Professional Documents
Culture Documents
1 PB
1 PB
1 PB
2 September 2021
No 30/E/KPT/2019 (Sinta 4). P-ISSN 2086-6178 E-ISSN 2579-3292
DOI: https://10.31294/jkom
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Strata 2 (S2) Universitas Indonesia, Jakarta
e-mail:muhammad.rachdian01@ui.ac.id
Abstract - Humans as social beings certainly have a tendency to continue to look for other humans for the
process of exchanging messages. Social media as a form of technology utilization was used for the extension of
the human senses in the ability to interact. In the process, the existence of these machines that are wrapped in
technological terms then raises the question, whether their use is accompanied by ethics—a conception that
weighs the pros and cons—considering that many internet-based platforms allow the communication process
without the hassle of exchanging views first. Mentioned in Hegel's Dialectics, the thesis that occurs is that
humans communicate directly by including ethics in it. Then, the antithesis that is seen is that humans do not
communicate directly but by using intermediaries in the form of online-based digital media without the hassle of
exchanging views directly, so that the ethical side seems to be legitimized to be abandoned. Thus, the synthesis
that reconciles these two things should be a civilized human being who utilizes communication technology by
participating in promoting ethics. This can certainly happen if the people in it take a lot of lessons that have
happened in the past. As Sir Arthur Conan Doyle, author of the Sherlock Holmes series, said, “Skill is good and
genius is beautiful. But proper communication is more valuable than both."
Keywords: Communication Ethics and Philosophy, Hegel's Dilaektics, Social Media
https://ejournal.bsi.ac.id/ejournal/index.php/jkom/index 117
eJournal Komunikasi, Vol 12 No.2 September 2021
P-ISSN 2086-6178 E-ISSN 2579-3292
sehingga aktivitas paling privat pun dapat berupa peraturan yang menyinergikan industry
ditampilkan untuk kemudian dikonsumsi public? penyiaran dengan telepon seluler? (Kruger: 2004)
Sehingga, “Apa urusannya public tak nyaman Adanya masalah dalam memanfaatkan
dengan konten privat yang dipublikasi? Nggak sosial media setidaknya menunjukkan adanya gap
suka, ya off saja”. Atau, platform social adalah dalam pen-digital-an segala aspek. Termasuk
ruang public, sehingga tampilan-tampilan adanya judicial review atas Undang Undang
panggung depan saha yang layak Penyiaran dan fenomena transportasi online yang
dipertontonkan? Publikasi aktivitas privat, pada dasarnya belum memiliki payung hukum
dianggap tindakan yang tak beretika. sehingga merasa lucu ketika kendaraan plat hitam
(Kurniawan: 2020) boleh menaik-turunkan penumpang di jalanan.
Tentu banyak masukan dan saran para ahli Dalam konteks sosial media, tentu harus
yang bisa untuk kemudian dipertimbangkan demi mengedepankan etika. Karena faktanya, sudah ada
digapainya jalan tengah. Masalahnya, dalam lebih dari 300 orang yang terjerat karena pasal ITE
mencapai fenomena tentu tidak akan pernah ada atas dugaan ujaran kebencian, pencemaran nama
kebenaran yang bersifat hakiki. Dari sudut baik, maupun penghinaan menemani Jrx tadi. Dan
pandang satu benar, dari sudut pandang hukum penjara tentu akan lebih cepat membludak, jika
kemudian ternyata salah. Bahkan dalam konteks semua sangkaan tadi kemudian diproses secara
hukum sendiri, masih banyak saling silang hukum tanpa penyelesaian secara adat.
undang-undang yang bertubrukan satu sama lain Sosial Media dalam lingkup dunia maya,
yang membuat penafsiran kemudian menjadi bias pada dasarnya tak ubahnya dunia nyata.
dan membingungkan. Sebagaimana Publicsphere yang dicetuskan
Bagaimanapun, mengutip kata-kata Habermas. Ada yang berkata kasar, bertutur sopan.
Immanuel Kant, “bahwasannya konsep tanpa teori Menebar kebencian, dan lain sebagainya. Hanya
kemudian hanyalah permainan kata-kata.” saja dalam dunia maya, tentu asas pembuktiannya
Meletakkan teori di tempat nun jauh di sana tanpa jauh lebih mudah karena di sana akan tertinggal
merekatkannya dengan realitas adalah kesalahan jejak digital.
besar. Ketika sebuah postingan di berbagai
Di luar itu semua, era digital memang platform media digital kemudian menciptakan
menghadirkan suatu suasana yang serba dilematis. sebuah fenomena yang negatif, pihak yang
Memang, dengan keberadaan mesin berbasis nyatanya kemudian dijadikan tersangka atas
teknologi tinggi yang bisa mendorong revolusi pelanggaran hukum hanyalah pengunggah konten
industri lebih jauh, seperti misalnya 4.0 dan 5.0. tersebut. Mengapa platform yang dijadikan tempat
Satu sisi dipandang sebagai suatu sistem menyebarkan konten tersebut tidak disangkakan
pengebirian indrawi manusia. Di satu sisi tentu pasal-pasal? Apa dasar hukumnya?
memudahkan menjalankan aktivitas, di sisi lain Seharusnya dalam hal ini, platform punya
mesti dibarengi dengan kesadaran individunya andil yang cukup besar. Platform memiliki
dalam memanfaatkan teknologi, dalam hal ini kewajiban juga untuk menyortir postingan. Entah
adalah ranah komunikasi digital. secara manual maupun automatic system. Karena
Dalam keadaan yang lebih luas, yaitu pada kenyataannya, platform juga mendapatkan
kenegaraan, dewasa ini, tidak ada satupun negara keuntungan berupa fee dari ads atas konten yang
yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Mau telah diunggah.
tidak mau semua akan saling bergantung. Namun, Platform dalam digital media pada era yang
jika suatu negara kesadarannya akan digitalisasi ini dewasa ini memiliki komunitas dan peminat yang
rendah, maka akan tertinggal. Dalam 4.0 misalnya, lebih luas dan besar. Sehingga, platform jangan
Adalah menempatkan kondisi dimana mesin hanya aware atas viewer dan jumlah like tinggi
menjadi competitor manusia dalam menjalankan dalam traffic mereka. Sekali lagi, kenyataannya
produksi. Dan dalam 5.0 seyogianya, akan tejadi yang harus menanggung adalah kreator sebuah
rekonsiliasi untuk pemanfaatan teknologi dengan postingan itu sendiri. Padahal, dalam pembagian
tenaga manusia. Sebab, disebutkan, dalam scenario ads nya belum tentu dimiliki seluruhnya oleh
pesimis, otomatisasi akan menghapus 160 juta kreator sendiri. Malahan cenderung lebih besar
pekerjaan di AS. Dan dalam scenario yang lebih penghasilan dari ads lebih besar untuk
optimis, setidaknya ada 12% jenis pekerjaan yang platformnya.
terhapus (Kurniawan: 2020). Platform padahal punya kewenangan untuk
Sehingga tak cukup dengan wawasan melakukan Banned. Bahkan bisa dilihat dari track
kebangsaan yang beretika saja. Dalam kasus record nya si konten kreator. Coba bayangkan,
pemanfaatan sosial media (seperti kasus Jrx), tapi sebenarnya, jika konten-konten kreatornya positif,
juga mesti diciptakan produk hukum yang secara pada dasarnya, platform juga bisa menghasilkan
pasti ligit mengatur hal-hal tersebut. ads yang juga tak kalah besar. Jangan seolah-olah
Bagaimana kemudian negara bisa menimbulkan kesan yang penting untung alias
mengakomodasikan kepentingan-kepentingan kapitalisme saja. Karena media itu juga memiliki
tersebut? Apakah sudah terlambat? Jika misalnya fungsi surveillance sebagaimana yang telah
saja dalam buku The Media Essential bahkan pada dijabarkan pada penjelasan di atas.
2002 Ofcom di Inggris sudah membuat regulasi Paling tidak platform memberikan support
Biodata Penulis
Muhammad Rachdian Al Azis
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Strata 2
(S2) Universitas Indonesia, Jakarta