambar 8
Fibrosis sub pleural (kuning) dan basal paru disertai traction bronchiectasis (merah) pada
probable UIP

Indeterminate UIP pattern


Terdapat retikulasi dengan distribusi yang tidak spesifik disertai mozaic pattern,
ground glass opacity atau parenchymal distortion. Temuan HRCT tidak sesuai dengan kriteria
3 klasifikasi yang lain. Parenchymal distortion ditandai dengan adanya displacement bronchii,
vaskuler, fissura maupun septa oleh fibrosis atau kelainan interstisiel paru (David M Hansell ,
2008).

A B
Gambar 9
HRCT pada Indeterminate UIP dengan gambaran A. Fibrosis sub pleural, mozaic
pattern dan ground glass opacity; B. Fibrosis sub pleural, architectural distortion, traction
bronchiectasis dan konsolidasi (Stephen Hobbs, 2012)

58
Alternative diagnosis
Pola kelainan yang didapat mengarah ke diagnosis lain dengan ditemukannya kista,
mozaic attentuation yang muncul karena perbedaan atenuasi paru dengan penebalan septa
sebagai akibat dari patchy interstitial disease, obliterasi small airways atau kapiler, nodul
sentrilobular, konsolidasi dengan distribusi dominan di peribronchial, perilimfatik serta berada
di bagian atas atau tengah paru . Temuan lain berupa pleural plaques, dilatasi esofagus , efusi
atau penebalan pleura.

A C
C B
Gambar 10
A. Traction bronchiectasis sentral dan konsolidasi pada sarcoidosis, B.Sub pleural fibrosis
dan mozaic attenuation pada hypersensitivity pneumonitis , serta C. Pleural plaque yang
didapatkan pada asbestosis (Onno Mets, 2021)

BIOPSY-POINT
Selain untuk kepentingan diagnostik, HRCT pada ILD juga berguna untuk menentukan
lokasi surgical lung biopsy. Yang perlu diperhatikan pada biopsi ILD adalah bahwa :
- Dilakukan pada 2-3 lobus yang berbeda karena masing-masing lokasi dapat
mempunyai gambaran histopatologis yang berlainan,
- Biopsy-point pada area yang mempunyai full spectrum ILD (mengingat gambaran
histopatologis ILD cukup bervariasi,
- Tidak disarankan melakukan sampling pada area dengan honey combing yang
dominan.

RINGKASAN
HRCT mempunyai peranan cukup penting dalam mendiagnosa dan
mengklasifikasikan suatu Interstitiel Lung Disease sesuai dengan kriteria yang disepakati
mengingat kelainan ini mempunyai spektrum yang cukup luas serta kondisi klinis yang serupa
satu sama lain. Selain itu, HRCT juga membantu menentukan biopsy-point pada surgical lung
biopsy

59
DAFTAR PUSTAKA

Abu Qubo A, Capaccione KM, Bernstein EJ, Padilla M and Salvatore M; 2022; The Role of
Radiology in Progressive Fibrosing Interstitial Lung Disease; Front. Med. 8:679051.
doi: 10.3389/fmed.2021.679051
An ATS Pocket Publication; 2021; Idiopathic Pulmonary Fibrosis UPDATE 2021 Guidelines
for Diagnosis and Management
Anna Valeria Samarelli, Roberto Tonelli , Alessandro Marchioni , Giulia Bruzzi, Filippo
Gozzi , Dario Andrisani , et al ; 2021; Fibrotic Idiopathic Interstitial Lung Disease: The
Molecular and Cellular Key Players ; Int J Mol Sci. 2021 Aug 19;22(16):8952. doi:
10.3390/ijms22168952PMID: 34445658 PMCID: PMC8396471,
DOI: 10.3390/ijms22168952
David M. Hansell, MD, FRCP, FRCR, Alexander A. Bankier, MD, Heber MacMahon, MB,
BCh, BAO, Theresa C. McLoud, MD Nestor L. Mu¨ller, MD, PhD Jacques Remy, MD;
2008; Fleischner Society: Glossary of Terms for Thoracic Imaging; Radiology: Volume
246: Number 3
Knipe, H., Puyó, D; 2018; Diagnostic HRCT criteria for usual interstitial pneumonia (UIP)
pattern - ATS/ERS/JRS/ALAT ; Reference article, Radiopaedia.org. (accessed on 16
Oct 2022) https://doi.org/10.53347/rID-43571
Onno Mets, Lilian Meijboom, and Robin Smithuis; 2021; Pulmonary Fibrosis , A Stepwise
approach to fibrosis on HRCT ; Radiology Department of The Amsterdam University
Medical Center and Alrijne Hospital Leiderdorp
Pedro Paulo Teixeira e Silva Torres, Marcelo Fouad Rabahi, Maria Auxiliadora do Carmo,
Moreira, Dante Luiz Escuissato, Gustavo de Souza Portes Meirelles, Edson Marchiori,
J Bras; 2021; Importance of chest HRCT in the diagnostic evaluation of fibrosing
interstitial lung diseases ; Pneumol. 2021;47(3):e20200096;
https://dx.doi.org/10.36416/1806-3756/e20200096
Stephen Hobbs, MD, Jonathan H. Chung, MD , Jay Leb, MD, Kate Kaproth-Joslin, MD, PhD
, David A. Lynch, MB; 2021; Practical Imaging Interpretation in Patients Suspected of
Having Idiopathic Pulmonary Fibrosis: Official Recommendations from the Radiology
Working Group of the Pulmonary Fibrosis Foundation; Radiology: Cardiothoracic
Imaging 2021; 3(1):e200279 • https://doi.org/10.1148/ryct.2021200279

60
INTERSTITIAL LUNG DISEASE: EARLY DETECTION AND TREATMENT
Helmia Hasan

PENDAHULUAN
Penyakit paru interstisial (ILD/Interstitial Lung Disease) atau disebut juga sebagai
penyakit parenkim paru difus (DPLD/Diffuse Parenchymal Lung Disease) telah diidentifikasi
sejak 2 abad terakhir.1 Penyakit paru interstisial (ILD) ini merupakan sekelompok kelainan
yang heterogenn, terdiri dari sejumlah besar kelainan paru yang terdiri dari lebih dari 200
penyakit yang berbeda, yang menyebabkan inflamasi dan fibrosis pada paru. Penyakit ini
menyebabkan terjadinya ganguan paru yang umumnya progresif dan mengakibatkan fibrosis
paru luas. dengan gambaran klinik, radiologik dan histologik yang bervariasi. 2,3 Penyakit paru
interstial menunjukkan berbagai tingkat inflamasi, fibrosis atau keduanya, dan dengan
berbagai variasi perjalanan klinis dan prognosis.4 Gambaran penyakit antar kelompok
bervariasi sehingga diagnosis yang tepat adalah sangat penting untuk menetapkan
tatalaksananya.
INSIDENS
Data epidemiologik menunjukkan insidens penyakit paru interstisial terus meningkat
dengan mortalitas yang serupa dengan kanker.2 Prevalensi ILD di seluruh dunia dilaporkan
terus meningkat, namun terdapat perbedaan prevalensi secara signifikan di berbagai wilayah
geografis.5 Data epidemiologis yang pasti untuk setiap jenis ILD masih sulit didapatkan akibat
sulitnya mendapatkan diagnosis spesifik ILD.6 Penelitian di Eropa (The PERSEIDS study)
yang melibatkan 6 negara melaporkan adanya perbedaan insidens dan prevalensi ILD antar
negara. Prevalensi dan insidens kelompok ILD dengan fibrosis bervariasi antara 2.1–
14.5/105 orang/tahun and 6.9–78.0/105 orang/tahun Perbedaan data antar negara ini
mungkin disebabkan adanya distribusi kelompok subtipe ILD non fibrotik yang mempunyai
perbedaan progresifitas. Dilaporkan sekitar 1/3 kasus non-fibrotik menunjukkan adanya
fibrotik dan hampir ½ nya (43%) mempunyai gambaran UIP-like yang terdapat pada tipe
fibrotik.4
Studi epidemiologis di Turki-Asia menunjukkan insidens ILD 25.8 kasus/100.000
penduduk; 24% kasus adalah kelomok dengan etiologi dapat diidentifikasi, 39% adalah
kelompok penyakit granulomatous, 24% idiopatik, and 4% merupakan unclassified-ILD.
Sarcoidosis (37%) merupakan penyakit yang paling umum sedangkan Idiopathic Pulmonary
Fibrosis (IPF) didapatkan pada 20% pasien. Sementara itu di India, chronic hypersensitive
pneumonitis, fibrosis paru yang terkait dengan connective tissue disease (CTD-ILD),
sarcoidosis dan IPF adalah kelompok yang paling umum. Data baru di India melaporkan 14%
dari 1.084 pasien ILD adalah IPF dan 14% merupakan CTD-ILD. Studi di Saudi Arabia
melaporkan CTD-ILD merupakan kasus terbanyak diikuti IPF (23%) dan sarcoidosis (20%).5
PATOFISIOLOGI
Kerusakan patogenik ILD melibatkan serangkaian proses inflamasi dan fibrosis pada
jaringan interstisial dan kerusakan parenkim paru meliputi alveoli, saluran alveolar, dan
bronkiolus.7 Perubahan morfologik ini tampak dengan pemeriksaan histologi yang
menunjukkan adanya inflamasi pada perenkim paru yaitu bagian yang terlibat pada
pertukaran gas. Hal ini yang menyebabkan pasien ILD mengalami gejala sesak napas dan
hipoksemia. Sekitar 65% pasien ILD tidak diketahui penyebabnya Namun, pada beberapa
kondisi, ada peningkatan bukti keterlibatan faktor eksogen6 yaitu paparan lingkungan dan
pekerjaan, obat-obatan, radiasi, dan predisposisi genetik berperan pada patogenesis ILD.5-7
Dibandingkan dengan penyakit respirasi lain, ILD lebih banyak berkaitan dengan paparan
pekerjaan. Di Eropa, diperkirakan 7.200 kasus pneumoconiosis dikaitkan dengan paparan
asbes, silika dan debu batubara.5
PENYEBAB DAN KLASIFIKASI ILD
Klasifikasi ILD berkembang dan berubah sesuai dengan berbagai temuan dan
perkembangan prosedur diagnostik. Saat ini terdapat panduan untuk memudahkan
klasifikasi.7 Secara garis besar ILD dikelompokkan menjadi dua yaitu ILD dengan penyebab
yang diketahui, dan ILD dengan penyebab tidak diketahui/Idiopathic interstitial pneumonia

61
(IIP). Idiopathic pulmonary fibrosis (IPF) merupakan sub tipe IIP yang mempunyai gambaran
berbeda dari sub tipe lainnya yaitu dengan karakteristik adanya fibrosis progresif dan berat
serta mempunyai prognosis buruk, namun telah mempunyai opsi tetapi yang lebih jelas. 8
Idiopathic Pulmonary Fibrosis dikatikan dengan gambaran histologik dan radiologik usual
interstitial pneumonia (UIP),9 merupakan kelainan terbanyak yaitu lebih dari 50% dari IIP dan
20% dari keseluruhan ILD.3 Clinical Practice guideline dari ATS/ERS/JRS/ALAT
mengklasifikasi ILD selain IPF menjadi kelompok IIP, autoimmune ILD, exposure related, ILD
with cyst and/or airspace filling dan sarcoidosis, yang masing-masing tipe meliputi beberapa
sub tipe.9
Kelompok ILD dengan penyebab diketahui antara lain adalah connective tissue
diseases (CTD) yang meliputi rheumatoid arthritis, systemic sclerosis, idiopathic inflammatory
myopathy, dan chronic hypersensitivity pneumonitis (CHP) atau disebut juga hypersensitive
pneumonitis (HP)10 akibat respons imunologik terhadap inhalasi berbagai macam antigen
organik jangka Panjang.3
DIAGNOSIS
Saat ini didapatkan panduan-panduan atau alur diagnostik ILD yang dapat digunakan
oleh para klinisi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis ILD didasarkan pada kombinasi
data klinis, radiologik dan kriteria patologik, yang memelukan keterlibatan berbagai bidang
ilmu yaitu pulmonologi, radiologi, dan patologi (Multi Discipline Team/MDT). Diagnosis ILD
meliputi penilaian terhadap gejala klinis, riwayat pasien termasuk pekerjaan, status merokok;
pemeriksaan faal paru, tes serologi untuk menentukan penyakit autoimun, imaging dan biopsi
paru.1,5,11 Identifikasi paparan lingkungan dan pekerjaan merupakan informasi yang penting
dalam menetapkan diagnosis dan hasil tatalaksana pasien.12
Pemeriksaan klinis pasien dengan fibrosis paru adalah penting namun tidak ada
tanda fisik fibrosis paru yang patognomik untuk ILD spesifik sehingga diagnosis ILD
memerlukan evaluasi menyeluruh dari tim multi disiplin.1,5 Pendekatan pada gejala respirasi
kronis dan faktor risiko termasuk adanya pajanan merupakan langkah awal diagnosis ILD dan
akan mempengaruhi klasifikasi serta managemen ILD.12 Pasien dengan kecurigaan ILD
dapat diidentifikasi pada pasien dengan gejala respirasi kronik seperti batuk dan sesak napas
progresif dan intolerans terhadap latihan. Pemeriksaan fisis paru tidak spesifik namun dapat
dijumpai adanya ronki pada auskultasi, Pada fase lanjut dapat dijumpai sianosis dan clubbing
pada jari tangan dan kaki.6 Foto toraks menunjukkan peningkatan corakan interstesial pada
kedua paru. Pemeriksaan faal paru didapatkan penurunan kapasitas paru, dan analisis gas
darah didapatkan hipoksemia, 1,5,6,13 serta kapasitas difusi karbon monoksida yang rendah.611
Kombinasi anamnesis dan beberapa pemeriksaan tersebut mungkin mampu membantu
menetapkan kemungkinan diagnosis ILD, namun pemeriksaan lanjutan dengan CT scan
toraks adalah sangat penting untuk menetapkan diagnosis, serta histologi paru (bila tersedia)
menetapkan diagnosis ILD yang lebih spesifik.6,14 HRCT merupakan modalitas utama
diagnostik untuk mendiagnosis, menentukan prognosis dan menilai progresifiti penyakit.11
Deteksi dini pasien dengan fibrosis paru, menentukan prognosis pasien. Sebagai
contoh, pasien IPF memberikan respons terhadap antifibrotik. Identifikasi awal adanya IPF
menentukan terapi lebih awal sehingga progresifitas dan penurunan fungsi paru dapat
diperlambatat. Adanya gambaran interstitial lung abnormalities (ILA) yang teridentifikasi
dengan CT imaging pada keluarga pasien dengan ILD atau pada saat prosedur diagnostik
pada pasien kanker , penyakit kardiovaskuler dan penyakit paru seharusnya tidak diabaikan
karena ILA dapat menggambarkan early-stage atau subclinical ILD. Teridentifikasinya ILA
merupakan langkah awal untuk melakukan evaluasi klinis pasien untuk melakukan deteksi
fase awal ILD.9,15,16
TATALAKSANA
Tujuan utama tatalaksana ILD adalah untuk memperlambat atau menghentikan
proses fibrosis, mempertahankan fungsi paru, mengobati penyakit dasar, serta meningkatkan
kualitas hidup pasien sebaik dan selama mungkin. Langkah pertama tatalaksana ILD dengan
etiologic diketahui adalah mencegah dan menghidari paparan penyebab. Talaksana umum
ILD meliputi berhenti merokok, rehabilitasi paru untuk meningkatkan status fungsional, serta

62
hygiene paru yang baik. Suplementasi oksigen diperlukan bila didapatkan hipoksemia (AsO2
kurang dari 88). Pada kasus yang progresif, diperlukan kortikosteroid untuk menurunkan
inflamasi. Pada sub tipe tertentu seperti hypersensitivity pneumonitis menunjukkan perbaikan
yang baik signifikan dengan kortikosteroid. Obat-obat imunospupresif masih dalam penelitian
untuk diberikan bila steoid tidak memberikan perbaikan pada ILD. Pada tipe IIP, terapi utama
meliputi kortikosteroid dan imunospupresif, Saat ini nitenanib dan pirfenidone merupakan obat
imunosupresif yang telah disapprove namun hanya didtujikan kapada IPF dan telah terbukti
memperlambat progresi fibrosis.7.9
Terapi untuk ILD dengan etiologi tidak diketahui terdiri dari antifibroik dan anti inflamasi
yang saat ini telah diteliti secara intensif. Tansplantasi paru perlu dipertimbangkan pada fase
lanjut ILD. Transplantasi paru merupakan satu-satunya modalitas terapi yang dapat
mengembalikan fungsi fisiologis pasien. 7,11
PROGNOSIS
Prognosis ILD bervariasi tergantung pada jenis dan progresifitas penyakit. Beberapa
jenis ILD dapat mengalami perbaikan, sedangkan lainnya dapat menyebbkan fibrosis luas dan
ireversibel pada paru yang mengakibatkan gala napas. Mortalitas pasien ILD dilaporkan tinggi
hampir sama dengan berapa tipe kanker.1 Meskipun antifibrotik telah diketahui meningkatkan
survival pasien IPF, yang merupakan tipe terbanyak ILD, pasien dengan IPF mempunyai rata-
rata lama hidup hanya 3 sampai 5 tahun sejak terdiagnosis, meskipun pada beberapa pasien
dapat mencapai 10 tahun.1 Prognosis yang buruk juga didapatkan pada pasien non-IPF
fibrosing ILD bila didapatkan progresifitas penyakit atau didapatkan gambaran UIP.1,4

63
REFERENSI

1. Guler, SA and Corte TJ. Interstitial Lung Disease in 2020: A History of Progress. Clin
Chest Med 42 (2021) 229–239
2. Lee CT, at al. Characteristic and prevalence of domestic and occupational inhalational
exposures across interstitial lung disease. Chest 2021;160:209-18
3. Cutting CC, et al. Family history of pulmonary fibrosis predicts worse survival in patients
with ILD. Chest 2021:159;1913-21
4. Hilberg O, et al. Epidemiology of interstitial lung diseases and their progressive-fibrosing
behaviour in six European countries. ERJ Open Res 2022; 8: 00597-2021 [DOI:
10.1183/23120541.00597-2021].
5. Ortega PR and Molina MM. Interstitial Lung Diseases in Developing Countries. Annals of
Global Health. 2019; 85(1): 4–14
6. ERSbook 2022. Available at https://www.erswhitebook.org.
7. Milka M and Antonie M. Interstitial lung disease. Available at
https.ncbi.nlm.nih.gov.book/NBK54184/?report=printable. Update August 2022
8. Bosh van den Bosh L, et al. Immunomodulatory treatment of interstitial lung disease. Ther
Adv Respir Dis 2022:6;1-16
9. Raghu G, at al. Idiopathic Pulmonary Fibrosis (an Update) and Progressive Pulmonary
Fibrosis in Adults
An Official ATS/ERS/JRS/ALAT Clinical Practice Guideline . Am J Respir and Crit Care
Medicine (9)
10. Salisbury ML, et al. Hypersensitivity pneumonitis. Radiologic phenotypes are associated
with distinct survival time and pulmonary function trajectory. Chest 2019;155(699-711
11. Culver D, et al. management of interstitial lung disease: emerging therapies and unmet
needs. AJM peer exchange. Update June 2020.
12. Copeland CR, et al. Identification and remediation of environmental exposure in patients
with interstitial lung disease. Evidence review and Practical consideration. Chest
2021;160:219-30
13. Griese M, et al. Etiologic Classification of Diffuse Parenchymal (Interstitial) Lung
Diseases J. Clin. Med. 2022
14. Meyer KC. Diagnosis and management of interstitial lung disease. Translational
Respiratory Medicine 2014, 2:4 http://www.transrespmed.com/content/2/1/4
15. Doyle TJ, et al. Subclinical Interstitial Lung Disease. Why You Should Care. Am J Respir
Crit Care Med 2012:185;1147–1153
16. Hunninghake AM, et al. Detection and Early Referral of Patients With Interstitial Lung
Abnormalities. An Expert Survey Initiative. CHEST 2022; 161(2):470-482

64
65
66

You might also like