Menjadi Santri-Faris4E (SPM)

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Menjadi Santri

Aku terbangun dari tidurku yang lelap, dengan keringat


dingin yang sudah membasahi seluruh tubuhku aku
bangkit dari kasur. Akupun meraih segelas air dari meja di
sebelah tempat tidurku. Disertai rasa gelisah, aku perlahan
menghabiskan minumanku dan menaruh gelasnya di meja.
Kemudian aku termenung, pikiranku kacau. Aku belum
siap untuk pergi meninggalkan semuanya. Tiba-tiba ayah
datang ke kamarku sembari berkata "sudahlah, santai aja.
Rintangan itu harus dijalani bukan dihindari" ucap ayahku
sambil mengelus kepala ku. "Tapi ini terlalu cepat yah, aku
belum mempersiapkan semuanya" balasanku dengan
mata yang sedikit berkaca-kaca. "iya ayah paham, nanti
kamu akan ayah bantu kok bersama ibu, laki-laki itu harus
kuat, apalagi anak pertama. Kamu harus menjadi contoh
bagi adik-adikmu. Ada saatnya mereka akan mengalami
keadaan seperti kamu. Kamu harus bersyukur diluar sana
banyak yang mendaftar tapi tidak diterima, kamu jangan
meniru yang enak-enak dulu. Jika ingin sukses, maka
harus berproses dahulu. Tidak ada orang yang sukses
secara instan. Seperti halnya bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian". "Iya ayah aku akan
berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik"
ucapku dengan nada seperti anak setelah dihukum.
Terkadang kita harus menjadi pendengar yang baik, tapi
kita juga harus bisa menjadi pembicara yang baik. Inilah
kisahku, Dengan seluruh perjuangan keras yang
membuatku dapat masuk disini. Yaitu di MU'ALLIMIN.
Kisah ini dimulai Ketika aku aku lulus SD kelas 6,
ditiadakannya UN realitanya berdampak pada kehidupanku
selanjutnya. Saat itu aku sedang mencari sekolah
lanjutanku. Aku dan ditemani oleh ayahku survei kesana-
kemari demi pendidikanku. Hingga akhirnya aku
menemukan sekolah yang kuinginkan. Tetapi Kakekku
berpendapat lain. Kakekku menyuruh ayahku agar
memasukkan aku ke pesantren, katanya "biar terjaga dari
hal-hal negatif", Terutama Muhammadiyah. Kakekku
adalah seorang aktivis organisasi Muhammadiyah. Dia
ingin anak cucunya agar bisa meneruskannya dengan
menjadi kader Muhammadiyah. Beliau punya keinginan
memasukkanku kedalam ponpes Muhammadiyah, salah
satunya MU'ALLIMIN. Awalnya aku menolak dengan
alasan, aku tidak bisa jauh dari keluarga dan kebetulan
posisiku waktu itu ada di Sumatra. Sedangkan
MU'ALLIMIN ada di Yogyakarta. Tepapi apa halnya, aku
hanya anak kecil polos lagi tidak berdaya. Aku terpaksa
mengikuti keinginan keluargaku. Selang beberapa waktu,
aku dan ayahku segera lepas landas dari bandar udara
sultan Syarif Kasim II (Pekanbaru) menuju Yogyakarta
untuk mengikuti pelaksanaan ppdb MU'ALLIMIN
Yogyakarta. Sehari sebelum tes aku sudah kewalahan,
ayahku mendengar kabar bahwa tes MU'ALLIMIN
menggunakan bahasa arab. Akupun terpaksa melihat
video percakapan bahasa arab di YouTube. Karena waktu
tak bisa diulang, kamipun langsung tancap gas dari rumah
di Sleman menuju Wirobrajan tempat MU'ALLIMIN berada.
Sesampainya di sana aku pun berkumpul dengan peserta
yang lainnya. Kemudian masuk ke dalam gedung
sekolahnya disana aku melihat berbagai macam hal yang
baru aku lihat. Setelah itu aku menunggu di depan sebuah
ruangan kelas sembari dipanggilnya namaku, tak lama
kemudian namaku dipanggil. Dengan malu-malu akupun
memasuki ruangan tersebut. Hingga akhirnya aku berdiri
di depan meja yang dibelakangnya sudah duduk dua orang
guru yang siap mewawancarai aku. Akupun spontan
terkejut karena ternyata wawancara ini tidaklah susah
seperti yang dipikirkan.
Tidak menggunakan bahasa arab, dan lebih condong ke
cerita pengalaman tentang pribadi aku dahulu. Sesudah
semua urusan ppbd selesai, ayahku yang tadi sempat
pergi sebentar saat aku ppdb, sudah menungguku didepan.
"Gimana?" Tanya ayahku. "Biasa aja yah. Easy,ga pake
bahasa arab" ucapku. "Ooh awas ya klo ga keterima" gurau
ayahku. "Ya malah bagus lah" balasku. "Loh kita kan juga
udh capek-capek kesini klo kamu ga serius ya sia-sia"
Tanya ayahku penuh harapan. "Iya-iya, aku udah ngasih
jawaban yang bagus tadi" jawabku. Aku terkadang heran,
kenapa ayah dan kakek harus memaksaku masuk
pesantren. Padahal mereka sendiri tidak
mencontohkannya dan mereka lulusan sekolah luar (non
asrama). Setelah basa-basi tadi aku bersama ayahku pun
pulang sebentar di Sleman, dan berangkat ke bandara Adi
Sucipto untuk melakukan penerbangan kembali ke
Pekanbaru, Riau.

Waktu demi waktu berlalu. Setelah beberapa Minggu,


pengumuman akhirnya tiba di perangkat media (HP)
masing-masing orang tua. Ayahpun memberitahu aku
tentang kabar tersebut, dan betapa bangganya ayahku
tahu bahwa aku sebagai anaknya lolos ppdb MU'ALLIMIN
Yogyakarta yang menjadi harapan baginya. Kini waktuku
hanya sekitar dua bulan untuk mempersiapkan segala hal
yang menjadi keperluanku nanti di asrama baik aspek
rohani dan jasmani. Karena aku tidak terbiasa jauh dari
orang tua. Dan setidaknya aku harus membuat diri
menjadi puas bermain atau apapun hal itu, itulah yang ada
dipikiranku waktu itu.
Hari terus berlanjut, aku dan keluargaku sudah mulai
persiapan seperti belanja kebutuhanku, mengemas barang,
dan persiapan lainnya. Walaupun masih beberapa Minggu
lagi, tapi orang tuaku tetap mempersiapkan barang-
barangku walaupun sedikit demi sedikit. Selang beberapa
waktu, akhirnya muncul pengumuman bahwa kedatangan
santri ke asrama ditunda dan pembelajaran akan
dilaksanakan secara daring sampai adanya
pemberitahuan lebih lanjut. Akupun langsung melompat
gembira ketika mengetahui informasi itu. Pada saat itu,
kondisi di sekitar memang tergolong bahaya karena covid-
19. Jadi karena MU'ALLIMIN tidak ingin mengambil resiko,
maka hanya kelas tertentu saja yang wajib masuk.
Khususnya kelas yang akan mengikuti ujian-ujian penting,
seperti kelas 6 dan kelas 3. Kala itu ketika hal-hal dijadikan
daring, aku menyepelekannya. Seperti mengerjakan ujian
menggunakan google, setor hafalan dengan melihat
Qur'an, dan lainnya. Aku juga hampir diberi surat
pernyataan, karena saking seringnya aku membolos
pelajaran waktu itu. Kehidupanku sangatlah kacau, hampir
setiap hari jam tidurku terganggu karena aku sering
begadang, Aku jarang belajar, aku terlalu sering bermain
gadget, dan lainnya. Ternyata hal ini lah yang menjadi poin
negatifku dan sedikit menjadi gangguan di jenjang
berikutnya. Tetapi seburuk apapun seseorang pasti
memiliki sisi positifnya. Ketika dirumah aku tidak terlalu
malas berolahraga. Setiap 2 Minggu sekali, aku bersepeda,
Joging, dan lain-lain. Kadang kala ibuku juga mengajarkan
matematika. Bulan dan bulan berlalu, tibalah saat dimana
semuanya menjadi peserta PAT. Sehari menjelang ujian
aku bersama ibuku sempat belajar. Walaupun disela
waktu aku tetap asyik dengan gadget. Keesokan harinya,
aku langsung mengerjakan soal-soal yang ada. Dengan
bantuan orang tua dan google aku berhasil dengan cepat
mengerjakan soal-soal itu. Aku hanya membutuhkan
waktu sekitar 20 menit kurang untuk mengerjakannya.
Hari demi hari terus berjalan. Akhirnya ujian-ujian itu
selesai. Selama sepekan aku telah mengerjakan ujian-
ujian itu. Dan waktu itu memang waktu yang tepat untuk
bersantai. Aku bermain, membantu orang tua, dan lain
sebagainya. Ketika aku sedang bermain tiba-tiba, keluarlah
hasil ujian yang sebelumnya aku kerjakan. Dengan bangga
akupun memperlihatkan rankingku yang berada cukup
baik menurutku. Dan reaksi ibupun biasa saja. Tidak
seperti saat SD, padahal 6 tahun di SD aku ranking 5 besar
berturut-turut. Dan itu membuat orang tuaku bangga. Tapi
tidak kali ini, ibu justru malah tertawa karena melihat
ranking yang aku tunjukkan. "Kok ibuk malah ketawa"
tanya ku penuh heran. "Ya ini kan sebenarnya tidak murni,
seharusnya kamu bisa belajar agar nilaimu bagus" balas
ibuku. Waktu aku ujian, ternyata aku juga masih
menyepelekan semuanya.
Waktu terasa cepat, tidak terasa sehingga hari seperti
berhenti. Semuanya telah berlalu. Aku naik kelas 2
MTS(SMP). Semua keadaan hampir sama hingga tibalah
suatu hal. Aku harus berpisah dengan semua.
Setelah 4 bulan dikelas 2, tepat 2 Minggu sebelum masuk
keasrama. Ada pengumuman mendadak tentang
berangkatnya santri ke asrama. Wajahkupun seperti pucat
pasi. Setelah semua hal yang biasa aku lakukan, kini aku
harus meninggalkannya. Terutama berpisah dengan
keluarga. Orang tuakupun segera mengemas barang
keperluanku. Untungnya sejak dahulu ibu memang sudah
mencicil barang-barang yang akan kubawa, jadi waktu itu
orang tuaku tidak terlalu repot lagi.

Yogyakarta 29 Oktober 2021. Sejak pemberitahuan itu, aku


terlihat lemas seperti orang yang tidak semangat hidup.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk berbicara
dengan keluargaku. Aku memang agak letih setelah
perjalanan jauh menuju Jogja. Tapi tidak dengan adik-
adikku. Mereka masih bisa bermain, tertawa, dan lainnya.
Aku terlalu banyak mengeluh ke orang tuaku. Hingga
akhirnya aku diceramahi ayahku cukup lama. waktu itu
masihat orang tuaku memang berguna, dan aku terus
berpegang dengan kata-kata orang tuaku.
Sekitar jam 16.30. suasana sedih dan langit mendung
membuatku tak dapat menahan air mata. Aku dan
Keluargaku telah sampai di depan tempat karantina.
Sebelum masuk asrama, MU'ALLIMIN membuat kebijakan
mengkarantina semua santri yang baru datang. Diwaktu
itulah aku terakhir berjumpa dengan keluargaku. Aku
memeluk ayahku sambil menangis. Setelah sedikit nasihat
akupun berpamitan dan meninggalkan mereka. Dengan
perlahan aku semakin jauh dari mereka hingga hanya
lambaian tangan yang kulihat.

Akankah aku berhasil?

You might also like