Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan ini Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-

pasangan, sebagaimana manusia diciptakan ada laki-laki dan perempuan

tentunya ada tujuan untuk dipertemukan berpasangan yaitu dengan

mengikatkan diri dalam perkawinan.

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah :

Melakukan suat aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara

seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin

anatara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua

belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang

diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang

diridhoi oleh Allah. (Ahmad Azhar, 1977-10).

Mengenai pengertian perkawinan ini banyak beberapa pendapat

yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya

bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara

pendapat yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada

keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-

banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan di satu pihak dan

pembatasan banyaknya unsur di dalam perumusan pengertian perkawinan

di pihak yang lain. Mereka membatasi banyaknya unsur yang masuk

1
dalam rumusan pengertian perkawinan, akan menjelaskan unsur-unsur

yang lain dalam tujuan perkawinan.1

Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian

perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur

yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu

merupakan suat perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang

wanita. Perjanjian di sini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian

jual-beli atau sewa-menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah

merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-

laki dan seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari

suat perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan, dalam pasal 1 merumuskan

pengertian perkawinan sebagai berikut :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin anatar seorang pria dan


seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kalau kita bandingkan rumusan menurut hukum Islam di atas

dengan rumusan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengenai

pengertian dari perkawinan tidak ada perbedaan yang prinsipiil.

Dalam pembagian lapangan-lapangan Hukum Islam perkawinan

adalah termasuk dalam lapangan “Mu’amalat” yaitu lapangan yang

mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupannya di dunia ini.

1
Ny. Soemiyati, S.H, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

2
Hubungan antar manusia ini dalam garis besarnya dapat dibagi dalam 3

bagian, yaitu :

a. Hubungan kerumah-tanggaan dan kekeluargaan.

b. Hubungan antar perseorangan di luar hubungan kekeluargaan dan

rumah tangga.

c. Hubungan antar bangsa dan kewarganegaraan.

Menurut pembagian di atas maka perkawinan termasuk dalam

nomor (a), yaitu hubungan kerumah-tanggaan dan kekeluargaan.

Dalam bukunya “Outlines of Muhammadan Law” (Pokok-pokok

Hukum Islam), Asaf A.A. Fyzee menerangkan bahwa perkawinan itu

menurut pandangan Islam mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu : Aspek

hukum, aspek sosial, aspek agama (Nadimah Tanjung, hal. 28).

Dilihat dari aspek hukum perkawinan adalah merupakan suat

perjanjian.

Firman Allah S.W.T. :

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, pada hal sebagian


kamu telah bercampur dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu janji yang
kuat” (Qur’an, S. An.Nisaa’ : 21).

Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai/mengandung tiga

karakter yang khusus, yaitu :

1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua

belah pihak.

2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat

persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk

3
memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah

ada hukum-hukumnya.

3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai

hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Persetujuan perkawinan itu pada dasarnya tidaklah sama dengan

persetujuan-persetujuan yang lain, misalnya : persetujuan jual-beli, sewa

menyewa, tukar-menukar dan lain-lain. Menurut Mr. Wirjono

Prodjodikoro perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan-

persetujuan yang lainnya adalah, dalam persetujuan biasa para pihak pada

pokoknya bebas menentukan sendiri isi dari persetujuannya itu sesuka

hatinya, asal isi persetujuan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan,

Undang-Undang dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu

perkawinan sudah semula ditentukan oleh Hukum isi dari persetujuan

antara suami-isteri itu.

Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat

untuk melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling

berjanji akan taat pada peraturan-peraturan Hukum yang berlaku mengenai

kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup

bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat

dari anak-anak keturunannya. Juga dalam menghentikan perkawinan,

suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-

syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum

perihal itu.

4
Dilihat dari aspek sosial perkawinan mempunyai arti penting,

yaitu :

1. Dilihat dari penilaian umum, pada umumnya berpendapat bahwa

orang yang melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang

lebih dihargai daripada mereka yang belum kawin. Khusus bagi

kaum wanita dengan perkawinan akan memberikan kedudukan

sosial yang tinggi, karena ia sebagai misteri dan wanita mendapat

hak-hak tertentu dan dapat melakukan tindakan hukum dalam

berbagai-bagai lapangan mua’malat, yang tadinya ketika masih

gadis tindakan-tindakannya masih terbatas, harus dengan

persetujuan dan pengawasan orangtuanya

2. Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, wanita dulu bisa

dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut

ajaran Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami ini hanya

dibatasi paling banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat

yang tertentu pula.

Firman Allah :

“...................., maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu


senangi : dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja, ...................
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(Q.S. an-Nisaa’ : 3).

Dari firman Allah tersebur di atas ditentukan bahwa orang boleh

kawin lebih dari satu dan paling banyak empat dengan syarat harus dapat

berlaku adil terhadap semua isterinya, sedangkan kalau takut tidak dapat

5
berlaku adil sebaiknya kawin satu saja. Karena dengan hanya mengawini

seorang saja, akan terhindarlah tindakan yang menyebabkan orang lain

menderita.

Aspek Agama dalam perkawinan ialah, bahwa Islam memandang

dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik

dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir

saja, tetapi diikat juga dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut ajaran Islam

perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu persetujuan biasa melainkan

merupakan suatu persetujuan suci, di mana kedua belah pihak

dihubungkan menjadi pasangan suami-isteri atau saling meminta menjadi

pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.

Firman Allah :

“........... dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan namanya kami


saling meminta untuk menjadi pasangan hidup ...........”
(Q.S. an-Nisaa’ : 1)

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

memberikan definisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia) dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 (lima) unsur dalam

perkawinan, yaitu :

1. Ikatan lahir batin

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita

6
3. Sebagai suami-isteri

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan merumuskan, bahwa ikatan suami-isteri berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci.

Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami-isteri.

Hidup bersama suami-isteri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk

tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami-isteri tetapi dapat

membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman

dan harmonis antara suami-isteri. Perkawinan salah satu perjanjian suci

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk

keluarga bahagia.2

Jika dilihat dari hukum Islam, Pengertian (ta’rif) perkawinan

menurut Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu : aqad

yang sangat kuat atau mitsaaqaan ghaaliizhan untuk menaati perintah

Allah SWT, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan ajaran agama.

Perkawinan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh

mukallaf yang memenuhi syarat.

2
Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M..Hum., Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam
Perkawinan

7
Barangsiapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh lagi,

hendaklah ia takwa kepada Allah SWT. Demikian sunnahqauliyah

(sunnah dalam bentuk perkataan) Rasullullah Saw.

Menurut Sayuti Thalib, perkawinan harus dilihat dari tiga segi

pandang yaitu :

1. Perkawinan dari segi hukum

Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suat perjanjian

oleh Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 21 dinyatakan Perkawinan adalah

perjanjian yang sangat kuat, disebutkan dengan kata-kata “mitsaaqaan

ghaaliizhan”.

Alasan untuk mengatakan perkawinan suat perjanjian karena adanya :

a. Cara mengadakan ikatan perkawinan yaitu dengan aqad nikah,

rukun dan syarat tertentu;

b. Cara memutuskan ikatan perkawinan yaitu dengan prosedur thalaq,

fasakh, syiqaq dan sebagainya.

2. Perkawinan dilihat dari segi sosial

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suat penilaian yang umum

adalah bahwa orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang

lebih dihargai dari mereka yang tidak kawibn. Dulu sebelum adanya

peraturan tentang perkawinan, wanita bisa dimadu tanpa batas dan

tanpa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan

mengenai kawin poligami hanya dibatasi paling banyak empat orang

dengan syarat-syarat yang tertentu.

8
3. Perkawinan dilihat dari segi agama

Pandangan suatu perkawinan dari segi agama yaitu suatu segi yang

sangat penting. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga

yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua

pihak dihubungkan menjadi pasangan suami-isteri atau saling meminta

menjadi pasangan hidupnya.

Walaupun pada dasarnya melakukan perkawinan itu adalah

bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi adakalanya ada sebab-sebab

tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus

diputuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, atau

dengan kata lain terjadi perceraian antaran suami-isteri.

Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”.

Adapun arti daripada talak ialah : membuka ikatan membatalkan

perjanjian. Sedangkan “Furqah” artinya bercerai, yaitu lawan dari

berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli figh sebagai

satu istilah, yang berarti : perceraian antara suami-isteri. Perkataan talak

dalam istilah figh mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan arti yang

khusus.

Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk

perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,

maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena

meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam artinya

yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Karena

9
salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang

disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak di sini

dimaksudkan sebagai talak dalam arti yang khusus.3

Di atas telah diterangkan bahwa tujuan daripada perkawinan yang

diperintahkan oleh agama Islam ialah perkawinan yang dimaksudkan

untuk selama-lamanya atas dasar saling cinta-mencintai antara suami-

isteri. Perkawinan yang dilaksanakan yang menyimpang dari tujuan yang

disyariatkan, hukumnya adalah haram. Misalnya nikah yang tujuannya

hanya untuk sementara waktu atau hanya untuk melepaskan hawa nafsu

saja (nikah mut’ah), nikah muhallil dan lain sebagainya.

Dalam melaksanakan kehidupan suami-isteri tentu saja tidak

selamanya berada dalam situasi yang damai dan tenteram tetapi kadang-

kadang terjadi juga salah paham antara suami-isteri atau salah satu pihak

melalaikan kewajibannya, tidak percaya-mempercayai satu sama lain dan

lain sebagainya.

Dalam keadaan timbul ketegangan ini, kadang-kadang dapat diatasi

sehingga antara kedua belah menjadi baik kembali, tetapi adakalanya

kesalahan faham itu menjadi berlarut, tidak dapat didamaikan dan terus-

menerus terjadi pertengkaran antara suami-isteri itu. Apabila suat

perkawinan yang demikian itu dilanjutkan maka pembentukan rumah

tangga yang damai dan tenteram seperti yang disyariatkan oleh agama

tidak tercapai. Dan ditakutkan pula perpecahan antara suami-isteri ini akan

3
Ny. Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

10
mengakibatkan perpecahan antara keluarga kedua belah pihak. Maka dari

itu untuk menghindari perpecahan keluarga yang makin meluas, maka

agama Islam mensyaratkan perceraian sebagai jalan ke luar yang terakhir

bagi suami-isteri yang sudah gagal dalam membina rumah tangganya.

Meskipun Islam mensyariatkan perceraian tetapi bukan berarti

agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan

perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki.

Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap

memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan

asas-asas Hukum Islam. Hal ini bisa dilihat dalam Hadist Nabi :

Rasulullah s.a.w. mengatakan :

“Yang halal yang paling dibenci Allah ialah Perceraian”.

(H.R. Abu Daud dan dinyatakan Shaheh oleh Al-Hakim)

Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Rasulullah

s.a.w. berkata :

“Ápakah yang menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan


hukum Allah, ia mengatakan : Aku sesungguhnya telah mentalak
(isteriku) dan sungguh aku telah merujuk (nya)”. (H.R. an-Nasaai
dan Ibnu Hubban).

Dengan melihat isi kedua Hadist Nabi tersebut di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa talak itu walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi

pelaksanaannya harus berdasarkan suat alasan yang kuat dan merupakan

jalan yang terakhir yang ditempuh oleh suami-isteri, apabila cara-cara lain

yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan

keutuhan kehidupan rumah tangga suami-isteri tersebut.

11
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut. Diatas maka

Rumusan masalah yang akan di teliti adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah peran notaris terhadap pembuatan Akta Notariil surat

kuasa istimewa untuk mengucapkan ikral talak, dalam pengajuan

permohonan cerai talak di pengadilan Agama.

2. Bagaimana kendala-kendala dan solusinya Notaris dalam pembuatan

akta notariil surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak

dalam pengajuan permohonan cerai talak di pengadilan Agama.

C. Tujuan Penelitian

Ada pun tujuan penelitian yang diharapkan dari hasil penelitian

ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk menganalisis peran notaris terhadap pembuatan akta notariil

surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak dalam pengajuan

permohonan cerai talak di pengadilan Agama

2. Untuk menganalisis kendala-kendala dan solusinya Notaris dalam

pembuatan akta notariil surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar

talak dalam pengajuan permohonan cerai talak di pengadilan Agama.

12
D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu sebagai berikut

1. Manfaat teoritis sebagai bahan masukan dan pengembangan pemikiran

dalam bidang ilmu hukum perdata khususnya tentang Akta Notaris.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai masukan bagi masyarakat dalam pembuatan Akta Notaris,

Khususnya akta notariil surat kuasa istimewa untuk mengucapkan

ikrar talak dalam pengajuan permohonan cerai talak di pengadilan

Agama

b. Sebagai masukan bagi penelitian tentang penanda tanganan Akta

Notaris yang di lakukan tidak di hadapan notaris

E. Kerangka Konseptual dan Kerangka Berfikir

1. Kerangka Konseptual

a. Bagian-bagian Akta Notaris

Dalam akta notaris tediri dari 6 (enam) bagian, yaitu :

1) Kepala Akta

Bagian kepala akta adalah bagian permulaan akta

sampai dengan komparasi. Kepala akta terdiri dari nomor akta,

kata-kata “menghadap kepada saya,” nama dan tempat

kedudukan notaris dan diakhiri dengan kata-kata “dengan

dihadiri oleh para saksi, yang saya, Notaris kenal yang

13
namanya akan disebutkan pada bagian akhir akta ini”.4 Judul

akta memberikan identitas pada akta yang dibuat oleh notaris.

Dari judul ini dapat diketahui jenis perbuatan hukum yang

dituangkan dalam akta tersebut.

Nomor akta, Notaris diwajibkan untuk membuat

repertorium, dalam membuat repertorium ini notaris wajib

membuat nomor dari akta yang disimpannya. Oleh karena itu

untuk memudahkan penomoran dalam repertorium ini notaris

wajib membuat nomor dari akta yang disimpannya. Oleh

karena itu untuk memudahkan penomoran dalam repertorium

maka notaris selalu mencantumkan nomor akta pada setiap

pembuatan akta. Nomor akta setiap awal bulan dimulai dengan

nomor 1. Nomor akta ini boleh ditulis di atas judul akta atau

dibawah judul akta. Nomor akta harus ditulis dengan angkat

tidak boleh dengan huruf.

Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun yang disebutkan

dalam akta bukan ketika para pihak menghadap kepada notaris.

Tetapi yang disebutkan adalah saat penandatanganan akta.

Kata-kata “menghadap kepada saya” merupakan kalimat aktif.

Hal ini menyatakan bahwa orang yang berkeinginan untuk

membuat akta menghadap kepada notaris. Jadi pembuatan akta

tersebut benar-benar dikehendaki oleh para pihak.

4
Tan Thong Kie, Op Cit, hlm. 204

14
Dalam kepala akta ini juga disebutkan nama notaris

yang membuat akta dan tempat kedudukannya. Jika notaris

dalam kapasitasnya sebagai notaris pengganti maka disebutkan

dasar pengangkatannya. Pengangkatan notaris pengganti yang

menggantikan notaris yang cutinya kurang dari 6 (enam) bulan

maka dasar pengangkatannya adalah Majelis Pengawas Daerah

tempat ia berkedudukan. Untuk notaris penggantin yang

cutinya lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan satu tahun

maka dasar pengangkatannya adalah Majelis Pengawas

Wilayah. Sedangkan untuk cuti lebih dari 1 (satu) tahun dasar

pengangkatannya adalah Majelis Pengawas Pusat.

Kepala akta diakhiri dengan kata-kata “dengan dihadiri

oleh para saksi yang saya, Notaris kenal dan nama-namanya

akan disebutkan pada bagian akhir akta ini”.

2) Komparisi

Komparisi berasal dari kata comparitie yang berarti

tindakan menghadap dalam hukum atau di hadapan pejabat

umum. Dalam praktik notaris, komparasi adalah bagian dari

akta notaris yang memuat keterangan orang menghadap,

jabatan penghadap, tempat tinggal penghadap dan keterangan

kualitas penghadap. Dari komparasi ini harus memenuhi

ketentuan sebagai mana diatur dalam pasal 38 dan 47 Undang

– Undang Jabatan Notaris.

15
Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris

mengatur mengenai unsur-unsur yang dimuat dalam

komparasi, yaitu meliputi:

a) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,

pekerjaan jabatan, kedudukan tempat tinggal para

pneghadap dan /atau orang yang mereka wakili;

b) Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c) Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para

pihak yang berkepentingan; dan

d) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,

jabatan kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi

pengenal.

Pasal 47 mengatur mengenai surat kuasa, yang isinya

antara lain menyebutkan :

a) Surat kuasa autentik atau surat lainnya yang menjadi dasar

kewenangan pembuatan akta yang diekluarkan dalam

bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan wajib

dilekatkan pada Minuta Akta;

b) Surat kausa autentik yang dibuat dalam bentuk Minuta

Akta diuraikan dalam akta;

c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib

dilakukan apabila surat kuasa telah dilekatkan pada akta

16
yang dibuat di hadapan Notaris yang sama dan hal tersebut

dinyatakan dalam akta.

3) Premisse atau Preamisse

Istilah premisse ini berasal dari kata bahasa Prancis

“premis“ yang artinya keterangan atau pernyataan pendahuluan

yang merupakan dasar atau pokok masalah yang akan diatur

dalam suat akta guna memudahkan pengertian dan maksud

dibuatnya akta tersebut.5 Premisse itu semacam

pembukaan/mukadimah. Letak dari premisse adalah sebuelum

isi akta dan sesudah komparasi.

4) Isi Akta

Isi akta adalah bagian dari akta yang memuat mengenai

pasal-pasal yang memuat kesepakatan yang dituangkan dalam

akta. Menurut sifatnya isi akta memuat 3 (tiga) ketentuan yaitu

ketentuan esensi, ketentuan tambahan, dan ketentuan wajib

Ketentuan esensi adalah ketentuan pokok yang harus

ada (tidak dapat ditiadakan/dihilangkan) dalam surat akta.

Ketentuan pokok yang diatur dalam setiap akta berbeda-beda,

tergantung dari jenis akta yang dibuat. Misalnya kata jual beli

ketentuan pokok yang harus ada adalah mengenai barang dan

harga (Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

5
Komar Andasasmita, Notaris dengan Sejarah, Peranan, Tugas-Kewajiban, Rahasia
Jabatannya, (Sumur Bandung, 1990)

17
Ketentuan tambahan adalah ketentuan memberikan

tambahan terhadap ketentuan pokok. Apabila dengan

ketentuan pokok saja dianggap sudah cukup maka ketentuan

tambahan ini tidak diperlukan lagi.

Ketentuan wajib adalah ketentuan yang harus (wajib)

ada dalam setiap akta. Pada setiap akta unsur-unsur ketentuan

wajib sama, yaitu:

a) Mengenai biaya pembuatan akta dan biaya-biaya yang

berhubungan dengan akta harus ditegaskan siapa yang

harus menanggung

b) Para penghadap memilih domisili atau kediaman hukum

c) Pada alinea terakhir, disebutkan mengenai para

penghadap dikenal oleh notaris atau diperkenalkan

kepada notaris.

5) Akhir Akta

Akhir akta adalah bagian dari akta yang terletak

sesudah isi akta (bagian paling akhir dari akta) yang memuat

mengenai :

a) Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16 ayat (1) huruf 1 dan Pasal 16 ayat (7);

b) Uraian tentang penandatanganan dan tempat

penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;

18
c) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,

jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi

akta;

d) Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi

dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya

perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan,

atau penggantian.

6) Peresmian Akta

Akta mempunyai daya berlaku setelah diresmikan oleh

notaris. Pasal 44 Undang-Undang Jabatan Notaris mengatur

tentang peresmian yang menyatakan : Segera setelah akta

dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap

penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap

yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan

menyebutkan alasannya. Alasannya harus dinyatakan secara

tegas dalam akta.

Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau

menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan

oleh seorang penerjemah resmi. Dan ditandatangani oleh

penghadap, Notaris, saksi dan penerjemah resmi.

Dalam hal suatu atau lebih ketentuan-ketentuan

dilanggar, maka akta itu hanya mempunyai sebagai akta di

bawah tangan, jika ditandatangani oleh para penghadap.

19
Tentang pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan

penandatanganan harus dinyatakan secara tegas pada akhir

akta.

Sebelum akta ditandatangani oleh para penghadap

maka akta tersebut harus dibacakan secara keseluruhan

terlebih dahulu oleh notaris kepada para penghadap dan para

saksi. Pembacaan akta dilakukan baik untuk akta para pihak

(partij acte) maupun akta pejabat (amtelijke acte). Pembacaan

ini merupakan bagian yang dinamakan verlijden (pembacaan

dan penandatanganan) dari akta.6

Pembacaan akta harus dilakukan sendiri oleh notaris

yang bersangkutan. Maksud dari pembacaan akta oleh notaris

adalah :

a) Jaminan kepada para penghadap bahwa apa yang mereka

tandatangani adalah sama dengan apa yang mereka

dengar dari pembacaan itu;

b) Kepastian bagi para penghadap bahwa apa yang ditulis

dalam akta adalah benar kehendak para penghadap.

Pembacaan akta dapat memberikan pemahaman agar

para penghadap dalam akta dapat mengerti dan memahami isi

dari akta tersebut sehingga dapat memperoleh keyakinan,

6
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Penerbit Erlangga Jakarta, 1992)
hlm. 201

20
bahwa akta itu benar-benar berisikan apa yang dikehendaki

oleh para penghadap.

Pembacaan itu sebagai pemenuhan dari formalitas yang

ditentukan oleh Undang-Undang, tidak boleh ditiadakan,

sedangkan pembacaan itu sendiri masih tetap mempunyai arti

terhadap para penghadap. Apabila pembacaan akta tidak

dilakukan oleh notaris maka akta tersebut akan mempunyai

kekuatan sebagai akta di bawah tangan.7

Semua yang tertulis di atas tentang penghadap yang

mengerti atau tidak ataupun tidak mau mendengarkan apa

yang dibicarakan, tidak membebaskan notaris dari

kewajibannya membacakan akta. Penghadap diberi

kesempatan, mengetahui isi akta dan bertanya, terserah

kepada mereka, ingin memakai kesempatan ini atau tidak.8

Manfaat dari penandatanganan akta adalah :

a) Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan

(varlijden) akta, notaris masih diberi kesempatan untuk

memperbaiki kesalahan-kesalahannya sendiri yang

sebelumnya tidak terlihat;

b) Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan

(varlijden) akta, notaris masih diberi kesempatan untuk

7
Ibid, hlm. 202
8
Tan Thong Kie, Studi Notarist & Serba-Serbi Praktek Notaris (PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve Jakarta, 2000) hlm. 223

21
memperbaiki kesalahan-kesalahannya sendiri yang

sebelumnya tidak terlihat;

c) Untuk memberikan kesempatan kepada notaris dan para

penghadap pada detik-detik terakhir, sebelum akta itu

selesai diresmikan dengan tanda tangan mereka, para

saksi-saksi dan notaris, mengadakan pemikiran ulang,

bertanya dan jika perlu mengubah bunyi.

Setelah akta dibacakan oleh notaris kepada para

penghadap maka selanjutnya ditandatangani oleh para

penghadap, saksi-saksi dan notaris. Penghadap dalam akta

notaris adalah mereka yang datang menghadap kepada notaris

untuk pembuatan akta itu, bukan mereka yang diwakili untuk

suatu jabatan atau kedudukan. Seorang suami yang turut

hadir dalam pembuatan akta untuk membantu istrinya adalah

penghadap dalam arti kata Undang-Undang.9 Seorang

penghadap dalam akta notaris dapat bertindak untuk :

a) Dirinya sendiri, artinya perbuatan hukum yang dilakukan

dimaksudkan untuk dirinya sendiri, dan akta yang

dibuatnya itu digunakan sebagai bukti bahwa ia telah

meminta dibuatkan akta itu untuk kepentingannya sendiri;

b) Mewakili kepentingan orang lain dengan perantara kuasa,

artinya yang menjadi pihak (partij) dalam akta tersebut

9
Op. Cit, hlm. 177

22
mewakili kepentingannya melalui perantara orang lain,

baik melalui kuasa tertulis ataupun dengan kuasa lisan;

c) Mewakili jabatan atau kedudukan, artinya apabila

seseorang menyatakan, bahwa ia bertindak di dalam akta

yang bersangkutan bukan untuk dirinya sendiri, akan

tetapi untuk orang lain, misalnya seorang ayah yang

menjalankan kekuasaan sebagai orang tua terhadap anak-

anaknya yang masih di bawah umur, wali untuk mewakili

anak yang berada di bawah perwaliannya, direksi dari

suatu perseroan terbatas.

Penandatanganan akta dilakukan pula oleh saksi. Saksi

adalah seorang yang memberikan kesaksian, baik secara lisan

maupun tertulis, yaitu menerangkan apa yang disaksikan

sendiri, baik merupakan perbuatan atau tindakan dari orang

lain atau suatu keadaan ataupun suatu kejadian. Saksi yang

dimaksud dalam penandatanganan akta adalah saksi menurut

Pasal 40 Undang-Undang Jabatan Notaris adalah saksi

instrumenter yang hadir dalam pembuatan, pembacaan dan

penandatanganan.

Undang-Undang tidak memberikan definisi tentang apa

yang disebut tanda tangan. Penandatanganan atau

menandatangani (ondertekenen) secara etimologi (ilmu asal-

usul suatu kata), yaitu memberi tanda (teken) di bawah

23
sesuatu. Scheltema memberi definisi tanda tangan adalah

keseluruhan tanda-tanda huruf yang dibubuhkan dalam tanda

tangan yang mengindividualisir penandatanganan dalam

batas tertentu. Pengertian yang disampaikan oleh Scheltema

mempunyai pengertian yang luas karena tanda tangan dengan

menggunakan nama kecil atau dengan paraf atau dengan

stempel dianggap sebagai tanda tangan yang sah selama yang

menandatangani dapat di individualistis secukupnya.

Dengan ditentukan oleh Undang-Undang keharusan

penandatanganan (het tekenen van de naam) dalam akta,

maka kiranya dapat dimengerti apa sebabnya dalam akta

notaris tidak perlu dibubuhkannya cap jempol oleh seseorang

yang tidak dapat menandatangani sesuatu akta karena ia buta

huruf atau karena berhalangan, oleh karen cap jempol bukan

merupakan tanda-tanda huruf (lettertekens), sehingga

karenanya tidak memenuhi persyaratan penandatanganan

nama.10

Apabila penghadap menerangkan bahwa tidak dapat

membubuhkan tanda tangannya dalam akta baik atas alasan

kesehatan ataupun karena buta huruf maka atas segala sebab

yang menjadi halangan pemberian tanda tangan itu harus

dijelaskan secara tegas oleh notaris dalam aktanya.

10
Op. Cit, hlm. 177

24
b. Konsep Surat Kuasa

Pengertian surat kuasa adalah surat yang dibuat untuk

memberikan wewenang kepada orang lain dari seseorang. Surat

kuasa biasa dibuat ketika seseorang mengalami halangan untuk

suatu keperluan sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk

mengurus hal tersebut.

Surat kuasa terbagi menjadi dua macam yakni formal dan non

formal, surat kuasa memiliki ciri-ciri yang bertujuan untuk

memberikan kuasa kepada seseorang untuk keperluan tertentu,

memiliki bahasa yang jelas, singkat dan lugas.

Bagian-bagian dalam tubuh surat kuasa :

a) Terdapat kepala surat biasanya menunjukkan identitas dari

pembuat surat;

b) Nomor surat;

c) Pemberi kuasa;

d) Identitas pemberi kuasa;

e) Penerima kuasa;

f) Identitas penerima kuasa;

g) Hal yang akan dikuasakan atau isi surat kuasa;

h) Tanggal dan waktu pemberian kuasa;

i) Tanda tangan kedua pihak yakni penerima dan pemberi kuasa;

j) Sebuah materai agar surat kuasa lebih sah.

25
c. Pengertian Surat Kuasa

Surat kuasa adalah surat yang berisi pelimpahan wewenang

dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seorang atau pejabat

lain. Pelimpahan wewenang dapat mewakili pihak yang memberi

wewenang dalam urusan pribadi, bisnis, ataupun masalah hukum.

2. Kerangka Teori

Teori Hukum

Teori ilmu hukum bertujuan untuk menjelaskan kejadian-

kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan

penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah

membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai

kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.Teori hukum

merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif.

Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian

dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk

menjelaskan tentang hukum. Teori hukum dipelajari sudah sejak

zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah

membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-

akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum

merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama,

etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya

adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik.

Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau

26
ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi

pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang

hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-

teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan

politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam

bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.

Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori

hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof

ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya

datang dari luar bidang hukum itu sendiri.

Teori Penegakan Hukum

Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum adalah proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-

norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu

lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya,

penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan

dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek

dalam arti yang terbatas atau sempit.

Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan

semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja

yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma

27
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau

menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya

itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur

penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa

suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. 11

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan

nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, padangan-

pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap,

tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk

menciptakan kedamaian pergaulan hidup.12

Hal di atas berarti, bahwa pengakuan hukum merupakan

pengayoman kepada hak asasi manusia sebagai akibat kerugian

yang ditimbulkan orang lain dan diberikan kepada masyarakat agar

mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum. Menurut J.C.T. Simorangkir, yang dimaksudkan dengan

hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang

untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu.13 Hak juga erat kaitannya

dengan izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada

seseorang.14

11
Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi
Press, hlm. 35.
12
Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, hlm. 3.
13
J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, 2005, Kamus Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 60.
14
C.S.T. Cansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, hlm. 119-120.

28
F. Metode Penelitian

Penelitian tesis hukum ini merupakan sarana pokok dalam

pengembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten melalui proses

penelitian tersebut, untuk itu perlu diadakan analisis terhadap data yang

telah dikumpulkan dan diolah sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan yuridis normatif yaitu menggunakan data sekunder

sebagai sumber utama dan kalaupun ada data lapangan , data tersebut

tidak lebih hanya sekedar merupakan data penunjang bagi data

sekunder. Sedangkan sifat dari penelitiannya sendiri bersifat deskriptif

analisis.

Melalui penelitian yang demikian diharapkan diperoleh

gambaran yang komprehensif, perlindungan hukum terhadap

masyarakat dalam pembuatan akta Notaris khususnya akta notariil

surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak dalam pengajuan

permohonan cerai talak di pengadilan agama.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif analisis.

Penelitian deskriptif analisis adalah jika penelitian bertujuan untuk

menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu,

kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu

29
yang terjadi. Lebih lanjut dikatakan, bahwa penelitian ini dimaksudkan

untuk memberikan detesis yang seteliti mungkin tentang suatu

keadaan.

3. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang

dianggap relevan untuk dijadikan bahan dalam menulis tesis ini

dengan menggunakan dasar penelitian kepustakaan yang terdiri dari :

a. Data Sekunder, meliputi :

1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat. Dalam hal ini bahan-bahan tersebut mencakup :

a) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama

b) Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris.

c) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang

Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan)

d) Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan

2) Bahan atau sumber hukum sekunder yaitu bahan-bahan pustaka

yang berisi dan penjelasan tentang badan hukum primer yang

berisi pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, atau

pengetahuan baru tentang fakta yang diketahui maupun

mengenai gagasan atau ide, mencakup : buku-buku hasil

penelitian dan karya ilmiah bidang hukum.

30
3) Bahan atau sumber hukum tersier (penunjang) yaitu meliputi

Kamus Hukum dan Ensiklopedia.

b. Data Primer, meliputi :

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh

di lapangan antara lain dari narasumber yang relevan dan

berkompeten dengan permasalahan penelitian tesis ini.

Bertolak dari jenis dan sumber data di atas, maka teknik

pengumpulan data yang ditempuh dalam penelitian ini adalah :

a. Studi pustaka, yakni penelitian terhadap berbagai data sekunder

yang diperoleh dari buku-buku literatur dan bahan-bahan hukum

yang relevan dengan objek penelitian, yaitu tentang perlindungan

hukum terhadap masyarakat dalam pembuatan akta Notaris

khususnya surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak

dalam pengajuan permohonan cerai talak di pengadilan agama.

b. Wawancara, yakni untuk memperoleh informasi dengan bertanya

langsung kepada narasumber-narasumber yang berkompeten, yaitu

: Advokat, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

Hakim Pengadilan Agama.

4. Lokasi Penelitian

Tempat dan lokasi penelitian bertujuan untuk mengumpulkan

data dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data

primer. Dalam hal ini dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara

adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh kedua

31
belah pihak yaitu pewawancara (yang mengajukan pertanyaan) dan

yang diwawancarai (yang memberi jawaban atas pertanyaan).

Wawancara dilakukan di Pengadilan Agama Semarang.

5. Teknis Analisis Data

Analisis data dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan

metode analisis deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif akan

menghasilkan data deskriptif, yaitu menggambarkan mengenai

keadaan atau perilaku nyata dari objek penulisan secara utuh sehingga

peneliti dapat memahami, mengerti dan pada akhirnya menjelaskan

setiap gejala yang diteliti.

Analisis data dilakukan secara yuridis kualitatif hal ini

bertolak dari maksud penelitian yang tidak hanya untuk

menggambarkan atau menjelaskan data analisis saja, melainkan juga

mengungkapkan realitas aspek hukum yang ideal dan diharapkan

dalam perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam pembuatan

akta Notaris khusunya surat kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar

talak dalam pengajuan permohonan cerai talak di pengadilan agama.

G. Sitematika Penelitian

Dalam penulisan penelitian ini diperoleh setelah dilakukan analisis

kemudian disusun dalam bentuk laporan akhir dengan penulisan

sistematika penulisannya sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN, berisi tentang uraian latar belakang masalah,

32
perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi Notaris tentang pengertian

Notaris, Akta Notaris, surat kuasa istimewa, ikrar talak, cerai

talak, peradilan agama, preventif Islam tentang surat kuasa.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, yang

menguraikan tentang pengertian perlindungan hukum dan peran

Notaris terhadap pembuatan akta notariil surat kuasa istimewa

untuk mengucapkan ikrar talak dalam pengajuan permohonan

cerai talak di pengadilan Agama serta untuk mengetahui

kendala-kendala notaris dalam pembuatan akta notariil surat

kuasa istimewa untuk mengucapkan ikrar talak dalam pengajuan

permohonan cerai talak di Pengadilan Agama.

BAB IV PENUTUP, memuat tentang Simpulan yang merupakan jawaban

dari rumusan masalah pembahasan yang telah diuraikan dan

disertai solusi dan saran-saran sebagai rekomendasi penulisan

berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.

33

You might also like