MAKALAH FIKIH WARIS Kel 10

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

MAKALAH MATA KULIAH FIKIH KEWARISAN : KEDUDUKAN HIBBAH

DAN WASIAT DALAM HUKUM WARIS

Dosen Pengampu :

Jamal, S.H.I, M. Sy.

Disusun oleh Kelompok 10:


Naufal Abizar/202110020311019
Usamah Al Faruq/202110020311066

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
HUKUM WARIS DALAM TATA HUKUM INDONESIA

A. Pendahuluan
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum keluarga. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-
hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.
Hukum waris di Indonesia hingga kini masih sangat pluralistik (beragam). Di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum
waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang
berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti
bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia terfokus pada sistem penarikan garis keturunan.
Pada umumnya dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni
(1) sistem patrilineal (terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya,
Timor dan Bali).
(2) sistem matrilineal (terdapat di daerah Minangkabau).
(3) sistem bilateral atau parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera Timur,
Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok).
B. Pengertian Hukum Waris
Ada 3 (tiga) unsur pokok dalam waris yakni: adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang
disebut warisan; adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan dan
mengalihkan atau meneruskannya; dan adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan
(penerusan) atau pembagian harta warisan itu.
Berikut beberapa pengertian hukum waris:
1) Menurut H. Abdullah Syah dalam hukum kewarisan Islam (hukum faraidh), pengertian hukum
waris menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan, dan pada syara’ adalah bagian-bagian
yang diqadarkan/ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai
bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
2) Menurut Soepomo ditinjau dari hukum adat, pengertian hukum waris adalah peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud
benda Immateriele Goerderen dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada keturunannya.

1. Hukum Waris pada peradilan Agama


Sejak lahir UU. No. 3 tahun 2006, kewenangan atau kekuasaan mengadili sengketa warisan
antara orang-orang beragama Islam tidak lagi mempunyai dualisme hukum. Kewenangan mutlak
peradilan agama untuk mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam. Sumber hukum
materil dengan basis hukum Islam yang bermuara pada sumber primer hukum Islam yakni al-
Qur’an dan hadis. Sumber pokok itu kemudian dijabarkan dalam kitab-kitab fikih dan
diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Salah satu produk hukum materil
peradilan agama yang digunakan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum waris Islam
menjadi salah satu muatan dari KHI. Dikatakan sebagai hukum waris Islam karena di dalamnya
memuat suatu ilmu tentang kewarisan, baik yang menerima, yang tidak menerima pusaka, kadar
warisan dan cara pembagiannya.
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari’ah.
Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi “Yang dimaksud dengan “waris”
adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.”
2. Hukum Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam (Dirinci oleh pemateri)
Hukum kewarisan sebagaimana diatur dalam KHI pada dasarnya, merupakan hukum kewarisan
yang diangkat dari pendapat jumhurfuqaha (termasuk Syafi'iyyah di dalamnya). Namun dalam
beberapa hal terdapat pengecualian Beberapa ketentuan hukum kewarisan yang merupakan
pengecualian tersebut antara lain adalah yang berkaitan dengan masalah wasiat wajibah, yakni
mengenai anak atau orang tua ngkat dan ahli waris pengganti; yang berkaitan dengan masalah
naqishah (Radd), yaitu mengenai pengembalian sisa harta peninggalan para ahli waris dan
tentarig pengertian anak (walad).
3. Hukum Waris dalam Kompilasi HES
Sayangnya kurangnya literasi yang mengangkat topik ini, membuat kami kesusahan dalam
memaparkan pembahasan. Namun, jika kita mengacu pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
(KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam Oleh: Abdul Mughits. Di sana tidak disebutkan adanya
pembahasan waris di KHES. Jadi kami mohon maaf sebesar-besarnya.
1. Pengertian Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah suatu dokumentasi yustisia yang merupakan
himpunan materi hukum Islam, terdiri atas tiga buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku
II Hukum Kewarisan, dan Buku III Hukum Perwakafan. KHI adalah hukum materiil yang
dijadikan pedoman bagi hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama, sebagai hukum terapan
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. KHI diberlakukan dengan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun
1991.1 Konsep Kompilasi Hukum Islam hasil Tim tersebut kemudian dibahas oleh para ulama
dan cendekiawan muslim dalam Loka Karya yang diadakan pada tanggal 2 s.d. 5 februari 1998
di Jakarta. Hasil Loka Karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada
Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10
Juni 1991 keluarlah 22 Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, yang memuat intruksi kepada
Menteri Agama untuk menyebarkan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah diterima baik
oleh para alim ulama Indonesia pada Loka Karya tahun 1998. Sejak dikeluarkannya Intruksi
Presiden dan Keputusan Menteri Agama di atas, berarti Kompilasi Hukum Islam telah
memperoleh kekuatan dan bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktik di Pengadilan Agama
atau oleh instansi pemerintah lainnya dan masyarakat yang memerlukannya dalam
menyelesaikan masalah- masalah di bidang yang telah diatur oleh Kompilasi tersebut. Bidang
hukum yang diatur oleh Kompilasi itu adalah bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan
Perwakafan, yang rinciannya sebagai berikut:
Buku I tentang Hukum Perkawinan
Pasal 1 s/d pasal 170
Buku II tentang Hukum Kewarisan
Pasal 171 s/d 214
Buku III tentang Hukum Perwakafan
Pasal 215 s/d 229
Hukum materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumentasi yustisia atau
buku Kompilasi Hukum Islam, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi hakim di lingkungan
Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan kepadanya.
Oleh karena KHI mengacu kepada dua “tatanan hukum” yang berbeda, ia memikul beban untuk
mengintegrasikan keduanya. Secara umum (prinsip dan sistematik) KHI konsisten dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, secara teknis tidak terhindar
adanya inkonsistensi sebagaimaa terlihat dalam istilah (bahkan konsep) yang digunakan. Gejala
seperti itu tidak hanya ditemukan dalam KHI, tetapi juga ditemukan dalam peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Di bidang kewarisan dan perwakafan (Buku II dan Buku III), pada dasarnya merupakan
suatu peralihan bentuk dari hukum kewarisan dan hukum perwakafan menurut pandangan
fuqaha. Namun demikian, terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat majemuk,
khususnya dengan tradisi yang berlaku dalam berbagai satuan masyarakat lokal, di antaranya
ketentuan Pasal 185 tentang ahli waris pengganti atau “pengganti ahli waris” (plaatsvervulling),
Pasal 189 tentang harta warisan berupa lahan pertanian yang kurang dari dua hektar sebagai
warisan “kolektif”, dan Pasal 209 tentang wasiat wajibah antara orang tua angkat dengan anak
angkat.
Hukum waris adalah ketentuan yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan (hak dan
kewajiban) dari seseorang yang meninggal dunia kepada seorang atau lebih.
Pengertian lain, Hukum Waris adalah semua peraturan hukum yang mengatur kekayaan
seseorang yang meninggal dunia, yaitu mengenai pemindahan kekayaaan tersebut, akibatnya
bagi yang memperoleh, baik dalam hubungan antara mereka maupun dengan pihak ketiga.
Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada
dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur Fuqaha (termasuk
Syafi‟ iyah di dalamnya). Namun, dalam beberapa hal terdapat pengecualian. Beberapa
ketentuan hukum kewarisan yang merupakan pengecualian tersebut, antara lain adalah :
1. Mengenai Anak atau Orang Tua Angkat
Dalam ketentuan hukum waris, menurut jumhur Fuqaha, yang telah dikemukakan dalam
pembahasan di muka, anak angkat tidak saling mewaris dengan orang tua angkatnya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, perihal anak atau orang tua
angakat ini diatur bagiannya sebagaimana ahli waris lainnya.
Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal di bawah ini: Pasal 171 (h): Anak angkat adalah
anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
Pengadilan.
Pasal 209:
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal- pasal 176 sampai dengan 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
2. Mengenai Bagian Bapak
Bagian bapak, menurut Jumhur, adalah 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan far‟ u
al-waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan
pancar laki-laki; 1/6 bagian ditambah sisa apabila pewaris meninggalkan far‟ u al-waris, tetapi
tidak ada far‟ u al-waris laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki- laki pancar laki-laki); dan
menerima „ashabah (sisa) apabila pewaris tidak meninggalkan far‟ u al-waris.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, bagian bapak apabila pewaris tidak
meninggalkan far‟ u al-waris adalah 1/3 bagian. Hal ini sebagaimana termasuk dalam pasal di
bawah ini: Pasal 177: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
3. Mengenai Dzawi al-Arham
Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tidak menjelaskan tentang
keberadaan dan bagian penerimaan ahli waris dzawi al-arham. Pertimbangannya mungkin,
karena dalam kehidupan sekarang ini keberadaan dzawi al-arham jarang terjadi atau tidak sejalan
dengan ide dasar hukum warisan. Padahal, mengenai pewarisan dzawi al-arham ini sudah
menjadi kesepakatan jumhur Fuqaha.
4. Mengenai Radd
Masalah radd yang biasa juga disebut masalah al-naqishah adalah suatu masalah/kasus
penyelesaian pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya; dan dengan
sendirinya akan terjadi penambahan kadar (bagian) para ahli waris. Karena pada masalah radd ini
ada penambahan kadar (bagian penerimaan) kepada ahli waris, maka pada masalah ini tidak
terdapat ahli waris „ashabah.Apabila ada ahli waris ashabah tidak akan terjadi kekurangan
jumlah saham daripada asal masalah karena (sisa) saham tersebut akan menjadi hak penerimaan
ahli waris ashabah.
5. Mengenai Pengertian “Walad”
Fuqaha telah sependapat bahwa saudara-saudara sekandung,baik laki-laki maupun
perempuan, tidak memperoleh bagian apabila berkumpul (mewaris) bersama anak laki-laki, cucu
laki-laki, atau bersama ayah.
2. Hukum Waris Pada Peradilan Agama
Peradilan agama merupakan lembaga peradilan yang berada dalam
kekuasaan Mahkamah Agung. Hal itu disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kedudukan badan Peradilan Agama
sejajar dengan Peradilan Negeri (umum), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
serta Peradilan Militer. Sehingga kedudukan peradilan agama memiliki posisi
yang kuat dalam aspek kewenangan, karena telah disejajarkan dengan peradilan
lainnya dalam peraturan tertinggi dalam hierarki perundang-undangan.1
Secara khusus dalam UU No. 3 tahun 2006 Pasal 49 telah memberikan
kewenangan peradilan agama untuk menyelenggerakan penegakan hukum dalam
bidang produk hukum Islam. Di antara produk hukum Islam yang dapat
diselesaikan di peradilan agama adalah persoalan warisan, wasiat dan hibah.2
Dalam UU No. 3 tahun 2006 telah memberikan kewenangan baru peradilan
agama berupa sengketa ekonomi syariah. Namun yang paling penting dalam
dinamika hukum waris, terjadi perubahan signifikan terhadap penyelesaian
sengketa waris.
Sebagaimana dalam UU peradilan agama sebelumnya, yakni UU No. 7
tahun 1989 dalam penjelasanya telah memberikan opsi dalam penyelesaian
persoalan waris, untuk dapat memilih hukum yang akan digunakan. Sementara
dalam penjelasan UU No. 3 tahun 2006 penjelasan demikian telah dihapus.3 Hal
itu membuktikan bahwa dinamika perubahan perundang-undangan tentang
peradilan agama telah banyak berpihak kepada umat Islam. Maka demikian
persoalan waris, baik permohanan pembagian warisan sampai pada sengketa waris
bagi umat Islam harus diselesaikan di peradilan agama.
3. Yurisprudensi Mahkama Agung terkait waris
Dalam hukum Islam diatur bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggaldunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Halini mengandung arti bahwa
suami/istri, orang tua, anak yang tidak beragamaIslam tidak dapat menjadi ahli waris dari
pewaris yang beragama Islam. Selainitu, anak tiri juga tidak termasuk sebagai ahli waris.
Kedudukan pihak-pihak tersebut walaupun bukan sebagai ahli waris namuntidak
menghalangi untuk mendapatkan wasiat apabila pewaris sebelum meninggaldunia meninggalkan
wasiat.
Perihal wasiat ini dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya pasal 209 diaturbahwa
terhadap orang tua angkat dan anak angkat yang pada dasarnya juga bukanmerupakan ahli waris
dapat diberikan wasiat wajibah apabila tidak mendapatkanwasiat dari pewaris dengan ketentuan
porsinya tidak melebihi 1/3 dari hartawaris. KHI tidak mengatur lebih lanjut apakah selain kedua
pihak tersebut dapatdiberikan wasiat wajibah atau tidak.
Dalam praktek tak jarang ditemukanperkara di mana istri atau anak dari pihak yang
meninggal tidak beragama Islam danpewaris tidak meninggalkan wasiat kepadanya,pihak-
pihaktersebut mengajukan tuntutan kepada Pengadilan Agama untuk tetap dapatmendapatkan
bagian dari harta pewaris. Tak jarang juga pihak-pihak tersebutsebagai pihak digugat oleh para
ahli waris karena secara riil telah menguasaiharta waris, tuntutan yang mana dapat berakibat
istri/anak yang tidak beragamaIslam tersebut akan kehilangan harta tersebut sementara harta
tersebut adalah satu-satunyapenopang hidupnya.
4. Hukum Waris Dalam Ekonomi Islam
Waris diartikan sebagai perpindahan hak kepemilikan dari orang yang telah meninggal
dunia kepada ahli waris. Untuk itu, waris merupakan salah satu sarana memperoleh kepemilikan.
Lahirnya konsep waris sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Qur’an menempati posisi
fundamental dalam ajaran Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan dasar-dasar system
kewarisan Islam pada ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dalam QS. an-Nisa [4]: 11-12 dan 176.
Islam telah mengajarkan adanya warisan tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan
sehingga penyebaran harta menjadi sangat luas.Jika dicermati lebih jauh, mekanisme waris
sangat erat dengan keinginan Islam dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera jauh dari
kemiskinan. Sejarah membuktikan bahwa ajaran waris Islam secara kronologis tidak terlepas dari
timbulnya permasalahan dalam distribusi kekayaan dalam keluarga, terutama keinginan agar
tercipta keadilan dalam pembagian harta waris. Sebagaimana Islam mengajarkan bahwa harta
harus tersebar di masyarakat dan bukan terkumpul pada satu golongan saja.
Konsep waris merupakan mekanisme distribusi kekayaan dan jaminan social riil dalam
keluarga. Dalam proses distribusi kekayaan melalui warisan, ada ketentuan bahwa warisan
tersebut harus diserahkankepada ahli warisnya dengan ketentuan bagian laki-laki lebih banyak
dibandingkan anak perempuan (2:1).Hal ini mengingat laki-laki memiliki tanggung jawab yang
lebih besar untuk menafkahi keluarganya, sedangkan anak perempuan menjadi tanggung jawab
saudaranya yang laki-laki atau suaminya.
Pembagian harta waris dalam keluarga secara ekonomi dapat membantu dalam
menciptakan distribusi kekayaan secara adil dan membantu mengurangi kesenjangan dalam
distribusi kekayaan.Membagikan harta waris kepada ahli waris yang berhak, baik disebabkan
oleh hubungan perkawinan,kekerabatan maupun perwalian, secara langsung telah menciptakan
jaminan sosial dalam keluarga agar di antara anggota keluarga tidak terjadi ketimpangan dalam
memperoleh kekayaan.Distribusi kekayaan dalam keluarga secara adil berdasarkan konsep waris,
dapat memotivasi pewaris untuk semasa hidupnya mencari rezeki sebanyak-banyaknya agar
kemudian tidak meninggalkan keturunan yang miskin. Oleh karena itu, ahli waris dengan harta
waris dapat mencukupi kebutuhan sosio-ekonominya di saat pewaris telah meninggal dunia,
seperti harta waris digunakan untuk biaya pendidikan, hidup, usaha, maupun menanggung
keluarga.

PENUTUP
Dari Tulisan diatas semoga dapatmembantu mempermudah untuk mengenalkan materi
yang dibuat oleh pemateri dengan rangkaian kata penulis dan juga Undang-Undang yang
diberikan oleh penulis,dan juga semoga materi mata kuliah Fiqh Kewarisan ini menjadikan
pembaca dan penulis yang baik dan dijalan yang benar.

You might also like