Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

Mawar Penghias Bangsa dan Pohon Kaktus

Oleh: Anak Laut

I.

Di sebuah gedung perkantoran di jantung ibukota, seorang wanita sedang berupaya


mengeluarkan sepeda motornya dari lapangan parkir. Namun setiap kali ia berusaha
mendorong sepeda motornya, terasa pula suatu ganjalan yang membuat rodanya tak bisa
bergerak. Alhasil setiap usahanya selalu gagal. Semakin penasaran, ia menunduk dan melihat
ke arah roda depannya, dan tampak jelas apa yang menyebabkan sepeda motornya tak bisa
berpindah sejengkalpun. Sebuah gembok terpasang di salah satu lubang cakram rem
depannya dalam posisi terkunci. Gembok itulah yang menahan roda depannya sehingga tak
bisa bergerak.

“Huft…kerjaan siapa sih ini?” Ia berkata sambil menghela nafas. Sulit baginya
menyembunyikan raut kekesalannya. Mentari mulai beranjak ke peraduannya. Harusnya saat
itu ia sudah rebahan di kamarnya.

“Warum fährst du nun nicht zu Hause denn, Sergeant1?” Terdengar suara seorang pria
setengah berbisik.

Wanita itu segera berbalik. Benar saja. Di belakangnya berdiri seorang pria bertubuh
tinggi kurus. Rambutnya cepak berwarna hitam. Ia mengenakan jaket berwarna hitam legam
dengan celana lapangan dan sepatu lars berwarna abu-abu.

“Oh, jadi lu ya biang keroknya!” Wanita itu segera melabraknya.

“Biang kerok apa?” Pria itu bertanya dengan nada datar seolah ia tak tahu apa-apa.

“Lu kan yang masang gembok di motor gua!” Wanita itu meningkatkan nada bicaranya.
“Cepet buka! Gue mau pulang!” Ia melanjutkan. Masih dengan nada bicara yang sama.

Pria itu merogoh saku celananya lalu mengambil sebuah kunci dengan tangan
kanannya. Sambil mengangkat dan menggoyang-goyangkannya ia berkata, “Harusnya kamu
berterimakasih sama saya. Dengan begini kan keamanan motor kamu bertambah”.

“Cepet buka! Gue mau pulang!” Wanita itu kembali mengulangi pernyataan yang sama. Nada
bicaranya pun masih sama.

“Okay, saya buka. Tapi setelah ini kamu ikut saya makan ya. Saya yang bayar.” Pria itu
menyampaikan dengan nada diplomatis.

1 Kenapa kamu belum pulang, Sersan?


“Hhhh…cepet buka! Sebelum gue lapor komandan!” Wanita itu semakin tak sabar dibuatnya.

Akhirnya gembok itupun dibuka. Pria itu memasukkannya ke dalam kantong celananya. Ia
lalu berkata, “Sudah saya buka. Sekarang giliran kamu ikut saya makan malam.”

“Hiiih…siapa juga yang mau? Orang gue mau pulang sih!” Wanita itu berkata tegas. Ia
beranjak menaiki sepeda motornya.

“Hmm…bist du sicher2?” Pria itu berkata dengan senyum misterius.

Segera ia menyadari sesuatu. Kunci yang tadi terpasang di lubangnya kini sudah tidak
ada. Ia yakin sekali pria itu lagi yang mengambilnya. Namun saat ia menengok ke belakang
pria itu sudah tidak ada. Tahu-tahu ia melihatnya sudah berada di luar pagar sambil berlari.

“Stop..!stop!” Wanita itu berteriak-teriak memanggil sambil berlari mengejar pria itu. Namun
pria itu justru berlari semakin cepan seakan-akan ia tak mendengar teriakannya. Dengan
tubuh yang lebih tinggi langkahnya jelas lebih panjang.

Mereka berdua saling berkejaran sepanjang rel yang mengarah ke Stasiun Cikini yang
legendaris. Namun belum sampai stasiun pria itu berbelok ke arah timur memasuki Jalan
Pangeran Diponegoro. Wanita itu masih berlari mengikuti di belakang.

Hingga sampailah mereka di seberang rumah sakit legendaris yang sudah ada sejak
zaman kolonial: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pria itu menengok ke
belakang. Betapa terkejutnya ia ternyata wanita itu tak mengikutinya lagi. Rasa khawatir
mulai menyayapi hatinya. Ia segera menghentikan larinya lalu berjalan berbalik arah dan ia
melihat wanita itu sedang terengah-engah dengan tangan kanan bertumpu pada besi
penyangga jembatan penyeberangan.

“Katanya hobi lari…” Pria itu berkata setengah tertawa.

“Balikin…kunci…saya…” Wanita itu berkata tersengal-sengal. Peluh bercucuran membasahi


kulitnya yang seputih salju.

“Kunci…kunci apa? Kan gemboknya sudah saya buka…” Pria itu berkata. Tawanya kini
lepas.

“Balikin…kunci…saya…atau saya teriak maling!” Wanita itu berkata dengan nada lebih
serius. Ia tampak telah mulai bisa mengatur nafasnya.

“Saya kan Penjaga Laut. Mana ada ceritanya Penjaga Laut jadi maling?” Pria itu berkata
tanpa bisa menghentikan tawanya.
2 Kamu yakin?
“Emang lu doang?! Gue juga Penjaga Laut!” Wanita itu berkata setengah berteriak. Setelah
itu ia kembali terengah-engah.

“Okay, kita berdua sama-sama Penjaga Laut. Nggak ada yang maling kan,” pria itu berkata
dengan nada diplomatisnya yang khas. Lalu ia berkata lagi, “lebih baik sekarang kita cari
tempat makan malam.” Wanita itu, yang tenaganya sudah hampir terkuras habis, tak punya
pilihan selain menurut.

Mereka tak lagi berkejaran. Kini mereka berjalan berdampingan menyusuri jalan, lalu
berbelok ke kanan. Di sisi kiri mereka sekarang adalah Jalan Raya Salemba. Jalan ini
merupakan saksi bisu dua peristiwa besar, yaitu demonstrasi besar-besaran tahun 1966 dan
sebuah kerusuhan yang dikenal dengan Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) tahun 1974.
Mereka terus berjalan menusuri jalan legendaris itu. Jalan yang termasuk salah satu urat nadi
ibukota.

“Ini kampus saya,” pria itu tiba-tiba berkata sambil menunjuk ke arah kanan. Wanita itu
menoleh sesaat ke arah yang ditunjuk. Tampak sebuah kompleks gedung yang di depannya
terpasang plang bergambar logo Kementrian Pertahanan RI. Namun wanita itu tetap diam
1000 bahasa.

“Mona, itu nama kamu kan?” Pria itu bertanya. Ia mencoba menarik perhatian wanita di
sebelahnya.

“Kok tahu?” Wanita itu bertanya. Namun suaranya datar saja.

“Tuh, kelihatan jelas”, pria itu berkata sambil menunjuk ke arah seragam lapangan yang
dikenakan wanita itu. Nada bicaranya antusias. Sayangnya ia gagal menarik perhatiannya.
Wanita itu hanya bergeming sambil terus berjalan di sisinya.

Mereka menaiki tangga jembatan penyeberangan, lalu menyeberangi jalan raya


hingga sampai di sisi yang berlawanan. Lalu mereka memasuki sebuah Pujasera yang
menyajikan menu-menu modern yang beberapa di antaranya kebarat-baratan, namun uniknya
menempati gedung bercorak kolonial. Mereka memasuki Pujasera itu lalu mengambil tempat
di suatu sudut dekat jendela. Mereka lalu duduk berhadapan.

II.

“Loh…jadi kamu…” Mona berkata dengan nada terkejut. Ia menatap tajam pria di
hadapannya, yang kini sudah melepas jaket hitamnya. Nampak pria itu mengenakan seragam
lapangan abu-abu yang sama, namun tampak jelas monogram bergambar kuncup melati
berwarna hitam terbordir di kedua kerahnya.
“Kenalin, Mayor Anggito, Divisi Penelitian dan Pengembangan,” pria itu berkata sambil
menyodorkan tangan kanannya yang kurus berhiaskan arloji. Mona yang awalnya tampak
ragu-ragu akhirnya mau juga menyodorkan tangan kanannya yang seputih salju. Mereka pun
bersalaman.

Beberapa saat kemudian datanglah seorang Pelayan membawakan dua buah Kue
Donat.

“Kita…makan Donat?” Mona tampak terkejut.

“Ini kan kesukaanmu,” Anggito menjawab. Ia lalu berkata lagi, “nanti setelah ini saya belikan
Es Krim Stroberi.”

Mona bergumam dalam hati, “bagaimana dia tahu semua kesukaanku?” Tapi ia berusaha
menyimpan keheranannya itu rapat-rapat.

Menu pertama telah habis disantap. Mereka tengah menunggu datangnya menu
penutup. Di saat itulah Mona melontarkan pertanyaan kepada Anggito sambil menatap serius.

“Gue boleh nanya sesuatu?”

“Mau nanya apa?” Anggito menjawab santai.

“Apa maksudlu gembok motor gua, terus bawa lari kunci gua, terus ngajak makan gua
kesini?” Mona bertanya dengan nada lembut namun tatapan matanya tajam.

“Ya, sengaja supaya kamu nggak akan nolak kalau saya ajak,” Anggito menjawab sambil
menikmati menu penutup yang terhidang di hadapannya.

“Berani ya lu ngajak-ngajak gue makan…kalau ternyata gue ada yang punya gimana?” Mona
bertanya dengan nada sinis.

“Wanita yang belum nikah…mana ada yang punya…” Anggito menjawab sambil menjilati
sendoknya.

“Tahu darimana kalau gue belum nikah?” Mona bertanya masih dengan nada sinis.

“Nggak usah kaget kalau saya tahu banyak tentangmu. Saya kan follower setia Instagrammu
juga subscriber Youtubemu,” Anggito menjawab sambil tetap menjilati sendoknya.
Kemudian ia meletakkan sendok itu di mangkuk es krimnya dan berkata:

“Saya hanya ingin melihat secara langsung Mawar Penghias Bangsa. Saya punya serumpun
Mawar Merah di kebun. Saya tahu persis seperti apa bunga itu. Orang bilang Mawar itu
rapuh, mudah patah, mudah gugur, itu semua salah! Tangkainya yang lentur membuatnya
tahan terpaan angin kencang. Durinya mencegah tangan-tangan jahat merusaknya. Aromanya
yang harum semerbak menyebar ke seluruh penjuru kebun. Kamulah Mawar itu.
Keluwesanmu, takkan tumbang diterpa angin taufan. Kekuatanmu, mampu menangkal
kejahatan. Pesonamu, berkobar ke seluruh penjuru negeri. Dan semua itu ada bukan untukku,
bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk bangsa ini. Ya, kamulah Mawar Penghias Bangsa. Kalau
kau Mawar, saya ini apa? Ya, cukuplah saya sebagai Tukang Kebun yang senantiasa menjaga
Sang Mawar Penghias Bangsa. Menjaga agar Mawar itu selalu mekar dan tak pernah layu.”

Anggito berkata dengan nada lirih. Mona hanya tertunduk mendengarnya. Kedua
tangannya terjulur di atas pahanya. Perlahan bulir-bulir kristal bening bercucuran dari kedua
sudut matanya. Ia merenungkan kata-kata itu, kata demi kata, koma demi koma, titik demi
titik yang keseluruhannya benar-benar menggambarkan dirinya. Setidaknya itulah keyakinan
yang berhasil ditanamkan oleh Anggito pada dirinya. Begitu dalam ia merenung hingga tanpa
sadar ada tangan yang membasuh kedua pipinya dengan lembut, beralaskan selembar tisu.

“Das ist ja die Mitternacht…noch nicht die Zeit des Morgentaus 3.” Suara yang tentu saja
sangat ia kenali.

“Darimana lu bisa bahasa Jerman?” Mona bertanya dengan heran. Kini senyuman tulus mulai
tersungging di kedua belah bibirnya yang merona.

“Saya bisa bahasa Inggris, Jerman, Jepang. Saya kan sering ikut forum internasional,”
Anggito menjawab. Kemudian ia melanjutkan, “Oh ya…kamu tunggu di sini ya. Saya
ambilkan motormu. Kuncinya masih sama saya.”

Lima belas menit kemudian ia tiba dengan sepeda motor milik Mona. Sambil
menyerahkan kepada pemiliknya, ia mendengar Mona berkata, “Jangan lupakan Pohon
Kaktus. Kamu boleh memuji saya sebagai Mawar Penghias Bangsa, tapi jangan lupakan
Pohon Kaktus yang…”

“Sayalah Pohon Kaktus itu!” Anggito spontan memotong pembicaraan Mona. Ia lalu
melanjutkan, “Ya, sayalah Pohon Kaktus yang kamu maksud. Saya adalah orang yang
terbuang sebelum jadi Penjaga Laut!” Sesaat kemudian Mona melesat menghilang di
kegelapan ibukota.
3 Ini kan tengah malam…belum saatnya embun pagi.

Biodata/Bionarasi

Anak Laut; merupakan nama pena dari seorang penulis bernama A. Seno, yang telah
memiliki kegemaran menulis sejak dini. Berbagai karya tulis telah dihasilkannya, baik Puisi,
Cerpen, maupun Artikel Ilmiah yang terbit pada berbagai media baik nasional maupun
internasional. Hingga saat ini tiga buah prestasi telah berhasil diraihnya: Juara 1, Juara 3, dan
Kontributor Terpilih yang ketiganya sama-sama diraih pada ajang Cipta Cerpen.

You might also like